Posts

Berbagi Pizza

Senin, 10 Juni 2019

Berbagi Pizza

Baca: Amsal 11:23-31

11:23 Keinginan orang benar mendatangkan bahagia semata-mata, harapan orang fasik mendatangkan murka.

11:24 Ada yang menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun selalu berkekurangan.

11:25 Siapa banyak memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi minum.

11:26 Siapa menahan gandum, ia dikutuki orang, tetapi berkat turun di atas kepala orang yang menjual gandum.

11:27 Siapa mengejar kebaikan, berusaha untuk dikenan orang, tetapi siapa mengejar kejahatan akan ditimpa kejahatan.

11:28 Siapa mempercayakan diri kepada kekayaannya akan jatuh; tetapi orang benar akan tumbuh seperti daun muda.

11:29 Siapa yang mengacaukan rumah tangganya akan menangkap angin; orang bodoh akan menjadi budak orang bijak.

11:30 Hasil orang benar adalah pohon kehidupan, dan siapa bijak, mengambil hati orang.

11:31 Kalau orang benar menerima balasan di atas bumi, lebih-lebih orang fasik dan orang berdosa!

Orang yang banyak memberi akan berkelimpahan, orang yang suka menolong akan ditolong juga. —Amsal 11:25 BIS

Berbagi Pizza

Steve, seorang tunawisma veteran perang berusia 62 tahun, pindah ke daerah beriklim hangat yang membuatnya bisa tidur di luar sepanjang tahun. Suatu malam, saat sedang memajang lukisan hasil karyanya—inilah caranya mendapatkan uang—seorang wanita muda menghampiri dan menawarinya beberapa potong pizza. Steve pun menerima dengan senang hati. Beberapa saat kemudian, Steve membagikan pizzanya dengan seorang tunawisma lain yang kelaparan. Tak lama sesudah itu, wanita muda tadi kembali dengan membawa sepiring makanan lagi. Ia senang melihat bagaimana Steve bersikap murah hati dengan membagikan apa yang telah diterimanya.

Cerita Steve melukiskan prinsip yang dikemukakan Amsal 11:25, yaitu bila kita bermurah hati kepada sesama, kemungkinan kita juga akan menerima kemurahan hati orang lain. Namun, tidak sepatutnya kita memberi karena mengharapkan imbalan; bahkan jarang kemurahan hati kita langsung dibalas, sebagaimana dialami oleh Steve. Akan tetapi, kita memberi pertolongan kepada sesama sebagai bentuk kasih kita kepada Allah yang memerintahkannya (flp. 2:3-4; 1Yoh. 3:17). Saat kita melakukannya, Allah pun senang. Meski Allah tidak berkewajiban mengisi dompet atau perut kita, Dia sering menggunakan beragam cara untuk menolong kita—baik berupa materi ataupun berkat rohani.

Steve kembali membagikan sepiring pizza yang kedua dengan senyum dan tangan terbuka. Walaupun serba kekurangan, ia menjadi teladan hidup yang murah hati, lewat kesediaannya berbagi apa yang dimilikinya dengan orang lain dan tidak mencari kepuasan bagi dirinya sendiri. Bersama Allah yang menuntun dan menguatkan kita, kiranya kita juga dapat melakukan hal yang sama. —Kirsten Holmberg

WAWASAN
Kitab Amsal berisi banyak pepatah singkat yang tidak berhubungan satu sama lain (kecuali pasal 1-9 dan 31), tetapi banyak juga sejumlah pemikiran yang saling terkait. Misalnya, 11:23-31 membandingkan orang benar dan orang fasik, orang yang murah hati dan yang serakah. Si pemurah akan menjadi makmur; barangsiapa memberi minum akan diberi minum. Orang akan mengutuki mereka yang menimbun gandum, tetapi memberkati yang dermawan (ay.24-26). Sungguh menarik bahwa dalam ayat 28, kemurahan berhubungan dengan kebenaran. “Siapa mempercayakan diri kepada kekayaannya [tidak mau berbagi dan bermurah hati] akan jatuh; tetapi orang benar [yang berbagi] akan tumbuh seperti daun muda.” Di sini, orang serakah dibandingkan dengan orang benar, bukan orang murah hati. Cinta uang tampaknya sangat berpengaruh terhadap karakter kita. —J.R. Hudberg

Dengan siapa kamu dapat berbagi hari ini? Bagaimana kamu sendiri telah diberkati melalui kemurahan hati orang lain?

Kita dapat bermurah hati dengan membagikan apa yang telah kita terima dari Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Tawarikh 34-36; Yohanes 19:1-22

Handlettering oleh Febronia

Belajar Melihat Hidup dari Kacamata Orang Lain

Oleh Charles, Jakarta

Ketika aku dan beberapa temanku sedang makan malam di sebuah rumah makan, seorang anak kecil mendatangi kami. Dia berjualan tissue dan menawarkannya kepada kami.

Kami tidak memberikan respons apa-apa karena kami tidak berminat membeli tissue saat itu. Namun, anak itu dengan pantang menyerah tetap berdiri di sana dengan muka memelas. Hingga akhirnya seorang temanku bertanya, “Tissuenya berapa harganya, dik?”

“Lima ribu,” jawabnya.

Temanku lalu mengeluarkan selembar uang lima ribu dan membeli satu pak tissue yang dijualnya. Kemudian anak itu pun beralih ke meja lain.

Aku lalu teringat bahwa aku pernah membeli tissue yang serupa di sebuah toko beberapa waktu yang lalu. Harganya juga lima ribu. Kemudian aku juga teringat kalau tissue di mobilku sudah mau habis. Jadi kupikir tidak ada ruginya membeli tissue dari anak itu. Sebelum meninggalkan rumah makan itu, aku menghampiri anak itu dan menyodorkan selembar lima ribu untuk membeli satu pak tissue yang dijualnya.

Setelah meninggalkan rumah makan tersebut, dalam perjalanan pulang tiba-tiba ada beberapa hal yang terlintas dalam pikiranku.

Aku lalu berpikir, seandainya tadi aku beli semua tissue yang dibawanya (dia hanya bawa 5 pak tissue) dan aku memberikannya uang Rp 50.000 tanpa meminta kembali, kira-kira apa yang dirasakannya?

Mungkin dia akan merasa lega karena dia dapat beristirahat sejenak karena dagangannya sudah laku semua.

Mungkin juga dia menganggap hal itu menjadi bukti bahwa kerja keras akan menghasilkan hasil, dan itu memotivasinya untuk bekerja dengan tekun setiap hari.

Dan lebih daripada itu, mungkin juga dia menjadi percaya sebuah hal: Masih ada orang di dunia ini yang ingin berbuat baik kepadanya. Masih ada yang peduli dengannya, masih ada yang mengasihi dia.

Tiba-tiba, aku menjadi menyesal karena aku hanya membeli satu pak tissue seharga lima ribu Rupiah darinya. Aku telah melewatkan kesempatan untuk mencerahkan hati seorang anak yang mungkin sedang haus kasih sayang.

Namun, peristiwa singkat ini memberikan sebuah pelajaran berharga bagiku.

Mengapa pola pikirku bisa berubah drastis ketika aku ada di rumah makan dan ketika aku ada dalam perjalanan pulang? Jawabannya sederhana. Di rumah makan, aku hanya melihat kebutuhanku: “Apakah aku sedang butuh tissue?”, “Apakah harga tissuenya masuk akal?”, “Haruskah aku ingin membantu anak ini?” Semua fokusnya ada di “aku”. Namun, ketika dalam perjalanan, aku melihat dari sudut pandang yang berbeda. Aku memikirkan kebutuhan anak itu: “Berapa penolakan yang telah dilaluinya?”, “Cukupkah uang yang dihasilkannya untuk biaya hidupnya?”, “Apakah dia mendapatkan kasih sayang yang layak didapatkannya?”. Semua fokusnya beralih dari “aku” kepada “dia”. Dan inilah yang mengubah pemikiranku.

Sekali lagi Tuhan mengingatkanku bahwa hidup ini terlalu sayang untuk dijalani dengan hanya memperhatikan kepentingan diriku semata. Banyak kesempatan-kesempatan emas yang dapat kuambil hanya dengan mengubah sudut pandangku dan mulai memperhatikan kepentingan orang lain seperti aku memperhatikan kepentinganku.

Ketika Tuhan memanggil kita suatu saat nanti, aku percaya Tuhan tidak akan menanyakan, “Seberapa banyak keuntungan yang telah kamu hasilkan di dunia?”. Yang Dia akan tanyakan adalah, “Seberapa banyak kasih yang telah kamu bagikan dengan sesamamu manusia?”

Marilah kita perluas sudut pandang kita dan mulai melihat hidup ini dari kacamata orang lain juga, termasuk musuh-musuh kita. Perhatikanlah apa yang menjadi kebutuhan mereka. Jika kita setia melakukannya, aku yakin hati kita dan dunia ini bisa menjadi lebih indah dan damai.

Baca Juga:

10 Tahun Bekerja dengan Sikap Hati yang Salah, Inilah Cara Tuhan Menegurku

Selama 10 tahun bekerja, aku takut kalau aku dicap sebagai orang yang ceroboh dan tidak kompeten. Bukannya belajar dari kesalahan-kesalahan yang telah kuperbuat, yang ada aku malah merasa kesal. Hingga akhirnya, Tuhan pun menyadarkanku dari sikap hatiku yang salah.

Rumput atau Rahmat

Senin, 5 Maret 2018

Rumput atau Rahmat

Baca: Kejadian 13:1-18

13:1 Maka pergilah Abram dari Mesir ke Tanah Negeb dengan isterinya dan segala kepunyaannya, dan Lotpun bersama-sama dengan dia.

13:2 Adapun Abram sangat kaya, banyak ternak, perak dan emasnya.

13:3 Ia berjalan dari tempat persinggahan ke tempat persinggahan, dari Tanah Negeb sampai dekat Betel, di mana kemahnya mula-mula berdiri, antara Betel dan Ai,

13:4 ke tempat mezbah yang dibuatnya dahulu di sana; di situlah Abram memanggil nama TUHAN.

13:5 Juga Lot, yang ikut bersama-sama dengan Abram, mempunyai domba dan lembu dan kemah.

13:6 Tetapi negeri itu tidak cukup luas bagi mereka untuk diam bersama-sama, sebab harta milik mereka amat banyak, sehingga mereka tidak dapat diam bersama-sama.

13:7 Karena itu terjadilah perkelahian antara para gembala Abram dan para gembala Lot. Waktu itu orang Kanaan dan orang Feris diam di negeri itu.

13:8 Maka berkatalah Abram kepada Lot: “Janganlah kiranya ada perkelahian antara aku dan engkau, dan antara para gembalaku dan para gembalamu, sebab kita ini kerabat.

13:9 Bukankah seluruh negeri ini terbuka untuk engkau? Baiklah pisahkan dirimu dari padaku; jika engkau ke kiri, maka aku ke kanan, jika engkau ke kanan, maka aku ke kiri.”

13:10 Lalu Lot melayangkan pandangnya dan dilihatnyalah, bahwa seluruh Lembah Yordan banyak airnya, seperti taman TUHAN, seperti tanah Mesir, sampai ke Zoar. —Hal itu terjadi sebelum TUHAN memusnahkan Sodom dan Gomora. —

13:11 Sebab itu Lot memilih baginya seluruh Lembah Yordan itu, lalu ia berangkat ke sebelah timur dan mereka berpisah.

13:12 Abram menetap di tanah Kanaan, tetapi Lot menetap di kota-kota Lembah Yordan dan berkemah di dekat Sodom.

13:13 Adapun orang Sodom sangat jahat dan berdosa terhadap TUHAN.

13:14 Setelah Lot berpisah dari pada Abram, berfirmanlah TUHAN kepada Abram: “Pandanglah sekelilingmu dan lihatlah dari tempat engkau berdiri itu ke timur dan barat, utara dan selatan,

13:15 sebab seluruh negeri yang kaulihat itu akan Kuberikan kepadamu dan kepada keturunanmu untuk selama-lamanya.

13:16 Dan Aku akan menjadikan keturunanmu seperti debu tanah banyaknya, sehingga, jika seandainya ada yang dapat menghitung debu tanah, keturunanmupun akan dapat dihitung juga.

13:17 Bersiaplah, jalanilah negeri itu menurut panjang dan lebarnya, sebab kepadamulah akan Kuberikan negeri itu.”

13:18 Sesudah itu Abram memindahkan kemahnya dan menetap di dekat pohon-pohon tarbantin di Mamre, dekat Hebron, lalu didirikannyalah mezbah di situ bagi TUHAN.

Lot memilih baginya seluruh Lembah Yordan itu. —Kejadian 13:11

Rumput atau Rahmat

Teman saya, Archie, pulang dari liburan dan mendapati tetangga-nya telah mendirikan pagar kayu yang mengambil sekitar 1,5 meter lahan miliknya. Selama beberapa minggu, Archie berusaha membujuk tetangganya untuk memindahkan pagar itu. Ia bahkan bersedia menanggung sebagian biayanya, tetapi semua usahanya sia-sia. Archie bisa saja membawa persoalan itu kepada pihak berwenang, tetapi ia memilih untuk mengesampingkan haknya dalam masalah itu dan membiarkan pagar itu tetap berdiri pada tempatnya. Ia berharap tetangganya itu akan mengalami rahmat Allah lewat sikapnya.

Mungkin ada yang menganggap Archie sebagai orang yang lemah. Tidak. Justru ia seorang pria yang kuat, tetapi ia memilih untuk menunjukkan rahmat Allah daripada memperebutkan sepetak rumput.

Saya terpikir akan Abraham dan Lot yang menghadapi konflik karena ternak dan gembala mereka memenuhi lahan yang sangat terbatas. “Karena itu terjadilah perkelahian antara para gembala Abram dan para gembala Lot. Waktu itu orang Kanaan dan orang Feris diam di negeri itu” (Kej. 13:7). Orang Kanaan dan Feris bukanlah orang-orang yang beriman. Lot memilih bagian lahan yang terbaik, tetapi ia kehilangan semua itu pada akhirnya. Abraham mengambil lahan yang tersisa dan ternyata memperoleh tanah yang dijanjikan Allah (ay.12-17).

Kita memang memiliki hak dan kita boleh menuntut hak itu, terutama ketika orang lain sepertinya melanggar hak kita. Adakalanya kita memang harus menuntut agar hak kita dipenuhi. Paulus melakukannya ketika Mahkamah Agama memperlakukannya dengan tidak adil (baca Kis. 23:1-3). Namun, kita dapat memilih untuk mengesampingkan hak kita demi menunjukkan kepada sesama kita suatu jalan yang lebih baik. Itu yang disebut Alkitab sebagai “kelemahlembutan”—bukan kelemahan. Itulah kekuatan yang dimampukan oleh Allah. —David H. Roper

Tuhan, aku suka mengutamakan diri sendiri, tetapi beri aku hikmat untuk tahu kapan harus mengesampingkan hakku agar aku menunjukkan rahmat-Mu kepada sesamaku.

Hidup kita memberikan gambaran tentang Allah kepada sesama.

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 34-36; Markus 9:30-50

Desain gambar oleh WarungSaTeKaMu & Elizabeth Rachel

Memberi Sepenuh Hati

Senin, 26 Februari 2018

Memberi Sepenuh Hati

Baca: Maleakhi 3:8-12

3:8 Bolehkah manusia menipu Allah? Namun kamu menipu Aku. Tetapi kamu berkata: “Dengan cara bagaimanakah kami menipu Engkau?” Mengenai persembahan persepuluhan dan persembahan khusus!

3:9 Kamu telah kena kutuk, tetapi kamu masih menipu Aku, ya kamu seluruh bangsa!

3:10 Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan.

3:11 Aku akan menghardik bagimu belalang pelahap, supaya jangan dihabisinya hasil tanahmu dan supaya jangan pohon anggur di padang tidak berbuah bagimu, firman TUHAN semesta alam.

3:12 Maka segala bangsa akan menyebut kamu berbahagia, sebab kamu ini akan menjadi negeri kesukaan, firman TUHAN semesta alam.

Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku. —Maleakhi 3:10

Memberi Sepenuh Hati

Ketika anak saya, Xavier, masih berumur enam tahun, seorang teman mengajak anaknya yang masih balita main ke rumah kami. Xavier ingin memberikan mainan kepada anak itu. Saya senang melihat kemurahan hatinya. Ia bahkan menawarkan sebuah boneka langka yang pernah dibelikan ayahnya. Menyadari bahwa boneka itu sangat bernilai, teman saya berusaha menolak dengan sopan. Namun, Xavier tetap menaruh boneka itu ke tangan si anak sambil berkata, “Papa memberiku banyak sekali mainan untuk aku bagikan.”

Andai saya bisa berkata bahwa Xavier belajar dari saya, tetapi kenyataannya, saya sendiri sering enggan memberi kepada Allah dan orang lain. Namun saat saya ingat bahwa Bapa Surgawi telah memberikan segala yang saya miliki dan butuhkan, berbagi menjadi lebih mudah dilakukan.

Di Perjanjian Lama, Allah memerintahkan Israel untuk mempercayai-Nya dengan membagikan sebagian berkat yang dilimpahkan-Nya kepada para imam Lewi, yang kemudian berguna juga untuk menolong orang lain yang membutuhkan. Ketika mereka menolak, Maleakhi menegaskan bahwa mereka telah menipu Tuhan (Mal. 3:8-9). Namun jika mereka rela memberi dan menunjukkan keyakinan mereka pada pemeliharaan dan perlindungan Allah (ay.10-11), bangsa lain akan mengakui bahwa mereka adalah bangsa yang diberkati Allah (ay.12).

Saat kita mengelola keuangan, kegiatan, atau berkat-berkat yang dipercayakan Allah kepada kita, ingatlah bahwa apa yang kita berikan dapat menjadi ungkapan penghormatan kita kepada-Nya. Memberi dengan leluasa dan sepenuh hati menunjukkan keyakinan kita pada pemeliharaan Bapa kita, Pemberi yang Maha Pemurah. —Xochitl Dixon

Tuhan, tolonglah kami hidup dengan keyakinan penuh pada pemeliharaan-Mu yang setia, agar kami dapat leluasa dan yakin memberi kepada-Mu dan sesama.

Ketika dengan sepenuh hati kita memberi kepada Allah dan sesama, kita menunjukkan keyakinan kita pada janji dan pemeliharaan Allah.

Bacaan Alkitab Setahun: Bilangan 15-16; Markus 6:1-29

Tak Cukup?

Senin, 19 Februari 2018

Tak Cukup?

Baca: 2 Korintus 9:10-15

9:10 Ia yang menyediakan benih bagi penabur, dan roti untuk dimakan, Ia juga yang akan menyediakan benih bagi kamu dan melipatgandakannya dan menumbuhkan buah-buah kebenaranmu;

9:11 kamu akan diperkaya dalam segala macam kemurahan hati, yang membangkitkan syukur kepada Allah oleh karena kami.

9:12 Sebab pelayanan kasih yang berisi pemberian ini bukan hanya mencukupkan keperluan-keperluan orang-orang kudus, tetapi juga melimpahkan ucapan syukur kepada Allah.

9:13 Dan oleh sebab kamu telah tahan uji dalam pelayanan itu, mereka memuliakan Allah karena ketaatan kamu dalam pengakuan akan Injil Kristus dan karena kemurahan hatimu dalam membagikan segala sesuatu dengan mereka dan dengan semua orang,

9:14 sedangkan di dalam doa mereka, mereka juga merindukan kamu oleh karena kasih karunia Allah yang melimpah di atas kamu.

9:15 Syukur kepada Allah karena karunia-Nya yang tak terkatakan itu!

Janganlah kamu lupa berbuat baik dan memberi bantuan. —Ibrani 13:16

Tak Cukup?

Dalam perjalanan pulang dari gereja, putri saya duduk di kursi belakang mobil sambil menikmati biskuit berbentuk ikan. Melihat makanan itu, saudara-saudaranya memintanya untuk berbagi. Dalam usaha untuk mengarahkan pembicaraan, saya bertanya pada putri saya, “Apa yang kamu kerjakan di Sekolah Minggu hari ini?” Ia bercerita bahwa mereka membuat keranjang berisi roti dan ikan yang didasarkan pada cerita tentang seorang anak yang memberikan lima roti dan dua ikan kepada Yesus untuk memberi makan lebih dari 5.000 orang (Yoh. 6:1-13).

“Baik sekali anak itu mau berbagi. Menurutmu, apakah Tuhan juga memintamu untuk membagi biskuit ikan yang kamu pegang itu?” tanya saya. “Tidak, Mama,” jawabnya.

Saya berusaha mendorongnya agar ia tidak pelit dengan biskuit ikan itu. Ia bergeming. “Isinya tak cukup untuk semua!”

Berbagi memang sulit. Lebih mudah menyimpan sendiri apa yang kita anggap sebagai hak kita. Mungkin kita melakukan perhitungan dan berkilah bahwa apa yang kita punya tidak akan cukup apabila dibagi dengan semua orang. Dan kita menganggap bahwa apabila kita memberi, kita akan berkekurangan.

Paulus mengingatkan kita bahwa semua yang kita miliki berasal dari Allah, yang ingin memperkaya kita “dalam segala hal sehingga [kita] selalu dapat memberi dengan murah hati” (2Kor. 9:10-11 BIS). Perhitungan surgawi selalu mencapai jumlah yang berkelimpahan dan tidak pernah berkekurangan. Kita dapat berbagi dengan penuh sukacita karena Allah berjanji untuk memelihara kita ketika kita bermurah hati kepada sesama.—Lisa Samra

Bapa, Engkau telah memelihara hidupku dengan baik. Tolong aku hari ini untuk memikirkan orang lain dan membagikan kebaikan-Mu bagi mereka.

Ketika kita percaya bahwa Allah itu baik, kita bisa belajar membuka tangan kita dan berbagi dengan orang lain.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 25; Markus 1:23-45

Sebuah Pelajaran dari Bapak Penjual Sandal

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Apa yang akan kamu lakukan ketika ada seseorang yang meminta kepadamu? Sederhananya, ada dua jawaban yang mungkin aku atau kamu akan berikan, yaitu memberi atau menolak.

Namun, ada sebuah peristiwa di mana aku merasa bimbang dan dilema. Di satu sisi aku ingin memberi tapi aku enggan. Di sisi lainnya, aku ingin menolak tetapi tidak sampai hati.

Cerita ini bermula saat aku sedang makan bersama seorang teman di warung kaki lima. Waktu itu ada seorang bapak berjalan mendekat ke arah kami. Jalannya pincang, di punggungnya terkait sebuah tas besar, tangannya memegang beberapa pasang sandal, dan senyum tipis tersungging di wajahnya. Dia berusaha membujuk kami untuk membeli salah satu dari sandal yang dia jajakan. Awalnya aku berusaha acuh tak acuh terhadap bapak itu, tetapi dia bergeming dan menatapku dengan tatapan lunglai.

Akhirnya, aku bertanya. “Berapa harga sandalnya, pak?”

“60 ribu, mas,” sahutnya.

Saat itu aku hanya membawa sedikit uang di dompet, dan tepat di hari itu juga aku kehilangan sejumlah uang. Ingin rasanya aku menolak bapak itu supaya dia segera beranjak. Tapi, setelah kuamati sekali lagi bapak itu, aroma balsem tercium menyengat dari tubuhnya, matanya begitu sayu, wajahnya penuh keringat, dan nafasnya pun tersengal-sengal. Aku pikir sepertinya bapak itu memang sedang kelelahan, sakit, dan tentunya membutuhkan uang.

Hati kecilku terketuk, lalu kupegang tangan bapak itu dan berkata, “Pak, saya tidak punya cukup uang buat beli sandal bapak, dan saya juga saat ini belum membutuhkan sandal. Tapi, saya mau memberi buat bapak seadanya.”

Respons yang kudapat mengejutkanku. Bapak itu tersungkur di depanku dan menangis. Setelah kuajak bicara lebih lanjut, ternyata perjuangan bapak itu sungguh luar biasa. Aroma balsem yang menyeruak dari tubuhnya itu berasal dari kakinya yang membengkak karena kecelakaan. Aku mengajaknya untuk duduk makan bersamaku, namun dia menolak dengan halus. Katanya dia mau menggunakan uang yang diterimanya untuk pulang saja ke rumah. Kemudian bapak itu undur diri dan berjalan meninggalkan kami.

Saat aku melanjutkan makanku, pikiranku terus bertanya-tanya dan membayangkan tentang bapak itu.

Sudah sejauh mana dia berjalan? Bagaimana dengan kakinya yang bengkak itu? Bagaimana perasaannya apabila hari itu tak ada satupun yang membeli jualannya?

Walaupun aku telah memutuskan untuk memberi, tetapi aku merasa malu pada diriku sendiri. Sebagai seorang Kristen, aku sudah sering mendengar ayat-ayat yang berbicara tentang memberi. Namun, ketika dihadapkan pada pilihan di mana sudah seharusnya aku memberi, aku malah bingung dan bertanya-tanya. Apakah aku harus memberi kepada bapak ini? Atau, sampai sejauh mana aku harus memberi? Apakah aku memberi jika aku sedang berkelimpahan? Atau, apakah aku memberi jika kalau aku merasa ingin saja?

Alkitab tidak mengatakan pada kita bahwa kita harus memberi kalau kita diberi kembali, atau kita harus memberi kalau kita sedang punya. Dalam Kisah Para Rasul 20:35, Alkitab dengan jelas mengatakan pada kita bahwa adalah lebih baik memberi daripada menerima, titik. Tanpa ada persyaratan lainnya.

Malam itu aku menyadari bahwa aku masih terlalu egois. Yang ada dalam pikiranku hanyalah tentang diriku sendiri. Ketika bapak itu datang menghampiriku, aku mengesampingkan dahulu rasa kepedulianku dan lebih memikirkan tentang kemalangan yang sudah terlebih dahulu menimpaku. Aku lupa bahwa sesulit-sulitnya hidupku, ada orang lain yang hidupnya jauh lebih sulit. Aku pun lupa bahwa ketika aku menolong orang yang lemah dan hina, sesungguhnya aku sedang melakukan itu untuk Tuhan (Matius 25:40).

Aku berdoa memohon ampun kepada Tuhan dan juga mengucap syukur atas kehadiran bapak tadi yang boleh menegur dan mengajarku untuk menjadi seorang yang ikhlas memberi. Mungkin pemberianku yang kecil itu tidak akan mengubah kehidupan bapak itu seketika, tetapi minimal dia bisa kembali ke rumahnya, beristirahat, dan bertemu dengan keluarganya.

Aku yakin bahwa tak hanya bapak itu, tetapi ada banyak orang lain di lingkungan kita yang juga membutuhkan pertolongan. Entah itu seorang janda di gereja kita yang tak punya uang untuk berobat, teman sekelas kita yang tak mampu untuk membayar uang sekolah, atau bahkan para pedagang kecil yang sering menghampiri kita saat kita sedang makan. Pada intinya, realita yang tersaji di hadapan kita adalah ada banyak orang-orang yang sebetulnya membutuhkan bantuan dari kita. Hanya, apakah kita peka dan mau menaruh perhatian terhadap mereka?

Sebagai orang Kristen yang adalah pengikut Kristus, sudah seharusnya kita mengikuti teladan-Nya dan juga peka terhadap lingkungan sekitar kita. Ketika Kristus telah memberikan segala-galanya untuk kita yang seharusnya tak layak diberi (Roma 3:23-24), akankah kita memberikan sedikit yang ada daripada kita untuk sesama manusia yang membutuhkan?

Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan, sebab Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita” (2 Korintus 9:7).

Baca Juga:

Masa Single: Sebuah Garis yang (Sepertinya) Tidak Bisa Kulewati

Apa gunanya sebuah garis? Jawabannya adalah untuk memisahkan dua sisi. Dari sisi di mana aku berdiri, aku melihat orang-orang di sisi seberangku sudah memiliki pacar atau menikah. Dan, di sinilah aku, sedang berdiri menanti untuk menyeberangi garis ini.

Memperhatikan

Senin, 28 Agustus 2017

Memperhatikan

Baca: Mazmur 41:1-3

41:1 Untuk pemimpin biduan. Mazmur Daud.

41:2 Berbahagialah orang yang memperhatikan orang lemah! TUHAN akan meluputkan dia pada waktu celaka.

41:3 TUHAN akan melindungi dia dan memelihara nyawanya, sehingga ia disebut berbahagia di bumi; Engkau takkan membiarkan dia dipermainkan musuhnya!

Berbahagialah orang yang memperhatikan orang lemah. —Mazmur 41:2

Memperhatikan

John Newton menulis, “Jika saat pulang, aku bertemu seorang anak yang kehilangan sekeping uang logamnya, dan jika dengan memberi anak itu sekeping uang lagi, aku bisa menghapus air matanya, aku merasa telah melakukan sesuatu. Aku senang melakukan hal-hal yang hebat; tetapi aku tak akan mengabaikan tindakan sederhana tadi.”

Di masa sekarang, tidak sulit menemukan orang yang perlu penghiburan: kasir toko yang punya tanggungan dan harus bekerja di dua tempat untuk memenuhi kebutuhannya; pengungsi yang merindukan kampung halamannya; ibu tunggal yang pengharapannya dikikis oleh kekhawatiran; pria tua yang kesepian dan merasa dirinya tak berguna lagi.

Namun, apa yang kita lakukan? “Berbahagialah orang yang memperhatikan orang lemah,” tulis Daud (Mzm. 41:2). Meskipun kita tidak dapat membantu untuk meringankan kemiskinan dari orang yang kita temui, setidaknya kita dapat memperhatikan mereka—kata lain dari “mempedulikan”.

Kita dapat menyatakan kepedulian kita. Kita dapat memperlakukan mereka dengan sopan dan hormat, meskipun mereka mungkin menguji kesabaran kita atau membuat kita jengkel. Kita dapat mendengarkan cerita mereka dengan penuh perhatian. Dan kita berdoa untuk atau bersama mereka—suatu tindakan pemulihan dan pertolongan terbaik yang bisa kita lakukan.

Ingatlah paradoks kuno yang diberikan Yesus kepada kita ketika mengatakan, “Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima” (Kis. 20:35). Perhatian yang kita berikan tidak akan sia-sia, karena kita akan lebih bahagia ketika dapat mempersembahkan diri kita sendiri. Berikan perhatian kepada orang yang lemah. —David Roper

Bapa, saat kami menjalani hari ini, tunjukkanlah orang yang membutuhkan perhatian kami. Berilah kami kasih dan kesabaran untuk sungguh-sungguh mempedulikan mereka seperti Engkau yang begitu sabar mengasihi kami.

Hidup yang berharga adalah hidup yang dipersembahkan demi kasih. —Frederick Buechner

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 123-125 dan 1 Korintus 10:1-18

Karunia Memberi

Jumat, 21 April 2017

Karunia Memberi

Baca: Lukas 3:7-14

3:7 Lalu ia berkata kepada orang banyak yang datang kepadanya untuk dibaptis, katanya: “Hai kamu keturunan ular beludak! Siapakah yang mengatakan kepada kamu melarikan diri dari murka yang akan datang?

3:8 Jadi hasilkanlah buah-buah yang sesuai dengan pertobatan. Dan janganlah berpikir dalam hatimu: Abraham adalah bapa kami! Karena aku berkata kepadamu: Allah dapat menjadikan anak-anak bagi Abraham dari batu-batu ini!

3:9 Kapak sudah tersedia pada akar pohon dan setiap pohon yang tidak menghasilkan buah yang baik, akan ditebang dan dibuang ke dalam api.”

3:10 Orang banyak bertanya kepadanya: “Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?”

3:11 Jawabnya: “Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian.”

3:12 Ada datang juga pemungut-pemungut cukai untuk dibaptis dan mereka bertanya kepadanya: “Guru, apakah yang harus kami perbuat?”

3:13 Jawabnya: “Jangan menagih lebih banyak dari pada yang telah ditentukan bagimu.”

3:14 Dan prajurit-prajurit bertanya juga kepadanya: “Dan kami, apakah yang harus kami perbuat?” Jawab Yohanes kepada mereka: “Jangan merampas dan jangan memeras dan cukupkanlah dirimu dengan gajimu.”

Hendaklah masing-masing memberikan menurut kerelaan hatinya, jangan dengan sedih hati atau karena paksaan. —2 Korintus 9:7

Karunia Memberi

Seorang pendeta menerapkan pepatah “Hanyut dipintasi, lulus diselami, hilang dicari” (yang berarti, menolong orang yang kesusahan) dengan memberikan tantangan yang mengejutkan kepada jemaatnya. Ia berkata, “Bagaimana jika kita melepas baju hangat yang kita pakai sekarang dan memberikannya kepada orang-orang yang membutuhkan?” Kemudian ia melepas baju hangatnya dan menaruhnya di depan gereja. Puluhan jemaat pun mengikuti apa yang dilakukannya. Peristiwa itu terjadi pada musim dingin, sehingga hari itu mereka pulang dengan kurang nyaman karena hawa dingin yang menusuk tulang. Namun, bagi puluhan orang lain yang membutuhkan kehangatan, musim dingin itu menjadi lebih tertahankan.

Ketika Yohanes Pembaptis mengembara di padang gurun Yudea, ia memberikan peringatan keras kepada orang banyak yang datang untuk mendengarkannya. “Hai kamu keturunan ular beludak! . . . Hasilkanlah buah-buah yang sesuai dengan pertobatan” (Luk. 3:7-8). Kaget dengan ucapan Yohanes, mereka bertanya, “Jika demikian, apakah yang harus kami perbuat?” Yohanes menjawabnya dengan nasihat ini: “Barangsiapa mempunyai dua helai baju, hendaklah ia membaginya dengan yang tidak punya, dan barangsiapa mempunyai makanan, hendaklah ia berbuat juga demikian” (ay.10-11). Pertobatan sejati akan membuahkan kemurahan hati.

Karena “Allah mengasihi orang yang memberi dengan sukacita,” memberi seharusnya bukan didasarkan oleh perasaan bersalah atau terpaksa (2Kor. 9:7). Saat kita memberi dengan murah hati dan sukarela, kita akan mengalami bahwa memang lebih berbahagia memberi daripada menerima. —Tim Gustafson

Tuhan, terima kasih atas beragamnya cara-Mu dalam memberkati kami. Ampunilah kami yang sering meremehkan semua kebaikan-Mu. Tunjukkan kepada kami apa yang dapat kami gunakan untuk memberkati sesama hari ini.

Orang yang suka menolong akan ditolong juga. —Amsal 11:25 BIS

Bacaan Alkitab Setahun: 2 Samuel 12-13; Lukas 16

Mengapa Aku Selalu Menolak Pertolongan dari Orang Lain

mengapa-aku-selalu-menolak-pertolongan-dari-orang-lain

Oleh Kim Cheung, Tiongkok
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 只付出不接受的做法真的是上帝喜悦的么?

Beberapa hari yang lalu saat sedang makan malam, ayahku berkomentar tentang zaman yang telah banyak berubah. Dulu, biasanya atasan-atasan di tempat kerja itu peduli dengan pekerja di bawahnya. Ketika kakekku bekerja di sebuah perusahaan arsitektur, manajernya selalu mengunjungi keluarganya setiap tahun baru Imlek sambil membawa serta sejumlah uang dan menanyakan apakah keluarga kami membutuhkan sesuatu untuk dibantu.

Suatu ketika keluarga kami membutuhkan bantuan untuk membangun sebuah rumah, lalu manajer itu mengirimkan beberapa orang pekerja bangunan untuk menolong kami. Awalnya kakekku menolak bantuan itu. Bagi orang-orang pada masa itu, menerima pertolongan dari orang lain itu dianggap bisa menghilangkan “harga diri”.

Aku pikir keadaan hari ini pun tidak banyak berubah. Ada banyak orang yang ingin menolong orang lain tapi dirinya sendiri tidak mau ditolong.

Banyak dari kita diajar untuk tidak hidup egois. Kita diajar untuk memiliki hati yang tulus menolong tanpa mengharapkan balasan, dan itu sungguh mulia. Dulu aku juga berpikir seperti itu. Ketika aku masih sekolah, aku dengan senang hati menolong teman sekelasku. Tapi, sangat sulit bagiku ketika aku harus meminta pertolongan dari orang lain. Prinsip ini terus kupegang bahkan sampai aku lulus sekolah. Sebenarnya di lubuk hatiku terdalam aku tahu kalau aku butuh pertolongan. Namun aku tidak mau meminta pertolongan itu. Dan, ketika ada orang lain yang menawarkan pertolongan untukku dengan tangan terbuka, aku malah sulit untuk menerimanya.

Haruskah kita berlaku seperti itu? Apakah Tuhan berkenan jika kita menolong orang lain tapi kita sendiri tidak mau ditolong?

Tuhan mengajar kita untuk saling menanggung beban satu sama lain (Galatia 6:2). Alkitab juga mengingatkan kita bahwa di dalam Kristus kita semua adalah satu tubuh (1 Korintus 12:12-27). Tolong menolong baru bisa terjadi ketika ada dua pihak yang saling terlibat. Jika setiap orang menolak untuk ditolong, lalu siapa yang bisa kita tolong? Bagaimana kita bisa hidup dalam satu tubuh Kristus?

Ada rasa gengsi di balik penolakan pertolongan

Tuhan mau supaya kita menerima dan memberi dengan sukacita. Jadi, mengapa ada orang-orang yang sangat sulit untuk menerima? Kalau kamu bertanya padaku, aku akan menjawab kalau kesulitan itu terjadi karena rasa gengsi.

Kita seringkali tidak mau mengakui kelemahan-kelemahan kita. Dan salah satu yang kita lakukan agar kelemahan itu tidak dilihat orang adalah meninggikan ego dengan tidak mau menerima pertolongan orang lain. Aku menyadari hal ini ketika aku mulai berpikir lebih dalam tentang esensi dari memberi dan menerima. Rasa gengsiku adalah kelemahanku dan alasan utama di balik prinsipku untuk tidak mau menerima pertolongan.

Mempercayai Tuhan itu sulit ketika kamu menolak untuk ditolong

Kita sulit untuk mempercayai Tuhan seutuhnya ketika kita hanya mau memberi tanpa mau menerima. Tuhan mau supaya kita mengakui bahwa kita adalah ciptaan yang rapuh. Dan dari situlah kita bisa menanggalkan segala beban kita kepada Tuhan dan percaya kepada-Nya. Rasul Paulus mengatakan, “Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku. Karena itu aku senang dan rela di dalam kelemahan, di dalam siksaan, di dalam kesukaran, di dalam penganiayaan dan kesesakan oleh karena Kristus. Sebab jika aku lemah, maka aku kuat“ (2 Korintus 12:9-10). Bagaimana kita dapat berserah dan percaya kepada Tuhan seutuhnya jika kita menolak pertolongan dan bersandarkan hanya pada diri kita sendiri? Kita tidak bisa mengenal Tuhan seutuhnya jika kita tidak mengakui kerapuhan kita.

Aku ingat suatu masa ketika aku mengikuti sebuah persekutuan dengan beban hidup yang begitu berat. Saat itu aku merasa lelah dan tak sanggup lagi menanggung beban hidupku, tapi aku berpura-pura seolah aku baik-baik saja. Ketika tiba giliranku untuk membagikan kesaksian, aku berencana hanya akan berbicara hal-hal kecil saja. Namun, suara hati kecilku mengingatkanku kalau aku perlu datang di hadapan Tuhan dalam kebenaran. Hatiku luluh, aku menangis di depan teman-teman seimanku dalam Yesus. Aku mengakui bahwa aku butuh ditolong. Aku mengakui kalau aku tidak bisa mengandalkan kekuatanku sendiri.

Aku mengucap syukur karena Tuhan menegurku, mengizinkanku untuk melihat bahaya dari memupuk gengsi, dan mengizinkan aku untuk kembali membentuk imanku lewat persekutuan. Sekarang aku sering datang di hadapan Tuhan dalam keadaan tidak berdaya, memohon pertolongan-Nya. Aku tahu kalau aku tidak punya apa-apa. Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Jika bukan karena kekuatan Tuhan, setiap langkah yang kuambil tentu terasa sulit.

Aku juga mencari pertolongan dari saudara-saudara seiman dalam Kristus. Ketika masalah-masalah kehidupan menghampiriku, aku tidak hanya meminta mereka berdoa untukku, tapi aku juga meminta nasihat dari mereka. Kasih dan pertolongan dari saudara-saudara seiman telah memberkatiku dan menolongku untuk merasakan kasih setia Tuhan. Aku juga merasakan hubungan yang dekat dengan sesama anggota tubuh Kristus.

Terimalah pertolongan itu dengan sukacita

Ketika aku melepaskan segala gengsiku, tentu aku merasa lebih bebas. Aku bisa menerima pertolongan dari orang lain dengan sukacita. Aku tahu kalau aku punya kelemahan dan bukanlah manusia yang sempurna. Tapi, ketika aku berserah sepenuhnya kepada Tuhan, Dia yang memegang kendali atas hidupku. Ketika aku menaati kehendak-Nya maka di dalam kelemahankulah kuasa Tuhan akan dinyatakan.

Saudara-saudaraku dalam Kristus, Tuhan mau supaya kamu juga mendapatkan kebebasan ini. Apakah kamu mau untuk menanggalkan rasa banggamu supaya Tuhan bisa berkuasa?

Baca Juga:

4 Pertanyaan yang Perlu Dijawab Jika Kamu Jatuh Cinta pada yang Berbeda Iman

Aku telah beberapa kali menyukai laki-laki yang berbeda iman dan dua kali berpacaran dengan mereka. Lingkungan sosial membuatku secara alami mempunyai banyak kenalan laki-laki yang berbeda iman denganku. Aku bersekolah di sekolah negeri sejak taman kanak-kanak hingga kuliah. Oleh karena itu, mayoritas teman-temanku berbeda iman denganku.