Posts

Senandung yang Mencapai Sorga: Rest in Love Melitha Sidabutar

Sebuah obituari oleh Cristal Tarigan, NTT

8 April 2024, bisakah kusebut tanggal ini sebagai salah satu hari duka bagi banyak orang Kristen di Indonesia? Sampai aku mengetik tulisan ini pun, air mataku belum bisa kutahan karena mengingat dan mengenang sosok Melitha Sidabutar. Aku belum pernah berjumpa secara langsung dengannya, tapi aku menyayanginya dan merasa dekat karena setiap kesaksian yang dia bagikan, lagu-lagu yang dia ciptakan, semuanya telah mengambil tempat di hatiku.

Melitha Sidabutar adalah sosok penyanyi rohani yang memulai kiprahnya di dunia tarik suara lewat kontes-kontes pencarian bakat. Namun, dunianya tidak berlabuh di sana. Melitha menggunakan taleta suaranya untuk menyanyi bagi Tuhan lewat lagu-lagu rohani. Usianya pun masih muda. Dia dilahirkan pada tahun 2001, sehingga pada tahun ini usianya barulah menginjak 23 tahun. Seperempat abad pun belum!

Selama beberapa tahun terakhir, lagu-lagunya kumasukkan dalam playlist musikku begitu memberkati dan membuatku merasa lebih dekat dengan Tuhan. Kepergian Melitha yang mendadak mengingatkan kembali akan kepergian Melisha, saudari kembarnya yang telah berpulang lebih dulu menjelang ulang tahunnya yang ke-20 pada 8 Desember 2020. Media sosial pun riuh. Banyak komentar yang menuliskan kata-kata penghiburan. Salah satu yang paling mengena di hati adalah: Melitha dan Melisa bersama para malaikat sudah bernyanyi di surga bersama-sama memuji Tuhan”, demikian tulisan warganet.

Kematian dan hidup berjarak begitu dekat

Menyukai kisah dan lagu-lagu Melitha, aku sedih, rasanya juga belum percaya. Juga muncul beberapa pertanyaan di pikiranku: Tuhan panggil Melitha yang begitu memberkati banyak orang, di usia yang muda, ketika dia sedang mengerjakan pelayanannya. Kenapa? Apakah Tuhan tidak sayang? Mengapa harus pula kedua saudara kembar ini? Kenapa Tuhan tidak biarkan saja salah satunya panjang umur dan terus menjadi kesaksian yang hidup untuk nama-Nya sendiri?

Pertanyaan itu memantul dalam relung-relung hatiku. Lalu, aku sejenak mengingat bahwa meskipun ajal seringkali datang mendadak, segala sesuatu tetaplah ada dalam kendali-Nya. Allah yang maha mengetahui kapan masa segala sesuatu dari segala sesuatu.

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya.” (Pengkhotbah 3:1).

Aku sadar bahwa Melitha, aku, pun kita semua adalah buatan Tuhan, ciptaan-Nya. Kita tidak memiliki kuasa untuk menentukan kapan masa terbit dan terbenam hidup kita. Bahkan sejengkal masa ke depan, tak ada yang tahu dan sanggup menjamin! Namun, mengapa Tuhan terkadang memanggil anaknya begitu cepat? Bukankah kepergian yang terlalu mendadak akan menggoreskan banyak luka bagi yang ditinggalkan?

Tahun 2022 lalu, aku juga kehilangan orang yang sangat kukasihi, dan orang pertama dalam garis keturunan keluargaku yang aku rasakan sosok kepergiannya. Dia adalah kakekku dari pihak bapak. Memang beliau wafat bukan di usia muda, tapi aku yakin bahwa baik muda ataupun tua, dukacita selalu memberikan rasa sakit. Kami begitu kehilangan, kesepian, bahkan kadang-kadang seperti tidak sadar bahwa mereka sudah tiada.

Ketika kehilangan kakekku, aku sedih sekali karena aku dekat dengannya. Tapi, beberapa hari setelah kematiannya, aku mengalami perjalanan iman yang membuatku mengucap syukur. Penghiburan yang kudengar dan iman yang kupunya membuatku yakin akan kehidupan kekal yang sudah dia miliki. Aku diteguhkan bahwa kematian bukanlah sesuatu yang dapat memisahkan kita dari kasih Allah. Kematian merupakan jalan untuk bertemu dengan Bapa dan tinggal selamanya dalam persekutuan kasih-Nya yang tidak berkesudahan. Kehidupan kita di dunia ibarat seorang musafir, hanya sementara.

Pada Yohanes 15:19 tertulis, “Sekiranya kamu dari dunia, tentulah dunia mengasihi kamu sebagai miliknya. Tetapi karena kamu bukan dari dunia, melainkan Aku telah memilih kamu dari dunia, sebab itulah dunia membenci kamu.”

Ayat ini menyadarkanku tentang betapa pentingnya mengerti keberadaan kita saat ini hanyalah sementara. Yang menjadikan tiap nafas kita berarti bukan seberapa lama kita hidup, tapi tentang bagaimana kita hidup untuk memenuhi panggilan-Nya—taat melayani-Nya, dan berbuah lewat seluruh kesaksian hidup kita. Kesehatan dan panjang umur adalah baik, tapi memang umur hanyalah angka yang tak pernah kita tahu akan berhenti di mana.

Ketika dukacita datang, inilah perenungan yang kudapat:

1. Kematian memang menyedihkan tapi lewat kematian dan kebangkitan Kristus, kita memiliki keyakinan akan hidup kekal

Inilah pengharapan bagi kita bahwa kelak kita akan dibangkitkan sama seperti Kristus dan hidup dalam persekutuan kekal bersama para kudus. 

2. Hidup bukan sekadar kesempatan untuk melayani, tetapi melayani adalah keharusan kita dalam hidup

Lewat kehidupan Melitha, kita dapat belajar bagaimana mempergunakan setiap waktu yang ada untuk melayani Tuhan sepenuh hati kita. Bersaksi buat Tuhan lewat seluruh aspek hidup, karena kita tidak tahu bilamana waktu-Nya Tuhan tiba.

3. Tuhan berkenan atas sikap kerendahan hati dan ketulusan

Apabila dua sikap ini ada dalam diri kita, maka setiap karya yang kita lakukan bisa jadi pesan yang lembut sekaligus kuat untuk memberkati orang lain.

Sekalipun aku tidak mengenal Melitha secara pribadi, tapi dengan begitu banyaknya orang yang hari ini berduka, aku tahu Melitha telah melakukan pelayanannya dari hatinya yang terdalam.

4. Belajar taat untuk mengakhiri pertandingan dengan baik

Tuhan melihat proses hidup kita. Kita percaya bahwa kepada setiap orang yg mengakhiri pertandingan dengan baik, akan diberikan mahkota kehidupan. Seandainya saat ini kita bisa melihat rekam jejak hidup kita, sudahkah kita berproses dengan setia di hadapan-Nya?

Tuhanlah yang memberi, Tuhan jugalah yang mengambil. Turut berdukacita sedalam-dalamnya untuk seluruh keluarga besar Melitha Sidabutar, beristirahatlah dalam lautan cinta yang tak pernah usai, rest in love.

Terimakasih Mel, lewat hidupmu kami saat ini belajar bahwa sekalipun ragamu telah mati, tetapi karya dan teladanmu dapat dipakai Tuhan untuk menghidupkan semangat-semangat yang padam dan membawa mereka mereguk hidup yang sejati di dalam Kristus, Tuhan kita.

Spiritualitas vs Ritualitas: Bagaimana Menjaga Keseimbangan dalam Kehidupan Kristen

Oleh Ari Setiawan, Jakarta

Sebagai remaja dan pemuda Kristen, kita mungkin sudah terbiasa dengan berbagai ritual keagamaan yang kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, berdoa sebelum makan, membaca Alkitab setiap pagi, mengikuti ibadah mingguan, bergabung dengan persekutuan, dan lain-lain. Ritual-ritual ini tentu saja baik dan bermanfaat, tetapi apakah kita sudah memahami makna dan tujuan di baliknya? Apakah kita sudah benar-benar mengalami pertumbuhan spiritual yang sesungguhnya?

Sayangnya, ada beberapa kasus di mana pendeta, hamba Tuhan, dan aktivis gereja yang seharusnya menjadi teladan bagi kita, malah tersandung dalam beberapa kasus dosa dan terjerat hukum. Mereka mungkin sudah aktif dalam ritual bergereja, tetapi ternyata tidak mendalami aspek spiritualitas keimanan mereka. Mereka mungkin sudah tahu banyak tentang ajaran-ajaran Kkristen, tetapi tidak mengaplikasikannya dalam kehidupan nyata. Mereka mungkin sudah beribadah dengan lantang, tetapi tidak memiliki hubungan pribadi dengan Tuhan.

Mungkin hal yang sama juga terjadi di kita, aktif menjalankan ritual beragama tapi tidak menunjukkan pertumbuhan spiritual. Bagi aku sendiri, ada fase di mana keluarga selalu menelepon di malam hari, mengajak berdoa bersama, dan hal ini dilakukan setiap hari. Menyenangkan? Kadang tidak, hanya kosong, seperti menjalankan formalitas tanpa adanya kerinduan untuk benar-benar mengucap syukur, benar-benar mengasihi orang yang kita ucapkan namanya dalam doa.

Hal ini menunjukkan bahwa ada perbedaan antara aktif dalam ritual bergereja dan mendalami aspek spiritualitas keimanan. Ritual bergereja adalah bentuk ekspresi dari keimanan kita, tetapi bukanlah ukuran dari kualitas keimanan kita. Spiritualitas keimanan adalah hubungan intim dan dinamis dengan Tuhan, yang melibatkan hati, pikiran, jiwa, dan kehendak kita. Ritual bergereja dapat membantu kita memperdalam spiritualitas keimanan kita, tetapi tidak dapat menggantikannya.

Dalam Matius 15:8-9, disampaikan bahwa:

“Bangsa ini menghormati Aku dengan bibirnya, tetapi hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, karena yang mereka ajarkan ialah perintah manusia.”

Ayat ini mengutip Yesaya 29:13, di mana Yesus Kristus menegur orang-orang yang hanya beribadah kepada Tuhan secara lahiriah, tetapi tidak mengasihi-Nya dengan segenap hati. Ayat ini mengajak kita untuk tidak hanya mengikuti ritual-ritual keagamaan, tetapi juga menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan.

Lalu, bagaimana kita dapat membedakan apakah kita hanya sekadar aktif dalam ritual atau juga mendalami spiritualitas keimanan kita? Berikut adalah beberapa pertanyaan yang dapat kita renungkan:

  • Apakah kita berdoa karena ingin berkomunikasi dengan Tuhan atau hanya karena kebiasaan?
  • Apakah kita membaca Alkitab karena ingin belajar dari firman Tuhan atau hanya karena kewajiban?
  • Apakah kita mengikuti ibadah karena ingin menyembah Tuhan atau hanya karena tradisi?
  • Apakah kita bergabung dengan persekutuan karena ingin saling mengasihi atau hanya karena gengsi?

Jika jawaban kita cenderung ke arah yang pertama, maka kita sudah berada di jalur yang benar. Tetapi jika jawaban kita cenderung ke arah yang kedua, maka kita perlu melakukan introspeksi dan perubahan.

Salah satu cara untuk menjaga keseimbangan antara spiritualitas dan ritualitas dalam kehidupan Kkristen adalah dengan menjalin spiritualitas terus menerus. Artinya, kita tidak hanya berhubungan dengan Tuhan saat-saat tertentu, tetapi sepanjang waktu. Kita tidak hanya mengandalkan ritual-ritual tertentu, tetapi juga mengembangkan kepekaan dan keterbukaan terhadap pimpinan Roh Kudus. Kita tidak hanya mengikuti aturan-aturan tertentu, tetapi juga mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi kita.

Dalam tulisan rasul Paulus kepada jemaat di Korintus, ia menyampaikan pada 1 Korintus 10:31

“Jadi, apakah yang kamu makan atau minum atau apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”

Ayat ini mengajak kita untuk mengabdikan segala sesuatu yang kita lakukan kepada Tuhan, sebagai bentuk penyembahan dan penghormatan kepada-Nya. Ayat ini mengajarkan kita untuk tidak memisahkan antara hal-hal rohani dan duniawi, tetapi untuk melihat semuanya sebagai kesempatan untuk memuliakan Tuhan.

Dengan menjalin spiritualitas terus menerus, kita akan lebih mudah menghindari dosa dan kesalahan yang dapat merusak hubungan kita dengan Tuhan dan sesama. Kita juga akan lebih mudah mengalami pertumbuhan dan pembaruan dalam kehidupan rohani kita. Kita juga akan lebih mudah menjadi saksi dan garam bagi dunia yang membutuhkan kasih dan kebenaran Tuhan.

Semoga artikel ini dapat memberkati dan menginspirasi kita semua. Tuhan Yesus memberkati. Amin.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Memperbaiki Selera Rohani

Oleh Ernest Martono, Jakarta

Kita adalah apa yang kita konsumsi. Selain disiplin berolahraga, tubuh yang ideal dibentuk dari asupan makanan yang bernutrisi. Mengonsumsi junk food dalam jumlah berlebih akan menggagalkan niat tersebut. Dalam banyak kasus malah akan membuat kita terserang penyakit. Terbiasa memakan junk food juga akan merusak selera makan kita. Lidah kita jadi hanya ingin mengecap apa yang biasa dikecapnya. Ketika kita berusaha mengonsumsi makanan bernutrisi, yang cenderung hambar, lidah kita akan merasa asing dan menolak makanan tersebut. Jika tidak dipaksakan akibatnya kita tidak akan pernah mau mengkonsumsi makanan bergizi.

Membaca firman Tuhan juga seperti itu. Alkitab banyak sekali menampilkan firman Tuhan sebagai santapan. Bukan sekadar santapan, melainkan santapan yang nikmat.

Apabila aku bertemu dengan perkataan-perkataan-Mu, maka aku menikmatinya; firman-Mu itu menjadi kegirangan bagiku, – Yeremia 15:16a

“Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah.” – Matius 4:4

Betapa manisnya janji-Mu itu bagi langit-langitku, lebih dari pada madu bagi mulutku. – Mazmur 109:103

Rohlah yang memberi hidup, daging sama sekali tidak berguna. Perkataan-perkataan yang Kukatakan kepadamu adalah roh dan hidup. – Yohanes 6:63

Jika memang firman Tuhan senikmat itu lantas mengapa kita kesulitan untuk menikmatinya?

Tidak mengatur selera makan

Menikmati firman Tuhan merupakan bentuk self-love terhadap diri kita. Santo Agustinus mengatakan kalau di dalam hati manusia terdapat sebuah lobang kosong yang tidak dapat diisi oleh ciptaan apa pun. Lobang itu hanya dapat diisi oleh Tuhan, Pencipta yang dikenal dalam pribadi Yesus. Sebenarnya jiwa kita membutuhkan relasi dengan Tuhan agar mencapai kondisinya yang prima. Masalahnya dosa membuat kita mengabaikan kebutuhan ini. Kita berjuang mengisinya dengan keinginan-keinginan hati kita yang telah dikuasai dosa. Apa yang muncul dalam hati kita, itulah yang kita kejar. Seperti junkfood bagi lidah, begitu juga worldview dari dunia ini bagi jiwa kita. Membuat kita terbiasa dengan pengejaran yang semu. Kita menipu diri sendiri dengan berpikir semua itu cukup. Akhirnya kita sudah merasa cukup kenyang dan sehat tanpa relasi pribadi dengan Tuhan. Padahal sebenarnya jiwa kita justru semakin merana. Kita tahu manusia terdiri dari tubuh dan roh. Seandainya ada cermin yang bisa menampilkan tubuh rohani kita, mungkin kita akan ngeri melihatnya. Apalagi jika gambarannya seperti orang kelaparan yang hanya ada kulit membalut tulang.

Sebenarnya selera makan kita bisa diatur ulang. Ketika kita tahu minum obat adalah cara menolong kita sembuh, maka sekalipun obat itu pahit kita akan berusaha menelannya. Firman Tuhan memang nikmat, tapi mungkin pertemuan pertama dengan firman akan terasa pahit, atau bisa juga hambar. Namun, kita perlu mendisiplinkan diri untuk memakannya karena kita tau itu yang terbaik bagi jiwa kita.

Mengharapkan hasil instan

Protein diyakini dapat mempercepat pertumbuhan sel kita. Mereka yang ingin mengembangkan otot tentu akan memakan banyak protein. Mereka tahu makan protein dalam waktu sebulan sekali tidak akan menolong pembentukan otot. Mereka perlu sabar dan rutin mengonsumsi protein agar mendapatkan dampaknya. Begitu juga firman Tuhan. Tidak bisa kita konsumsi hanya sekali-sekali saja dan mengharapkan kedewasaan muncul karena hal itu. Kegiatan membaca firman Tuhan bukanlah sebuah bentuk transaksi yang ketika kita lakukan akan segera dampaknya terlihat. Membaca dan merenungkan firman Tuhan itu adalah investasi. Perlu rutinitas untuk menikmati dampaknya. Terkadang kita baru menyadari dampaknya setelah rutin melakukannya dalam kurun waktu tertentu. Ada waktu-waktu yang Tuhan akan sadarkan kalau kekuatan kita berasal dari firman-Nya. Mungkin kita akan berkomentar, “Iya, yah, setahun lalu aku bisa sesabar itu karena firman Tuhan mengingatkanku” atau “Setahun lalu aku lebih banyak memberi karena firman Tuhan mengubah caraku memandang kepemilikan.”

Jadi tentu firman Tuhan tidak akan memulihkan masalah jiwa kita dalam sekejap. Namun, pelan-pelan firman Tuhan akan membasuh hati kita. Meregenerasi sel-sel hati kita yang telah lama mengalami kerusakan.

Tidak tahu cara menikmatinya

Memang tidak semua bagian dari firman Tuhan mudah kita mengerti. Namun, itu bukan alasan untuk kita berhenti. Ada banyak cara yang dapat menolong kita. Kita bisa bertanya kepada orang yang telah belajar banyak untuk menafsirnya. Kita bisa juga membeli buku yang dapat menolong kita menafsir dengan baik seperti commentary. Namun, cara yang paling ampuh adalah dengan bertanya langsung kepada Tuhan. Ada sebuah kutipan yang mengatakan, firman Tuhan itu seperti sebuah kolam yang dalam, seorang profesor pun akan kesulitan untuk mengerti dan mendalaminya. Namun, firman Tuhan juga seperti sebuah kolam cetek, bahkan seorang bayi pun berenang tidak akan tenggelam. Tuhan tidak pernah menyembunyikan maksud-maksud-Nya kepada mereka yang serius mencari-Nya. Dia akan menunjukkannya jika kita berani bergantung pada pengertian-Nya, bukan bergantung pada pengertian sendiri.

Terkadang kita mengalami kebosanan dalam menikmati firman Tuhan. Jika itu yang terjadi maka kita perlu mengganti metode menikmati firman Tuhan. Ada banyak metode yang tersedia selain dari saat teduh. Kita bisa melakukan Lectio Divina, meditasi firman Tuhan, menghafal ayat, ataupun penggalian Alkitab. Itu semua adalah bentuk usaha kita berelasi dengan Tuhan.

Pada akhirnya manusia butuh anugerah dari Tuhan untuk menikmati firman. Dosa telah merusak selera rohani kita. Anugerah Tuhan mampu memulihkannya secara misterius. Namun, kita tidak bisa diam saja menunggu pemulihan itu terjadi. Kita perlu aktif bekerjasama dengan Tuhan untuk memulihkan selera rohani kita. Kita perlu mendisiplinkan diri sisanya Tuhan yang bekerja.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Menilik Relevansi “Ritual” Kristen dalam Realisasinya di Kehidupan Kita

Oleh Jefferson

Apa yang kamu bayangkan ketika membaca kata “ritual”? Apakah gambaran yang muncul di dalam benakmu adalah imam yang mempersembahkan korban bakaran di atas altar? Atau kamu justru teringat ibadah Minggu yang setiap elemen liturginya ditata sedemikian rupa? Atau barangkali kamu malah membayangkan rutinitasmu setiap pagi sebelum memulai hari?

Gambaran-gambaran di atas adalah ilustrasi dari tiga definisi “ritual” menurut kamus Oxford (silakan Google define ritual kalau ingin membaca ketiga artinya lebih lanjut). Mengapa aku membuka dengan membicarakan definisi? Karena aku mengamati adanya perluasan makna “ritual” di masa kini, di mana rutinitas kita sehari-hari yang tak ada hubungannya sama sekali dengan praktik-praktik keagamaan pun dapat dianggap sebagai suatu “ritual”. Praktik “ritual” seolah-olah sudah kehilangan kekhususan dan kesakralannya di zaman kita.

Tapi, apa implikasi dari pandangan ini? Ketika membicarakan praktik-praktik “ritual”, terutama dalam konteks Kekristenan, tanpa kita sadari kita mungkin saja telah menganggap itu sebagai norma kehidupan bergereja yang tidak perlu dimengerti lebih dari pelaksanaannya. Kita bahkan mungkin merasa praktik-praktik “ritual” Kristen tidak lagi relevan sehingga kita tidak perlu lagi mempraktikkannya. Praktik-praktik “ritual” seperti aksesoris yang elok dipakai tapi pada hakikatnya tak punya nilai tambah yang tinggi.

Setelah menelusuri paham ini lebih jauh, apakah kamu juga melihat bahaya yang mengintai di baliknya? Ada suatu reduksionisme yang mendasari pandangan ini yang tidak berusaha untuk memahami makna di balik unsur-unsur dalam “ritual” Kristen terlebih dulu dan malah langsung loncat kepada kesimpulan. Menurutku, praduga ini akhirnya tidak dapat menjawab dengan memuaskan apakah praktik “ritual” Kristen saat ini masih relevan.

Dari relevansi menuju realisasi

Awalnya aku ingin membicarakan tentang relevansi dari dua praktik “ritual” Kristen, yang aku persempit cakupannya pada baptisan dan Perjamuan Kudus (alasannya dapat kamu baca di sini). Namun, setelah menulis beberapa lama, aku merasa jawaban yang sedang kusiapkan sama tidak memuaskannya dan malah beresiko jatuh juga ke dalam reduksionisme yang aku amati di atas. Syukurnya, lewat “kegagalan” ini Tuhan menuntunku untuk melihat bahwa perluasan pengertian “ritual” memiliki dasar yang tersembunyi di dalam Firman-Nya. 

Apa maksudnya? Memang saat ini kata dan praktik “ritual” dalam konotasi keagamaan jadi kehilangan—atau paling tidak berkurang—kesakralannya, namun perspektif bahwa rutinitas kita sehari-hari pun bisa dianggap sebagai “ritual” sebenarnya memberi ruang bagi kita untuk bersaksi kepada dunia. Bersaksi tentang apa? Bahwa pada kenyataannya tidak ada pemisahan antara yang kita sebut “kudus” dengan “duniawi”, bahwa setiap detik dan jengkal dari kehidupan kita dengan segala kesepelean dan keduniawiannya merupakan bagian dari “ritual” yang kita persembahkan kepada Allah.

Sampai di sini seharusnya kamu dapat menebak perikop Alkitab mana yang ingin kuangkat.

Bukan sembarang “persembahan”

Mengingat tempatnya dalam struktur kitab Roma, tidaklah heran kalau Roma 12:1–2 adalah salah satu perikop yang paling sering dikutip sebagai aplikasi khotbah. Setelah menjelaskan dasar-dasar Kekristenan sepanjang 11 pasal dari suratnya kepada jemaat di Roma, Paulus menggeser fokusnya kepada bagaimana pengikut Kristus bisa menerapkan dasar-dasar itu dalam kehidupan mereka secara pribadi dan komunal. Ayat 1–2 merumuskan prinsip utama dari aplikasi-aplikasi yang ia jabarkan di sepanjang sisa suratnya:

(1) Karena itu, Saudara-saudara, oleh kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: Itulah ibadahmu yang sejati. (2) Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaruan budimu, sehingga kamu dapat membedakan mana kehendak Allah: Apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya dan sempurna.”

Kedua ayat ini mengajarkan bahwa kita sepatutnya menyelaraskan kehidupan kita dengan kehendak Tuhan, karena lewat kasih karunia-Nya Ia telah menyelamatkan kita lewat iman kepada anak-Nya (pasal 4–7) dari maut dan kerusakan dosa (pasal 1–3), dan diadopsi ke dalam keluarga sang Raja (pasal 8–11). Tapi bagaimana caranya kita bisa hidup seperti itu? Ayat 1 menjawab, dengan mempersembahkan tubuh [kita] sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan berkenan kepada Allah: Itulah ibadah [kita] yang sejati.”

Dari pilihan kata-kata Paulus saja kita bisa melihat mengapa aku sengaja memilih perikop ini untuk membahas tentang “ritual” Kristen. Namun, alasanku lebih dalam dari sekadar pilihan kata yang dipakai dalam praktik “ritual”. Dr. Andrew Spurgeon dalam khotbahnya di gerejaku di awal September menunjukkan bahwa kata “persembahan” yang digunakan di ayat 1 pada dasarnya serupa dengan yang dipakai untuk korban sajian di Imamat 2.

Apa signifikansi dari diksi ini? Dalam Perjanjian Lama, korban sajian tidak dipersembahkan untuk memohon pengampunan dosa kepada Tuhan, seperti yang mungkin selama ini kita pahami tentang persembahan. Korban sajian justru dipersembahkan di altar setelah korban bakaran sebagai ucapan syukur atas anugerah dan kasih karunia-Nya yang terus memenuhi kebutuhan mereka, terutama dalam perjalanan memasuki tanah perjanjian.

Mendengar tentang “persembahan” di Roma 12:1–2 dalam konteks korban sajian di Imamat 2, aku jadi teringat diskusi dalam kelompok pemuridan yang kupimpin beberapa bulan lalu. Kami sedang mempelajari kitab Roma menggunakan pendekatan induktif dan baru saja selesai membahas pasal pertama di kitab Roma. Di antara poin-poin pembelajaran yang aku dapatkan selama mempelajari Roma 1 bersama kelompok, aku mengingat bahwa manusia dalam kerusakan total karena dosa tidak mau dan tak dapat memuliakan ataupun mengucap syukur kepada Tuhan (ay. 21). Maka poin penerapan yang paling berkesan hari itu buatku adalah untuk terus memuliakan Allah dan mengucap syukur kepada-Nya sebagai anak-Nya yang telah Ia tebus dari perbudakan dosa (bdk. 8:12–17).

Kehidupan kita sebagai ucapan syukur yang hidup

Pembelajaran-pembelajaran Firman yang dipisahkan waktu ini akhirnya menuntunku untuk melihat bahwa kehidupan kita yang telah ditebus oleh darah Kristus pada dasarnya adalah persembahan “ritual”, bukan sebagai usaha kita untuk menyogok Tuhan dan mengusahakan keselamatan dengan kekuatan kita sendiri tapi sebagai pengucapan syukur seumur hidup kita kepada Ia yang telah beranugerah untuk menyelamatkan kita. Perhatikan bahwa yang Allah tebus adalah segenap keberadaan kita, baik “tubuh” kita yang dulu mati karena dosa tetapi sekarang hidup karena Kristus (12:1), maupun “budi” kita yang dulunya mati-matian menolak-Nya tapi sekarang Ia perbarui sehingga dapat membedakan “apa yang baik, yang berkenan kepada-Nya, dan sempurna” (12:2).

Mengingat korban sajian pada umumnya dipersembahkan setelah korban bakaran, dan bahwa Kristus sebagai Imam Besar telah melakukan segala ritual penebusan dosa yang seharusnya kita jalankan tetapi tak mampu kita penuhi oleh karena kerusakan total akibat dosa (Ibr. 9:11–28), bukankah masuk akal bagi kita yang telah ditebus-Nya untuk mempersembahkan segenap keberadaan kita sebagai “korban sajian” bagi-Nya? Maka setiap tindakan, pikiran, dan perkataan, termasuk rutinitas kita sehari-hari serta praktik baptisan dan Perjamuan Kudus, merupakan persembahan syukur kita yang memuliakan Kristus atas pengorbanan-Nya di atas kayu salib.

Ada banyak penerapan dan perenungan lebih jauh yang dapat kamu kembangkan sendiri dari apa yang telah kubagikan di sini. Dr Andrew Spurgeon sendiri mengakhiri khotbahnya di gerejaku dengan empat aplikasi: dengan tanpa pamrih menggunakan karunia Roh kita untuk melayani sesama (12:3–8), mengasihi sesama dengan tulus (12:9–21), dengan tanpa syarat menundukkan diri kepada otoritas yang telah Tuhan tunjuk (13:1–14), serta menerima satu sama lain apa adanya tanpa prasangka (14:1–15:13). Aku sendiri ingin menyoroti dengan singkat aplikasi yang signifikansinya kurasakan lagi sejak kembali ke dunia kerja: work-rest balance (keseimbangan bekerja dan beristirahat), yang sudah pernah kubahas di artikel lain

Walaupun pekerjaanku saat ini adalah kelanjutan dari apa yang aku pelajari selama kuliah S-2, ada banyak hal yang masih tidak aku mengerti di bidang baruku (aku berganti haluan dari konsultansi lingkungan hidup ke sustainable finance) sehingga aku jadi sering lembur di kantor untuk mengejar ketinggalanku dalam proyek. Kesibukan selama 1,5 bulan terakhir membuatku lebih mengapresiasi waktu-waktu istirahat yang Tuhan berikan, di mana aku bisa merenungkan pekerjaan-Nya yang sedang ia kerjakan lewatku di bidang baru ini dan memperhatikan kebutuhan orang-orang di sekelilingku. Ketika segenap kehidupan telah kita persembahkan sebagai ucapan syukur kita kepada Tuhan, niscaya ada sukacita dan damai sejahtera yang Ia sediakan untuk kita di tengah kesibukan dan penderitaan kita.

Akhir kata, apakah praktik-praktik “ritual” Kristen masih relevan di masa kini? Jawaban yang aku coba sampaikan secara tidak langsung dalam tulisan ini adalah “Ya”, dengan tegas dan penuh sukacita. “Karena itu, baik kamu makan atau minum, ataupun melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah” (1 Korintus 10:31).

Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu yang mengasihi-Nya dengan kasih yang tidak binasa, soli Deo gloria.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Mengatasi Dehidrasi Rohani

Oleh Joshua Effendy, Semarang

Sebagian besar dari kita mungkin sudah menjadi Kristen sejak bayi (papa-mama, kakek-nenek, bahkan buyut kita sudah Kristen) sehingga ‘mau tidak mau’ kita menjadi orang Kristen warisan. Namun, mungkin ada sebagian dari kita yang mengenal dan memutuskan untuk percaya pada Kristus di usia-usia tertentu setelah mengalami perjumpaan pribadi dengan-Nya. Ini semua bukan berbicara mana yang lebih baik—Kristen warisan atau menjadi Kristen di usia tertentu. Aku sendiri jadi orang Kristen karena warisan, meskipun dulu mamaku sebelum menikah bukan orang yang percaya Tuhan.

Mamaku memutuskan untuk percaya dan menerima Yesus ketika akan menikah dengan papa. Ia beranggapan bahwa sudah seharusnya istri yang mengikut suami, bukan sebaliknya. Karena mama bukan dibesarkan dalam keluarga orang percaya, dan papa bukanlah orang yang aktif bergereja, aku pun kurang diajarkan bagaimana menghayati iman Kristen. Aku hanya diajarkan kegiatan-kegiatan yang dilakukan orang Kristen. Selama ini orang tuaku hanya menyarankan untuk ke gereja, berdoa, aktif terlibat pelayanan, menanamkan pentingnya memberi persembahan tanpa ada paksaan sedikitpun—artinya, kalau aku tidak mau ke gereja karena malas, tidak ingin memberi persembahan, tidak mau terlibat pelayanan, mereka tidak ambil pusing. Menurut mereka, hal-hal yang berkaitan dengan hubungan rohani adalah urusan pribadi, mereka tidak punya hak untuk memaksaku, karena mereka pun tidak disiplin dan menghayati berbagai kegiatan itu. Walaupun demikian, aku berusaha untuk terus taat mendengarkan yang mereka sarankan bagi pertumbuhan rohaniku. Tapi, ketika aku makin aktif terlibat pelayanan, dan menjalankan ‘rutinitas rohani’ yang diajarkan, aku makin merasa kering, bukannya bertumbuh.

‘Daripada malam mingguan ndak jelas di jalan, mending malam mingguan di gereja, beribadah dengan sesama orang Kristen’,

‘Daripada hari minggu bangun siang, mendingan bangun pagi untuk pergi ke gereja dan dengar firman’,

‘Daripada rebahan terus di rumah, mending aktif pelayanan’.

Kalimat mendang-mending inilah yang membuatku melakukan berbagai aktivitas rohani sebagai rutinitas saja. Aku menyadari kekeringan rohani ini semakin menjadi-jadi ketika aktif pelayanan, berdoa, memberi persembahan, dan rajin beribadah hanyalah sebagai ‘kebiasaan-kebiasaan’ yang dilakukan untuk mengisi kegiatanku yang kosong. Lama kelamaan aku mengalami burn-out dan mulai mundur secara kerohanian, serta terbelenggu oleh dosa yang makin menjauhkan aku dari Tuhan. Aku merasa melayani Tuhan, membaca Alkitab, beribadah, dan berbagai kegiatan rohani lainnya sebagai beban yang memberatkanku, ditambah dengan sibuknya kegiatan OSIS waktu itu. Aku lebih sering berada di gereja ataupun sekolah daripada di rumah. Aku lelah secara fisik, kering secara rohani.

Ketika aku berada di titik terendahku, aku kembali kepada Tuhan dengan membaca Alkitab. Waktu itu yang aku lakukan hanyalah membuka Alkitab untuk menemukan ayat secara acak untuk aku baca. Hebatnya, Tuhan pakai itu sebagai titik balik kerohanianku. Aku makin mengimani Kekristenan (menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat) ketika mengalami perjumpaan dengan Firman. Efesus 2:8-10 menjadi ayat yang aku baca secara acak pada saat itu, dan terus mendorongku untuk haus akan firman hingga akhirnya memutuskan untuk masuk ke seminari. Jika sebelumnya, kerohanianku diwarnai dengan kekeringan dan sekadar melakukan tugas-tugas pelayanan dan rutinitas rohani belaka, di saat aku berusaha untuk berkomitmen mau membaca Firman dan merenungkannya Firman, maka Firman itu sungguh-sungguh hidup, menjadi relate, dan menguatkanku.

Tuhan Yesus sendiri berkata dalam Yohanes 15:4 untuk tinggal di dalam-Nya untuk bisa berbuah, maka ketika aku menjadikan aktivitas rohani sebagai kebutuhan rohani, aku selalu merasa kurang dan haus akan firman, selalu merasa rindu untuk mendengar Tuhan berbicara kepadaku melalui firman, dan ini membawa kepada pertumbuhan rohani. Ada gerakan yang membuatku gelisah ketika aku mulai jauh dari firman, mulai menjadikan doa sebagai rutinitas belaka. Aku yakin gerakan ini adalah dorongan Roh Kudus.

Bukan berarti aku menyalahkan didikan iman yang diberikan oleh orangtuaku, aku sungguh bersyukur terlahir dalam keluarga percaya yang menjadi jalan untukku menerima Tuhan bahkan melayani-Nya penuh waktu saat ini. Satu hal yang menurutku perlu untuk kita renungkan dan pikirkan secara pribadi: Sudahkah aku sungguh-sungguh menghidupi iman Kristen?

Menghidupi iman Kristen bukan berbicara soal rajin ke gereja dan baca firman saja, tetapi bagaimana kita punya relasi yang sungguh dengan Allah, memiliki kegairahan untuk mengenal Tuhan, sehingga kerohanian dan iman kita semakin bertumbuh. Timotius adalah seorang pelayan Tuhan yang masih sangat muda, dan imannya adalah warisan dari ibu dan neneknya (2 Tim 1:5). Namun, hal ini bukan membuat Timotius menjadi ‘orang Kristen Warisan’ yang lantas menjalani imannya tanpa sungguh-sungguh berjumpa dengan Tuhan. Paulus mengingatkan agar Timotius tetap setia untuk menghidupi imannya, merasakan kasih karunia Tuhan, dan bersaksi tentang semua itu (2 Tim 6-8).

Secara pribadi ini mengingatkanku sebagai seorang Kristen dan pelayan Tuhan yang telah mewarisi iman dari generasi-generasi sebelumku, untuk sungguh-sungguh merasakan dan berjumpa dengan kasih karunia Tuhan sehingga menggerakkanku untuk bersaksi dan memberitakan Injil Tuhan kepada orang lain.

Bagiku, bagaimana aku mau bercerita kalau bakso A sungguh-sungguh enak, kalau aku belum pernah mencobanya? Bagaimana aku mau bersaksi tentang kasih dan kebaikan Tuhan, jika aku tidak pernah secara pribadi sungguh-sungguh bertemu dan merasakan kasih dan kebaikan Tuhan terlebih dahulu?

Iman dan pengalaman pribadi bersama Tuhan harus kita wariskan dan teruskan kepada generasi-generasi setelah kita dan orang-orang di sekitar kita, tetapi penting untuk kita terlebih dahulu mengalami dan menghidupi iman Kristen. Aku yakin, jika kita sungguh-sungguh mengalami dan merasakan kasih karunia Tuhan, maka kita tidak akan tahan untuk tidak menceritakan pengalaman iman bersama Tuhan.

So, Jangan Berhenti di Kamu! Ceritakan tentang pengalaman imanmu dan perjumpaan pribadimu dengan-Nya kepada orang lain ya!

SOLI DEO GLORIA!

Bolehkah Orang Kristen Mendengar Musik Sekuler?

bolehkah-orang-kristen-mendengar-musik-sekuler

Oleh Ruth Lidya Panggabean, Depok

Kita hidup di tengah dunia yang telah jatuh ke dalam dosa. Oleh karenanya, kita tidak perlu heran ketika menemukan musik-musik, buku-buku, maupun tontonan yang tidak sesuai dengan standar Alkitab. Lalu, apakah itu berarti kita hanya boleh mendengarkan dan menyanyikan lagu-lagu rohani saja? Apakah semua musik yang kita labeli sebagai musik sekuler akan membawa kita ke dalam dosa?

Sebelum menjawab pertanyaan itu, ada 3 ayat Alkitab yang perlu kita cermati ketika mempertimbangkan sebuah lagu, buku, film, atau hal-hal lainnya.

1. “Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu” (Filipi 4:8).

Ada sebuah cara yang baru-baru ini aku terapkan kepada diriku sendiri. Sebelum mendengarkan suatu lagu, aku akan membaca keseluruhan liriknya tanpa diikuti musik terlebih dahulu, lalu aku akan bertanya kepada diriku sendiri. Apakah aku setuju dengan pesan yang diangkat dalam lagu itu? Apakah tidak masalah jika aku mengucapkan lirik lagu itu ke dalam percakapan sehari-hari?

Sebelumnya, aku bukan orang yang terlalu peduli pada lirik lagu. Selama aku menyukai melodinya, terlebih jika lagu tersebut berada di urutan tangga lagu teratas dan didengarkan oleh banyak orang, aku tidak mau ketinggalan untuk menyanyikannya. Aku juga suka menggunggah video nyanyianku ke media sosial.

Baru ketika aku mengikuti sebuah kamp penulisan lagu setahun yang lalu, aku belajar bahwa setiap penulis lagu memiliki cerita di balik karya-karyanya dan bertujuan untuk membagikan pesan-pesan tertentu. Musik mempengaruhi hati, jiwa, dan pikiran kita lebih dari apa yang kita sadari. Tidak hanya mempengaruhi mood, musik juga bisa mempengaruhi cara pandang kita mengenai sesuatu. Sebagai pendengar, kita memerlukan kepekaan rohani untuk meneliti apakah pesan dan cerita tersebut berpadanan dengan Injil atau tidak.

Dulu, ketika aku pernah mengalami patah hati, ada beberapa lagu sekuler yang kuputar terus menerus karena liriknya persis dengan kisahku. Bukannya menguatkan, lagu tersebut hanya membuatku semakin larut dalam pusaran kesedihan. Belakangan aku baru tahu bahwa Amsal 25:20 sudah pernah mencatat hal ini: “Orang yang menyanyikan nyanyian untuk hati yang sedih adalah seperti orang yang menanggalkan baju di musim dingin, dan seperti cuka pada luka.” Sebenarnya, tidak ada yang salah dengan lagu yang aku nyanyikan itu. Hanya, di tengah perasaan sedih yang kualami, aku terlalu meresapi liriknya yang puitis dan nadanya yang melow. Bukannya menjadi semangat, aku malah semakin larut dalam kesedihan.

Seringkali, dengan cepat kita segera larut oleh musik yang apik dan kalimat-kalimat puitis hingga kita mengabaikan apa yang jadi pesan utama dari lagu tersebut. Kita mesti jeli menelisik konsep-konsep apa yang terkandung dalam sebuah musik. Di sisi lain, dengan menggunakan prinsip ini, kita juga bisa menemukan lagu-lagu sekuler yang mengandung pesan dan cerita yang tidak bertentangan dengan firman Tuhan. Lagu-lagu semacam ini biasanya memberikan inspirasi dan nuansa positif untuk hati kita.

2. “‘Segala sesuatu diperbolehkan.’ Benar, tetapi bukan segala sesuatu berguna. ‘Segala sesuatu diperbolehkan.’ Benar, tetapi bukan segala sesuatu membangun” (1 Korintus 10:23).

Alkitab memang tidak melarang kita mendengarkan jenis musik tertentu, tapi alangkah baiknya apabila kita mampu bersikap bijak untuk memilih lagu-lagu mana yang akan kita dengarkan. Kekristenan bukanlah sekadar rangkaian peraturan mengenai mana yang boleh dan mana yang tidak. Lebih dari itu, Kekristenan adalah tentang relasi Allah dengan manusia. Setiap pilihan dalam keseharian kita, termasuk dalam memilih lagu, mencerminkan kedekatan kita dengan Allah.

Analoginya seperti berikut. Alkisah, hiduplah dua ekor serigala. Serigala pertama melambangkan kegelapan dan dosa. Serigala kedua melambangkan iman dan kasih. Suatu hari, kedua serigala itu berkelahi. Menurutmu, serigala manakah yang akan menang?

Jawabannya adalah serigala yang paling banyak diberi makan.

Pilihannya tetap kembali kepada kita, bagian mana dari hidup kita yang hendak kita bangun.

Ketika aku mengalami patah hati, kuakui bahwa kesedihanku bertambah bukan akibat kesalahan pihak penulis lagu, penyanyi, atau industri musik. Aku sendirilah yang mestinya lebih mencari kebenaran mengenai kasih Allah lewat pendalaman firman Tuhan.

Setiap hari waktuku untuk mendengarkan musik tidaklah terlalu banyak. Oleh karena itu, aku menyadari bahwa aku lebih membutuhkan musik yang dapat terus mengingatkanku akan Allah di tengah padatnya rutinitas dan aktivitas.

Saat ini, dengan berkembangnya teknologi, kita bisa dengan mudah menikmati lagu-lagu yang kita inginkan tanpa harus bersusah payah membeli CD atau kasetnya di toko. Ada lagu-lagu rohani dan juga lagu sekuler yang bisa kuputar di ponselku untuk sesekali kudengarkan. Lagu rohani favoritku saat ini adalah lagu-lagu dari tim pelayan musik asal Indonesia, Symphony Worship. “Kunyanyi Haleluya” adalah salah satu lagu mereka yang menguatkanku di saat banyak kekhawatiran melanda jiwaku. Sedangkan, lagu sekuler yang sedang kunikmati adalah lagu-lagu Monita Tahalea di album Dandelion. Lagunya yang berjudul “Tak Sendiri” selalu bisa mengangkat semangat karena mengingatkanku akan sahabat-sahabat yang kukasihi dan mengasihiku.

3. “Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah, dan yang sempurna” (Roma 12:2).

Orang Kristen memang perlu meng-update dirinya dengan informasi terbaru sehingga bisa menjadi relevan dengan lingkungan sekitar. Untuk itulah kita diutus, yakni menjadi garam dan terang dunia, termasuk di sudut-sudut tergelap dalam industri musik sekalipun. Hanya saja, kita tidak harus selalu setuju pada apa yang kita tahu.

Jangan takut dianggap tidak keren hanya karena menolak satu-dua hal yang bertentangan dengan kehendak Allah. Bukan keserupaan dengan dunia yang harus kita kejar, tetapi keserupaan dengan Kristus. Pedoman kehidupan kita di dunia ini bukanlah dari musik rohani atau musik sekuler, tetapi dari firman Tuhan sendiri. Musik hanyalah sebuah sarana untuk kita bisa mencurahkan emosi ataupun membangkitkan semangat. Kepekaan kita terhadap firman Tuhan tentu dapat membantu kita untuk bijak dalam memilih musik mana yang hendak kita dengarkan.

Sampai saat ini, aku masih menggeluti minatku di bidang musik, termasuk menyanyikan lagu-lagu sekuler di acara tertentu, menggungah video-video cover di media sosial dan sesekali menonton konser untuk memperoleh referensi bermusik. Khusus teman-teman pegiat musik, aku tahu sulitnya mempertahankan idealisme Kristiani kita di lingkungan pergaulan, tapi itulah kesempatan bagi kita untuk membagikan nilai-nilai Kristus yang memang berbeda dari yang dunia tawarkan.

Bukan kesukaan dan penerimaan dari manusia yang kita cari, tetapi kesukaan dan pujian dari Allah ketika Dia melihat kita memaksimalkan karunia yang Dia berikan kepada kita. Dengan mengingat bahwa talenta kita berasal dari Dia, oleh Dia, dan untuk Dia, kita dapat tetap berkarya dengan cara yang bertanggung jawab.

Pada akhirnya, baik itu musik rohani ataupun sekuler, kita perlu peka untuk meneliti apakah lirik dan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang lagu itu selaras dengan firman Tuhan atau tidak. Apakah dengan mendengarkan lagu itu kita diingatkan lagi tentang kebaikan Tuhan dalam hidup kita? Setiap pilihan yang kita ambil dalam keseharian kita, termasuk dalam pilihan lagu, mencerminkan relasi kita dengan Allah.

Soli Deo Gloria!

Baca Juga:

Di Balik Potret Bahagia Media Sosial

Tatkala jariku asyik menjelajah Facebook atau media sosial lainnya, terkadang aku merasa iri terhadap teman-temanku. Aku pikir hidup mereka tampak amat berbahagia. Kemudian, aku membandingkannya dengan diriku sendiri: Mengapa hidupku begitu membosankan?

GitaKaMu: Bebas

Oleh Priskila Wowor

Aku bebas dari rasa kecewa
Aku bebas dari rasa takut

Menjadi kuat kar’na Dia
Bukan kita yang sanggup

Tapi kita yang disanggupkan

Aku bebas dari rasa kecewa
Aku bebas dari rasa takut

Menjadi kuat kar’na Dia
Bukan kita yang sanggup,
tapi kita yang disanggupkan..

Mengapa Aku Memutuskan untuk Tidak Berhubungan Seks Sebelum Menikah

mengapa-aku-memutuskan-untuk-tidak-berhubungan-seks-sebelum-menikah

Oleh Michele Ong, Selandia Baru
Artikel asli dalam bahasa Inggris : Is It Possible to Resist Sex in This Day and Age?

Aku memiliki pendirian yang teguh untuk menolak hubungan seks di luar pernikahan, dan tentunya ada risiko atas pendirian itu.

Aku sering dianggap aneh oleh teman-teman ketika mereka tahu tentang pendirianku itu. Mereka seringkali mengatakan padaku, “Tapi, kamu harus mencobanya supaya kamu tahu apakah kamu cocok dengan pasanganmu atau tidak.”

Tak hanya temanku, beberapa mantan pacarku juga berkeyakinan kalau melakukan hubungan seks di luar pernikahan itu tidak masalah selama dilakukan atas dasar cinta dan sama-sama mau melakukan. Aku baru berusia 16 tahun ketika mulai berpacaran dengan pacar pertamaku. Waktu itu, aku tidak yakin aku sudah cukup dewasa untuk membuat sebuah keputusan yang serius seperti itu. Tapi, mereka tetap saja mendesakku.

Mereka memberiku berbagai alasan, “Jika kamu mencintai aku…”, “Semua teman-temanku yang lain juga melakukannya dengan pacar mereka, aku jadi merasa terkucilkan”, atau “Sepertinya kita ketinggalan zaman, ya?” Salah satu mantan pacarku percaya bahwa Tuhan tak seharusnya lagi mengharapkan pasangan di zaman modern ini untuk menunggu hingga hari pernikahan mereka untuk berhubungan seks, karena kini orang-orang menikah di usia yang semakin tua.

Kemudian aku membayangkan jika diriku hamil akibat berhubungan seks di luar nikah, itu tentu mengerikan. Aku lebih memilih untuk duduk di kelas dan mengerjakan ujian akuntansi berulang-ulang daripada harus hamil di usiaku yang ke-16 tahun.

Mungkin kamu akan berpikir kalau penolakanku terhadap seks di luar nikah itu akibat dipengaruhi oleh orangtuaku atau karena aku takut masuk neraka. Tebakanmu salah. Orangtuaku hanya pernah sekali mengingatkanku untuk tidak melakukan hubungan seks sebelum menikah, dan itu ketika aku menonton film Titanic saat aku berusia 12 tahun. Ketika ada adegan intim Jack bersama Rose, ibuku berkata, “Jangan lakukan itu, itu tidak baik.” Hanya itu saja yang pernah ibuku katakan.

Tidak tahu kenapa, kata-kata yang diucapkan oleh ibuku itu terngiang-ngiang di pikiranku, dan aku tetap berpegang pada pendirianku menolak hubungan seks di luar nikah bertahun-tahun setelahnya. Beberapa orang yang mendengar pendirianku itu terkadang merasa skeptis, tidak yakin kalau aku mampu berpegang teguh pada pendirian itu.

“Kamu rohani sekali, ya?” ejek mereka.

Sejujurnya, kalau aku menolak hubungan seks di luar nikah hanya untuk mematuhi hukum Taurat, aku mungkin takkan kuat menghadapi banyaknya tekanan yang ada. Namun secara pribadi, aku punya keyakinan kalau seks itu sangat sakral, sehingga aku sangat protektif menjaga diriku. Saat aku bertumbuh semakin dewasa, keyakinanku ini membuatku lebih mudah menguji apakah seorang lelaki ini layak dipacari atau tidak. Kalau dia tidak siap menerima pendirianku untuk tidak berhubungan seks sebelum menikah, tentu dia takkan menjadi pacarku.

Ketika aku berpacaran dahulu, mantan pacarku mengatakan kalau dia tidak bisa menjalin relasi ini tanpa melakukan hubungan seks. Dia berargumen, jika aku tidak mau berhubungan seks dengannya, bagaimana mungkin dia dapat yakin kalau aku adalah belahan jiwanya. Tanpa sepatah kata pun, aku pulang ke rumah dan menyadari bahwa hubungan ini tidak bisa diteruskan lagi.

Harus kuakui, terkadang aku pernah berpikir untuk melonggarkan sedikit pendirianku tentang hubungan seks sebelum pernikahan supaya hidupku bisa menjadi lebih mudah. “Mengapa memilih gaya hidup yang kaku ini?” tanyaku pada diri sendiri. Bagaimanapun, kita hidup di dunia yang menganggap seks di luar nikah adalah sebuah hal yang normal, dan menunda hubungan seks sampai waktu menikah adalah sesuatu yang aneh.

Tapi, bagaimana pendapat Tuhan mengenai seks?

Dalam sebuah buku yang berjudul “Laugh Your Way to a Better Marriage”, pendeta Amerika Mark Gungor mengatakan bahwa seks adalah ciptaan Tuhan. Dia menuliskan dalam bukunya, “Tuhanlah yang menciptakan tubuh kita untuk dapat merasakan sensasi ketika disentuh dan dibelai. Dia jugalah yang menciptakan kemampuan untuk orgasme. Seks adalah anugerah dari Tuhan.”

Namun, Alkitab juga memberitahu kita bahwa Tuhan menciptakan seks untuk dinikmati di dalam wadah pernikahan (Ibrani 13:4). Menikmati seks harus dilakukan dalam konteks yang benar karena itu berkaitan dengan keintiman yang tidak bisa dinikmati dalam sembarang relasi. Tuhan menciptakan seks untuk kebaikan kita dan Dia juga memerintahkan kita supaya tidak membangkitkan hasrat seks itu sebelum waktunya yang tepat tiba (Kidung Agung 8:4). Kita juga harus menghindari perbuatan seksual yang menyimpang karena sejatinya tubuh kita adalah bait Allah dan kita telah dibeli dengan harga yang teramat mahal—darah Yesus yang berharga (1 Korintus 6:18-20).

Aku memandang perintah Tuhan untuk tidak melakukan seks di luar pernikahan adalah seperti mendengar orang tua kita mengatakan untuk tidak membuka kado ulang tahun kita sebelum hari ulang tahun kita tiba. Seperti sebuah kado ulang tahun, pandanglah hubungan seks itu sebagai hadiah pernikahan dari Tuhan untuk suami dan istri yang baru menikah, dan untuk dibuka setelah mereka resmi menikah. Tapi, jika kamu tetap membuka hadiah itu sebelum hari ulang tahunmu, kamu mungkin akan kehilangan sukacita besar ketika hari ulang tahunmu itu tiba.

Ingatlah, Tuhan bukannya anti terhadap seks. Alasan Dia meminta kita menghindari hubungan seks yang tidak seharusnya bukanlah karena Dia menganggap bahwa seks itu buruk. Dia tahu yang terbaik bagi kita dan Dia menginginkan kita mendapatkan pengalaman seks yang terbaik, yaitu seks yang dilakukan dalam wadah pernikahan.

Baca Juga:

Mengapa Aku Berada dalam “Friend-Zone” Selama 15 Tahun

15 tahun bukanlah waktu yang singkat, tapi selama itulah Amy berada dalam “friend-zone”. Pengalaman itu membuatnya belajar bahwa sebuah hubungan yang baik kadang diawali dari pertemanan.

Sungguhkah Menikah Seindah di Film? Inilah Pengalamanku Setelah 5 Bulan Menikah

Sungguhkah-Menikah-Seindah-di-Film-Inilah-Pengalamanku-Setelah-5-Bulan-Menikah

Oleh Juli Vesiania, Denpasar

“And they live happily ever after.”

Begitulah gambaran yang aku dapat dari film-film ketika dua insan bersatu dan memasuki kehidupan bersama dalam pernikahan. Di negeri dongeng, pernikahan seringkali digambarkan sebagai sebuah hal yang indah, memukau, dan menawan hati. Namun, bagaimana kenyataannya? Inilah sepenggal pergumulanku yang ingin aku bagikan seputar pernikahanku.

Aku ingin menikah di usia muda

Ketika aku masih SMA, aku berikhtiar untuk menikah muda. Alasanku saat itu sederhana saja, aku merasa jika usiaku dan usia anak-anakku tidak terpaut jauh, aku bisa menjadi sahabat bagi mereka, sama seperti ibuku yang menjadi sahabat bagiku. Selain itu, sejak kecil film-film animasi Disney favoritku membuatku membayangkan menjadi ratu sehari dalam pernikahan adalah sesuatu yang menyenangkan. Pernikahan menjadi sebuah mimpi yang ingin kuwujudkan.
Namun, ketika akhirnya kesempatan untuk menikah itu datang saat aku berusia 24 tahun, aku baru menyadari bahwa mengambil keputusan untuk menikah dan menjalankan pernikahan bukanlah sesuatu yang mudah.

Pergumulanku sebelum pernikahan

Pernikahan adalah hal yang sangat penting dan sakral karena hanya dilakukan sekali seumur hidup. Artinya, siapa pun yang menjadi pasangan hidupku haruslah orang yang benar-benar tepat. Tidak boleh ada kata-kata “aku telah menyesal memilih dia”, atau “aku telah salah memilih pasangan hidup”.

Pikiran itulah yang menjadi kekhawatiranku ketika aku perlu mengambil keputusan untuk menikah. Berbagai pertanyaan berkecamuk dalam pikiranku. Apakah sungguh dia orang yang tepat? Apakah dia dari Tuhan? Apakah aku yakin bisa hidup bersamanya? Apakah aku orang yang tepat untuknya? Apakah aku bisa menjadi penolong untuknya? Terlalu banyak pertanyaan “apakah” yang ada dalam pikiranku kala itu.

Kala pertanyaan-pertanyaan itu membuatku galau, aku diingatkan akan alasan mengapa aku mau berpacaran dengan pasanganku itu. Bagiku, kita harus selektif dalam memilih pacar, karena sesungguhnya pacar adalah calon pasangan hidup kita. Oleh karena itu, sebelum kami berpacaran, aku telah menanyakan berbagai pertanyaan dasar kepada calon pasanganku. Apakah dia orang yang takut akan Tuhan? Apakah dia orang yang bertanggung jawab? Bagaimana jika hubungan ini berlanjut ke pernikahan? Ketika aku mengingat kembali alasan aku mau berpacaran dengannya, dan juga setelah mengenal dia lebih baik lagi selama kami berpacaran, aku akhirnya setuju untuk menikah dengannya.

Pergumulanku setelah pernikahan

Setelah melewati masa galau saat aku memutuskan untuk menikah, aku mengalami masa galau lainnya setelah aku masuk ke dalam pernikahan. Aku menjadi mengerti, pernikahan bukanlah tentang sebuah pesta. Pernikahan adalah tentang kehidupan setelah pesta berakhir.
Kehidupan pernikahan adalah sebuah kehidupan di mana dua manusia dengan latar belakang yang berbeda mencoba untuk hidup bersama. Sulit? Kurasa “sulit” bukan kata yang tepat. “Menantang” adalah kata yang lebih cocok menggambarkannya.

Ada beberapa perbedaan yang kurasakan sebelum dan sesudah menikah. Sebelum menikah, kami hanya ketemu sesekali saja, sehingga perbedaan kami tidaklah terlalu mengganggu kami. Namun, setelah pernikahan kami hidup bersama-sama. Tiba-tiba, perbedaan yang ada menjadi semakin mencolok.

Aku suka makanan bercita rasa asin, tapi suamiku suka makanan bercita rasa manis. Hal itu menjadi begitu merepotkan karena kini kami sering makan bersama. Saat kami keluar mencari makan, kami harus mempertimbangkan selera masing-masing orang. Ketika masak di rumah pun, aku harus membuat dua menu yang berbeda, yang memenuhi selera masing-masing. Saat pacaran, lebih mudah untuk bertoleransi karena kami hanya sekali-sekali makan bersama. Tapi setelah kami menikah, perbedaan ini menjadi hal yang harus kami hadapi seumur hidup.

Contoh lainnya adalah mengenai waktu tidur. Aku adalah ibarat “ayam jago” yang energinya keluar di waktu pagi. Jadi, aku tidur lebih awal, dan bangun lebih pagi untuk beraktivitas. Berbeda dengan suamiku, dia adalah ibarat “kelelawar malam” yang banyak beraktivitas di malam hari. Hal ini menjadi masalah karena kami tidur sekamar. Tengah malam, suamiku masih menyalakan lampu dan melakukan aktivitasnya. Kadang itu membuatku menaruh guling menutupi telingaku dan berseru kepadanya, “Matikan lampunya, aku mau tidur!”

Hal-hal yang kutemui di masa awal pernikahanku ini mungkin terlihat seperti permasalahan yang sepele. Tapi jika kita tidak dapat menyelesaikannya dengan baik, hal itu bisa berakibat fatal.

Inspirasi yang menjawab pergumulanku

Suatu hari, aku menemukan sebuah doa yang pernah dicetuskan oleh seorang teolog Amerika Reinhold Niebuhr. Doa itu begitu indah dan memberiku pencerahan untuk menyikapi permasalahan yang ada dalam pernikahanku dengan bijak. Berikut adalah isi doanya:

Tuhan, berikan aku damai sejahtera untuk menerima hal yang tak dapat kuubah,
berikan aku keberanian untuk mengubah yang dapat kuubah,
dan berikan aku hikmat untuk mengetahui perbedaan dari kedua hal itu.

Membaca doa di atas mengingatkanku bahwa ada hal-hal yang tak dapat kita ubah, dan untuk hal-hal semacam itu, kita perlu beradaptasi dan menerimanya. Aku tak dapat mengubah suamiku yang merupakan “orang malam”. Yang dapat kulakukan adalah beradaptasi dan menerimanya. Aku pun membiasakan diri untuk tidur dengan lampu yang menyala.

Selain itu, aku juga diingatkan oleh sebuah ayat Alkitab berikut ini:

“Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang.” (Roma 12:18)

Ayat itu mengingatkanku bahwa untuk hidup dalam perdamaian, usahakanlah itu. Kadang hal itu menjadi sebuah tantangan ketika keinginanku berbeda dengan keinginan suamiku. Oleh karena itu, aku menyadari bahwa dalam beberapa hal, jika itu hanya menyangkut keinginanku, aku perlu berkompromi. Berkompromi berarti kita akan melakukan hal-hal yang mungkin tidak kita sukai, karena hal itu penting bagi pasangan kita. Agar perdamaian itu dapat terwujud, perlu ada setidaknya salah satu yang mengalah.

Ketika memasak, aku merelakan diri untuk lebih repot dengan dua kali memasak untuk memastikan kebutuhan cita rasa suamiku dan diriku yang berbeda dapat terpenuhi. Begitu pula dengan masalah lampu kamar. Ketika aku perlu tidur cepat dan mematikan lampu, suamiku mengalah dengan beraktivitas di luar kamar. Ketika kami saling berkompromi, itu sangat membantu kami untuk menciptakan sebuah pernikahan yang harmonis. Perbedaan-perbedaan yang ada pun tidak terasa terlalu mengganggu lagi.

Pernikahan bukan untuk mengejar kebahagiaan

Aku mengingat sebelum menikah aku sempat membaca sebuah buku karangan Gary Thomas yang berjudul “Sacred Marriage”. Dalam buku itu, Gary Thomas berkata bahwa tujuan pernikahan bukanlah untuk mengejar kebahagiaan. Pernikahan adalah suatu sarana yang diciptakan Allah untuk menguduskan manusia agar semakin serupa dengan-Nya.
Jika seseorang ingin menikah, dia harus siap untuk melalui proses pemurnian dan pembentukan Allah. Kebahagiaan bukanlah tujuan, melainkan bonus yang diberikan Allah ketika kita melalui proses-Nya.

Itulah yang kualami dalam lima bulan pertama dalam pernikahanku. Aku merasa Tuhan sedang menguduskanku dan membentukku menjadi pribadi yang lebih baik melalui setiap masa suka dan duka yang kualami dengan suamiku. Meski ada riak-riak perbedaan karakter dan kebiasaan yang muncul setiap hari, aku dapat menjalaninya dengan sukacita, karena aku percaya itu adalah proses pemurnian dan pengudusan Tuhan bagiku dan pasanganku.

Jadi, apakah menikah itu indah? Jawabannya adalah ya. Tetapi bukan indah dalam pengertian tidak ada masalah, hidup damai, dan semua senang seperti yang dipertontonkan di film-film. Melainkan, indah karena iman dan pengenalanku akan Tuhan boleh semakin bertumbuh, dan karakterku diproses dari hari ke hari.

Aku sungguh berharap bahwa pernikahan yang kami bangun ini diperkenan Tuhan untuk menjadi berkat bagi anak-anakku kelak dan pasangan-pasangan lain. Kiranya keluarga yang kami bangun ini menjadi keluarga yang takut akan Allah, dan kiranya kelak anak-anak kami dapat menjadi pewaris kerajaan Allah.

Baca Juga:

Mengapa Aku Masih Single?

Aku sedang duduk di bangku gereja mendengarkan khotbah pendeta kami ketika pandanganku tertuju pada sepasang kekasih yang duduk beberapa baris di depanku. Tidak jelas apakah sang perempuan sedang bersandar di bahu sang lelaki, atau sang lelaki sedang mengecup kening sang perempuan, namun pemandangan itu mengalihkan perhatianku.