Posts

Tuhan Tidak Punya Bintang Review

Oleh Ernest Martono, Jakarta

Tuhan tidak punya bintang untuk diulas. Berapa pun penilaian kita tentang Tuhan tidak akan mempengaruhi pribadi-Nya. Bagian kita adalah berkenalan dan mengalami Tuhan secara langsung, bukan hanya sekadar kata orang saja. 

Beberapa minggu lalu aku memutuskan ingin membaca sebuah novel. Novel ini telah diadaptasi menjadi sebuah film. Keduanya, baik novel maupun film, cukup booming. Padahal yang aku tahu, novel atau film tersebut bersifat tabu di masyarakat. Akhirnya aku memutuskan membaca ulasan terlebih dahulu sebelum beralih ke novelnya. 

Aku sengaja mencari ulasan yang panjang dan membacanya satu persatu. aku jadi bisa tahu pendapat-pendapat orang mengenai karakter di novel tersebut. Tanpa perlu membuka halaman-halaman di dalamnya, aku bisa tahu beberapa scene penting lewat ulasan yang kubaca. Alurnya tertebak, penulisannya biasa, karakternya tidak romantis padahal banyak orang bilang ini novel romantis. Aku terlalu asyik membaca ulasan-ulasan tersebut hingga lupa membaca novel aslinya. 

Tiba-tiba aku teringat, ini semua sebenarnya merupakan opini-opini orang tentang pengenalan mereka terhadap novel itu. Siapa tahu opiniku berbeda dengan apa yang dialami orang-orang. Mengapa aku sibuk membaca ulasan dan tidak langsung membaca saja novel tersebut? Ada bagian dari diriku yang mengatakan mulai saja baca, tidak perlu sibuk lihat ulasan dan setelah itu baru menentukan mau baca atau tidak. Apa salahnya memang jika aku membaca sendiri? 

Di situs Goodreads, novel tersebut sampai hari ini memiliki rating tidak lebih dari 4. Aku cenderung malas membaca buku yang ratingnya tidak sampai empat. Terlalu lama aku membaca ulasan, terlalu banyak pertimbangan sebelum aku memutuskan membaca novel itu. Namun, akhirnya aku coba baca bab pertama novel itu. Don’t judge a book by its cover, katanya. Selesai bab pertama novel itu aku tidak lagi melanjutkannya. Aku menyetujui beberapa ulasan negatif mengenai novel itu. Entah buku itu memang tidak cocok bagiku, entah aku yang terpengaruh oleh ulasan yang aku baca, atau memang buku itu tidak sebagus promosi media.

Namun, aku jadi bertanya pada diriku sendiri. Mengapa penting bagiku untuk mengetahui ulasan dari novel itu sebelum membacanya? Ternyata setelah disadari, aku ingin menghindari penderitaan yang dapat ditimbulkan dari membaca novel itu. Aku tidak mau merasa rugi membaca novel yang tidak berbobot. Aku tidak mau bertahan membaca tulisan yang sulit dinikmati kalimat-kalimatnya. Aku tidak mau membuang-buang waktu sebab ada begitu banyak buku lain yang lebih bagus untuk dibaca, pikirku.

Tiba-tiba pikiranku melompat. Apakah begitu juga sikapku kepada Tuhan? Jangan-jangan aku mengenali Tuhan bukan dengan mengalaminya secara langsung. Aku cenderung dengar kata orang-tentang Tuhan, tapi tidak mengalaminya. Aku dengar kata orang Tuhan itu baik, tapi aku tidak benar-benar menyadari dan mengalaminya. Mungkin kebanyakan orang juga mengalami hal yang sama sepertiku. Sering dengar khotbah atau berita-berita tentang Tuhan, dan dari situ mereka mengambil kesimpulan dan penilaian tentang Tuhan. Merasa cukup dengan semua informasi itu dan tidak perlu mengalami Tuhan. Akhirnya, kesimpulan kita tentang Tuhan bersifat tidak autentik dan cenderung tidak peduli.

Aku berdiskusi dengan salah satu teman. Dia mengatakan, dalam sebuah relasi butuh dua pengetahuan: Cognitive Knowledge dan Emotional Knowledge. Relasi yang kokoh dan autentik adalah relasi yang merupakan kolaborasi keduanya. Relasi orang tua dan anak misalnya. Orang tua mengajarkan kepada anak untuk tidak takut meminta apa yang mereka inginkan. Itu adalah informasi yang disimpan sebagai pengetahuan. Jika sang anak meminta, tapi orang tuanya terus mengabaikan, maka anak akan mengalami kebingungan. Sang anak akhirnya kesulitan untuk terikat secara emosi dengan orang tua. Kalau ini berlanjut, pelan-pelan sang anak bisa saja meragukan kebenaran dari pengetahuan yang selama ini dia pahami. Begitu juga relasi kita dengan Tuhan. 

Aku teringat kisah Ayub. Pada akhirnya Ayub mengenal Tuhan secara pribadi. Penderitaan bertubi-tubi menimpa Ayub, menyengsarakannya, dan secara khusus menempa imannya. Iman Ayub tidak lagi menjadi iman kata orang. Iman Ayub menjadi iman yang dapat dialami—utuh menyentuh aspek kemanusiaan Ayub. Pengenalan Ayub akan Tuhan jadi lebih kukuh dan autentik setelah ini. Aku suka menyebut kalau iman Ayub telah mendaging dalam dirinya, bukan lagi sekadar dalam ranah pikiran.    

Aku mengajak agar kita yang percaya pada Kristus tidak hanya puas dengan pengetahuan akan Tuhan—doktrin-doktrin, argumen-argumen apologetika, atau juga cerita tentang sejarah-sejarah gereja, tapi juga rindu mengalami Tuhan secara pribadi. Berjalan dalam kehidupan sehari-hari dengan kesadaran ada sebuah ikatan hubungan yang terjalin dengan Tuhan. Memang pengalaman kita harus bersandarkan pada firman Tuhan.

Kita mungkin pernah mendengar kesaksian mengenai orang yang mengaku bertemu Tuhan Yesus berkali-kali. Terkait klaim seperti ini, Alkitab mengajak kita mengujinya (1Tesalonika 5:21). Sebab, segala pengalaman spiritual tiap orang percaya jika dipersaksikan sudah selayaknya untuk mempermuliakan Tuhan, menguatkan iman orang percaya, dan selaras dengan sabda Tuhan.

Dengan demikian kami makin diteguhkan oleh firman yang telah disampaikan oleh para nabi. Alangkah baiknya kalau kamu memperhatikannya sama seperti memperhatikan pelita yang bercahaya di tempat yang gelap sampai fajar menyingsing dan bintang timur terbit bersinar di dalam hatimu.Yang terutama harus kamu ketahui, ialah bahwa nubuat-nubuat dalam Kitab Suci tidak boleh ditafsirkan menurut kehendak sendiri, sebab tidak pernah nubuat dihasilkan oleh kehendak manusia, tetapi oleh dorongan Roh Kudus orang-orang berbicara atas nama Allah. (2Petrus 1:19-21)

Petrus punya banyak pengalaman spiritual dengan Yesus setelah kenaikan Yesus. Namun, bukan itu yang ditekankan Petrus. “Makin diteguhkan oleh firman.” Petrus serius mempelajari firman dan mengulas pengalaman-pengalam spiritualnya dengan kacamata firman Tuhan. Dia tidak menafsir sembarangan nubuat-nubuat.

Pada akhirnya iman itu bukan hanya diketahui, tapi juga dialami. Bukan sembarang dialami, tapi sesuai dengan pengetahuan kita akan firman Tuhan. Keduanya harus bertumbuh sejalan agar iman menjadi kokoh dan asli.

Kalau kita yakin Tuhan itu baik, mengapa hanya berhenti dengan meyakininya saja? Rindukan untuk mengalaminya. Tidak perlu takut merugi mempercayai keyakinan kita pada Tuhan. Jalani saja dulu, baru setelah itu mengulas (red: bersaksi). Tuhan adalah buku tanpa sampul. Dia terbuka untuk dialami dan dikenal. Tidak akan Dia menipu sebagaimana seperti yang bisa kita alami dengan banyak sampul buku di toko buku. Indah di luar, tapi dalamnya tidak cocok dengan kita. Tidak akan merugi jika kita berkenalan dan mengalami Tuhan.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Sang Pemandu Jalan Tak Mungkin Membuat Kita Tersesat

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Road adalah sebuah lagu lawas yang dinyanyikan oleh grup penyanyi dari Korea Selatan bernama “god” (nama grup yang unik). Awalnya aku senang mendengar lagu ini karena melodi lagu yang mudah diingat dan enak untuk didengar. Namun, baru-baru ini ketika aku mencari arti dari lagu ini, aku tertegun karena ternyata liriknya seperti menunjukkan pergumulan yang mungkin dihadapi oleh sebagian orang saat ini (termasuk aku pun pernah mengalaminya). 

Salah satu liriknya mengatakan demikian: 

What am I really dreaming for, Who is this searching really for,
Will I be able to finally smile when I reach the goal.

Dulu ketika tiba waktunya bagi aku untuk memilih jurusan kuliah, lirik tersebut yang menggambarkan hatiku. Ketika itu aku kebingungan, kira-kira jurusan kuliah apa yang mau aku ambil, dan aku juga berpikir jika aku mengambil jurusan tertentu kira-kira aku bisa bahagia tidak ya menjalani perkuliahan dan pekerjaanku di masa depan nanti. Mungkin aku bisa bahagia, tetapi apakah aku akan menikmatinya?

Selama berada di masa itu, semua pilihan tidak ada yang membuat aku lega. Ada banyak universitas yang memberikan jaminan bahwa lulusannya akan mendapatkan pekerjaan yang menjanjikan atau setiap mahasiswa akan menikmati perkuliahan di tempat mereka. Namun, semua tawaran mereka tidak ada yang menarik minatku. Aku awalnya tidak tahu mengapa aku tidak merasa tertarik dengan hal yang sebenarnya dapat menarik minatku, siapa coba yang tidak mau mendapat jaminan sukses atau hidup nyaman dan bahagia? Tetapi entah mengapa hatiku tetap tidak tertarik.

Pertanyaanku ini akhirnya terjawab ketika aku sedang menggumulkan panggilan menjadi seorang hamba Tuhan penuh waktu. Iya, di tengah-tengah aku mempertanyakan tujuan hidupku, Tuhan mengarahkan aku untuk mengikuti sebuah camp remaja di mana melalui camp tersebut Tuhan menegurku bahwa selama ini perjalanan hidupku jauh dari jalan Tuhan dan tidak lagi berjalan mengikut Dia. Tidak hanya itu, Tuhan juga berbicara kepadaku dari Matius 4:19 TB “Mari, ikutlah Aku, dan kamu akan Kujadikan penjala manusia.” 

Di tengah-tengah kebingungan akan tujuan hidupku, Tuhan hadir untuk membukakan jalan bagiku. Tuhan mengingatkanku untuk memiliki tujuan hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan bukan dengan kehendak atau keinginan aku sendiri. Selama ini aku menjalani hidupku sesuai dengan kemauanku sendiri tanpa melihat apakah perbuatanku ini menyenangkan hati Tuhan atau sesuai dengan rencana-Nya. Pantas saja saat itu aku berada dalam kebingungan akan tujuan hidupku, karena masa depan yang aku inginkan tidak sesuai dengan rencana Tuhan dalam hidupku. Aku terlalu mengandalkan diriku di jalan yang sebenarnya hanya sang Pemandu jalan yaitu Tuhan saja yang mengetahui jalan hidupku yang terbaik.

Pada akhirnya, setelah bergumul dengan tujuan hidupku, aku memutuskan atau lebih tepatnya menyerahkan diri kepada Tuhan yang memberikan rencana jauh lebih indah daripada rencanaku terhadap tujuan hidupku. Hasilnya ternyata tidak pernah aku duga, yaitu muncul perasaan lega seakan sudah menemukan jalan keluar setelah berada di dalam sebuah maze yang rumit. 

Teman-teman mungkin sedang mengalami atau pernah mengalami apa yang aku rasakan, yaitu berada dalam kebingungan atau keraguan akan jalan hidup kalian. Mungkin akhir-akhir ini kalian berpikir “apakah pilihanku ini sudah benar ya? bagaimana seandainya kalau aku pilih yang lain seperti apa jalan hidupku?” atau “sebenarnya tujuan aku hidup apa sih? Kok rasanya semua hal yang aku coba gagal semua? Kok rasanya hati aku kosong?”

Teman-teman, mungkin saja keraguan atau kebingungan di jalan hidup yang kita saat ini adalah karena kita saat ini bukan berada di jalannya Tuhan. Kita bisa jadi sedang salah arah dan tersesat. Ketika kita menjalani hidup seperti yang kita inginkan mungkin saja jalan hidup kita terlihat lancar dan sukses namun kita tidak berjalan di jalan-Nya Tuhan sehingga tak jarang perasaan kekosongan atau kesepian kita rasakan karena tidak ada yang bisa memberikan kepuasan yang abadi.

Dalam Yohanes 14:6a (TB) Yesus berkata “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup.” Yesuslah yang seharusnya menjadi Pemandu jalan hidup kita. Dia adalah Tuhan dan Juruselamat kita; Ia juga adalah Pencipta kita, Ia tahu apa yang terbaik untuk kita. Jadi, mari kita ikut rencana-Nya dalam hidup kita. Meskipun menurut kita rencana-Nya tidak seperti yang kita inginkan dan mungkin tidak menyenangkan bagi kita, tapi mari belajar untuk percaya bahwa Sang Pemandu jalan hidup kita tidak mungkin menyesatkan atau mencelakakan kita. Dia yang akan menuntun kita untuk tiba di tujuan yang kita nantikan, yaitu kehidupan kekal bersama dengan Dia di langit dan bumi yang baru. 

What am I really dreaming for, Who is this searching really for, Will I be able to finally smile when I reach the goal. 

Kiranya, dengan kita percayakan jalan hidup kita kepada Sang Pemandu jalan hidup kita, kita dapat yakin memiliki tujuan hidup yang benar dan tidak akan kita sesali. 

Amin.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

3 Perenungan untuk Menyambut Natal

Oleh Yohanes Bensohur

Wah! Gak terasa sudah mau Natalan dan tahun baru lagi.

Rasanya baru kemarin, tetapi sekarang kita sudah akan memasuki tahun ketiga hidup bersama pandemi.

Teringat masa-masa di awal ketika orang-orang panik—memborong stok makanan, harga masker, sampai jahe pun jadi melangit. Ibadah dan persekutuan berubah menjadi online, semua berdoa agar pandemi berlalu.

Namun, kenyataan tidak demikian. Pertengahan tahun 2020, jumlah orang yang terpapar COVID semakin melonjak. Segala harapan untuk keadaan membaik seolah tampak sirna. Beberapa orang mungkin berpikir kenapa begitu lama pandemi ini terjadi, kenapa Tuhan mengizinkan hal ini, bahkan ekstremnya ada orang yang mempertanyakan tentang kebaikan Tuhan: jika Tuhan baik dan berkuasa mengapa mengizinkan kesulitan dan pandemi ini terjadi?

Sebaliknya, ada sebagian orang yang menanti kondisi terus membaik, melihat bagaimana Tuhan tetap berkuasa dan bekerja di dalam dan melalui pandemi. Memasuki tahun 2021 keadaan pun tidak lebih baik dari sebelumnya, peningkatan juga terus melonjak, ditambah dengan munculnya jenis varian baru. Kita semua menghadapi gelombang kedua yang membuat rumah sakit dan petugas medis kelabakan dalam mencari tempat dan merawat pasien, kita seperti terjebak di rumah, banyak orang di PHK, tidak bisa kerja, dsb.

Sekarang, 2021 hendak kita tutup dan tahun yang baru segera datang. Aku mengajakmu untuk berefleksi sejenak ke dalam diri melalui tiga pertanyaan ini:

1. Masih setiakah kita berdoa?

Ketika awal-awal pandemi, kita semua takut. Bersama komunitas gereja, persekutuan, atau secara pribadi kita berdoa memohon Tuhan memulihkan keadaan.

Namun, ketika pandemi tak juga kunjung usai, masih setiakah kita berdoa?

Doa-doa yang kita naikkan mungkin tidak akan mengubah keadaan dalam sekejap, tetapi ketika berdoa, kita sedang mengizinkan agar damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal memelihara hati dan pikiran kita (Filipi 4:7). Dan, janganlah kiranya kita pun lupa, bahwa doa orang benar bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya (Yakobus 5:16).

2. Apakah kita bertumbuh?

Sebelum pandemi, dinamika kehidupan kita pun ada naik-turunnya. Lalu, pandemi hadir dan rasanya membuat dinamika naik turun itu semakin parah. Tetapi, ibarat grafik denyut jantung yang naik turun, demikian jugalah kehidupan.

Naik dan turun adalah tanda bahwa kita hidup. Pertumbuhan apa yang nampak dalam diri kita? Apakah kita bertumbuh semakin serupa dengan Kristus?

3. Bagaimana kita memaknai Natal tahun ini?

Perasaan seperti apa yang sedang kita rasakan dalam menantikan Natal? Sedang biasa saja? Merasa lelah? Tidak begitu bersemangat? Apa yang sebenarnya menjadi kerinduan kita dalam natal dan tahun baru ini?

Natal kali ini, Kita dapat melatih hati kita untuk melihat kebesaran karya Allah. Dia, yang Mahabesar hadir dalam rupa bayi yang kecil dan rapuh, tapi dari sosok bayi inilah hadir pula dampak yang begitu besar terhadap dunia.

Raja Herodes khawatir apabila ada sosok yang akan mengganggu kekuasaanya sehingga ingin membunuh seluruh bayi di bawah dua tahun. Para Gembala menjadi orang-orang terpilih untuk menjumpai bayi dibungkus lampin seperti yang dijanjikan malaikat. Orang Majusi jauh dari timur mencari dan menemui Yesus melalui petunjuk bintang serta memberikan persembahan kepada-Nya.

Kiranya Natal tahun ini kita boleh kembali menata hati kita, mempertanyakan kembali di manakah posisi kita saat ini dihadapan Tuhan, sehingga kita tidak melewati Natal dan tahun baru ini begitu saja.

We wish you merry Christmas and Happy New Year. Kiranya yang menjadi kerinduan kita akan Natal dan tahun baru ini bukanlah suatu hal yang rendah dan tak bernilai, tapi Kristuslah yang boleh menjadi kerinduan terbesar kita, Dia yang benar-benar kita nantikan, kita muliakan dan kita juga rindu agar orang-orang boleh memiliki kerinduan yang besar pula akan Dia.

Saat Kehilangan Menjadi Momen yang Membawaku Kembali pada Tuhan

Oleh Vina Agustina Gultom, Taiwan

Aku adalah mahasiswi program pascasarjana di salah satu perguruan tinggi di Taiwan. Tahun ini adalah semester terakhirku sebelum nantinya aku meraih gelar master. Setelah berjibaku dengan proses penelitianku, sekarang aku telah menyelesaikan analisis dan sedikit lagi tesisku dapat selesai.

Proses pengerjaan tesis ini berjalan lancar. Hingga suatu ketika, pada hari Jumat 9 November 2018 pukul 00:48, hal yang tidak kuinginkan terjadi. Di laptopku, aku membuka dua dokumen yang berbeda. Satu adalah tesisku, dan satunya lagi adalah catatan tambahan. Saat itu aku bersiap untuk tidur, jadi aku save dokumen tersebut dengan mengklik Ctrl + S seperti biasa. Aku yakin bahwa proses penyimpanan dokumen itu tidak bermasalah. Aku lalu tidur dengan tenang karena aku merasa pencapaianku hari itu sudah maksimal.

Namun, ketenangan yang semalam kurasakan berubah menjadi kekhawatiran. Sekitar pukul 12:50, aku berniat melanjutkan kembali penulisan tesisku. Ketika aku mengklik dokumen yang semalam telah kusimpan, betapa kagetnya aku mendapati bahwa semua tulisan yang sudah kutulis hilang. Aku cermati detail dokumen tesisku, dari yang semula sebesar 3.328 KB ternyata sekarang menjadi 0 KB. Kucoba membuka satu dokumen lainnya yang berisi catatan tambahan, ternyata dokumen ini tidak bermasalah.

Aku gelisah. Aku coba berbagai cara supaya dokumen tesisku bisa dipulihkan. Aku menghubungi beberapa temanku yang kuanggap ahli, tapi mereka tidak bisa menolongku. Kata salah satu temanku, drive di laptopku eror, jadi saat aku mengklik save, dokumen tesisku tidak tersimpan dan hilang. Malangnya, momen eror itu terjadi saat aku mengklik “save” pada dokumen tesisku, bukan pada dokumen catatan tambahan.

Aku coba mengendalikan diri untuk tetap tenang. Kucoba usaha lain. Aku menghubungi salah satu staf dari layanan penyimpanan dokumen Dropbox yang biasa kugunakan. Setelah dicek pada database mereka, cadangan dokumen tesisku tidak ditemukan. Aku menangis dan berteriak pada Tuhan. “Kenapa semua ini terjadi ya Bapa? Ampuni aku kalau aku bersalah kepada-Mu.”

Setelah beberapa waktu bergumul untuk menenangkan diri, aku merasa lebih tenang. Hati kecilku berbisik, “Kamu masih punya cadangan tesismu yang tanggal 7 November, Vin. Bersyukurlah.” Aku sadar bahwa dokumen tesisku yang aku simpan tanggal 9 November tidak akan pernah kembali. Tiada jalan lain selain aku mengulang kembali penulisan tesisku. Prosesnya berat. Aku harus mengingat-ingat lagi tesis sebanyak 10 lembar dan menuliskannya dalam bahasa Inggris.

Dari kehilangan, aku mendapatkan

Di tengah stres yang kurasakan, seorang sahabatku yang bernama Okta datang menghiburku. Dia lalu meminjamiku sebuah buku yang berjudul “Go and Do”. Salah satu bagian buku itu mengatakan bahwa iman haruslah dihidupi secara nyata. Aku merasa Tuhan seolah menyentilku dengan pernyataan itu. Aku lalu teringat ayat dari Yakobus 2:17 yang berbunyi: “Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.”

Bagian lain dari buku ini juga menegurku, bahwa di dunia yang membutuhkan garam dan terang ini, aku perlu memiliki waktu untuk berdiam diri bersama Allah. Aku lalu menyadari bahwa belakangan ini aku sudah tidak pernah lagi memiliki waktu untuk berdiam dan berlutut kepada Tuhan. Aku hanya saat teduh sekadarnya, padahal biasanya aku selalu menikmati satu pujian dalam setiap saat teduhku. Ini semua terjadi karena selama ini tesisku berjalan baik. Semuanya berjalan sesuai keinginanku. Aku ingin menyelesaikan tesisku dengan cepat. Namun, tanpa kusadari aku pun jadi mengabaikan relasiku dengan Tuhan. Saat teduh yang seharusnya menjadi momen intimku dengan-Nya, menjadi sekadar rutinitas biasa yang kulakukan.

Ketika obsesiku untuk menyelesaikan tesisku lebih besar dibandingkan keberserahanku kepada Tuhan, di sanalah aku membiarkan watak lamaku yang “liar” dan berdosa untuk mengendalikan diriku. Ada kekhawatiran dan ketakutan yang kemudian meliputi diriku. Namun, syukur kepada Tuhan, karena anugerah-Nya memampukanku untuk bertumbuh di tengah peristiwa buruk yang kualami.

Aku berkomitmen untuk membangun dan mendapatkan kembali relasi yang erat dengan Tuhan. Aku tidak hanya membaca firman Tuhan sambil lalu, tapi aku merenungkannya, menyanyikan satu buah pujian sebagai respons syukurku kepada-Nya, dan membagikan berkat yang kudapat hari itu kepada teman-temanku.

Aku mengucapkan terima kasih kepada semua yang telah setia mendoakanku. Aku yakin aku bisa mengalami pemulihan ini juga semua karena dukungan doa. Kiranya seperti apa yang tertulis dalam renungan saat teduh Santapan Rohani di tanggal 12 November 2018, “Ketika Allah menuntut, Dia juga yang memampukan”, aku dapat mengimaninya dalam proses penyelesaian tesisku dan hidupku ke depannya.

Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh,” Galatia 5:25.

Baca Juga:

Momen Natal yang Membuatku Mengenang Perjumpaan Pertamaku dengan Kristus

Aku tidak terlahir di keluarga Kristen. Ketika aku memutuskan untuk percaya pada Tuhan Yesus, kedua orang tuaku sempat menolakku. Namun, kisah itu tidak berhenti di situ, Tuhan terus melanjutkan karya-Nya.