Posts

Alasan Di Balik Sebuah Keterlambatan

Sebuah cerpen oleh Meili Ainun, Jakarta

“Memiliki sikap berserah dikehendaki oleh Tuhan kita, meskipun hal itu bukan hal yang mudah. Apa respon kita saat hidup tidak berjalan seperti yang kita inginkan? Bagaimana kita dapat memuji Tuhan di tengah penderitaan yang kita alami? …”

Ucapan pak Pendeta Fardi terpotong ketika bunyi sepatu terdengar dan beberapa orang melangkah masuk dengan santai. Celinguk-celinguk sebentar lalu duduk di barisan ke-2 terdepan.

Mereka lagi. Nyebelin banget. Ini sudah hampir di akhir khotbah. Tapi baru datang. Apa yang sih yang mereka mau? Masa datang ke gereja selalu terlambat.

“… Mari kita berdoa,” kata penutup Pak Pendeta Fardi memotong lamunanku.

Selesai beribadah, aku langsung turun ke lantai paling bawah. Biasanya disediakan makanan kecil dan minuman. Pasti mereka sudah ada di bawah. Menjadi orang pertama yang antri.

Tuh, benar kan? Mereka bahkan sudah terlihat asyik menikmati makanan. Wah, apa itu yang di tangan? Berapa kotak? Masing-masing mengambil 3 kotak. Apakah jemaat lain masih kebagian? 

Aku melangkah menghampiri meja panjang di tengah ruangan. Tanganku meraih sebuah kotak makanan ketika aku mendengar suara yang kecewa. “Yah… Sudah habis. Kita terlambat.” Aku menoleh dan melihat dua orang anak yang berumur sekitar 10 tahun. Aku menatap kotak makanan di tanganku dan menyerahkannya kepada mereka.

“Terima kasih, Kak,” kata mereka. 

Dengan menahan rasa lapar, aku menghampiri Mili, sahabatku. Melihat tampang kecewaku, dia segera tertawa dan menyodorkan kotak makanannya yang terbuka. Masih ada sepotong kue. Aku mengambil dan memakannya. “Thanks.”

“Sudahlah, jangan marah. Bukankah kita sudah terbiasa?” Mili menyenggol tanganku. Dia menyeringai sebentar.

“Tapi ini keterlaluan. Masa sampai 3 kotak?” Mataku tertuju pada pasangan suami istri yang sedang asyik menikmati makanannya. 

“Yaah… Mungkin mereka kelaparan, lupa makan kemarin. Atau sedang puasa, atau apalah gitu,” sahut Mili memberikan alasan.

“Kalau sekali-kali masih OK, tapi ini kan sudah kesekian kalinya.” Nada suaraku bertambah tinggi tanpa kusadari.

“Sst, jangan keras-keras. Nanti kedengaran ama mereka. Kan jadi nggak enak,” tegur Mili dengan lembut.

“Ah…biar saja. Kan kenyataannya gitu, selalu datang terlambat ke gereja tapi paling awal kalau ada makanan,” kataku sebel.

Masih dengan perasaan kesal, aku melangkah mengambil minuman yang ada di meja. Ternyata sudah habis. Tanpa kusadari, aku menoleh ke arah pasangan suami istri itu, dan memperhatikan ada beberapa gelas kosong di bangku dekat mereka. Huh, bukan hanya makanan, minuman pun harus beberapa gelas. Apalagi yang nanti habis?

“Hei, Amel. Kamu nggak kebagian? Sama. Aku juga.”

Aku menoleh dan melihat Vili berdiri di sampingku. Aku mengangguk. “Iya, habis.”

“Pasti mereka yang ambil ya?” Vili seakan membaca pikiranku.

“Kalau nggak, siapa lagi?” jawabku kesal.

“Aku benar-benar nggak ngerti. Kalau ke gereja hanya mau makan, datang saja waktu makan, kenapa harus menggangu ibadah. Ya nggak, sih?” komentar sinis Vili.

“Iya, itulah. Aku juga nggak ngerti. Kayaknya mereka bukan orang yang kekurangan, tapi kok selalu makan seperti orang yang tidak pernah makan? Yang  lebih mengesalkan, terlambatnya itu lho. Aduh, apa sih maunya?”

“Tadinya aku pikir cuma aku yang berpikiran seperti itu. Ternyata kamu juga. Dan aku yakin bukan hanya kita yang berpikir seperti ini. Banyak orang yang juga berpikir sama seperti kita. Kita tegur saja, yuk,” usul Vili, kemudian menggandeng tanganku.

“Kamu yakin?” tanyaku.

Vili menatapku. “Masa mau kita diemin? Kamu mau kelaparan terus tiap Minggu? Atau mau lihat orang lain menderita gara-gara mereka?”

“Iya, sih. Ayolah.” Aku melangkah bersama Vili, menuju pasangan suami istri itu.

Tiba-tiba Mili sudah di sampingku. “Aku rasa sebaiknya kita pergi, Amel. Bukankah kita ada janji?”

“Eh, tunggu dulu, Mili. Amel kan mau bicara ama mereka dulu. Masalah ini perlu diselesaikan,” cegah Vili yang melihatku ditarik pergi oleh Mili.

“Benar, masalah ini perlu diselesaikan. Tetapi ada caranya. Dan caranya tidak seperti ini. Sebaiknya kita tidak lagi membicarakan hal ini dengan orang lain,” jawab Mili tegas. “Yuk, kita pergi. Jangan sampai terlambat.”

Vili terlihat kesal. Aku melambaikan tangan ke arah Vili. “Pergi dulu, ya.”

Di dalam mobil, aku duduk dengan wajah kesal. “Kenapa kamu ngak membiarkan aku menegur pasangan itu?”

“Karena bukan kamu yang perlu melakukannya. Dan tempatnya juga bukan di ruang publik,” jawab Mili pelan.

“Lalu siapa yang melakukannya? Kamu?”

“Bukan. Bukan aku, bukan kamu, bukan juga Vili. Tetapi orang yang punya wewenang dan kapasitas yang melakukannya.” Mili mengarahkan pandangannya kepadaku sebentar lalu fokus kembali pada kemudinya.

“Pak pendeta, maksudmu? Dia kan banyak tugas. Lagian kalau tunggu dia, sampai kapan baru selesai? Sampai kita semua kelaparan?” balasku jengkel.

“Hahaha… Nggak segitunya kali. Aku yakin kita semua nggak akan sampai kelaparan. Aku hanya pikir masalah ini bukan tidak semudah yang kita pikirkan. Kelihatannya seperti itu, tetapi ternyata tidak sesederhana itu.”

“Aku nggak ngerti. Masalahnya adalah mereka selalu datang terlambat untuk beribadah, tetapi selalu tepat waktu untuk makan. Kalau kita kasih tahu apa yang mereka lakukan itu salah, masalah akan selesai.”

Mili tersenyum mendengar penjelasanku. “Kamu selalu bisa merumuskan masalah dengan tepat, hanya saja penyelesaiannya tidak semudah itu. Apa yang terlihat itu hanya fenomena, belum tentu itu yang sebenarnya terjadi.”

Meski aku masih tidak dapat menerima penjelasan Mili, aku tidak lagi memperpanjang masalah ini. Mungkin Mili benar, mungkin tidak sesederhana yang terlihat.

Dua hari kemudian, aku ditelepon oleh sie pembesukan gereja. Mereka memintaku mengambil bagian dalam pelayanan pembesukan jemaat. Kami pun sepakat untuk mengunjungi beberapa jemaat baru yang datang ke gereja kami.

Tidak disangka, rumah pertama yang kami datangi adalah rumah pasangan suami istri yang suka terlambat ke gereja itu. Bertempat dalam kompleks perumahan yang agak kumuh, rumah itu terlihat sangat sederhana. Pintunya terbuat dari kayu, cat rumah terkelupas di sana sini, tetapi halamannya terlihat indah. Kami dipersilakan duduk di ruang tamu yang jauh dari kesan mewah. Disuguhi dengan segelas teh hangat, kami memulai percakapan.

Pak dan Bu Budiman, begitu pasangan suami istri itu biasa disapa. Mereka terlihat senang dengan kunjungan kami. Pak Pendeta Fardi memulai dengan menanyakan kabar dan menyambut baik kedatangan mereka ke gereja kami.

Apakah Pak Pendeta Fardi akan berbicara mengenai keterlambatan mereka? 

Keingintahuanku bertambah seiring waktu terus berjalan. Aku berharap masalah itu dapat segera selesai. Dan aku pikir seharusnya mereka tidak punya alasan untuk keterlambatan mereka.

“Kami memperhatikan sepertinya ada kesulitan bagi Bapak dan Ibu untuk hadir tepat waktu dalam ibadah gereja kami. Apakah ada yang dapat kami bantu?” tanya Pak Pendeta Fardi dengan ramah dan tersenyum hangat. Nah, coba dengar apa alasan mereka. Aku menunggu jawaban mereka dengan tidak sabar.

Dengan wajah yang sedikit memerah, pak Budiman menjawab pelan. “Yah… Sebenarnya memang ada, kalau mau dikatakan hal itu sebagai kesulitan. Tetapi, bagaimana mengatakannya?”

Pak Pendeta Fardi mengangguk, memberikan dorongan untuk meneruskan ucapan pak Budiman.

“Begini, Pak Pendeta. Kami berdua memang dibesarkan dalam budaya yang kurang mengenal disiplin waktu. Bagi kami sekeluarga, datang terlambat adalah hal biasa. Bahkan boleh dikatakan kami tidak pernah datang tepat waktu untuk acara apa saja. Karena memang sudah menjadi kebiasaan kami. Apalagi kami tidak punya anak, sehingga kami pun tidak terikat dengan kewajiban sekolah yang mengharuskan kami untuk belajar tepat waktu. Dan pekerjaan sebagai ojek online pun dapat dilakukan tanpa terikat waktu. Jadi kelihatannya tidak ada alasan kuat mengapa kami tidak boleh terlambat. Bukan kami tidak pernah coba tepat waktu, tetapi ternyata sulit sekali. Dan orang lain biasanya tidak pernah mau mengerti. Kami langsung dihakimi begitu saja.” Pak Budiman mengambil napas sebentar, menunggu reaksi kami. 

“Ya, tentu tidak mudah mengubah sebuah kebiasaan, ya.” Pak Pendeta Fardi kembali tersenyum ramah.

Pak Budiman mengangguk. “Sebenarnya kami sudah pergi ke banyak gereja, dan setelah beberapa kali kami berkunjung, ada gosip tentang kami. Karena merasa tidak enak, maka kami pergi dari gereja itu.” Tanpa kusadari, wajahku memerah mendengar kata gosip. 

Aku pun sudah bergosip hari Minggu lalu. Aku pun menghakimi mereka.

Beberapa kata pak Budiman tidak terdengar karena lamunanku. “Kami mengerti apa yang kami lakukan tidak baik, dan sepertinya menganggu orang lain. Tetapi kami pun baru mengenal TuhanYesus sehingga kami tidak terlalu mengerti Alkitab dan ajaran Kristen, kami berpikir yang penting kami sudah datang ke gereja. Tidak apa terlambat daripada tidak datang. Kami sudah melunasi kewajiban kami untuk beribadah.”

Aku mulai memahami apa alasan di balik keterlambatan pasangan suami istri ini. Oh, ternyata itu alasannya.

“Terima kasih sudah berkata jujur kepada kami. Mendengar apa yang tadi bapak sampaikan, kami dengan senang hati ingin menolong. Ada sesi konseling dan kelas pemahaman Alkitab dalam gereja, yang kemungkinan besar dapat menolong mengatasi kesulitan kalian berdua,” saran Pak Pendeta Fardi.

Wajah bapak dan ibu Budiman terlihat sedikit cerah, dan mereka tersenyum bahwa masih ada harapan untuk mereka mengubah kebiasaan buruknya.

Kami berpamitan untuk pergi ke rumah jemaat lain setelah pak Pendeta Fardi mendoakan pasangan suami istri ini. Dalam perjalanan pulang, aku bersyukur Tuhan membuka pikiranku.

Aku harus belajar untuk tidak lagi mudah menghakimi seseorang. Perkataan Mili benar bahwa apa yang terlihat hanyalah fenomena. Selalu ada alasan di balik segala sesuatu. Jika Tuhan saja selalu beri kesempatan bagi manusia untuk bertobat, mengapa aku tidak melakukan hal yang sama? Lalu bagaimana kebiasaan makan mereka? Ah… Mungkin ada alasan lain yang juga belum dibukakan sekarang. Pelan-pelan. Siapa tahu nanti mereka juga bisa berubah.

Pada Akhirnya, Adalah Kehilangan yang Menjadikan Kami Berubah

Oleh Serminya Karlen Patoding, Minahasa

Perpisahan dengan orang yang kita kasihi adalah satu hal yang sangat menyakitkan, apalagi ketika orang yang kita kasihi meninggal dunia. Itulah yang aku rasakan ketika aku kehilangan sosok ayahku.

Sekarang aku telah menjadi seorang mahasiswa semester akhir, dan aku kehilangan ayahku pada tahun 2014, waktu aku masih kelas 1 SMP. Kejadian sembilan tahun lalu itu mungkin dianggap sebagian orang sudah cukup lama, jadi kepedihan karena kehilangan perlahan sudah berkurang atau bahkan sudah tidak sakit hati lagi. Tetapi, yang aku rasakan tidaklah begitu. Pada waktu ayah baru meninggal mungkin aku tidak terlalu merasakan sakit hati, karena, yah namanya juga masih anak-anak yang pemikirannya belum terbuka.

Aku justru merasakan sakit hati paling dalam ketika aku sudah memasuki bangku kuliah. Aku merasa pemikiranku sudah mulai terbuka. Aku mengingat kembali apa yang terjadi beberapa tahun sebelumnya. Sebelum kehilangan ayah, keluarga kami hidup berkecukupan, apapun kebutuhan kami terpenuhi.

Tetapi, kehidupan keluarga kami berubah drastis setelahnya. Di situlah aku mulai berpikir kenapa Tuhan melakukan itu kepada keluarga kami? Kenapa Tuhan mengambil ayah kami? Padahal ibu tidak bekerja, kami 9 orang bersaudara dan anak pertama waktu itu masih SMA dan anak terakhir masih 3 tahun.

Bisa dibayangkan bagaimana ibu kami akan menghidupi kami 9 orang? Bagaimana dia akan membiayai sekolah kami? Dan bagaimana kebutuhan-kebutuhan lain kami akan terpenuhi?

Nah, singkat cerita, tahun demi tahun berlalu .Tak terasa kami melalui itu semua dan mulai berdamai dengan keadaan. Ternyata, berkat Tuhan datang dari segala arah dan memberi kami kecukupan sampai saat ini. Meskipun banyak pergumulan yang kami hadapi dalam keluarga, tetapi di sisi lain ada satu hal yang lebih besar yang terjadi dalam kehidupan keluarga kami. Sebelumnya kami bisa dikatakan cukup jauh dari Tuhan, bahkan ayah jarang menginjakan kaki di gereja dan saudaraku yang lain juga jarang ke gereja. Namun, setelah kehilangan ayah, ibu sudah sering ke gereja, saudara-saudaraku juga, dan kami semua perlahan mulai kenal dengan dunia pelayanan.

Ibu juga sudah sering mengajarkan kami untuk terus berdoa dan berpengharapan kepada Tuhan. Membaca Alkitab, menyanyi memuji Tuhan sebelum tidur, dan menyelesaikan suatu permasalahan berdasarkan firman Tuhan.

Waktu demi waktu berlalu dan sekarang ibuku sudah memberi diri untuk dipakai Tuhan dalam pelayanan di gereja. Kakak juga memberi diri untuk dipakai Tuhan dan sekarang mengambil studi Teologi, juga ada adikku yang terus belajar dan memberi diri dalam pelayanan di gereja. Aku juga bersyukur meskipun kuliahku bukan jurusan Teologi, tetapi dapat diperkenalkan dengan dunia pelayanan kampus.

Dari sisi tersebut aku belajar bahwa ternyata di balik kehilangan seorang yang kami sangat kasihi bukanlah semata-mata suatu musibah, tetapi ada satu hal yang begitu luar biasa terjadi dalam kehidupan keluarga kami. Ada pengharapan yang besar bagi kami. Tuhan mengubahkan hidup kami dan memanggil kami menjadi pelayan-Nya di tempat yang sudah di tentukan-Nya. Melalui pertolongan Tuhan, kami yang pada awalnya merasa tidak terima akan apa yang terjadi pada keluarga kami justru mengimani bahwa penyertaan Tuhan senantiasa ada atas kami. Dia terus setia dan hadir dalam setiap langkah kehidupan kami.

Kehilangan membuat kita bergantung pada Tuhan dan menantikan karya Tuhan dalam kehidupan kita. Tapi di atas semua penderitaan, pergumulan, kesedihan dan kehilangan yang kita alami Tuhan berjanji bahwa Dia ambil kendali.

“Kita tahu sekarang bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28).

Hal yang akan terjadi pada kehidupan kita di hari esok bagaikan teka-teki yang tidak bisa ditebak oleh manusia. Karena itu, iman bahwa Tuhan menyertai kita memberi dorongan kepada untuk kita terus memberikan yang terbaik bagi orang lain, bagi diri kita sendiri dan terlebih bagi Tuhan.

Saat kehilangan kita boleh bersedih, kita boleh menangis, dan awalnya memang tidaklah mudah bagi kita untuk menerima. Namun dalam kesedihan dan keterpurukan kita marilah kita coba untuk memberi ruang kepada Tuhan untuk mengisi kekosongan hati kita.

4 Mitos yang Kita Percayai dalam Relasi Sehari-hari

Berelasi dengan sesama pastilah ada jatuh-bangunnya, alias gak selalu mulus-mulus. Baik itu relasi dengan keluarga, sahabat, rekan kerja, atau lainnya. Namun, apapun relasi yang kita jalani, jadikanlah Tuhan Yesus sebagai pondasi utama kita dalam berelasi dengan sesama dan mintalah hikmat dari-Nya.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI @ymi_today

Dari Kisah “Letter in the Wallet”, Aku Belajar Suatu Hal tentang Cinta

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Pada bulan September 1985, Readers Digest memuat sebuah cerita berjudul “Letter in the Wallet” yang dikisahkan oleh Arnold Fine. Fine menceritakan tentang suatu momen ketika ia menemukan sebuah dompet di jalan. Di dalam dompet itu, terdapat uang tiga dolar bersama sepucuk surat usang yang tertulis tanggal enam puluh tahun lalu.

“Michael yang terhormat.” Begitulah suratnya dimulai. Lalu dilanjutkan dengan kata demi kata yang menyesakkan dada karena hubungan yang harus diakhiri atas desakan orang tua si pemudi. Dan beginilah suratnya ditutup, “Aku akan selalu mencintaimu, Michael.” Lalu disertai tanda tangan, “Milikmu, Hannah.”

Setelah membacanya, Arnold Fine terdorong untuk menemukan pemilik dompet itu. Hal yang sama yang akan kulakukan juga jika aku penemunya. Fine beruntung, alamat pengirim suratnya, Hannah, masih terbaca jelas dalam surat itu. Dengan upayanya, Fine mendapatkan sebuah nomor telepon dan segera menghubunginya. Namun, ia menjadi kecewa mendengar informasi bahwa Hannah beserta keluarganya sudah cukup lama pindah dari rumah itu. Akan tetapi keberuntungan masih memihak Fine, karena ia mendapatkan informasi sebuah tempat di panti jompo, di mana kemungkinan Hannah tinggal sekarang. Fine bergegas dan setibanya di sana, ia diberitahu bahwa Hannah sedang menonton TV di lantai tiga. Segeralah ia naik, bertemu dengan Hannah yang sudah tidak muda lagi, dan memperkenalkan dirinya. Akhirnya, ia pun menanyai siapa penulis surat itu.

Tidak mengejutkan, Hannah mengaku dialah yang menulis surat itu dan melanjutkan, “Aku mengirimkan surat ini kepada Michael karena aku baru berusia enam belas tahun dan ibuku tidak mengizinkan kami bertemu lagi. Dia sangat tampan, Anda tahu, seperti Sean Connery.” Fine bisa melihat pancaran kebahagiaan dari mata Hannah ketika ia membahas si pemilik dompet itu. “Ya, Michael Goldstein adalah namanya. Jika anda menemukannya, beri tahu dia bahwa aku sering memikirkannya dan tidak pernah menikah dengan siapa pun. Tidak ada yang pernah cocok denganku”. Fine berterima kasih, lalu pergi.

Ketika Fine akan meninggalkan tempat itu, seorang perawat di sana bertanya tujuan kedatangan Fine. Ia lalu menceritakan apa yang sudah terjadi dan berkata, “Setidaknya aku bisa mendapatkan nama belakang darinya. Namanya, Michael Goldstein.”

“Goldstein?” tanya perawat itu. “Ada Michael Goldstein yang tinggal di sini di lantai delapan.”

Cepat-cepat Fine kembali ke dalam dan menuju lantai delapan sambil ditemani sang perawat. Pada saat berhadapan dengan Michael Goldstein, perawat itu membuka percakapan, “Pria ini menemukan sebuah dompet dan mungkin Andalah pemilknya. Fine lalu menyerahkan dompet itu dan saat Michael memandangnya, dia tersenyum lega.

“Oh, ya, aku kehilangannya saat aku keluar jalan-jalan beberapa hari yang lalu,” jawab Michael.

Michael sangat bahagia dan berterima kasih, sampai akhirnya Fine mengaku telah membaca surat di dalam dompetnya bahkan tahu tempat tinggal pengirim surat itu, Hannah.

“Bisakah kau memberitahuku di mana dia? Aku ingin sekali meneleponnya. Kamu tahu, ketika surat itu datang kepadaku, hidupku rasanya berakhir. Aku belum pernah menikah. Aku tidak pernah berhenti mencintainya.”

Fine memegang tangan Michael dan membawanya turun ke lantai tiga, sebuah tempat yang dapat melelehkan hati sekeras baja.

“Hannah, apakah kamu kenal pria ini?” tanya perawat yang menemani Fine dan Michael.

Hannah menyesuaikan kacamata yang dipakainya, menatap Michael, dan menggali kembali ingatannya, sampai akhirnya Michael membuka mulutnya, “Hannah, ini Michael.”

Hannah langsung terkesiap dan berseru, “Michael! Michaelku! Sungguhkah itu kamu?”

Mereka berpelukan, berpegangan, duduk, bercerita dan menangis.

Beberapa minggu setelahnya, Arnold Fine menerima sebuah undangan pernikahan. Hannah yang berusia tujuh puluh enam tahun, dengan Michael, tujuh puluh delapan.

Kisah ini ditutup Fine dengan kalimat, “Betapa baiknya pekerjaan Tuhan.”

Mungkin kamu sejenak menahan nafas dan menyeka air mata di pipimu setelah membaca kisah itu. Namun, percayalah padaku, dengan segala rasa hormatku pada Fine, Michael, dan Hannah, kisah itu tidak akan mampu menandingi sebuah kisah tentang seorang “Pangeran Langit” yang mencintai segerombolan penjahat. Ia datang jauh-jauh meninggalkan sorga yang mulia dan melayani dunia bercela. Ia memulainya dari Betlehem, pada sebuah palungan di kandang domba. Sebenarnya Ia tidak punya kesulitan apapun untuk datang dengan kemegahan diiringi terompet para Malaikat. Namun, Ia memilih rahim seorang wanita sederhana yang telah bertunangan dengan seorang pria yang juga sederhana, bahkan mungkin oleh sebagian orang dianggap hina.

Sebagai taruk Ia tumbuh di hadapan Tuhan dan sebagai tunas dari tanah kering. Ia tidak tampan dan semarak-Nya pun tidak. Ia benar-benar tidak cukup mempesona bagi para penguasa Romawi dan dianggap tidak lolos kualifikasi bagi para Saduki dan Farisi.

Sebenarnya Ia telah membangkitkan orang mati yang dikasihi-Nya, dan itu berarti Ia mampu mematikan para pembenci-Nya hanya dengan sekejap mata.

Tetapi, Ia memilih salib, yang bagi sebagian orang adalah batu sandungan, dan bagi sebagian lainnya adalah kebodohan. Ia dihina dan dihindari orang. Seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan.

Seharusnya Ia duduk di atas takhta megah dan layak mengenakan mahkota emas bersama jubah paling mahal, tetapi Ia malah membiarkan diri-Nya “ditelanjangi” dan mengenakan mahkota duri, lalu digantung di atas salib sebagai tontonan memalukan.

Melihat itu, ada yang menangis, ada yang ketakutan, dan ada yang puas. Namun banyak yang tidak tahu, bahwa penyakit kitalah yang ditanggung-Nya dan kesengsaraan kitalah yang dipikul-Nya. “Pangeran Langit” ini tertikam oleh pemberontakan kita dan diremukkan oleh kejahatan kita. Ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepada-Nya. Oleh bilur-bilur-Nya kita disembuhkan.

Pasang telinga baik-baik dan dengarkan kenyataan ini:

“Kamu dan akulah gerombolan penjahat itu dan Yesus Kristus “Pangeran Langitnya”!

Beberapa dari kita mungkin saja duduk termenung, dan bertanya, “Mengapa Ia melakukannya?”

Jawabannya adalah: Kasih.

Kasih yang jauh lebih besar dari kasih Hannah pada Michael juga kasih Michael pada Hannah.

Dalam kasih-Nya, ada pengorbanan yang jauh lebih agung daripada pengorbanan Arnold Fine.

Tidak salah jika kita mengagumi kisah Michael dan Hannah, sama halnya kita kagum dengan Romeo dan Juliet. Namun, sekarang kita harus ingat, kita bukan lagi sekadar penonton.

Tepat di tempat kamu membaca tulisan ini, “Pangeran Langit” yang pernah mati bagimu itu sedang memandang dengan penuh cinta dan berjanji akan menemanimu selama-lamanya. Yohanes 3:16 adalah yang dikirimkan-Nya untukmu.

Sekali lagi, “Betapa baiknya pekerjaan Tuhan!”

Ke Mana Pun Aku Pergi, Tuhan Menjaga yang Aku Cintai

Oleh Bintang Lony Vera, Ambon

Bunyi petasan bersahut-sahutan dan kembang api turut menambah warna langit malam satu bulan yang lalu saat pergantian tahun. Jika biasanya anak-anak sudah tidur, malam itu pada pukul 00.00 mereka berlari kian kemari di halaman rumah dan jalan-jalan. Teman-teman dan kerabat bepergian keluar kota atau ke rumah sanak saudara. Semua ikut menyambut tahun baru dengan sukacita.

Kurasa hanya aku yang berdiam diri dalam kamar yang remang-remang. Duduk termangu sambil menghela napas. Badanku sehat dan tampak utuh berada di rumah, namun pikiranku melayang pada sebuah pertanyaan yang diajukan oleh seorang ibu, jemaat di gereja. Beliau bertanya beberapa hari sebelumnya, “Siapa sekarang yang menjaga Bapak dan Mama di Jakarta? Mereka kan sudah tua”. Pertanyaan ini dilontarkan di halaman gereja sepulang ibadah Natal dan terus terngiang-ngiang selama beberapa hari setelahnya.

Sejak pertengahan tahun lalu, aku harus meninggalkan keluarga untuk pergi bekerja di sebuah kampus yang ada di Kepulauan Aru, Ambon. Sebuah pekerjaan yang sudah kudoakan sejak beberapa tahun lalu. Namun, hatiku yang semula mantap, rapuh juga dengan pertanyaan itu. Setelah aku renungkan, benar adanya. Masa tua adalah masa di mana mereka [orang tuaku] sebaiknya dikelilingi anak-anak yang berada dekat di sisi untuk menjaga, mengasihi, dan menolong mereka. Seiring senjanya usia, fungsi organ tubuh yang mulai berkurang dan badan yang mulai melemah pasti akan orang tuaku alami.

Aku kehilangan semangat bahkan sempat berpikir bahwa aku telah salah membuat keputusan untuk mengajar di sini. Sampai suatu ketika, aku membaca sebuah pesan WhatsApp dari seorang kerabat. Pesan itu dikutip dari 2 Korintus 12:9,

“Tetapi jawab Tuhan kepadaku: “Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu , sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna.” Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.

Hatiku pelan-pelan berbisik, bukankah sudah cukup kasih karunia-Nya? Aku diberikan sebuah kesempatan untuk mengajar di timur Indonesia, sebuah cita-cita yang telah aku doakan sejak lama. Aku juga telah disertai-Nya selama kurang lebih enam bulan bertugas di sana. Aku diterima dan disambut dengan hangat oleh masyarakat sekitar. Aku dapat memahami dan menikmati pekerjaan baruku secara perlahan melalui rekan sekerja yang turut mendampingi dan mengajariku. Aku beroleh persekutuan. Kasih karunia Tuhan sangat besar dalam kehidupanku, maka akupun percaya kasih karunia Tuhan juga besar bagi orang tuaku.

Kami dipisahkan jauh dan aku sangat terbatas untuk menjaga orang tuaku. Namun, restu dari mereka menguatkan hatiku untuk tetap mengerjakan panggilan ini. Ayah dan ibuku mendukungku untuk pergi dan mengerjakan pekerjaan yang telah Tuhan percayakan. Ayah pernah berpesan agar aku mengabdikan diriku sepenuh hati di kota itu. Pesan dan restu dari orangtuaku memampukanku meninggalkan mereka sementara waktu dengan hati yang damai sejahtera.

Lewat Firman-Nya Tuhan juga meneguhkan hatiku. Sebuah perikop yang kubaca ketika waktu teduh menjelang keberangkatan pertama ke tempat tugas kubuka kembali dan aku membacanya pelan-pelan, demikian bunyinya.

“Beginilah firman TUHAN yang menciptakan engkau, hai Yakub, yang membentuk engkau, hai Israel: Janganlah takut, sebab Aku telah menebus engkau, Aku telah memanggil engkau dengan namamu, engkau ini kepunyaan-Ku. Apabila engkau menyeberang melalui air, Aku akan menyertai engkau, atau melalui sungai-sungai, engkau tidak akan dihanyutkan; apabila engkau berjalan melalui api, engkau tidak akan dihanguskan, dan nyala api tidak akan membakar engkau. Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau, maka Aku memberikan manusia sebagai gantimu, dan bangsa-bangsa sebagai ganti nyawamu” (Yesaya 43:1-7).

Kalimat “Apabila engkau menyeberang melalui air, Aku akan menyertai engkau” benar nyatanya. Tuhan selalu melindungiku dalam perjalanan laut saat menyebrang dari kota Ambon ke Pulau Aru. Aku belajar untuk menyimpan dalam hatiku dan memegang teguh janji setia-Nya secara terus-menerus. Aku menyerahkan Ayah dan Ibu juga kedua adikku dalam tangan kasih Tuhan. Aku tidak selalu bisa menjaga mereka namun tetap dapat mengetahui kondisi mereka melalui pesan WhatsApp atau telepon yang biasa kami lakukan setiap malam dan mendoakan mereka.

Aku belum tahu keputusan apa yang harus dibuat dalam jangka waktu panjang namun saat ini aku memutuskan untuk menetap disana karena sedikitnya tenaga pengajar. Sesungguhnya jarak yang memisahkan menjadikan kerinduan dan kasih sayang di antara ayah, ibu, aku, dan adik-adikku semakin bertumbuh. Jika saat ini kamu harus pergi meninggalkan orang terkasihmu untuk mengerjakan tugas panggilanmu, kiranya hatimu beroleh kekuatan karena Tuhan selalu menjaga dan memelihara mereka.

3 Fakta Indah tentang Imperfect Relationships

Kita tahu tak ada satupun relasi yang sempurna. Tapi, melalui ketidaksempurnaan itu, kita belajar tentang kasih dan bagaimana kita harus memelihara relasi itu.

Seperti Tuhan yang selalu mengasihi dan memelihara kita bagaimanapun diri kita, maukah kita juga mengasihi dan memelihara relasi dengan orang lain—siapapun itu?

Sobat Muda, yuk kasihi sesama seperti kasih Tuhan 🤗❤

Artspace ini ditulis oleh Raphael Zhang dan diterjemahkan dari @ymi_today.

Catatan Kecilku Saat Berduka: Ada Pengharapan dari-Nya

Oleh Jefferson

Natal identik dengan perayaan, sukacita, dan reuni bersama kerabat dan teman, tetapi Natal yang baru berlalu terasa berbeda untukku dan keluarga. Tepat satu minggu sebelum Natal, nenekku meninggal dunia. Aku yang sedang pulang liburan kuliah langsung membatalkan semua janjiku untuk menjalani proses kedukaan bersama keluarga.

Perasaanku campur aduk. Aku bingung bagaimana harus menanggapi kepergian nenek. Di satu sisi, aku selalu menemui beliau setiap kali aku pulang dan sebelum aku berangkat kembali Singapura. Di sisi lain, aku merasa tidak dekat dengan beliau karena jarak yang membatasi interaksi kami selama sembilan tahun terakhir.

Seperti yang biasa kulakukan untuk setiap peristiwa kehidupan yang signifikan, aku menulis jurnal sebagai doa kepada Tuhan sembari memproses setiap kejadian dan perasaan yang kualami bersama-Nya. Aku belakangan tahu manfaat di balik memusatkan diri kepada Allah selama berduka. Prakata buku On Death (“Tentang Maut”) karangan Tim Keller mengutip Samuel Johnson, “maut cenderung memusatkan pikiran dengan luar biasa.” Selama masa berduka kita cenderung merenungkan hal-hal yang tak biasa kita pikirkan seperti kehidupan dari yang berpulang, memori-memori bersamanya, dan apa yang terjadi setelah kematian. Dalam periode seperti inilah iman kita diuji. Oleh karena itu, kita yang mengaku percaya kepada Kristus harus mengarahkan diri untuk berduka dalam Tuhan. Dan dalam Firman-Nya kutemukan cara berduka yang menangkap dengan baik perasaanku yang campur aduk:

“Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia. Ini kami katakan kepadamu dengan firman Tuhan: kita yang hidup, yang masih tinggal sampai kedatangan Tuhan, sekali-kali tidak akan mendahului mereka yang telah meninggal. Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit; sesudah itu, kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan. Karena itu hiburkanlah seorang akan yang lain dengan perkataan-perkataan ini” [1 Tes. 4:13–18].

Berdukacita Menurut Alkitab: Tindakan yang Paradoksal

Tim Keller mengamati bahwa klausa terakhir dalam ayat 13 adalah negatif ganda (“jangan” dan “tidak”), jadi dalam konotasi positif Paulus sedang mengajarkan jemaat Tesalonika untuk berdukacita sebagai orang-orang yang mempunyai pengharapan. Tetapi bukankah frasa ini, berdukacita dalam pengharapan, terdengar kontradiktif? Bagaimana dua hal yang bertolak belakang, kesedihan dan pengharapan, dapat kita hidupi secara bersamaan? Sebelum kita menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami konteks surat 1 Tesalonika terlebih dahulu.

Tema utama kitab ini adalah kedatangan Yesus Kristus yang kedua (1:10; 2:19–20; 3:13; 4:13–18; 5:1–11, 23–24). Jemaat Tesalonika tampaknya tak memahami hal ini dengan benar sehingga ada beberapa isu berkaitan yang Paulus bahas dalam suratnya, termasuk tentang kebangkitan orang mati dalam perikop ini. Ada jemaat yang menganggap bahwa anggota gereja yang saat itu telah meninggal akan melewatkan kedatangan kedua Kristus sehingga mereka “berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan” (ay. 13).

Paulus tidak menyalahkan jemaat Tesalonika karena ia memang tidak sempat mengajarkan hal ini ketika ia melayani di sana (3:10, bdk. 2:15, 17; Kis. 17:5–10). Ia malahan mendorong mereka untuk berdukacita, tetapi dalam pengharapan yang tidak dunia miliki. Maka Paulus mengajak kita untuk menyeimbangkan dua ekstrim, duka dan pengharapan, sehingga kita dapat melihat dua sudut dari tanggapan Kristiani terhadap kepergian orang yang berpulang.

Di satu sisi, kita patut berdukacita karena itu memang adalah respons yang pantas ketika seseorang meninggal. Aku mungkin terdengar bodoh karena menuliskan hal yang sudah jelas, namun ada banyak orang Kristen yang mencoba melangkahi dukacita lalu menderita di kemudian hari karena tidak memproses kepergian orang yang berpulang dengan benar. Kita tahu ada pengharapan kebangkitan orang mati (yang akan dibahas di paragraf berikutnya), namun Paulus di suratnya yang lain juga mengajarkan kita untuk berduka bersama mereka yang sedang berduka (Rom. 12:15). Kekayaan catatan Alkitab tentang orang-orang yang berduka (e.g., Ul. 34:8; 2 Sam. 12:15–23; Ay. 1:13–21) turut mendorongku untuk berani merangkul kedukaan. Firman Tuhan menyediakan ruang bagi yang berduka dan meragukan kehadiran-Nya di tengah duka, bahkan Ayub tidak mempertanyakan Tuhan hanya pada dua pasal pertama dan terakhir kitabnya! Kamu dapat membaca bagian-bagian Alkitab lain yang mencatat pengalaman dukacita umat Allah, tapi aku ingin mengakhiri paragraf ini dengan air mata Tuhan Yesus sendiri (Yoh. 11:35). Mengapa Yesus meratapi kematian Lazarus ketika Ia tahu Ia akan membangkitkannya sesaat kemudian? Tim Keller mengamati, “Karena itu adalah respons yang benar terhadap kejahatan dan ketidakwajaran maut.”

Di sisi lain, kita menyandarkan kedukaan kita pada pengharapan “bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia” (ay. 14) dan “mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit” (ay. 16). Dengan kata lain, kita perlu mengingat pengharapan akan kebangkitan dari maut. Ketika Paulus mengajarkan kita untuk tidak berdukacita seperti mereka yang tak memiliki pengharapan di ayat 13, ia sedang menunjukkan keunikan iman Kristen yang berharap pada kebangkitan tubuh dan kehidupan kekal setelah kematian. Sambil memproses perasaanku, mengikuti setiap proses kedukaan, dan merenungkan Natal, aku jadi lebih menghargai kata-kata Tuhan Yesus dalam Yohanes 10:10, “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” Ia pertama kali datang untuk mati dan bangkit agar kita dapat percaya dengan yakin bahwa Ia akan membangkitkan kita pada kedatangan-Nya yang kedua. Adakah pengharapan lain yang lebih kuat, hebat, dan mulia dibandingkan dengan yang Yesus Kristus berikan kepada manusia? Maka Ia memampukan kita untuk berdukacita dalam pengharapan.

Berdukacita untuk Mereka yang Mengaku Tidak Percaya Kepada Kristus

Namun bagaimana praktik berdukacita dalam pengharapan ini diterapkan kalau orang yang berpulang tidak percaya kepada Kristus, apalagi ayat 14 dengan spesifik mencatat “mereka yang telah meninggal dalam Yesus”? Jika Kekristenan adalah satu-satunya iman yang sejati dan benar, bukankah mereka yang tak percaya kepada Yesus tidak “akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia”? Bagaimana aku dapat berduka dalam pengharapan-Nya untuk nenekku yang sampai akhir hidupnya kelihatannya tidak percaya kepada Yesus?

Karena hal ini tidak dijelaskan oleh Alkitab dengan eksplisit, kita perlu menerapkan hikmat dari Allah untuk mencapai kesimpulan yang selaras Firman-Nya. Dua sumber terpercaya, Got Questions dan Desiring God, mengarahkanku kepada doa Abraham:

“Jauhlah kiranya dari pada-Mu untuk berbuat demikian, membunuh orang benar bersama-sama dengan orang fasik, sehingga orang benar itu seolah-olah sama dengan orang fasik! Jauhlah kiranya yang demikian dari pada-Mu! Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil? [Kejadian 18:25].

Dalam ayat ini, Abraham memohon kepada Tuhan untuk tidak menghancurkan Sodom dan Gomora asalkan ada orang benar di sana. Perhatikan bahwa ia tidak melandaskan doanya pada kebajikan penduduk-penduduk Sodom dan Gomora. Abraham justru memohon atas dasar identitas Allah sendiri sebagai “Hakim segenap bumi” yang “menghukum dengan adil”.

Dari sumber-sumber di atas, aku belajar dua hal tentang bagaimana berduka bagi mereka yang tampaknya tidak percaya kepada Kristus. Pertama, urusan ke mana yang berpulang pergi adalah antara dia dengan Tuhan. Aku tidak dapat bilang dengan pasti bahwa nenekku tidak percaya dengan Tuhan sampai akhir, walaupun kelihatannya begitu. Mungkin saja Ia secara ajaib menemui nenekku di detik-detik akhirnya dan membawanya percaya pada-Nya. Yang pasti, kami yang percaya pada Kristus telah membagikan Injil kepada nenekku bahkan hingga di ranjang perawatannya. Percaya atau tidaknya nenekku adalah urusannya dengan Tuhan, bukan kami. Yang kedua, mengutip John Piper, “yang perlu kita ingat adalah Tuhan adil, baik, dan tidak melakukan apapun yang tidak akan kita setujui pada akhirnya.” Standar kebenaran, kebaikan, dan kebajikan adalah Tuhan Yesus, bukan kita. Ketika ada orang yang mengaku tidak percaya berpulang, kita dapat turut berduka baginya sambil berharap bahwa penghakiman Allah baginya adalah adil dan benar. Pada titik ini makna kedatangan pertama Yesus Kristus di momen Natal menjadi semakin berarti. Roma 8:32 terngiang dalam benak, “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?”

Doa Dukaku dalam Pengharapan Natal

Tulisan ini adalah rangkuman perenungan yang kucatat dalam jurnalku pada hari kematian nenekku. Maka kurasa tepat untuk mengakhirinya dengan doaku hari itu kepada Allah:

Bapa di dalam surga, aku mengucap syukur atas segala karunia dan berkat yang telah Kau bagikan lewat nenek sehingga bahkan asisten rumah tangga kami pun meneteskan air mata atas kehilangannya. Aku berdoa dan berharap Engkau sempat menyatakan diri-Mu sendiri kepadanya di momen-momen terakhirnya di bumi dan membawanya kembali ke hadirat-Mu sehingga aku dapat bertemu dengannya lagi bersama-Mu di masa yang akan datang. Tetapi aku bukan Engkau, aku hanya dapat beriman bahwa Engkau telah melaksanakan apa yang Engkau kehendaki. Aku menyerahkan diriku sendiri dan semua anggota-anggota keluargaku ke dalam tangan-Mu, mengetahui bahwa bahkan kematian pun adalah salah satu berkat-Mu bagi kami. Beri aku kekuatan untuk mendampingi orangtuaku selama masa berkabung ini, biarlah Roh-Mu terus beserta dengan kami dan menghibur kami dalam kasih Anak-Mu bagi kami. Dan biarlah peristiwa ini menjadi alat-Mu untuk menjangkau kerabat-kerabatku yang belum percaya kepada-Mu. Sebab tak ada dukacita dalam pengharapan lain di dunia selain yang Injil-Mu beritakan.

Di dalam nama-Mu, Anak, dan Roh Kudus aku berduka, berharap, dan telah berdoa, amin.

Surat dari Mama Buat Kamu

Sosok ibu itu ibarat wonder woman di hidup kita: dialah yang paling terdepan dan perhatian dalam berbagai kondisi hidup kita :’)

Setuju gak, Sobat Muda?

Yuk tunjukkin kasih sayang kita buat ibu kita gak cuma hari ini, tapi juga setiap hari.


Artspace ini didesain oleh Gladys Ongiwarno.

Menikah atau Selibat? Pilihan Hidup yang Perlu Kita Doakan dengan Sungguh

Oleh Hendra Winarjo, Surabaya

Kita punya banyak pertanyaan terkait masa depan. Salah satunya mungkin kita bertanya-tanya dengan siapa, kapan, dan bagaimana kita akan menikah. Namun, konsep tentang pernikahan sebenarnya banyak dipengaruhi oleh faktor budaya dan agama. Contohnya, di negara-negara maju, pernikahan umumnya dianggap sebagai keputusan pribadi dan bersifat privasi, sedangkan di Indonesia pernikahan dianggap sebagai keharusan. Jadi, kalau ada orang yang sudah masuk usia ‘matang’ tapi tak kunjung punya pasangan, pertanyaan ‘kapan nih nikah?’ bukan jadi hal yang asing.

Aku sendiri punya pengalaman terkait keputusanku untuk menikah. Sewaktu aku menyelesaikan studi sarjana strata satuku (S-1), banyak orang yang bertanya-tanya kepadaku soal kapan aku mau menikah dengan wanita yang jadi pacarku saat itu (yang kini jadi istriku). Bukannya menjawab sesegera mungkin, aku malah menjawab bahwa aku akan melanjutkan studi strata duaku (S-2), dan setelah itu barulah aku akan menikah. Mendengar jawabanku tersebut, seketika juga ekspektasi banyak orang bahwa aku akan segera menikah menjadi gugur. Namun, setelah aku berpikir kembali bahwa keputusan menikah atau tidak terutama adalah terkait dengan kehendak Tuhan, maka aku seharusnya tidak perlu merasa bersalah, sebab pernikahan memang adalah sebuah karunia, sakramen, dan perjalanan bersama Tuhan.

Dari pengalamanku itulah ada 3 hal yang ingin kubagikan:

1. Pernikahan bukanlah suatu keniscayaan

Apabila kita melihat kembali ke dalam Alkitab, baik menikah maupun tidak menikah (selibat), keduanya adalah karunia Allah. Artinya jelas, pernikahan bukanlah satu-satunya karunia Allah. Dalam surat Paulus kepada jemaat di Korintus, Paulus menegaskan adanya dua karunia tersebut dengan mengatakan: “Namun demikian alangkah baiknya, kalau semua orang seperti aku; tetapi setiap orang menerima dari Allah karunianya yang khas, yang seorang karunia ini, yang lain karunia itu” (1 Kor. 7:7).

Bagi Paulus, orang yang tidak menikah seperti dirinya adalah baik karena selibat adalah karunia dari Allah. Namun, Paulus juga tidak menutup kemungkinan bahwa Allah memberikan karunia kepada sebagian umat-Nya untuk menikah. Lebih lagi, Paulus bahkan mengajarkan bahwa saling memenuhi kewajiban sebagai pasangan suami istri bukanlah dosa (1 Kor. 7:3). Yang salah ialah jika kita memutlakkan bahwa semua orang Kristen harus menikah, atau sebaliknya, semua orang Kristen seharusnya tidak menikah (asketisme dan gnostisisme). Untuk mengetahui lebih jauh soal ini, kamu bisa melihat artikel yang dipublikasikan di sini.

2. Tujuan utama dari pernikahan bukanlah kebahagiaan, tetapi pengudusan

Di dalam bukunya yang berjudul “Sacred Marriage,” Gary Thomas mengajukan sebuah pertanyaan, sekaligus yang menjadi tesis utama tulisannya bahwa, “bagaimana seandainya Tuhan merancang pernikahan lebih untuk menguduskan kita daripada untuk menyenangkan kita?” Artinya, bagi Thomas, sekalipun kita dapat menikmati kebahagiaan dalam pernikahan, tetapi itu bukanlah tujuan utamanya, sebab tujuan utama Tuhan merancang pernikahan adalah supaya kita dapat memiliki hidup yang kudus di hadapan-Nya.

Secara sederhana, kita bisa mengartikan hidup yang kudus di sini sebagai bagaimana kita hidup seperti yang Tuhan kehendaki. Berkaitan dengan pengudusan, pernikahan adalah salah satu cara (sakramen) Tuhan membentuk kita supaya dapat memiliki hidup yang kudus dengan belajar untuk saling menerima, mengampuni, dan mencintai satu sama lain. Kita bisa menambahkan daftar mata pelajaran yang lain untuk menjadi kudus dalam hubungan pernikahan. Namun, yang salah adalah jika kita mengira kebahagiaan adalah tujuan utama dari pernikahan, apalagi kebahagiaan yang kita maksudkan sebatas perasaan senang.

Meski demikian, perlu juga kita ingat bahwa pengudusan hidup tidak hanya ditemukan di dalam pernikahan. Sebab ketika kita diselamatkan oleh Allah di dalam karya Kristus, maka kita juga dikuduskan secara personal (1 Kor. 1:30; 1 Pet. 1:2). Ini artinya, hidup sebagai orang percaya yang melajang pun dapat memiliki hidup yang kudus di hadapan Tuhan, tidak hanya bagi mereka yang mendapatkan karunia untuk menikah. Asalkan kita tetap hidup berdampingan dengan orang lain, baik keluarga, teman, atau rekan kerja kita. Ini karena penerimaan, pengampunan, mencintai, dan lain seterusnya hanya bisa terjadi jika kita hidup berdampingan dengan orang lain, bukan hidup seorang diri (individualistis).

3. Pernikahan dimulai dengan keutuhan, bukan kekosongan jiwa

Pernikahan dimulai dengan sebuah keutuhan diri di hadapan Tuhan, yang sekalipun belum selesai, tetapi sudah dimulai (already, but not yet) oleh karya Kristus yang mengutuhkan diri kita melalui berdamai kembali dengan Allah (2 Kor. 5:19). C.S. Lewis pernah berkata, “The fact that our heart yearns for something Earth can’t supply is proof that Heaven must be our home,” yang berarti, “Fakta bahwa hati kita merindukan sesuatu yang tidak dapat disediakan di Bumi (termasuk mengenai pasangan hidup) adalah bukti bahwa surga (maksud Lewis di sini ialah Allah) harus menjadi rumah kita.”

Janganlah kita mencari pasangan hidup dan kemudian memutuskan untuk menikah hanya karena merasa kosong di dalam jiwa kita, sebab itu hanya akan dapat melukai pasangan kita, termasuk juga diri kita di kemudian hari. Ibaratnya seperti memberi makan monster yang tak pernah kenyang. Begitu pula, jika kita memulai pernikahan dengan sebuah kekosongan, maka pasangan kita juga tidak akan pernah cukup untuk menutup lubang di dalam hati atau jiwa kita yang terdalam, yang hanya bisa ditutup pertama-tama oleh kasih Allah di dalam Kristus.

Selain itu, ketika kita mundur ke belakang, dalam kisah Penciptaan ketika Tuhan Allah menciptakan Adam, keutuhan diri Adam sebagai manusia sudah dimulai, meskipun belum selesai (Kej. 2:7). Karena Adam tak baik jika sendirian. Jadi, ketika Adam mengambil Hawa sebagai pasangan hidupnya, itu tidak dimulai dari sebuah kekosongan jiwa, tetapi dari keutuhan diri Adam sebagai manusia, yang kemudian mengekstensikan kasih Allah kepada Hawa, seorang manusia yang lain (Kej. 2:23).

Kiranya tiga hal yang perlu kita pikirkan kembali sebelum memutuskan untuk menikah di atas dapat mencerahkan kita yang sedang bergumul untuk menikah atau tidak menikah. Terakhir, saranku adalah jangan pernah memikirkan hal-hal ini sendirian. Carilah sahabat dalam Kristus untuk menemanimu dan memberikan nasihat, serta masukan mengenai pergumulanmu soal status kehidupanmu. Itulah juga yang aku lakukan bersama pasanganku dalam perjalanan kamu sebelum menikah. Kami mencari mentor kami masing-masing, dan bahkan menjalani pelayanan konseling bersama dengan beberapa hamba Tuhan untuk mempersiapkan setiap kami untuk menjadi satu kelak.

Jika kamu punya pertanyaan dan ingin berdiskusi, kamu bisa tuliskan di kolom komentar.

Tuhan Yesus memberkati.