Mengapa Aku Mengampuni Ayahku yang Adalah Seorang Penjudi

Oleh Raganata Bramantyo

Mengampuni itu mudah jika hanya dikatakan, tetapi sulit sekali ketika harus dipraktikkan. Benarkah begitu?

Di tahun 2012, rasa benciku kepada ayahku telah memuncak. Bagiku dulu, dia hanyalah seorang penjudi, munafik, dan sangat tidak layak disebut sebagai seorang ayah.

Suatu pagi ketika matahari masih belum terbit, dia pulang ke rumah dengan kondisi marah besar akibat kalah judi. Pikirannya penuh dengan amarah hingga ia memukul dan menendang banyak perabot rumah. Ibuku yang pagi itu tengah memasak pun tidak luput dari serangan amarahnya.

Sebagai anak lelaki, aku merasa muak untuk mendiamkan semua ini. Kuhampiri dirinya, kubanting pintu dapur yang kala itu tengah terbuka. “Aku tidak peduli tentang judimu, kalah atau menang itu pilihanmu. Tapi, bisakah pulang ke rumah tanpa membawa masalah dari luar?” Karena emosiku memuncak, nada bicaraku pun tinggi.

Bukan jawaban kata-kata yang kudapat, melainkan sebuah tinju yang dilayangkan padaku. Aku menghindar kemudian berlari keluar rumah. Kemudian serangkaian kata-kata kasar dan makian mengalir deras dari mulut ayahku. Hari itu aku merasa berada di titik kebencian tertinggi. Aku merasa tidak sudi memiliki ayah seperti itu.

Karena kondisi rumah yang mencekam, hari itu sejak pagi aku memutuskan untuk tidak pulang. Aku bersepeda tanpa tahu ke mana arah tujuan yang kutempuh, hingga akhirnya aku memutuskan untuk pergi ke gereja tempatku berjemaat. Hari itu bukan hari Minggu sehingga tidak banyak orang di sana. Aku menepikan sepedaku dan duduk di tangga, kemudian melamun selama berjam-jam.

Dalam lamunan itu aku masih mengingat kejadian yang baru saja terjadi pagi itu. Hatiku terasa semakin hancur ketika pikiranku memaksaku untuk mengingat kembali seluruh luka-luka yang pernah digoreskan oleh ayahku dalam keluarga. Aku menjadi semakin frustrasi karena perasaan itu seperti menekanku untuk masuk ke dalam jurang keterpurukan.

Hari itu seorang sahabatku datang, dan ketika ia menghampiriku ia hanya bertanya “Kenapa?” Setelah aku menjelaskan dengan terbata-bata, kemudian dia hanya merangkulku tanpa memberi nasihat apapun. Akhirnya di malam hari aku memutuskan untuk pulang ke rumah dan ayahku ternyata pergi berjudi kembali.

Keputusan untuk mengampuni

Malam itu, pikiranku berkecamuk. Di satu sisi aku begitu merasa sakit hati atas kejadian tadi pagi, tapi di sisi yang lain aku mempertanyakan kembali identitas diriku. Pada tahun 2004 aku telah mengikrarkan diriku lewat upacara baptisan bahwa aku dengan sungguh-sungguh akan mengikut Yesus. Namun, kejadian hari itu seolah hendak mengujiku apakah aku memang sungguh-sungguh meneladani Tuhan Yesus atau hanya sekadar menjadikan iman Kristenku sebagai agama yang tercantum di kartu identitas.

Saat aku berdoa memohon jalan terbaik dari Tuhan, yang terlintas di benakku hanyalah ayat-ayat mengenai pengampunan. Salah satu ayat yang waktu itu terlintas di benakku adalah Matius 18:21-22 yang tertulis: “Kemudian Petrus datang kepada Yesus dan bertanya, ‘Tuhan, sampai berapa kali aku harus mengampuni saudaraku jika ia berbuat dosa terhadap aku? Sampai tujuh kali?’ Yesus menjawab, ‘Aku berkata kepadamu, bukan tujuh kali, melainkan sampai tujuh puluh kali tujuh kali.”

Sesungguhnya ayat itu terdengar klise buatku. Rasanya setiap bulan, atau bahkan tiap minggunya aku sering mendengar ayat itu disebutkan dalam khotbah maupun sekolah minggu. Tapi, ayat yang terdengar klise itu sesungguhnya berbicara tentang inti dari iman Kristen, yaitu tentang mengampuni dan diampuni.

Akhirnya aku menyerah. Ayat yang terdengar klise itu menegurku dengan kuat hingga mulutku pun mengucap, “Tuhan, kalau memang aku harus mengampuni, beri aku kekuatan.” Aku tahu dan percaya Tuhan mendengar doaku saat itu. Perlahan aku mulai merasa tenang dan mulai memahami lebih jernih tentang kejadian yang terjadi pagi tadi.

Aku menyadari bahwa aku juga telah berbuat salah karena lebih mengedepankan emosi ketika berhadapan dengan ayahku yang juga sedang dirundung amarah. Alih-alih bersabar sedikit, aku memilih untuk membalas api dengan api hingga terciptalah konflik yang membakar. Yang harus aku lakukan sekarang adalah menyiramkan air kepada konflik yang terbakar itu, dan air itu adalah pengampunan.

Karena aku masih takut untuk bertemu muka dengan ayahku, malam itu aku mengirimkannya sebuah pesan singkat. “Aku minta maaf karena aku salah,” tulisku singkat, lalu kutekan tombol kirim. Malam itu entah mengapa aku merasa lega dan bisa tidur dengan damai. Esok paginya ketika aku bangun, ayahku masih tertidur di kamarnya. Ketika ia bangun, aku mendekati kamarnya dan mengatakan, “Aku minta maaf”. Dia tidak menjawab apapun seolah tidak menghiraukan kehadiranku.

Tapi, ketika aku mengatakan “maaf” kepadanya, sesungguhnya aku sedang membebaskan diriku sendiri dari belenggu dendam dan keegoisan. Waktu itu aku tidak peduli lagi dengan apa yang akan menjadi respons dari ayahku. Ada sukacita besar yang melingkupiku dan satu hal yang pasti adalah pengampunan itu membebaskanku dari rasa benci yang menekan jiwa.

Sesudah aku mengampuni

Sudah bertahun-tahun berlalu semenjak kali pertama aku mengampuni ayahku. Sekarang aku sudah bekerja dan tidak lagi tinggal satu rumah dengan ayahku. Memang keadaan tidak berubah banyak, bahkan hingga kini ayahku pun masih tetap berjudi.

Pengampunan seringkali tidak mengubah orang yang telah menyakiti kita, ataupun mengubah keadaan menjadi lebih baik. Tapi, satu hal yang harus kita ingat adalah dengan mengampuni, kita mengubah diri kita untuk menjadi semakin serupa dengan Tuhan Yesus.

Ketika Tuhan Yesus dihina dan disiksa dalam perjalanan-Nya ke Golgota, tidak sekalipun Dia mengucap sumpah serapah ataupun memaki-maki orang yang menganiaya-Nya. Alih-alih membalas dengan yang jahat, Tuhan Yesus malah berdoa untuk mereka yang telah menganiaya-Nya. Injil Lukas pasal 23:34 mencatat demikian, “Yesus berkata: “Ya Bapa, ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat.”

Sekarang aku tidak hanya dapat berdoa untuk ayahku supaya dia dapat mengenal Yesus, tapi perlahan aku mulai dapat berbicara kepadanya—sesuatu yang dulu mustahil kulakukan. Aku percaya bahwa pengampunan itu ibarat sebuah benih yang kita tanam. Ketika kita memelihara pengampunan itu untuk tumbuh, kelak itu pula akan berbuah. Ya, berbuah menjadi suatu hubungan yang damai.

Lewat kematian Tuhan Yesus di kayu salib, Dia membawa rekonsiliasi atau pendamaian kita dengan Allah. Dia mau supaya kita tidak lagi terpisah dari Allah karena dosa-dosa yang kita perbuat. Puji Tuhan, karena peristiwa kematian Yesuslah akhirnya kita beroleh sebuah hubungan pribadi yang dekat dengan Allah, hingga kita dapat memanggil-Nya sebagai Bapa.

Seperti Bapa telah mengampuni kita lewat kematian Yesus di kayu salib, di momen Paskah ini maukah kita mengikuti teladan-Nya? Maukah kita mematikan rasa egoisme kita dan melepaskan pengampunan kepada orang-orang yang telah melukai kita?

Pengampunan tidak terjadi dengan instan, jika hari ini kamu masih merasa berat untuk mengampuni, itu bukan berarti kamu tidak mampu mengampuni. Mintalah kepada Tuhan yang telah mengampuni kita terlebih dahulu untuk memberimu kekuatan untuk mengampuni.

Baca Juga:

Aku Tidak Lolos Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri, Haruskah Aku Kecewa?

Jika aku mengingat kembali masa-masa ketika aku mulai kuliah, semua yang kudapatkan saat ini hanyalah anugerah. Aku pernah berharap bisa kuliah ke luar negeri untuk mendalami dunia seni dan desain, atau setidaknya masuk di perguruan tinggi negeri. Untuk mewujudkan impianku itu, sejak SMA aku berusaha keras untuk mendapatkan nilai yang bagus. Tapi, ternyata Tuhan berkata lain.

Bagikan Konten Ini
7 replies
  1. Henry
    Henry says:

    Trimakasih, saya merasa terbantu dengan pengalaman saudara. Saya jg punya pengalaman yang serupa. Ibu saya slalu berpesan untuk selalu mendoakan ayah saya. Beberapa tahun diakhir hidup ayah saya, dia mengalami banyak perubahan, dari sikap dan kebisaannya berjudi. Sesaat sebelum dia meninggal dia berkata “saya sudah tidak akan berjudi lagi”.
    Saya percaya semua itu dapat terjadi karna keteguhan dan ketekunan doa ibu dan kami semua. Saya senang dan bangga pada ayah saya.
    Tuhan sungguh baik.
    TYM

  2. Nadya
    Nadya says:

    Trimakasih,, saya merasa tenang membaca kalimat bahwa mengampuni adalah membebaskan diri kita dari rasa benci. tapi kenapa saat saya sudah menganggap bahwa telah mengampuni, dan kemudian ketika orang itu menyakiti saya lagi, saya merasa benci lagi. Perasaan saya untuk memaafkannya hanyalah ketika dia tidak menyakiti saya?? Bagaimana caranya agar saya benar” bisa mengampuni dan agar saya tidak disakiti lagi oleh orang yg sama?? Trimakasih.

  3. Tumbur Sirait
    Tumbur Sirait says:

    pengalaman yg saudara bagikan sangat persis dengan keadaan dirumah, ayah saya selalu marah2 kalo pulang dari warung tuak, main judi juga mau seperti blakangan ini. bertahun tahun kami mengajaknya untuk ikut beribadah setiap hari minggunya tapi tidak mau bahkan makin parah. lewat masalah itu saya sangat membenci ayah saya apalagi sekarang ini saya belum mendapatkan pekerjaan ayah saya tidak mau mencakapi saya. pergumulan saya saat ini sangat berat, saya mohon doa kepada saudara” yg ada disini agar ayah saya dan juga dibawa kedalam doa saudara/i sekalian biar mujizat Tuhan mengampuni dan memulihkan hubungan kami dan juga perbuatan kami. Terpujilah Tuhan ditempat maha tinggi, Syalom.

  4. Lastiur sihombing
    Lastiur sihombing says:

    terimakasih buat artikel ny.
    artikel ini sangat menolong saya dalam mengampuni org-org yg telah mnyakiti saya. Dan membuat saya belajar untuk mau minta pengampunan terlebih dahulu.
    Bersyukur kpd Tuhan artikel ino boleh dipakai untuk membantu org lain.
    GBU

  5. Dan
    Dan says:

    Karena kamu adalah anak Tuhan Yesus. Apa yg diajarkan Bapa kepadamu? Kasihilah orang yg menyakitimu, doakanlah orang yg berusaha membunuhmu. Karena Bapa di Surga membawa keselamatan dengan kasih, karena kasihlah Tuhan Yesus rela disalibkan di kayu salib sebagai tanda begitu besar kasihNya kepada umat manusia yg percaya. Judi dan Mabuk adalah penyakit bapak-bapak di dunia belahan manapun itu, apakah Bapa mu di Surga pernah mengajarkan lawanlah orangtuamu yg pemabuk? tapi Bapa mu di surga katakan Hormatilah orangtuamu supaya lanjut umurmu, di tanah yg diberikan Tuhan kepadamu. Apakah Api dipadamkan dengan Api? Kamu itu anakNya Bapamu di Surga, Bapamu di Surga mengajarkan kasih yg lembut. Jika kamu mau memadamkan Api, siramlah dengan air yg dingin. Jika kamu mau memotong batu, cobalah ke sungai lihatlah batu dikikis oleh air. Hadapilah bapak-bapak yg hobi mabuk dan judi dengan iman. Contohnya buatlah persekutuan doa ketika orangtuamu dirumah, jangan dipaksa ikut, biarkan orangtuamu melihat persekutuan doa. Ketika orangtuamu dirumah, dengarkanlah musik-musik rohani, ketika minggu pagi datang, cobalah ajak orangtuamu beribadah di gereja, jika tidak berhasil coba lagi, coba lagi sampai mau. Cara yg terakhir, berdoalah, undanglah Kuasa Tuhan menjamah orangtuamu yg hobi mabuk dan judi. Tuhan Yesus pasti menjawab doamu, teruslah berdoa, karena pengharapan yg tekun adalah buah dari imanmu yg bertumbuh. Tuhan Yesus memberkati

  6. Winjyp
    Winjyp says:

    Blessed, Mengampuni tidak terlalu sulit. Tapi bagi saya, merubah seseorang adalah yang paling sulit. Sampai sekarang saya masih belajar untuk terus bertumbuh, agar papa saya dapat melihat saya dan berubah, untuk lebih mengenal Yesus. Gbu.

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *