Posts

Tubuh yang Disayang

Hal-hal yang tiap hari kita lakukan—yang mungkin kita anggap remeh—nyatanya juga dapat memuliakan Tuhan.

Makan makanan sehat, istirahat secukupnya, olahraga dengan tepat merupakan segelintir cara kita menjaga pola hidup sehat. Tapi kalau makan aja kita masih nunda, terus istirahat kalau ada waktu, dan olahraga pas lagi pengen doang, sama aja bohong: tidak ada hasil yang dicapai.

Punya pola hidup sehat berarti punya pola hidup yang disiplin. Latihan konsistennya gak cuma sekali-dua kali atau pas kita pengen doang, tapi seterusnya, hingga jadi bagian yang gak terpisahkan dalam kehidupan kita sehari-hari. 

Nah, apa cara yang tepat agar kita bisa punya pola hidup sehat?

Yuk, simak di Podcast KaMu: “Investasi yang Sering Terabaikan: Merawat Tubuh” bersama dr. Lydia Tantoso, Sp.Pd, FINASIM. Klik di sini.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Dear Anak Muda: Kamu Perlu Istirahat!

Oleh Stacy Joy
Artikel asli dalam bahasa Inggris: When We Settle For Less Than Rest

Aku pernah merasa bersalah ketika jadwalku dalam sehari begitu sibuk. Bukan karena aku orang yang sungkan buat berkata “tidak”, tapi karena aku memang senang menikmati hari yang sibuk. Aku sudah berkeluarga, istri dari seorang hamba Tuhan, seorang penulis, kadang jadi pembicara, pemimpin kelompok PA dan ketua dari tim worship. Aku juga menjalankan usaha skala kecil sembari berusaha menjaga kehidupan rumah tanggaku seimbang. Dan… aku juga menempuh studi pascasarjana. Di tengah kesibukan itu, aku menjunjung gaya hidup sehat yang mencakup olahraga, tidur, dan berinvestasi waktu pada relasi dan komunitasku.

Tapi… menulis satu paragraf di atas saja rasanya membuatku ingin tidur siang. Banyak dari kita merasa familiar dengan kesibukan seperti yang kualami, atau bahkan lebih sibuk lagi. Cukup sulit menemukan waktu untuk mengurusi semuanya, apalagi menemukan waktu untuk istirahat teratur. Namun, aku menyadari ketika aku tidak menciptakan waktu untuk beristirahat, bukan hanya fokus dan kualitas pekerjaanku yang menurun, jiwaku pun benar-benar seperti kehabisan bahan bakar.

Kita sejatinya diciptakan untuk juga beristirahat. Istirahat itulah yang memungkinkan hidup damai dan puas.

“Hmm, iya juga sih. Tapi..” mungkin kamu punya sederet alasan di balik susahnya dirimu meluangkan waktu beristirahat. Kita perlu bertanya pada diri kita sendiri, “istirahat” seperti apa yang diri kita butuhkan?

Penting diingat bahwa istirahat itu tidak sekadar meluangkan waktu, tapi juga tentang cara melakukannya. Baru-baru ini suamiku, Andrew dan aku menyadari bahwa kami banyak menggunakan waktu luang kami untuk bermain HP, scroll terus media sosial, menonton, atau sesekali mengurusi pekerjaan.

Saat kami merenungkan kebiasaan itu, kami sadar bahwa selama ini kami telah mengupayakan istirahat yang salah. Bukannya istirahat supaya jadi lebih segar, kami malah membuang energi kami. Istirahat dengan cara yang salah ini bertentangan dengan apa yang Alkitab ajarkan (1 Petrus 5:8-14; 1 Korintus 16:14; Lukas 21:34-36). Istirahat sejati tidak ditemukan dalam menghentikan semua aktivitas atau kita tidak melakukan apa pun, melainkan ketika kita berhenti memfokuskan diri dari gangguan-gangguan yang ada dan kita menemukan kekuatan dengan tinggal bersama Kristus.

Di mana mendapat istirahat sejati?

Jadi, bagaimana kita sebagai orang-orang percaya bisa menemukan istirahat yang memulihkan? Alkitab banyak berbicara tentang beristirahat dan mengajak kita untuk pergi pada tempat di mana istirahat sejati ditemukan. Ada cara khusus, karena manusia juga diciptakan untuk beristirahat, yaitu di hadapan Pencipta kita.

Dalam Matius 11:28-29, kutemukan janji ini:

“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah dari-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat kelegaan.”

Kalimat, “kelegaan kepadamu” terdengar begitu penuh harapan dan memberi hidup buatku. Aku mendapat kelegaan ketika aku datang ke hadirat Tuhan, meletakkan bebanku di hadapan-Nya lewat berdoa, menyembah, merenungkan Alkitab, dan membaca buku-buku rohani. Semua ini bukanlah aktivitas pasif, tetapi tindakan aktif untuk mengejar Kristus yang sanggup memberi kita kelegaan dan pembaharuan.

Menjadikan istirahat sebagai disiplin

Kita harus mengupayakan istirahat sebagai bagian dari disiplin rohani. Sebagai seorang ibu dari anak-anakku yang masih kecil, aku sering mendengar ibu-ibu lain bercerita kalau mereka tidak punya waktu untuk membaca Alkitab. Aku sedih mendengarnya. Kita semua bisa menemukan alasan—aku juga kadang melakukannya—tapi kenyataannya adalah kita semua sanggup meluangkan waktu untuk apa yang kita anggap penting dan berkata “tidak” pada apa yang kurang penting.

Contohnya, jika kita melihat olahraga itu penting, kita bisa menolak ajakan lain seperti sekadar nongkrong. Jika punya waktu berduaan dengan pasangan itu penting, kita akan menolak ajakan-ajakan lain. Ketika punya waktu pribadi bersama Tuhan itu kita anggap penting, kita punya alasan untuk menolak bermalas-malasan, pergi menonton, atau nongkrong dengan teman-teman.

Setelah kami sadar bahwa selama ini kami telah beristirahat dengan cara yang tidak tepat, aku dan suamiku membangun kebiasaan bangun jam lima pagi setiap hari untuk bersaat teduh, satu jam sebelum anak-anak bangun. Perubahan sederhana ini memberi kami hidup yang terasa lebih hidup. Ada perubahan sikap yang terjadi pada kami, mulai dari cara kami mengasuh anak hingga relasi kami berdua sebagai pasangan.

Apakah selalu menyenangkan? Tentu tidak.

Apakah aku ingin mematikan alarm dan menutup kepalaku dengan bantal? Hampir tiap hari.

Tapi, inilah arti disiplin. Kita mungkin harus memaksa diri kita dengan keras di awal-awal, tetapi jika kita konsisten, kita akan menjadikan aktivitas ini sebagai sesuatu yang kita rindu untuk lakukan karena menikmati waktu bersama Tuhan itulah yang jadi salah satu tujuan kita diciptakan. Waktu bersama Tuhan itu harus kita prioritaskan dan terkadang memang harus kita rencanakan.

Mengenali, memahami, dan melakukan istirahat sejati tidak berarti kita mengabaikan istirahat secara fisik karena keduanya tidak terpisahkan. Menghampiri hadirat Tuhan juga perlu dibarengi upaya aktif kita untuk menjadikan istirahat fisik sebagai kebutuhan, bukan pertanda kemalasan. Mengurangi waktu-waktu bermain gawai, mengonsumsi makanan sehat berimbang, berolahraga teratur, dan tidur cukup adalah bukit bahwa kita mengasihi diri sendiri dan menghargainya sebagai anugerah Tuhan.

Hidup tidak akan berubah jadi lebih lambat. Setiap musim membawa serta tantangan baru, sukacita baru, bahkan alasan stres yang baru. Jika kita tidak sungguh-sungguh, hidup akan berlalu begitu saja, musim akan berganti, dan tiba-tiba 10 tahun sudah berlalu dan kita lantas menemukan diri kita sangat lelah dan jauh dari Tuhan.

Kiranya kita menemukan kelegaan dan kepuasan sejati di dalam dekapan Pencipta kita seperti yang pemazmur katakan, ”Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah” (Mazmur 42:2).

Menjadi Produktif Tidak Berarti Mengabaikan Waktu-waktu Beristirahat

Oleh Sarah Tso
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How To Rest Without Feeling Guilty

Teman-temanku mengenalku sebagai seorang yang sangat produktif. Aku tumbuh besar di keluarga yang selalu mengingatkan anggotanya untuk “jangan cuma diam saja.” Alhasil, beristirahat menjadi aktivitas yang tak kusuka karena kuanggap sebagai “nggak ngapa-ngapain”. Dalam kamus hidupku, setiap hari pasti ada sesuatu yang bisa kulakukan.

Terlepas dari budaya keluarga yang menghargai produktivitas setiap waktu, hal lain yang membuatku enggan menikmati momen-momen jeda atau istirahat adalah media sosial. Kita melihat teman kita memposting hobi atau prestasi (naik jabatan, menikah, punya anak), dan kita lantas membandingkan diri kita dengan mereka. Sebelum kita sadar, kita sudah terjebak dalam perangkap membanding-bandingkan.

Kita juga sulit mengendalikan diri kita sendiri. Kita merasa lebih berpengalaman dan bisa melakukan pekerjaan yang lebih baik. Akhirnya, alih-alih mendelegasikan tanggung jawab ke orang lain, kita malah menanggungnya sendirian.

Ketika hari yang kita jalani terasa kurang produktif menurut pandangan kita, kita pun merasa bersalah dan berpikir: “harusnya aku bisa melakukan lebih”, “duh, aku gak fokus lagi”. Belum cukup sampai di situ, kita lalu khawatir akan hari esok: “Mending aku kelarin semua sekarang, atau besok malah numpuk.” Jadi, bagaimana kita bisa menikmati momen istirahat yang tenang tanpa khawatir?

Allah menghendaki kita untuk beristirahat, dan pemahaman ini membawaku merenung tentang Yesus, tentang bagaimana Dia menjalani hidup-Nya semasa di bumi. Juruselamat kita tahu batasan-batasan dalam tubuh manusia. Dia berfokus pada misi-Nya, tapi Dia tahu Siapa yang sungguh memegang kendali. Itulah mengapa Yesus mengerti bagaimana cara beristirahat.

Inilah 3 poin yang kupelajari:

1. Fokuslah pada misi utama hidup dan karuniamu supaya kamu tidak mengiyakan segala sesuatu

Ketika Yesus melayani di bumi, Dia tidak memaksa diri-Nya untuk menyembuhkan semua orang sakit dan memberitakan Injil ke semua orang yang ada di wilayah-Nya. Yang Yesus lakukan adalah memperlengkapi para murid dan menunjukkan tanda-tanda mukjizat untuk menegaskan kebenaran Injil. Yesus tahu bagaimana membangun batasan dan mempercayakan Allah untuk meneruskan misi-Nya melalui para murid yang dimampukan oleh Roh Kudus (Kis 1:8).

Belajar dari teladan Yesus untuk menemukan apa misi Tuhan buat hidupku telah membebaskanku dari godaan untuk melakukan segala sesuatu sendirian.

Belakangan ini aku mengenali karunia rohani dan panggilan hidupku melalui sebuah kelas pelatihan yang kuambil (tentang The Significant Woman). Karuniaku adalah memberi dorongan semangat, mentoring, mengajar, dan menulis. Semua ini menolongku untuk sadar bahwa misi utamaku adalah untuk membimbing orang-orang dewasa muda dan menolong mereka menemukan tujuan hidup dalam Kristus.

Ketika misi utama itu tampak jelas bagiku, aku mulai berfokus dalam menulis dan mentoring. Hal-hal lain yang tak selaras dapat kukesampingkan lebih dulu. Saat aku mengerti bagaimana Tuhan membentukku untuk melayani-Nya, aku bisa dengan yakin berkata “tidak” tanpa merasa bersalah pada hal-hal yang memang tak bisa kulakukan. Hasilnya, aku punya waktu-waktu berharga untuk mengerjakan tugas kerajaan-Nya dan menikmati waktu istirahatku.

Kalau kamu belum menemukan apa yang jadi karunia rohani dan misi hidupmu, aku sangat mendorongmu untuk mencarinya dengan bimbingan seorang mentor atau kelompok komselmu.

2. Temukan aktivitas yang menolongmu recharge secara rohani dan fisik

Yesus tahu cara terbaik untuk menghindari rasa kewalahan dan beristirahat dengan benar. Caranya adalah dengan terhubung dan berserah kepada Allah secara teratur (Lukas 5:16). Yesus secara intensional mencari tempat-tempat tenang untuk berdoa dan meluangkan waktu dengan Bapa Surgawi. Dia juga mendorong para murid untuk melakukan yang sama (Markus 6:31).

Aku merasa recharge ketika aku merenungkan kebaikan Tuhan dan melihat ciptaan-Nya dari dekat. Aku suka bertemu para sahabat dan mengobrol deep-talk, berdoa bersama sebelum makan, jalan-jalan di alam, mempelajari lagu baru, atau menulis puisi tentang ciptaan-Nya. Sebagai seorang yang melakukan perencanaan, aku menjadwalkan waktu-waktu itu semua di kalenderku. Kalau tidak terjadwal, maka tidak akan kesampaian.

Beristirahat tidak selalu tentang tidak melakukan apa pun. Beristirahat bisa berupa memprioritaskan apa yang akan menolongmu untuk memulihkan kembali jiwa dan ragamu.

3. Ganti kritik atas dirimu sendiri dengan menerima karya-Nya di kayu salib

Dalam tahun-tahunku tumbuh besar, aku suka mengkritik. Aku menaruh ekspektasi tinggi buat diriku sendiri karena aku memegang prinsip “selalu ada ruang untuk meningkatkan kualitas diri” dan aku bisa melakukan yang lebih baik. Pelatih basketku juga pernah bilang, kalau aku tidak kerja keras hari ini, maka orang lainlah yang akan mendapat kesempatan.

Tanpa kusadari, pemikiran ini kuterapkan dalam caraku beriman. Aku melihat diriku dan orang lain sebagai sosok yang kurang berharga di mata Tuhan, dan Tuhan menjadi sosok yang susah disenangkan.

Barulah saat aku ikut konferensi Father Heart, cara pandangku berubah dan aku mengerti apa artinya menjadi anak Allah (Yohanes 1:12; 1 Yohanes 3:1). Allah bergirang karena aku (Zefanya 3:17), Dia menyediakan apa yang tak pernah kupikirkan (1 Korintus 2:9). Semuanya diberikan karena karya Kristus di kayu salib.

Kita cenderung mengukur diri kita dengan standar orang lain atau standar kita sendiri yang kita tetapkan lebih tinggi, lalu merasa bersalah ketika kita tidak sanggup mencapainya.

Untuk menjaga hati kita dari jebakan membanding-bandingkan diri yang tiada akhirnya, kita harus ingat bahwa yang paling penting dalam sejarah telah dituntaskan-Nya (Yohanes 19:30, Ibrani 9:12). Kita tidak perlu membuktikan diri berharga melalui kerja keras kita karena Allah telah membuat kita berharga lebih dulu (Roma 8:28-39). Kita dapat bersandar pada pekerjaan-Nya yang telah tuntas dan melayani dalam kasih setia-Nya yang berlimpah.

Artinya, kita dapat berdoa memohon hikmat untuk mengetahui kapan harus bersusah payah dan menuntaskan pekerjaan dan kapan harus membangun batasan serta mempercayakan pada Allah pekerjaan-pekerjaan kita yang belum dapat kita selesaikan. Dalam kedua situasi itu, kita mengakui Yesus adalah Tuan (Kolose 3:23) sehingga apa pun yang kita lakukan bukanlah supaya kita diterima atau menyenangkan orang lain, tapi sebagai persembahan bagi Tuan yang kita layani.

Teruntuk saudara dan saudariku, kalau kamu hari ini ingin beristirahat tapi dilanda rasa bersalah, kuingatkan kamu akan janji dari Yesaya 26:3, “Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya”.Fokuskan pikiranmu pada Tuhan hari ini, percaya sepenuhnya, supaya kamu mengalami damai dan momen istirahat yang sejati ketika kamu tahu bahwa Dia sungguh peduli.

Nasihat-nasihat Klise yang Sebenarnya Berguna Buat Hidup

Makan, istirahat, tidur, adalah hal yang kita semua lakukan. Tapi, beratnya beban hidup dan kesibukan seringkali membuat kita mengabaikannya, padahal tak dipungkiri semua aktivitas sederhana ini diperlukan tubuh untuk menopang kita menjalani hari-hari.

Artspace – 2 Alasan Mengapa Kita Tidak Boleh Menganggap Remeh Waktu Tidur

Sobat muda yang suka insom dan ngalong siapa nih??

Waktu tidur adalah waktu yang penting. Dengan tidur, kita menerima berkat Tuhan melalui tubuh yang beristirahat. Di zaman yang serba cepat, waktu tidur kadang terabaikan dengan memenuhi target-target atau sekadar terlena bermain gadget. Namun, janganlah meremehkan waktu-waktu untuk beristirahat, karena di saat kita memberi jeda bagi tubuh untuk memulihkan dirinya, di sana jugalah Tuhan mencurahkan berkat-Nya.

Artspace ini didesain oleh Gladys Ongiwarno @gladyong dan kontennya diadaptasi dari artikel Edwin Petrus @ep_petrus yang telah ditayangkan di WarungSaTeKaMu.

2 Alasan Mengapa Kita Tidak Boleh Menganggap Remeh Waktu Tidur

Oleh Edwin Petrus, Malang

Beberapa waktu lalu, aku bertemu dengan seorang teman lama. Dia membawa serta istri dan anaknya yang berusia satu tahunan. Di pertemuan itu, ada satu hal yang menarik perhatianku. Kulihat anak temanku itu dengan gampangnya tertidur ketika sudah dipeluk mamanya. Padahal, beberapa menit sebelumnya, dia masih begitu lincah jalan ke sana-sini.

“Kayaknya dia sudah capek,” gumamku dalam hati. Aku dan orang tuanya pun lelah karena mengejar-ngejar dia, takut apabila dia jatuh. Memandang ekspresinya tidur, aku yakin sekali kalau tidurnya tenang dan nyenyak. Rasanya tidak ada ketakutan sama sekali; yang ada hanyalah rasa aman dan hangat.

Aku jadi bertanya, apakah orang-orang dewasa juga bisa menikmati indahnya tidur seperti si balita itu?

Jawabannya adalah: iya. Tidur adalah kebutuhan manusia dan Allah peduli dengan urusan tidur kita. Tidur adalah anugerah yang disediakan Allah bagi anak-anak-Nya.

Lewat tulisan ini, aku mau membagikan dua refleksiku tentang tidur menurut kata Alkitab:

1. Tidur memberi tubuh kita waktu untuk beristirahat

Dunia yang tak pernah tertidur selama 24 jam memang bisa membuat kita terjebak pada keinginan untuk selalu terjaga. Walaupun langit sudah gelap dan orang-orang sudah pulang ke rumah, tapi gawai yang kita genggam bisa menyediakan segala hiburan yang kita butuhkan 24 jam sehari, 7 jam seminggu; seakan dunia menuntut kita untuk terus beraktivitas dan tidur menjadi suatu hal yang dipandang tidak produktif.

Namun, Allah tidak mendesain tubuh manusia untuk beraktivitas tanpa beristirahat. Pemazmur berkata: “Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah—sebab Ia memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur” (Mazmur 127:2). Allah memberikan kita waktu untuk tidur, tapi itu akan jadi sia-sia jika kita tidak memanfaatkannya dengan baik. Di waktu kita tidur, Dia memberkati kita.

Di Amerika Serikat pada tahun 1963 pernah dilakukan sebuah riset untuk menguji seberapa lama seorang manusia dapat terjaga tanpa tidur. Seorang bernama Randy Gardner memang berhasil memecahkan rekor dunia dengan tidak tidur selama 11 hari 25 menit. Akan tetapi, selama masa penelitian itu terbukti bahwa kondisi tubuh Randy semakin hari semakin menurun. Awalnya dia sangat bersemangat, tapi setelah hari keempat, dia mulai berhalusinasi, daya ingatnya memburuk, suaranya tidak jelas, dan juga mengalami paranoia.

Kawan-kawan, tidur adalah anugerah Tuhan buat setiap kita. Tuhan tidak ingin kita menjadi manusia pekerja yang terus bekerja tanpa beristirahat. Namun, betapa seringnya kita menolak anugerah itu. Kita tahu tubuh kita sudah capek. Tapi, kita beri asupan kafein biar kita tetap segar. Kita bilang “Sebentar lagi ya baru tidur, tanggung ini; Aku selesaikan dulu tugas yang ini; Aku habisin dulu drama yang satu ini; Aku menangin dulu game yang ini”.

Tubuh kita perlu tidur. Di saat tidur, sel-sel tubuh kita yang rusak akan dipulihkan. Kondisi fisik kita yang lemah akan disegarkan kembali. Dengan tidur yang cukup, kita pun dapat terus menjaga kesehatan tubuh kita dan terhindar dari banyak penyakit. Bukankah dengan tubuh yang sehat kita bisa berkarya lebih maksimal bagi Tuhan?

Jadi, jangan anggap remeh waktu tidur. Di saat kita harus bekerja, berjuanglah dengan sekuat tenagamu dan di waktu kita harus tidur, nikmatilah waktu untuk mengisi kembali energi tubuh kita. Inilah gaya anak Kristen yang memuliakan Tuhan. Mari, kita belajar menikmati anugerah Tuhan lewat waktu tidur.

2. Tidur menandakan kebergantungan kita sepenuhnya pada Tuhan

Di awal tulisan ini aku menceritakan bagaimana anak temanku bisa tertidur pulas tanpa rasa takut karena dia yakin bahwa di dalam pelukan mamanya, dia mendapatkan keamanan yang dia butuhkan. Demikian pula yang dikatakan oleh raja Daud: “Aku membaringkan diri, lalu tidur (Mazmur 3:6a)”, bukan pada saat dia akan segera tidur di kamar istananya yang nyaman dan disertai dengan penjagaan yang ketat dari pasukan bersenjata lengkap. Namun, ketika dia sedang berada di suatu tempat persembunyian dan dikepung oleh puluhan ribu orang yang siap menyerang dia kapan saja (Mazmur 3:1,7).

Aku membayangkan bagaimana Daud bisa mengatakan kalau dia bisa tidur dengan tenang; entah di mana dia membaringkan diri, tidak ada kasur yang empuk, dan pastinya ada musuh yang siap menghabisi nyawanya. Masih segar di ingatanku, ketika gempa bermagnitudo 6,1 SR yang berpusat di bagian selatan Kabupaten Malang menggetarkan wilayah Jawa Timur pada 10 April 2021. Lokasiku memang masih jauh dari pusat gempa, tapi info-info mengenai akan adanya gempa susulan membuat aku takut untuk memejamkan mata dan tidur pada malam itu.

Kita memang tidak bisa tahu apapun yang bakal akan terjadi ketika kita tidur. Bisa saja terjadi bencana alam, kebakaran, kemalingan, dan segala kemungkinan yang terburuk pasti ada. Namun, ketika kita memilih untuk tidur, kita sedang menunjukkan bahwa kita adalah makhluk yang lemah dan tidak berdaya. Kita tidak bisa terus terjaga untuk menjaga diri kita maupun orang lain. Kita membutuhkan Seorang Pribadi yang lebih berkuasa untuk menjaga seluruh hidup kita.

Inilah yang diungkapkan oleh raja Daud. Dia menyerahkan seluruh hidup-Nya kepada Allah yang adalah penopangnya (Mazmur 3:6b). Daud percaya bahwa bersama-sama dengan Allah, dia selalu menemukan keamanan itu. Daud yakin bahwa perisai Allah siap membungkusnya dan melindungi dirinya dari tombak dan panah musuh-musuhnya. Keesokan harinya, ketika dia bangun, dia pun masih dapat menemukan dirinya tetap aman di dalam dekapan Tuhan. Daud juga mengatakan: “Dengan tenteram aku mau membaringkan diri, lalu segera tidur, sebab hanya Engkaulah, ya TUHAN, yang membiarkan aku diam dengan aman.” (Mazmur 4:9).

Kita bisa menikmati anugerah Tuhan di waktu tidur yang dinikmati oleh Daud. Aku pun telah merasakannya. Setiap kali, ketika menaikkan doa sebelum tidur, aku sering teringat dengan Mazmur 121:3b-4 yang berkata: “Penjagamu tidak akan terlelap. Sesungguhnya tidak terlelap dan tidak tertidur Penjaga Israel.” Aku sering menaikkan syukurku karena aku tahu Sang Penjaga Israel adalah penjaga dan pemelihara waktu tidurku. Ketika mataku sudah tertutup dan aku tidak berdaya, aku tidak perlu takut karena aku tetap aman di dalam Tuhan. Aku bisa dengan tenang membaringkan diri dan tidur.

Kawan, apa yang sering menghalangimu untuk bisa memejamkan mata dan tidur? Pikiran-pikiran seperti apa yang menganggumu untuk bisa masuk ke dalam mode tidur?

Kawan, ketahuilah kalau Allah itu Imanuel, Dia selalu beserta dengan kita dan tidak pernah meninggalkan kita. Kita adalah orang-orang yang dikasihi oleh-Nya. Dia pun telah mati untuk menyelesaikan permasalahan terbesar di dalam hidup kita, yaitu dosa. Karya salib Yesus menunjukkan bahwa Dia peduli dengan setiap kita. Kalau begitu, ada masalah apa lagi yang tidak bisa diselesaikan oleh Allah?

Mari, berdoalah sebelum tidur dengan kepasrahan di hadapan Tuhan dan yakinlah kalau Tuhan akan menyingkirkan semua hal yang menganggumu untuk dapat tidur dengan tenang.

Datanglah kepada-Nya dan nikmatilah anugerah yang indah untuk bisa tidur di dalam dekapan Allah.

Lepas dari Kebisingan

Kamis, 7 Maret 2019

Lepas dari Kebisingan

Baca: 1 Raja-Raja 19:9-13

19:9 Di sana masuklah ia ke dalam sebuah gua dan bermalam di situ. Maka firman TUHAN datang kepadanya, demikian: “Apakah kerjamu di sini, hai Elia?”

19:10 Jawabnya: “Aku bekerja segiat-giatnya bagi TUHAN, Allah semesta alam, karena orang Israel meninggalkan perjanjian-Mu, meruntuhkan mezbah-mezbah-Mu dan membunuh nabi-nabi-Mu dengan pedang; hanya aku seorang dirilah yang masih hidup dan mereka ingin mencabut nyawaku.”

19:11 Lalu firman-Nya: “Keluarlah dan berdiri di atas gunung itu di hadapan TUHAN!” Maka TUHAN lalu! Angin besar dan kuat, yang membelah gunung-gunung dan memecahkan bukit-bukit batu, mendahului TUHAN. Tetapi tidak ada TUHAN dalam angin itu. Dan sesudah angin itu datanglah gempa. Tetapi tidak ada TUHAN dalam gempa itu.

19:12 Dan sesudah gempa itu datanglah api. Tetapi tidak ada TUHAN dalam api itu. Dan sesudah api itu datanglah bunyi angin sepoi-sepoi basa.

19:13 Segera sesudah Elia mendengarnya, ia menyelubungi mukanya dengan jubahnya, lalu pergi ke luar dan berdiri di pintu gua itu. Maka datanglah suara kepadanya yang berbunyi: “Apakah kerjamu di sini, hai Elia?”

Dan sesudah api itu datanglah bunyi angin sepoi-sepoi basa. —1 Raja-Raja 19:12

Daily Quotes ODB

Beberapa tahun lalu, pimpinan sebuah kampus mengajak para mahasiswa untuk bergabung dalam kegiatan “mematikan gawai” pada suatu malam. Awalnya para mahasiswa merasa berat meninggalkan telepon genggam dan masuk ke kapel. Namun, mereka akhirnya bersedia dan selama satu jam, duduk diam dalam kebaktian yang diisi dengan musik dan doa. Sesudahnya, salah seorang mahasiswa menggambarkan pengalamannya itu sebagai “suatu kesempatan indah untuk menenangkan diri . . . untuk lepas dari segala kebisingan yang tidak perlu.”

Kadang kala memang sulit melepaskan diri dari “kebisingan yang tidak perlu.” Kebisingan dari luar maupun dari dalam diri kita bisa memekakkan telinga. Namun, ketika kita bersedia “mematikannya”, kita akan mulai memahami maksud sang pemazmur yang mengingatkan bahwa kita perlu berdiam diri untuk dapat mengenal Allah (Mzm. 46:11). Dalam 1 Raja-Raja 19, kita melihat bagaimana ketika Nabi Elia mencari Tuhan, ia tidak menemukan-Nya dalam keriuhan angin, gempa bumi, atau api (ay.9-13). Namun kemudian, Elia mendengar bisikan lembut Allah (ay.12).

Dalam suatu keramaian sudah pasti terjadi kebisingan. Saat keluarga dan teman-teman berkumpul bersama, di sanalah terjadi obrolan seru, makan-makan, senda gurau, dan kehangatan. Namun, saat kita membuka hati dalam keteduhan, kita mendapati bahwa waktu-waktu yang dilalui bersama Allah ternyata lebih indah dari semua itu. Seperti Elia, kita lebih mungkin bertemu Allah dalam keheningan. Adakalanya, jika kita memperhatikan dengan sungguh-sungguh, kita juga bisa mendengar bisikan lembut dari-Nya. —Cindy Hess Kasper

Apa yang dapat menolong kamu mendekat kepada Allah dalam ketenangan dan kesendirian? Bagaimana kamu dapat secara teratur menyisihkan gawai maupun meneduhkan pikiranmu?

Dalam keheninganlah kita lebih mungkin mendengar bisikan lembut Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Ulangan 3-4; Markus 10:32-52

Bagaimana Aku Bisa Melayani dengan Sikap Hati yang Benar?

Oleh Constance Goh, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How Can I Serve With The Right Heart?
Artikel diterjemahkan oleh Arie Yanuardi

Pada suatu waktu, aku pernah melayani di tujuh pelayanan dan menghadiri lima rapat gereja dalam satu akhir pekan. Aku tidak sedang berusaha menunjukkanmu betapa sucinya aku. Justru, aku sedang memberitahumu betapa konyolnya aku.

Aku sangat sibuk, berpindah dari satu rapat ke rapat lainnya, berusaha menyelesaikan setumpuk tugas yang kumiliki. Dari luar, aku terlihat seperti orang yang sangat suci, tapi di dalam—dan di mata Tuhan—aku sesungguhnya berada di tempat yang paling jauh dari kesucian.

Aku takut menghadapi akhir pekan karena aku tahu kalau di sanalah aku harus menghadapi “serangan-serangan” berupa rapat, latihan, dan tugas. Aku menyeret badanku yang letih untuk datang ke rapat-rapat itu, dan menanti-nantikan kapan rapat itu selesai. Di dalam rapat-rapat itu, aku berdoa, tapi aku tidak mengerti dan mengimani apa yang kukatakan pada Tuhan.

Aku juga jadi orang yang tidak sabaran, dan kehilangan kasih dalam tindakan dan perkataanku. Ketika melihat orang lain, yang kulihat bukanlah bagaimana usaha mereka untuk memberikan yang terbaik buat Tuhan, aku malah melihat kesalahan-kesalahan mereka. Hidupku terasa menyedihkan dan aku hidup di dalam dosa.

Perlahan tapi pasti, aku menyadari bahwa aku semakin menjauh dari Tuhan. Aku hanya membaca sekilas ayat-ayat Alkitab yang tertera di dalam renungan saat teduhku, tanpa berusaha untuk meresapi apa makna ayat-ayat itu buatku. Aku merasa malu untuk menghampiri Tuhan dalam kondisiku yang penuh dosa. Untuk menutupi rasa bersalahku, aku berkilah kalau aku tidak perlu lagi meluangkan waktu bersaat teduh bersama Tuhan, karena sudah berjam-jam waktuku kugunakan untuk pelayanan. Pada akhirnya, aku berhenti bersaat teduh sama sekali.

Kupikir, aku berada pada kondisi seperti ini karena aku terlalu banyak mengambil pelayanan, maka aku memutuskan untuk mengambil jeda istirahat sejenak dari semua komitmen pelayananku.

Sejujurnya, niatku untuk berhenti sejenak adalah supaya aku bisa beristirahat dan berhenti berurusan dengan orang-orang yang membuatku merasakan kepahitan. Tapi, Tuhan dengan lembut menggunakan waktu itu untuk kebaikanku. Dia bekerja di dalam hatiku. Selama waktu itu, aku menyadari bahwa selain menanyakan pertanyaan: “Apakah oke untuk berkata tidak pada pelayanan?” pertanyaan lain yang dapat kutanyakan adalah: “Bagaimana caranya agar aku bisa melayani dengan sikap hati yang benar?

Inilah empat poin yang membantuku mengarahkan kembali fokusku:

1. Ketahui batasan-batasanmu

Di dalam sebagian besar waktu-waktuku menjalani kehidupan sebagai orang Kristen, aku merasakan sukacita dalam pelayanan. Tuhan selalu memberiku anugerah untuk melihat bahwa talenta apapun yang kupunya adalah milik-Nya. Bagiku, hari Minggu adalah hari terbaik dalam satu minggu. Aku merasa sangat gembira untuk berada di gereja setiap hari Minggu. Aku menikmati pelayananku untuk Tuhan, dan aku merasakan kehadiran-Nya bersamaku seiring aku melayani umat-Nya.

Tetapi, semua itu berubah ketika aku mengambil lebih banyak pelayanan. Aku harap aku memiliki hikmat untuk mengetahui kapan dan bagaimana cara yang tepat untuk berkata tidak. Ketika orang-orang menemuiku dan mengajakku bergabung dalam upaya pelayanan mereka, aku menganggukkan kepalaku untuk menunjukkan seolah aku adalah orang Kristen yang “baik”. Padahal, aku tahu kalau jadwalku sudah penuh. Inilah yang kemudian mencuri sukacitaku dan membuatku semakin sulit menikmati pelayananku.

Menurutku, sukacita yang hilang itu merupakan peringatan bagi kita untuk kembali mengevaluasi dan mengarahkan kehidupan kita. Berbeda dengan rasa senang yang merupakan perasaan sementara yang bergantung pada keadaan, sukacita adalah rasa syukur dan nikmat yang Tuhan berikan, yang dapat kita rasakan bahkan dalam keadaan yang tidak menyenangkan sekalipun. Ketika kita memiliki sukacita, kita tetap dapat menikmati pelayanan meskipun itu membuat kita merasa lelah. Merasakan sukacita dalam pelayanan adalah berkat Tuhan bagi kita.

Sebelum kita setuju untuk menambah bidang pelayanan kita, adalah baik apabila kita memeriksa jadwal dan menguji kembali komitmen kita atas pelayanan-pelayanan yang sudah kita ikuti sebelumnya. Aku menyadari bahwa menjawab “ya” pada setiap ajakan pelayanan tidak hanya membahayakan efektivitasku pada komitmen pelayanan yang sedang kuikuti, tapi juga relasi pribadiku dengan Tuhan. Hal ini kelak hanya akan jadi pengorbanan yang melelahkan.

Tuhan jauh lebih menyukai hati yang penuh dengan kerelaan dan sukacita daripada kegiatan pelayanan yang didasari perasaan kewajiban semata. Jika dengan menambah tanggung jawabku di gereja bisa mengikis sukacita dan kehangatan relasiku dengan Tuhan, bisa jadi semua pelayananku jadi percuma.

2. Ketahuilah bahwa Tuhan memberi kita waktu istirahat

Aku pernah berpikir bahwa jika aku menyibukkan diriku dengan pelayanan, maka Tuhan akan lebih senang padaku. Maka, dengan asumsi tersebut, aku tidak pernah menolak setiap tawaran pelayanan yang diberikan kepadaku.

Tapi, ketika aku mengambil waktu untuk beristirahat dari pelayanan dan meluangkan lebih banyak waktuku dengan Tuhan, aku belajar bahwa beristirahat adalah hal yang sangat Alkitabiah. Nyatanya, Tuhan sendiri beristirahat pada hari Sabat setelah menciptakan alam semesta (Kejadian 2:2). Dengan melakukan hal itu, Tuhan memberi kita contoh yang sempurna untuk kita ikuti.

Kita beristirahat—secara jasmani dan rohani—setelah seharian bekerja. Aku diingatkan oleh Mazmur 127:1-2 bahwa “percuma” bekerja dengan “susah payah” dari pagi-pagi sampai jauh malam, karena Tuhan memberi anak-anak yang dikasihi-Nya pada waktu mereka beristirahat. Ayat-ayat ini tidak menuntun kita untuk berhenti bekerja, tetapi mengingatkan kita untuk memiliki sikap yang bergantung dan berserah pada Tuhan ketika kita bekerja.

Pada suatu malam, aku merenungkan kembali waktu-waktu yang dulu pernah kulalui dengan kerepotan karena tugas-tugas pelayananku, memastikan semuanya dikerjakan dengan sempurna, dan sekarang aku sangat sedih setelah menyadari bahwa fokusku sedang berada di tempat yang salah. Tentu tidak ada yang salah dengan mengejar hasil yang terbaik. Masalahnya muncul ketika pengejaran akan kesempurnaan ini adalah untuk menyenangkan diri sendiri, bukan untuk Tuhan. Hal ini akan menjadi obsesi yang tidak sehat, yang tentunya tidak menyenangkan hati Tuhan. Tuhan tidak memanggil kita untuk menjadi pekerja-pekerja yang sempurna, Dia memanggil kita untuk menjadi anak-anak-Nya yang menikmati kehadiran-Nya selagi kita melayani.

3. Ketahui alasan mengapa kamu melayani

Jika kamu menerima kesempatan melayani karena kamu merasa itu membuatmu terlihat suci atau lebih baik, sebaiknya jangan. Jika kamu menerima kesempatan melayani karena kamu merasa terhormat bahwa seseorang menawarimu kesempatan ini, sebaiknya jangan. Ironisnya, hal-hal tersebut adalah alasan utamaku yang membuatku berulang kali mengambil komitmen pelayanan baru.

Tentu alasan-alasan ini ditutupi oleh alasan-alasan klise pada umumnya yang terdengar Kristen, seperti untuk memuliakan Allah dengan talentaku, atau menggunakan waktuku dengan lebih bijak untuk Tuhan. Tapi, dengan motivasi tersembunyi yang salah dalam diriku, sulit untuk terus berjuang dalam pelayanan ketika aku merasa kelelahan dan hasil-hasil pelayananku mengecewakanku. Tentu, pujian dan perhatian dari orang-orang di gereja, dan dorongan tambahan dari “reputasi Kristen”ku membuatku merasa baik. Tapi, pada akhirnya, hal-hal itu tidak memberiku sukacita yang hanya dapat diberikan oleh Tuhan.

Motivasi seperti keinginan untuk menggunakan talenta kita buat Tuhan, atau untuk melayani bersama komunitas orang percaya, adalah niatan baik yang bisa kita miliki. Tapi, adalah penting buat kita sungguh-sungguh memeriksa kembali apa yang menjadi motivasi utama kita ketika melayani. Jika niatan kita masih didasari oleh dosa, akan lebih bijak apabila kita menunggu dan memohon Tuhan untuk menyingkirkan setiap pikiran kita yang egois dan menggantinya dengan kerinduan akan diri-Nya. Ketika kita benar-benar didorong dengan tujuan melayani yang berasal dari Tuhan, kita akan melayani-Nya dengan sukacita dan kerelaan yang sejati.

4. Ketahui Siapa yang kamu layani

Meskipun dari luar aku terlihat sangat suci, aku tahu bahwa aku adalah orang yang munafik. Aku menyamarkan niat untuk melayani diri sendiri seolah-olah aku ini sedang melayani Tuhan. Aku melayani hatiku yang menuntut pujian dan perhatian dari orang-orang di sekitarku.

Dalam waktu istirahat yang kuambil, aku menyadari—pertama kalinya dalam 18 tahun selama aku berada di gerejaku—bahwa ada sekelompok ibu-ibu dan bapak-bapak yang setia, yang datang lebih pagi setiap hari Minggu untuk merebus air dalam panci besar untuk menyediakan kopi bagi jemaat. Orang-orang jarang berterima kasih pada mereka, dan mereka selalu “tidak terlihat”. Meski begitu, mereka melakukan pelayanan ini dengan setia dan tidak mengeluh.

Pengalaman itu membuatku bertanya, siapakah yang menjadi penontonku ketika aku pertama kali ingin bermain gitar dalam pelayanan? Jika sungguh-sungguh hanya Tuhan yang menjadi satu-satunya penontonku, apakah aku akan puas dan bersukacita jika aku bermain di belakang, di balik sebuah tirai penutup, tidak pernah dikenal atau bahkan menerima ucapan terima kasih dari jemaat? Apakah aku benar-benar memainkan gitar itu hanya untuk Tuhan?

Kita tidak memungkiri bahwa ada pelayanan-pelayanan yang lebih terlihat jika dibandingkan dengan pelayanan lainnya. Sebagai anak-anak-Nya yang melayani, kita mudah terperangkap dalam apresiasi dan pengakuan manusia. Kita melupakan Pribadi yang selalu memperhatikan kita setiap saat. Tetapi, pada kenyataannya, hati kita tidak akan pernah dipuaskan oleh pujian dari manusia. Kita butuh Tuhan sendiri yang berkenan pada kita agar kita bisa benar-benar menikmati melayani-Nya.

Aku mengambil waktu istirahat dari pelayananku selama enam bulan dan belajar untuk menikmati Tuhan dan kehadiran-Nya lagi. Selama masa itu, Tuhan menyadarkanku dari niatan-niatan egoisku, hatiku yang mengeras, dan kurangnya kasihku kepada saudara-saudara seiman.

Teruntuk kalian yang sedang mempertimbangkan melayani untuk pertama kalinya, maupun mempertimbangkan untuk menerima pelayanan baru, aku sungguh-sungguh berdoa agar kalian tidak mengambil pelayanan ini untuk memuaskan diri sendiri ataupun orang lain. Hal ini akan menuntun pada kesengsaraan, kepahitan, dan kepenatan yang serius—kenyataan pahit yang pernah kurasakan.

Tuhan tidak cuma melihat apa yang kita layani, Dia juga melihat hati kita ketika kita melayani-Nya.

Baca Juga:

Ketika Konflik Terjadi di Gerejaku

Di gerejaku sih banyak konflik. Bagaimana mungkin gereja gereja bisa jadi gambaran surga yang ada di dunia kalau di dalamnya ada persaingan dan permusuhan?

Diam

Jumat, 1 Juni 2018

Diam

Baca: Mazmur 46

46:1 Untuk pemimpin biduan. Dari bani Korah. Dengan lagu: Alamot. Nyanyian.

46:2 Allah itu bagi kita tempat perlindungan dan kekuatan, sebagai penolong dalam kesesakan sangat terbukti.

46:3 Sebab itu kita tidak akan takut, sekalipun bumi berubah, sekalipun gunung-gunung goncang di dalam laut;

46:4 sekalipun ribut dan berbuih airnya, sekalipun gunung-gunung goyang oleh geloranya. Sela

46:5 Kota Allah, kediaman Yang Mahatinggi, disukakan oleh aliran-aliran sebuah sungai.

46:6 Allah ada di dalamnya, kota itu tidak akan goncang; Allah akan menolongnya menjelang pagi.

46:7 Bangsa-bangsa ribut, kerajaan-kerajaan goncang, Ia memperdengarkan suara-Nya, dan bumipun hancur.

46:8 TUHAN semesta alam menyertai kita, kota benteng kita ialah Allah Yakub. Sela

46:9 Pergilah, pandanglah pekerjaan TUHAN, yang mengadakan pemusnahan di bumi,

46:10) yang menghentikan peperangan sampai ke ujung bumi, yang mematahkan busur panah, menumpulkan tombak, membakar kereta-kereta perang dengan api!

46:11 “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah! Aku ditinggikan di antara bangsa-bangsa, ditinggikan di bumi!”

46:12 TUHAN semesta alam menyertai kita, kota benteng kita ialah Allah Yakub. Sela

Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah! —Mazmur 46:11

Diam

Suatu hari, saya dan seorang teman sedang berselonjor di pantai sambil menikmati deburan ombak yang berirama di laut. Saat matahari mulai terbenam di kejauhan, ombak demi ombak terus bergulung ke arah kami, berhenti sebentar, lalu beriak lagi hingga hampir menyentuh ujung jari kami, dan kemudian surut kembali. “Aku suka sekali dengan laut,” kata teman saya sembari tersenyum. “Laut bergerak sehingga aku cukup diam dan tidak perlu bergerak.”

Alangkah cemerlangnya pemikiran teman saya itu! Banyak dari kita merasa sangat sulit untuk diam. Kita terus-terusan bergerak dan bekerja karena khawatir jika kita berhenti bergerak, kita akan kehilangan makna diri. Atau kita berpikir, apabila kita berhenti, kita harus menghadapi kenyataan hidup yang selama ini ada, tetapi kita hindari.

Dalam Mazmur 46:9-10, Allah menunjukkan kemahakuasaan-Nya dan menyatakan kuasa-Nya secara terbuka, “Pergilah, pandanglah pekerjaan Tuhan, . . . yang menghentikan peperangan sampai ke ujung bumi, yang mematahkan busur panah, menumpulkan tombak, membakar kereta-kereta perang dengan api!” Allah kita adalah Allah yang senantiasa bekerja untuk menciptakan ketenangan dari tengah-tengah segala kekacauan yang kita hadapi hari demi hari.

Namun kemudian, di ayat 11 kita membaca, “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah!”

Tentu saja kita dapat mengenal Allah di tengah segala kesibukan yang kita lakukan ke sana kemari. Namun, undangan pemazmur untuk diam telah memanggil kita untuk memiliki pengenalan yang berbeda. Pengenalan itu membuat kita menyadari bahwa kita boleh diam—tanpa kehilangan makna diri—karena Allah sendiri tak pernah diam. Kita juga mengetahui bahwa hanya kuasa Allah yang sanggup memberikan kepada kita makna, perlindungan, dan kedamaian yang sejati. —Elisa Morgan

Ya Allah, tolonglah aku menemukan ketenteraman yang kurindukan di dalam-Mu.

Kita akan menemukan ketenteraman saat kita berada dalam dekapan kasih Allah dan kehendak-Nya yang sempurna.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 15-16; Yohanes 12: 27-50