Mengupas Mitos Work-Life Balance: Di Manakah Tempat Pekerjaan dalam Kehidupan?

Oleh Jefferson, Singapura

Tidak terasa kita sudah memasuki paruh kedua tahun 2020. Terhitung bulan ini, oleh karena pandemi COVID-19, aku sudah menghabiskan lebih banyak waktu bekerja dari rumah (~4 bulan) daripada di kantor (3 bulan) tahun ini. Walaupun aku nyaman-nyaman saja dengan pengaturan kerja yang baru, aku merasa jauh lebih sibuk dibandingkan dengan sebelum bekerja dari rumah. Dari segi pekerjaan, waktuku jadi banyak dipakai untuk berdiskusi dengan timku untuk memastikan bahwa kami masih memenuhi tenggat waktu dari berbagai proposal dan proyek yang kami kerjakan. Pelayanan pun padat; aku memimpin kelompok pemuridan atau grup baca setiap minggu, menghadiri dan mengajar di ibadah remaja yang diadakan lewat Zoom, dan mengkoordinasi Bulan Pemuridan di gerejaku. Ada juga proyek pribadi seperti membaca buku dan menulis untuk WarungSaTeKaMu dan blog.

Ketika aku membagikan berbagai kesibukanku ini dengan kelompok pemuridanku, seorang anggota berkomentar, “Santailah Jeff, rasanya kamu terlalu memaksakan diri.”

Mendengar tanggapannya, aku jadi sempat cemas kalau-kalau aku jatuh lagi ke dalam sisi gelap pelayanan seperti yang kualami di bulan September tahun lalu. Namun setelah benar-benar mengevaluasi kondisiku saat ini, aku menemukan diriku baik-baik saja. Perihal disiplin rohani, saat teduh dan doaku berjalan lancar setiap hari. Secara emosi aku cukup diletihkan oleh beberapa pertikaian baik dengan kolega maupun rekan pelayanan, tetapi Allah dalam kasih karunia-Nya selalu menyelesaikan konflik-konflik yang kuhadapi dengan damai dan memberikanku kekuatan untuk melaluinya dengan kasih dan kerendahan hati. Secara fisik terkadang aku merasa sangat lelah, tapi aku selalu bisa tidur nyenyak selama 6–7 jam setiap malam dan menyisihkan waktu untuk berolahraga. Dan, yang paling penting, aku menikmati hadirat Tuhan dalam mengerjakan semuanya itu.

Evaluasi ini menuntunku untuk memikirkan ulang satu konsep yang digaungkan keras di dunia masa kini: work-life balance. Secara singkat, konsep ini mengajarkan perlunya suatu keseimbangan antara kesibukan pekerjaan dengan kehidupan di luar karier agar kita dapat menikmati kehidupan sebagaimana mestinya. Betapa menariknya konsep ini, apalagi untuk konteksku di Singapura yang terkenal sibuk! Meskipun begitu, aku mengamati ada suatu kejanggalan dalam premis dasarnya. Apakah kamu melihatnya juga?

Memikirkan ulang ”keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan”

Pertama-tama kita perlu memperhatikan penggunaan kata “keseimbangan”. Kata-kata apa saja yang biasanya kamu asosiasikan dengan “keseimbangan”? Aku langsung terpikir: gelap dan terang, panas dan dingin, berlimpah dan langka. Bisa kamu amati polanya? Kata ini umumnya kita gunakan untuk mengilustrasikan pasangan kata yang berlawanan. Dan apa saja yang sedang diseimbangkan, atau yang digambarkan sebagai bertentangan satu sama lain, dalam konsep work-life balance? “[P]ekerjaan dan kehidupan”.

Setelah membaca paragraf di atas, kuharap kamu jadi mempertanyakan hal-hal yang sama denganku: ‭‭Bukankah pekerjaan adalah bagian dari kehidupan, sama seperti tidur, olahraga, istirahat, hubungan dengan keluarga dan teman, dan hal-hal lainnya? Mengapa pekerjaan perlu dibedakan dari dan diadu dengan kehidupan? Apakah ketika kita sedang bekerja, kita tidak sedang hidup, dan begitu juga sebaliknya, seolah-olah yang satu adalah “baik” sehingga patut kita sukai dan yang lain adalah “jahat” sehingga patut kita benci?

Begitu menyadari kejanggalan ini, aku jadi teringat Firman Tuhan dalam 1 Korintus 10:31 dan Kolose 3:23–24. Ayat-ayat ini memberikan sudut pandang yang jauh berbeda dari konsep work-life balance, di mana Tuhan mengajarkan kita untuk, dalam kata-kata terakhir almarhum J. I. Packer kepada gereja, “glorify Christ every way” (“muliakan Kristus dalam segala sesuatu”; 1 Kor. 10:31), termasuk dalam karier dan pekerjaan kita (Kol. 3:23) dengan kesadaran penuh bahwa kita sedang melayani Tuhan Yesus (Kol. 3:24).

Ketika kita membandingkan konsep work-life balance dengan pandangan Alkitab terhadap pekerjaan dan kehidupan, kita bisa melihat bahwa konsep ini, mengasumsikan intensi yang terbaik, adalah sebuah pengingat tentang pentingnya istirahat untuk orang-orang yang gila kerja (baca: aku). Di sisi lain, mengasumsikan yang terburuk, konsep work-life balance memandang pekerjaan sebagai sesuatu yang jahat dan harus diimbangi sebanyak mungkin dengan “kehidupan”, entah apapun bentuknya. Interpretasi terburuk ini tentunya tidak Alkitabiah karena Allah sendiri melihat pekerjaan sebagai sesuatu yang baik, buktinya selama penciptaan Ia bekerja selama enam hari, baru beristirahat (Kej. 1).

Walaupun secara niat konsep ini baik karena mengingatkan perlunya istirahat dari pekerjaan, kita telah melihat bagaimana presumsi dasar dari konsep work-life balance tidak sejalan dengan pandangan Alkitab. Kalau begitu, bagaimanakah pengikut-pengikut Kristus seharusnya memandang pekerjaan dan istirahat?

Integrasi yang dilandasi bulir-bulir gandum

Istilah “integrasi pekerjaan dalam kehidupan” yang kupinjam dari dunia bisnis adalah jawabanku terhadap pertanyaan terakhir. Mendengar “dunia bisnis”, kamu mungkin jadi khawatir kalau-kalau tulisan ini tidak berlandaskan Alkitab sama sekali. Tenang saja, aku hanya meminjam tidak lebih dari istilahnya. Konsep yang kuusulkan sendiri dilandasi oleh satu perikop Alkitab yang akan kita pelajari lebih lanjut.

Kamu tentunya akrab dengan konsep Sabat, di mana Tuhan memerintahkan kita untuk mengkhususkan satu hari untuk beribadah kepada-Nya dan “tidak melakukan sesuatu pekerjaan” apapun (Kel. 20:8, Ima. 23:3, Ula. 5:12–15). Di zaman Perjanjian Lama dan bahkan hingga saat ini, orang-orang Yahudi menginterpretasikan perintah ini secara harfiah: mereka benar-benar tidak melakukan hal-hal yang mereka anggap sebagai “pekerjaan” pada hari Sabat mereka (pernah dengar anekdot lift di Israel yang berhenti di setiap lantai pada hari Sabat?). Sementara itu, kita sebagai pengikut Kristus yang menerima Perjanjian Baru menghidupi Sabat dalam iman bahwa Ia adalah “Tuhan atas hari Sabat” (Mat. 12:8, Mrk. 2:28, Luk. 6:5). Apakah maksudnya?

Mari kita menilik asal muasal gelar ini sebagaimana diceritakan oleh Markus. Pada suatu hari Sabat, “Yesus berjalan di ladang gandum, dan sementara berjalan murid-murid-Nya memetik bulir gandum” (Mrk. 2:23) untuk dimakan (Mat. 12:1, Luk. 6:1). Apa yang para murid lakukan sebenarnya tidak melanggar hukum Taurat sama sekali (Ul. 23:24–25), namun orang-orang Farisi menganggapnya sebagai pelanggaran terhadap hukum Sabat (ay. 24). Tuhan Yesus menanggapi mereka dengan mengutip kisah Daud (ay. 25–26) yang melanggar Taurat (Im. 24:5–9) dengan memakan roti sajian (1 Sam. 21:1–6). Perhatikan bahwa Tuhan Yesus menekankan kepada orang-orang Farisi bahwa saat itu Daud dan rombongannya sedang “kekurangan dan kelaparan” (ay. 25). Atas dasar peristiwa ini, Tuhan Yesus kemudian mengingatkan bahwa “”Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat” (ay. 27) sebelum mengajarkan bahwa Ia adalah Tuhan atas hari Sabat (ay. 28).

Perikop di atas mengajarkanku bahwa kita memang perlu membedakan antara waktu bekerja dan beristirahat, tetapi dalam praktiknya kita harus memahami apakah kita memang sedang melakukan apa yang perlu dilakukan saat itu. Dalam kasus Daud dan murid-murid, Tuhan Yesus melihat bahwa mereka memang sedang membutuhkan makanan, maka Ia tidak melihat adanya pelanggaran terhadap hukum Taurat sama sekali. Justru Tuhan Yesus mengkritik orang-orang Farisi yang menginterpretasikan hukum Taurat dengan terlalu keras dan mengabaikan kebutuhan mereka yang membutuhkan. Terlebih lagi, Ia mengundang kita semua yang letih lesu dan berbeban berat untuk memikul kuk yang Ia pasang dan belajar dari-Nya (Mat. 11:28–29), sebab kuk-Nya itu enak dan beban-Nya pun ringan (ay. 30).

Mendalami “integrasi pekerjaan dalam kehidupan”

Sama halnya dengan pekerjaan dan istirahat dan kehidupan. Pemahaman work-life balance menggambar satu garis pemisah tebal antara ketiganya dan menuntut suatu keseimbangan mutlak nan abstrak tanpa memperhatikan kebutuhan tiap orang yang berbeda-beda. Di sisi lain, konsep work-life integration yang kuusulkan melihat bahwa Tuhan menciptakan pekerjaan untuk kemuliaan-Nya dan sukacita kita (Pkh. 3:12–13) sehingga kita patut mengintegrasikan pekerjaan dalam kehidupan. Sampai di sini kamu mungkin berpikir, “Kalau memang pekerjaan adalah bagian dari kehidupan, mengapa ia masih perlu diintegrasikan?” Karena ada dosa dalam dunia ini yang kadang membuat pekerjaan kita, dalam kata-kata Tim Keller dalam bukunya Every Good Endeavour, menjadi tanpa hasil (bdk. Kej. 3:17–19), sia-sia (bdk. Pkh. 2:17–20), egois (Tim Keller membahas bagian ini dari kitab Ester), dan menyingkapkan berhala-berhala yang kita sembah (bdk. 1 Tim. 5:10). Menghadapi realita pekerjaan yang Tuhan kutuk dalam dosa (Kej. 3:17), kata “integrasi” dipilih dan dipakai untuk mengingatkan bahwa realita itu bukanlah rancangan awal Tuhan dan bahwa Tuhan Yesus telah memulihkan rancangan awal itu kembali lewat karya keselamatan di atas kayu.

Lebih lagi, dalam konsep ini kita menanggapi panggilan Tuhan Yesus dalam Matius 11:28–30 dengan menanyakan satu pertanyaan kunci, “Apakah yang sedang aku lakukan saat ini adalah tindakan yang paling memuliakan Tuhan dan memberikanku sukacita-Nya?” Perhatikan implikasi dari pertanyaan itu, yang memberikan kepada kita keluwesan dalam bekerja dan beristirahat:

  1. Memberikan yang terbaik untuk kemuliaan Tuhan dan sukacita-Nya dalam pekerjaan dan aktivitas sehari-hari;
  2. Berserah kepada dan beristirahat di dalam Tuhan ketika sedang kelelahan; dan
  3. Ketika sudah disegarkan kembali oleh Tuhan, melakukan kembali poin 1.

Sejauh ini kita telah belajar bahwa hal pekerjaan dan istirahat bukan tentang keseimbangan tetapi bagaimana memaksimalkan waktu kita untuk memuliakan Tuhan dan menikmati-Nya dalam segala aspek kehidupan, termasuk pekerjaan (bdk. Ef. 5:15-16); bukan tentang mengikuti peraturan atau mengambil waktu istirahat, melainkan apakah kita benar-benar sedang melakukan apa yang perlu dilakukan saat itu.

Kamu jadi mungkin bertanya-tanya adakah aplikasi praktis dari konsep work-life integration yang bisa langsung kamu terapkan dalam kehidupanmu sehari-hari? Seperti yang telah kusebutkan, kebutuhan setiap orang berbeda-beda dan hanya kamu yang paling paham jadwal dan kebutuhanmu sendiri. Yang bisa kubagikan hanyalah prinsip-prinsip panduan dalam mengintegrasikan pekerjaan dalam kehidupan yang kuterapkan sendiri pada diriku, sebagai berikut.

Menghidupi integrasi pekerjaan dalam kehidupan

Yang pertama adalah mengkhususkan satu “hari” Sabat dalam satu minggu, biasanya hari Sabtu, di mana aku benar-benar tidak bekerja dan bergantung sepenuhnya pada kasih karunia Allah untuk mencukupkan dan menghidupiku sepanjang hari itu. Kusebut “hari” karena dalam pelaksanaannya lebih mirip satu periode 24 jam yang bisa lebih atau kurang. Ingatlah bahwa “Hari Sabat dibuat untuk manusia, bukan manusia untuk hari Sabat” (Mrk. 2:27), jadi jangan terlalu kaku mendefinisikan durasi “hari Sabat”-mu. Pada hari Sabatku, aku hanya akan melakukan aktivitas-aktivitas yang menyegarkanku – tentunya setelah bersaat teduh dan berdoa sebangunnya dari tidur malam – seperti berolahraga, memimpin kelompok pemuridan, menulis, membaca, mengikuti ibadah gereja kalau hari Sabat minggu itu adalah hari Minggu, dan bersekutu dengan teman.

Pada hari Sabat, usahakan untuk tidak memikirkan pekerjaan atau pelayanan; kalau perlu, kurangi frekuensi mengecek notifikasi di ponsel dan alihkan semua urusan yang mendesak untuk dibicarakan langsung lewat panggilan telepon. Perhatikan bahwa prinsip ini bukannya menganjurkan kita untuk tidak memikirkan pekerjaan dan pelayanan sama sekali; justru keduanya harus kita bawa kepada Tuhan di momen-momen doa dan saat teduh dan ibadah pribadi pada hari Sabat. Maksudku adalah karena fokus hari Sabat kita adalah bersekutu dengan Tuhan, jangan sampai karena kepikiran tentang keduanya kita malah jadi tidak menikmati Tuhan dan beristirahat dengan maksimal. Kesusahan sehari biarlah untuk sehari saja, dan kesusahan pekerjaan dan pelayanan biarlah untuk waktu bekerja dan melayani saja. Pekerjaan dan pelayanan tidak akan ada habisnya, tetapi kapasitas kita untuk bekerja dan melayani ada batasnya. Justru ketika kita sudah disegarkan kembali oleh Allah, kita akan jadi lebih efektif dalam pekerjaan dan pelayanan di hari/minggu berikutnya.

Yang kedua, aku mengadakan “Sabat mini” selama yang aku bisa setiap malam seusai kerja. Selain kegiatan-kegiatan di atas, waktu-waktu seperti ini juga kupakai untuk membaca perikop harian dari rencana baca Alkitab tahunanku. Masak dan makan malam bersama teman-teman sekos menjadi sorotanku untuk aktivitas dari prinsip kedua ini.

Yang ketiga, kalau benar-benar sedang sibuk, aku akan menukar beberapa slot Sabat mini ke slot-slot berikutnya. Intinya adalah menjadi sefleksibel mungkin dalam memberikan kadar yang secukupnya kepada waktu bekerja dan beristirahat sehingga dalam semuanya itu kita benar-benar memuliakan dan menikmati Allah semaksimal kita. Artikel ini seharusnya sudah selesai kutulis bulan Juni kemarin, namun karena kelelahan setelah mengalami beberapa minggu yang sangat sibuk di kantor dan di pelayanan, aku menunda tulisan ini ke bulan Juli. Pada akhirnya, aku butuh sekitar 4 minggu penuh istirahat untuk bisa kembali ke level semangat dan energi yang biasanya.

Melihat kembali 4 minggu yang kesannya tak menghasilkan buah apapun, aku bisa bilang bahwa masa itu termasuk “produktif” karena aku benar-benar fokus memulihkan kesehatan rohani, mental, dan fisikku. Kalau aku tidak benar-benar beristirahat, rasanya tulisan ini pun tidak akan selesai dengan kualitas yang kuinginkan. Menurutku istirahat tidak selalu berarti waktu untuk diriku sendiri, walaupun aku sering berolahraga ke taman sendirian, membaca buku dan komik, dan menonton serial TV kesukaanku sewaktu istirahat. Yang kumaksud dengan “istirahat” adalah segala kegiatan yang menyegarkan diri dan memberikan kita sukacita di dalam Tuhan, menyadari penuh bahwa kasih karunia-Nya terus menopang kita bahkan ketika kita tidak sedang bekerja, dan mengingat bahwa Tuhan Yesuslah yang mendefinisikan diri kita, bukan pekerjaan, pelayanan, ataupun istirahat. Buatku, ini berarti main games bersama teman-teman sekos, masak untuk tamu yang datang ke rumah, dan memimpin orang-orang di sekelilingku satu langkah lebih dekat menyerupai Tuhan Yesus lewat percakapan dan diskusi kami. Dengan definisi “istirahat” seperti itu, kita membuka ruang untuk tetap melayani orang-orang di sekitar kita di waktu istirahat.

Mungkin prinsip-prinsip yang kubagikan ini sudah terkesan baik dan bisa segera diterapkan dalam kehidupanmu, tetapi marilah kita mengarahkan hati untuk belajar kepada sang Teladan yang sempurna, Tuhan Yesus sendiri.

“Berlomba dengan tekun dengan mata yang tertuju kepada Yesus”

Dalam Matius 11:28–30, Tuhan Yesus mengklaim bahwa undangan-Nya dapat dipercaya karena Ia “lemah lembut dan rendah hati” dan Ia sendirilah yang akan mengajarkan kepada kita bagaimana cara membajak ladang dengan-Nya. Dengan mempertimbangkan klaim ini, dan karena konsep usulanku didasarkan pada identitas Yesus Kristus sebagai Tuhan (atas hari Sabat), ketahanan uji konsep ini hanya bisa dilakukan dengan menerima undangan-Nya dan belajar dari-Nya. Untuk melakukannya, tidak ada cara lain selain menerima Yesus sebagai Tuhan atas hidup kita dan membaca Alkitab, terutama kitab-kitab Injil, dengan tekun.

Kubagikan sedikit contoh dari kitab-kitab Injil yang menunjukkan betapa integralnya pekerjaan dan pelayanan Tuhan Yesus dalam kehidupan-Nya:

  • Di tengah-tengah kesibukan-Nya, Ia tetap meluangkan waktu pagi-pagi buta untuk bersekutu dengan pribadi Tritunggal yang lain (Mrk. 1:35) agar dapat menjalani hari-Nya sesuai dengan kehendak Bapa (Mrk. 1:36–39).
  • Pada hari Sabat yang lain, Ia menyembuhkan seorang yang mati tangan kanannya di rumah ibadat (Luk. 6:6–11), mengajarkan kepada kita bahwa pada hari Sabat pun kita harus tetap memperhatikan kebutuhan orang lain di sekeliling kita.
  • Ia tahu pasti kapan harus melintasi daerah Samaria sehingga dalam istirahat perjalanan-Nya di kota Sikhar Ia dapat bercakap-cakap dengan perempuan Samaria dan memimpin orang-orang di sana kepada pertobatan (Yoh. 4:1–42).
  • Ia dengan “lemah lembut dan rendah hati” membasuh kaki murid-murid-Nya pada malam sebelum penyaliban-Nya, memberikan teladan bagi kita untuk memuliakan Tuhan, bersukacita dalam-Nya, dan mengasihi sesama, bahkan dalam tugas-tugas tersepele sekalipun (Yoh. 13:1–20).

Melihat kehidupan dan teladan Tuhan Yesus “yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, … yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa” (Ibr. 12:2–3), tidaklah mengherankan bahwa penulis kitab Ibrani mendorong kita untuk “menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita … dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan” (Ibr. 12:1–2). Ya, mengintegrasikan pekerjaan dalam kehidupan “dengan mata yang tertuju kepada Yesus”; inilah yang kuharap terutama kamu pelajari dan terapkan melalui perenunganku.

Selamat mengintegrasikan pekerjaan dalam kehidupanmu dengan mengikuti teladan Tuhan Yesus!

Kasih karunia Tuhan Yesus menyertai kamu, soli Deo gloria.

Pertanyaan refleksi dan aplikasi:

  1. Bagaimanakah kamu melihat pekerjaan atau studimu selama ini, apakah sebagai sesuatu yang “baik” atau “buruk”, terutama ketika dibandingkan dengan pelayanan?
  2. Cara-cara apa saja yang bisa kamu terapkan untuk bisa memuliakan dan menikmati Allah dalam konteksmu saat ini, baik itu pekerjaan ataupun studi?
  3. Bagaimanakah pandanganmu terhadap “hari Sabat” selama ini? Sudahkah kamu memberikan diri sepenuhnya bergantung kepada Allah dan kasih karunia-Nya pada hari Sabatmu?
  4. Aktivitas apa saja yang bisa kamu lakukan di luar waktu-waktu pekerjaan/studi dan pelayanan untuk bisa “disegarkan kembali oleh Allah” sehingga jadi lebih efektif dalam pekerjaan/studi dan pelayanan di hari/minggu berikutnya?

Baca Juga:

Gwan-hee Lee: Melalui Kanker, Kristus Nyata Hidup di Tubuhku

Bagi Gwan-hee, hidupnya berjalan amat baik. Lulusan dari kampus ternama, kerja di perusahaan besar, dan menikah dengan istri yang baik. Tapi, tak sampai 100 hari setelah kelahiran anak pertamanya, Gwan-hee divonis menderita kanker usus besar stadium empat.

Bagikan Konten Ini
2 replies
  1. Monica
    Monica says:

    Sangat dibekat dan sangat relevan dengan kehidupan orang muda saat ini. Hiduplah untuk pulang, jangan selalu disibukkan, hingga kita lupa cara menikmatiNya.Thank you bang Jefferson, please email me if you are willing to share with me. God bless you..

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *