Posts

4 Makna di Balik Persembahan

Oleh Abyasat Tandirura, Toraja

Apa yang membuat seseorang tergerak hatinya untuk memberi persembahan?

Jika pertanyaan ini dilontarkan padaku, mungkin jawabanku adalah jika orang tersebut memiliki uang, entah banyak atau sedikit. Tapi, sekadar memiliki uang saja sebenarnya tidaklah cukup. Alkitab memberikan kita contoh yang jelas. Ketika Yesus mengamat-amati orang-orang yang memberikan persembahan di bait Allah, perhatiannya malah tertuju pada seorang janda miskin (Markus 12:41-44; Lukas 21:1-4). Yesus bahkan menyanjung si janda tersebut karena nominal yang diberikan adalah yang terkecil dari semua persembahan yang dimasukkan ke kotak, tetapi diberikan dengan sikap hati yang besar.

Kondisi finansial mungkin akan mempengaruhi nominal persembahan yang kita berikan, namun nominal bukanlah yang pertama dan terutama. Ada empat hal yang kupelajari mengapa persembahan kita, yang kita berikan dengan berbesar hati—seberapa pun nominalnya, berkenan buat Tuhan.

1. Memberi persembahan adalah ekspresi iman kita

Tidak ada alasan bagi kita untuk tidak bersyukur dalam segala hal, sebab Tuhan itu baik. Cara bersyukur pun beragam, tidak hanya  dengan ucapan tetapi juga dengan tindakan, seperti memberi persembahan. Dalam Yesus Kristus, kita mengimani bahwa berkat Tuhanlah yang menjadikan kita memiliki segalanya, bahkan hidup kekal dari anugerah-Nya.

Tuhanlah yang empunya segalanya. Persembahan yang kita berikan bukanlah untuk memperkaya-Nya, tetapi ekspresi iman kita, bahwa kita mengasihi Tuhan lebih daripada berkat-berkat-Nya, dan kita selalu dipelihara-Nya (Mazmur 96:8; Matius 6:26). Tuhan pasti selalu mencukupkan segala yang dibutuhkan terlepas penghasilan kita banyak atau sedikit.

2. Memberi persembahan berarti memberikan yang terbaik bagi Tuhan

Dalam perikop Markus 12:41-44, kisah janda miskin memberikan persembahannya mendapat sanjungan dari Yesus yang kala itu berada dalam Bait Allah sambil memperhatikan orang-orang yang datang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Dengan dua peser senilai uang satu duit, janda miskin tersebut telah memberi yang terbaik bagi Tuhan dibanding pemberian orang-orang kaya dari kelebihannya.

Apa yang terbaik yang bisa diberikan seseorang yang secara kasat mata tak punya apa-apa? Tokoh janda miskin menggambarkan situasi kehidupan yang serba kekurangan. Secara strata sosial, janda miskin berada di lapisan terendah. Hidupnya hanya bergantung pada penghasilan sendiri atau bahkan pemberian orang lain. Tentu ini adalah kondisi yang kontras dengan kebanyakan pemberi persembahan saat itu.

Dengan segala kekurangannya, janda miskin itu sungguh-sungguh menyerahkan seluruhnya untuk Tuhan. Persembahan dua peser dari janda miskin adalah pemberian yang kuantitasnya sangat kecil, tetapi nilai kualitasnya sangat besar di hadapan Yesus. Bagi-Nya, persembahan yang terbaik adalah bukan soal nominalnya, kuantitasnya, melainkan sikap hati, yaitu ketulusan dan kesungguhan memberi dengan tujuan yang murni untuk Tuhan.

Memberi persembahan bukanlah sebuah paksaan, tetapi pemberian yang didasari kasih dan sukacita kita kepada Tuhan, sehingga kita seharusnya memberikan yang terbaik. Jangan menunggu kaya, untuk mau memberikan yang terbaik bagi Tuhan. Apakah finansial kita lebih, cukup atau kurang, yang terbaik di hadapan Tuhan adalah ketulusan dan motivasi kita dalam memberi.

3. Memberi persembahan adalah sebuah pengorbanan

Dua peser yang diberikan janda miskin bisa kita sebut sebagai persembahan kehidupan, sebab dia memberikan segala yang dia miliki. 

Teladan persembahan janda miskin ini memang sulit untuk kita lakukan. Aku pernah jadi orang yang pikir-pikir dulu sebelum memberi persembahan. “Aku butuh ini dan itu Tuhan. Bagaimana mungkin uangku ini kupersembahkan bagi-Mu?” Aku mencari pembelaan atas keenggananku memberi.

Aku juga pernah berharap dalam hati untuk mendapatkan imbalan ketika aku mengorbankan waktu dan tenagaku untuk melayani. Namun, puji Tuhan, teladan janda miskin menyadarkanku bahwa memberi persembahan adalah pengorbanan yang seharusnya aku tidak mengharapkan balasan.

Berbicara tentang persembahan yang kumaknai sebagai sebuah  pengorbanan, aku teringat pada pengorbanan Yesus Kristus yang rela mengorbankan nyawa-Nya menebus dosa demi keselamatan hidup kita. Dia adalah Tuhan kita yang telah mempersembahkan diri-Nya untuk kebaikan kita, tidakkah kita juga harus  merespons kasih-Nya itu dengan memberi persembahan tanpa mengharapkan imbalan? (Matius 6:3-4; Kolose 3:23).

4. Mempersembahkan hidup adalah persembahan sejati

Ketika kita berbicara tentang persembahan kepada Tuhan, sejatinya bukan hanya soal uang atau harta lainnya. Lebih dari semuanya itu, sesungguhnya hidup dan seluruh kehidupan kita adalah persembahan sejati bagi Tuhan. Saat kita memberikan persembahan, apakah kita sudah mengasihi sesama?

Mengasihi Allah dengan memberikan persembahan bagi-Nya tidak bisa dipisahkan dari ekspresi ibadah kita yang horizontal, yakni mengasihi sesama kita. Persembahan kita akan berkenan dan berarti apabila itu selaras pula dengan perbuatan, tutur kata, dan tindakan kita yang taat pada firman Allah.

Dalam Perjanjian Lama, para imam menguduskan diri terlebih dahulu sebelum mempersembahkan korban bakaran dari umat Israel. Di zaman Perjanjian Baru, Imam Agung kita, yaitu Yesus Kristus juga telah mempersembahkan diri-Nya  sebagai korban penebus dosa.

***

Kisah janda miskin dan orang kaya dalam memberi persembahan menjadi pengingat bagi kita bahwa memberi persembahan bukanlah ajang untuk mempertontonkan kekayaan dan kekuasaan, melainkan dengan rendah hati kita memuliakan Tuhan dan menjadi berkat bagi sesama.

Mari merenungkan bahwa dua peser saja cukup dan dikenan Tuhan. Artinya dengan apa yang dimiliki untuk dipersembahkan dengan penuh iman dan ketulusan, Tuhan sanggup memakainya untuk menjadi berkat, terlebih menjadi hormat dan kemuliaan di hadapan Tuhan.

Kiranya Tuhan selalu berkenan untuk setiap persembahan yang kita beri, dan hidup kita  menjadi persembahan sejati bagi-Nya.

“Dan hiduplah di dalam kasih, sebagaimana Kristus Yesus juga telah mengasihi kamu dan telah menyerahkan  diri-Nya untuk kita sebagai persembahan dan korban yang harum bagi Allah.” (Efesus 5:2).

Terpujilah Kristus!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Tidak Menuntut, tetapi Memberi yang Terbaik

Oleh Sofia Dorkas Pakpahan, Medan

Deru mesin sepeda motor tetiba berhenti di teras rumah. Aku hafal betul ini pertanda mama sudah pulang dari tempat kerjanya, dan seperti sore sebelumnya, dia masuk sambil membawa plastik besar berisi bakal kain untuk dijahit, tapi mulutnya pun ikut mengomel.

Apa yang diomelkannya berbeda dari biasanya. Bukan karena rumah yang belum selesai dibersihkan atau ember di kamar mandi yang belum terisi penuh, melainkan tentang pelanggan jahitnya. Sebenarnya aku sudah sering mendengar omelannya tentang para pelanggannya, namun yang satu ini adalah yang paling sering kudengar. Si pelanggan menuntut bajunya dipayet dengan sangat bagus sementara bayarannya jauh lebih sedikit dari bayaran semestinya. Fyi, payetan adalah bentuk hiasan yang diberikan pada baju agar hasil jahitan lebih berkilau dan cantik. Dengan kesabaran yang diusahakan mencapai 100%, mama menerbitkan senyuman kepada pelanggan tersebut dan mencoba menjelaskan bahwa untuk mendapatkan payetan yang bagus maka bayarannya juga harus sesuai. Yah sesuai istilah, “Ada barang ada harga”. Namun, pada akhirnya proses tawar menawar ini berakhir dengan mama yang setuju dengan harga yang ditawarkan si pelanggan. Pelanggannya pulang dengan hati bahagia, sementara mama pulang dengan penuh omelan. Tidak banyak yang bisa aku lakukan selain mencoba menyemangati mama.

Sekilas kejadian yang mama alami mengingatkanku pada cerita tentang janda miskin yang memberikan dua peser persembahannya (Markus 12: 41-44). Janda itu mampu memberikan semua kepunyaannya kepada Tuhan. Aku sedikit meringis ketika mengingat bahwa aku, atau juga banyak orang Kristen yang memperhitungkan berapa persembahan yang akan diberinya, kemudian meminta banyak hal dari Tuhan.

Kadang ketika memberi persembahan kepada Tuhan, kita seringkali bersikap seperti pelanggan jahit mamaku yang meminta yang terbaik untuk bajunya tetapi enggan membayar harga yang sepadan. Kerap kali kita menuntut yang terbaik dari Tuhan, tetapi kita sendiri tidak mengerjakan bagian kita dengan bertanggung jawab. Kita mampu meluangkan waktu setiap hari untuk bekerja atau bersekolah, tetapi masih mikir-mikir untuk pergi ke gereja di hari Minggu. Kita terlalu sibuk dengan segala urusan kita hingga lupa meluangkan waktu untuk berdoa kepada Tuhan. Namun, ketika kondisi kita berubah dan kita mengalami kesulitan, barulah kita datang kepada Tuhan.

Sesungguhnya, Tuhan tidak melihat seberapa banyak yang kita bisa berikan buat Dia, yang dilihat-Nya adalah kesungguhan hati kita. Sama seperti cerita janda miskin yang memberi dua peser—jumlah yang sangat sedikit bagi orang lain, namun begitu berharga di hadapan Tuhan karena itulah segalanya yang dia miliki. Dua peser menjadi bermakna besar bukan karena nominalnya, tetapi karena sikap hati yang mendasarinya.

Aku ingat ketika mama mengatakan, “Persembahan itu bukan dari besarnya jumlah yang kita berikan, melainkan dari hati yang bersukacita ketika memberi persembahan kepada Tuhan”. Persembahan juga tidak selalu tentang uang, tetapi kita juga bisa memberikan talenta kita sebagai persembahan yang terbaik bagi Tuhan. Apapun yang terbaik yang kita miliki, berilah itu kepada Tuhan. Karena ketika kita mampu memberi yang terbaik bagi Tuhan, maka Tuhan pun akan memberkati kita dengan berkat-berkat yang melimpah.

Omelan mama sore ini cukup menyadarkanku untuk tidak cuma tahu “menuntut”, tetapi belajar untuk “memberi yang terbaik”, terutama kepada Tuhan.

Itung-itungan Soal Persembahan

Oleh Jessie

Sebagai seorang pedagang, topik keuangan merupakan topik yang sangat dekat di hati. Buatku, profesi ini adalah kesempatan yang diberikan Tuhan untuk memberikan lebih. Sehingga, dengan terus terang, meskipun topik ini terasa dekat tapi juga agak menyebalkan untuk dibahas. Hehehe… Kenapa?

Apa yang kutahu dengan apa yang ingin dilakukan seringkali bentrok. Dalam kasusku, jiwa cinta Tuhan dan jiwa pelit sering beradu. Terasa berat untuk mengembalikan persembahan yang sesuai. Kasih sih kasih, tetapi sesuai atau tidaknya itulah yang selalu jadi pertanyaan besar. Saat memberi, kok rasanya sedikit banget, jadi ditambahkan. Tapi, setelah ditambahkan, kok kayaknya kebanyakan ya… jadinya dikurangi lagi. Agak kacau memang.

Ceritaku di atas hanyalah pengantar dari topik menarik yang akan kita gali bersama: tentang persembahan. Dalam kekristenan, memberi persembahan adalah bagian tak terpisahkan dari iman kita. Alkitab mencatat sejak zaman Perjanjian Lama, umat memberikan persembahan sebagai wujud syukur kepada Allah. Pada zaman modern, jenis persembahan yang kita kenal dalam peribadahan umumnya persembahan mingguan dan persepuluhan.

Konsep persepuluhan tertulis jelas dalam Perjanjian Lama bahwa 10% dari penghasilan kita sudah selayaknya dikembalikan untuk Tuhan. Nah, untuk jiwa pedagang sepertiku, 10% penghasilan ini nominalnya bisa dialokasikan untuk banyak hal. Jadi, mengembalikan 10% merupakan latihan rohani yang kugumulkan. Kesulitanku bukan dari sisi finansial, tetapi jiwa pedagang dalam diriku yang seringkali menuntutku untuk itungan. Untuk menyiasati ini, ada teman-temanku yang langsung mengatur settingan di banknya untuk langsung autodebet sepuluh persen ke kas persepuluhan gereja setiap bulannya. Katanya itu sangat membantu, “supaya gak mikir-mikir lagi atau berat hati sampai akhirnya tidak memberi.” Aku salut dengan mereka karena ini salah satu strategi mereka untuk memantapkan niatan hati.

Tapi, apakah 10% pada zaman sekarang adalah angka mutlak? Untuk menjawabnya, ada banyak teori dan penafsiran yang dapat dengan mudah kita jumpai di luar sana. Tapi secara sederhana, kurasa angka 10% yang jelas tertulis tidak bisa kita abaikan begitu saja. Namun, semuanya kembali kepada kondisi finansial kita. Aku percaya Tuhan tidak pernah melihat kuantitasnya, melainkan kualitas hati kita karena sesungguhnya, esensi dari persembahan yang kita berikan adalah sikap hati kita.

Ceritaku tentang jumlah persembahanku yang tidak sesuai karena urusan hati yang pelit memang sudah jadi pergumulan dosa dan pertanggungjawabanku di hadapan Tuhan. Seorang peneliti Alkitab bernama Angel Manuel Rodriguez menjabarkan beberapa poin dari apa yang disebut acceptable offering, atau artinya “persembahan yang layak”.

Persembahan yang layak bukan dilihat dari jumlah yang kita berikan, namun dari sikap hati saat memberi.

Yang pertama, persembahan yang layak harus disertai dengan self-offering, di mana si pemberi mau menyerahkan seluruh hidupnya untuk Tuhan (Lukas 21:3-4). Cerita dari janda yang memberikan dua peser mengilustrasikan hati seorang yang penuh kasih terhadap Tuhan dan ingin menyerahkan seluruh dirinya pada Kristus dengan seluruh uang (dua peser) yang dimilikinya. 

Yang kedua, persembahan yang layak itu dilakukan dengan iman akan penyertaan Tuhan yang selalu mencukupkan kita (2 Korintus 8:3).

Yang ketiga, persembahan diberikan atas bentuk ucapan syukur kepada Tuhan. Kalau kata pepatah, “Ngomong aja gak cukup, mana aksinya?” Nah, sama juga dalam konteks ini. Doa dan ucapan syukur kita juga harus ada aksinya. Salah satu contohnya adalah memberikan persembahan. Selain itu, poin ini juga mengingatkan kita bahwa persembahan yang kita berikan merupakan respons dari hati kita yang penuh dengan rasa syukur, bukan karena Tuhan yang butuh uang kita.

Yang keempat, persembahan itu disebut layak jika kita memberikan dengan penuh kerelaan hati, tidak dengan keberatan hati ataupun dengan paksaan (2 Korintus 9:7). Rasul Paulus mengajak orang Kristen untuk memberi dengan setia, tapi dengan catatan pemberian tersebut dilakukan dengan hati yang bersukacita.

Yang kelima, ini merupakan poin yang menurutku penting sekali dan sering dilupakan. Persembahan yang layak harus dilakukan dengan hati yang damai, damai dengan Tuhan dan sesama. Banyak dari kita datang setiap minggu ke gereja dengan pergumulan relasi, baik dengan Tuhan dan sesama kita. “Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.” (Matius 5:23-24). Menjaga relasi yang baik dengan sesama kita juga merupakan kewajiban yang setara pentingnya dengan membawa persembahan kita kepada Tuhan.

Yang terakhir, Tuhan tidak ingin kita memberikan lebih dari kemampuan kita, sehingga jumlahnya tidak boleh didasari emosi sesaat, melainkan dengan konsistensi dan komitmen yang sudah kita perhitungkan di awal saat kita mulai memberi. Yang diberkati lebih diharapkan untuk memberi lebih, dan untuk yang lainnya, dianjurkan untuk memberi sesuai dengan kondisi finansial nya. Ingat bahwa Tuhan tidak pernah mewajibkan kita memberi melebihi kapasitas kita.

***

Untuk menutup artikel kali ini, aku ingin membagikan cerita lucu dari salah satu temanku yang juga seorang pengusaha. Boleh dikatakan, ia adalah seorang yang sangat giat pelayanan dan rajin sekali memberi. Ia bercerita bahwa ia pernah kelebihan satu nol saat menuliskan angka persepuluhannya. Karena ini sudah era digital, di mana semuanya tinggal dilaksanakan dengan satu klik saja, tahu-tahunya tulisan “m-Transfer BERHASIL” sudah muncul di layar. Ini bukan zaman kertas gir, yang kalau salah tulis, bisa disobek aja. Lebih satu nol ini tidak bisa dianggap remeh; karena akibatnya bisa fatal kalau lalai teliti. Karena kami teman-teman setianya yang baik hati, tentu kami menertawakan dia, apalagi mengingat bahwa kefatalan extra “0” ini merupakan uang persepuluhan, bukan persembahan mingguan. Saat kongkow, ia bercerita bahwa walau tidak sengaja, ia benar-benar merasakan berkat Tuhan yang senantiasa memeliharanya. Kami, teman-temannya pun melihat perkembangan usahanya yang terus meningkat drastis setiap bulannya dari bertambahnya karyawannya serta penjualannya. Tolong jangan disalah pahami cerita ini ya; persembahan bukan strategi kita agar mendapatkan uang lebih lagi dari Tuhan. Poinnya adalah, dengan motivasi yang benar dan kerelaan hati untuk memberi, Tuhan seringkali memberkati mereka yang memberikan dengan segenap hatinya.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Dua Peser Nomor Satu

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

“Kita bisa memberi tanpa mengasihi, tapi kita tidak bisa mengasihi tanpa memberi.”

Pepatah itu tepat “menembak jantung” si tukang pamer. Ia memang sering memberi banyak hal kepada banyak orang lalu menyebarkan kegiatannya itu ke mana-mana. Sebenarnya dokumentasi tidak selalu buruk, tapi orang ini, si tukang pamer, sengaja mengunggah kegiatan-kegiatan “bantuan sosial” yang ia lakukan agar dilihat orang dan ia menerima pujian. Setidaknya, itulah motivasi utamanya. Ia tidak memberi karena Ia mengasihi. Ia ingin pamer.

Pepatah yang sama juga “menembus dada” si dia yang hanya memberi “barang-barang sisanya” untuk orang lain. Menyisihkan sesuatu untuk orang lain dan membagikannya tidak selalu buruk, tapi orang ini punya ratusan pasang sepatu bagus yang tidak sempat ia pakai sekalipun selama enam tahun terakhir. Namun yang ia lakukan adalah sengaja mengambil sepatu sobek yang bagian depannya menganga bagai mulut buaya lapar, tidak layak pakai, dan itulah yang ia berikan kepada seorang tua miskin yang berjalan tanpa alas kaki.

Dua contoh sosok di atas adalah sebuah ilustrasi, sekaligus kenyataan bahwa memberi ternyata bisa menyakiti hati Tuhan.

Dua ribu tahun lalu ada seorang janda miskin yang tidak mendapat banyak perhatian, berdiri di depan kotak persembahan. Ia kalah mempesona dibanding orang-orang yang sebelumnya ada di sana. Mereka berpenampilan menarik dan memberikan uang dalam jumlah yang besar. Ia lusuh dan hanya memberi dua peser saja (Markus 12:41-44).

Dalam perumpamaan yang dicatat oleh Lewi itu, upah yang disepakati para pekerja adalah 1 dinar untuk sehari. Satu peser sama dengan 1/128 dinar. Dengan kata lain, wanita itu seperti memasukan uang receh di kotak persembahan itu. Pantas saja tidak ada yang memerhatikan, kecuali Yesus, anak si tukang kayu. Tindakan Yesus menjadi sebuah pengingat, bahwa hal-hal kecil, segala sesuatu yang dianggap sepele oleh dunia bisa menjadi “fokus utama” Tuhan.

Lagipula jangan lupa, menjadi seorang janda pada abad pertama dalam budaya itu bukan sesuatu yang mudah. Lowongan kerja tidak seterbuka hari-hari ini, apalagi untuk seorang perempuan yang telah ditinggal sang suami sepertinya.

Jadi, dapat dipastikan dua peser yang ia berikan itu adalah apa yang ia cari dengan susah payah. Orang akan berpikir, “Jika ia cukup ‘waras’, seharusnya simpan itu untuk kebutuhannya”. Ternyata ia “gila”. Namun itulah yang malah membuatnya memikat hati Sang Juruselamat.

Yesus memanggil Petrus dan yang lainnya. Sangat mungkin Ia mengejutkan mereka pada saat Ia memuji tindakan wanita itu. Bukannya kuantitas tidak penting, tetapi apa yang dapat disanjung dari kuantitas tanpa kualitas?

Jika kita mau mencoba jujur, berapa banyak dari antara kita yang mau menukar 1 buah jam Rolex asli dengan 10 buah yang palsu?

Wanita itu memberi recehan dengan kualitas tinggi. Jika ini adalah kejuaraan balap motor, ia telah meninggalkan para pesaingnya sejauh 4 putaran, padahal mereka telah melempar koin dengan jumlah yang jauh lebih banyak. Sayangnya, mereka tidak sadar hasil penilaian dari tindakan mereka itu akan ditentukan oleh Juri yang tidak bisa dibohongi. Ia yang melihat jauh ke dalam isi hati manusia, Yesus dari Nazaret.

Suatu hal yang mengagumkan adalah janda ini mengajarkan kepada kita akan apa artinya “berkorban” dan “beriman”.

Ia tahu bahwa Tuhan yang ia sembah jauh lebih penting dari dirinya sendiri, dan ia mau memberi apa yang ada padanya untuk Tuhannya itu. Ini sama sekali tidak berarti Tuhan membutuhkan sesuatu dari manusia, seakan-akan Ia kekuarangan sesuatu. Ia tentu cukup pada diri-Nya sendiri. Meskipun ada begitu banyak orang yang haus akan pengakuan, Yesus secara terus terang malah melontarkan apresiasi-Nya kepada janda ini karena Yesus melihat bagaimana seorang yang dianggap kecil menempatkan Tuhan sebagai prioritas utama dalam hidupnya.

Bukankah janda itu telah merisikokan hidupnya dengan persembahan itu? Coba pikirkan, apa yang akan ia makan besok? Dengan apa ia akan bertahan hidup tanpa sepeserpun di kantongnya? Dan yang mengejutkan adalah, baginya itu urusan belakangan, Tuhan nomor satu! Jika Tuhan telah memeliharanya, maka Tuhan akan tetap memeliharanya. Sudah pasti kita tidak boleh menelan kisah ini mentah-mentah dan secara membabi buta membuat oversimplifikasi pada semua keadaan. Kisah ini tidak mendorong kita menjadi bodoh dan menolak kebijaksanaan yang Tuhan karuniakan kepada kita. Maksudku adalah, cerita tentang janda ini sedang mengajak kita untuk menempatkan Tuhan di tempat yang tidak boleh diganggu, tempat tertinggi di hati kita.

Di era modern seperti ini, memang benar kita butuh uang. Di masa yang sangat tidak menentu ini, tidak bisa dipungkiri, tabungan dapat sangat menolong. Namun yang menyedihkan adalah ketika banyak dari kita, atas nama “kebutuhan”, memberikan hal yang “asal-asalan” untuk Tuhan yang telah memberikan “segala-galanya” untuk kita.

Sebenarnya ini bukan hanya melulu tentang uang. Silakan hitung sendiri, berapa banyak waktu yang kita pakai untuk berdoa dan membaca Firman Tuhan dalam seminggu?

Bukankah begitu sering kita menikmati sepanjang hari dengan terus memuaskan segala keinginan kita, lalu menyisihkan 2 menit terakhir untuk berdoa sebelum tidur? Tidak jarang, dalam dua menit terakhir yang kritis itu, mata kita sudah dalam kondisi setengah tertutup bersama mulut yang menguap-nguap setengah sadar. Beberapa orang bahkan tidak sempat mengakhiri doanya dengan “amin” karena ketiduran saat sedang berdoa, lalu bangun di pagi hari dengan mengucapkan “amin” untuk melunasi utang semalam.

Banyak sekali dari kita yang tidak merasa bersalah jika datang terlambat ke gereja. Namun saat bertemu orang yang kita anggap penting, satu jam sebelum orang itu tiba, kita sudah dengan penampilan paling rapi, seakan-akan orang itu lebih tinggi dari Yang Mahatinggi.

Tidak sedikit dari kita yang menyanyi dengan baik hanya ketika kita mengikuti perlombaan “nyanyi lagu rohani antar gereja”. Namun, saat bernyanyi dalam pertemuan ibadah biasa, tanpa juri, tanpa hadiah, menyanyi dengan moto “asal mulut terbuka saja”.

Kita bisa saja menambah deretan daftar panjang tentang segala bentuk kegagalan kita dalam memperlakukan Tuhan dan menyesali diri. Namun kurasa, tulisan sederhana ini, tindakan luar biasa si janda miskin itu, sedikit banyak telah kembali mengingatkan kita bahwa Tuhan ingin yang terbaik dari kita. Ia mau milik terbaik kita: baik pemikiran, waktu, tenaga, maupun seluruh hidup kita. Bukankah Dia sudah lebih dulu memberikan apa yang paling kita butuhkan? Diri-Nya sendiri dikorbankan untuk jaminan keselamatan yang tidak akan pernah mampu dibayar dengan seluruh pencapaian yang kita punya. Kasihilah Dia dengan segenap hati, jiwa, dan akal budi (Matius 22:37).

Sekali lagi, berhikmatlah, tetapi Tuhan nomor satu!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Kisah Hattie Kecil dan 57 Sennya

Oleh Edwin Petrus, Medan

Entah sudah berapa kali aku pernah mendengarkan kisah dari seorang anak kecil bernama Hattie May Wiatt. Namun, beberapa waktu yang lalu, ketika aku menceritakan kisahnya kembali, aku tak sanggup menahan air mata yang menetes keluar dari kelopak mataku. Aku terharu dengan apa yang sudah dilakukan oleh bocah berusia enam tahun tersebut dan sekaligus tertegur dengan kerinduannya untuk pekerjaan Tuhan. 

Hattie May Wiatt hanyalah seorang anak perempuan cilik yang lahir di sebuah keluarga yang berlatar belakang ekonomi lemah. Bisa jadi karena ia tidak mampu memiliki pakaian yang rapi dan apik, sehingga ia selalu tidak pernah kebagian tempat duduk di ruang Sekolah Minggu dari sebuah gereja yang berlokasi di dekat rumahnya. Sudah beberapa kali hari Minggu, ia hanya bisa mengintip teman-teman sebayanya mengikuti kelas dari pagar gereja sambil menangis. Sampai suatu hari, pendeta dari Gereja Temple Baptist tersebut melihat si Hattie kecil. Pendeta Russell H. Conwell mengajak Hattie masuk dan mencarikannya tempat duduk di ruangan yang penuh sesak dengan hiruk pikuk anak-anak. 

Sepulang dari Sekolah Minggu, Hattie sangat bersukacita karena akhirnya ia bisa mendengarkan kisah tentang Yesus Kristus. Sampai di rumah, ia pun memberitahukan orang tuanya akan sebuah harapan, yaitu ia berharap ada ruangan yang lebih besar di gereja supaya lebih banyak lagi anak-anak bisa mengikuti kelas Sekolah Minggu. Ia pun berjanji akan mulai menyisihkan uang jajannnya untuk mimpinya ini. 

Singkat cerita, Hattie tiba-tiba jatuh sakit. Hanya beberapa minggu berselang dari kejadian itu, Hattie kembali ke rumah Bapa di surga. Di hari pemakamannya, orang tua Hattie membawa tabungannya Hattie dan menyerahkan uang 57 sen sekaligus harapan Hattie kepada Pdt. Rusell. Bapak pendeta ini terharu dengan tindakan kecil yang sudah diperjuangkan Hattie di tengah keterbatasannya. Hattie tidak mempunyai uang yang banyak, tetapi dia berani melepaskan kepemilikan atas uang jajannya demi pekerjaan Tuhan yang lebih besar.

Pdt. Rusell membawa impian Hattie kepada khalayak ramai. Kisah Hattie ini menjadi narasi yang dikisahkan kepada para pengurus gereja. Bahkan, cerita yang mengundang haru ini menjadi buah bibir di kota Philadelphia, Amerika Serikat. Mereka yang digerakkan oleh cerita Hattie dengan segera mengucurkan aliran dana ke kas gereja. Akhirnya, bukan hanya ruangan Sekolah Minggu yang diperbesar dan diperbanyak, tetapi keseluruhan gereja berhasil direnovasi untuk menampung lebih banyak jemaat. 

Hari ini, di kota Philadelphia, jika kita melihat ada gedung Temple Baptist Church yang bisa menampung tiga ribu jemaat, Temple College yang bisa menampung ribuan mahasiswa, serta Temple Hospital; semua bentuk pelayanan ini dimulai dari 57 sen yang menyimpan cita-cita mendalam dari seorang Hattie kecil, yang mengharapkan ruangan kelas Sekolah Minggu yang lebih luas. Uang 57 sen pada saat itu pun bukan nominal yang besar, tetapi kita menemukan dampak yang besar dari hati yang rindu untuk memberikannya bagi pekerjaan Tuhan. 

Ada peribahasa mengatakan “memberi adalah lebih baik daripada menerima.” Namun, aku menyadari bahwa terkadang kata-kata indah ini hanyalah ungkapan klise yang masih sulit aku lakukan. Aku harus jujur mengatakan bahwa aku dapat lebih tertawa lebar ketika menerima hadiah maupun uang yang diberikan oleh orang lain kepadaku. Memang benar, salah satu bahasa kasihku yang paling dominan adalah pemberian hadiah. Aku bukan tidak bersukacita ketika melihat pemberianku berdampak bagi orang yang menerimanya. Aku pun terus belajar untuk dapat memberi dan berbagi dengan orang-orang yang di sekitarku karena aku percaya bahwa semua orang pasti bisa memberi. 

Kisah tentang seorang janda miskin yang memberikan dua peser di Injil Markus 12:41-44 dan Lukas 21:1-4 adalah bukti bahwa kita pasti bisa memberi. Pada hari itu, Yesus sedang berada di Bait Allah untuk mengajar seperti biasanya. Ketika pandangan Yesus terarah ke peti persembahan, Yesus menemukan bahwa ada orang-orang kaya yang memasukkan persembahan mereka ke dalam peti. Ada juga seorang wanita tua yang berjalan mendekati peti persembahan.  Dari pakaiannya yang sederhana dan mungkin juga sudah sobek di beberapa bagian, bisa dipastikan bahwa dia adalah seorang janda yang miskin. Dia juga datang membawa persembahannya yang hanya dua buah koin yang memiliki nilai mata uang terkecil. Dia tidak juga memasukkan dua uang tembaga ke dalam peti persembahan itu.

Dari peristiwa yang terjadi dalam waktu yang sangat singkat ini, aku belajar bahwa memberi itu tidak perlu menunggu sampai aku sudah menjadi orang kaya. Dulu, aku memang sempat memiliki pemikiran bahwa aku baru bisa memberikan persembahan dan perpuluhan kalau aku sudah memiliki uang yang banyak. Namun, dari sebuah khotbah yang pernah aku dengar kira-kira belasan tahun silam, sang pengkhotbah mengatakan bahwa justru memberi persembahan dan perpuluhan itu harus dimulai ketika penghasilan kita masih kecil. Dari situlah, kita dapat melatih diri untuk memberikan harta kita bagi pekerjaan Tuhan. 

Aku bersyukur kalau aku tidak melupakan khotbah hari itu. Aku merasakan dampak dari praktik memberi ketika aku masih hidup dari uang jajan sampai akhirnya aku sudah bekerja dan memiliki pemasukan tetap. Aku sempat merasakan beratnya untuk menaikkan jumlah perpuluhan ketika tunjangan bulanan yang aku terima juga meningkat. Namun, latihan yang sudah aku tekuni bertahun-tahun itu dan juga pengenalanku kepada Tuhan yang semakin bertumbuh, aku bersyukur jika Tuhan terus memberikan aku hati yang mau memberi untuk memperluas kerajaan Allah di muka bumi ini. 

Janda miskin yang memberikan dua peser untuk persembahan di Bait Allah ini memperoleh pujian dari Yesus. Apresiasi ini didasarkan pada motivasi dari janda ini memberikan persembahan. Hanya ada satu hal yang mendorong janda ini untuk berani memberikan seluruh yang dimilikinya. Janda ini tidak memberi karena kewajiban. Janda ini memberi karena ia mengasihi Allah dan ia hanya ingin menyenangkan hati Allah. Ia tidak keberatan jika setelah ia pulang dari Bait Allah, ia harus bekerja lebih keras lagi untuk bisa bertahan hidup hari itu. 

Sebelum kita mampu memberikan persembahan syukur, perpuluhan, pemberian diakonia sosial, dana misi, sumbangan, dan segala bentuk pemberian lainnya kepada gereja, lembaga Kristen, maupun pribadi; Allah sebenarnya telah terlebih dahulu memberi kepada kita. Allah telah mengorbankan Anak-Nya yang tunggal, Yesus Kristus kepada kita. Kristus diberikan oleh Allah sebagai Anak Domba Allah yang disembelih demi memberikan hidup baru yang kekal kepada kita yang selayaknya menerima penghukuman kekal. 

Kita telah terlebih dahulu menerima pemberian yang tidak ternilai dari Allah. Anugerah di dalam Yesus Kristus yang telah kita terima terlebih dahulu inilah yang menjadi dasar kita untuk memberi. Jikalau hari ini aku dan kamu bisa mendukung pelayanan melalui pemberian, kita perlu mengucap syukur kepada Roh Kudus yang tinggal di dalam diri kita. Roh Allah itu sendiri yang melembutkan dan menggerakkan hati kita untuk dapat mensyukuri anugerah Tuhan, sehingga kita pun dapat memberi dengan sukacita. 

Memberi itu bukan perkara gampang jika kita belum mau melepaskan genggaman terhadap harta kepemilikan kita. Namun, aku percaya setiap orang bisa memberi untuk Tuhan. Aku pun masih terus melatih diriku untuk bisa memiliki hati yang plong ketika memberi bagi pekerjaan Tuhan. Ayo kawan, kita terus meminta Tuhan untuk terus mengubah hati kita agar kita bisa memberi dengan sukacita.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Berbagi Pizza

Senin, 10 Juni 2019

Berbagi Pizza

Baca: Amsal 11:23-31

11:23 Keinginan orang benar mendatangkan bahagia semata-mata, harapan orang fasik mendatangkan murka.

11:24 Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan.

11:25 Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum.

11:26 Siapa menahan gandum, ia dikutuki orang, tetapi berkat turun di atas kepala orang yang menjual gandum.

11:27 Siapa mengejar kebaikan, berusaha untuk dikenan orang, tetapi siapa mengejar kejahatan akan ditimpa kejahatan.

11:28 Siapa mempercayakan diri kepada kekayaannya akan jatuh; tetapi orang benar akan tumbuh seperti daun muda.

11:29 Siapa yang mengacaukan rumah tangganya akan menangkap angin; orang bodoh akan menjadi budak orang bijak.

11:30 Hasil orang benar adalah pohon kehidupan, dan siapa bijak, mengambil hati orang.

11:31 Kalau orang benar menerima balasan di atas bumi, lebih-lebih orang fasik dan orang berdosa!

Orang yang banyak memberi akan berkelimpahan, orang yang suka menolong akan ditolong juga. —Amsal 11:25 BIS

Berbagi Pizza

Steve, seorang tunawisma veteran perang berusia 62 tahun, pindah ke daerah beriklim hangat yang membuatnya bisa tidur di luar sepanjang tahun. Suatu malam, saat sedang memajang lukisan hasil karyanya—inilah caranya mendapatkan uang—seorang wanita muda menghampiri dan menawarinya beberapa potong pizza. Steve pun menerima dengan senang hati. Beberapa saat kemudian, Steve membagikan pizzanya dengan seorang tunawisma lain yang kelaparan. Tak lama sesudah itu, wanita muda tadi kembali dengan membawa sepiring makanan lagi. Ia senang melihat bagaimana Steve bersikap murah hati dengan membagikan apa yang telah diterimanya.

Cerita Steve melukiskan prinsip yang dikemukakan Amsal 11:25, yaitu bila kita bermurah hati kepada sesama, kemungkinan kita juga akan menerima kemurahan hati orang lain. Namun, tidak sepatutnya kita memberi karena mengharapkan imbalan; bahkan jarang kemurahan hati kita langsung dibalas, sebagaimana dialami oleh Steve. Akan tetapi, kita memberi pertolongan kepada sesama sebagai bentuk kasih kita kepada Allah yang memerintahkannya (flp. 2:3-4; 1Yoh. 3:17). Saat kita melakukannya, Allah pun senang. Meski Allah tidak berkewajiban mengisi dompet atau perut kita, Dia sering menggunakan beragam cara untuk menolong kita—baik berupa materi ataupun berkat rohani.

Steve kembali membagikan sepiring pizza yang kedua dengan senyum dan tangan terbuka. Walaupun serba kekurangan, ia menjadi teladan hidup yang murah hati, lewat kesediaannya berbagi apa yang dimilikinya dengan orang lain dan tidak mencari kepuasan bagi dirinya sendiri. Bersama Allah yang menuntun dan menguatkan kita, kiranya kita juga dapat melakukan hal yang sama. —Kirsten Holmberg

WAWASAN
Kitab Amsal berisi banyak pepatah singkat yang tidak berhubungan satu sama lain (kecuali pasal 1-9 dan 31), tetapi banyak juga sejumlah pemikiran yang saling terkait. Misalnya, 11:23-31 membandingkan orang benar dan orang fasik, orang yang murah hati dan yang serakah. Si pemurah akan menjadi makmur; barangsiapa memberi minum akan diberi minum. Orang akan mengutuki mereka yang menimbun gandum, tetapi memberkati yang dermawan (ay.24-26). Sungguh menarik bahwa dalam ayat 28, kemurahan berhubungan dengan kebenaran. “Siapa mempercayakan diri kepada kekayaannya [tidak mau berbagi dan bermurah hati] akan jatuh; tetapi orang benar [yang berbagi] akan tumbuh seperti daun muda.” Di sini, orang serakah dibandingkan dengan orang benar, bukan orang murah hati. Cinta uang tampaknya sangat berpengaruh terhadap karakter kita. —J.R. Hudberg

Dengan siapa kamu dapat berbagi hari ini? Bagaimana kamu sendiri telah diberkati melalui kemurahan hati orang lain?

Kita dapat bermurah hati dengan membagikan apa yang telah kita terima dari Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 34-36; Yohanes 19:1-22

Handlettering oleh Febronia

Belajar Melihat Hidup dari Kacamata Orang Lain

Oleh Charles, Jakarta

Ketika aku dan beberapa temanku sedang makan malam di sebuah rumah makan, seorang anak kecil mendatangi kami. Dia berjualan tissue dan menawarkannya kepada kami.

Kami tidak memberikan respons apa-apa karena kami tidak berminat membeli tissue saat itu. Namun, anak itu dengan pantang menyerah tetap berdiri di sana dengan muka memelas. Hingga akhirnya seorang temanku bertanya, “Tissuenya berapa harganya, dik?”

“Lima ribu,” jawabnya.

Temanku lalu mengeluarkan selembar uang lima ribu dan membeli satu pak tissue yang dijualnya. Kemudian anak itu pun beralih ke meja lain.

Aku lalu teringat bahwa aku pernah membeli tissue yang serupa di sebuah toko beberapa waktu yang lalu. Harganya juga lima ribu. Kemudian aku juga teringat kalau tissue di mobilku sudah mau habis. Jadi kupikir tidak ada ruginya membeli tissue dari anak itu. Sebelum meninggalkan rumah makan itu, aku menghampiri anak itu dan menyodorkan selembar lima ribu untuk membeli satu pak tissue yang dijualnya.

Setelah meninggalkan rumah makan tersebut, dalam perjalanan pulang tiba-tiba ada beberapa hal yang terlintas dalam pikiranku.

Aku lalu berpikir, seandainya tadi aku beli semua tissue yang dibawanya (dia hanya bawa 5 pak tissue) dan aku memberikannya uang Rp 50.000 tanpa meminta kembali, kira-kira apa yang dirasakannya?

Mungkin dia akan merasa lega karena dia dapat beristirahat sejenak karena dagangannya sudah laku semua.

Mungkin juga dia menganggap hal itu menjadi bukti bahwa kerja keras akan menghasilkan hasil, dan itu memotivasinya untuk bekerja dengan tekun setiap hari.

Dan lebih daripada itu, mungkin juga dia menjadi percaya sebuah hal: Masih ada orang di dunia ini yang ingin berbuat baik kepadanya. Masih ada yang peduli dengannya, masih ada yang mengasihi dia.

Tiba-tiba, aku menjadi menyesal karena aku hanya membeli satu pak tissue seharga lima ribu Rupiah darinya. Aku telah melewatkan kesempatan untuk mencerahkan hati seorang anak yang mungkin sedang haus kasih sayang.

Namun, peristiwa singkat ini memberikan sebuah pelajaran berharga bagiku.

Mengapa pola pikirku bisa berubah drastis ketika aku ada di rumah makan dan ketika aku ada dalam perjalanan pulang? Jawabannya sederhana. Di rumah makan, aku hanya melihat kebutuhanku: “Apakah aku sedang butuh tissue?”, “Apakah harga tissuenya masuk akal?”, “Haruskah aku ingin membantu anak ini?” Semua fokusnya ada di “aku”. Namun, ketika dalam perjalanan, aku melihat dari sudut pandang yang berbeda. Aku memikirkan kebutuhan anak itu: “Berapa penolakan yang telah dilaluinya?”, “Cukupkah uang yang dihasilkannya untuk biaya hidupnya?”, “Apakah dia mendapatkan kasih sayang yang layak didapatkannya?”. Semua fokusnya beralih dari “aku” kepada “dia”. Dan inilah yang mengubah pemikiranku.

Sekali lagi Tuhan mengingatkanku bahwa hidup ini terlalu sayang untuk dijalani dengan hanya memperhatikan kepentingan diriku semata. Banyak kesempatan-kesempatan emas yang dapat kuambil hanya dengan mengubah sudut pandangku dan mulai memperhatikan kepentingan orang lain seperti aku memperhatikan kepentinganku.

Ketika Tuhan memanggil kita suatu saat nanti, aku percaya Tuhan tidak akan menanyakan, “Seberapa banyak keuntungan yang telah kamu hasilkan di dunia?”. Yang Dia akan tanyakan adalah, “Seberapa banyak kasih yang telah kamu bagikan dengan sesamamu manusia?”

Marilah kita perluas sudut pandang kita dan mulai melihat hidup ini dari kacamata orang lain juga, termasuk musuh-musuh kita. Perhatikanlah apa yang menjadi kebutuhan mereka. Jika kita setia melakukannya, aku yakin hati kita dan dunia ini bisa menjadi lebih indah dan damai.

Baca Juga:

10 Tahun Bekerja dengan Sikap Hati yang Salah, Inilah Cara Tuhan Menegurku

Selama 10 tahun bekerja, aku takut kalau aku dicap sebagai orang yang ceroboh dan tidak kompeten. Bukannya belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah kuperbuat, yang ada aku malah merasa kesal. Hingga akhirnya, Tuhan pun menyadarkanku dari sikap hatiku yang salah.

Rumput atau Rahmat

Senin, 5 Maret 2018

Rumput atau Rahmat

Baca: Kejadian 13:1-18

13:1 Maka pergilah Abram dari Mesir ke Tanah Negeb dengan isterinya dan segala kepunyaannya, dan Lotpun bersama-sama dengan dia.

13:2 Adapun Abram sangat kaya, banyak ternak, perak dan emasnya.

13:3 Ia berjalan dari tempat persinggahan ke tempat persinggahan, dari Tanah Negeb sampai dekat Betel, di mana kemahnya mula-mula berdiri, antara Betel dan Ai,

13:4 ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN.

13:5 Juga Lot, yang ikut bersama-sama dengan Abram, mempunyai domba dan lembu dan kemah.

13:6 Tetapi negeri itu tidak cukup luas bagi mereka untuk diam bersama-sama, sebab harta milik mereka amat banyak, sehingga mereka tidak dapat diam bersama-sama.

13:7 Karena itu terjadilah perkelahian antara para gembala Abram dan para gembala Lot. Waktu itu orang Kanaan dan orang Feris diam di negeri itu.

13:8 Maka berkatalah Abram kepada Lot: “Janganlah kiranya ada perkelahian antara aku dan engkau, dan antara para gembalaku dan para gembalamu, sebab kita ini kerabat.

13:9 Bukankah seluruh negeri ini terbuka untuk engkau? Baiklah pisahkan dirimu dari padaku; jika engkau ke kiri, maka aku ke kanan, jika engkau ke kanan, maka aku ke kiri.”

13:10 Lalu Lot melayangkan pandangnya dan dilihatnyalah, bahwa seluruh Lembah Yordan banyak airnya, seperti taman TUHAN, seperti tanah Mesir, sampai ke Zoar. —Hal itu terjadi sebelum TUHAN memusnahkan Sodom dan Gomora. —

13:11 Sebab itu Lot memilih baginya seluruh Lembah Yordan itu, lalu ia berangkat ke sebelah timur dan mereka berpisah.

13:12 Abram menetap di tanah Kanaan, tetapi Lot menetap di kota-kota Lembah Yordan dan berkemah di dekat Sodom.

13:13 Adapun orang Sodom sangat jahat dan berdosa terhadap TUHAN.

13:14 Setelah Lot berpisah dari pada Abram, berfirmanlah TUHAN kepada Abram: “Pandanglah sekelilingmu dan lihatlah dari tempat engkau berdiri itu ke timur dan barat, utara dan selatan,

13:15 sebab seluruh negeri yang kaulihat itu akan Kuberikan kepadamu dan kepada keturunanmu untuk selama-lamanya.

13:16 Dan Aku akan menjadikan keturunanmu seperti debu tanah banyaknya, sehingga, jika seandainya ada yang dapat menghitung debu tanah, keturunanmupun akan dapat dihitung juga.

13:17 Bersiaplah, jalanilah negeri itu menurut panjang dan lebarnya, sebab kepadamulah akan Kuberikan negeri itu.”

13:18 Sesudah itu Abram memindahkan kemahnya dan menetap di dekat pohon-pohon tarbantin di Mamre, dekat Hebron, lalu didirikannyalah mezbah di situ bagi TUHAN.

Lot memilih baginya seluruh Lembah Yordan itu. —Kejadian 13:11

Rumput atau Rahmat

Teman saya, Archie, pulang dari liburan dan mendapati tetangga-nya telah mendirikan pagar kayu yang mengambil sekitar 1,5 meter lahan miliknya. Selama beberapa minggu, Archie berusaha membujuk tetangganya untuk memindahkan pagar itu. Ia bahkan bersedia menanggung sebagian biayanya, tetapi semua usahanya sia-sia. Archie bisa saja membawa persoalan itu kepada pihak berwenang, tetapi ia memilih untuk mengesampingkan haknya dalam masalah itu dan membiarkan pagar itu tetap berdiri pada tempatnya. Ia berharap tetangganya itu akan mengalami rahmat Allah lewat sikapnya.

Mungkin ada yang menganggap Archie sebagai orang yang lemah. Tidak. Justru ia seorang pria yang kuat, tetapi ia memilih untuk menunjukkan rahmat Allah daripada memperebutkan sepetak rumput.

Saya terpikir akan Abraham dan Lot yang menghadapi konflik karena ternak dan gembala mereka memenuhi lahan yang sangat terbatas. “Karena itu terjadilah perkelahian antara para gembala Abram dan para gembala Lot. Waktu itu orang Kanaan dan orang Feris diam di negeri itu” (Kej. 13:7). Orang Kanaan dan Feris bukanlah orang-orang yang beriman. Lot memilih bagian lahan yang terbaik, tetapi ia kehilangan semua itu pada akhirnya. Abraham mengambil lahan yang tersisa dan ternyata memperoleh tanah yang dijanjikan Allah (ay.12-17).

Kita memang memiliki hak dan kita boleh menuntut hak itu, terutama ketika orang lain sepertinya melanggar hak kita. Adakalanya kita memang harus menuntut agar hak kita dipenuhi. Paulus melakukannya ketika Mahkamah Agama memperlakukannya dengan tidak adil (baca Kis. 23:1-3). Namun, kita dapat memilih untuk mengesampingkan hak kita demi menunjukkan kepada sesama kita suatu jalan yang lebih baik. Itu yang disebut Alkitab sebagai “kelemahlembutan”—bukan kelemahan. Itulah kekuatan yang dimampukan oleh Allah. —David H. Roper

Tuhan, aku suka mengutamakan diri sendiri, tetapi beri aku hikmat untuk tahu kapan harus mengesampingkan hakku agar aku menunjukkan rahmat-Mu kepada sesamaku.

Hidup kita memberikan gambaran tentang Allah kepada sesama.

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 34-36; Markus 9:30-50

Desain gambar oleh WarungSaTeKaMu & Elizabeth Rachel

Memberi Sepenuh Hati

Senin, 26 Februari 2018

Memberi Sepenuh Hati

Baca: Maleakhi 3:8-12

3:8 Bolehkah manusia menipu Allah? Namun kamu menipu Aku. Tetapi kamu berkata: “Dengan cara bagaimanakah kami menipu Engkau?” Mengenai persembahan persepuluhan dan persembahan khusus!

3:9 Kamu telah kena kutuk, tetapi kamu masih menipu Aku, ya kamu seluruh bangsa!

3:10 Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan.

3:11 Aku akan menghardik bagimu belalang pelahap, supaya jangan dihabisinya hasil tanahmu dan supaya jangan pohon anggur di padang tidak berbuah bagimu, firman TUHAN semesta alam.

3:12 Maka segala bangsa akan menyebut kamu berbahagia, sebab kamu ini akan menjadi negeri kesukaan, firman TUHAN semesta alam.

Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku. —Maleakhi 3:10

Memberi Sepenuh Hati

Ketika anak saya, Xavier, masih berumur enam tahun, seorang teman mengajak anaknya yang masih balita main ke rumah kami. Xavier ingin memberikan mainan kepada anak itu. Saya senang melihat kemurahan hatinya. Ia bahkan menawarkan sebuah boneka langka yang pernah dibelikan ayahnya. Menyadari bahwa boneka itu sangat bernilai, teman saya berusaha menolak dengan sopan. Namun, Xavier tetap menaruh boneka itu ke tangan si anak sambil berkata, “Papa memberiku banyak sekali mainan untuk aku bagikan.”

Andai saya bisa berkata bahwa Xavier belajar dari saya, tetapi kenyataannya, saya sendiri sering enggan memberi kepada Allah dan orang lain. Namun saat saya ingat bahwa Bapa Surgawi telah memberikan segala yang saya miliki dan butuhkan, berbagi menjadi lebih mudah dilakukan.

Di Perjanjian Lama, Allah memerintahkan Israel untuk mempercayai-Nya dengan membagikan sebagian berkat yang dilimpahkan-Nya kepada para imam Lewi, yang kemudian berguna juga untuk menolong orang lain yang membutuhkan. Ketika mereka menolak, Maleakhi menegaskan bahwa mereka telah menipu Tuhan (Mal. 3:8-9). Namun jika mereka rela memberi dan menunjukkan keyakinan mereka pada pemeliharaan dan perlindungan Allah (ay.10-11), bangsa lain akan mengakui bahwa mereka adalah bangsa yang diberkati Allah (ay.12).

Saat kita mengelola keuangan, kegiatan, atau berkat-berkat yang dipercayakan Allah kepada kita, ingatlah bahwa apa yang kita berikan dapat menjadi ungkapan penghormatan kita kepada-Nya. Memberi dengan leluasa dan sepenuh hati menunjukkan keyakinan kita pada pemeliharaan Bapa kita, Pemberi yang Maha Pemurah. —Xochitl Dixon

Tuhan, tolonglah kami hidup dengan keyakinan penuh pada pemeliharaan-Mu yang setia, agar kami dapat leluasa dan yakin memberi kepada-Mu dan sesama.

Ketika dengan sepenuh hati kita memberi kepada Allah dan sesama, kita menunjukkan keyakinan kita pada janji dan pemeliharaan Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 15-16; Markus 6:1-29