Posts

Rumah Bapa Adalah Rumah Pengampunan

Oleh Ernest Martono, Jakarta 

Dalam kurun waktu dua minggu, kami menyulap sebuah hotel menjadi ‘rumah’. Hotel itu berada di Jakarta Utara dan kami sewa untuk sebuah acara besar yang pesertanya berasal dari mancanegara. Ratusan kamar menampung tamu hampir seribu orang. Pengamanannya pun cukup ketat sebab setiap penghuni kamar diwajibkan memakai penanda identitas dan bagi yang tidak memakai akan ditanya-tanya oleh petugas. Tak ada tamu lain di hotel itu selain kami; para peserta, panitia, tim, pekerja hotel, dan relawan sepertiku. 

Aku dan tim relawan yang lain bertugas membantu kebutuhan setiap peserta. Kami mendengar, mengarahkan, menemani, dan melayani dengan kemampuan bahasa Inggris kami yang terbatas. Namun, itu tidak menyurutkan sukacita kami untuk melayani teman-teman seiman dari berbagai macam suku, bangsa, dan negara. Kami saling bertukar cerita, bahasa, dan kebudayaan. Kebersamaan selama dua minggu itu segera menciptakan ikatan antar kami semua. Termasuk dengan pekerja hotel yang siap sedia menjawab kebutuhan kami akan makan dan tempat istirahat. Kami tidak pernah kekurangan makanan, bahkan seringkali bersisa. Setiap hari kamar kami dibersihkan. Bayangkan setiap malam ketika kami kembali ke kamar setelah sesi yang panjang, kami menemukan lantai kamar kami sudah bersih dan wangi. Selimut sudah terlipat baru dan siap dipakai. Salah seorang teman kami berkata, “sudah seperti pulang ke rumah,” ketika dia kembali ke hotel setelah sejenak berkunjung ke kantor. 

“Seperti pulang ke rumah…” 

Perkataannya mewakili perasaanku juga. Selama di hotel aku mengalami feels like home. Aku mulai menganalisa mengapa aku bisa merasa seperti itu meskipun aku tahu ini bukanlah rumahku. Kutemukan semua kenyamanan ini membuatku terlena dan kerasan alias betah. Di hotel, aku dimanjakan. Aku tidak merasa kekurangan apapun. Aku tidak perlu memikirkan harus makan apa dan bagaimana mendapatkannya karena semua sudah ada yang memikirkan dan menyiapkannya. Aku tidak perlu merasa takut karena ada satpam hotel yang akan menjamin tidak akan ada orang asing yang masuk. Memang aku di situ hadir sebagai pelayan, tapi aku juga dilayani oleh pelayanan temanku di divisi lain. Kami saling melayani.

Jika memang semua itu membuatku merasa berada di rumah, bagaimana dengan Tuhan yang juga memberikan kepadaku hal yang sama? Aku mulai merenung apakah aku bisa menganggap Tuhan sebagai rumahku? Aku pun berpikir apakah aku kerasan dan terlena dengan semua kebaikan Tuhan? Bukankah Tuhan juga merawat, memelihara, melayani, dan memperhatikan setiap kebutuhan hidupku? Bahkan lebih dari itu Tuhan memberikan sesuatu lebih daripada sekedar kenyamanan yang dicari-cari manusia. 

Aku teringat sebuah kisah perumpamaan di dalam Alkitab. Kita sudah tahu kisahnya ketika anak bungsu memilih pergi dari rumah dan menghancurkan hidupnya sendiri. Di dalam perjuangannya mempertahankan hidup, satu hal yang dia ingat adalah rumah bapanya.

“Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa.” (Lukas 15:17-19).

Anak bungsu yang kelaparan ini harus berebut makanan dengan babi. Tentu ini adalah kondisi yang jauh berbeda dengan diriku yang berada di hotel saat itu. Namun, satu hal yang aku pelajari, anak bungsu ini ingat bahwa di rumah bapanya makanan begitu berlimpah. Dia lantas kembali ke rumah bapanya untuk mendapatkan makanan dan sekadar mencari penghidupan yang sedikit lebih layak.

Namun, sesampainya di rumah, ternyata sang bapa memberikan hal yang jauh lebih baik dari yang bisa dia minta dan bayangkan. Sang anak bungsu diberikan sebuah pesta dan segala kebutuhannya dipulihkan. Satu hal yang tidak boleh luput dari mata, di balik semua sukacita itu, sang bapa telah memberikan pengampunan pada anak bungsu. 

Mengingat kisah ini, memang benar Tuhan, yang kita sapa sebagai Bapa, merawat dan memelihara hidup kita. Rumah Bapa penuh dengan segala bentuk pemeliharaan yang kita perlukan. Memikirkan itu saja sudah membuat sukacita. Apalagi ketika kita tahu bahwa di rumah Bapa ada pengampunan. Penuh dengan kasih Bapa yang mengampuni.

Kembali lagi aku bertanya pada diriku sendiri, apakah Tuhan merupakan rumah untukku? Memang benar aku sebagai manusia berdosa bisa saja lari menjauh dari Tuhan. Aku bisa “pergi jauh” dan “keluar rumah” dalam waktu lama. Terkadang aku begitu enggan datang kembali kepada Tuhan sekalipun kondisi hidupku sudah sama seperti anak bungsu dalam perumpamaan. Sudah tidak karuan, tidak punya harapan, dan bisa saja pelan-pelan mati dalam kesengsaraan. Namun, kisah ini mengingatkanku  bahwa, “Di rumah Bapaku penuh dengan pengampunan.” 

Kisah ini mendorongku untuk terus kembali berani pulang ke rumah bapa sekalipun aku sudah pergi terlalu jauh. Sudah berdosa terlalu dalam. Sudah berkali-kali keluar masuk ke dalam rumah pengampunan itu. Oleh karena aku membutuhkan pengampunan itu jauh lebih daripada makanan yang berlimpah. Pertanyaan yang terus akan aku ulang dalam hatiku, apakah aku merasa Tuhan adalah rumah bagiku? Apakah aku feels like home ketika berada di sisi-Nya?

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Suatu Sore, Saat Aku Pulang Kampung

Sebuah cerpen oleh Santi Jaya Hutabarat

Dret! Dret! Dret! Aku membiarkan ponselku terus bergetar.

Entah panggilan keberapa yang kulewatkan di hari ini. Panggilan berulang dari Ito, adik perempuanku.

Tadi malam, ia masih saja berusaha membujuk aku pulang. Padahal sudah beberapa kali kukatakan, aku tidak pulang Natal tahun ini. Ya, pulang. Kembali ke rumah setelah sekian lama merantau menjadi hal asing bagiku sejak papa menikah lagi.

Ito memintaku pulang agar bisa ziarah ke makam mama untuk merayakan kelulusannya.

“Sudah lima tahun abang tidak kumpul dengan kami. Nggak kangen ya?” tanya Ito dari seberang.

“Nanti pulang nyekar, kita sama-sama merayakan kelulusanku. Tante Yose jago lho masak ayam pinadar kesukaan abang” sambungnya.

Aku diam saja, tidak mengiyakan, tidak pula menolak.

“Aku tahu abang enggan pulang karena ada tante Yose dan Yosafat di rumah, tapi kali ini pulang ya. Please!!” terdengar nada memelas dari Ito.

“Abang coba ajukan cuti ya, kan masih pandemi,” aku mencari alasan menutup pembicaraan.

Lima kali merayakan Natal dan tahun baru di perantauan biasanya aku habiskan di kosan. Meski hanya 55 menit naik pesawat, aku malas pulang. Padahal saat kuliah, tidak jarang aku mengalami homesick, rindu rumah dan mau pulang. Now, it doesn’t feel like home anymore.

Belum setahun kematian mama, papa memutuskan menikah lagi dengan Tante Yose, single parent 1 anak, teman sekantor papa. Agar ada sosok mama yang mengurus kami katanya.

Aku menentang rencana papa, aku merasa papa hanya memikirkan kepentingannya. Lebih dari itu, aku sulit menerima ada yang menggantikan mama.

Aku tidak siap menerima orang baru di rumah, apalagi jadi pengganti mama. Meski sudah beranjak dewasa, rumor kengerian hidup bersama ibu tiri pun mengganggu pikiranku. Lagipula, aku menaruh sedikit curiga kalau papa dan tante Yose sudah mulai berhubungan saat mama masih hidup.

“Bagaimana mungkin bisa menggantikan mama secepat itu,” batinku membenarkan.

Aku kecewa dengan keputusan papa. Menurutku, papa harusnya mendampingi aku yang masih berduka dengan kematian mama.

Setahun berlalu hidup dengan tante Yose dan anaknya di rumah kami, aku akhirnya punya alasan meninggalkan rumah. Meski gaji dan posisinya belum sesuai harapanku, aku menerima tawaran jadi asisten guru di tempat temanku mengajar.

Sejak hari itu, hubunganku dengan papa semakin berjarak. Aku memang terus berkabar dengan Ito, tapi tidak dengan papa.

“Bang, jadi pulang kan?” Ito menanyai lagi dari chat.

Aku mengirimkan capture tiket yang aku pesan setelah mendapat izin pulang dari tempatku bekerja.

Aku akhirnya memutuskan pulang, hitung-hitung jadi hadiah wisuda untuk Ito. Rencananya, aku akan tiba sehari sebelum Natal dan langsung ke makam mama. Ikut ibadah perayaan Natal sekaligus syukuran wisuda Ito di tanggal 25 lalu langsung balik esok harinya. Aku tidak ingin berlama-lama di sana. Syukur-syukur kalau Ito mau kuajak tahun baruan di Medan.

Can’t wait to see you soon brother,” ketiknya disertai foto selfie di depan rumah.

Aku melihat beberapa gambar serta papan penunjuk nama pantai atau pulau tempat wisata di sepanjang perjalanan menuju rumah dari bandara. Sibolga merupakan pesisir yang membentang antara utara dan selatan, tidak heran jika tanah kelahiranku ini memiliki banyak pantai dan pulau yang memukau.

Hari belum terlalu siang saat aku tiba di rumah. Papa, Ito, Tante Yose, dan Yosafat sudah berdiri menyambutku di teras. Meski sedikit canggung, aku menyalam mereka. Kuserahkan juga kardus berisi Bika Ambon oleh-olehku.

“Kamu makan dulu ya mang, tante Yose sudah masak ayam pinadar untukmu,” ujar papa.

“Nanti aja pa,” balasku datar.

“Ito, berangkat yuk. Biar bisa lama-lama di sana” ajakku mencari celah menghindari kikuk yang kurasa.

“Daud mau langsung ke makam mama ya?” Tanya Tante Yose.

“Perlu ditemani? Di hari Ibu kemarin, kami sudah kesana sekalian bersih-bersih tapi…”

“Aku sama Ito aja.” Ucapku memotong Tante Yose.

Ito mengeluarkan sepeda motornya lalu kami berboncengan menuju makam mama.

Di sana, air mata tak bisa kubendung. Aku menangis sejadi-jadinya. Duka beberapa tahun silam rasanya terulang lagi.

Ito sepertinya lebih tenang dariku, meski sesekali kudengar ia sesenggukan.

Kenangan tentang mama memenuhi pikiranku. Terlebih masa-masa pengobatannya. Gagal ginjal dengan risiko tinggi terkena serangan jantung membuat mama harus cuci darah, setidaknya satu kali setiap tiga minggu. Kami tidak tahu mengapa tensi mama bisa sampai di angka 160/100 mmHg di hari itu. Saat itu, Ito yang menemani papa membawa mama ke rumah sakit. Besoknya papa menelepon memintaku pulang, karena mama sudah berpulang.

Di pusara mama, selama beberapa waktu aku dan Ito duduk tanpa bicara.

“Bang, kita sudah boleh pulang? Aku ada kegiatan untuk persiapan ibadah nanti malam di gereja.” Tanya Ito menepuk pundakku.

Aku mengangguk sembari mengusap air mataku.

“Langsung mandi ya, biar segar.” Kata papa, saat aku dan Ito sampai di rumah.

Ito mengantarku ke kamar. Ruangan yang dulu kutempati itu tidak banyak berubah.

“Bang, sudah selesai mandi kan? Aku tunggu di meja makan ya.” Seru Ito mengetuk pintu.

Saat itu sudah hampir jam 3 sore, aku menghampiri Ito di meja makan. Kami sempat bercerita meski sebentar.

Bosan bermain gawai setelah ditinggal Ito, aku berjalan mengelilingi rumah. Setiap sudut rumah membawaku pada kenangan saat mama masih ada. Tak lupa aku menuju taman belakang. Aku melihat masih ada beberapa jenis tanaman herbal yang dulu dipakai untuk pengobatan mama di sana. Sepertinya papa menambahkan gazebo kayu di sudutnya. Aku berjalan kesana dan duduk bersandar di tiangnya.

“Mungkin bagimu terlalu cepat atau papa seharusnya tidak usah menikah lagi, tapi sudah lama papa menunggu kepulanganmu. Seperti kehilangan mama, papa juga sedih saat kamu meninggalkan rumah. Ia sering menanyai kamu pada Ito.” terangnya.

Aku masih terdiam mencerna kata-kata Tante Yose.

I am really sorry, Daud. Tante minta maaf untuk semua hal yang sulit tante jelaskan, terkhusus tentang pernikahan kami.”

I feel blessed through our wedding and I thank God for my new family.

Aku mendengar suara Tante Yose bergetar di pernyataannya yang terakhir.

Aku tidak bersuara sama sekali. Aku sibuk mempertanyakan banyak hal dalam hatiku.

Adakah berkat Tuhan hadir untukku? Should I thank God for all these, like she does?

Dulu, duka kematian mama masih menyesakkanku saat aku juga harus kembali kecewa dengan pernikahan papa. Lalu, di mana Tuhan saat ini semua terjadi?

“Oh iya ini sudah lewat jam 5, kamu ikut ibadah Malam Natal kan, mang? Ibadah memang mulai jam 8, tapi biasanya ramai, karena banyak anak rantau sepertimu yang hadir.” Tante Yose mengingatkanku.

Aku meringis, tidak nyaman mendengar panggilan Tante Yose. Di tempatku, kadang orang Batak Toba memanggil anak lelakinya amang atau mang.

Aku kembali ke kamar meninggalkan Tante Yose tanpa kata, namun di hati aku terus menimbangi yang ia sampaikan.

Kuputuskan untuk tidak ikut ibadah. Hati dan pikiranku masih kacau. Kususun pakaian yang kubawa tadi di lemari. Tidak sengaja aku melihat tumpukan file-file lamaku. Ada rapot, buku tahunan saat kuliah dan beberapa berkas penting lainnya.

Aku terdiam melihat surat katekisasiku saat SMA. Aku membaca ayat alkitab yang menjadi peneguhan sidiku.

“Inilah perintahKu, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu,” (Yohanes 15:12).

Awalnya aku merasa ini hanya kebetulan atau karena aku lagi mellow. Namun aku coba membacanya kembali, merenungkan setiap kata demi kata.

Dulu saat peneguhan sidiku, papa dan mama membuat acara kecil-kecilan, mengundang beberapa kerabat. Ada juga penatua gereja yang sengaja diminta mama menjelaskan ayat peneguhan sidiku, katanya agar lebih kena di hati.

“Mengasihi, hal yang sering kita dengar bukan? Bentuk nyatanya juga banyak ya.” Penatua itu memulai penjelasannya.

Penuturannya ia lanjutkan dengan bercerita tentang penentuan ayat peneguhan sidi. Konon, pendeta akan berpuasa dan mendoakan si calon penerima sidi lalu membuka Alkitab dan menunjuk satu ayat dengan mata tertutup. Ayat yang ditunjuk akan menjadi ayat peneguhan sidi dari nama yang didoakan.

“Saat ini, kita belum tau bagaimana kehidupan Daud selanjutnya. Bisa jadi merantau, bertemu orang baru atau tetap tinggal di sini bersama orang-orang yang sudah dikenal. Ke depan, suasana dan mereka yang kamu temui bisa saja berganti, namun kasih-Nya bagimu tidak akan berubah. Ia mengasihimu dan dengan kasih-Nya itu juga, Daud diminta untuk selalu mengasihi ya nak,” tutupnya menepuk pundakku.

Aku memalingkan pandanganku ke luar jendela, berusaha menepis pikiranku. Hatiku berdebar tidak karuan. Aku lama termenung.

“Mengasihi sebagaimana aku dikasihi-Nya,” batinku mulai menyerah.

Aku mengingat kembali hari-hariku sejak kepergian mama. Aku mengakui saat itu aku hanya sibuk dengan pikiranku sendiri, hanya peduli pada lukaku sendiri. Aku lupa bahwa benar aku kehilangan mama tapi tidak dengan Tuhanku (Mazmur 27:10).

Perlahan, aku merasa Tuhan sedang menjelaskan kalut yang kurasa. Ia sepertinya menjawab aku yang meragukan penyertaan-Nya. Padahal, sebelum dan setelah kematian mama sekalipun, Tuhan tetap ada untukku. Kasihnya mengalir melalui orang-orang yang kutemui di perantauan bahkan lewat tante Yose dan Yosafat yang menemani papa dan Ito selama aku meninggalkan rumah.

Aku juga menyalahkan papa untuk semua hal yang terjadi bahkan tante Yose dan Yosafat. Aku alpa menyadari kalau papa juga berduka dan perlu dukungan. Harusnya aku belajar menerima keputusan papa dan tetap mengasihinya sebagaimana ia tetap ada bagiku. Terlebih dari itu karena Tuhan juga sudah dulu mengasihiku (1 Yohanes 4:19).

Dari depan, aku mendengar derit pintu, aku segera keluar kamar. Ternyata ada papa dan tante Yose yang akan berangkat ibadah.

“Eh, kamu ikut ibadah mang?” tanya tante Yose tersenyum kearahku.

Aku langsung memeluk papa dan tante Yose dalam diam dengan tubuh gemetaran. Kurasakan damai yang tidak bisa dideskripsikan saat di dekapan mereka.

Ahk, rasanya aku beruntung bisa memiliki sore tadi, suatu sore saat aku memutuskan pulang kampung.

Thank God, I found my way back home,” gumamku penuh syukur.

Soli Deo Gloria

Cerpen: Memaafkan Papa Mengikuti Teladan Bapa

Oleh Santi Jaya Hutabarat, Medan

Aku menghela napas panjang mendengar keputusan mama. Permintaannya kali ini sungguh di luar dugaanku.

“Kak, kamu harus menemui papamu dulu, baru kamu bisa pergi sama Daniel!” tegas mama.

“Mama, please! I just need you and I am happy,” pintaku sedikit memelas.

“Sere, you will walk the aisle with papa,” ujar mama meyakinkanku.

“Udah deh, Ma! Banyak kok pengantin perempuan yang nikah nggak digandeng sama papanya. Lagian aku bisa meminta Daud atau Natan yang mengantarku berjalan menuju altar.”

Akhir Februari nanti, aku akan menikah dengan Daniel, pria yang kukenal lewat kegiatan kemanusiaan yang diinisiasi yayasan tempatku bekerja. Meski baru dua tahun menjalin relasi, kami telah lama berteman. Daniel sudah mengenalkanku pada orangtuanya dan dia juga sudah bertemu dengan mamaku. Mama tidak keberatan dengan rencana pernikahan kami. Hanya, mama memintaku untuk terlebih dulu menemui papa, pria yang meninggalkan kami 20 tahun silam karena terlilit utang.

Kisah kelam papa terjerat utang dimulai dari iseng-iseng mencoba judi togel, jenis judi berupa permainan taruhan menebak angka. Awal-awal bertaruh, nominal uangnya masih kecil. Tapi, seiring papa merasa penasaran dan tertantang, jumlah uang yang ditaruhkan makin besar. Dari sepuluh ribu, dua puluh ribu, terus naik sampai barang-barang berharga dijual tanpa persetujuan mama. Saat kecanduannya tidak terkendali, rumah kami pun digadaikannya. Ketika harta yang tersisa makin menipis, utang jadi solusi yang dipilih papa. Sikap tamak papa itu turut menyulut api konflik dalam keluarga kami. Pertengkaran antara papa dan mama tidak terelakkan, padahal sebelumnya kehidupan rumah tangga mereka baik-baik saja. Papa menjalankan usaha rental mobil yang telah dirintisnya sedari lajang dan mama bekerja sebagai guru dengan gaji tetap. Penghasilan yang mereka dapatkan setiap bulannya selalu cukup untuk kelangsungan hidup keluarga kami.

Merasa malu dan penat menghadapi orang-orang yang datang menagih utangnya, papa mengajak mama pindah. Ia bermaksud membawa kami pulang ke kampung halamannya, tapi mama menolak ide itu. Pertengkaran mereka pun terulang.

Saat itu usiaku masih sepuluh tahun. Aku tidak tahu banyak tentang biduk rumah tangga, terlebih cara untuk menghentikan pertengkaran antara papa dan mama. Aku hanya diam menyaksikan mereka bertengkar. Satu-satunya hal yang kutahu di momen itu adalah papa akhirnya pergi tanpa kami. Ia meninggalkan mama dengan utang judinya yang berserak. Aku tak mengerti mengapa papa sanggup meninggalkan aku dan kedua adikku begitu saja.

“Kalian sudah lama tidak bertemu. Pergilah! Papa pasti rindu melihatmu,”sambung mama.

Otakku mencerna perkataan mama. “Aneh! Kalau benar papa rindu, tentu dia datang menemuiku.” Sekilas rekaman kenangan pahit di masa kecil itu kembali terbayang di benakku. Perginya papa secara tiba-tiba telah mengecewakanku, dan bagiku dia itu tak ubahnya bak seorang pengecut.

“Kak, ia tetap papamu. Perginya papa dari kita tidak akan mengubah statusmu sebagai anaknya. Kasih papa kesempatan menemanimu di momen itu,” suara mama bergetar.

Banyak jeda dalam percakapanku dengan mama. Aku bingung dengan langkahku selanjutnya. Meskipun nasihat mama terasa baik, tapi aku tidak siap bertemu papa. Atau lebih tepatnya, aku tidak ingin menemuinya.

Di tengah keheningan diskusi kami, ponselku tetiba berdering. Daniel meneleponku. Momen itu menyelamatkanku dari kebuntuan percakapan dengan mama. Kuraih ponselku dan berjalan menuju kamar.

“Ayolah sayang. Selagi papa masih hidup. Mau sampai kapan kamu membenci papa?” Dengan lembut Daniel membujukku mengikuti saran mama.

“Aku sudah memaafkan papa kok! Tidak menemui bukan berarti benci kan?” timpalku membela diri.

“Aku akan menemanimu.”

“Aku nggak tahu!” dengan ketus kututup telepon kami.

Aku merebahkan badan di kasur, berharap bisa segera terlelap. Hingga pukul 1 dini hari, mataku tidak juga terpejam. Beragam imaji pertemuanku dengan papa lalu-lalang di pikiranku. Aku tidak tahu jam berapa akhirnya aku pulas sampai akhirnya pagi ini aku terbangun karena mendengar mama memanggilku dari ruang makan. Di hari Minggu, kami biasanya menyantap mie gomak dengan kuah santan yang dibeli dari warung kecil di ujung gang. Penjualnya kami panggil inang. Andaliman yang menjadi rempah andalan pada kuah dan sambalnya memberi sensasi getir pada lidah. Rasanya semakin mantap bila ditambah bakwan dan gorengan lainnya.

Suasana kaku tadi malam telah mencair. Salah satu anugerah yang kusyukuri ialah meski tanpa kehadiran papa, keluarga kami bisa tetap kompak. Sembari menikmati sarapan, kami bercerita ngalor-ngidul. Kami menggoda Natan, adik bungsuku, yang kemungkinan akan wisuda online di masa pandemi ini. Tawa kami juga lepas saat Daud menceritakan siswa-siswanya yang lucu dan polos. Saat ini adikku yang kedua itu bekerja sebagai guru mengikuti jejak mama. Aku pun berbagi keseharianku sebagai pekerja di salah satu cabang perusahaan nirlaba yang berpusat di luar negeri. Mama juga tentu tidak ketinggalan. Ia bercerita tentang hal-hal yang ia lakukan untuk mengisi masa pensiunnya.

Cerita terus berlanjut dengan ragam topik yang tidak terencana. Bermula dari sarapan, hingga tiga jam berlalu tanpa terasa. Kami mengakhiri obrolan itu. Aku kembali ke kamar, beres-beres sebelum mengikuti ibadah live streaming di sore nanti.

Dret! Dret! Dret! Ponselku bergetar. Daniel mengirimi aku chat.

“Kamu pasti bisa membuang semua kepahitan itu. Kamu berdoa dulu. Tuhan akan menuntunmu. Happy Sunday sayang!” kirimnya disertai emotikon berbentuk hati.

Membaca pesan itu, aku tertegun. “Benarkah aku menyimpan kepahitan pada papa? Sejak kapan kekecewaanku berubah menjadi kepahitan?” batinku.

“Doakan aku ya,” balasku.

Hari-hari terus bergulir. Rencana hari pernikahanku semakin dekat. Aku harus segera menemui papa.

Kendati di awal aku hanya ingin menyenangkan mama, tapi secara pribadi aku juga ingin memperbaiki relasiku dengan papa. Rasanya sudah terlalu lama aku selalu merasa benar dengan menyimpan kekecewaanku pada papa. Kepedihan di masa silam itu membuatku menjadi benci pada papa dan sulit mengingat hal-hal baik yang pernah ia lakukan untuk kami. Perasaan sakit hati itu awet bertahun-tahun membebaniku tanpa solusi. Aku merasa kebencian itu seperti racun yang menghancurkan dari dalam, menghasilkan kepahitan yang menggerogoti hati dan pikiranku. Rasul Paulus dalam Ibrani 12:15 juga sudah menyatakan hal itu. Aku membenarkan chat Daniel tempo hari. Aku menyadari pengalaman masa lalu itu ternyata menjadi “akar pahit” yang membuatku kehilangan sukacita setiap kali mengingat papa. Aku mungkin kecewa dan memutuskan tidak ingin menjalin relasi lagi dengan papa. Tapi, aku sadar kepahitan itu membuat batinku tidak nyaman. Aku harus segera membuangnya.

Karena lama tak pernah berjumpa ataupun mengobrol, aku tak punya kontak papa, tapi papa punya akun media sosial. Perasaanku campur aduk: ragu, takut, sedih, rindu menjadi satu. “Pa, bisa ketemu tanggal 12 Februari nanti? Aku akan ke Siantar,” ketikku singkat

Tidak berselang lama setelah pesanku terkirim, papa menghubungiku. Aku menjawab panggilan itu dengan canggung. Tidak banyak yang kami bicarakan. Aku dan papa hanya menyepakati waktu dan tempat kami bertemu. Aku tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaanku saat mendengar suara papa setelah sekian lama. Suara di seberang telepon itu masih sama seperti suara yang kukenal puluhan tahun lalu. Suara yang berat tapi lembut. Suara yang sejatinya kurindukan tetapi sekaligus juga pernah kubenci dengan sangat. Hari itu aku merasa hatiku menikmati kelegaan yang Tuhan anugerahkan. Aku pun sedikit memahami kata-kata keras mama: bagaimanapun juga, dia adalah papaku. Ikatan batin dan biologis antara ayah dan anak tetaplah ada tak peduli seberapa kelam kisah perpisahan itu terjadi.

Sekitar jam sepuluh pagi di hari Jumat, aku naik bus dari Medan. Kutolak tawaran Daniel yang ingin mengantarku. Tiga jam berselang, aku tiba di Kopi Kok Tong. Papa sudah menungguku di sana.

Aku memasuki kedai yang sudah beroperasi hampir seabad itu. Aroma seduhan kopi mengepul di ujung penciumanku. Bau itu seakan membuat hatiku semakin tidak karuan. Aku masih tidak percaya kalau aku akhirnya menemui papa.

Degup jantungku semakin kencang saat melihat pria yang duduk di sudut kedai itu. Wajahnya tidak banyak berubah meski kini tampak ada kerutan dan kelopak mata yang sudah mengendur. Ia mengenakan celana jeans dipadu dengan kaos merah tua berkerah. Pria itu papaku!

Kutarik nafas dalam-dalam lalu menghampirinya.

“Apa kabar pa?” sapaku terdengar kaku.

Papa tidak segera menjawabku. Ditariknya kursi di depanku, lalu dipersilakannya aku duduk.

“Daniel pria yang baik,” ucapnya sembari menorehkan senyum tipis ke wajahku. “Ia sepertinya menyukai anak-anak ya.”

Aku terdiam. Wajahku menyiratkan tanda tanya, mengapa papa bisa tahu tentang Daniel ketika aku sendiri tidak pernah menceritakannya pada papa.

“Mama kamu yang memberitahu papa soal Daniel,” jawab papa memecah diamku. “Papa akan hadir di pernikahan kalian, Maafkan papa ya kak. Papa senang bisa ketemu kamu.”

Jawaban lirih itu menghantam hatiku, mengaktifkan kedua kelenjar air mataku. Tangis sesenggukan pun pecah. Dengan spontan kurekatkan tubuhku pada papa. Kurasakan hangat tubuhnya, sehangat pertemuan kami siang itu yang menghancurkan kebekuan yang telah terbangun bertahun-tahun.

Pertemuan kami tidak berlangsung lama, tapi aku yakin ini menjadi awal yang baik untuk memulihkan hubunganku dengan papa. Saat aku belajar memaafkan papa, di situlah aku sedang belajar pula untuk meneladani kasih Bapa (Efesus 4:31-32). Sebab Bapa adalah kasih, dan oleh kasih-Nya pula aku dimampukan untuk mengasihi, bahkan kepada orang yang seharusnya tidak terampuni.

Soli Deo Gloria.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Mengasihi dan Mendoakan Musuh: Antara Perintah dan Kasih

Aku sempat memiliki kepahitan terhadap teman sepelayananku. Berkali-kali aku bicara tentang keberatanku padanya, berkali-kali juga argumen-argumen pembelaan membentengi dirinya.

Mengasihi dan Mendoakan Musuh: Antara Perintah dan Kasih

Oleh Antonius Martono

Lebih mudah mana mendoakan atau mengasihi musuh? Mungkin keduanya adalah hal yang sama-sama sulit. Namun, bagiku pribadi dulu, mendoakan musuh terasa lebih mudah daripada mengasihinya. Setidaknya itu yang pernah kualami.

Aku sempat memiliki kepahitan terhadap teman sepelayananku. Saat itu aku melihat dia sebagai orang yang keras kepala dan kurang bertanggung jawab. Selain itu sikapnya yang cuek makin menambah kemarahanku. Berkali-kali aku bicara tentang keberatanku padanya, berkali-kali juga argumen-argumen pembelaan membentengi dirinya. Seolah-olah segala sesuatu baik-baik saja, tidak menyadari kalau sikap dia telah merepotkanku dan rekan sekerja yang lain. Sikap dan perilaku dia telah mengiritasi diriku. Semakin lama aku semakin sulit bekerjasama dengan dia. Aku merasa dia telah menyakitiku dan aku mulai kesal jika hidupnya baik-baik saja.

Dari kekesalan yang semakin hari terus menumpuk itu, muncul niatan buruk di hatiku. Aku ingin dia membayar sakit hati hati yang telah dia torehkan di hatiku. Aku merasa diperlakukan tidak adil jika hidup dia baik-baik saja tanpa dia menyadari kesalahannya. Aku berharap keadilan Tuhan datang kepadanya. Tentu aku tidak ingin dirinya celaka. Aku hanya ingin dia merasa dipermalukan, sadar, dan bertobat dari kesalahannya.

Saat itu aku tahu bahwa sikap hatiku jelas salah. Itu sangat bertentangan dengan apa yang diajarkan Kristus. Yesus mengajarkan untuk mengasihi dan mendoakan musuh yang telah menyakiti kita. Aku coba melawan sikap hatiku yang buruk itu dengan belajar untuk mendoakan dia. Kudoakan agar dia mendapatkan hidup yang baik. Kata-kata memang keluar dari mulutku tapi, hatiku tidak mengaminkannya. Aku lupa kalau perintah mengasihi dan mendoakan adalah suatu kesatuan. Aku tidak bisa mengasihi musuhku tanpa mendoakannya, demikian juga tidak mungkin aku bisa mendoakannya jika hatiku tidak mengasihinya. Hatiku masih tidak rela jika hidupnya bebas dari pembalasan Tuhan sedangkan aku telah berdarah-darah menanggung sikap-sikap dia.

Jika kuingat lagi pengalamanku ini, aku teringat akan kisah Yunus. Yunus diminta Tuhan pergi ke kota Niniwe untuk memberitakan seruan pertobatan. Walaupun Yunus sempat menolak, akhirnya dia taat dan pergi ke Niniwe setelah Tuhan menyelamatkan nyawanya dengan mendatangkan ikan besar. Pelayanan Yunus telah membuat Niniwe berbalik dari tingkah laku mereka yang jahat dan Tuhan mengurungkan niat untuk menunggangbalikan Niniwe. Namun, Yunus tidak bersukacita atas hal itu. Justru, Yunus kepahitan dengan keputusan tersebut dan kehilangan alasan untuk hidup. Di pinggir kota dia mengeluh dan masih menunggu apa yang akan terjadi terhadap kota itu.

Tetapi hal itu sangat mengesalkan hati Yunus, lalu marahlah ia. Dan berdoalah ia kepada TUHAN, katanya: “Ya TUHAN, bukankah telah kukatakan itu, ketika aku masih di negeriku? Itulah sebabnya, maka aku dahulu melarikan diri ke Tarsis, sebab aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya. Jadi sekarang, ya TUHAN, cabutlah kiranya nyawaku, karena lebih baik aku mati dari pada hidup.” Tetapi firman TUHAN: “Layakkah engkau marah?” – Yunus 4: 1-4

Meskipun Yunus taat melakukan perintah Tuhan, tapi hatinya menolak keputusan Tuhan. Yunus berbuat baik kepada Niniwe, meskipun di hatinya yang terdalam dia tetap membenci Niniwe. Jelas Niniwe adalah musuh yang kejam bagi Israel. Menyelamatkan Niniwe sama saja artinya dengan membunuh bangsanya. Yang Yunus inginkan adalah menghabisi musuh Israel, sekalipun dia taat kepada perintah Allah untuk menyerukan pertobatan.

Dalam bukunya The Prodigal Prophet, Tim Keller mengatakan ada sebuah filosofi kuno yang berbicara tentang cinta akan kebajikan. Filosofi itu berkata kita bisa melakukan hal baik dan berguna kepada orang sekalipun kita tidak menyukai mereka. Itu adalah manifestasi dari kekuatan kehendak kita, sehingga kita mampu melakukan aksi cinta kasih sekalipun tidak ada ketertarikan afeksi di hati kita pada seseorang.

Sedangkan, Tuhan mengharapkan lebih dari itu. Lewat peristiwa pohon jarak yang layu karena ulat, Tuhan hendak mengajarkan kepada Yunus untuk memiliki hati yang mengasihi musuh. Jadi, berbuat baik bukan sekadar karena tahu itu adalah hal yang baik, melainkan dimotivasi oleh kasih.

Bagaimana tidak Aku akan sayang kepada Niniwe, kota yang besar itu, yang berpenduduk lebih dari seratus dua puluh ribu orang, yang semuanya tak tahu membedakan tangan kanan dari tangan kiri, dengan ternaknya yang banyak?” – Yunus 4: 11

Pengalaman Yunus sedikit banyak mencerminkan sikap hatiku juga. Aku mendoakan teman sepelayananku yang kubenci, tapi hatiku menginginkan hal yang buruk baginya. Di permukaan aku seolah sedang menunjukkan perbuatan kasih, sedangkan di kedalaman hatiku, aku membenci temanku. Namun, aku pun tidak bisa segera mengubah hatiku untuk mengasihinya. Itu bukanlah proses semudah membalik telapak tangan. Apa yang aku tunggu tetaplah keadilan ditegakan untukku.

Waktu berlalu dan perlahan Tuhan melembutkan hatiku. Aku mulai menyadari, bahwa sejatinya diriku pun tidak lebih baik dari rekan sepelayananku itu. Keburukan apa yang pernah dia lakukan, aku juga pernah melakukannya. Kalau aku menuntut keadilan terjadi atasnya, bukankah seharusnya aku pun tak luput diadili? Akhirnya dalam doa-doaku aku mengubah fokusku kepada karya salib Yesus Kristus. Di situlah keadilan dan anugerah Tuhan bertemu. Aku gagal mengasihi temanku dan hanya cenderung menginginkan keadilan. Namun, di atas kayu salib kesalahanku dan temanku telah mendapatkan bentuk keadilannya.

Kesalahanku dan temanku telah dihukumkan kepada Kristus. Sedangkan kasih-Nya jelas terpancar bagiku dan temanku. Aku tahu membentuk hati yang mengasihi memang butuh proses. Aku tidak berhenti mendoakan rekanku itu, tapi kini aku tidak lagi berfokus pada rasa sakit hatiku dan perbuatannya melainkan berfokus kepada keadilan dan kasih Tuhan di atas kayu salib. Usahaku lebih banyak digunakan untuk mengingat pengorbanan Yesus ketimbang perbuatan rekanku, yang sebenarnya jika aku pikirkan ulang sekarang, ternyata aku saja yang enggan mengalah dan tidak mau berusaha lebih untuk memahami pribadinya.

Ketika berfokus kepada Kristus aku tidak lagi berbuat baik hanya karena aku tahu itu baik, melainkan lebih dari itu, aku berbuat baik karena hatiku melimpah kasih yang dari pada-Nya. Begitu melimpah sehingga aku tidak bisa menampungnya bagi diriku sendiri.

Semoga Tuhan terus menolong hatiku dan hati kita yang lamban mengasihi ini.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menghadapi Pandemi: Kita Butuh Lebih Dari Sekadar Berani

Kisah Gideon memberi ketenangan di tengah kekalutanku menghadapi pandemi yang rasanya tak kunjung berakhir. Masa pandemi ini mungkin bisa kita ibaratkan seperti sedang ‘berperang’ melawan musuh-musuh yang tak terkira jumlahnya.

Lahirnya Kedamaian Karena Pengampunan

Oleh Bertina Batuara, Pekanbaru

Adakalanya pergumulan dan kesesakan datang silih berganti entah itu dari diri sendiri atau dari luar. Baru-baru ini Tuhan izinkan aku mengalami masalah, sampai pada saat menuliskan renungan ini aku tersadar dan terkesima dengan Tuhanku yang menciptakan aku, bumi, dan segala makhluk. Ya, segala perkara dapat kutangggung di dalam Dia yang memberikan kekuatan kepadaku (Filipi 4:13).

Aku akui bahwa aku ialah orang yang sangat mudah terpengaruh dengan keadaan di sekitarku. Aku mudah terdistraksi. Masalah pertama adalah dengan teman dekatku. Karena sudah beberapa bulan tak bertemu, teguran lewat chat yang kulontarkan kepadanya itu rupanya dimaknai lain. Aku mengakui inilah kelemahan pesan lewat media sosial yang rentan salah paham. Karena salah paham itu, dia tidak lagi membalas pesanku. Sejak saat itu hatiku gusar. Waktuku untuk berdoa pun diliputi rasa kacau dan aku merasa tidak layak menyampaikan doaku kepada Tuhan, sebab relasiku yang sedang buruk dengan sesama.

Saat masalah salah paham itu terjadi, di kotaku juga turut diterapkan PSBB sebagai langkah pencegahan virus corona. Kami tak bisa bertemu secara langsung untuk menyelesaikan masalah tersebut. Aku menunggu waktu yang tepat, meminta pertolongan hikmat dari Tuhan bagaimana cara menyelesaikan perkara itu. Lewat kehadiran seorang kawan dekat kami, puji Tuhan kami bisa menyelesaikan masalah itu dengan cara empat mata. Kami tidak membiarkan ego kami masing-masing dimenangkan dengan cara kami berbicara jujur, saling mengutarakan, dan ditutup dengan saling memaafkan.

Setelah masalah pertama usai, aku mendapati masalah baru lagi di tempat tinggalku di perantauan. Masalah ini masih tentang kesalahpahaman. Aku selalu beranggapan temanku inilah yang salah, dia yang harus mengubah sikapnya dan harus meminta maaf terlebih dulu kepadaku. Itulah pikiran yang selalu menghinggapiku sepanjang beberapa minggu. Namun, lama-lama aku semakin tersadar kalau justru pikiran itulah yang menjeratku ke dalam kesesakan yang merenggut kedamaian batinku.

Sebagai orang yang jauh dari keluarga dan terbatas menyampaikan segala keluh-kesah, aku biasanya sharing dengan orang terdekatku di perantauan. Berbicara empat mata dengan orang-orang terkasih menolongku untuk bisa bersyukur dan bersukacita saat aku melewati kesesakan.

Jujur, saat itu aku ingin menghindar saja. Tapi, Tuhan tak ingin aku merespons masalah ini dengan egois. Saat aku menikmati waktu teduh pribadiku sembari memutar lagu rohani favoritku, aku merasa seperti ada suara yang berbisik, “Kalau kamu pergi berarti kamu kalah!” Kalah di sini berarti kalah dari si Iblis yang mengobrak-abrik hati dan pikiranku.

Ketika paginya bersaat teduh, ayat firman Tuhan berbicara tentang mengampuni. “Sabarlah kamu seorang terhadap yang lain, dan ampunilah seorang akan yang lain apabila yang seorang menaruh dendam terhadap yang lain, sama seperti Tuhan telah mengampuni kamu, kamu perbuat jugalah demikian” (Kolose 3:13).

Setelah itu aku membuka YouTube dan secara tidak kebetulan membaca judul video dari motivator kesayanganku: “Ketika Hatimu Sulit Memaafkan”.

“Wahh kedua hal ini sedang menegurku”, gumamku. Kuputar video itu, mengikutinya sampai durasi akhir tanpa skip. Rasanya luar biasa, seperti ada tangan-tangan yang menamparku secara bersamaan. “Ini kebutuhanku!” teriakku dalam hati.

Aku pun beranjak dari tempat dudukku. Kutemui teman yang sedang bermasalah denganku. Kucoba mendamaikan hatiku terlebih dahulu, lalu kumulai berbicara meskipun terasa berat. “Maaf,” ucapku.

Puji Tuhan, temanku bersedia menerima permintaan maafku. Dia pun turut meminta maaf atas apa yang dia lakukan. Aku merasa Tuhan begitu hebat, Tuhanlah yang mendamaikan kami, membenahi diriku, dan mendorong aku keluar dari zona nyamanku, yakni rasa gengsi untuk meminta maaf duluan. Aku diajar-Nya untuk meluruhkan pikiran “bukan salahku”.

Dua pengalaman ini perlahan mengupas satu per satu kebobrokan hati dan pikiranku. Dari titik itu, aku merasa diriku telah “naik kelas”. Mungkin jika aku tidak melewati masa-masa sulit seperti itu, aku akan terus di kelas yang membuat iman dan pertumbuhan rohaniku dangkal. Kedamaian ilahi pun perlahan bisa kuraih kembali sembari mengingat satu pesan seorang kakak yang berkata:

“Jika kamu percaya segala kebaikan adalah rancangan dari Allah, jangan lupa kalau kesakitan dan kesesakan pun adalah bentuk penyertaan Tuhan untuk kebaikanmu kelak”

Dia lalu menyarankanku membaca ayat dari Mazmur 138:7: “Jika Aku berada dalam kesesakan, Engkau mempertahankan hidupku, terhadap amarah musuhku Engkau mengulurkan tangan-Mu dan tangan kanan-Mu menyelamatkan aku.”

Aku ingat kata-kata beliau dan kurenungkan ayat itu sambil terdiam dan menitikkan air mata yang tanpa sengaja menetes di pipi. Ternyata saat itu pula kusadari perkataan itu begitu bermakna. Mulutku spontan berkata : Engkaulah Allah yang sanggup menyelamatkanku dari berbagai-bagai perkara. Hatiku yang sedang berkecamuk digantikan dengan pemulihan.

Menghadapi berbagai perkara tentu semua orang mengalami, tapi ingat Tuhan turut hadir mengiring langkah kita dalam melewatinya, tetaplah fokus pada satu nama yang Ajaib yakni : Yesus Kristus sumber kedamaian dan sukacita yang Jauh lebih besar dari segala masalah yang telah dan akan kita hadapi.

Baca Juga:

Setelah Covid-19 Berakhir, Seperti Apa Gereja Kita Nanti?

Aku percaya bahwa salah satu tujuan Tuhan mengizinkan kita mengalami krisis adalah untuk menggoncangkan kita. Mungkinkah ada sesuatu yang harus berubah?

Tuhan Memampukanku Menyatakan Kasih Kepada Orang Yang Paling Sulit Kukasihi

Oleh Vika Vernanda, Jakarta

Tanggal 14 Februari kemarin, linimasa Instagramku penuh dengan foto coklat dan ucapan selamat hari kasih sayang. Teman-temanku merayakan hari itu bukan cuma dengan kekasih, ada pula yang bersama keluarga dan rekan-rekan terdekatnya. Namun bagiku, hari kasih sayang tidaklah spesial. Aku melakukan rutinitas mengajarku seperti biasa tanpa memberi atau menerima coklat.

Sekitar jam makan siang, muncul notifikasi di ponselku. Ada pesan dari ayahku. Dia memintaku untuk video call. Seorang ayah yang menelepon anaknya bukanlah kisah luar biasa bagi kebanyakan orang, tapi tidak bagiku. Aku tidak lagi bertemu ayahku sejak aku berusia tiga tahun.

Ayahku meninggalkan keluargaku. Sejak saat itu, aku tinggal bersama keluarga ibuku yang karena tindakan ayahku, jadi amat membencinya. Aku dilarang berkomunikasi dengannya. Keluarga ibuku pun terus menjelek-jelekkan ayahku di depanku. Tak terhitung berapa banyak hal buruk yang diceritakan padaku. Lama-kelamaan, aku tumbuh menjadi pribadi yang punya konsep bahwa ayahku jahat. Tanpa perlu dilarang pun, aku jadi tidak ingin berkomunikasi dengannya. Pernah ketika aku SMA, ayahku mengirimiku friend request di media sosial. Yang kulakukan adalah memblokir akunnya, tapi ayahku tidak berhenti. Dia membuat tiga akun baru dan terus mengirimiku permintaan pertemanan dan responsku tetap sama: aku memblokirnya.

Kakak pembimbing rohaniku tahu akan pergumulanku ini. Dia lalu menyarankanku untuk membuka blokirnya dan memberi kesempatan buat ayahku bicara denganku. Siapa tahu ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Kuikuti saran itu. Ayahku sering mengirimiku pesan, tapi aku sangat jarang membalasnya. Beberapa kali dia meminta video call, tapi tidak juga kurespons hingga tiba hari itu. Aku mengiyakan permintaannya untuk video call.

Untuk pertama kalinya setelah 18 tahun, aku bicara dengan ayahku. Aku menatap wajahnya dari layar ponselku. Dia bicara banyak hal dan mengajukan beberapa pertanyaan. Satu kalimat yang kuingat dari percakapan itu adalah, “Aku [ayah] rindu kamu.” Aku tidak tahu harus merespons apa. Aku terdiam dengan air mata menetes. Ayahku juga menanyakan apakah ada sesuatu yang ingin kusampaikan padanya. Kujawab dengan diam. Aku sungguh tidak tahu apa yang harus kusampaikan kepada orang yang sudah meninggalkanku selama itu. Percakapan itu kemudian ditutup dengan lambaian tangan.

Aku tidak menyangka apa yang baru saja terjadi itu. Aku bersedia melakukan video call dengan ayahku dan menjawab berbagai pertanyaannya. Aku mempertanyakan diriku sendiri bagaimana aku bisa melakukan ini.

Aku mengingat saat teduh hari itu. Firman yang kubaca diambil dari Mazmur 16, yang mengingatkan kembali tentang kebaikan Allah apa pun kondisinya. Tidak pernah merasakan kehadiran seorang ayah adalah alasan yang masuk akal untuk berpendapat bahwa Tuhan itu tidak baik. Namun, kebenarannya tidak seperti itu. Benar memang aku tidak merasakan kasih seorang ayah, namun ada Ayah sejati yang mengasihiku. Ada Ayah yang mengasihiku bahkan di tengah ketidaklayakanku. Allah yang tetap baik meski semuanya terasa berat.

Aku membuka hatiku untuk menerima ajakan bicara ayahku adalah anugerah Allah, dan aku amat bersyukur kepada-Nya, Ayah sejatiku. Allahlah yang memberiku kekuatan untuk menyatakan kasihku kepada orang yang sangat sulit kukasihi.

Meski belum banyak pernyataan kasih yang bisa kuberikan kepada ayahku, aku bersyukur kepada Allah karena Dia memberiku kesempatan itu. Kupikir inilah hal yang Allah ingin aku lakukan di hari kasih sayang, yaitu menyatakan kasih sayangku kepada orang yang amat sulit kukasihi. Dan, kupikir ini jugalah yang Dia mau kita terus lakukan sebagai anak-anak-Nya, karena kasih-Nya yang besar sudah dinyatakan bagi kita.

Aku berdoa kiranya Tuhan terus memampukanku mengampuni ayahku dan mau berjuang menyatakan kasih kepadanya, sebagaimana Tuhan yang terus menyatakan kasih-Nya padaku.

Baca Juga:

Apa yang Terjadi Jika Kita Lupa Berdoa?

Ternyata aku mempercayai beberapa mitos tentang doa. Kepercayaanku akan mitos-mitos itu menunjukkan bahwa aku salah dalam memahami Tuhan. Lalu, apa sih yang akan terjadi jika kita tidak berdoa?

Teladan Kasih-Nya Memampukanku untuk Mengampuni

Oleh Ananda Utami*, Jakarta

Malam semakin larut, namun aku tetap terjaga. Air mataku terus mengalir. Sudah hampir setahun aku dan pacarku berkomitmen untuk saling mengenal, tapi perjalanan relasi kami terasa terjal. Sehari sebelumnya, pacarku bercerita mengenai sesuatu yang membuatku kecewa.

Aku tidak dilahirkan dalam keluarga yang percaya pada Kristus, namun beberapa tahun lalu aku mengenal-Nya dan memantapkan diriku untuk sungguh-sungguh jadi orang Kristen. Sejak saat itu, aku mengalami penolakan dari orang-orang terdekatku yang sampai hari ini masih kugumulkan. Berbagai label negatif disematkan padaku. Mereka juga menjauhiku, menganggap aku tak lagi segolongan dengan mereka.

Latar belakang inilah yang menjadi salah satu faktor yang meragukan bagi ibu pacarku. Beliau tidak ingin ambil risiko dengan keluarga besarku yang bukan Kristen apabila kelak anaknya menikah denganku. Dan, beliau juga berasumsi bahwa keputusanku untuk berpindah iman itu adalah strategi untuk bisa berpacaran dengan anaknya. Padahal sebelum aku menjalin relasi ini, aku telah lebih dulu menjadi Kristen.

Dalam kekecewaanku, beberapa kali aku sempat marah dan bertanya pada Tuhan. “Mengapa, Tuhan? Mengapa orang yang bahkan terlihat baik dan ramah di depanku ternyata tidak sebaik yang kukira? Mengapa pula orang tersebut tidak ingin mengenalku lebih jauh terlebih dulu sebelum menyimpulkan? Mengapa beliau menuduh ini dan itu tentang imanku? Bukankah seharusnya orang Kristen saling mendukung dalam Tuhan? Bukankah seharusnya beliau bersukacita ketika ada satu orang anak yang berbalik pada Tuhan? Mengapa citra diriku terlihat sangat buruk di mata beliau padahal aku telah berusaha sebaik mungkin?”

Pertanyaan-pertanyaan itu semakin membuatku sedih, dan aku malah jadi iri dengan orang-orang yang sudah Kristen sejak lahir, yang tak perlu mengalami penolakan sepertiku. Aku lelah terus menerus disalah mengerti oleh keluargaku, temanku, dan sahabatku.

Air mataku masih berderai, namun aku berusaha berdoa. “Tuhan, meski rasanya sakit, tolong sembuhkan hatiku.”

Aku tahu benar bahwa mengikut Kristus tidaklah mudah dan pada hakikatnya manusia memang selalu mengecewakan karena manusia telah jatuh ke dalam dosa. Ketika manusia dapat saling mengasihi, itu terjadi karena anugerah Allah dan kasih-Nya yang memampukan. Aku pun tahu bahwa sebagai pengikut Kristus, sudah semestinya kita saling mengasihi dan memaafkan. Namun, nyatanya hal inilah yang sangat sulit kulakukan saat itu. Semuanya terasa seperti teori belaka. Mungkin pada saat itu, aku belum mau membuka hatiku untuk memaafkan.

Di tengah kebinganku, aku teringat firman Tuhan yang pernah kudengar dari Yakobus 1:19-27. Yakobus mengajar kita untuk cepat mendengar namun lambat berkata-kata dan tidak cepat marah. Dalam hal ini, bukan berarti kita tidak boleh marah, tapi ketika kita sadar bahwa kita dalam keadaan hati yang tidak baik, kita harus menguji apakah hal yang kita rasakan merupakan sesuatu yang benar. Bisa jadi, apa yang kita rasakan adalah sesuatu yang wajar dan diperbolehkan, bisa juga tidak. Bahkan, bisa jadi pula kondisi tersebut muncul karena berhala tersembunyi yang masih tersimpan dalam diri kita.
Lantas, bagaimana mengujinya?

Yakobus mengajak kita untuk bercermin kepada hukum yang sudah Tuhan berikan kepada kita. Mungkin saja selama ini kita sudah sering bercermin dan sudah tahu bagian mana dalam diri kita yang perlu diperbaiki. Namun, kita sering lupa untuk memperbaiki bagian-bagian tersebut. Kita cenderung mengingat hal-hal yang dianggap penting seperti: nomor telepon darurat, tanggal ulang tahun, dan sebagainya. Ketika kita melupakan sesuatu, bisa jadi hal tersebut kita anggap kurang penting. Begitu juga dengan hukum Allah. Mungkin kita tidak menganggap penting hukum Allah hingga kita lupa menaatinya. Di ayat 25 dituliskan bahwa hukum Allah adalah hukum yang sempurna dan memerdekakan. Setiap orang yang menaatinya akan berbahagia. Mungkin selama ini kita kurang percaya bahwa hukum Allah adalah hukum yang sempurna dan memerdekakan, sehingga kita cenderung menuruti hukum yang dibuat oleh budaya manusia atau pemikiran kita sendiri.

Ketika aku bercermin kepada hukum Allah, aku mendapati ada berhala dalam diriku, yaitu menginginkan kasih dan pengakuan dari orang lain. Kadang aku masih menggantungkan identitasku kepada manusia, bukan kepada Tuhan. Aku merasa orang lain akan lebih mengasihiku ketika aku bersikap baik pada mereka, sehingga ketika sikap baikku dibalas dengan hal buruk, aku kecewa. Padahal aku tahu betul bahwa hukum yang terutama adalah mengasihi Allah dan sesama. Sudah seharusnya aku tetap mengashi orang yang berlaku buruk padaku. Namun, mengasihi mereka rasanya teramat sulit karena saat itu aku belum benar-benar percaya bahwa hukum Allah adalah hukum yang memerdekakan.

Malam itu, aku benar-benar berdoa dan memohon pada Tuhan supaya aku dapat mengampuni orang yang telah menyakiti hatiku. “Tuhan, aku tidak bisa, tolong aku.” Seketika itu air mataku terhenti, saat aku teringat akan salib-Nya. Di tengah penderitaan-Nya pun, Yesus tetap mengasihi orang-orang yang menganiayanya. Bukannya menyalahkan Bapa atas keadaan-Nya saat itu, Yesus malah mendoakan orang-orang yang menganiaya-Nya.

Jika Tuhan telah menujukkan padaku untuk mengasihi dan mendoakan, mengapa aku tidak bisa melakukannya? Pantaskah aku untuk tidak mengampuni orang yang melakukan kesalahan kecil padaku jika Tuhan saja rela berkorban bagi dosa-dosaku yang sangat hina?

Aku memohon ampun pada Tuhan dan Dia memulihkan hatiku. Aku belajar menerima keadaan, mengampuni, serta mendoakan. Dan, memang benar bahwa hukum Allah adalah hukum yang memerdekakan. Aku merasakan kelegaan, dan aku pun dapat kembali melanjutkan aktivitasku di keesokan harinya dengan sukacita, persis seperti apa yang dituliskan Yakobus.

Mengasihi adalah pekerjaan yang sulit dilakukan, terlebih jika orang yang semestinya kita kasihi tidak memperlakukan kita dengan baik. Namun, mari terus berusaha menaati Tuhan dan hukum-Nya yang sempurna dan memerdekakan. Teruslah mengasihi bagaimana pun keadaannya, karena Tuhan sudah terlebih dahulu mengasihi kita.

*bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Yesus Sayang Semua, Aku Masih Berusaha, Kamu?

Yesus menyatakan pentingnya hidup kudus, mengampuni dan juga mengasihi musuh kita.

Mudahkah melakukan itu semua?

Sepanjang sejarah kekristenan,dari masa lalu sampai masa kini, meneladani teladan kasih Yesus bukanlah hal mudah.

Memandang Salib Yesus, Aku Belajar Mengampuni

Oleh Veronica*, Jakarta

Dalam kehidupan orang percaya, tiap kita punya pergumulan yang berbeda-beda. Ada yang bergumul dengan dosa seksual, masalah keluarga, keuangan, dan lain-lain. Aku sendiri bergumul dengan proses memaafkan, yang awalnya begitu sulit kulakukan, tetapi puji Tuhan aku dimampukan-Nya untuk melakukannya.

Beginilah kisahku.

Aku melayani di sekolah Minggu di gerejaku. Namun, studi S-2 dan bekerja penuh waktu (pukul 8-5 sore) membuat aku kewalahan mengatur jadwalku. Belum lagi untuk menyiapkan sekolah Minggu aku membutuhkan waktu yang cukup banyak: mulai dari kelas persiapan sebulan sekali, kunjungan ke anak-anak pada periode tertentu, games, pemberian hadiah, juga persiapan lainnya untuk acara besar seperti Paskah dan Natal. Itu belum ditambah dengan persiapan membuat cerita tentang firman Tuhan dan membuat aktivitas lanjutannya. Kalau aku mendapat tugas sebagai pemimpin pujian di minggu itu, persiapannya akan lebih banyak lagi.

Suatu ketika, akan diselenggarakan acara tahunan sekolah Minggu. Kelas kecil sampai besar akan digabung untuk bermain games. Untuk bisa mengikuti games ini, tiap anak harus mengumpulkan kupon dalam satu tahun. Banyak yang harus disiapkan, mulai dari jenis games yang akan diadakan sampai hadiah apa yang harus disediakan. Pula kupon yang harus didesain untuk diberikan ke anak-anak dan guru-guru lain. Singkat cerita, persiapannya akan cukup rumit.

Aku pun ditunjuk untuk menjadi ketua. Aku mengelak. Setiap hari Senin sampai Jumat, aku bekerja di kantor pukul 8 pagi sampai 5 sore dan sorenya aku kuliah pukul setengah 7 malam hingga pulang jam 21:30 dari kampus, belum ditambah dengan kemacetan di jalan raya yang menyita waktu. Dengan jadwalku yang sangat padat itu aku tentu tidak akan mampu mengurusi setiap detail persiapan acara. Hari Sabtu kugunakan untuk mengerjakan tugas kuliah dan menyiapkan aktivitas sekolah Minggu. Tetapi, tetap saja aku yang ditunjuk untuk menjadi ketua.

Setiap Minggu, aku ditagih progress yang sudah dibuat. Aku benar-benar kewalahan. Hampir tiap hari, sepulang kuliah aku menyiapkan benda-benda yang perlu dibuat dan baru selesai hampir jam 1 pagi. Aku lelah dan menangis, mengapa beban ini dilimpahkan kepadaku. Aku berkata pada Tuhan kalau aku rasanya tidak sanggup, tapi aku memohon kekuatan dari-Nya.

Ketika rapat persiapan acara berlangsung, ketua sekolah Minggu tidak puas dengan apa yang kusiapkan. Dia berkata kalau aku tidak prepare dan menyindirku atas proses yang lambat. Katanya, aku belum memiliki anak tetapi kok tidak bisa mengatur waktu dengan baik. Kucoba jelaskan tentang padatnya jadwalku dan aku telah melakukan yang terbaik. Tapi, tetap saja, kurasa rekan-rekanku di panitia itu pun menyalahkanku. Aku merasa terpukul.

Tapi, aku bersyukur karena saat itu ada hamba Tuhan yang menenangkanku. Dia menolongku untuk menyiapkan dan merapikan apa yang perlu kubuat.

Singkat cerita, acara berlangsung. Puji Tuhan bisa terselenggara dengan baik meskipun ada kekurangan di sana sininya. Selepas acara ini selesai, aku pun bergumul untuk mengampuni.

“Jangan menyimpan kesalahan orang dalam hati,” agaknya kata-kata ini mudah diucapkan tapi sulit dipraktikkan.

Aku berdoa, meminta kekuatan daripada-Nya untuk memaafkan dan tidak menyimpan hal-hal yang membuat sakit hati. Secara manusia, kurasa aku tidak bisa dan sulit sekali untuk tidak sakit hati. Tapi, Tuhan memberiku hikmat melalui Matius 5:43-47:

“Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?”

Aku diingatkan sekaligus ditegur, bahwa sebagai manusia berdosa, aku tidak boleh menghakimi orang lain. Aku belajar untuk tidak menyimpan kesalahan orang lain dalam hatiku, dan menyerahkan hidupku ke tangan Tuhan. Pun aku berdoa meminta kekuatan dari Tuhan supaya aku diberikan hati seperti hati Yesus yang mengampuni orang-orang yang menyalibkan Dia.

Untuk bisa mengampuni adalah proses yang cukup panjang. Aku tidak ingat berapa lama persisnya. Tapi, sejak aku berdoa memohon kekuatan untuk mengampuni, aku diteguhkan bahwa pelayananku adalah untuk Tuhan, bukan manusia. Mentor rohaniku juga memberitahuku bahwa pertanggungjawaban kita kelak adalah pada Tuhan, dalam hal apapun di setiap aspek kehidupan kita. Ketika aku bertemu dengan mereka yang telah menyakitiku, aku berusaha tidak lagi mengingat-ngingat keburukannya. Aku belajar untuk menumbuhkan dan menunjukkan kasihku dengan cara yang sederhana, menyapa dan senyum pada mereka.

Melayani di gereja bukan berarti akan terbebas dari konflik, karena pada dasarnya kita semua adalah manusia berdosa. Alih-alih menghakimi, aku harus melihat kepada pengorbanan Yesus, Dia mau mengampuniku meskipun sesungguhnya aku tidak pantas mendapatkannya.

Kawan-kawan, mungkin ada di antara kalian ang bergumul untuk mengampuni orang lain. Siapapun itu, entah orang terdekat, atau mungkin orang yang jauh, marilah kita sama-sama belajar menyerahkan apa yang kita rasakan kepada Tuhan. Mintalah Tuhan memperbaharui hati kita, supaya semakin hari kita semakin dibentuk-Nya. Meski secara manusia rasanya sangat sulit, tetapi kekuatan yang melampaui akal pikiran dan hikmat manusia diberikan Tuhan bagi anak-anak-Nya yang mau berserah dan mengandalkan Dia dalam segala hal.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Andrew Hui: Usiaku 32 Tahun dan Aku Menanti Ajalku

Di usia 32 tahun, Andrew hanya memiliki waktu dua hingga tiga bulan untuk hidup. “Aku mau mendorong orang-orang untuk percaya kepada Tuhan di momen-momen tergelap hidup mereka,” ucap Andrew.

Sebuah Doa yang Mengubahkan Hatiku

Oleh Elleta Terti Gianina, Yogyakarta

Menjadi orang Kristen sejak lahir tidak menjamin bahwa aku dapat berdoa dengan sungguh-sungguh kepada Tuhan. Sejak kecil sampai aku masuk kuliah, aku hanya berdoa sebagai kewajiban semata.

Ketika aku akan makan, aku berdoa, “Tuhan, aku mau makan berkati makanan ini, amin.”

Ketika aku akan bepergian dan jika orang tuaku mengingatkan, maka aku akan berdoa dengan cepat, “Tuhan, aku mau pergi. Lindungi aku. Terima kasih. Amin.”

Jika mengingat kembali doa-doaku dulu, rasanya berdoa itu sudah ada template-nya. Aku tidak perlu pusing merangkai kata dan secara otomatis kalimat singkat itu keluar dari mulutku. Aku hanya berpikir, “yang penting aku sudah laporan ke Tuhan dan orang tuaku tidak marah karena aku lupa berdoa”. Tapi, tanpa kusadari, cara doaku yang seperti itu lama-lama membuatku menganggap remeh doa itu sendiri. Bagiku, tanpa berdoa pun sebenarnya Tuhan sudah tahu dan Dia tidak akan marah padaku, sehingga inilah yang membuatku akhirnya acuh tak acuh dengan kehidupan doaku.

Hingga akhirnya, saat aku berumur 23 tahun aku dikecewakan oleh seseorang yang sangat berarti bagiku. Kejadian itu membuatku marah dan berujung menjadi dendam. Sulit rasanya untuk mengampuni saat itu. Selama satu tahun, aku tidak hidup dalam damai sejahtera. Aku tidak bisa tidur, menangis setiap hari, dan mencari pelarian lain sampai akhirnya aku merasa tidak berdaya.

Di tengah ketidakberdayaanku, rasanya aku ingin berdoa dan datang kepada Tuhan. Tapi, entah kenapa meski dulu aku bisa dengan mudah mengucap doa karena seperti ada template-nya, sekarang aku tidak bisa berdoa. Aku tidak tahu caranya berdoa. Bahkan untuk mengucapkan kata-katanya pun aku tidak mengerti. Rasanya asing untuk datang pada Tuhan Yesus.

Namun, kisahku tidak berhenti di situ. Tanpa aku sadari, Tuhan adalah Bapa yang baik, Bapa yang selalu menanti anak-Nya untuk kembali. Ketika aku merasa tidak mampu menghampiri-Nya, Tuhanlah yang terlebih dulu menghampiriku.

Tuhan memakai seorang sahabatku untuk mengingatkanku. Sahabatku berkata, “Yang kamu perlukan untuk berdoa hanyalah hatimu dan lututmu. Bahkan Tuhan menerima air matamu di hadapan-Nya.” Saat itu aku pun mencoba datang pada Tuhan.

Aku menangis sendirian di dalam kamar, menangis sampai rasanya aku tidak sanggup menahannya sendiri. Aku berlutut sambil melipat tanganku. Tidak ada yang aku tutupi di hadapan Tuhan. Selama beberapa saat aku tidak mengucapkan sepatah kata apa pun. Sampai akhirnya, ketika aku mulai berbicara, kalimat awal yang kuucapkan adalah, “Tuhan, aku mau mengampuni. Berikan aku hati untuk mengampuni, karena itu sulit dan menyakitkan.”

Saat itu, mengampuni dia yang telah menyakitiku adalah hal yang sulit untuk kulakukan. Namun, aku percaya jika aku mengizinkan Tuhan hadir dalam hidupku, maka aku dapat melakukannya. Kalimat doa itu aku ucapkan berkali-kali. Namun aku tidak merasa itu seperti sebuah template, aku merasa seperti sedang bercerita kepada Bapa, sampai aku lelah menangis dan akhirnya tertidur. Ketika aku bangun, aku merasakan ada sesuatu yang berbeda. Keadaan memang tidak berubah, tetapi ada damai sejahtera di dalam hatiku. Kesedihan yang semula memang masih ada, namun saat itu aku merasakan bahwa doa membuat hatiku tenang.

Doa yang sama kuucapkan, namun aku mengucapkannya dari hatiku. Aku rindu agar aku bisa mengampuni. Sampai akhirnya, saat aku berada di gereja, Tuhan berbicara padaku melalui firman-Nya dalam Yesaya 44:22 yang berkata, “Aku telah menghapus segala dosa pemberontakanmu seperti kabut diterbangkan angin dan segala dosamu seperti awan yang tertiup. Kembalilah kepada-Ku, sebab Aku telah menebus engkau!”

Aku percaya, kekuatan doa mampu mengubahkan segalanya. Bahkan ketika mengampuni kuanggap sebagai hal yang mustahil, nyatanya Tuhan memampukanku untuk melakukannya. Tak hanya itu, Tuhan pun menaruh kasih-Nya padaku agar aku pun dapat mengasihi orang lain.

Sahabatku, yang terpenting saat kita berdoa bukanlah kata-kata yang bagus, tetapi sikap hati yang benar dan murni untuk menghadap kepada-Nya. Jadilah diri sendiri di hadapan-Nya, tak usah ada satu pun hal yang ditutupi. Tuhan adalah Bapa dan sahabat bagi kita. Berbicaralah kepada-Nya selayaknya seorang anak kepada ayahnya, seperti seorang sahabat dengan sahabatnya. Tuhan tidak pernah jauh, Dia selalu ada dekat dengan kita.

Baca Juga:

Berkaca dari Injil Lukas, Inilah Caraku untuk Mengasihi Musuh

Mengasihi musuh adalah perintah Yesus buat kita. Namun, kuakui melakukannya tak semudah mempraktikkannya. Meski begitu, melalui Injil Lukas, aku diingatkan bahwa itu bukan hal yang mustahil. Aku bisa mengikuti teladan Yesus tersebut.