Posts

Catatan Kebaikan Tuhan di Antara Jayapura dan Jakarta

Oleh Still Ricardo Peea 

Tanggal 15 Agustus lalu, dilakukan pembukaan dan pengutusan satu sekolah baru yang dibuka oleh yayasan yang menaungi pelayananku dan rekan-rekan di pedalaman Papua. Tidak seperti sekolah pada umumnya, sekolah ini dibuka khusus untuk siswa-siswi pedalaman Papua yang melanjutkan SMP dan SMA mereka. Yayasan memberi nama sekolah ini “Bukit Moria”.

Keterlibatanku bersama rekan guru dan para senior perawatku dalam persiapan keberangkatan para siswa ke sekolah baru, mendorongku untuk berefleksi. Penamaan “Bukit Moria” mengacu pada tempat di mana ketaatan Abraham akan perintah Allah diuji. Abraham diminta mengurbankan Ishak, anaknya (Kejadian 22:1-19). Allah melihat ketaatan Abraham dan pada akhirnya memberikan seekor domba jantan sebagai ganti Ishak. Inilah peristiwa yang menunjukan pemeliharaan atau providensia dan kesetiaan Tuhan akan janji-Nya.

Ketaatan, tindakan ini menginspirasiku. Aku melihat para misionari, guru, dokter, perawat, tenaga pengajar, tenaga kesehatan lain yang memberi diri untuk menjadi utusan-Nya. Mereka menjadi teladanku untuk mengabdi sebagai pelayan masyarakat. Pada awalnya, melayani di tanah Papua tak mudah kujalani meskipun keputusan ini sudah kupikirkan jauh sebelum aku mengambil studi keperawatan dan sekarang menjadi perawat. 

Saat aku merespons panggilan Tuhan untuk menjadi perawat, aku dipenuhi keraguan. Aku memikirkan bagaimana nanti rekan sekerja dan komunitas tempatku tinggal, keluargaku yang jauh di daerah asalku, juga kesehatanku yang tidak tahan daerah dingin dan berdebu. Aku harus menghadapi pasien dengan watak dan budaya yang berbeda, dan menangani masalah kesehatan mereka yang tidak darurat maupun darurat yang memerlukan penanganan segera dengan segala keterbatasan yang ada. Sebagai contoh, ada momen ketika listrik kami yang mengandalkan genset juga internet kami bermasalah selama lebih dari sebulan; salah satu kader kami terjatuh dari ketinggian saat bekerja; rekan guru kami ada yang jatuh sakit; kami harus menangani pasien darurat yang oleh tetangganya dipotong di bagian pipi dan rongga mulut, leher dan punggung tangannya. Aku dan seniorku harus tetap tenang dan menenangkan keluarga juga pasien, lalu segera menangani pasien ini. 

Pertolongan-Nya yang kurasakan adalah ketika Tuhan merangkulku dan seniorku di tengah situasi yang tidak baik-baik saja untuk tenang, di tengah jeritan keluarga yang menangis dan menyerukan doa atas apa yang terjadi pada sanak saudaranya. Kadang aku maupun seniorku memutar lagu atau musik instrumental untuk menenangkan pasien, juga mengingatkan lagi diriku sendiri akan apa yang Tuhan sudah kerjakan dalam perjalanan hidupku. Menghitung kembali semua berkat Tuhan, perlahan menenangkanku yang masih baru dalam dunia pelayanan ini. Dukungan dari tim dokter dan perawat klinik, komunitas asrama, dan juga masyarakat yang memberikan semangat dan dorongan, menjadi perpanjangan tangan Tuhan yang memampukanku untuk setia.

Hari-hari sebagai perawat di pedalaman tidaklah mudah. Tapi aku selalu ingat bahwa Tuhan telah membawa kita keluar dari kegelapan kepada terang, membebaskan kita dari belenggu dan menyediakan keselamatan bagi umat-Nya. Inilah yang menjadi penguatan, dan meneguhkan harapanku dalam menjalankan tugasku untuk meningkatkan kesehatan masyarakat. Bukan hanya untuk mengobati dan membantu pemulihan, namun yang terpenting adalah mencegah dan meningkatkan status kesehatan mereka. Bersama tim pelayananku, kami merangkul mereka untuk lebih sadar akan kesehatan mereka. 

Kembali ke kisah pembukaan sekolah di atas, para dokter, senior-seniorku dan aku sendiri bertugas mendampingi para siswa dalam persiapan berangkat bersama guru-guru mereka. Karena kami perawat dari pedalaman yang mendampingi sekolah asal mereka, kami mengetahui bagaimana latar belakang juga masalah kesehatan mereka. Kami mengobservasi kondisi mereka selama masa persiapan dan adaptasi sebelum berangkat, memastikan mereka siap untuk melanjutkan studi mereka di tempat baru yang jauh berbeda dengan daerah asal mereka. Supaya di perjalanan tidak ada kendala kesehatan, kami pun harus ikut berangkat. Kami mengarungi lautan di atas kapal selama tujuh hari tujuh malam—dari kota Jayapura ke Jakarta. Kami singgah di beberapa kota seperti Manokwari, Biak, Sorong, Bau-Bau, Makassar, dan Surabaya selama perjalanan.

Durasi yang cukup lama di atas kapal kami lewatkan dengan bermain bersama, mendengarkan firman Tuhan, berdoa, bernyanyi, menari, dan bersukacita. Pengalaman ini menjadi rhema tersendiri bagiku, sukacita yang menguatkanku, dan perenunganku akan kebaikan Tuhan. Siswa-siswi dari pedalaman mengalami hidup yang jauh berbeda dari segala kemudahan ala orang-orang kota, namun Tuhan mengasihi dan memperhatikan mereka. Jika aku adalah mereka, tentu tak mudah untuk keluar dari zona nyaman dengan pergi ke tempat yang benar-benar baru.

Aku terdorong untuk menulis tulisan ini sejak aku naik ke atas kapal. Bukit Moria dan anak-anak yang meninggalkan tanah kelahirannya untuk mengenyam pendidikan ibarat perjalanan Abraham yang dibawa Tuhan keluar dari tanah asalnya. Tuhan berinisiatif dan Dia mengenalkan diri-Nya karena kita tidak mampu, begitu juga dengan anak-anak ini yang dibawa untuk berproses dan mengenal-Nya lewat pembelajaran mereka di sekolah nantinya. Tuhan membawa mereka keluar, ke tempat yang terdapat akses lebih akan pengetahuan dan pengenalan akan Dia. 

Keterbatasan dan kesulitan yang ada tidaklah lebih besar dari pertolongan yang Tuhan sediakan. Tangan-Nya tak akan terlambat dan akan menyediakan. Ia turun tangan memberikan pertolongan lewat kehadiran siapapun yang bisa dipakai-Nya untuk menjangkau jiwa-jiwa yang terhilang, yang rindu untuk mengenal dan dekat dengan pribadi-Nya. Pertolongan-Nya bisa hadir lewat aku dan kamu karena Dia setia. 

Perenungan singkatku di atas kapal laut ini hanyalah sedikit sekali dari samudera berkat yang Tuhan sediakan bagi kita. Buat kamu yang membaca tulisan ini, aku meminta bantuanmu untuk membawa siswa-siswi yang kudampingi, untuk anak-anak Tuhan di mana pun, calon pemimpin yang akan menjadi duta Kristus di masa depan yang sedang berjuang, di dalam pokok doa kita. Doakan agar hidup mereka dipimpin Roh Kudus yang setia, sehingga mereka senantiasa dibentuk meneladani dan menyerupai Kristus, dan memuliakan Bapa kita.

Terima kasih, Imik Neyung Perob! (Tuhan Memberkati).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Mengapa Orang Kristen Perlu Berkomunitas?

Oleh Isabel Ong

Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Christian Community Matters

Pada musim gugur 2017, aku menukar kebiasaan dan kenyamanan hidupku di Singapura dengan kehidupan baru di Vancouver, sebuah kota dengan pemandangan gunung berselimut salju serta danau dan air terjun di sekitarnya, juga kemungkinan bertemu beruang (!) ketika mendaki gunung.

Tinggal di luar negeri untuk pertama kalinya dalam hidupku adalah suatu pengalaman yang sering membuatku tercengang. Namun, di balik kegembiraan itu, sebenarnya aku merasa cemas dan takut saat mencari gereja dan komunitas Kristen yang kuharap dapat menjadi “keluarga”. Budaya dan cara berhubungan orang-orang di sini sangat berbeda dari yang biasa kulakukan di tempat asalku. Orang-orang di sini menghargai privasi, jadi dalam beberapa hal aku perlu waktu lebih lama untuk mengenal mereka.

Selama berbulan-bulan pergi beribadah Minggu, aku merasa tidak nyaman ketika orang-orang di sekitarku saling menyapa, sementara aku merasa sama sekali tidak dikenal bahkan merasa tidak terlihat. Sulit untuk membangun hubungan pertemanan karena orang-orang cenderung bergaul dalam kelompok mereka sendiri, dan tampaknya tidak terlalu tertarik untuk mencari teman baru. Sebagai seorang introver yang senang bergaul, aku sering mencoba memulai percakapan dan mengikuti acara tertentu, namun setelahnya aku kerap tidak puas karena merasa tidak berhasil menjalin hubungan yang tulus dengan orang lain.

Bisa dibilang aku benar-benar rindu berkomunitas. Komunitas sudah menjadi bagian penting dalam hidupku di Singapura, sehingga kehilangan hubungan persahabatan yang erat dan mendalam membuatku agak terguncang. Aku bahkan berpikir untuk membeli tiket pesawat untuk kembali pulang ke Singapura, karena di situlah komunitasku berada. Dan sepertinya, tidak ada yang bisa kudapatkan di sini.

Mengapa kita tidak bisa hidup tanpa komunitas?

Kata komunitas sendiri membawa rasa hangat dan kegembiraan, dengan memunculkan gambaran orang-orang yang sedang makan bersama dan berdoa satu sama lain.

Para rasul juga menikmati komunitas dalam setiap aspek kehidupan mereka. Sebagaimana dicatat dalam Kisah Para Rasul 2:46-47, “Dengan bertekun dan dengan sehati mereka berkumpul tiap-tiap hari dalam Bait Allah. Mereka memecahkan roti di rumah masing-masing secara bergilir dan makan bersama-sama dengan gembira dan dengan tulus hati, sambil memuji Allah. Dan mereka disukai semua orang. Dan tiap-tiap hari Tuhan menambah jumlah mereka dengan orang yang diselamatkan.”

Masuk dalam komunitas Kristen yang hidup dan bersemangat berarti kita meneladani pola hidup yang dilakukan oleh Yesus dan murid-murid-Nya.

– Komunitas membuat iman kita bertumbuh

Sebagian pertumbuhan rohaniku kualami pada saat aku bertemu dengan saudara-saudari seiman untuk berdoa dan beribadah bersama secara teratur. Aku ingat ketika aku sedang mempersiapkan ujian level “A” di Singapura (setingkat ujian masuk perguruan tinggi), aku dan tiga temanku belajar bersama setiap hari. Saat istirahat, kami biasanya membaca Alkitab, memainkan lagu pujian dengan gitar, dan saling mendoakan. Aku terdorong untuk mencari Tuhan lebih dan lebih lagi setiap hari karena aku melihat bagaimana teman-temanku sangat ingin mengenal Tuhan.

Pertumbuhan itu dapat saja terjadi melalui saat teduh pribadiku dengan Tuhan, tetapi sungguh jauh lebih bersemangat, indah, dan juga berharga saat aku melakukannya dalam persekutuan dengan saudara seiman, yang juga haus akan kehadiran Tuhan dalam hidup mereka.

Aku berani mengatakan bahwa iman kita akan berkembang dan terdorong untuk maju ketika kita berada dalam komunitas. Selain itu, sikap terbaik yang harus dimiliki ketika kita ingin iman kita bertumbuh adalah kepekaan dan keterbukaan. Karena itu, kita perlu tampil sebagai diri sendiri, daripada berpura-pura menjadi orang Kristen yang “baik”. Kita juga perlu mendengarkan baik-baik keraguan seseorang daripada berusaha meyakinkan mereka untuk berpikir sebaliknya.

Mengizinkan diri kita menjadi apa adanya dan jujur ​​tentang segala pergumulan, ketakutan, harapan, dan keinginan kita dengan sesama orang percaya akan membawa kita pada terobosan nyata—ketika kita mengalami karya Tuhan yang mengubahkan hidup kita.

– Komunitas memberi kita kesempatan untuk melayani orang lain

Kita tidak diciptakan untuk hidup dalam keterasingan. Sebaliknya, Alkitab terus-menerus menasihati kita untuk melayani satu sama lain—dan komunitas adalah tempatnya.

Galatia 5:13 berkata, “Layanilah seorang akan yang lain oleh kasih”, dan 1 Petrus 4:10 juga berkata, “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah.”

Berada dalam komunitas membuatku mampu menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentinganku. Aku juga menjadi lebih tanggap dan sadar akan apa yang dialami rekan-rekan seiman, dan mengetahui bagaimana aku dapat membantu, memotivasi, atau melayani mereka dengan nyata.

Ketika aku dan suamiku mulai mengikuti kelompok kecil di gereja baru kami di Vancouver, kami menawarkan diri untuk menjamu orang-orang di apartemen kami. Setiap minggu, kami mengadakan makan malam bersama sebelum belajar Alkitab.

Ini mungkin terdengar sangat biasa. Namun, Kanada jauh lebih luas daripada Singapura, dan sebagian tamu kami perlu berkendara selama satu jam untuk tiba di rumah kami. Selain itu, tidak seperti Singapura, makanan murah tidak selalu tersedia di sini, sehingga kebanyakan dari mereka akan membawa makanan rumahan. Aku sungguh merasa tergugah oleh waktu dan komitmen yang diberikan oleh sekelompok teman baru ini di tengah jadwal mereka yang sibuk.

Melayani orang lain dengan cara menyiapkan rumah kami setiap minggu dan memasak untuk orang lain—hal yang jarang kulakukan di Singapura—membuatku merenungkan lebih dalam tentang Yesus yang menyambut dan melayani begitu banyak orang asing yang Dia temui. Aku juga menjadi sadar bahwa perjamuan kasih—tempat kami berkumpul bersama terlepas dari berbagai latar belakang budaya dan pekerjaan yang kami miliki—sangat penting bagi pembentukan rohani kita.

Aku menyadari bahwa mendahulukan kepentingan orang lain di atas kepentinganku sungguh membawa kelegaan dan sukacita tersendiri, dan aku dimampukan untuk benar-benar mengikuti teladan Kristus dan (mudah-mudahan) bertumbuh semakin rendah hati, penuh kasih dan kebaikan.

– Komunitas dapat membangun gereja

Ketika kita saling mengasihi dan melayani serta berkontribusi untuk kebaikan bersama, kita menguatkan tubuh Kristus (1 Korintus 12:12) dan mendorong satu sama lain untuk mengasihi dan melakukan perbuatan baik (Ibrani 10:24).

Entah dengan mempersiapkan bahan pendalaman Alkitab mingguan, menyediakan makanan untuk seorang teman yang sedang bergumul, mengirim pesan singkat berisi kata-kata penyemangat kepada seseorang, atau mengambil peran sukarela tertentu di gereja, setiap tindakan sederhana memberi dampak besar dalam upaya kita mendorong satu sama lain agar menjadi semakin serupa dengan Kristus.

Komunitas menumbuhkan semangat hidup, merendahkan hati, dan memperluas kapasitas iman kita. Dalam komunitas, kita diingatkan pada kasih Allah bagi setiap kita, yang tidak memandang perbedaan maupun latar belakang kita.

Komunitas menjadi penyelamatku manakala imanku sedang melemah atau terguncang. Lewat komunitaslah aku terdorong untuk hidup semakin dekat dengan Yesus. Sering kali, komunitas menjadi satu-satunya wadah bagiku untuk menerapkan imanku kepada Tuhan.

Selama lima tahun ini, aku sungguh diberkati oleh kelompok kecil yang pernah kami jamu di apartemen kami di Vancouver. Kami adalah sekelompok orang yang sangat berbeda dalam hal usia, etnis, dan latar belakang budaya, tetapi kami berkumpul setiap minggu karena kerinduan yang sama untuk lebih mengenal Tuhan. Kami tertawa, berdoa, beribadah, dan bermain bersama. Karena mereka, Selasa malamku menjadi sangat istimewa.

Menemukan dan menjadi bagian dari komunitas di sini memang menuntut banyak waktu dan tenaga. Selain itu, dibutuhkan kesungguhan serta doa untuk membangun komunitas di kota di mana Tuhan telah memanggilku untuk saat ini (daripada, katakanlah, membeli tiket pesawat pulang ke kampung halaman!).

Aku berdoa agar kamu juga dapat menikmati kebersamaan dengan komunitas orang percaya yang sama-sama ingin bertumbuh, berjuang, dan membangun sembari kamu mencari dan menghidupi tujuan Tuhan dalam hidupmu.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥