Kisah Hattie Kecil dan 57 Sennya

Oleh Edwin Petrus, Medan

Entah sudah berapa kali aku pernah mendengarkan kisah dari seorang anak kecil bernama Hattie May Wiatt. Namun, beberapa waktu yang lalu, ketika aku menceritakan kisahnya kembali, aku tak sanggup menahan air mata yang menetes keluar dari kelopak mataku. Aku terharu dengan apa yang sudah dilakukan oleh bocah berusia enam tahun tersebut dan sekaligus tertegur dengan kerinduannya untuk pekerjaan Tuhan. 

Hattie May Wiatt hanyalah seorang anak perempuan cilik yang lahir di sebuah keluarga yang berlatar belakang ekonomi lemah. Bisa jadi karena ia tidak mampu memiliki pakaian yang rapi dan apik, sehingga ia selalu tidak pernah kebagian tempat duduk di ruang Sekolah Minggu dari sebuah gereja yang berlokasi di dekat rumahnya. Sudah beberapa kali hari Minggu, ia hanya bisa mengintip teman-teman sebayanya mengikuti kelas dari pagar gereja sambil menangis. Sampai suatu hari, pendeta dari Gereja Temple Baptist tersebut melihat si Hattie kecil. Pendeta Russell H. Conwell mengajak Hattie masuk dan mencarikannya tempat duduk di ruangan yang penuh sesak dengan hiruk pikuk anak-anak. 

Sepulang dari Sekolah Minggu, Hattie sangat bersukacita karena akhirnya ia bisa mendengarkan kisah tentang Yesus Kristus. Sampai di rumah, ia pun memberitahukan orang tuanya akan sebuah harapan, yaitu ia berharap ada ruangan yang lebih besar di gereja supaya lebih banyak lagi anak-anak bisa mengikuti kelas Sekolah Minggu. Ia pun berjanji akan mulai menyisihkan uang jajannnya untuk mimpinya ini. 

Singkat cerita, Hattie tiba-tiba jatuh sakit. Hanya beberapa minggu berselang dari kejadian itu, Hattie kembali ke rumah Bapa di surga. Di hari pemakamannya, orang tua Hattie membawa tabungannya Hattie dan menyerahkan uang 57 sen sekaligus harapan Hattie kepada Pdt. Rusell. Bapak pendeta ini terharu dengan tindakan kecil yang sudah diperjuangkan Hattie di tengah keterbatasannya. Hattie tidak mempunyai uang yang banyak, tetapi dia berani melepaskan kepemilikan atas uang jajannya demi pekerjaan Tuhan yang lebih besar.

Pdt. Rusell membawa impian Hattie kepada khalayak ramai. Kisah Hattie ini menjadi narasi yang dikisahkan kepada para pengurus gereja. Bahkan, cerita yang mengundang haru ini menjadi buah bibir di kota Philadelphia, Amerika Serikat. Mereka yang digerakkan oleh cerita Hattie dengan segera mengucurkan aliran dana ke kas gereja. Akhirnya, bukan hanya ruangan Sekolah Minggu yang diperbesar dan diperbanyak, tetapi keseluruhan gereja berhasil direnovasi untuk menampung lebih banyak jemaat. 

Hari ini, di kota Philadelphia, jika kita melihat ada gedung Temple Baptist Church yang bisa menampung tiga ribu jemaat, Temple College yang bisa menampung ribuan mahasiswa, serta Temple Hospital; semua bentuk pelayanan ini dimulai dari 57 sen yang menyimpan cita-cita mendalam dari seorang Hattie kecil, yang mengharapkan ruangan kelas Sekolah Minggu yang lebih luas. Uang 57 sen pada saat itu pun bukan nominal yang besar, tetapi kita menemukan dampak yang besar dari hati yang rindu untuk memberikannya bagi pekerjaan Tuhan. 

Ada peribahasa mengatakan “memberi adalah lebih baik daripada menerima.” Namun, aku menyadari bahwa terkadang kata-kata indah ini hanyalah ungkapan klise yang masih sulit aku lakukan. Aku harus jujur mengatakan bahwa aku dapat lebih tertawa lebar ketika menerima hadiah maupun uang yang diberikan oleh orang lain kepadaku. Memang benar, salah satu bahasa kasihku yang paling dominan adalah pemberian hadiah. Aku bukan tidak bersukacita ketika melihat pemberianku berdampak bagi orang yang menerimanya. Aku pun terus belajar untuk dapat memberi dan berbagi dengan orang-orang yang di sekitarku karena aku percaya bahwa semua orang pasti bisa memberi. 

Kisah tentang seorang janda miskin yang memberikan dua peser di Injil Markus 12:41-44 dan Lukas 21:1-4 adalah bukti bahwa kita pasti bisa memberi. Pada hari itu, Yesus sedang berada di Bait Allah untuk mengajar seperti biasanya. Ketika pandangan Yesus terarah ke peti persembahan, Yesus menemukan bahwa ada orang-orang kaya yang memasukkan persembahan mereka ke dalam peti. Ada juga seorang wanita tua yang berjalan mendekati peti persembahan.  Dari pakaiannya yang sederhana dan mungkin juga sudah sobek di beberapa bagian, bisa dipastikan bahwa dia adalah seorang janda yang miskin. Dia juga datang membawa persembahannya yang hanya dua buah koin yang memiliki nilai mata uang terkecil. Dia tidak juga memasukkan dua uang tembaga ke dalam peti persembahan itu.

Dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang sangat singkat ini, aku belajar bahwa memberi itu tidak perlu menunggu sampai aku sudah menjadi orang kaya. Dulu, aku memang sempat memiliki pemikiran bahwa aku baru bisa memberikan persembahan dan perpuluhan kalau aku sudah memiliki uang yang banyak. Namun, dari sebuah khotbah yang pernah aku dengar kira-kira belasan tahun silam, sang pengkhotbah mengatakan bahwa justru memberi persembahan dan perpuluhan itu harus dimulai ketika penghasilan kita masih kecil. Dari situlah, kita dapat melatih diri untuk memberikan harta kita bagi pekerjaan Tuhan. 

Aku bersyukur kalau aku tidak melupakan khotbah hari itu. Aku merasakan dampak dari praktik memberi ketika aku masih hidup dari uang jajan sampai akhirnya aku sudah bekerja dan memiliki pemasukan tetap. Aku sempat merasakan beratnya untuk menaikkan jumlah perpuluhan ketika tunjangan bulanan yang aku terima juga meningkat. Namun, latihan yang sudah aku tekuni bertahun-tahun itu dan juga pengenalanku kepada Tuhan yang semakin bertumbuh, aku bersyukur jika Tuhan terus memberikan aku hati yang mau memberi untuk memperluas kerajaan Allah di muka bumi ini. 

Janda miskin yang memberikan dua peser untuk persembahan di Bait Allah ini memperoleh pujian dari Yesus. Apresiasi ini didasarkan pada motivasi dari janda ini memberikan persembahan. Hanya ada satu hal yang mendorong janda ini untuk berani memberikan seluruh yang dimilikinya. Janda ini tidak memberi karena kewajiban. Janda ini memberi karena ia mengasihi Allah dan ia hanya ingin menyenangkan hati Allah. Ia tidak keberatan jika setelah ia pulang dari Bait Allah, ia harus bekerja lebih keras lagi untuk bisa bertahan hidup hari itu. 

Sebelum kita mampu memberikan persembahan syukur, perpuluhan, pemberian diakonia sosial, dana misi, sumbangan, dan segala bentuk pemberian lainnya kepada gereja, lembaga Kristen, maupun pribadi; Allah sebenarnya telah terlebih dahulu memberi kepada kita. Allah telah mengorbankan Anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus kepada kita. Kristus diberikan oleh Allah sebagai Anak Domba Allah yang disembelih demi memberikan hidup baru yang kekal kepada kita yang selayaknya menerima penghukuman kekal. 

Kita telah terlebih dahulu menerima pemberian yang tidak ternilai dari Allah. Anugerah di dalam Yesus Kristus yang telah kita terima terlebih dahulu inilah yang menjadi dasar kita untuk memberi. Jikalau hari ini aku dan kamu bisa mendukung pelayanan melalui pemberian, kita perlu mengucap syukur kepada Roh Kudus yang tinggal di dalam diri kita. Roh Allah itu sendiri yang melembutkan dan menggerakkan hati kita untuk dapat mensyukuri anugerah Tuhan, sehingga kita pun dapat memberi dengan sukacita. 

Memberi itu bukan perkara gampang jika kita belum mau melepaskan genggaman terhadap harta kepemilikan kita. Namun, aku percaya setiap orang bisa memberi untuk Tuhan. Aku pun masih terus melatih diriku untuk bisa memiliki hati yang plong ketika memberi bagi pekerjaan Tuhan. Ayo kawan, kita terus meminta Tuhan untuk terus mengubah hati kita agar kita bisa memberi dengan sukacita.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Bagikan Konten Ini
1 reply

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *