Posts

Dari kecil, kita selalu diajarin kalau Tuhan itu baik…

Hal-hal kecil yang tiap hari kita lalui, seringkali luput untuk kita syukuri.

Daud dalam pergumulannya (Mazmur 34) tetap memuji Tuhan dan menyerukan betapa baiknya Tuhan. Daud bahkan mengatakan, “Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya!” (Mazmur 34:9). 

Yuk, bersyukur atas kebaikan-Nya pada kita. Apa pun pergumulan yang sedang kita alami, Tuhan selalu menyediakan hal-hal baik yang bisa kita syukuri 😇

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Aku Ingin Menceritakan Kebaikan Tuhan

Oleh Nikita Theresia, Depok

Halo teman-teman, ini adalah pengalaman pertamaku menulis sebuah artikel rohani. Aku berdoa tulisan sederhana ini jadi berkat buat siapa pun yang membacanya. Judul artikel ini adalah isi hatiku, tentang pengalamanku merasakan sendiri kebaikan-kebaikan Tuhan khususnya sepanjang tahun 2022 yang baru saja kita tutup.

Aku merupakan fresh-graduate dari salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta. Perjalanaku sepanjang 2022 sangat menguras tenaga, pikiran, waktu, dan perasaan. Selain jadi mahasiswa, aku merangkap juga sebagai tulang punggung keluarga. Aku tidak pernah menganggap status gandaku ini sebagai beban, melainkan aku percaya bahwa Tuhan sedang memakaiku untuk menjadi berkat buat keluargaku.

Perjalananku menuntaskan skripsi kulalui dengan penuh air mata. Sembari kuliah, aku harus memenuhi kebutuhan keluarga. Aku bekerja sambilan sebagai guru les dan kadang membantu proyek dosenku seperti menulis jurnal dan membantu beberapa kegiatan. Ada suatu momen ketika pengeluaranku membengkak, yang membuatku sempat pesimis. Tapi, berkat kebaikan Tuhan, dosen pembimbingku memberiku tawaran mengajar di sebuah sekolah sebagai guru pengganti selama tiga bulan. Tanpa berlama-lama aku menerima tawaran itu.

Sampai tibalah waktu sidangku. Jujur aku takut karena kegiatanku sangat banyak. Aku khawatir jika nanti hasil sidangku mengecewakan. Namun, berkat dukungan keluarga dan doa mereka, aku dapat melewati sidangku dan puji Tuhan, hasil akhirnya aku dinyatakan lulus. Aku pulang dengan penuh sukacita, dan berkat Tuhan tidak berhenti di sini saja. Esoknya ketika aku datang ke sekolah, murid-murid memberiku kejutan sederhana. Mereka menulis di papan, “Ms. Nikita lulus sidang.” Ini adalah suatu hal yang tidak terduga bagiku, dan aku tidak menyangka penyambutan sederaha itu membuatku terharu.

Tanpa terasa, setelah sidang dan mengurus berkas-berkas wisuda, waktu mengajarku selama tiga bulan sebagai guru pengganti pun usai. Ada perasaan sedih karena aku tidak akan bertemu dengan siswa-siswaku lagi. Di hari terakhirku di sekolah, lagi-lagi aku merasakan kebaikan Tuhan. Para siswa di setiap kelas yang kuajar meninggalkan beragam tulisan yang menyatakan perasaan mereka selama diajar olehku. Aku tersentuh dan sangat bersyukur karena Tuhan memberikan kesempatan yang luar biasa bagiku.

Setelah tugasku di sekolah usai, aku kembali menghadapi dilema. Bagaimana hidupku setelah ini? Apakah aku akan menganggur? Pikiran negatif ini membuatku sampai jatuh sakit selama seminggu dan tidak bisa berbuat apa-apa. Saat itulah aku mencoba berpikir positif, tetap berdoa dan mengandalkan Tuhan. Kukirimkan beberapa lamaran ke sekolah dan puji Tuhan semuanya direspons baik. Ada satu sekolah yang mencuri perhatianku dan tanpa ragu kukirimkan lamaranku. Tanpa berselang lama, mereka menghubungiku dan aku mengikuti semua tahapan rekrutmen. Kurang dari satu minggu aku diterima sebagai guru full time dan penerimaan ini terjadi tepat satu minggu sebelum aku diwisuda.

Pada hari wisudaku, aku merasakan kebahagiaan kedua orang tuaku dengan wajah tersenyum, empat tahun mereka menanti momen indah ini dan setelah wisuda besoknya aku sudah bekerja. Aku meneteskan air mataku karena aku bersyukur Tuhan menolongku melewati semua yang terjadi dalam hidupku.

Aku bersyukur dan sangat bersyukur kepada-Nya. Aku menjalani tahun-tahunku selama perkuliahan bukan hal yang mudah, terutama di tahun 2022. Tuhan masih memberikan kepadaku kesempatan untuk bertumbuh di tempatku yang baru dan aku percaya Dia akan memberikan kekuatan kepadaku melewati semuanya. Aku teringat pada satu ayat Ibrani 13:8, “Yesus Kristus tetap sama, baik kemarin maupun hari ini dan sampai selama-lamanya”.

Tahun demi tahun bisa berganti, setiap momen pasti berlalu dan berganti. Tetapi Yesus Kristus tetap sama, dan aku ingin menceritakan kebaikan Tuhan hari ini dan sampai selama-lamanya.

Semuanya Dimulai dengan Percaya Bahwa Tuhan Itu Baik

Oleh Gabrielle Triyono
Artikel asli dalam bahasa Inggris: It Starts With Believing God is Good

Kita semua mungkin pernah berkata “Thank God” atau “Tuhan baik” berkali-kali dalam hidup kita. Tapi, apakah pilihan dan cara hidup kita benar-benar mencerminkan apa yang kita katakan? Jawabanku adalah: tidak selalu. 

Tumbuh besar sebagai orang Kristen, aku diajarkan kalau Tuhan itu baik, dan memang aku telah mengalami sendiri kebaikan Tuhan. Tapi, meskipun aku mengalami kebaikan-Nya, seringkali aku masih ragu dengan apa yang Tuhan minta untuk kulakukan.

Pada suatu momen, Tuhan meneguhkan hatiku untuk putus dari suatu hubungan pacaran. Meskipun pada masa-masa yang lalu aku telah mengalami sendiri kesetiaan dan kebaikan Tuhan, tapi keterikatanku pada relasi dengan pacarku membutakanku dari melihat tuntunan Tuhan. Aku memaksakan kehendakku sendiri dan menganggap cara Tuhan bukanlah yang terbaik buatku. 

Tapi, ternyata aku salah.

Hubungan dengan pacarku membuatku jauh dari Tuhan. Aku kehilangan fokus kepada panggilan Tuhan. Buku-buku yang Tuhan tanamkan dalam hatiku untuk kutulis jadi tertunda, dan aku tidak bisa memberi diri sepenuhnya untuk melayani dalam persekutuan di gereja. Dan karena Yesus tidak pernah menjadi pusat dalam hubunganku dengan pacarku, kami  pun tidak bertumbuh secara rohani.

Sejak itu, aku melihat Tuhan berkarya lebih banyak dalam hidupku daripada sebelumnya.

Tuhan membuka pintu bagiku untuk menjadi pemimpin di persekutuan para lajang di gerejaku (meskipun aku baru join persekutuan ini beberapa bulan saja). Aku juga diundang untuk berbicara, berbagi kesaksian, dan memimpin ibadah untuk acara Natal para lajang di gerejaku. Sungguh mengharukan melihat bagimana ceritaku berpengaruh pada orang-orang yang juga bergumul dalam hidupnya. Salah satunya lewat buku yang kutulis, yang berjudul Living Revelations. Beberapa orang memberiku tanggapan bahwa karyaku itu bermanfaat bagi mereka. 

Aku pun mengalami Efesus 3:30 menjadi nyata dalam hidupku: Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita.”Tuhan pasti memberiku lebih dari apa yang kubayangkan. Dia membuka lebih banyak pintu untuk pelayananku. 

Pengalaman ini membuatku sadar tentang kebenaran penting. Menyadari bahwa Tuhan itu baik menolong kita melangkah dalam ketaatan untuk melakukan panggilan kita.  Mazmur 18:30 mengingatkan kita, “Adapun Allah, jalannya sempurna.”

Seringkali kita melewatkan berkat Tuhan dengan menolak untuk menaati-Nya karena kita tidak percaya kalau jalan-Nya adalah sempurna. Aku perlu belajar bahwa meskipun jalan-Nya terlihat seperti bukan yang terbaik, tapi itulah yang terbaik buat kita. 

Pertemuan Simon Petrus dengan Yesus adalah contoh yang baik tentang pentingnya percaya pada panggilan Allah. Dalam Lukas 5, Yesus meminta Petrus untuk berlayar ke perairan yang dalam untuk menangkap ikan lagi, sedangkan Petrus baru saja menghabiskan sepanjang malam melaut tapi tidak ada ikan yang tertangkap.

Petrus pun menanggapi Yesus, Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” Petrus sudah kelelahan, dan kita bisa melihat dari tanggapannya bahwa dia tidak merasa gagasan Yesus itu baik. Namun, walaupun dia ragu dan bimbang, dia tetap melakukannya.

Apa hasilnya? Berkat yang luar biasa.

Petrus dan rekan-rekan nelayannya menangkap begitu banyak ikan, sampai jala mereka pun mulai koyak (ayat 6). Lukas 5:8-9 mengatakan, “Ketika Simon Petrus melihat hal itu ia pun tersungkur di depan Yesus… Dia takjub oleh karena banyaknya ikan yang mereka tangkap..” (titik beratku).

Petrus menyadari kebaikan Tuhan. Jika dia mengikuti perasaannya dan tidak mendengarkan Yesus, dia tidak akan pernah berada pada posisinya saat itu—di kaki Yesus, penuh kekaguman akan kuasa-Nya.

Mungkin kita seperti Simon Petrus. Tapi seperti pengalaman yang ditunjukkan Petrus, perasaan kita tidaklah selalu jadi cerminan kenyataan. Tuhan ingin memenuhi kita dengan kebaikan dan berkat-Nya, tapi itu dimulai dengan ketaatan kita.

Maukah kita menanggapi Yesus seperti Simon Petrus dan berkata, “Karena Engkau telah bilang begitu, maka aku akan melakukannya”

Jika kamu belum melihat tangan Tuhan berkarya dalam hidupmu, sekaranglah kesempatanmu untuk melihat kebaikan-Nya tercurah dalam hidupmu. Dan jika kamu telah melihat Tuhan berkarya dalam hidupmu, percayalah Dia akan melakukannya lagi dan lagi.

Hari ini, maukah kita mengikuti permintaan Yesus? Melakukan perintah-Nya dengan beriman, terlepas dari perasaan dan keraguan kita. Maukah kita menyadari kebenaran sederhana ini bahwa Tuhan selalu berlaku baik untuk kebaikan kita?

Kita tidak perlu takut dengan apa yang akan datang. Selama kita berjalan dengan Tuhan, kebaikan-Nya akan selalu menemani hidup kita. Mazmur 23:6 berkata, “Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa.”.

Tidak ada yang lebih baik daripada hidup di dalam kehendak Tuhan.

Kelulusan yang Tertunda: Momen untuk Memahami Kehendak Tuhan

Oleh Yosheph Yang, Korea Selatan

Bagaimana kalau kelulusan kamu ditunda satu semester?

Begitulah pertanyaan dari dosen pembimbingku di bulan Oktober tahun lalu. Beliau memberiku waktu 3 minggu untuk memutuskannya. Aku terdiam dan hanya bisa berpikir dalam hati. Rencanaku, aku akan lulus di Februari 2020, lalu mencari lowongan pekerjaan. Jika rencana ini lancar dan aku diterima kerja, maka itu akan jadi pekerjaan pertamaku setelah hampir 10 tahun aku duduk di bangku perkuliahan. Tapi, pertanyaan dosen pembimbingku itu mengejutkanku. Aku jadi berpikir, apakah Tuhan ingin aku menunda kelulusanku?

Dosen pembimbingku menilai bahwa aku perlu sedikit waktu untuk memikirkan apa tujuan hidupku: apakah aku mau lanjut berkarya di dunia akademik atau bekerja sebagai peneliti di institut penelitian? Beliau juga berpikir bahwa jika kelulusanku ditunda sedikit, aku bisa mengerjakan beberapa penelitian yang dapat menambah kualitas disertasiku.

Beliau lantas memberiku dua pilihan: menunda kelulusan atau tetap lulus di bulan Februari 2020 dan menetap di lab sebagai postdoctoral fellow sampai nanti aku mendapatkan pekerjaan tetap, seperti yang kebanyakan dilakukan para senior di labku.

Dalam masa-masa pergumulanku menentukan keputusan ini, kelompok kecil gerejaku membahas tentang memahami kehendak Tuhan. Melalui pembelajaran tersebut serta diskusi bersama mentor rohani dan keluargaku, aku memutuskan untuk menunda kelulusanku hingga Agustus 2020.

Prinsip mengambil keputusan

Kita bisa memahami dengan jelas kehendak Tuhan yang sangat jelas tertera di Alkitab. Contoh-contoh kehendak Tuhan yang terlihat jelas adalah: hidup kudus (1 Petrus 1:16), bersukacita senantiasa, berdoa, mengucap syukur dalam segala hal (1 Tesalonika 5:16-18), berbuat baik kepada orang lain (1 Petrus 2:15), dan masih banyak lagi jika kita mau mencarinya.

Tapi, bagaimana dengan kehendak Tuhan yang tidak tertulis di Alkitab? Pertanyaan-pertanyaan seperti jurusan apa yang harus kupilih, pekerjaan yang harus kulakukan, di mana nantinya aku tinggal, dengan siapa aku menikah, dan semacamnya, tidak memiliki jawaban secara eksplisit di Alkitab. Namun, Tuhan melalui firman-Nya tidak akan membiarkan anak-anak-Nya berada dalam kebingungannya sendiri. Tuhan berjanji kepada kita sebagai orang percaya bahwa Dia akan menunjukkan kepada kita jalan-jalan yang harus kita tempuh.

“Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu” (Mazmur 32:8).

Untuk menumbuhkan sukacita yang sesungguhnya (JOY) di dalam mengambil keputusan, kita dapat menerapkan prinsip Jesus Others You (kalau disingkat menjadi JOY) sebagai urutan prioritas. Terkait dengan mendahulukan Yesus dalam mengambil keputusan, aku belajar tentang bagaimana firman Tuhan harus menjadi dasar dalam mengambil keputusan. Kita bisa mengajukan beberapa pertanyaan berlandaskan firman Tuhan kepada diri kita masing-masing, seperti contoh di bawah ini:

  • Apakah dengan mengambil keputusan ini aku mendahulukan kepentingan kerajaan Allah dan kemuliaan-Nya daripada keinginanku sendiri? (Matius 6:33).
  • Apakah dengan mengambil keputusan ini aku bisa lebih mengasihi Kristus dan orang-orang di sekitarku? (Matius 22:37-39).
  • Apakah dengan mengambil keputusan ini menolongku menyampaikan berita Kristus kepada orang-orang yang belum percaya? (Matius 28:19-20).
  • Apakah keputusan ini bisa membantuku hidup dalam kekudusan? (1 Petrus 1:15).
  • Apakah keputusan ini bisa membuatku mengenal Kristus dan bertumbuh dalam kasih karunia-Nya? (2 Petrus 3:18).
  • Apakah yang aku lakukan ini menjadi batu sandungan bagi orang-orang di sekitarku? (1 Korintus 8:9).
  • Apakah ini bermanfaat bagi jiwaku dan tidak menjadi tuan dalam hidupku? (1 Korintus 6:12).
  • Apakah aku melakukan semuanya ini untuk kemuliaan Tuhan? (1 Korintus 10:31).

Dan masih banyak lagi firman Tuhan yang dapat kita temukan dan jadikan sebagai dasar untuk membedakan mana yang kehendak Tuhan atau bukan dalam kehidupan kita. Ketika kita melihat bahwa hal yang akan kita lakukan tidak sesuai dengan firman Tuhan, kita dapat menyimpulkan dengan pasti itu bukanlah kehendak Tuhan.

Kembali ke pengalamanku sendiri dalam mengambil keputusan untuk menunda kelulusanku, aku berusaha jujur terhadap diriku sendiri. Ada hasrat dalam diriku untuk lulus cepat supaya aku bisa bangga menyelesaikan studiku sedikit lebih cepat dari waktu normal. Aku pikir ini mungkin bisa membantuku mendapat pekerjaan yang aku inginkan nantinya.

Ketika aku melihat tujuanku dalam mencari pekerjaan dan membandingkannya dengan firman Tuhan yang tertulis dalam Matius 6:33, aku mulai membuka hatiku terhadap kemungkinan untuk menunda kelulusanku.

Aku juga berpikir Tuhanlah yang menggerakkan hati dosen pembimbingku untuk menanyakan kepadaku tentang penundaan kelulusan. Jika beliau tidak bertanya itu sama sekali, dipastikan aku lulus di Februari 2020.

Taat pada kehendak Tuhan

Di dalam pembahasan mengenai kehendak Tuhan, aku diajarkan untuk taat kepada kehendak-Nya yang telah diberikan Alkitab. Tulisanku sebelumnya mengenai ketaatan yang benar di hadapan Tuhan bisa dibaca di sini.

Ketaatan kepada firman Tuhan dapat bertumbuh melalui saat teduh dan kehidupan doa kita sehari-hari. Bagaimana aku bisa peka terhadap arahan Tuhan dalam hidupku kalau aku tidak peka dengan suara-Nya dalam firman-Nya? Ketika firman Tuhan ada dalam hati kita, langkah hidup kita tidak akan goyah (Mazmur 37:31). Firman Tuhan akan menjadi pelita bagi kita dan terang bagi jalan kita (Mazmur 119:105), dan memberikan pengertian kepada kita (Mazmur 119:130).

Untuk mencari pimpinan Tuhan dalam kehidupan kita, kita bisa belajar dari doa Daud yang tertuang dalam Mazmur 25:4-5 dan Mazmur 143:8. Daud merindukan kasih setia Tuhan setiap pagi. Daud tahu dan percaya bahwa kasih setia Tuhan tidak berkesudahan, tidak habis, dan selalu baru setiap pagi (Ratapan 3:22-23). Kita juga bisa meneladani Daud dengan setia merenungkan firman Tuhan setiap pagi dan berdoa meminta bimbingan-Nya setiap hari.

Perdengarkanlah kasih setia-Mu kepadaku pada waktu pagi, sebab kepada-Mulah aku percaya! Beritahukanlah aku jalan yang harus kutempuh, sebab kepada-Mulah kuangkat jiwaku. (Mazmur 143:8)

Untuk mengerti kehendak Tuhan dalam kehidupanku, aku melatih diriku untuk lebih giat berdoa. Salah satu caraku adalah dengan mendoabacakan Mazmur 25:4-5 setiap harinya. Terkadang di saatku berdoa, aku juga memparafrasekan ayat tersebut dengan bahasaku sendiri. Ini sangat membantuku untuk menikmati kasih setia Tuhan dan menunggu dengan setia jawaban dari Tuhan.

Membuka hati dan menerima bimbingan Tuhan

Jika kita memiliki hati yang bersedia untuk melakukan apa pun itu yang merupakan kehendak Allah dalam kehidupan kita, kita akan lebih mudah membedakan mana yang merupakan kehendak Allah atau bukan. Tuhan Yesus juga berkata apabila kita mau melakukan kehendak-Nya, kita bisa tahu apakah itu kehendak Allah atau tidak (Yohanes 7:17). Ketika kita membuka hati kita untuk taat terhadap apa pun kehendak-Nya dalam hidup kita, Tuhan akan membimbing langkah kaki kita.

Salah satu cara Tuhan membimbing langkahku adalah lewat berdiskusi dengan mentor rohaniku. Aku bersyukur memiliki mentor rohani yang pernah mengalami masa-masa sepertiku dan bersimpati terhadap keadaanku.

Dibandingkan lulus cepat, lebih baik lulus normal dan telah mendapat tawaran pekerjaan. Menetap sebagai postdoctoral fellow di lab yang sama bukanlah hal yang buruk, tapi itu dapat memberiku kesan kalau aku tidak mendapatkan tawaran dari luar sama sekali. Kurang lebih begitulah nasihat yang mentorku berikan.

Mentorku juga menyarankanku untuk lebih menyelidiki motivasiku dalam mencari pekerjaan. Apakah dengan uang yang aku peroleh dari pekerjaanku nantinya aku mau memakainya untuk memberkati orang lain? Apakah aku mau menyampaikan berita Kristus dan memuridkan orang lain terlepas dari apa pun pekerjaanku? Apabila Tuhan melihatku telah siap dipakai untuk memperluas kerajaan-Nya, aku yakin Tuhan akan memberikan aku pekerjaan yang sesuai dengan kehendak-Nya.

Setelah memutuskan untuk menunda kelulusanku, aku merasakan damai Kristus dalam hatiku. Tuhan Yesus juga membantuku dalam penelitianku yang aku lakukan di masa-masa penundaan kelulusanku. Melalui kasih karunia Tuhan, aku bisa mempublikasikan satu jurnal, dan satu lagi sedang dalam proses revisi.

Kondisi virus corona di seluruh dunia saat ini juga berdampak terhadap tersedianya lowongan pekerjaan yang sesuai dengan minat dan bakatku. Mungkin aku harus menunggu lebih lama lagi untuk mendapat pekerjaan pertamaku. Terlepas dari apapun kondisi nantinya, aku akan menantikan Tuhan bekerja pada waktu-Nya dan taat kepada kehendak-Nya karena aku tahu Penebusku hidup dan mengasihiku.

Sebab itu Tuhan menanti-nantikan saatnya hendak menunjukkan kasih-Nya kepada kamu; sebab itu Ia bangkit hendak menyayangi kamu. Sebab Tuhan adalah Allah yang adil; berbahagialah semua orang yang menanti-nantikan Dia! (Yesaya 30:18)

Aku berharap teman-teman sekalian di dalam masa mencari tahu kehendak Tuhan dalam kehidupan, tetap taat dan berpedoman kepada Firman Tuhan. Biarlah kiranya kita semua selalu setia menanti bimbingan Tuhan dalam kehidupan kita.

Tuhan memberkati.

Baca Juga:

Menentukan Jurusan Kuliah: Pilihanku atau Pilihan Tuhan?

Menentukan jurusan kuliah adalah salah satu keputusan sulit yang kita ambil. Bagaimana kita bisa yakin pilihan yang kita ambil adalah pilihan yang terbaik buat kita?

Allah Bekerja dalam Kehilangan Kita

Oleh Daniel Alexander Oktavianus, Bekasi

Tidak ada orang yang ingin merasakan kehilangan. Bahkan, banyak yang berpikir bahwa kehilangan akan menghasilkan rasa sakit dan tidak perlulah menjadi bagian hidup manusia. Namun, tidak bisa kita pungkiri, semua orang pasti akan merasakan kehilangan.

Aku pun pernah kehilangan, dan yang terbaru terjadi dua bulan lalu. Aku kehilangan bapakku di saat aku sebagai anak tertua tidak bisa melakukan apa-apa untuk keluargaku.

Singkat cerita, bapak tidak tinggal bersama kami karena beliau dan mama bertengkar sejak lama, bahkan hampir bercerai hingga akhirnya berpisah rumah cukup jauh. Kami tinggal di Bekasi sementara bapak tinggal bersama saudaranya di Siantar, Sumatera Utara.

Aku tidak bisa melakukan apa pun untuk menyatukan mereka kembali. Mereka berdua sudah terlanjur terlalu membenci. Aku hanya bisa mendoakan mereka, karena setiap usahaku untuk menyatukan mereka, selalu gagal.

Lalu, ketika bapak dalam kondisi sakit parah, aku pun terbang ke Siantar, merawatnya sampai bapak meninggal di sebelahku. Yang aku pikirkan saat bapak pergi hanya satu, “Aku hanya orang yang gagal, yang gak bisa menyatukan keluarga.” Rasa kehilangan bercampur dengan perasaan gagal. Beberapa jam aku merenung, dan yang ada hanyalah perasaan terintimidasi.

Sampai pada akhirnya, ada satu kalimat terlintas dalam pikiranku, “Mungkin Tuhan ingin ini terjadi agar ada pengampunan dalam keluarga.”

Kalimat inilah yang membebaskanku dari perasaan bersalahku.

Bagaimana bisa?

Semenjak hari itu, sampai sekarang, aku melihat sendiri bagaimana peristiwa dukacita itu menjadi momen pemulihan bagi keluargaku. Mama membuka pintu hatinya dan mengampuni bapak, bahkan malah semakin merindukan kehadran bapak. Pengampunan turun atas keluarga kami.

Dukacita dan kehilangan, perisitwa yang agaknya kelam, namun Tuhan pakai untuk mendatangkan kebaikan. Dari kejadian ini, aku samkin yakin satu hal, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan (Roma 8:28).

Kadang, kita sering melihat momen hidup yang tidak mengenakkan sebagai sebuah hal yang harus dihindari.

Namun, kenyataannya, tidaklah selalu demikian.

Kita diizinkan tidak jadian dengan wanita yang kita suka bukan karena Tuhan tidak ingin kita senang, tapi karena Tuhan tidak ingin kita bersedih karena salah pilih orang.

Kita diizinkan gagal masuk sekolah yang kita inginkan, bukan karena Tuhan tidak ingin kita masuk ke sekolah yang terbaik, tapi karena mungkin Tuhan ingin mempertemukan kita dengan orang yang bisa mengubah atau menolong kita di sekolah lain.

Tuhan mengizinkan orang tua kita berpulang lebih dahulu kepada-Nya bukan karena Tuhan ingin kita kesempian, tapi Dia ingin kita bergantung kepada-Nya.

Segala sesuatu yang Tuhan lakukan senantiasa untuk kebaikan kita. Bahkan, sekalipun hal itu buruk di mata kita, Tuhan selalu menyajikan kebaikan di dalamnya.

Yohanes 3:16 berkata, “Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal.”

Tuhan tidak hanya menyelamatkan kita dari kebinasaan dan membawa kita ke hidup kekal, Tuhan sendiri pun merasakan kehilangan. Bapa di surga kehilangan Anak-Nya yang tunggal demi membawa keselamatan bagi kita semua.

Kehilangan tidaklah selalu buruk. Dikecewakan tidaklah selalu buruk. Disakiti tidaklah selalu buruk. Yang membuat itu semua buruk adalah respons kita yang menolak untuk menerima peristiwa tersebut dan kita enggan meletakkan kepercayaan kita kepada Tuhan.

Namun, menerima kehilangan dan beragam peristiwa buruk bukanlah proses yang mudah. Bisa jadi itu adalah proses bertahun-tahun yang melibatkan kemelut emosi dan derai air mata. Kiranya kita tidak tawar hati dan sama-sama berkenan untuk belajar bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan. Selalu ada maksud Tuhan dalam setiap momen hidup kita, bahkan dalam kehilangan kita sekalipun.

Baca Juga:

Kini dan Nanti, Penyertaan-Nya Tetap Ada

Kegagalan yang terjadi bukan selalu berarti Tuhant idak merestui rencana kita. Izinkanlah diri kita untuk percaya akan kebaikan dan penyertaan Tuhan meskipun lewat hal pahit sekalipun.

Jadilah Padaku Seperti yang Tuhan Ingini

Oleh Irene, Surakarta

“Hidup ini kuletakkan pada mezbah-Mu ya Tuhan. Jadilah padaku seperti yang Kau ingini.”

Penggalan lagu berjudul “Seperti yang Kau Ingini” itu terus mengalun di kamar rumah sakit Bethesda, Yogyakarta, 12 tahun silam. Lagu yang dinyanyikan oleh Nikita itu menemani saat-saat ketika nenek yang kukasihi terbaring lemah karena stroke. Keluargaku masih berharap akan kesembuhan di tengah kepasrahan yang mendera hati kami. Separuh diriku pun sebenarnya berharap agar nenek tetap berjuang hidup, tapi di sisi lain aku pasrah hingga akhirnya tepat pada tanggal 15 Januari 2007, beliau mengembuskan nafas terakhirnya di usia 72 tahun.

Sejak saat itu, lagu “Seperti yang Kau Ingini” selalu kuputar jika berkunjung ke pusara nenek. Dan, ketika aku menghadapi pergumulan pun, lagu itu selalu terngiang dan kuputar di komputerku. Liriknya meneduhkanku, juga mengingatkanku bahwa di tengah kehidupan yang tidak berjalan sesuai harapan, aku bisa memercayakannya kepada Tuhan.

Sejenak aku merenung. Di balik kalimat dan lirik “Jadilah padaku seperti yang Kau ingini” itu, mengimaninya tak semudah mengucapkannya. Tidak mudah untuk meminta Tuhan melakukan apa yang jadi kehendak-Nya ketika aku sendiri punya kehendak yang ingin dipenuhi. Aku ingin kaya, punya rumah besar, dipuji orang, mendapatkan pekerjaan idaman, dan hidup bersama dengan orang yang kucintai. Aku ingin nenekku tidak meninggalkanku dari dunia ini. Tapi, tentu tidak semua hal itu berjalan seturut keinginanku.

Alkitab mengatakan bahwa hati kita dapat menipu diri kita sendiri (Yeremia 17:9). Di balik segala keinginan yang tampaknya baik itu, mungkin saja terselip egoisme yang menganggap bahwa rencanaku lebih baik daripada rencana Tuhan. Padahal, firman Tuhan dengan jelas mengatakan bahwa rencana Tuhan jauh lebih tinggi daripada rencana-rencana kita (Yesaya 55:8-9).

Sampai di titik ini, aku merasa tertegur. Mengingat kembali kepedihanku ketika nenek akhirnya dipanggil pulang ke surga, aku mengimani bahwa ada banyak hal dalam kehdiupan ini yang sulit dimengerti. Tetapi, satu hal yang aku tahu dan imani adalah Tuhan itu baik dan penuh kasih. Tuhan baik bukan cuma karena Dia memberiku keberhasilan, tetapi karena Dia memang baik. Tuhan mengasihiku bukan hanya karena Dia memberiku berkat, tetapi karena Dia adalah kasih. Aku belajar menerima bahwa di balik kepergian nenekku dan segala hal yang terjadi dalam hidupku, Tuhan melakukannya dalam hikmat dan kasih-Nya.

Yang perlu aku lakukan sekarang adalah berserah diri dan percaya. Aku yakin bahwa Tuhan memberikan yang terbaik, dan bagianku adalah memberikan hidupku pada-Nya untuk dibentuk-Nya.

Bukan dengan barang fana
Kau membayar dosaku
Dengan darah yang mahal
Tiada noda dan cela

Bukan dengan emas perak
Kau menebus diriku
Oleh segenap kasih
Dan pengorbanan-Mu

Ku telah mati dan tinggalkan
Jalan hidupku yg lama
Semuanya sia-sisa
Dan tak berarti lagi

Hidup ini kuletakkan
Pada mezbah-Mu ya Tuhan
Jadilah padaku seperti
Yang Kau ingini

Baca Juga:

3 Ayat Alkitab Ketika Kita Merasa Tidak Cukup Baik

Gagal mendapatkan beasiswa pernah membuatku kecewa dan merasa diriku tidak cukup baik. Namun, ada tiga ayat yang menolongku untuk bangkit dari perasaan ini.

Belajar Menerima Hal Buruk, Sebagaimana Aku Menerima Hal Baik dari Tuhan

Oleh Debora Asima Rohayani, Jakarta

17 September 2015, tanggal yang tidak bisa aku lupakan sampai saat ini. Hari itu rumah uwak, kakak dari mamaku mengalami musibah kebakaran. Rumah kami bersebelahan sehingga sebagian rumahku pun terkena kobaran api. Ketika menerima telepon tentang kejadian ini, aku sedang bekerja di kantor. Dengan segera aku pun pulang ke rumah.

Aku tidak melihat ada satu pun yang tersisa dari rumah uwakku, semuanya rata dengan tanah. Keponakan kembarku yang berusia dua tahun meninggal dalam musibah tersebut, kedua-duanya! Hatiku hancur, kakiku sudah tak kuat untuk berdiri rasanya. Aku melihat mamaku duduk tanpa ekspresi apa pun di depan rumah. Aku memeluknya, membisikkannya, “semua pasti baik-baik saja, Ma”. Tapi, kondisi saat itu jelas tidak sedang baik-baik saja. Aku berusaha menguatkan semua anggota keluargaku dengan membendung air mataku.

Aku lalu masuk ke dalam rumahku sendiri dan melihat semuanya hancur tak berbentuk. Aku tak dapat menahan lagi sesaknya hati ini. Aku menangis dalam kesendirianku. Semua peristiwa ini seperti mimpi buruk yang menjadi nyata. Dalam hatiku, aku bertanya, “Tuhan, apa dosa yang aku perbuat?” Tanpa kusadari, pikiranku terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan lainnya. “Apakah ini hasil aku melayani-Mu di gereja, berdoa, membaca firman-Mu? Adik-adikku juga melayani-Mu”. Saat itu, hanya pertanyaan demi pertanyaan yang terlintas di benakku, pertanyaan yang lebih mengacu kepada protesku pada Tuhan.

Namun, aku teringat tentang bagaimana Ayub yang di dalam kesalehan hidupnya mengalami hal yang sangat buruk, sangat tidak adil. Dan, ayat ini kemudian muncul di kepalaku:

“Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dan tidak menuduh Allah berbuat yang kurang patut” (Ayub 1:22).

Ayub berusaha memakai sudut pandang Allah dalam menjalani apa yang terjadi di hidupnya. Aku tahu, apa yang dialami Ayub adalah sesuatu yang rasanya begitu berat untuk ditanggung seorang manusia. Dan kupikir, musibah yang kualami mungkin tidak lebih berat daripada yang Ayub alami.

Tapi, hidup ini rasanya tidak mudah bagiku. Kami harus tidur tanpa lampu penerangan karena semua aliran listrik dipadamkan. Sempat ada tetangga yang memberikan sambungan listrik, tapi tiba-tiba mereka mencabutnya kembali tanpa aku tahu alasannya. Dan, untuk pertama kalinya aku harus tidur di bawah langit malam secara langsung, ya tanpa atap. Saat hujan, kami berteduh di rumah tetangga yang lain. Bayangan canda tawaku dengan dua keponakanku selalu muncul di kepalaku. Tak sekali-kali air mataku pun mengalir.

Beberapa hari setelah musibah itu menjadi titik terendah dalam hidupku. Fase di mana aku bingung apakah aku mau tetap percaya kepada-Nya, atau berhenti berharap. Jelas sangat sulit, apalagi setelah aku mengetahui bahwa biaya untuk merenovasi total rumahku harus menggunakan uang tabungan mama yang awalnya ditujukan untuk membiayai kuliah adik pertamaku. Adikku bersedia merendahkan hatinya dan merelakan kesempatannya berkuliah. Adikku yang kedua akan masuk SMP tahun depan. Dan sebagai anak pertama yang baru bekerja dan kuliah di semester awal, aku bisa apa? Aku merasa semuanya tidak ada harapan lagi.

Tapi, ada satu kalimat yang muncul dalam hatiku. “Apakah kamu hanya mau menerima yang baik, tetapi tidak mau menerima yang buruk?” Kalimat ini menyentakku. Dari sudut pandangku sebagai manusia, jelas apa yang kualami rasanya begitu buruk dan tak mampu kutanggung. Tapi, maukah aku melihat musibah ini dari sudut pandang-Nya?

Aku menyesali segala pikiranku yang hanya menuntut Tuhan untuk mengerti perasaan dan mauku. Aku percaya bahwa tidak ada sesuatu pun yang terjadi yang luput dari pengawasan-Nya. Alih-alih menyerah, aku berusaha menguatkan kepercayaanku kepada Tuhan Yesus, dan belajar seperti Abraham yang sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, Abraham tetap memilih untuk berharap dan percaya (Roma 4:18).

Bulan demi bulan kami lalui, yang aku rasakan Tuhan memeliharaku dan keluargaku, walau ada tangisan dan pengorbanan dalam perjalanan yang kami lalui. Aku sempat merasa tidak mampu lagi, tetapi Tuhan menghiburku. Tuhan mengingatkanku kembali bahwa Tuhan Yesus selalu ada bagi aku dan keluargaku. Mama sudah 15 tahun menjadi single fighter bagiku dan adik-adikku karena Papa sudah meninggal sejak aku kelas 2 SD. Dan, Tuhan selalu mencukupkan segala keperluan kami. Bahkan adik-adikku tetap dapat berkuliah dan membayar kebutuhan masuk SMP tepat waktu. Aku merasakan kekuatan tangan Tuhan Yesus yang perkasa, yang memampukan mamaku untuk menghidupi ketiga anaknya.

Aku mungkin tidak dapat menyelami apa rencana Tuhan dari awal sampai akhir. Tapi Allah turut bekerja di dalam segala sesuatu, bahkan di dalam kesengsaraanku, untuk mendatangkan kebaikan. Yang aku rasakan adalah Tuhan Yesus tidak pernah meninggalkanku, Dia selalu ada. Kalau Yesus terasa jauh, mungkin akulah yang mulai menjauh dari kasih-Nya.

Kalau saat ini kita merasa beban hidup sangat berat, seolah tidak ada hasil yang baik, tidak ada perubahan atas keluarga, pasangan, atau apapun itu, tetaplah percaya kepada-Nya. Tuhan Yesus, Dia sudah membuktikan menang atas maut di kayu salib. Dia juga sanggup menjadikan kita menang atas masalah apapun yang sedang kita alami saat ini, asalkan kita tidak menyerah. Karena Tuhan Yesus juga tidak pernah menyerah untuk tetap mengasihi kita dengan segala ketidaklayakan kita.

Di masa-masa yang lalu, kita mungkin pernah mengalami kesulitan. Tapi, sekarang kita telah tiba di titik ini meskipun mungkin kita mencapainya dengan tertatih-tatih. Kita berhasil melewatinya karena Yesus menyertai di setiap musim hidup kita. Mungkin kita terjatuh, tapi Dia tidak akan membiarkan kita tergeletak. Dan, pergumulan yang kita alami saat ini akan membuat kita melihat segala perkara besar yang Yesus sanggup lakukan, selama kita menaruh pengharapan kita kepada-Nya. Pengharapan di dalam Tuhan tidak pernah mengecewakan dan salib-Nya yang ada di depan kita akan membawa kita kepada kemenangan.

“Karena masa depan sungguh ada, dan harapanmu tidak akan hilang” (Amsal 23:18).

Tetap bertahan, kawanku.

Tuhan memberkati.

Baca Juga:

Benang Merah Kehidupan

Dalam hidupku, ada suatu hal yang awalnya kuanggap kurang penting. Tapi, inilah yang kemudian dipakai Tuhan sebagai sarana untukku memuliakan-Nya.

Akankah Tuhan Memberiku Perkara yang Tidak Dapat Kutanggung?

Oleh Kezia Lewis
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Will God Give Me More Than I Can Bear?

“Tuhan tidak akan pernah memberimu perkara yang tidak dapat kamu tanggung. Tuhan hanya akan memberikan apa yang dapat kamu tangani.”

Dalam tahun-tahun awalku berjalan bersama Yesus, kalimat ini sangat menghiburku ketika aku menghadapi tantangan. Bahkan aku mulai membagikan pesan ini kepada teman-temanku yang sedang melewati masa-masa sulit.

Namun ketika aku kehilangan ibuku, aku meragukan kalimat itu. Tidak lama berselang, pamanku (saudara ibuku) tewas tertembak. Lalu, ayahku meninggal tiga hari setelah pernikahanku. Beberapa bulan kemudian, pamanku yang lain kehilangan kedua tangannya akibat sebuah kecelakaan yang mengerikan. Kalimat penguatan yang mulanya sangat berarti bagiku itu tiba-tiba kehilangan maknanya.

Bagaimana mungkin Tuhan mengizinkan hal-hal ini terjadi? Semua ini tidak masuk akal bagiku. Aku berpikir: Bukankah mereka berkata Tuhan tidak akan memberikan perkara yang tidak dapat kutanggung? Tetapi bukankah aku baru saja melewati batas dari apa yang dapat kutanggung?

Hal ini membuatku berpikir bukan saja tentang diriku, tapi juga orang-orang yang berada dalam kondisi yang lebih berat dariku. Maksudku, bagaimana caranya aku memberitahu seorang ibu yang baru saja kehilangan anaknya bahwa Tuhan tidak akan memberikan perkara yang tidak dapat dia tanggung? Atau memberitahu semua itu pada seorang suami yang harus menguburkan istri dan anak-anaknya? Atau pada seorang anak yang kehilangan kedua orang tuanya?

Bagaimana aku bisa mencocokkan kalimat penghiburan yang seringkali digunakan ini dengan pengalaman hidup yang mengenaskan? Apakah Tuhan benar-benar tidak akan memberikan perkara yang tidak dapat kita tanggung?

Untuk beberapa waktu, aku berusaha untuk tetap percaya bahwa Tuhan tidak akan melakukannya. Aku berpura-pura kuat. Tetapi tekanan yang kudapat membuatku sulit untuk menjaga keyakinanku; aku hampir tidak dapat bertahan.

Ya, Tuhan akan memberimu lebih dari apa yang dapat kamu tanggung

Setelah beberapa waktu, aku akhirnya memiliki keberanian untuk mengakui ini: Tuhan memang memberikan lebih dari apa yang dapat kita tanggung. Aku percaya bahwa Tuhan mengizinkan kita mengalami penderitaan begitu berat; penderitaan yang dapat ‘menghancurkan’ kita dan membuat hidup kita terasa hampa, dan juga kegagalan-kegagalan yang akan begitu mengguncang kita.

Lantas, jika begitu bagaimana kita dapat memaknai janji yang Tuhan berikan dalam 1 Korintus 10:13? Ayat itu dengan tegas mengatakan bahwa Tuhan “tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu”. Pada saat itu aku menyadari hal ini: kata “dicobai” pada ayat ini mengacu pada dosa. Tuhan tidak akan membiarkan kita dicobai melampaui apa yang dapat kita tahan. Ayat yang seringkali dikutip dengan salah. Ayat ini tidak berbicara soal penderitaan.

Ketika kita berbicara soal penderitaan akibat suatu kondisi, aku percaya Tuhan akan memberikan lebih dari apa yang dapat kita dapat tanggung. Jika kita dapat menanggung semua perkara yang datang dalam hidup kita dengan kekuatan kita sendiri, kita tidak akan benar-benar membutuhkan Tuhan. Jika kita dapat menanggung segala beban yang kita alami, maka kita tidak akan perlu mencari Tuhan; kita tidak akan mencari pertolongan-Nya, memohon kekuatan dari pada-Nya, dan memberi hati kita diteguhkan oleh-Nya.

Sampai kita mendapat anugerah dan kekuatan dari Yesus, kita tidak mungkin bisa menanggung semua perkara. Aku tahu hal ini karena aku pernah melewati situasi begitu berat yang membuatku hancur dan merasa hampa bahkan hingga aku tidak bisa menangis lagi. Rasa sakitnya tidak dapat kutahan; tertahan dalam hati dan leherku. Dalam masa-masa itu tidak ada yang berarti selain relasiku dengan-Nya.

Merasakan penderitaan itu baik

Lalu apakah artinya Tuhan itu jahat karena mengizinkan hal-hal buruk terjadi pada kita? Tentu tidak.

Justru pada kenyataannya, kurasa penderitaan itu baik untuk kita. Aku tidak berkata aku menyukainya—tidak sama sekali. Tapi meskipun penderitaan adalah kawan yang tidak menyenangkan, dia adalah seorang guru yang kompeten.

Penderitaan membantu kita melihat dengan jelas dan menolong kita untuk memahami apa yang benar-benar kita butuhkan. Penderitaan membuat kita mengetahui bahwa ada yang salah dalam hidup kita.

Aku pernah menonton sebuah film tentang seorang veteran perang yang tidak dapat merasakan bagian bawah tubuhnya. Pada suatu adegan, seorang siswa sukarelawan yang menolongnya membersihkan diri berkomentar bahwa terkadang dia berharap supaya tidak bisa merasakan sakit ketika dia berlatih sepak bola. Veteran perang itu lalu menjawabnya, “Tidak, kamu tidak menginginkan hal ini. Kamu tidak akan mau jika seandainya kamu bisa tidak merasakan sakit.”

Kurasa itulah bagian yang seringkali terlewat dalam pikiran kita. Kita ingin tidak bisa merasakan penderitaan, meyakini bahwa itulah yang terbaik untuk kita. Namun, rasa sakit bukanlah musuh kita. Rasa sakit justru menolong kita untuk menjalani hidup dengan lebih baik. Penderitaan dapat menuntun kita ke arah yang benar—sebuah hidup yang berfokus dan bergantung pada Tuhan.

Aku tidak menganggap remeh hal-hal sulit yang harus kita hadapi dalam hidup kita. Percayalah, ada banyak masa dalam hidupku di mana aku berharap aku tidak perlu merasakan penderitaan. Meski begitu, aku harus berkata bahwa dalam hikmat Allah, Dia mengizinkannya terjadi untuk suatu tujuan.

Sekarang aku bisa lebih mengandalkan Allah untuk mendapat kekuatan, menyadari bahwa aku tidak akan bisa bertahan tanpa-Nya. Aku bisa belajar mengasihi orang-orang lebih lagi dan benar-benar memikirkan kesejahteraan mereka. Aku melihat kebodohan dari keinginan pribadiku yang egois dan menjadi semakin bijak dalam mengambil keputusan. Semua ini hanya sebagian kecil dari pelajaran yang Tuhan ajarkan padaku—pelajaran yang tidak akan bisa kupahami jika penderitaan tidak ikut terlibat di dalamnya.

Pada akhirnya, penderitaan adalah kenyataan yang harus selalu kita hadapi. Namun kita pastinya bisa mengandalkan Tuhan untuk menyertai kita dalam setiap langkah kita menghadapi penderitaan-penderitaan tersebut.

Baca Juga:

Disiplin Rohani: Butuh Perjuangan!

Kuakui sulit untuk konsisten melakukan saat teduh sebagai bagian dari latihan disiplin rohani. Aku bahkan pernah gelisah karenanya. Tapi, ada tiga cara yang bisa kita lakukan.

Jawaban Mengejutkan dari Temanku Ketika Aku Curhat tentang Kekecewaanku pada Tuhan

Oleh Sharon Audry, Bandung

Beberapa waktu lalu, aku sempat marah pada Tuhan karena masalah yang datang bertubi-tubi di hidupku. Mulai dari masalah dalam keluarga, masalah nilaiku di sekolah yang turun drastis, hingga masalah dengan pacarku yang meninggalkanku begitu saja. Aku rasa aku sudah melayani-Nya di gereja. Aku sudah berbuat baik pada sesama. Aku sudah semakin rajin berdoa dan membaca firman Tuhan. Tapi, mengapa Tuhan memberikanku berbagai masalah yang begitu besar, masalah yang bahkan aku rasa aku tak bisa melewatinya?

Jujur, saat itu aku kecewa dengan Tuhan. “Percuma saja aku ikut aktif di gereja, meluangkan waktu untuk persekutuan, dan berbuat baik pada orang lain, kalau Tuhan saja malah memberatkan hidupku dengan masalah yang bertubi-tubi. Apakah ini balasan Tuhan atas semua pelayananku?” begitu pikirku saat itu.

Aku pun mulai menjauhi Tuhan. Aku tak pernah lagi bersaat teduh. Doa pun sudah jarang. Aku sudah muak berbuat baik kepada orang lain, karena pikirku Tuhan saja tidak mau berbuat baik padaku. Aku jadi malas membantu orang lain dan menjadi orang yang suka berpikiran buruk pada orang lain.

Jauh dari Tuhan membuat hidupku semakin hancur dan membuatku semakin mudah marah dan stres. Sampai suatu kali, aku curhat via LINE dengan seorang temanku. Aku berkata padanya bahwa aku kecewa pada Tuhan. Namun, satu jawaban dari temanku itu mengubah pemikiranku.

Temanku berkata, “Pernahkah kamu merasa bahwa Tuhan mungkin kecewa juga dengan hidupmu?”

Aku bingung dengan pertanyaan temanku itu. Tuhan kecewa denganku? Ah, kan aku yang kecewa pada-Nya. Kenapa Ia kecewa denganku?

Temanku melanjutkan, “Kamu selalu datang pada Tuhan saat punya masalah. Saat butuh bantuan-Nya. Saat kondisi kamu mungkin sedang sangat buruk. Kamu selalu meminta jalan keluar atas masalahmu it. Tapi, pernahkah kamu datang pada-Nya saat kamu sedang senang? Pernahkah kamu datang dan bersyukur pada-Nya saat kamu sedang mendapat berkat-Nya?”

Kalimat tersebut langsung menusukku. Benar juga. Saat aku sedang senang, boro-boro aku ingat Tuhan. Aku malah melupakan-Nya dan berbagi kesenanganku dengan orang-orang terdekatku. Aku hampir tak pernah bersyukur atas apa yang sudah Tuhan beri padaku. Yang aku lakukan hanyalah menuntut pertolongan-Nya saat aku punya masalah. Saat aku sedang susah. Saat aku sedang dalam kondisi terburukku.

Saat itu Tuhan menyadarkanku bahwa sesungguhnya yang Tuhan inginkan hanyalah diriku, anak-Nya, untuk datang kepada-Nya, bukan hanya di saat duka, tapi juga di saat suka. Ia ingin aku menceritakan keluh kesahku kepada-Nya. Ia juga ingin aku bersyukur atas apa yang telah terjadi di hidupku. Aku jadi teringat akan sebuah lagu yang berkata:

“Tuhan tak pernah janji langit selalu biru,
Tetapi Dia berjanji selalu menyertai.
Tuhan tak pernah janji jalan selalu rata,
Tetapi Dia berjanji berikan kekuatan.”

Ya, Tuhan memang tak pernah berjanji padaku jika aku mengikut-Nya, hidupku akan selalu bahagia. Tuhan tak pernah berjanji jika aku setia menjadi anak-Nya, aku akan menjadi orang kaya atau artis terkenal. Tuhan juga tak pernah berjanji jika aku ikut kehendak-Nya, hidupku akan terbebas dari masalah. Ia tak pernah berjanji begitu. Tetapi, Ia berjanji bahwa Ia akan berdiri di sampingku untuk bersama-sama menghadapi masalah yang sedang kualami (Ibrani 13:5b). Ia berjanji akan memegang erat tanganku supaya aku tidak jatuh (Mazmur 37:24). Aku takkan pernah melewati badai hidup ini sendiri, karena Tuhan selalu di sampingku.

Hatiku semakin dikuatkan ketika membaca kalimat berikut di sebuah situs rohani:

Seberat apa pun pergumulan yang sedang kita alami, janganlah dijadikan alasan untuk menyerah, tetapi jadikanlah alasan untuk berserah sepenuhnya kepada Tuhan. Menyerah berbeda dengan berserah. Menyerah berarti sudah tidak mau berbuat apa-apa lagi dan berputus asa, tetapi orang yang berserah adalah orang yang mengandalkan Tuhan dan percaya penuh kepada kehendak-Nya. “Sebab hidup kami ini adalah hidup karena percaya, bukan karena melihat” (2 Korintus 5:7).

Tuhan memakai percakapanku dengan temanku untuk membuatku bertobat dan mendekat kembali kepada-Nya. Aku mengerti bahwa Tuhan mengizinkan masalah terjadi di hidupku untuk membuatku menjadi orang yang lebih dewasa dan kuat dalam hidup, dan semakin dekat pada-Nya. Ya, yang Tuhan inginkan adalah kita selalu dekat pada-Nya. Ia mau kita menceritakan suka-duka kita pada-Nya seperti seorang anak yang bercerita pada bapanya.

Tuhan telah mengajarkanku satu hal berikut. Daripada mengatakan, “Tuhan aku punya masalah yang besar,” katakanlah, “Hei masalah! Aku punya Tuhan yang besar dan kau bukan apa-apa bagiku, karena Tuhanku di sampingku sambil memegang erat tanganku.”

Baca Juga:

Pelajaran Berharga di Balik Perceraian Kedua Orang Tuaku

Perceraian kedua orang tuaku adalah salah satu hal tersulit yang harus kulalui. Perceraian itu jadi masa-masa yang menentukan dalam hidupku dan juga memberiku banyak kenangan pahit. Namun, melalui sebuah studi Alkitab yang diambil dari Kitab Roma, aku menemukan sebuah fakta yang mengejutkan.