Meminta dan Menerima Pertolongan Bukanlah Tanda bahwa Kamu Lemah: Sebuah Pelajaran dari Galon Air

Sebuah cerpen karya Tabita Davinia Utomo

“Jadi perempuan itu harus mandiri, jangan mengharapkan orang lain mengasihani kamu.”

Mama sering berkata begitu karena sejak kecil beliau sudah terbiasa untuk jadi anak yang mandiri. Orang tuanya (khususnya Nenek yang cukup dominan) yang sibuk bekerja tidak memiliki banyak waktu untuk berdialog dengan keempat anak mereka secara pribadi. Itulah alasan Mama untuk mendidikku menjadi perempuan yang berdikari, dan serba bisa, apalagi karena Papa juga mengajarkan hal yang sama. Mungkin faktor urutan anak juga berpengaruh, mengingat aku adalah anak yang seharusnya menjadi panutan bagi dua adikku. Ditambah lagi, selama bersekolah dulu, aku merasa cukup sering “dimanfaatkan” oleh teman-temanku sendiri—mulai dari urusan desain hingga menyediakan telinga dan hati untuk mendengarkan curahan hati. Namun saat aku membutuhkan mereka, mereka justru menghilang. Tidak heran bukan, kalau akhirnya aku memilih untuk menutup kerapuhanku dan menjadi “kuat”—walaupun di atas pondasi yang rapuh?

Sayangnya, hal ini membuatku sulit untuk meminta atau menerima pertolongan dari orang lain. Aku tidak terbiasa jika ada orang yang membantuku bahkan untuk hal sesederhana seperti membawa kantong belanjaan—yang sebenarnya terasa berat—sementara ada keluarga atau teman yang belanja bersamaku, atau ketika aku pulang larut malam dari gereja dan ada yang bersedia menemaniku. Entahlah, aku merasa jadi orang yang lemah karena mendapatkan pertolongan dari orang lain seperti itu. Mungkin itulah alasannya Martin berkata, “Kamu tuh jangan terlalu kuat dong, Bi. Aku takut kalau jadian sama perempuan yang ideal banget kayak kamu. Hahahaha…”

Dulu, Martin adalah pacarku, sampai akhirnya kami putus dua tahun lalu. Aku merasa kakak tingkatku di kampusku yang sebelumnya ini sangat membatasi ruang gerakku. Misalnya ke manapun aku pergi, aku harus lapor padanya. Kadang-kadang, dia bisa muncul secara mendadak untuk menemaniku pulang—apalagi karena aku sering pulang malam untuk mengerjakan tugas maupun mengikuti berbagai kegiatan di gereja. Walaupun aku sering mengomelinya agar tidak merepotkan diri sendiri untuk menemaniku ke rumah (dan selama berkuliah, aku tidak pernah mendapatkan masalah apa-apa karena pulang larut), nyatanya dia masih mengulanginya lagi dan lagi. Hmmm baiklah, itu hanya salah satu alasan ketidakcocokan kami, sehingga aku berinisiatif mengakhiri relasi kami. Bagaimana bisa aku hidup bersama laki-laki yang justru mempersempit ruang gerakku untuk produktif? Kalaupun kalian berkata bahwa itu hanya karena dia khawatir padaku, lalu apa kalian bisa menjelaskan kenapa aku selalu merasa lelah setiap kali pulang dari kencan dengannya, bahkan menjadi “hidup segan, mati tak mau”?

“Bianca!”

Lamunanku buyar saat mendengar suara Alex yang barusan memanggilku. Laki-laki itu mendekatiku yang sedang menatap buku referensi dari dosen, sementara pikiranku sendiri melayang-layang ke masa lalu. Sambil nyengir, dia bertanya, “Mau aku bawain galonnya sekarang, nggak? Nanti aku ada kelas sampai malam, nih. Mumpung inget. Ehehe…”
Oh, ya. Salah satu tugas sebagai mahasiswa asrama adalah dengan menyediakan memastikan ada air siap minum di dapur asrama. Sekuat-kuatnya aku, sebenarnya tetap saja aku membutuhkan bantuan laki-laki untuk mengangkat galon dari tempat penyimpanannya ke dapur. Kali ini, aku mendapat jadwal bersama Alex, salah satu temanku di kampus di mana aku menempuh studi lanjut. Untung saja dia ingat, karena kalau tidak aku benar-benar lupa. Hahaha.

“Boleh. Sekarang aja, ya.” Aku menutup bukuku, lalu berjalan bersamanya untuk mengambil galon air.

“Galonnya ambil berapa, nih?” tanyanya sambil membawa galon ke dapur asrama putri yang terletak di lantai tiga.

“Ambil dua kali, ya. Soalnya tadi pas aku cek, airnya udah abis. Biar sekalian ada stoknya gitu, apalagi lusa udah hari Minggu—dan biasanya banyak yang bakal masak pakai air dari situ. Nggak apa-apa kan, Lex?” kataku.

Singkat cerita, kami sudah mengambil dua galon dan akan memasang salah satunya ke dispenser. Setelah membersihkan dan membuka penutup galon, Alex mengangkatnya ke atas dispenser. Tiba-tiba dia kehilangan keseimbangan sehingga dia berkata, “Eh, tolongin, Bi! Aku kesemutan!”

“Waduh!” Aku segera membantunya memasang galon itu, setelah itu mengeringkan meja dispenser yang kebasahan karena ternyata Alex sempat menumpahkan air di sana.

“Oh, oke deh.”

“Duh, sorry ya, Bi.” Alex menggaruk-garuk kepalanya, lalu melanjutkan, “Aku kaget karena tiba-tiba kesemutan. Nggak tahunya malah bikin mejanya basah…”

“Santai aja. Untung nggak sampai kena ke stop kontak yang ada di sini,” balasku.

“Eh? Ada stop kontak di situ, ya?” tanyanya.

“Nih.” Aku menunjuk ke stop kontak dispenser yang letaknya sangat berdekatan dengan meja dispenser.

“Astagaaa!” Alex menepuk dahinya. “Iya yaa, nggak kebayang kalau korsleting gara-gara masalah angkat galon.”

“Ahahahaha iya… Ya udah, makasih ya, Lex. Ini galon yang kosong biar aku aja yang bawa turun…”

Tidak disangka, ternyata Alex sudah lebih dahulu mengambil galon lainnya dan akan berjalan menuruni tangga asrama. Ketika melihat ke arahku yang masih berada di pintu dapur, dia berkata, “Sini, galonnya biar sekalian aku bawain.”

Lah, kalau kosong aku mah bisa bawanya. Ya kali dia yang bawain, kok aku jadi manja banget, pikirku. “Eh, jangan! Kamu kan, udah naik-turun bawa galon penuh dua kali,” balasku.

“Udahhh, nggak apa-apaaa.” Alex mengulurkan tangannya, seolah-olah memintaku untuk memberikan galon kosong yang masih kupegang.

“Hmmm… baiklah.” Akhirnya aku menyerahkan galon itu pada Alex. “Habisnya enteng, sih. Hehehe… tapi makasih, ya, Lex.”
Alex mengangguk. Sambil berjalan bersamaku menuruni tangga, dia berkata, “Iyaa, aku kan, baru belajar biar jadi cowok yang gentleman. Misalnya buat bawa galon kosong gini. Kalau ada cowok, sebenernya cowok yang bawa aja nggak apa-apa, kok.”

“Ohh… berarti kalau aku, ehm… belajar biar bisa menerima bantuan dari cowok.”

Meskipun setelah itu kami tertawa bersama, aku jadi memikirkan ulang perkataanku. Ternyata salah satu kesulitanku untuk menerima bantuan dari orang lain—khususnya lawan jenis—adalah karena aku akan merasa lemah jika itu yang terjadi. Selama ini, aku dibiasakan untuk tidak menaruh pengharapan yang besar pada seseorang agar dia melakukan apa yang aku butuhkan. Pengalamanku ketika dikecewakan maupun diabaikan di masa lalu membuatku bertekad untuk mengikuti apa yang diajarkan oleh orang tuaku, yaitu agar aku menjadi perempuan kuat yang bisa bertahan tanpa harus terluka. Namun yang muncul di balik “kekuatanku” adalah kelelahan untuk menanggung beban seorang diri, yang pada akhirnya berujung pada mengasihani diri sendiri.

Mungkin inilah alasan Tuhan mempertemukanku dengan Alex dalam konteks jadwal pengambilan galon, agar kami belajar bersama bahwa baik laki-laki dan perempuan adalah berharga di mata-Nya, dan keduanya bisa saling membutuhkan. Meskipun demikian, bukan berarti itu jadi alasan bagi kita untuk tidak menjadi pribadi yang mandiri, kan? Karena peran yang berbeda bukanlah bertujuan untuk meniadakan kesetaraan yang telah Tuhan tetapkan.

Selamat belajar menjadi pria yang gentleman, kamu.

Selamat belajar menjadi wanita yang humble, aku.

Baca Juga:

Anak Bawang Tuhan

Dari dulu aku telah diajarkan bahwa Tuhan itu baik dan aku mempercayainya. Hanya saja bagiku kebaikan Tuhan bersifat eksklusif. Memang benar aku adalah anak Tuhan tapi, aku memandang diriku sebagai anak bawangnya Tuhan.

Bagikan Konten Ini
11 replies
  1. Naomi Desi Susanti
    Naomi Desi Susanti says:

    Terima kasih atas karyanya, jujur saya sangat terberkati dari cerpen di atas. Tuhan Yesus memberkati🙏🏻

  2. Tety Vera hayati br.ginting
    Tety Vera hayati br.ginting says:

    amin🙏.
    Terimakasi biar berkat yang kamu tuliskan dan bagikan,menjadi berkat dan pelajaran bagi kami semua yang baca cerpen .

  3. Pafricia Sthevany Sarira
    Pafricia Sthevany Sarira says:

    Motivasi sekali cerpennya kak,sebelumnya trima kasih tlah berbagi lewat karyanya.belajar bahwa tidak semua hal dalam dunia ini mampu kita lakukan dengan sendiri tetapi kita juga membutuhkan orang lain yang menjadi penolong dalam kehidupan kita. GOD BLESS US

  4. Indhira Ch
    Indhira Ch says:

    Terima kasih Kak untuk tulisannya. Terus menjadi Berkat untuk semua Orang.
    God Bless😇

  5. Kristini Natalia
    Kristini Natalia says:

    Terima kasih. ceritanya menyadarkan untuk bisa berbagi kelemahan dengan orang lain 🤍

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *