Berhenti Sejenak untuk Berpikir
Oleh Rio Hosana, Surabaya
Ada sebuah buku yang menarik perhatianku saat membaca judulnya, yaitu Pause For Thought. Dalam Bahasa Indonesia berarti Berhenti Sejenak Untuk Berpikir. Di tengah dunia yang menuntut kita untuk terus bergerak dan cepat merespons, ajakan untuk berhenti sejenak ini menjadi sangat menarik. Berhenti sejenak untuk berpikir bukan berarti kita mengosongkan pikiran dan sama sekali tidak melakukan apapun, tetapi istilah ini mengajak kita untuk berhenti dan melakukan kegiatan berpikir di tengah kesibukan yang melanda.
Dalam keseharianku, aku pun sering mengalami kondisi yang terasa amat sibuk. Sejenak membalas pesan, lalu mengecek e-mail; sejenak scrolling timeline, lalu membaca e-book; sejenak like post–an, lalu mengerjakan tugas dan tanggung jawab lainnya. Akibatnya, waktu seakan berjalan sangat cepat. Kemajuan teknologi dan mudahnya berinteraksi secara online—di samping membawa kemudahan, tetapi juga menjadi “senjata makan tuan” yang membawa kesibukan berlebihan.
Di tengah kesibukanku ini, nyatanya aku melupakan banyak hal dan fokus pada pengejaran pribadi hingga semua yang kujalani membuatku merasa sesak. Segala sesuatunya menghimpitku bagai dua tembok datar yang datang dari arah berlawanan. Akan tetapi, aku masih merasa kerja kerasku yang sibuk ini tidaklah sia-sia sebab aku percaya usaha tidak akan mengkhianati hasil. Dalam otakku masih tersimpan konsep: “Untuk mencapai hasil yang maksimal, tentu harus memberikan usaha yang maksimal pula.”
Apa sih tujuanku dari berupaya terlalu sibuk sampai tak ingin memberi jeda? Jawabanku adalah aku mau memperoleh hasil yang maksimal. Tapi, jawaban ini justru mengantarku pada pertanyaan lanjutan. Apakah hasil maksimal itu sebuah kekayaan? Atau mungkin ketika aku menjadi lulusan terbaik? Apakah ketika aku bisa membagikan hartaku kepada orang miskin tanpa batas? Ataukah menjadi sebuah “hasil yang maksimal” ketika aku mampu menggenggam seluruh dunia ini di tanganku?
Setiap hari rasanya kehidupanku dipenuhi oleh beban yang sangat berat. Tidak ada damai sejahtera seperti yang tertulis di Alkitab. Tidak jarang aku kesulitan untuk tidur karena berpikir secara berlebihan. Aku juga lupa meluangkan waktu bersama Tuhan melalui doa dan saat teduh. Seringkali aku tidak mengindahkan hari Sabat dan tenggelam dalam kesibukan setiap harinya. Dengan sekuat tenaga aku berusaha untuk mencapai “hasil yang maksimal” tersebut— yang bahkan aku juga tidak tahu wujudnya seperti apa, mungkin kekayaan, popularitas atau pengakuan dari orang lain terhadap diriku.
Setiap hari beban itu semakin bertambah, hingga aku berhenti sejenak dan berpikir: “Apa yang aku lakukan selama ini? Apa alasannya? Dan apa tujuannya?”
Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi penting karena alasan merupakan dasar dan tujuan merupakan hasil. Di tengah ambisi dan pergumulanku, beginilah jawab-Nya: “Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia tetapi kehilangan nyawanya?” (Matius 16:24). Ayat ini menyadarkanku bahwa hasil yang duniawi tidak akan sebanding dengan janji Allah bagi hidupku. Tentu bukan berarti kehidupanku menjadi semakin mudah dan tidak perlu berusaha dengan maksimal—mungkin bisa saja kehidupanku semakin sukar, tetapi aku memiliki dasar dan tujuan yang baru, yaitu yang berpusat pada Kristus.
Aku hidup dengan penuh usaha dalam Kristus dan tujuanku adalah untuk kemuliaan-Nya, yakni buah yang harum di hadapan-Nya. Kesukaran tidak lagi menjadi penghalang bagiku, sebab aku bersukacita di dalamnya. Ketika nilaiku buruk, aku belajar dan bersyukur; Ketika aku ditolak sesama, aku mencoba memahaminya dan bersyukur; Ketika ditegur, aku merendahkan hati dan bersyukur; Ketika aku disalahkan, aku menjelaskan dengan kasih dan bersyukur. “Sebab aku yakin bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita,” kata Paulus dalam Roma 8:18.
Dengan demikian, aku memuji Tuhan dengan segenap hatiku! Sebab di tengah keterpurukan terdalamku, aku dipimpin untuk berhenti sejenak dan berpikir dalam hadirat-Nya. Aku membayangkan jika Allah menarikku dalam keadilan-Nya, mungkin aku tidak dapat menulis artikel ini; mungkin aku akan melarikan diri ke obat-obat tertentu; atau mungkin aku melepas diriku kepada keinginan-keinginan duniawi; atau bahkan, mungkin aku akan memilih mengakhiri hidupku. Namun, hari ini Allah menyatakan kasih-Nya yang begitu besar bagiku dan di dalam kasih-Nya itu aku menemukan kebenaran-Nya yang begitu indah, serta mendidikku begitu rupa. Keseharian hidupku mungkin masihlah sama; membaca buku, mengerjakan tugas atau rutinitas lainnya, tetapi dasar dan tujuanku ditransformasi oleh Dia yang telah mati bagiku. Oleh karena itu, mengertilah aku bahwa di dalam setiap kelemahanku, kuasa Allah menjadi sempurna di dalamku dan aku dikuatkan untuk mengerjakan panggilan-Nya di dalam hidupku ini.
“When we stop, and really think, we give ourselves a chance to change direction.”
Sekarang aku tahu bahwa memberi jeda dalam rutinitasku bukanlah wujud bermalas-malasan, tetapi sebuah cara untukku mengerti makna dan alasan di balik semua yang kulakukan… dan semuanya adalah tentang Dia yang mengasihiku.
Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥