Posts

Epafroditus, Rekan Paulus yang Melengkapi Penderitaan Kristus

Oleh Jefferson

Memasuki minggu terakhir di masa pra-Paskah, mungkin kamu sering mendengar kata-kata berikut: Kristus, kehidupan, kematian, salib, kebangkitan, sengsara, penderitaan.

Penderitaan.

Aku tahu Tuhan Yesus mengalami berbagai macam penderitaan dan penganiayaan sebelum dan selama Ia disalib, tetapi kata-kata di atas, terutama yang terakhir, seringkali hanyalah kata-kata belaka yang tidak berarti apa pun bagiku. Latar belakang zaman yang menjunjung tinggi indera penglihatan—semua gawai sekarang punya fitur untuk membatasi waktu layar—membuat kita menuntut diberikan contoh nyata supaya bisa memahami suatu konsep atau kata yang abstrak. Aku pun tidak terkecuali. Sebagai contoh, aku pernah memakai Sisi Gelap dan Terang dari seri Star Wars sebagai analogi dari dua sisi realita pelayanan.

Dalam tulisanku kali ini, aku ingin menyajikan kepadamu respons Allah terhadap tantangan zaman kita yang menuntut contoh nyata dari penderitaan Kristus. Aku tak sedang mengacu kepada film “The Passion of the Christ atau sejenisnya yang mungkin gerejamu tayangkan selama masa Pra-Paskah (walaupun memang adegan-adegannya bisa membantu imajinasi kita). Beberapa bagian Alkitab mengarahkan kita kepada bukti penderitaan Kristus di masa kini, yang kutemukan secara iseng ketika mendengar khotbah John Piper.

Untuk menelusuri jejak bukti ini, kita perlu berkenalan dengan seorang tokoh Perjanjian Baru yang bernama Epafroditus.

Siapakah Epafroditus?

Di antara 31.171 ayat Alkitab, nama Epafroditus hanya disebut secara eksplisit dalam dua ayat dan praktis Paulus hanya membicarakannya sepanjang tujuh ayat. Jadi, di suratnya yang manakah Paulus menulis tentang Epafroditus?

25 Akan tetapi, aku berpikir perlu juga mengutus Epafroditus kepadamu. Ia adalah saudaraku, teman sepelayananku, teman seperjuanganku, dan juga orang yang membawa pesan kepadamu dan yang melayani kebutuhanku. 26 Sebab, ia sangat merindukan kamu semua dan sangat susah hatinya karena kamu mendengar bahwa ia sakit. 27 Memang, dahulu ia begitu sakit sampai hampir mati, tetapi Allah menunjukkan belas kasih kepadanya—dan bukan hanya kepada dia, melainkan juga kepada aku—supaya dukacitaku tidak bertumpuk-tumpuk. 28 Karena itu, aku jadi semakin ingin mengutusnya kembali kepadamu supaya kamu dapat bersukacita ketika melihatnya lagi, dan berkuranglah kekhawatiranku. 29 Sambutlah Epafroditus dalam Tuhan dengan penuh sukacita dan hormatilah orang-orang seperti dia 30 karena ia hampir mati demi pekerjaan Kristus; ia mempertaruhkan nyawanya untuk menggantikan bantuan yang tidak dapat kamu berikan kepadaku. (Filipi 2:25–30 AYT).

Ketika menulis surat ini, Paulus kemungkinan besar sedang dipenjara di kota Roma. Paulus memiliki hubungan yang spesial dengan jemaat Filipi sebab mereka adalah gereja pertama yang didirikannya selama melayani di Eropa (Kis. 16:6–40). Maka ketika mereka mendengar penawanan Paulus, mereka segera mengirimkan persembahan dengan Epafroditus sebagai utusan mereka (ay. 25, bdk. Flp. 4:18). Namun, apa daya, ia sakit keras dalam perjalanan ke Roma (yang berjarak sekitar 1.250 km dari Filipi dan membutuhkan waktu perjalanan enam minggu) dan sudah sekarat ketika tiba di sana (ay. 27). Syukurnya Tuhan menyembuhkan Epafroditus sehingga ia dapat melayani kebutuhan Paulus dan menyampaikan pesan dari jemaat Filipi (ay. 25). Beberapa waktu kemudian, setelah mendengar kekhawatiran jemaat Filipi terhadap Epafroditus dan melihat reaksi Epafroditus sendiri, Paulus berencana mengutusnya kembali supaya jemaat Filipi “dapat bersukacita ketika melihatnya lagi” dan Paulus sendiri bisa lega (ay. 28). Perikop ini diakhiri dengan instruksi Paulus kepada jemaat Filipi untuk menyambut kembali Epafroditus dalam Tuhan dengan penuh sukacita dan menghormati orang-orang sepertinya yang mempertaruhkan nyawa mereka demi pekerjaan Kristus (ay. 29–30).

Signifikansi Epafroditus bagi kita di masa kini

Sampai sejauh ini, kamu mungkin dapat menerka bahwa “respons Allah terhadap tantangan zaman kita yang menuntut contoh nyata dari penderitaan Kristus” adalah sesama pengikut Kristus yang menderita dan “hampir mati demi pekerjaan Kristus” (ay. 30). Tebakanmu benar. Aku tidak perlu menulis lebih lanjut lagi. Tulisan ini berhenti di sini. …

… Tapi, tahukah kamu bahwa kombinasi frasa dalam ayat 30 sebenarnya memiliki kembaran di surat Paulus yang lain, yang pemadanannya menyatakan prinsip Alkitab yang mendasari penderitaan orang percaya di masa kini sebagai saksi penderitaan Kristus di masa lampau?

Aku sungguh-sungguh bersyukur kepada Tuhan atas hamba-Nya John Piper, yang 16 tahun lalu dalam khotbahnya menyatakan kemuliaan-Nya yang tersembunyi di dalam kedua teks berikut:

30 karena ia hampir mati demi pekerjaan Kristus; ia mempertaruhkan nyawanya untuk menggantikan [αναπληρωση / anaphlerohose] bantuan yang tidak dapat [υστερημα / husterema] kamu berikan kepadaku. (Flp. 2:30 AYT).

24 Sekarang, aku bersukacita dalam penderitaanku demi kamu karena di dalam dagingku aku melengkapi [ανταναπληρω / antanaphleroho] apa yang kurang [υστερηματα / husteremata] dalam penderitaan Kristus, demi tubuh-Nya, yaitu jemaat. (Kol. 1:24 AYT).

Di sini kita perlu mengklarifikasi bahwa ketika Paulus menulis penderitaannya “melengkapi apa yang kurang dalam penderitaan Kristus” (Kol. 1:24), ia tidak sedang mengklaim bahwa salib Kristus tidak sepenuhnya menyelamatkan manusia dari dosa dan maut. Sebaliknya, dalam surat-suratnya yang lain (e.g., Roma 5, 1 Korintus 15, Efesus 2), Paulus menegaskan karya keselamatan Kristus lewat penderitaan-Nya di atas salib adalah sempurna dan cukup. Dalam kata-kata Piper, Keindahan, keajaiban, nilai, keagungan, dan kebaikan Kristus yang disalibkan untuk menutupi dosa adalah tak terhingga. Kamu tidak dapat menambahkan apa pun ke dalamnya. Tidak ada yang hilang darinya. Tidak ada kekurangan di dalamnya.

Jadi, apa maksud Paulus ketika menulis begitu? Di Filipi 2:30, kita menemukan penderitaan Epafroditus melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan penderitaan Paulus di Kolose 1:24, yaitu “menggantikan bantuan yang tidak dapat [gereja di Filipi] berikan kepada[nya].” Kombinasi frasa “melengkapi” dan “apa yang kurang” dalam kedua ayat ini mengungkapkan jarak yang memisahkan kedua belah pihak, baik secara fisik maupun waktu. Jemaat Filipi mengasihi Paulus dan ingin melayaninya di Roma, tetapi karena tidak praktis bagi mereka semua untuk pergi ke Roma, mereka mengirim Epafroditus untuk menyatakan kasih mereka kepadanya. Siapa sangka kalau Epafroditus perlu “menderita” untuk melaksanakan misinya! Maka bukan kebetulan jika Paulus melihat kemiripan penderitaan pelayanannya bagi Kristus dengan apa yang menjadi pengalaman Epafroditus, sehingga ia memakai kombinasi frasa yang sama untuk menjelaskan kerelaannya hidup dihantui penderitaan (bdk. 2 Kor. 11:16–33), karena lewat semuanya itu ia sedang mempersaksikan Kristus yang menderita untuk gereja-Nya.

Penderitaan Epafroditus dan Paulus, keduanya murid Kristus, ialah bukti fisik bahwa Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya pernah menderita demi kebaikan jemaat dan orang-orang yang memusuhi-Nya. Dan penderitaan ini tidak sia-sia, sebab kita tahu pasti bahwa Kristus telah bangkit dan menang atas segala sengsara, dosa, dan maut (bdk. 1 Kor. 15).

Penderitaan Kristus yang tidak mungkin kita lihat karena sudah berlangsung lebih dari dua milenia yang lalu sekarang jadi nampak lewat Epafroditus-Epafroditus dan Paulus-Paulus di masa kini. Siapakah mereka? Orang-orang yang mengasihi kita dengan berkorban buat kita, tapi lebih jelas lagi saudara-saudari seiman yang menderita karena iman mereka, baik yang kita kenal sendiri maupun jemaat Tuhan di berbagai belahan bumi yang lain.

Aplikasi dari teladan Epafroditus: berpartisipasi sebagai saksi (penderitaan) Kristus

Meskipun kita mungkin tidak mengalami penganiayaan karena iman kita, tetapi karena gereja Tuhan dipersatukan sebagai satu tubuh dengan Kristus sebagai kepala (bdk. 1 Kor. 12), kita sepatutnya turut berbagian dalam mempersaksikan penderitaan Kristus kepada dunia. Kalau tangan kita tertusuk duri yang kecil saja, tidakkah satu tubuh kita akan merasa tidak nyaman sepanjang hari? Maka kita perlu mendukung saudara-saudari seiman kita yang dianiaya.

Ada banyak cara kita dapat menerapkan prinsip Firman Tuhan di atas.

Pertama, kita dapat mendoakan saudara-saudari seiman kita yang dianiaya karena iman mereka, baik lewat doa pribadi maupun komunal (e.g., di persekutuan doa atau ibadah). Selain teman atau kenalan yang kita kenal langsung, kita juga dapat mendoakan saudara-saudari seiman di belahan dunia lain. Kamu bisa mencari tahu lebih lanjut dari berbagai organisasi misi, terutama Open Doors International yang melayani orang-orang Kristen yang dianiaya di berbagai pelosok dunia. Open Doors setiap tahunnya merilis laporan World Watch List tentang 50 negara di mana para pengikut Kristus paling sulit mempraktikkan iman mereka.

Kedua, meneladani jemaat Filipi, kita bisa mengirim dana bantuan kepada anggota-anggota tubuh Kristus yang dianiaya lewat organisasi-organisasi misi yang melayani di area tersebut, seperti Open Doors, Wahana Visi Indonesia / World Vision, dan Compassion International. Sangat mungkin Allah akan mengirimkan para Epafroditus di masa kini untuk menyalurkan dana bantuan kita kepada umat-Nya yang membutuhkan sehingga kesaksian penderitaan Anak-Nya semakin luas diberitakan. Aku bersyukur atas kesempatan-kesempatan dari Allah selama ini, di mana aku bisa membantu saudara-saudarai seiman yang membutuhkan, termasuk dana bantuan kepada jemaat bawah tanah, mendukung pelayanan sosial di salah satu daerah paling terbelakang di Indonesia, dan menjadi sponsor adik asuh.

Terakhir, kita bisa mempersaksikan penderitaan Yesus Kristus lewat kehidupan kita sendiri. Pengikut-pengikut Kristus sepanjang sejarah telah meneladani Paulus dengan memberikan diri mereka untuk memberitakan Injil dan menderita karenanya. Namun, lewat pengorbanan mereka, orang-orang yang mereka layani menerima pesan Injil secara utuh: bahwa Allah telah datang sebagai Yesus Kristus untuk menderita dan mati demi menyelamatkan umat manusia, telah bangkit dalam kemenangan atas dosa dan maut, dan sekarang mengutus murid-murid-Nya untuk memberitakan kedatangan-Nya yang kedua dan meneladani-Nya dengan mengasihi orang lain tanpa terkecuali, termasuk musuh-musuh mereka.

Kebanyakan dari kita dalam menjadi saksi Injil Kristus mungkin tidak akan pernah menderita seperti Epafroditus atau Paulus. Namun, Tuhan bisa memakai kita untuk mempersaksikan penderitaan Kristus dengan nyata bagi orang-orang yang kita temui. Salah satu peristiwa itu terjadi untukku beberapa tahun lalu. Aku memiliki hubungan yang praktis seperti saudara kandung dengan sepasang seniorku di gereja. Begitu seringnya aku mengunjungi mereka untuk membicarakan segala macam topik, bertukar kisah kehidupan, dan bermain dengan anak mereka, sampai-sampai sewaktu aku pulang dari rumah mereka, “keponakan”-ku akan menangis karena mau terus bermain dengan Paman Jeff. Suatu hari, “kakak perempuan”-ku sakit cukup parah sehingga harus diopname beberapa hari. Mendengar situasi mereka, aku langsung menawarkan diri untuk membantu sebisaku. Selama dua hari Sabtu berturut-turut, aku membantu mengasuh “keponakan”-ku sambil kakak rohaniku mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan menjenguk istri di rumah sakit. Aku baru tahu belakangan darinya bahwa aku termasuk dari segelintir jemaat yang menawarkan bantuan kepada mereka dan bahwa mereka sangat bersyukur kepada Tuhan atas uluran tangan, kehadiran, dan pengorbanan kami untuk mereka di tengah masa sulit.

Ketika mendengar kakak rohaniku berkata begitu, sejujurnya (dan sampai sekarang) aku tak merasa melakukan pengorbanan apa pun. Memang ada satu atau dua janji temu yang harus kuganti waktunya supaya aku bisa membantu mereka, tapi aku tak merasa direpotkan sama sekali. Justru aku merasa terberkati karena bisa membantu mereka. Pada momen inilah aku memahami teladan Epafroditus dengan lebih utuh, konsep yang hanya aku mengerti dengan kepalaku sebelumnya sekarang telah kupraktikkan sendiri: adalah kasih Tuhan Yesus yang menopang Epafroditus melewati lembah maut ketika melayani Paulus mewakili jemaat Filipi, dan adalah kasih-Nya yang mendorongku untuk mengulurkan tangan kepada kakak-kakak rohaniku ketika mereka membutuhkannya.

Dan, lebih dalam dari tindakanku dan Epafroditus, adalah kasih-Nya yang menopang Kristus untuk patuh kepada Bapa-Nya di tengah cambukan, ludahan, dan cemoohan, bahkan patuh hingga mati digantung di kayu salib untuk semua orang berdosa yang percaya kepada-Nya, termasuk kita (Flp. 2:5–8). Tidakkah kematian dan kebangkitan Kristus mencengangkan bagi kamu? Apalagi untuk orang-orang yang menyaksikannya lewat kesaksian kita!

Mempersaksikan (penderitaan) Kristus hingga dunia mendengar dan percaya

Ada satu kisah menarik dalam bab 17 dari novel Life of Pi karangan Yann Martel. Pi adalah seorang Hindu yang pernah berinteraksi dengan seorang romo Katolik bernama Bapa Martin semasa remajanya. Dalam salah satu percakapan mereka, si romo bercerita tentang Yesus Kristus, Anak Allah yang mati untuk menyelamatkan manusia dari dosa. Pi bergumul keras dengan kisah ini. Ia tidak bisa menerima kisah Yesus Kristus sebagai kebenaran.

Di pertemuan berikutnya, Pi mencecar Bapa Martin,

… Tapi Allah yang pernah mati akan selalu pernah mati, bahkan kalau Ia bangkit sekalipun. Sang Anak tidak akan pernah bisa melupakan rasa dari kematian di mulut-Nya untuk selama-lamanya. Allah Tritunggal tidak akan berhenti dinodai kematian; pastinya ada bau busuk kematian di sebelah kanan Allah. Kengerian ini begitu nyata. Mengapa Ia menginginkan hal itu terjadi pada-Nya? Mengapa Ia tak membiarkan manusia mengalami kematian sendirian? Mengapa Ia mengotori apa yang indah, merusak apa yang sempurna?

Kamu tahu apa jawaban Bapa Martin?

Kasih.

Sepatah kata, tidak lebih, tidak kurang.

Pi menanyakan beberapa pertanyaan lanjutan sambil terus membandingkan iman Kristen dengan iman Hindu, namun jawaban Bapa Martin tetap sama singkat, Kasih.”

Inilah Injil yang pengikut Kristus beritakan lewat penderitaan, pengorbanan, dan pergumulan mereka: Allah yang disalibkan, mati, dan bangkit, “untuk orang-orang Yahudi suatu batu sandungan dan untuk orang-orang bukan Yahudi suatu kebodohan, tetapi untuk mereka yang dipanggil, baik orang Yahudi maupun bukan Yahudi,… kekuatan Allah dan hikmat Allah” (1 Kor. 1:23–24). Tidaklah heran kalau semua kasih yang sejati adalah bayang-bayang dari kasih Kristus, sebab hanya kepada nama-Nya sajalah “bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi… bagi kemuliaan Allah Bapa” (Flp. 2:9–11).

Seperti Pi, dunia perlu mendengar dan dikagetkan dengan realita Allah yang menderita demi menyelamatkan manusia berdosa. Dan, seperti Epafroditus dan Paulus, Allah memanggil umat-Nya di masa kini untuk menderita bagi-Nya demi menggenapi apa yang kurang pada penderitaan Anak-Nya dalam kesaksian tubuh-Nya, yaitu gereja (Kol. 1:24). Maka adalah misi kita sebagai anggota-anggota yang lain dari tubuh Kristus untuk memastikan bahwa dunia mendengar Kabar Baik ini, mengetahui penderitaan murid-murid Kristus karena iman mereka, dan, kalau Tuhan berkehendak, turut meneladani Epafroditus dan Paulus menjadi saksi (penderitaan) Kristus.

Puji Tuhan atas Epafroditus!

Kasih karunia Yesus Kristus menyertai kamu, Soli Deo gloria!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Mengenal Ritual-ritual dalam Iman Kristen

Oleh Dhimas Anugrah

La Tomatina atau “perang tomat” yang ada di Spanyol mungkin merupakan pesta atau ritual terbesar di dunia. Biasanya, La Tomatina diadakan setiap hari Rabu terakhir di bulan Agustus. Para peserta saling melempar tomat dan terlibat dalam pertarungan yang tak menyakitkan satu sama lain. Ritual ini menjadi terkenal sejak abad yang lalu. Di seberang benua lainnya, selama ratusan tahun ada upacara Okali, ritual melempar bayi yang baru lahir dari atas atap kuil di India. Namun, keselamatan bayi tetap diutamakan dengan sejumlah orang bersiap menangkap si bayi dari bawah dengan menggunakan kain putih lebar yang dibentangkan. Muasal ritual ini, konon dulu ada pasangan yang bersumpah di kuil apabila mereka mempunyai keturunan, maka mereka akan rutin menjalankan ritual di situ untuk berterima kasih kepada dewa. 

Dua praktik di atas hanya sedikit contoh dari sekian banyak ritual yang dilakukan komunitas-komunitas manusia di muka bumi. Ritual secara sederhana dipahami sebagai ekspresi batin yang melibatkan tindakan fisik simbolis. Namun, yang perlu diingat adalah frasa “ritual” tidak terisolasi hanya pada ranah agama, melainkan juga budaya dan adat-istiadat.

Umat Kristen, seperti halnya komunitas tradisi atau agama lain, pun memiliki ritual yang unik. Para pengikut Kristus memiliki ritual khasnya, dengan melakukan sakramen baptisan, perjamuan kudus, berdoa, bernyanyi, beribadah di gereja, berpuasa, kolekte, bersaksi, dan beragam ekspresi iman lainnya.

Ritual-ritual Kristiani

Frasa “ritual” sendiri berasal dari bahasa Latin “ritualis” dengan akar kata “ritus” yang biasanya dipahami sebagai jenis upacara atau kegiatan. Kata “ritual” dalam bahasa Inggris menjadi lebih dikaitkan dengan agama mulai pada tahun 1600-an. Ritual dalam iman Kristiani sendiri, secara mendasar dilandasi oleh ungkapan syukur kepada Allah yang telah menyelamatkan umat-Nya melalui Sang Juruselamat Yesus Kristus (Mazmur 28:7; Ibrani 12:28; Kolose 3:1). Berdoa adalah salah satu ritual umum dalam iman Kristiani. Praktik ini berakar dari Perjanjian Lama, dan terus berlanjut dalam Perjanjian Baru, seperti dapat dilihat pada doa harian yang dilakukan secara teratur baik di rumah maupun di Bait Allah, Yerusalem. Dalam Kisah Para Rasul kita membaca bahwa doa dilakukan tiga kali (2:15; 10:9; 10:30-31; 3:1). Menurut Maxwell E. Johnson dalam “The Apostolic Tradition,” in The Oxford History of Christian Worship, hal ini sesuai dengan pengorbanan Bait Suci pada pagi hari (sekitar pukul 09.00), tengah hari, dan sore hari (sekitar pukul 15.00). Jemaat akan berdiri di luar Bait Suci sambil berdoa ketika imam mempersembahkan dupa di atas mezbah (bdk. Lukas 1:10).

Ritual lainnya, menyanyikan pujian. Seringkali memang seperti tidak ada batasan yang jelas antara menyanyikan pujian, berdoa, dan membaca Alkitab. Dalam Kitab Suci, memuji Allah dapat merujuk pada doa dan juga nyanyian (Kisah Para Rasul 16:25; Ibrani 13:15). Pengajaran juga dapat berbentuk nyanyian, seperti membaca mazmur yang dapat disebut sebagai menyanyikan “puji-pujian dan nyanyian rohani” (Kolose 3:16; Efesus 5:19). Jesper Svenpro dalam “Archaic and Classical Greece: The Invention of Silent Reading,” in A History of Reading in the West, menunjukkan lagu-lagu rohani juga bisa jadi merupakan ekspresi iman spontan yang diilhami oleh Roh Kudus. Menyanyi sebagai doa dan pengajaran turut dilatarbelakangi fakta bahwa membaca memang jarang dilakukan di dunia kuno. Praktik membaca justru biasa menjadi aktivitas vokal atau bahkan musik (Filipi 2:5-11; Kolose 1:15-20; dan 1 Petrus 3:18-22). 

Perjamuan Kudus juga merupakan ritual dalam laku sakramen “makan serta minum tubuh dan darah Yesus Kristus.” Sakramen sendiri merupakan “tanda yang terlihat” atau simbol yang dapat ditangkap pancaindra, sehingga anugerah keselamatan Allah yang adikodrati dapat dihayati umat pilihan-Nya. Tradisi Kristiani lainnya menyebut sakramen sebagai “Misteri Suci.” Perjamuan Kudus adalah inti dari ibadah Kristen mula-mula dan dimaksudkan untuk terus mengenang Kristus dan ajaran-Nya. Sejak awal dalam tradisi Kristiani, ritual ini dikaitkan dengan perkataan Yesus, “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (1 Korintus 11:24; Lukas 22:19). Ajakan “mengingat” ini demi menghayati kembali peristiwa ”pemecahan roti” yang Kristus lakukan dalam Perjamuan Akhir (Lukas 24:35).

Dalam sejarah, orang Kristen mula-mula berusaha menjaga ingatan ini tetap hidup dengan melakukan “komuni” atau memecah-mecahkan roti setiap hari dan memanjatkan doa (Kisah Para Rasul 2:42, 46). Namun, di kemudian hari dalam kitab yang sama Lukas menginformasikan, orang-orang Kristen memecah-mecahkan roti pada hari pertama dalam pekan itu, yaitu hari Minggu (Kisah Para Rasul 20:11). Para ahli umumnya percaya perjamuan ini adalah sebuah peraturan dan perjamuan yang asli. Meskipun kita tidak mengetahui semua detail dari praktik ini, Perjanjian Baru menyebutkan perjamuan mencakup makanan seperti roti, anggur, ikan, dan sejenisnya (Lukas 24:39-43; Yohanes 21:12-13). Mereka juga menyertakan kegiatan seperti berkhotbah dan berdoa, dan para anggota jemaat makan “dengan sukacita dan dengan hati yang tulus” (Kisah Para Rasul 2:46).

Selain itu, ritual yang dikenal paling khas dari iman Kristiani adalah Baptisan. Kata kerja Yunani βαπτίζω (baptizō) memiliki arti antara lain: menyiram, menyeka, menyelam, mencelupkan atau bahkan menceburkan seseorang ke dalam air. Dalam Perjanjian Baru, praktik pembaptisan secara selam tampak tersirat, karena Yesus “keluar dari air” setelah ritual tersebut dilakukan (Markus 1:10; bandingkan dengan Roma 6:3-6). Meski demikian, sejarah dan faktanya hingga kini, gereja memiliki praktik baptisan yang berbeda, seperti dipercik maupun disiram secara terbatas di atas kepala peserta baptis. Keragaman metode teknis baptisan ini suatu keniscayaan dan bukan hal yang perlu diperdebatkan, justru kita didorong membuka hati bagi perbedaan itu sebagai kekayaan ekspresi iman yang perlu dirayakan. 

Injil-injil Sinoptik setuju bahwa tujuan baptisan Yohanes adalah untuk menghasilkan pertobatan dan pengampunan dosa (Markus 1:4; Matius 3:11; Lukas 3:3), bahkan Injil Yohanes memusatkan perhatian pada “Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia” (Yohanes 1:29). Injil Yohanes juga menyamakan baptisan dengan “dilahirkan kembali.” Kelahiran kembali ini memiliki makna ganda dalam teks Yunani, karena kata ἄνωθεν (anōthen) dapat berarti: (1) “kembali” atau (2) “dari atas.” Dalam teks ini, Nikodemus tampak tidak mengerti karena ia berpikir bahwa ia harus “dilahirkan kembali” secara harfiah, sebab ia belum paham bahwa “dilahirkan kembali” itu bermakna spiritual atau “dilahirkan dari Allah” (Yohanes 3:3-7, 3:31, 19:11, 23).

Akhirul Kalam

Apakah semua ritual itu wajib kita jalankan? Kalau kita tidak melakukannya, akan berdampak apa? Dari sedikit uraian di atas, tampak jelas bahwa ritual dalam iman Kristiani memberi kita kesempatan mengingat kisah-kisah penting dalam Alkitab dan ajaran Juruselamat serta Guru Agung kita Yesus Kristus. Semua ritus religius gerejawi yang dilandasi kisah dalam Alkitab, secara khusus Perjanjian Baru, membuka ruang bagi orang percaya untuk tetap belajar merenungkan pesan-pesan iman yang dia dengar dari sabda Tuhan (Roma 10:17). Ritual secara simbolis membantu kita mengungkapkan dan merayakan iman kepada Allah secara nyata, sekaligus menghubungkan diri kita di masa kini dengan kesinambungan sejarah iman umat Kristiani di sepanjang segala abad. 

Kita diajak memahami, bahwa ritual Kristen memiliki peran penting dalam mengaktualisasikan iman dan memperdalam relasi kita dengan Allah Yang Maharahim. Penting diingat bahwa sifat dan signifikansi ritual dalam iman Kristen dapat bervariasi antara denominasi dan kelompok gereja. Di sini kita diundang untuk menghargai dan mengapresiasi setiap ekspresi iman tiap kelompok Kristiani dalam menjalankan ritualnya. Tidak perlu saling merendahkan maupun menganggap diri lebih benar atau superior dari denominasi yang lain. Beberapa komunitas Kristiani mungkin menekankan beberapa ritual lebih dari yang lain, atau sebaliknya. Ini merupakan keindahan taman teologi gereja yang perlu dirayakan. Ritual adalah bagian dari ungkapan cinta kita kepada Allah, sekaligus ikhtiar dalam menggenapi tujuan hidup kita, yaitu memuliakan Dia (Roma 11:36; 1 Korintus 10:31; Mazmur 73:25-26).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Dosa Apa yang Paling Kamu Sesali?

Dari 11 orang yang kami ajak ngobrol soal dosa, tiap mereka punya cerita sendiri tentang dosa apa yang paling mereka sesalin. Ada yang inget banget sama kepahitan, pernah nyolong, atau karena merasa sudah sering banget bikin dosa, jadi bingung dosa apa yang memang bener-bener disesalin.

Namun, gak peduli seberapa dalam kita jatuh ke dalam kubangan dosa, Tuhan selalu membuka tangan-Nya untuk memberi pengampunan.

Hari ini, pada momen yang diperingati sebagai Rabu Abu, kita diajak untuk kembali hidup dalam pertobatan. Apa pun dosa yang mencengkeram hidupmu, anugerah-Nya selalu tersedia untuk memerdekakanmu. Dia senantiasa menantimu untuk kembali kepada-Nya.

Namun, maukah kamu datang kepada-Nya?

WarungSaTeKaMu © 2023

Maksud Hati Cerita tentang Yesus, Malah Jadi Canggung

Membagikan Injil di zaman now emang gak mudah. Kita pasti berhadapan dengan risiko ditolak, dijauhi, atau bahkan dianggap terlalu kolot. 

Tapi, membagikan Kabar Baik adalah tugas kita setiap orang percaya.

Gimana nih pengalamanmu? Boleh yuk share 🙂 

Kamu Diutus Jadi Saksi bukan Hakim

Oleh Joshua Effendy, Semarang

Kita tidak dipanggil menjadi Hakim, kita dipanggil untuk menjadi saksi.

Kalimat ini aku dengar ketika mendengar khotbah dari rohaniwan di gerejaku. Sebuah kalimat yang menyadarkan dan mencelikkan kembali mata imanku yang mulai terpejam. Memang pada saat itu aku sedang ragu-ragu untuk memilih: bersaksi tentang Tuhan kepada temanku yang beragama lain dengan risiko pertemanan yang merenggang atau tidak bersaksi dan pertemanan ini berjalan tanpa embel-embel iman. Selama ini, aku merasa bahwa pertemanan seharusnya murni tanpa ada motivasi-motivasi untuk ‘Kristenisasi’, tetapi aku selalu punya dorongan dan keinginan untuk mendoakannya secara langsung, bahkan mengajaknya ke gereja. Aku diingatkan kembali, “bukankah setiap orang adalah gambar dan rupa Allah yang seharusnya menjadi cerminan Allah di dunia ciptaan-Nya?” Artinya, kehadiran kita harusnya menjadi cerminan bagaimana kasih sayang Allah hadir bagi mereka yang belum percaya juga, sehingga mereka rindu mengenal Allah.

Singkat cerita, akhirnya aku memberanikan diri untuk mendoakan dia di saat ada masalah, bahkan mengundangnya untuk datang persekutuan pemuda di gerejaku dalam event-event khusus. Puji Tuhan, yang aku takutkan justru tidak terjadi. Bahkan, sampai saat ini kami sering bertukar kabar, membagikan ayat Alkitab dan saling mendoakan.

Dari peristiwa itu, aku memahami bahwa sejak manusia diciptakan, manusia dipilih untuk menjadi ‘wakil-wakil Allah’.  Artinya, kita dipanggil untuk menjadi ‘rekan kerja Allah’, untuk mengatur dan mengelola dunia ciptaan-Nya. Kejatuhan dalam dosa membuat manusia tidak lagi mencerminkan Allah, tetapi mencerminkan egonya masing-masing. 

Aku meyakini, bahwa banyak orang yang dipanggil Tuhan untuk menerima panggilan menjadi orang percaya, tetapi sedikit yang dipilih untuk menikmati anugerah ini. Mereka yang dipilih Tuhan, pastinya menerima panggilan itu dengan sukacita, tetapi mereka yang tidak dipilih, menghidupi panggilan itu dengan setengah hati. Sebagaimana Firman Tuhan menyatakan bahwa ‘banyak yang dipanggil, tetapi sedikit yang dipilih’ (Mat. 22:14), menunjukkan secara jelas bahwa ada orang-orang yang menerima panggilan Tuhan namun tidak sungguh-sungguh mengerjakan panggilan itu, tetapi ada juga orang-orang pilihan Allah yang dengan sepenuh hati mengerjakan panggilan sebagai orang percaya. Bagiku, ada perbandingan lurus antara orang yang dipilih dengan yang tidak: seseorang yang sepenuh hati mengikut Tuhan, pasti mengerjakan panggilannya dengan sepenuh hati, sedangkan seseorang yang setengah hati mengerjakan panggilan itu, maka juga tidak mungkin mengikut Tuhan sepenuh hati pula. Motivasi hati di dalam menjalani panggilan itu bukan soal baiknya, pintarnya, cakapnya kita, melainkan hanya kasih karunia Tuhan semata yang memanggil dan memilih setiap kita untuk menjadi saksi-Nya.

Jadi, panggilan berbicara mengenai kehendak bebas manusia, sedangkan pilihan berbicara tentang kedaulatan Tuhan yang memilih suatu kelompok untuk menerima panggilan itu. Seseorang yang terpanggil, belum tentu mau menundukkan dirinya menjadi orang pilihan Allah untuk bersaksi. Semuanya murni adalah kasih karunia Allah dan karya Roh Kudus. Melalui penebusan Yesus, panggilan sebagai umat Allah pun dipulihkan juga, yaitu menjadi imamat rajani [religious leaders – terjemahan NLV] (1 Petrus 2:9). Dalam kehendak bebasnya, orang percaya tetap beroleh kebebasan untuk memilih: mengikuti atau mengabaikan panggilan Tuhan.

Panggilan Tuhan bagi orang percaya adalah agar kita menjadi imam-imam (spiritual leaders) yang membawa orang lain untuk mengenal Dia dengan mewartakan berbagai perbuatan-Nya, atau jika aku sederhanakan yaitu menjadi saksi-saksi Tuhan. Bukankah panggilan untuk menjadi terang dan garam dunia berbicara tentang menjadi saksi yang memberikan dampak lewat kehidupan kita?

Tapi, coba kita lihat kehidupan kita saat ini: lebih sering menjadi saksi, atau justru menjadi hakim? Tanpa aku sadari, aku pun cenderung menjadi hakim bagi sesamaku. Julid, gossip, melontarkan komentar-komentar buruk, bahkan merendahkan adalah wujudnyata bagaimana aku yang seharusnya menjadi saksi justru menghakimi. Ada banyak alasan kita lebih mudah menghakimi orang lain daripada menjadi saksi: salah satunya adalah harga diri. Jika kita meletakkan harga diri pada hal-hal tertentu, maka kita akan merasa berhak untuk menghakimi orang lain yang tidak mencapai ‘standar’ kita. Oleh sebab itulah, ketika kita menghakimi orang lain, kita selalu menempatkan posisi kita (harga diri) di atas orang yang kita hakimi itu. Seolah-olah ‘si aku’ adalah si paling benar dalam perkara itu. Perenunganku beberapa hari ini membawaku kepada satu kesimpulan: sebagai seorang saksi sudah saatnya untuk kita bersaksi!

Sebenarnya, menjalani panggilan Tuhan sebagai saksi-saksi-Nya tidak seberat dan sesulit yang kita bayangkan. Kita keburu overthinking yang berujung takut sehingga tidak berani menjadi saksi-saksi-Nya. Padahal, jika kita sungguh-sungguh mengasihi Tuhan, maka tidak ada rasa takut yang membuat kita kesulitan untuk bersaksi tentang-Nya (1 Yoh.4:13-18).

Jadi, bagaimana cara kita menjadi saksi-saksi Tuhan di zaman now?

1. Tuhan dulu, saya kemudian.

Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil.

(Yohanes 3:30)

Ketika Yohanes diberitahu para muridnya bahwa ada seorang bernama Yesus yang membuat banyak pengikut Yohanes pindah haluan, responnya adalah teladan bagi setiap kita: ‘Ia harus makin dikenal, tetapi aku harus makin kecil’. Sanggupkah kita berkata demikian ketika kita dihujani pujian, sanjungan, dan hormat pada momen puncak kita?

Aku pun memiliki kecenderungan untuk jatuh dalam tinggi hati dan mengambil semua pujian dan hormat orang untukku sendiri. Menjadi saksi Tuhan mengingatkan kita bahwa tugas kita adalah menceritakan tentang Tuhan yang kita saksikan, bukan tentang kehebatan kita sebagai saksi-Nya. Kalaupun Tuhan memakai kesaksian kita untuk menggerakkan orang menjadi percaya, itu semua adalah karena-Nya, bukan karena kita.

Tinggi hati mendahului kehancuran (Ams. 18:12), banyak tokoh-tokoh Alkitab yang berusaha membuktikan dirinya sendiri dan menomorduakan Tuhan justru berujung pada kehancuran. Bahkan Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa ketika mereka ingin menjadi seperti Allah. Setiap orang yang menggantikan Allah sebagai yang nomor satu dalam hatinya pasti berujung kepada penyesalan dan terikat dengan hal sia-sia. 

Tujuan kita bersaksi bukanlah agar banyak orang mengenal diri kita, melainkan agar banyak orang boleh mengenal pribadi Tuhan melalui kehidupan kita. Jangan kejar ketenaran dan pujian manusia, kejarlah perkenanan Tuhan. ‘It is better to have God’s approved, than world’s applaud’.

2. Nikmati Tuhan, Nikmati Panggilan

“Aku hendak menyanyikan kasih setia Tuhan selama-lamanya, hendak memperkenalkan kesetiaan-Mu dengan mulutku turun-temurun” (Mazmur 89:2).

Mengapa kita tidak pernah menikmati panggilan Tuhan untuk bersaksi? Karena kita tidak terlebih dahulu menikmati Dia sebagai Pribadi yang akan kita ceritakan kepada orang lain. Aku pasti kesulitan ketika mau bercerita tentang enaknya masakan Mbok Inem jika tidak mencobanya terlebih dahulu, beda cerita jika aku pernah bahkan sering menikmati enaknya masakan Mbok Inem. Pasti dengan mudahnya aku bisa menceritakan bahkan sampai hafal secara detil rasa bahkan menu yang dimasaknya.

Kita seringkali kesulitan bersaksi dan bingung ‘mau cerita dari mana’, karena kita tidak menikmati Tuhan terlebih dahulu. Menjadi seorang saksi berarti menceritakan hal-hal yang dilihat, dialami, dirasakannya sehingga ceritanya otentik tanpa perlu dibumbui apapun. Pemazmur hendak menyaksikan kasih setia Tuhan dari generasi ke generasi oleh karena ia sendiri mengalami dan menikmati Tuhan.

Seringkali kita tidak menikmati panggilan sebagai saksi bahkan menganggapnya sebagai beban, karena kita sendiri belum mencicipi kasihnya Tuhan. Aku yakin, sekali kita mencicipi kasih Tuhan, mulut kita tidak akan pernah berhenti menceritakan tentang-Nya. Kita akan berusaha menceritakan bagaimana Tuhan bekerja dan apa yang Tuhan buat dalam hidup kita kepada orang lain.

Panggilan Tuhan untuk menjadi seorang saksi bukanlah panggilan yang mengekang kebahagiaan diri kita, membuat kita terbeban dan kesulitan, tetapi adalah panggilan yang sudah disetel sejak kita dipilih bahkan dikenal-Nya sebelum kita diciptakan. Bagiku, ketika kita menghidupi panggilan itu, sekalipun kita disalah pahami, dicela, dianggap sok suci, mengalami sakit hati, dan hal tidak mengenakkan lainnya, hati kita tetap memiliki sukacita yang membuat kita terus menyaksikan Tuhan – lewat perkataan ataupun sikap hidup kita.

3. Beraksi tanpa tunggu instruksi

“Sebab engkau harus menjadi saksi-Nya terhadap semua orang tentang apa yang kaulihat dan yang kaudengar” (Kisah Para Rasul 22:15).

Perjalanan 1000km diawali dengan sebuah langkah pertama, dan langkah pertama itulah yang paling sulit untuk dilakukan. Aku pun cenderung overthinking sebelum bersaksi ‘What if’. ‘bagaimana jika aku ditolak, bagaimana jika aku dipermalukan, dijauhi, dimusuhi, bahkan ditindas karena bersaksi tentang Tuhan? Bagaimana jika aku tidak mengerti apa yang harus dijawab ketika mereka menanyakan tentang pokok Kekristenan?’ dan berbagai pikiran lainnya.

Semua alasan-alasan itu adalah cara kita untuk menunda bersaksi bagi Tuhan. Padahal, bersaksi tidak perlu menunggu instruksi melainkan intuisi (kepekaan). Di saat ada momen yang Tuhan sediakan dan ada kegerakan, disitulah kita bercerita tentang Tuhan.

Bersaksi juga tidak harus selalu dengan cara-cara yang selama ini terpikir: menginjili orang lain sampai percaya. Bersaksi dapat kita lakukan dengan membagikan renungan dari pembacaan Alkitab kita di medsos, membagikan ayat-ayat Alkitab, membagikan konten-konten rohani, atau berusaha hidup seturut Firman. Namun, bukan berarti ketika kita menemukan renungan yang pas dan menegur kita bagikan itu secara sengaja agar orang lain tertegur dan kita justru menghakimi mereka dengan ayat-ayat atau renungan yang kita bagikan. Itu adalah cara menghakimi yang terselubung. Bahkan, bukan berarti kita terjatuh dalam oversharing yang membanjiri timeline ataupun story dengan berbagai hal rohani – entah agar dilihat sebagai seorang yang rohani, ataupun asal share tanpa merenungkan bahkan menyaring dengan baik apa yang kita bagikan. Ingat: Saring sebelum sharing, dan motivasi hati kita adalah untuk membagikan berkat Tuhan, bukan menampilkan ‘si aku’ di atas segala-galanya, dan hanya ‘nampak rohani’ di media sosial saja.

Perenungan terhadap firman Tuhan harus terlebih dahulu mengena pada ‘si aku’, sehingga kita mengalami perubahan hidup untuk semakin diperlengkapi menjadi saksi-saksi Tuhan. Sesederhana itu cara bersaksi, namun Tuhan dapat memakai cara-cara yang sederhana itu untuk menyatakan kemuliaan-Nya.

Kita tidak perlu takut dan khawatir, ketika kita bersaksi tentang Tuhan, maka Ia sendiri yang akan menjaga dan mengurapi kita untuk dapat memberitakan perbuatan besar dari-Nya.

***

Sekaranglah waktunya bagi kita orang percaya untuk beraksi menjadi saksi Tuhan. Melalui kehadiran kita yang menjadi saksi, maka akan banyak jiwa-jiwa yang diselamatkan. Ketika kita mau meresponi panggilan Tuhan atas hidup kita, Tuhan pun akan menolong dan memampukan kita untuk menjalani panggilan itu. Ia yang memanggil kamu adalah setia, Ia juga akan menggenapinya. (1 Tesalonika 5:24). Tuhan Memberkati.

Soli Deo Gloria.

4 Cara Sederhana Membagikan Injil di Zaman Now

Oleh Madeline Kalu
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Am I Responsible For My Friend Salvation?

Rasanya baru kemarin aku memulai hidup baru bersama Tuhan Yesus.

Perubahan hidup itu terjadi tepatnya 10 tahun lalu, pada suatu malam yang dingin di bulan Januari. Temanku yang bernama Hannah memimpinku berdoa dan mengakui dosa. Kami melakukan itu di dalam mobil yang kami parkir di luar supermarket. Dalam pernyataan imanku, aku menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatku.

Perubahan hidupku pun terjadi dengan cepat. Aku merasa hidupku bersih dan enteng, seolah-olah semua kesalahan dan keputusan burukku di masa lalu terhapus. Yang lebih penting, aku merasa dicintai dan diterima apa adanya terlepas kegagalan dan kekurangan. Cinta ini kuyakin hanya bisa datang dari Tuhan saja.

Bulan demi bulan pun berlalu. Aku menjalani hidup yang baru bersama Tuhan dengan rasa syukur dan hati membara untuk semakin mengenal Juruselamatku. Hannah tetap membimbingku. Dia mengajarkanku tentang Amanat Agung dari Matius 28:19-20.

Pikiranku langsung tertuju pada teman-teman dekatku yang tidak mengenal Yesus. Aku sadar bahwa pergumulan dan kepedihan yang mereka alami seringkali diakibatkan dari pencarian mereka akan tujuan hidup, akan sebuah identitas. Aku merasa terbeban kepada mereka.

Aku ingin menolong mereka agar mereka mengenal kebebasan, kedamaian, dan kasih dari Bapa seperti yang juga kualami. Aku juga khawatir akan kehidupan kekal mereka jika mereka tidak mengenal Tuhan. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk “membantu” teman-temanku mengenal keselamatan, yang rupanya malah menyebabkan situasi canggung antara aku dan mereka.

Ini kisahnya. Kami pergi ke suatu kota di malam Minggu. Beberapa temanku ingin mengunjungi kawasan “red district” atau kita kenal dengan istilah lokalisasi. Di sana para turis bisa melihat para pekerja seks komersial yang ‘dipajang’ di balik pintu kaca yang diberi lampu berwarna merah. Aku sulit menerima usulan mereka, sementara teman-temanku yang lain berpikir tidak ada yang salah dengan sekadar berjalan-jalan ke sana. Bagiku, menjadi PSK bukanlah dambaan bagi para wanita di sana. Aku bersimpati pada perjuangan mereka.

Aku bilang pada teman-temanku bahwa Tuhan menghendaki tubuh kita kudus dan berkenan bagi-Nya (Roma 12:1). Sebagai orang Kristen, aku tidak mau mengejar hal-hal duniawi, sehingga seharusnya orang lain pun begitu. Teman-temanku menyanggahku. Mereka bilang bahwa bukan bagianku untuk mendikte mereka tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan yang terutama, apa yang mereka harus percayai.

Aku ingin teman-temanku mengenal kasih Yesus, tetapi pengalaman canggung itu kemudian mengajariku bahwa keselamatan masing-masing individu bukanlah tanggung jawabku. Setiap orang bertanggung jawab atas keselamatan mereka sendiri. Tuhan ingin setiap orang dengan sukarela berelasi dengan-Nya, dan bukan bagianku untuk memaksa seseorang percaya sesuai dengan metodeku. Namun, aku tetap punya kewajiban untuk membagikan Injil. Sejak kejadian canggung itu, aku telah belajar untuk melayani teman-temanku dengan cara yang berbeda dengan harapan itu akan menolong mereka melihat terang Kristus.

Dari pengalamanku, izinkan aku membagikan 4 cara untuk menjangkau teman-teman kita yang belum percaya.

1. Biarlah iman kita bersinar melalui kehidupan kita

Aku bisa menjadi juru bicara yang baik untuk Kristus ketika teman-temanku melihat bagaimana aku hidup sebagai orang Kristen. Aku suka firman dari Matius 5:16, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”

Satu perubahan besar yang terjadi setelah aku mengikut Yesus adalah aku tidak lagi menggunakan kata-kata sumpahan atau umpatan. Teman-temanku tidak hanya memperhatikan perubahan ini, tetapi mereka juga benar-benar minta maaf jika mereka mengumpat di hadapanku.

Daripada berbicara hal negatif, sekarang aku mencoba untuk menggunakan kata-kata yang dapat membangun orang sekitarku (1 Tesalonika 5:11). Aku coba menunjukkan kasih Tuhan pada teman-temanku dengan menjadi seorang yang sabar, baik hati, dan berempati, seperti yang Yesus lakukan pada kita.

2. Tetaplah bagikan kesaksian kita

Tuhan terus bekerja dalam hidup kita, dan kita bisa membagikannya dengan teman-teman kita. Ketika suamiku dan aku bergumul dalam masalah finansial, Tuhan datang dan menyediakan kami sejumlah uang yang diberikan oleh teman, ada uang yang masuk di rekening kami dari orang yang tidak kami kenal, bahkan beasiswa untuk suamiku. Teman-temanku tidak hanya menyaksikan bagaimana Tuhan telah mengubah hidupku, tetapi mereka juga lebih banyak tentang Tuhan melalui apa yang terjadi dalam hidupku.

Aku memperhatikan bahwa teman-temanku lebih menerima mendengar tentang Tuhan ketika mereka dapat melihat pekerjaan nyata melalui peran-Nya sebagai Tuhan yang hidup dan Bapa yang pengasih. Beberapa temanku bahkan mulai menghubungkan hal-hal baik dalam hidup mereka karena berkat Tuhan, bukan karena hasil kerja keras, keberuntungan, atau nasib mereka.

3. Kita bisa menciptakan ruang yang aman dan saling menghargai

Aku dan teman-temanku telah menciptakan ruang yang aman dalam hubungan kami, di mana kami saling menghargai satu sama lain, dan setiap orang bebas untuk menjadi diri sendiri. Kami menerima kelemahan satu sama lain, juga memaafkan kesalahan yang dilakukan.

Aku memang berbicara tentang Tuhan dengan teman-temanku, tapi sekarang aku lebih bijaksana dan menimbang setiap situasi dengan hati-hati sebelum membagikan pendapatku, daripada membombardir mereka dengan ayat-ayat Alkitab.

Karena ruang aman yang sudah tercipta itu, teman-temanku merasa nyaman untuk mendekatiku ketika mereka memiliki pertanyaan tentang Tuhan, karena mereka tahu aku tidak akan menghakimi dan menghujat mereka.

4. Tetaplah berdoa untuk keselamatan teman-temanmu

Pernahkah kamu menonton film War Room? Wanita tua dalam film itu memiliki lemari khusus—yang dia sebut sebagai “ruang perang”—yang disediakannya untuk doa teratur, doa penuh semangat, dan doa khusus untuk mendoakan orang-orang sekitarnya.

Aku banyak berdoa untuk keselamatan teman-temanku. Aku telah menulis daftar nama orang-orang yang kuharap suatu hari nanti akan memiliki hubungan yang sesungguhnya dengan Tuhan, dan menggantung daftar nama ini di ruanganku–”war room” milikku sendiri.

***

Teman-temanku mungkin suatu hari akan memilih Kristus, atau mungkin tidak. Namun, aku akan terus berteman dengan mereka dan mengasihi mereka dengan kasih yang telah Tuhan tunjukkan padaku.

Karena itu, aku tidak akan putus asa bahwa, suatu hari, teman-temanku akan menerima Yesus untuk masuk dalam hati mereka. Sampai hari itu datang, aku akan terus beriman, percaya atas kasih Tuhan, dan berdoa.

Yang Kamu Dapat Cuma-Cuma, Bagikanlah Juga dengan Cuma-Cuma

Oleh Cristal Tarigan

Awal Januari harusnya menjadi tahun yang penuh sukacita bagi kebanyakan orang. Kumpul dengan keluarga, membuat resolusi, menikmati pesta tahun baruan dan makanan yang enak-enak. Tapi, di awal tahun 2018 lalu, ada hal yang mengganggu sukacitaku.

Sepulang dari menikmati pesta tradisi adat keluarga dari mamaku, aku mandi untuk menyegarkan diri dan saat menggosok seluruh badan, aku merasa ada sesuatu yang asing di bagian tubuhku di dekat leher daerah dekat bahu. Karena merasa janggal, dan bingung, kutanyakan semua anggota keluargaku apakah di dekat leher mereka juga punya benjolan sepertiku, tapi semuanya nihil.

Beberapa minggu berlalu benjolan itu tidak juga hilang. Awalnya tidak ada rasa takut, karena merasa itu mungkin hanya masuk angin saja. Aku terlalu banyak pergi jalan-jalan selama beberapa hari di awal tahun. Tapi saat sudah memasuki bulan April, di situlah aku mulai overthinking dengan kondisiku.

Saat itu aku sedang kuliah dan kos di kota Medan. Kesendirianku di kamar kos itulah yang menjadi tempat di mana aku sering berpikir yang aneh-aneh, khawatir, takut dan menangis. Kujalani hari-hariku dengan orang lain seperti tidak ada apa-apa, tapi saat sendirian aku benar-benar terpuruk karena aku takut benjolan ini bisa saja membawa sesuatu yang sangat fatal bagi masa depanku. Aku sering mencari banyak informasi di internet tentang kemungkinan yang menjadi penyebab sakitku, tapi bukannya membuatku menemukan jawaban yang pasti, justru informasi itu membuatku semakin hari semakin khawatir.

Mengakhiri ketakutan dengan mulai membagikan Kabar Baik

Sebelum kejadian di 2018 itu, kujelaskan sedikit tentang latar belakang rohaniku. Aku lahir dari keluarga Kristen yang cukup “rohani”. Aku mengikuti banyak kegiatan rohani, memegang jabatan rohani. tetapi sebenarnya aku baru lahir baru di tahun 2015. Sejak tahun itu aku memulai perjalanan hidup baruku dengan Kristus, dan juga terlibat dan kegiatan komunitas Kristen di kampusku. Jadi di saat aku mengalami sakit itu, bukannya aku tidak mengerti bahwa dalam segala hal kita harus berserah kepada Tuhan. Ada segudang teori yang bisa aku bagikan kepada orang lain saat ada kegiatan sharing bersama, tapi dalam kondisi itu selama berbulan-bulan lamanya aku jatuh, aku memang berdoa, menyembah bahkan menangis dalam tiap doaku, tapi aku sadar, sebenarnya saat itu aku bukan berdoa kepada Tuhan. Aku berdoa kepada diriku sendiri, menghendaki Tuhan menjawab doaku seperti keinginanku sendiri. Itulah yang sebenarnya kulakukan setiap kali menghampiri Tuhan lewat doa. Sampai suatu hari aku berdoa, menyanyi, menangis dan entah kenapa aku merasa seperti Tuhan bertanya secara pribadi kepadaku begini “apa yang menurutmu paling berharga yang kau miliki selama hidupmu?”

Kurenungkan pertanyaan itu sampai berhari-hari untuk menemukan jawabannya. Hari di mana aku merasa hidupku berubah seutuhnya adalah ketika aku menerima Yesus sebagai Juruselamatku. Saat itu ada seseorang kakak yang menceritakan Injil dengan rendah hati kepadaku. Inti Ceritanya adalah Yesus satu-satunya jalan keselamatan. Hidup kekal adalah anugerah yg didapat cuma-cuma dari Allah, bukan karena seberapa baiknya aku dan sebanyak apa kegiatan pelayananku, satu-satunya syarat memiliki hidup kekal adalah Iman yang percaya kepada Yesus dengan segenap hati.

Ketika aku sadar bahwa Injil adalah cerita yang paling berharga, aku pun bangkit dan diteguhkan bahwa aku punya tugas menjadi saksi-Nya. Saat itu aku bukanlah seorang penginjil yang sudah diperlengkapi dengan berbagai metode yang bisa aku bagikan dengan teknik-teknik yang luar biasa. Hanya dengan kesadaran bahwa aku sudah mengalami, aku sudah terima, maka artinya aku adalah saksi-Nya dan tugasku adalah bersaksi.

Kumulai saat itu membagikan ceita Injil dengan bahasa apa adanya kepada teman-teman terdekatku. Mereka adalah orang-orang sepertiku dulu sebelum lahir baru. Meskipun sehari-hari tampaknya aktif dalam banyak kegiatan rohani, tapi mungkin saja seseorang masih memiliki pemahaman yang dangkal soal Injil. Berawal dari teman terdekat, aku belajar mengikis rasa takutku sampai akhirnya kini membagikan kabar baik itu adalah sebuah gaya hidup.

Mencontohkan iman itu bisa dalam berbagai hal. Contohnya adalah dengan kesaksian hidup sehari-hari, dari cara berbicara, berpakaian, bekerja, dan berbagai perbuatan lainnya tanpa harus secara terang-terangan membagikan isi Injil, dan mengangkat kata-kata Yesus. Tidak salah bahwa kesaksian hidup bisa mempengaruhi pandangan orang lain yang membuatnya pada akhirnya penasaran, bertanya, dan kita bisa menjelaskan imanlah alasan kita melakukannya. Tapi hendaknya kita tidak lupa bahwa tugas saksi memanglah bersaksi. Selain kita harus bisa menjadi teladan lewat kesaksian hidup, kita memang secara sengaja mendoakan orang-orang di dekat kita lalu mulai berani memulai berbagi dan percaya Roh kudus yang memimpin setiap percakapan dalam kesaksian kita.

Mengalami sendiri Berita Injil

Akhirnya, awal tahun 2019, aku sudah operasi atas saran dokter. Sebenarnya sakit ini tanpa gejala, tapi namanya penyakit harus diobati, akhirnya aku ikuti saja saran dokter. Hasilnya, penyakitku tidak semenakutkan yang aku pikirkan, benjolanku itu bukan sesuatu yang fatal. Dokter menyarankanku kontrol setiap tahun jika kemudian ada hal-hal yang aneh dan terasa tidak nyaman setelah operasi itu dilakukan, dan menerapkan pola hidup sehat.

Proses itu membuatku memahami Yesus bahkan tentang pengorbanan-Nya lebih banyak lagi secara Pribadi. Injil yang aku dengar dan aku bagikan itu sendirilah yang sudah membuatku menyadari betapa luar biasanya Yesus yang aku kenal, yang tidak meninggalkanku di kala lembah terdalam melandaku. Sampai kini, itulah janji-Nya yang gak pernah Dia ingkari.

Memang awalnya aku tidak paham sama sekali kejadian yang diizinkan Tuhan di awal tahun 2018 itu, tapi kini aku tahu, setiap maksud Tuhan selalu mendatangkan kebaikan. Jangan pernah takut bersaksi, kesaksian tidak selalu kita mulai karena kita harus mengalami hal yang luar biasa atau sebuah mukjizat. Setiap kita yang sudah mengalami sendiri Yesus, aku percaya kita semua adalah saksi-saksi yang bisa dan sudah diperlengkapi-Nya untuk kembali memuliakannya.

“Jadi janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita dan janganlah malu karena aku, seorang hukuman karena Dia, melainkan ikutlah menderita bagi Injil-nya oleh kekuatan Allah” (2 Tim 1:8).

3 Tipe Teman yang Kita Semua Butuhkan

Oleh Alwin Thomas
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Types of Friends We All Need

Friends, How I Met Your Mother, The Big Bang Theory—itulah sedikit dari tontonan favoritku. Aku pernah membayangkan bagaimana asyiknya tinggal bersama teman-teman dekat di satu apartemen, seperti yang dikisahkan di film-film. Kami bisa nonton bareng, main game bareng, juga curhat tentang segalanya. Impian yang menyenangkan!

Impian itu jadi kenyataan ketika aku pindah ke luar negeri untuk kuliah. Aku tinggal di semacam apartemen khusus mahasiswa. Tapi, meski impian tinggal bersama teman-teman itu terwujud, realitanya tidak semua impian itu menyenangkan. Sepanjang waktu kuliahku, aku mengalami beberapa kejadian sakit hati, pengkhianatan, dan kekecewaan.

Aku yakin kita semua pernah mengalami relasi yang rusak. Mungkin pengalaman inilah yang mempengaruhi pandangan kita kalau mempertahankan pertemanan yang sejati dan dalam itu mustahil dan menyusahkan. Tapi, Alkitab memberitahu kita sebaliknya.

Ada beragam jenis pertemanan yang diceritakan Alkitab, dan tidak semuanya hangat dan menyenangkan. Tapi, Alkitab menegaskan bahwa kita diciptakan untuk saling berelasi dan tidak untuk hidup secara terasing (1 Korintus 12:12-27).

Dari perenungan pribadiku akan hidupku dan Alkitab, aku menemukan ada tiga tipe teman yang kita semua butuhkan dalam hidup ini:

1. Teman yang, “Yuk kita selesaikan bareng-bareng”

“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu, dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran” (Amsal 17:17).

Tumbuh besar di lingkungan orang Asia, kita sering mendengar orang tua kita memberi nasihat, “pilih-pilih kalau cari teman”. Tapi kita pun tahu nasihat itu tidak sepenuhnya benar. Satu kutipan yang aku paling suka berkata, “Pertemanan itu aneh. Kamu memilih satu manusia yang kamu temui dan kamu seperti berkata, ‘Yes, aku suka orang ini’, dan kamu pun lalu melakukan banyak hal bersama dia”.

Sahabatku adalah contoh yang baik. Ada banyak hal tentang dia yang jika kuceritakan kepada orang tuaku, mereka mungkin tidak akan senang mendengarnya (contohnya, dia orang yang kurang perhatian dan tidak bersemangat). Tapi, dialah teman yang bisa kuandalkan ketika aku butuh teman bicara atau sedang melewati hari-hari berat. Meskipun terkadang respons dia atas masalahku hanya, “Bro, memang berat sih. Yuk deh kita main tenis minggu depan,” justru itulah yang membuatku merasa lebih baik.

Dalam surat-surat yang ditulis Paulus, dia memberi kesaksian tentang bagaimana kawan-kawannya mendukungnya dalam masa-masa sukar. Entah itu ketika Paulus mengalami penganiayaan atau kemiskinan, ketika misi Paulus sukses atau malah dipenjara, Paulus selalu diberkati dengan relasi yang erat. Kehadiran para sahabat Paulus itulah yang menolong pelayanannya tetap berjalan. Tidak semua sahabat Paulus memberinya kata-kata indah, atau kekayaan untuk dibagikan, tapi pelayanan Paulus tumbuh dan berkembang berkat dukungan doa dan tindakan kasih sederhana dari mereka.

Itulah jenis teman yang kita butuhkan ketika kita melalui masa-masa sukar. Seseorang yang bersedia berdiri bersama kita di sepanjang musim kehidupan.

2. Teman yang, “Aku bilang begini buat kebaikanmu”

“Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah” (Amsal 27:6).

Dalam suratnya kepada Timotius, kasih dan perhatian Paulus kepada anak rohaninya sungguh jelas. Namun, kelembutan Paulus tidak selalu mudah dilihat karena seringkali berisi realita dan kebenaran yang keras. Contohnya, dalam 2 Timotius 4:3-5, Paulus menasihati Timotius untuk menguasai “diri dalam segala hal, sabarlah menderita, dan tunaikanlah tugas pelayananmu”.

Paulus berkata demikian karena dia tahu pelayanan yang akan dilakukan Timotius itu penuh tantangan dan pertentangan, karena orang-orang menganggap Timotius masih muda dan tidak berpengalaman. Paulus ingin memberikan dukungan dan petunjuk kepada Timotius di tengah suara-suara yang mengancam untuk memandang rendah otoritas Timotius.

Belajar dari Paulus, kita tidak seharusnya memandang rendah teman yang—dalam upayanya untuk mengasihi kita—menyampaikan nasihat yang tidak menyenangkan hati. Teman dekatku pernah menegurku karena aku menganggap remeh kesempatan studi ke luar negeri. Awalnya aku merasa terganggu karena aku punya alasan kuat kenapa tidak ingin pergi merantau.

Tapi kalau dipikir-pikir lagi, aku sangat bersyukur karena temanku tidak bosan memberitahuku, meskipun itu berarti kenyamananku terganggu dan ada sebagian rencana hidupku yang harus diubah. Momen itu terjadi ketika aku berada jauh dari rumah, di mana aku merasa benar-benar perlu menemukan kembali imanku pada Tuhan, dan menyesuaikan diriku dengan rencana-Nya.

Ketika menerima nasihat yang keras dari seorang teman, penting bagi kita untuk fokus pada apa yang dikatakan, bukan pada bagaimana itu disampaikan. Pemahaman ini menolong kita untuk mengerti bahwa teman kita mungkin lebih mampu melihat titik buta diri kita atau aspek lain dalam diri kita yang perlu dibenahi tetapi kita tak menyadarinya.

3. Teman yang, “Ayo fokus sama tujuan utamamu”

Teman jenis ini mungkin tidak ingin kehadirannya selalu diketahui. Mereka mungkin menolak jika diajak makan atau sekadar mengobrol. Tapi, kamu bisa yakin kalau mereka pasti ada ketika kamu membutuhkan dukungan. Mereka bisa diandalkan untuk memberimu nasihat yang kokoh—nasihat yang tidak cuma menolongmu untuk mengatasi masalah sekarang, tapi juga konsekuensi setelahnya.

Kata-kata yang mereka lontarkan mungkin sedikit, atau bahkan tidak jelas, tapi itu karena mereka selalu melihat gambaran yang lebih besar daripada satu masalah yang sedang kamu hadapi.

Dalam perumpamaan-perumpamaan Yesus, orang-orang di sekitar-Nya sering mencari solusi praktis dari masalah-masalah fana: kesakitan, kemiskinan, ketidakadilan, dan keinginan untuk bebas dari penjajahan. Namun, Yesus tidak pernah kehilangan tujuan utama dari misi-Nya ke dunia—untuk memberitakan kabar Kerajaan Surga dan pengampunan dosa.

Sebagai orang percaya, penting bagi kita untuk mempertahankan relasi dengan teman-teman yang berfokus kepada Injil, yang tak pernah lelah untuk mengarahkan kita kepada firman Allah meskipun kita berupaya melarikan diri. Ketika dunia menyajikan bagi kita nilai-nilai sementara (seperti: bagaimana berinvestasi, membeli rumah, mencari pekerjaan impian), teman yang berfokus pada Injil akan menolong kita untuk tidak sekar mengejar keinginan atau memberi solusi praktis, tapi juga memberi kita masukan dari sudut pandang Ilahi.

Tiga jenis teman ini kurasa adalah teman yang paling kita butuhkan untuk hadir dalam hidup kita. Mereka bisa saja gagal atau mengecewakan kita, atau kata-kata mereka terasa pedas dan menyinggung, tapi merekalah orang-orang yang Tuhan tempatkan dalam hidup kita untuk bertumbuh bersama-sama.

Aku bersyukur atas teman-teman yang telah menolongku bertumbuh dalam kedewasaan, belas kasihan, dan juga kebijaksanaan untuk menghadapi kegilaan yang hadir dalam menjalani hidup di dunia.

Baca Juga:

Meminta dan Menerima Pertolongan Bukanlah Tanda bahwa Kamu Lemah: Sebuah Pelajaran dari Galon Air

Bianca ialah wanita serba bisa. Dia jarang meminta tolong, ataupun menerima pertolongan. Tapi, pada suatu momen, dia menyadari bahwa selalu menolak pertolongan bukanlah hal yang baik.

Kejahatan ‘Terbesar’ di Dunia

Oleh Ananda

Perang Dunia bukan sekadar kisah yang hadir di buku sejarah. Itu adalah peristiwa kelam yang pernah dialami oleh umat manusia. Ketika aku berkunjung ke Ereveld—sebuah pemakaman khusus korban Perang Dunia II di Ancol—aku terperanjat melihat dan mendengar kisah-kisah yang tak tertuliskan di buku pelajaran sekolah dulu.

“Kalau makam yang di sana milik siapa, Pak?”, tanyaku kepada petugas.

“Apakah kamu punya adik laki-laki?”, dia balik bertanya.

“Punya pak, ada dua”, jawabku. Aku agak bingung kok malah aku balik ditanya.

“Makam yang di sana itu adalah makam seorang kakak perempuan bernama Luchien Ubels. Kabarnya, Ia menyerahkan diri untuk dieksekusi pada saat pemerintah Jepang mencari adik laki-lakinya.”

Dari ribuan makam yang ada di Ereveld, makam milik Luchien Ubels mencuri perhatianku. Makam itu lokasinya menyendiri, terpisah dari makam-makam lain. Ada kisah pilu di balik kematian Luchien Ubels.

Luchien Ubels (Luut) memiliki seorang adik yang bernama Lambert Ubels. Masyarakat Eropa pada era kolonial dulu lebih sering mengenal seseorang dengan nama keluarganya ketimbang nama depan. Setelah pasukan Jepang berhasil menginvasi Jawa, Lambert dan teman-temannya yang merupakan pegawai dari Sindikat Pertanian Umum (ALS) melakukan perlawanan dengan membuat petisi. Akibatnya, pasukan Jepang pun memburunya. Pasukan Jepang lantas mendatangi rumah Lambert untuk menahannya, tapi Lambert tidak ada di sana, hanya kakaknya saja yang tertinggal. Di dokumen petisi itu tertulis nama L. Ubels. Pihak Jepang tidak tahu apabila nama Ubels yang tertera di petisi ialah Lambert. Untuk menyelamatkan adiknya, Luut pun mengakui bahwa dia yang telah menandatangani petisi itu. Luut akhirnya dieksekusi bersama 18 orang lainnya. Untuk menghormati jasanya, keluarga Ubels kemudian memohon agar makam Luut ditempatkan secara istimewa di Ereveld Ancol.

Dalam kemelut perang, mengorbankan nyawa demi seseorang adalah tindakan heroik yang tak dapat dilakukan oleh semua orang. Keberanian Luchien Ubels demi menyelamatkan sang adik mengingatkanku kepada kisah Seseorang yang juga mengorbankan diri-Nya di Golgota dua ribu tahun silam. Bukan hanya demi menyelamatkan satu orang, Ia menyerahkan diri-Nya bagi seluruh dunia. Agar setiap orang yang percaya kepada-Nya, beroleh hidup yang kekal.

Orang itu tak lain adalah Kristus. Anak Allah yang rela merendahkan diri-Nya dan berkorban bagi kita, manusia yang kecil dan hina ini. Bukan atas hasil usaha kita, melainkan oleh karena kasih karunia-Nya kita Ia selamatkan.

Seringkali kita lupa bahwa keselamatan yang kita peroleh itu sungguh merupakan sebuah anugerah dari Allah. Alih-alih menerimanya dengan perasaan syukur dan rendah hati, tak jarang kita malah bersikap arogan, merasa lebih tahu dan bahkan merasa lebih pantas menerima keselamatan jika dibandingkan dengan orang-orang yang belum mengenal Kristus. Kita lupa bahwa oleh karena kemurahan hati-Nya sajalah, kita dimampukan untuk mengenal Dia. Sebab seperti yang Paulus katakan, bahwa manusia duniawi sejatinya tidak dapat menerima dan memahami Roh Allah (1 Korintus 2:14-15).

Aku terlahir di dalam non-Kristen. Ketika akhirnya aku mengenal Kristus dan menjadi Kristen, aku sangat bersemangat dalam mengabarkan Kabar Baik ini kepada anggota keluarga yang belum mengenal Kristus. Namun seringkali, semangatku tidak dibarengi dengan sikap hati yang baik dalam menyampaikannya. Sikap arogan pun muncul tanpa kusadari ketika orang-orang yang kuceritakan tentang Kabar Baik itu malah meresponsku dengan buruk. Alih-alih berfokus memberitakan kisah Kabar Baik itu, aku malah berupaya tampil lebih unggul daripada mereka. Aku berfokus untuk “menang” dalam setiap lontaran pertanyaan yang mereka berikan buatku. Dan, tak hanya itu, aku tanpa sadar menuntut mereka untuk melihat dengan cara pandang yang sama sepertiku.

Sekilas upayaku menyampaikan Kabar Baik itu terkesan baik, tetapi aku sesungguhnya sedang lupa dan salah. Aku telah menempatkan diriku lebih tinggi dari Allah, seolah akulah yang memegang kendali untuk meyakinkan mereka. Aku lupa bahwa hanya melalui pekerjaan Roh Kudus sajalah, orang lain dapat terbuka mata dan hatinya.

Aku terlalu sibuk dengan egoku sehingga enggan memberi ruang bagi Kristus untuk dapat terlibat di dalam perjalanan pengenalan akan kasih-Nya kepada mereka. Aku terlalu angkuh untuk mengingat bahwa aku pun pernah mengalami kesulitan untuk untuk benar-benar memahami kasih Kristus yang mulia.

Aku lupa bahwa sesungguhnya aku tidak layak bermegah atas pengertian yang telah Tuhan berikan kepadaku mengenai anugerah keselamatan-Nya. Bukan atas hasil usahaku, juga bukan karena banyaknya buku yang telah habis kubaca, melainkan oleh karena kasih karunia-Nya saja.

Keangkuhanku itu bukan hanya menjauhkan relasiku dengan keluargaku, tetapi juga menjauhkanku dari Allah. Meski aku telah bersaksi tentang Allah melalui perkataanku, nyatanya aku telah gagal memperkenalkan kasih-Nya yang nyata melalui diriku. Sungguh mengerikan ketika menyadari kebobrokan yang telah kulakukan di dalam selubung iman ini.

C.S. Lewis dalam bukunya Mere Christianity mengatakan bahwa “kejahatan yang terbesar di dunia ini adalah kesombongan.” Kesombongalah yang pada awalnya menggiring Adam dan Hawa merasa lebih mengetahui apa yang baik dan menentang kehendak Allah. Melalui kesombongan pula, Lucifer diusir dari surga dan menjadi Iblis.

Kesombongan yang terbalut oleh kehidupan rohani dapat mengaburkan pengenalan yang benar akan kasih Allah yang rendah hati. Itu jugalah yang menyebabkan seteru antara manusia dengan sesamanya, serta manusia dengan Tuhannya. Jika kesombongan terus dibiarkan tumbuh di dalam dunia, bukankah wajar jika perseteruan antar manusia semakin marak bermunculan?

Kita tahu bahwa dunia memang sudah tercemar oleh pelbagai rupa kejahatan, mulai dari kejahatan kecil sampai kejahatan besar seperti aksi teror yang terjadi di Makassar beberapa waktu lalu. Namun, alangkah baiknya jika kita tidak semakin menambah jumlah daftar kejahatan yang terjadi, dengan cara merendahkan hati dan membagikan kasih yang sudah Yesus ajarkan kepada kita.

Mari kembali merenungkan, sudahkah kita benar-benar merendahkan hati kita dalam memberitakan kasih-Nya, melalui setiap perkataan dan perbuatan kita kepada mereka yang belum mengenal Dia?

Kiranya kita yang telah mengenal Dia, serta diubahkan oleh kasih karunia-Nya, boleh senantiasa dimampukan untuk meneladani kerendahan hati-Nya melalui kasih terhadap sesama. Amin.

Baca Juga:

4 Jurus Melawan Pikiran Negatif

Bagaimana caranya kita bisa tetap bersukacita dan merasa cukup sebagai orang Kristen di tengah dunia yang telah jatuh dalam dosa?