Yang Kamu Dapat Cuma-Cuma, Bagikanlah Juga dengan Cuma-Cuma
Oleh Cristal Tarigan
Awal Januari harusnya menjadi tahun yang penuh sukacita bagi kebanyakan orang. Kumpul dengan keluarga, membuat resolusi, menikmati pesta tahun baruan dan makanan yang enak-enak. Tapi, di awal tahun 2018 lalu, ada hal yang mengganggu sukacitaku.
Sepulang dari menikmati pesta tradisi adat keluarga dari mamaku, aku mandi untuk menyegarkan diri dan saat menggosok seluruh badan, aku merasa ada sesuatu yang asing di bagian tubuhku di dekat leher daerah dekat bahu. Karena merasa janggal, dan bingung, kutanyakan semua anggota keluargaku apakah di dekat leher mereka juga punya benjolan sepertiku, tapi semuanya nihil.
Beberapa minggu berlalu benjolan itu tidak juga hilang. Awalnya tidak ada rasa takut, karena merasa itu mungkin hanya masuk angin saja. Aku terlalu banyak pergi jalan-jalan selama beberapa hari di awal tahun. Tapi saat sudah memasuki bulan April, di situlah aku mulai overthinking dengan kondisiku.
Saat itu aku sedang kuliah dan kos di kota Medan. Kesendirianku di kamar kos itulah yang menjadi tempat di mana aku sering berpikir yang aneh-aneh, khawatir, takut dan menangis. Kujalani hari-hariku dengan orang lain seperti tidak ada apa-apa, tapi saat sendirian aku benar-benar terpuruk karena aku takut benjolan ini bisa saja membawa sesuatu yang sangat fatal bagi masa depanku. Aku sering mencari banyak informasi di internet tentang kemungkinan yang menjadi penyebab sakitku, tapi bukannya membuatku menemukan jawaban yang pasti, justru informasi itu membuatku semakin hari semakin khawatir.
Mengakhiri ketakutan dengan mulai membagikan Kabar Baik
Sebelum kejadian di 2018 itu, kujelaskan sedikit tentang latar belakang rohaniku. Aku lahir dari keluarga Kristen yang cukup “rohani”. Aku mengikuti banyak kegiatan rohani, memegang jabatan rohani. tetapi sebenarnya aku baru lahir baru di tahun 2015. Sejak tahun itu aku memulai perjalanan hidup baruku dengan Kristus, dan juga terlibat dan kegiatan komunitas Kristen di kampusku. Jadi di saat aku mengalami sakit itu, bukannya aku tidak mengerti bahwa dalam segala hal kita harus berserah kepada Tuhan. Ada segudang teori yang bisa aku bagikan kepada orang lain saat ada kegiatan sharing bersama, tapi dalam kondisi itu selama berbulan-bulan lamanya aku jatuh, aku memang berdoa, menyembah bahkan menangis dalam tiap doaku, tapi aku sadar, sebenarnya saat itu aku bukan berdoa kepada Tuhan. Aku berdoa kepada diriku sendiri, menghendaki Tuhan menjawab doaku seperti keinginanku sendiri. Itulah yang sebenarnya kulakukan setiap kali menghampiri Tuhan lewat doa. Sampai suatu hari aku berdoa, menyanyi, menangis dan entah kenapa aku merasa seperti Tuhan bertanya secara pribadi kepadaku begini “apa yang menurutmu paling berharga yang kau miliki selama hidupmu?”
Kurenungkan pertanyaan itu sampai berhari-hari untuk menemukan jawabannya. Hari di mana aku merasa hidupku berubah seutuhnya adalah ketika aku menerima Yesus sebagai Juruselamatku. Saat itu ada seseorang kakak yang menceritakan Injil dengan rendah hati kepadaku. Inti Ceritanya adalah Yesus satu-satunya jalan keselamatan. Hidup kekal adalah anugerah yg didapat cuma-cuma dari Allah, bukan karena seberapa baiknya aku dan sebanyak apa kegiatan pelayananku, satu-satunya syarat memiliki hidup kekal adalah Iman yang percaya kepada Yesus dengan segenap hati.
Ketika aku sadar bahwa Injil adalah cerita yang paling berharga, aku pun bangkit dan diteguhkan bahwa aku punya tugas menjadi saksi-Nya. Saat itu aku bukanlah seorang penginjil yang sudah diperlengkapi dengan berbagai metode yang bisa aku bagikan dengan teknik-teknik yang luar biasa. Hanya dengan kesadaran bahwa aku sudah mengalami, aku sudah terima, maka artinya aku adalah saksi-Nya dan tugasku adalah bersaksi.
Kumulai saat itu membagikan ceita Injil dengan bahasa apa adanya kepada teman-teman terdekatku. Mereka adalah orang-orang sepertiku dulu sebelum lahir baru. Meskipun sehari-hari tampaknya aktif dalam banyak kegiatan rohani, tapi mungkin saja seseorang masih memiliki pemahaman yang dangkal soal Injil. Berawal dari teman terdekat, aku belajar mengikis rasa takutku sampai akhirnya kini membagikan kabar baik itu adalah sebuah gaya hidup.
Mencontohkan iman itu bisa dalam berbagai hal. Contohnya adalah dengan kesaksian hidup sehari-hari, dari cara berbicara, berpakaian, bekerja, dan berbagai perbuatan lainnya tanpa harus secara terang-terangan membagikan isi Injil, dan mengangkat kata-kata Yesus. Tidak salah bahwa kesaksian hidup bisa mempengaruhi pandangan orang lain yang membuatnya pada akhirnya penasaran, bertanya, dan kita bisa menjelaskan imanlah alasan kita melakukannya. Tapi hendaknya kita tidak lupa bahwa tugas saksi memanglah bersaksi. Selain kita harus bisa menjadi teladan lewat kesaksian hidup, kita memang secara sengaja mendoakan orang-orang di dekat kita lalu mulai berani memulai berbagi dan percaya Roh kudus yang memimpin setiap percakapan dalam kesaksian kita.
Mengalami sendiri Berita Injil
Akhirnya, awal tahun 2019, aku sudah operasi atas saran dokter. Sebenarnya sakit ini tanpa gejala, tapi namanya penyakit harus diobati, akhirnya aku ikuti saja saran dokter. Hasilnya, penyakitku tidak semenakutkan yang aku pikirkan, benjolanku itu bukan sesuatu yang fatal. Dokter menyarankanku kontrol setiap tahun jika kemudian ada hal-hal yang aneh dan terasa tidak nyaman setelah operasi itu dilakukan, dan menerapkan pola hidup sehat.
Proses itu membuatku memahami Yesus bahkan tentang pengorbanan-Nya lebih banyak lagi secara Pribadi. Injil yang aku dengar dan aku bagikan itu sendirilah yang sudah membuatku menyadari betapa luar biasanya Yesus yang aku kenal, yang tidak meninggalkanku di kala lembah terdalam melandaku. Sampai kini, itulah janji-Nya yang gak pernah Dia ingkari.
Memang awalnya aku tidak paham sama sekali kejadian yang diizinkan Tuhan di awal tahun 2018 itu, tapi kini aku tahu, setiap maksud Tuhan selalu mendatangkan kebaikan. Jangan pernah takut bersaksi, kesaksian tidak selalu kita mulai karena kita harus mengalami hal yang luar biasa atau sebuah mukjizat. Setiap kita yang sudah mengalami sendiri Yesus, aku percaya kita semua adalah saksi-saksi yang bisa dan sudah diperlengkapi-Nya untuk kembali memuliakannya.
“Jadi janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita dan janganlah malu karena aku, seorang hukuman karena Dia, melainkan ikutlah menderita bagi Injil-nya oleh kekuatan Allah” (2 Tim 1:8).
Amin
Amin
Amin. Haleluya ðŸ™ðŸ˜‡
Dahsyat!