Posts

Ketika Aku Menggenggam Terlalu Erat

Oleh Wira Perdana, Ambon

“Apa jadinya hidup tanpa kehadirannya?” Sanggupkah aku?” Mampukah aku?”

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang bermunculan di pikiranku ketika mendapat kabar bahwa Ayah pergi untuk selamanya pada 10 September 2021 yang lalu karena terpapar COVID-19. Sungguh sebuah kenyataan yang sulit diterima pada saat itu.
Dalam keheningan dini hari, aku hanya bisa menangis dan meratapi kenyataan di kamar kosan seorang diri. Hatiku remuk dan hancur. Tubuhku pun lemas tak berdaya.

Tidak berada di sampingnya saat akhir hidupnya adalah sebuah hal yang tidak pernah aku bayangkan dan terasa sungguh menyesakkan hati. Terlebih aku hanya bisa menyaksikan proses pemakaman secara virtual karena kondisi pandemi saat itu masih sangat mewabah. Aku hanya bisa pasrah, sebuah kesedihan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, hanya dapat diungkapkan dengan air mata.

Berbagai ungkapan dukacita datang dari sanak saudara, keluarga, juga para sahabat. Namun, sejujurnya ungkapan itu tak berdampak sama sekali padaku. Saat itulah kusadari bahwa aku begitu rapuh.

Seringkali aku menguatkan orang lain yang pernah mengalami hal serupa dengan cara memberikan kata-kata motivasi yang disertai ayat Alkitab. Namun, ketika aku yang mengalaminya, cara tersebut tidak dapat menguatkanku. Aku pikir aku kuat, tapi ternyata tidak. Dan hati kecilku bertanya, apa maksud dan rencana Tuhan bagiku dan keluargaku?

Rasa cemas dan khawatir selalu menghampiriku, terutama di awal kepergian ayah. Bagaimana hidupku selanjutnya tanpa adanya sosok ayah? Siapa yang akan menjadi tumpuan dan tulang punggung keluarga? Terlebih, siapa yang bisa menjadi problem solver ketika kelak kami punya masalah? Sungguh, kehilangan sosok ayah membuatku dan keluargaku seperti kehilangan arah.

Ayah ibarat sebuah pohon besar yang memberi kerindangan bukan hanya bagi keluarga kami, melainkan bagi seluruh keluarga besar. Ayah selalu mengupayakan segala yang terbaik bagi keluarganya, sekalipun terkadang dia melupakan kesenangannya sendiri. Dan menjelang akhir hidupnya, ayah masih menjadi sosok yang sama.

Kehadiran Ayah terkadang membuatku lupa arti kekurangan. Ayah selalu berusaha mencukupi dan memenuhi apa yang menjadi kebutuhan dan keinginanku serta keluarga. Bahkan hingga aku sudah bekerja di salah satu instansi pemerintah, Ayah tetap ingin mengirim penghasilannya padaku sekalipun beliau juga sedang merantau bekerja di salah satu daerah pedalaman Papua, yang dari segala akses justru lebih sulit dari tempatku yang bekerja di perkotaan.

Beberapa hari setelah Ayah berpulang untuk selamanya, di tengah kondisi yang masih berduka aku mendapatkan pesan dari seorang sahabat di Yogyakarta, yang mengingatkanku bahwa kepergian Ayah memang bukan hal yang mudah, tetapi dapat menjadi kesempatan bagiku dan keluargaku untuk semakin mengalami kasih Bapa secara langsung tanpa melalu perantara seorang Ayah lagi.

Pesan tersebut kemudian menjadi titik balik bagiku yang di satu sisi menguatkanku, namun sekaligus menyadarkanku bahwa selama ini aku sangat bergantung pada sosok seorang Ayah. Aku lupa bahwa kehadiran seorang ayah adalah salah satu perpanjangan dan saluran dari kasih dan kebaikan Tuhan, bukan untuk menjadi pengganti-Nya. Kedukaanku yang terus berlarut terjadi karena selama ini aku terlalu mengandalkan dan memegang erat sosok seorang ayah melebihi Tuhan. Alhasil, ketika akhirnya ayah pergi, aku dilanda kecemasan yang luar biasa.

Setelah waktu-waktu yang panjang dan proses yang Tuhan izinkan, aku belajar menerima bahwa kehilangan sosok ayah tidak lagi menjadi momok yang menakutkan, justru menjadi sebuah kekuatan dan harapan yang terus aku imani bahwa Tuhan ingin menyalurkan kasih dan kebaikan-Nya secara langsung. Tugas ayah di dunia telah selesai, dan sekarang tugasku untuk melanjutkan kembali hidup dengan pertolongan Tuhan.

Bapa Surgawi ingin aku belajar bergantung dan melekatkan segala harapanku kepada-Nya, bukan melalui ciptaan-Nya. Ayah bukanlah milikku. Ayahku adalah milik-Nya yang dititipkan untuk sementara waktu, hingga pada waktu yang telah ditetapkan-Nya, ayah akan diambil kembali. Demikian pula dengan semua orang yang kita kasihi: orang tua, pasangan, sahabat, dan sosok lainnya, tidak ada yang abadi. Namun, kita membutuhkan sesama di dunia ini dan harus menghargai keberadaan mereka selagi masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini. Tuhan menciptakan sesama manusia untuk saling membantu dan membangun, terlebih untuk menjadi berkat bagi kemuliaan nama-Nya (Roma 14:8).

Kepergian ayah kini membuatku belajar untuk menghargai waktu bersama orang-orang terkasih yang masih Tuhan “titipkan” dalam hidupku, agar aku tidak menyesal di kemudian hari. Dan aku berharap, pengalamanku ini juga dapat menjadi kesaksian untuk menguatkan orang lain yang mengalami hal serupa atau kehilangan orang yang dikasihi.

Bagi kita yang pernah maupun sedang mengalami kehilangan orang terkasih, tak perlu cemas dan khawatir, karena pemeliharaan sesungguhnya berasal dari Tuhan sendiri. Percayalah, segala sesuatu diizinkan-Nya terjadi bagi kebaikan kita semua. Dan waktu-Nya adalah waktu yang terbaik.

“Demikian juga kamu sekarang diliputi dukacita, tetapi Aku akan melihat kamu lagi dan hatimu akan bergembira dan tidak ada seorang pun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu” (Yohanes 16:22).

Ketika Aku Hidup di Keluarga yang Agak Laen

Oleh Baginda Hutapea, Jakarta
Gambar diambil dari screenshot 

“Kau itu sarjana hukum. Kenapa kau sia-siakan gelarmu itu, dengan menjalani pekerjaan yang nggak jelas, macam pelawak itu?”

Kira-kira begitulah penggalan kalimat yang diucapkan Pak Domu kepada Gabe, anak ketiganya, dalam film Ngeri-Ngeri Sedap yang baru-baru ini kutonton. Menurut Pak Domu—juga kebanyakan orang tua—seorang anak belum dianggap “bekerja” dan mapan kalau mereka tidak menjadi pegawai bank, dokter, ASN, dan sederet pekerjaan klasik lainnya. Pandangan ini tentu sangat menyebalkan bagi kita yang tidak berkarier di bidang-bidang itu. Kita mungkin menganggap pola pikir orang tua kita begitu kolot dan sempit, yang hanya mengenal kesuksesan dari profesi tertentu. Namun, sebenarnya mereka tidaklah salah. Generasi orang tua kita tidak mengalami masa muda seperti kita… dan sesungguhnya, mereka hanya menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya.

Lahir dan bertumbuh di dalam sebuah keluarga Batak, tentu film besutan sutradara Bene Dion Rajagukguk ini menjadi sangat relate bagiku pribadi. Meskipun sejak aku lahir, kami sekeluarga sudah hidup di Kota Jakarta, namun nilai-nilai budaya Batak itu tetap dipelihara oleh orang tuaku, terutama pada saat ompung masih hidup. Sebagai seorang anak laki-laki Batak, aku sepakat dengan masalah utama yang diangkat dalam film Ngeri-ngeri Sedap bahwa hubungan anak laki-laki Batak dengan ayahnya seringkali bermasalah dan tidak akur. Meskipun tentunya tidak terjadi di semua keluarga Batak, namun sebagian besar pasti setuju dengan kenyataan unik-pahit ini.

Aku dan papaku tinggal satu rumah, tapi hubungan kami tidak terlalu akrab. Kami jarang mengobrol, karena aku cukup segan kepada bapak yang dalam pandanganku suka marah-marah. Atau, mungkin pula karena ‘gengsi’ yang turut disuburkan oleh rumor yang bilang kalau anak lelaki ya memang lebih dekat dengan ibunya sendiri.

“Somarlapatan nauli, nadenggan patupaonmu, molo dung mate ahu.
Uju di ngolungkon ma nian, tupa ma bahen angka nadenggan.
Asa tarida sasude, holong ni rohami marnatua-tua i.”

Lirik lagu Uju di Ngolungkon di atas, jika diterjemahkan secara bebas, kira-kira mengatakan, “Tidak ada gunanya semua perbuatan kalian yang baik dan indah, jika aku (orang tua) sudah meninggal. Sebaiknya di saat aku (orang tua) masih hidup, lakukanlah segala yang terbaik, supaya terlihat semua rasa sayangmu kepada orang tuamu.”

Ketika mencoba menyelami lirik tersebut, sebagian dari kita mungkin memiliki stigma bahwa orang tua Batak itu sangatlah pamrih terhadap anak-anaknya dan sangat ingin diperhatikan/diurus oleh anak-anaknya pada masa tuanya. Segala materi yang mereka keluarkan dan kerja keras yang mereka lakukan untuk menyekolahkan dan membesarkan anak-anaknya seolah harus mendapat “balasan” yang senilai ketika nanti anak-anaknya sudah dewasa.

Bagi keluarga-keluarga yang berasal dari suku lain di luar Batak, tuntutan-tuntutan seperti ini mungkin terkesan yang unik dan tidak biasa. Agak laen, kalau kata orang Medan. Meski punya maksud positif, keunikan ini seringkali menjadi beban moral bagi para anak yang memicu perpecahan dan konflik dalam keluarga-keluarga Batak. Para bapak Batak yang cenderung merasa paling tahu yang terbaik turut andil dalam timbulnya akar pahit dan dendam bagi anak-anaknya, terutama anak laki-laki. Memang ada anak yang ketika dewasa akhirnya memahami sikap sang ayah seperti itu adalah demi kebaikannya dan rasa kesal atau marah muncul karena cara berkomunikasi mereka yang kurang baik, tetapi tak sedikit pula yang tetap merasa pahit.

Keunikan relasi bapak-anak dalam keluarga suku Batak ini sedikit-banyak mengingatkanku akan hubungan kita (manusia) dengan Tuhan. Seringkali, kita salah/gagal dalam menangkap maksud baik Tuhan yang Ia nyatakan di dalam hidup kita. Misalnya ketika kita menginginkan sesuatu. Kita menganggap keinginan kita adalah yang terbaik bagi kita, namun sesungguhnya, mungkin saja menurut Tuhan keinginan itu bukanlah yang terbaik bagi kita. Malahan, terkadang kita justru sering mengambil peran seperti seorang bapak Batak, yang seolah-olah tahu segala yang terbaik, dan memosisikan Tuhan sebagai seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Yang menjadi penyebabnya tentu adalah kekurangpekaan kita dalam mendengar suara Tuhan, yang lahir dari ketidakintiman hubungan pribadi kita dengan-Nya.

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN. Seperti tingginya langit dari bumi, demikianlah tingginya jalan-Ku dari jalanmu dan rancangan-Ku dari rancanganmu” (Yesaya 55:8-9).

Sebagai seorang anak generasi Milenial dan Z, tentu kita tidak dapat memilih untuk dilahirkan di keluarga yang mana. Ketika kita harus lahir dan dibesarkan di dalam sebuah keluarga Batak, atau keluarga mana pun yang memiliki keunikan budaya tertentu, maukah kita tetap mengucap syukur kepada Tuhan dan menjadikan keunikan budaya tersebut sebagai sebuah warisan yang perlu dijaga dan dilestarikan? Sekalipun bagi kita, orang tua kita agak laen jika dibandingkan dengan orang tua teman-teman kita, yang mungkin dari luar terlihat sangat baik dan rukun keadaannya, maukah kita tetap bersyukur atas kehadiran mereka di dalam hidup kita?

Semenyebalkan apa pun orang tua kita di mata kita, dan setidak asyik apa pun cara mereka dalam menunjukkan cinta kasihnya kepada kita, maukah kita belajar untuk menghargai dan menyayangi mereka, selagi mereka masih ada?

“Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu.” —Keluaran 20:12

Drama Skripsi dan Wajah-wajah yang Menopang

Oleh Alvianus Gama

“Alex!”, sahut mamaku dari arah kamarnya saat aku sedang bergegas menaiki tangga ke kamarku di lantai atas.

“Ya Ma, kenapa?”, jawabku pendek.

“Mama mau ngobrol dulu bentar”, jawab mama dengan muka yang terlihat serius.

Aku menoleh ke arahnya dengan penuh pertanyaan. Ada apa gerangan?

“Mama sama papa udah sebulan ini berdoa tiap malem buat kuliah kamu. Tapi setiap kali berdoa kok rasanya nggak damai ya, jadi mama mau nanya langsung aja ke kamu, sebenarnya kuliah kamu tuh gimana? Coba cerita dong…”, kata mamaku penuh harap.

Aku tertunduk diam. Ini adalah pertanyaan yang paling aku takutkan selama ini. Takut akan konsekuensi yang akan aku hadapi nanti.

Mamaku adalah seorang ahli hukum yang sukses dalam pekerjaannya. Ia seorang yang antusias dan penuh semangat, selalu memotivasi aku dan kakakku untuk maju dalam segala hal. Dalam kesibukannya bertemu dengan klien setiap hari, ia selalu bisa menyisihkan waktu untuk memperhatikan keluarga dan orang-orang yang dikasihinya. Sedangkan papaku adalah seorang yang berpendirian keras dan berkemauan kuat, yang mendidik anak-anaknya dengan caranya sendiri. Papa adalah sosok ayah yang selalu menemukan berbagai macam cara untuk memperbaiki peralatan rumah yang rusak, mulai dari meja yang patah kakinya, keran air yang bocor, hingga mobil yang mogok, atau motor yang rusak. Agaknya inilah yang membuatku lebih mudah untuk bercerita kepada mama untuk segala urusan, termasuk kuliahku. Cerita ke papa? Hmmm nanti dulu.

“Gimana Lex? Ayo cerita dong…”, ujar mamaku menantikan jawaban.

Aku menghela nafas panjang. Susah rasanya untuk membuka mulutku dan mulai cerita. Saat itu, aku seolah tak punya alasan lain untuk menghindar dari pertanyaannya selain menarik tangan mamaku dan mengajaknya ngobrol di kamarku. Di dalam kamar pun, aku tetap sulit untuk mengungkapkan apa yang ada di kepalaku dalam kata-kata. Di momen-momen sunyi yang menyiksa itu, tanpa aku bisa kuasai, air mata mengalir begitu saja. Aku lihat mama menatapku heran, menyaksikan anak laki-lakinya terisak sambil menunggu penjelasan.

”Kenapa kamu nak? Coba jujur aja, cerita ke mama, gimana sebenarnya?” ujarnya lembut sambil memegang tanganku erat.

Jantungku berdegup kencang. Aku berusaha menenangkan hati dan emosiku. Dengan nafas yang tak beraturan, aku mulai menceritakan pada mamaku bahwa sebenarnya sudah 2 tahun ini aku menelantarkan kuliahku. Selama ini aku berbohong pada mamaku terkait kuliahku.

Aku tertunduk malu dan berusaha sebisa mungkin menghindari tatapan langsung mamaku. Perlahan aku bisa mendengar mamaku juga ikutan menangis. Ia tampak begitu terpukul dan nggak percaya kalau anak yang selama ini dia banggakan, yang punya IPK bagus dan di atas rata-rata teman kuliahnya, anak yang nyaris nggak pernah punya masalah, tiba-tiba membawa kabar yang tak pernah ia sangka-sangka, seperti mendengar suara geledek di siang bolong.

Sejak 2 tahun yang lalu, aku sebetulnya sudah masuk dalam semester akhir dari kuliahku dan menurut hitungan waktu, aku seharusnya sudah menyelesaikan skripsiku di paruh kedua tahun 2020. Tapi pada kenyataannya, alih-alih membereskan skripsi, untuk sekadar memilih topik dan menentukan judul pun belum aku lakukan. Sudah hampir 4 semester ini aku nggak bayar uang kuliahku. Parahnya lagi, kalau ditanya terkait uang kuliah, aku selalu menemukan cara untuk berbohong bahwa aku sudah membayarnya, padahal belum aku bayar dan ngga ada satu pun terkait skripsiku yang aku kerjakan. Entah kenapa, untuk urusan skripsi ini, aku ngerasa nggak bisa, aku frustasi. Aku merasa stuck di program studi yang aku pilih ini. Semua ini terasa mudah aku lakoni karena situasi pandemi Covid-19 yang memaksa semua perkuliahan dan tugas akhir dilakukan secara daring, sehingga tidak ada kecurigaan sedikitpun dari mamaku karena aku tidak perlu lagi pergi ke kampus, hanya diam di kamar seolah-olah sedang mengikuti perkuliahan secara daring.

Sebenarnya, jauh di lubuk hatiku terdalam, aku sangat menyukai pelajaran bahasa lebih daripada program studi Akuntansi yang aku ambil sekarang. Bahkan dalam masa-masa awal perkuliahan, aku sudah membayangkan untuk menjadi ahli bahasa, bertemu, bernegosiasi dan berbincang-bincang dengan banyak orang. Dalam hati, aku pun bertekad untuk pindah jurusan ke program studi bahasa dan memulai dari awal. Setidaknya itu yang ada dalam pikiranku untuk aku lakukan ke depan.

Dan kalau aku ingat lagi, beberapa bulan sebelum mengikuti tes masuk perguruan tinggi, aku pernah mengikuti tes minat dan bakat untuk mengetahui program studi mana yang cocok buatku dan menurut hasil tes, aku cocok untuk masuk program studi Akuntansi karena aku terbukti jago dengan angka-angka. Entah kenapa, setelah 4 tahun aku jalani perkuliahan ini, aku benar-benar merasa telah salah memilih program studi. Bukan ini yang aku sukai. Bukan ini Tuhan.

“Selama ini mama pikir kalau kamu sedang nyelesain skripsi, karena kamu yang bilang gitu kan ke mama!” ujar mamaku melanjutkan. Hatiku hancur melihatnya. Aku terdiam membisu. Ia merasa gagal menjadi orangtua. Mama yang selama ini tegar dan bersemangat, saat itu kulihat menutupi mukanya dan berulang kali menyatakan ketidakpercayaannya akan berita yang ia terima. Ia mencoba membujukku untuk tetap meneruskan studiku karena sudah kepalang tanggung, tinggal menyelesaikan skripsi saja, tapi aku bersikukuh dengan keinginanku untuk pindah jurusan. Kami pun bersitegang mengenai masalah ini dan sore itu berlalu tanpa ada jalan keluar. Kami menyudahi pembicaraan tanpa ada keputusan apa-apa. Sore yang dingin.

Tanpa kusangka, keesokan sorenya, aku dikejutkan dengan berita yang aku terima. Tanpa sepengetahuanku, setelah berdiskusi dan meminta saran dari beberapa anggota keluarga, mamaku memberanikan diri untuk datang ke kampus dan berkonsultasi dengan ketua program studi. Ia mencoba untuk mengajukan permohonan agar skripsiku dapat diberi perpanjangan waktu. Mengetahui hal ini, tentu saja membuatku mengamuk. Aku bukan anak kecil lagi yang bisa diatur ini dan itu. Aku merasa seolah-olah mamaku tidak mendengar sama sekali keluhanku selama 2 tahun ini. Aku sudah bilang aku nggak sanggup, tapi kenapa tetap memaksakan keinginan ini?

Mama mencoba meyakinkan aku kalau Tuhan yang kasih jalan untuk aku mendapat perpanjangan waktu, artinya Tuhan akan membantuku untuk menyelesaikannya. Di sisi yang lain, aku jadi bertanya-tanya, bukankah itu artinya Tuhan tidak mendengar doaku buat pindah program studi? Apa Tuhan pun nggak melihat kalau aku nggak sanggup? Aku speechless.

Keesokan harinya, mama kembali mendatangi kamarku untuk menanyakan keadaanku. Ia khawatir dengan reaksiku kemarin setelah aku meluapkan kekesalan dan amarah yang tidak pernah ia lihat sebelumnya. Namun ia tetap bersikukuh dengan pendiriannya agar aku dapat menyelesaikan kuliahku saat ini. Ia mengingatkanku akan semua perjuangan yang sudah aku lakukan, mulai dari awal perkuliahan hingga kerja praktek. Ia memintaku untuk belajar menjadi orang yang bertanggung jawab dan menyelesaikan apa yang sudah aku mulai.

Ada satu kalimat yang hingga saat ini aku ingat, yang berkata bahwa kalau Tuhan sudah menolongku hingga sejauh ini, Tuhan juga akan menolong menyelesaikan perjalanan ini. Agaknya Tuhan mulai melembutkan hatiku saat itu. Amarahku mereda dan aku mulai mencoba untuk melihat masalah yang kuhadapi dari sisi lain. Aku sadar aku begitu egois dan ingin menang sendiri. Aku pun tahu mama bukan orangtua yang memaksakan kehendak kepada anak-anaknya. Ia orang yang fair, berani mengakui kesalahannya dan selalu berterus terang kepada anak-anaknya.

Yang lebih membuatku semakin menyadari bahwa Tuhan mendengar doa dan usaha mamaku adalah ketika aku diberitahu bahwa pihak Fakultas akan berusaha sebisa mungkin agar aku bisa kembali mendapat kesempatan menyelesaikan skripsi yang sudah tertunda selama 2 tahun. Yang membuat terheran-heran, semua urusan itu bisa diselesaikan hanya dalam satu hari saja, padahal selama 2 tahun statusku tanpa kabar itu aku yakin akan berakhir dengan keputusan DO dari kampus.

Saat ini aku merasa senang dan bersemangat. Walaupun papa dan kakakku tidak mengutarakan perasaan mereka, tapi mereka menunjukkan sikap menopang. Tiap orang tampaknya ingin berbuat sesuatu untuk menyemangatiku, dengan cara mereka sendiri. Aku merasa didukung dan ini semakin membesarkan hatiku. Setiap babak baru dalam perjalanan hidup kita berisi tanda tanya dan ketidakpastian. Kita jadi ragu-ragu dan takut. Pada saat seperti ini aku ingat pemazmur yang berbisik meminta topangan dari Tuhan,”Topanglah aku sesuai dengan janji-Mu…” (Mazmur 119:16).

Saat tulisan ini dibuat, pihak fakultas memberiku 3 bulan waktu perpanjangan agar aku bisa menyelesaikan skripsiku. Berita baiknya lagi, aku bisa mendapat pembimbing skripsi yang aku idolakan selama ini, dosen yang sangat menolong dan memotivasi aku untuk menyelesaikan skripsiku. Aku merasa seperti seorang pendosa yang mendapat anugerah pengampunan yang besar dari Tuhan. Aku tahu ini memang saat-saat yang berat dan penuh perjuangan, tapi aku siap memulai kembali dan aku tahu Tuhan akan menyanggupkan aku. Mungkin perjuanganku dalam menyelesaikan skripsi ini hanya 3 bulan saja, tapi perjalanan hidupku masih puluhan tahun ke depan. Akan jadi apa aku nanti? Apa rencana Tuhan dengan hidupku?

Saat aku bingung, bimbang, dan takut, aku teringat wajah-wajah yang menopang aku. Wajah mama, wajah papa, wajah kakakku dan orang-orang yang mengasihiku. Aku semakin mantap. Terima kasih Tuhan untuk mereka. Terima kasih Tuhan untuk kasihmu.

“TUHAN menetapkan langkah-langkah orang yang hidupnya berkenan kepada-Nya; apabila ia jatuh, tidaklah sampai tergeletak, sebab TUHAN menopang tangannya” –Mazmur 37:23-24.

Pahit Manis Sebuah Keluarga

Beberapa dari kita mungkin merasa bahasan tentang keluarga itu terasa manis, sementara yang lain mungkin menganggap keluarga adalah kepahitan.

Apa pun ‘rasa’ keluargamu, ketahuilah kalau kita punya kasih dan harapan yang tak pernah habis di dalam Yesus. Apa pun kemustahilan yang kamu dan keluargamu hadapi, Yesus hadir tepat di sisimu dan tiada yang mustahil buat Dia.

Hari ini bukan peringatan hari keluarga, tetapi keluarga adalah berkat yang harus kita sadari dan syukuri setiap hari. Doakanlah keluargamu, apa pun keadaan mereka. Mohonkanlah maaf atas kesalahanku dan ampunilah juga mereka apabila ada rasa sakit yang mereka torehkan di hatimu.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI dengan judul “What Makes Family” dan dibuat oleh @susannelowillustration

20 Tahun Menanti Jawaban Doa

Oleh Raganata Bramantyo

Saat aku masih berusia 9 tahunan, guru-guru sekolah Minggu di gerejaku selalu menasihatiku begini, “Doain papah terus ya, jangan nyerah.”

Di usiaku yang masih kecil dengan pikiran yang belum terbuka, aku menganggap sumber permasalahan dan keributan dalam keluargaku adalah sosok papaku. Setiap hari dia kerjanya marah-marah, memukuli mamaku, mengumpat kasar, berjudi, juga selingkuh dengan wanita lain. Saking seringnya aku melihat keburukan, aku hampir tak bisa melihat sisi baiknya, padahal ada momen-momen ketika papaku bersikap begitu manis dan baik.

Nasihat untuk mendoakan papa tak pernah kubantah. Setiap hari, sejak ingatanku mulai tumbuh aku selalu berdoa untuknya. Tapi, aku sendiri tak terlalu paham detail doanya. Perubahan seperti apa yang aku dambakan pada papa? Aku cuma ingin papaku seperti papa-papa lainnya, sosok papa yang tak cuma memberi nafkah keluarga, tapi juga memberi curahan kasih sayang dan bersikap lemah lembut.

Tahun demi tahun, aku beranjak menjadi remaja hingga dewasa dan mapan bekerja, tetapi perubahan yang kudambakan itu malah semakin jauh terwujud. Di tahun 2014 papaku akhirnya menikahi wanita lain dan merahasiakannya dariku, juga dari mamaku yang relasi dengannya sudah amat renggang tapi tak pernah secara resmi bercerai.

Memberi apa yang tak dimiliki

Kekalutan keluarga itu mendorongku untuk pergi menjauh. Selepas SMA, aku pergi merantau ke kota lain, tetapi di antara jarak jauh yang membentang itu Tuhan perlahan menumbuhkan benih-benih rekonsiliasi.

Aku masih tetap berdoa untuk papaku, memohon hal yang sama agar dia berubah, hingga suatu ketika aku mendapat kesempatan untuk pergi ke sebuah pulau kecil di Sumatra, tempat kelahiran papaku. Di sana, aku mengobrol dengan banyak kerabat dan mendapati cerita akan kelamnya masa lalu papaku. Cerita-cerita itu menohokku. Jika papaku sejak lahir berjibaku dengan kerasnya hidup, tak mengenal kasih Tuhan, dan tak pernah menerima kasih sayang berupa kata-kata manis dan sentuhan lembut, bagaimana dia dapat memberikannya buatku? Toh kita tak mungkin memberikan sesuatu yang tak kita punya.

Sejak saat itu, tumbuhlah sebuah pemahaman baru dalam hatiku akan papaku. Aku mengubah isi doaku. Bukan lagi meminta agar Tuhan mengubah papaku, tetapi aku memohon agar Tuhan mengubah hatiku untuk bisa memahami dan menerima perangai serta pribadi papaku. Doa itu kulanjutkan dengan tindakan meminta maaf. Melalui pesan SMS, aku tanya apa kabarnya dan kumintakan maaf. Pesan itu tak dijawab hangat. Mungkin dia gengsi. Tetapi, setahun dan dua tahun setelahnya, relasi antara ayah dan anak yang semula amat dingin dan kaku perlahan berubah. Setelah aku lulus dan kerja, aku sering pulang. Dalam setiap pulangku, papaku berkenan menjemputku dan setiap pertemuan jadi terasa akrab meskipun aku sendiri tak banyak tahu tentang kehidupan papaku sebenarnya, tentang di mana rumah barunya, siapa gerangan istri keduanya, bagaimana usaha dia, dan sebagainya. Yang kutahu dari cerita yang disampaikannya dengan singkat dan tertutup adalah dia mencoba membangun kehidupannya dengan iman dan lingkungan yang baru, bukan lagi iman Kristen. Aku mencoba menghormati keputusannya dengan tidak banyak melakukan interogasi.

Keakraban di ujung nafas

Meskipun aku merasa sudah cukup dekat dengan papaku, tetapi hatiku tetap merasa tidak puas. Dalam doaku kutambah lagi permohonan agar aku bisa mengenalnya lebih erat dan membawa papaku kembali pada Kristus.

Pada akhir Maret 2022, jantungku serasa berhenti ketika aku mendapat kabar bahwa papaku mengalami kecelakaan. Dia jatuh ke sungai saat berjalan kaki. Bonggol sendi antara paha dan panggulnya patah, namun di awal-awal kejadian dia menolak untuk dioperasi. Setelah dibiarkan tanpa pengobatan medis selama enam hari, kondisi fisik papaku semakin menurun hingga dia pun nyaris kehilangan kesadaran dan masuk ICU.

Mendapati kabar tragedi ini aku segera pulang menuju kota kelahiranku tengah malam. Saat paginya aku tiba di rumah sakit, betapa kaget aku melihat sosok wanita lain yang menjadi ibu tiriku. Mengetahui kalau aku pulang dan menunggui di rumah sakit, mama kandungku menentangku. Pikirnya, biarlah papaku dan keluarga barunya yang mengurusi semuanya, jangan aku.

“Mah, aku paham maksud hati mama bahwa mama tidak ingin aku direpotkan… tapi, aku mau merawat papaku. Bagiku gak ada istilah mantan anak dan bapak,” kutenangkan mamaku dengan argumen itu. Lalu tambahku, “Lagian, mama juga pasti pengen kan kalau papa bisa kenal Tuhan Yesus lagi? Kalau iya, siapa dong yang bisa kenalin Yesus ke papa kalau bukan aku, anaknya?”

Tiga hari pasca dirawat di ICU, papaku berhasil melewati masa kritisnya. Jam satu dini hari, bersama seorang suster kudorong ranjangnya menuju bangsal perawatan biasa. Lega hatiku, karena maut tak jadi menjemput. Hari-hari setelahnya operasi dilakukan dan keadaan papaku pun semakin baik. Selama dua belas hari di RS, aku benar-benar mengalami keakraban antara ayah dan anak yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Aku menyanyi bersamanya, mendoakannya, menyuapinya, bercanda, hingga membersihkan kotorannya.

Di malam kesekian, saat kesadaran papaku sedang prima, kutanya begini: “Pah, papa percaya gak kalau Tuhan Yesus menuntun dan memberkati langkah kita?”

“Iya, nak, papa percaya semua ini karena Tuhan baik,” jawabnya sambil memegang pundakku.

“Papa mau gak kembali lagi beriman sama Tuhan Yesus?”

Tak kuduga, jawaban papaku penuh semangat. “Iya! Papa mau beriman serius sama Yesus.”

Malam itu, kutuntun papaku dalam doa untuk mendeklarasikan iman percayanya. Papaku pun bernazar bahwa setelah sembuh dia akan menanggalkan cara hidupnya yang lama dan hidup serius bagi Tuhan.

Sukacitaku membuncah. Di hari ke-12, papaku akhirnya diperbolehkan pulang dan aku pun kembali ke kota perantauanku. Namun, sukacita itu tak berlangsung lama. Tak sampai 12 jam, papaku kembali masuk rumah sakit dengan kendala sulit buang air dan sesak nafas. Awalnya kupikir tidak ada yang serius, tetapi kenyataan berkata lain. Aku kembali pulang dan menemaninya di rumah sakit, sementara keadaannya semakin memburuk.

Hari ke-13 dan seterusnya, terjadi pendarahan hebat yang sungguh menyiksa papaku. Dalam sehari, puluhan kali darah segar mengalir dari anusnya. Dokter mendiagnosis ini sebagai kanker pada usus, namun betapa leganya kami setelah dilakukan endoskopi ternyata tak ditemukan adanya kanker.

“Ini mah disentri aja karena ususnya lecet,” ucapan dokter ini melegakanku.

Antibiotik diberikan dan selang tiga hari tak ada lagi pendarahan. Tapi… di hari ke 27 perawatan papaku di RS, pendarahan yang sempat terhenti itu terjadi lagi, malah lebih masif. Darah encer dan segar tak bisa berhenti mengalir. Sambil terisak, aku berlari ke ruangan suster dan meminta pertolongan segera. Dokter jaga melarikan papaku ke ICU dan sebelum ranjangnya dipindah, dia merintih kesakitan.

“Saya gak kuat lagi, gak kuat lagi…” ucapan ini menggetarkan hatiku. Papaku berulang kali menegaskan bahwa penyakit yang tak jelas ini begitu berat untuk ditanggungnya. Maka, meskipun aku sangat ingin melanjutkan kisah kasihku bersamanya, aku belajar untuk menerima kemungkinan melepasnya.

“Pah, jika memang sakit ini terlalu berat untuk dilalui dan papa mau berpulang, aku menerima keputusan ini. Di dalam Kristus, papa telah diampuni dan beroleh keselamatan sejati,” kubisikkan ucapan ini di telinga papaku sesaat sebelum dia koma.

Dua puluh empat jam kemudian menjadi pertarungan antara hidup dan mati. Setelah papaku dimasukkan ke ICU, kesadarannya hilang total. Di dalam tenggorokannya tertanam ventilator. Di lehernya tertusuk jarum infus. Kedua tangannya diikat. Yang bisa kulihat hanyalah denyut jantungnya pada monitor. Operasi pun dilakukan. Hasilnya sudah bisa ditebak: papaku tak mampu diselamatkan. Pada ususnya terjadi autoimun yang mengakibatkan seluruh dinding usus hancur, tak lagi bisa diselamatkan. Jikalaupun ada mukjizat untuk hidup, akan sangat sulit bagi papaku hidup tanpa usus besar.

Aku, jam tiga pagi, sendirian di ruangan ICU menerima kabar itu dengan kaki bergetar. Air mataku berderai. “Tuhan, mengapa secepat ini Engkau panggil papaku? Tidakkah aku diberikan kesempatan untuk mengasihinya lebih lagi di usianya yang enam dekade pun belum?”

Isakanku tak berjawab. Ia memantul di antara dinding-dinding rumah sakit yang dingin. Jelang sore hari, akhirnya nafas papaku pun terhenti sepenuhnya, dengan aku terduduk sayu di sampingnya, memegangi tangannya sembari mulutku tak henti-hentinya menyanyikan ratusan kidung pujian.

Sedih dan hancur hatiku. Aku bingung memaknai cara kerja Tuhan, tetapi ketika kantung air mataku mulai mengering, kurasakan ketenangan di jiwaku. Betapa 29 hari di rumah sakit ini Tuhan menjawab penantian doaku selama 20 tahun. Aku ingin keakraban, diberinya lebih dari sekadar akrab. Diberi-Nya rahmat yang tak berkesudahan, yang mengikat aku dan papaku dengan ikatan kasih yang tak terputuskan—kasih dari Kristus, Sang Ilahi yang telah mati bagi setiap orang berdosa. Sepanjang hari-hari ke belakang, terkhusus selama masa perawatan papaku, Tuhan telah menunjukkan jejak kasih-Nya, sekalipun itu tak menjawab keinginanku tetapi selalu mencukupi kebutuhanku.

Jika akhirnya papaku berpulang dalam keadaan telah memegang teguh imannya pada Kristus, bukankah itu sebuah kemenangan? Jika aku sebagai anak bisa mendapat kesempatan untuk senantiasa hadir di sisinya sampai ujung nafasnya, bukankah itu sebuah momen yang terlampau mahal? Jika segala kebutuhan finansial yang jumlahnya luar biasa besar ini bisa tercukupi dengan uluran tangan dari banyak sekali orang, bukankah itu bukti bahwa aku tidak sendirian?

Di hadapan peti jenazah papaku, kumenangis keras. Bukan sebagai tangisan kecewa, tetapi tangisan syukur betapa Tuhan menjawab doaku dan memulihkan papaku dengan pemulihan yang sejati.

Meskipun jawaban doa itu tidak terwujud pada tempat yang kudambakan, tetapi atas kasih setia dan rahmat-Nya, diberikan-Nya sesuatu yang jauh lebih baik dari harapanku. Jika aku sebagai manusia mendambakan perubah sikap, Tuhan Sang Ilahi dalam kedaulatan-Nya tak hanya mengubahkan sikap papaku menjadi lembut, tetapi juga meneguhkan jiwa dan rohnya untuk beroleh keselamatan kekal, tinggal damai bahagia dalam rumah Bapa Surgawi, pada sebuah tempat dan keadaan yang penuh damai sejahtera di mana tak akan ada lagi kesakitan, ratap, dan kertak gigi (Wahyu 21:4).

Hari ini, papaku telah menang atas segala sakit dan deritanya.

Cara Tuhan mengubah pandanganku adalah salah satu cara-Nya juga mengasihiku.

Terpujilah Tuhan, kini dan sepanjang segala masa.

“Tetapi yang terutama: kasihilah sungguh-sungguh seorang akan yang lain, sebab kasih menutupi banyak sekali dosa” (1 Petrus 4:8).

Tidak Semua Orang Tua

Kadang kita tak menyadari, di balik nada marah, wajah lesu, atau raut kebingungan orang tua kita, tersimpan kasih sayang yang tak terungkapkan dengan kata-kata. Terlebih di masa-masa sulit seperti sekarang ini, orang tua kita tetap berupaya melakukan bagiannya sebaik mungkin bagi keluarganya.

Tak ada orang tua yang sempurna, namun tiap orang tua layak mendapatkan apresiasi, sebab tanpa perjuangan, teladan, dan kasih sayang mereka, takkan muncul generasi mendatang yang tangguh.

Teruntuk Papa, Mama, Ayah, Ibu, terima kasih! Kami mengasihimu.

Kontribusi oleh Yohanes Tenggara dan Grace Tjahyadi ( @dreamslandia dan @gracetjahyadi_ ) untuk Our Daily Bread Ministries (Santapan Rohani dan WarungSaTeKaMu)

Tuhan Memampukanku Menyatakan Kasih Kepada Orang Yang Paling Sulit Kukasihi

Oleh Vika Vernanda, Jakarta

Tanggal 14 Februari kemarin, linimasa Instagramku penuh dengan foto coklat dan ucapan selamat hari kasih sayang. Teman-temanku merayakan hari itu bukan cuma dengan kekasih, ada pula yang bersama keluarga dan rekan-rekan terdekatnya. Namun bagiku, hari kasih sayang tidaklah spesial. Aku melakukan rutinitas mengajarku seperti biasa tanpa memberi atau menerima coklat.

Sekitar jam makan siang, muncul notifikasi di ponselku. Ada pesan dari ayahku. Dia memintaku untuk video call. Seorang ayah yang menelepon anaknya bukanlah kisah luar biasa bagi kebanyakan orang, tapi tidak bagiku. Aku tidak lagi bertemu ayahku sejak aku berusia tiga tahun.

Ayahku meninggalkan keluargaku. Sejak saat itu, aku tinggal bersama keluarga ibuku yang karena tindakan ayahku, jadi amat membencinya. Aku dilarang berkomunikasi dengannya. Keluarga ibuku pun terus menjelek-jelekkan ayahku di depanku. Tak terhitung berapa banyak hal buruk yang diceritakan padaku. Lama-kelamaan, aku tumbuh menjadi pribadi yang punya konsep bahwa ayahku jahat. Tanpa perlu dilarang pun, aku jadi tidak ingin berkomunikasi dengannya. Pernah ketika aku SMA, ayahku mengirimiku friend request di media sosial. Yang kulakukan adalah memblokir akunnya, tapi ayahku tidak berhenti. Dia membuat tiga akun baru dan terus mengirimiku permintaan pertemanan dan responsku tetap sama: aku memblokirnya.

Kakak pembimbing rohaniku tahu akan pergumulanku ini. Dia lalu menyarankanku untuk membuka blokirnya dan memberi kesempatan buat ayahku bicara denganku. Siapa tahu ada sesuatu yang ingin disampaikannya. Kuikuti saran itu. Ayahku sering mengirimiku pesan, tapi aku sangat jarang membalasnya. Beberapa kali dia meminta video call, tapi tidak juga kurespons hingga tiba hari itu. Aku mengiyakan permintaannya untuk video call.

Untuk pertama kalinya setelah 18 tahun, aku bicara dengan ayahku. Aku menatap wajahnya dari layar ponselku. Dia bicara banyak hal dan mengajukan beberapa pertanyaan. Satu kalimat yang kuingat dari percakapan itu adalah, “Aku [ayah] rindu kamu.” Aku tidak tahu harus merespons apa. Aku terdiam dengan air mata menetes. Ayahku juga menanyakan apakah ada sesuatu yang ingin kusampaikan padanya. Kujawab dengan diam. Aku sungguh tidak tahu apa yang harus kusampaikan kepada orang yang sudah meninggalkanku selama itu. Percakapan itu kemudian ditutup dengan lambaian tangan.

Aku tidak menyangka apa yang baru saja terjadi itu. Aku bersedia melakukan video call dengan ayahku dan menjawab berbagai pertanyaannya. Aku mempertanyakan diriku sendiri bagaimana aku bisa melakukan ini.

Aku mengingat saat teduh hari itu. Firman yang kubaca diambil dari Mazmur 16, yang mengingatkan kembali tentang kebaikan Allah apa pun kondisinya. Tidak pernah merasakan kehadiran seorang ayah adalah alasan yang masuk akal untuk berpendapat bahwa Tuhan itu tidak baik. Namun, kebenarannya tidak seperti itu. Benar memang aku tidak merasakan kasih seorang ayah, namun ada Ayah sejati yang mengasihiku. Ada Ayah yang mengasihiku bahkan di tengah ketidaklayakanku. Allah yang tetap baik meski semuanya terasa berat.

Aku membuka hatiku untuk menerima ajakan bicara ayahku adalah anugerah Allah, dan aku amat bersyukur kepada-Nya, Ayah sejatiku. Allahlah yang memberiku kekuatan untuk menyatakan kasihku kepada orang yang sangat sulit kukasihi.

Meski belum banyak pernyataan kasih yang bisa kuberikan kepada ayahku, aku bersyukur kepada Allah karena Dia memberiku kesempatan itu. Kupikir inilah hal yang Allah ingin aku lakukan di hari kasih sayang, yaitu menyatakan kasih sayangku kepada orang yang amat sulit kukasihi. Dan, kupikir ini jugalah yang Dia mau kita terus lakukan sebagai anak-anak-Nya, karena kasih-Nya yang besar sudah dinyatakan bagi kita.

Aku berdoa kiranya Tuhan terus memampukanku mengampuni ayahku dan mau berjuang menyatakan kasih kepadanya, sebagaimana Tuhan yang terus menyatakan kasih-Nya padaku.

Baca Juga:

Apa yang Terjadi Jika Kita Lupa Berdoa?

Ternyata aku mempercayai beberapa mitos tentang doa. Kepercayaanku akan mitos-mitos itu menunjukkan bahwa aku salah dalam memahami Tuhan. Lalu, apa sih yang akan terjadi jika kita tidak berdoa?

Itu Ayahku!

Ilustrasi oleh: Paulina Sangar (@caramel_art)

Setiap ayah punya keunikan. Ada ayah yang periang dan humoris. Ada pula ayah yang suka bertualang ataupun cenderung pendiam.

Mungkin kamu merasa malu dengan ayahmu karena dia pernah mempermalukanmu di depan umum, atau mungkin pula kamu begitu bangga padanya.

Tapi, apapun kelebihan dan kekurangan ayahmu, satu kebenaran yang kita perlu ketahui adalah kita semua memiliki sesosok Bapa di Surga. Dia adalah Bapa yang sempurna, yang mencurahkan kasih sayang-Nya kepada kita dan memangil setiap kita sebagai anak-anak-Nya (1 Yohanes 3:1).

Saat kita memperingati dan merayakan Hari Ayah, ingatlah juga untuk selalu bersyukur kepada Tuhan karena kita sudah diberikan hak istimewa untuk menjadi anak-anak-Nya!

Dalam Yesus, Ada Harapan bagi Keluargaku

Oleh Judah Koh, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Do You Need Hope For Your Family?

Sudah 11 tahun aku menjadi orang Kristen, dan aku adalah orang pertama di keluargaku yang datang pada Kristus. Oleh anugerah-Nya, ibu dan kakak perempuanku menerima Tuhan setahun setelahnya, diikuti oleh kakak lelakiku yang dimenangkan lewat upaya dan doa-doa dari rekan sekerjanya. Sungguh mukjizat keluargaku bisa menerima penebusan dari Tuhan Yesus.

Namun, masih tersisa ayahku. Aku tumbuh jadi seorang anak yang takut padanya karena ibuku sering menceritakan hal-hal buruk tentang ayahku. Teriakan, umpatan, dan gertakan adalah hal biasa di rumah kami, dan di suatu hari, ayahku pernah memberiku sebilah pisau dan menantangku untuk berkelahi dengannya. Buatku, dia adalah pria pemarah yang jauh dariku dan tak segan melakukan kekerasan. Meskipun akhirnya aku bisa menyingkirkan rasa takutku terhadapnya, takut itu telah melenyapkan semua rasa kasih yang seharusnya ada di antara ayah dan anak.

Kira-kira lima tahun yang lalu, di hari-hari yang biasa saja, aku melihat ayahku telah bertambah tua. Tak hanya tua, dia pun renta. Dia jadi pendiam. Dia tak lagi mengumpat sumpah serapah. Dia tampak tenang. Dan, dia pun terasing dari kehidupan sosialnya.

Meskipun kami sekeluarga tinggal di rumah yang sama, tidak ada seorang pun yang mau berhubungan dengannya. Dia kesepian, dan aku merasa Tuhan memberiku rasa sakit dalam hatiku—rasa sakit yang bermula dari simpati, bertumbuh menjadi kasih, pengampunan, dan kerinduan agar ayahku diselamatkan.

Di dalam budaya kami, banyak hal tidak kami bicarakan. Tapi entah mengapa, relasiku dengan ayahku mulai membaik. Kami hampir tidak pernah bertengkar lagi, tetapi semakin ramah satu sama lain. Seiring relasi kami yang mulai pulih, aku lebih dan lebih ingin lagi membagikan imanku pada ayahku.

Adalah perjalanan yang panjang sampai ayahku mau menerima Tuhan. Seorang teman dari luar negeri pernah mengunjungi kami dan kami mulai berbicara tentang iman. Obrolan itu berubah menjadi debat yang memantik emosi. Tiba-tiba aku sadar, kami terlalu memaksa meyakinkan ayah. Aku harus menyudahi obrolan itu sebelum berubah jadi pertengkaran. Di saat aku merindukan keselamatan buat ayah, aku sadar seharusnya aku tidak mengandalkan usahaku sendiri (Efesus 2:8-9).

2018 adalah tahun terakhir aku menerima angpao. Aku dan ayahku, bersama tunanganku merayakan Tahun Baru Imlek bersama. Meski ayahku sangat totok akan tradisi Tionghoanya, dia bersemangat menceritakan tentang pernikahanku nanti—pernikahan yang akan diberkati di gereja.

Rasanya menyenangkan melihat ayahku, yang bukan seorang percaya, menjelaskan dan mengerti tentang pernikahan gerejawi. Seiring obrolan berlanjut, aku mendengar ayahku berkata “Allah” dan “10 Perintah Allah”. Ternyata, ayahku pernah ke gereja waktu dia masih kecil, meskipun itu cuma saat Natal demi mendapatkan hadiah dan makanan. Dia tidak pernah tertantang untuk mengambil keputusan percaya. Tapi, Tuhan menyimpan kenangan masa kecilnya itu dalam hatinya, hingga setengah abad kemudian, ayahku masih bisa mengingat detail-detailnya.

Sebagai orang percaya yang pertama di keluargaku, aku merasa punya tanggung jawab untuk membawa Kabar Baik itu kepada keluargaku. Tetapi, aku perlu ingat bahwa Tuhan mengasihi ayahku lebih daripada apa yang bisa kulakukan, dan Tuhan punya rencana untuk menjangkau ayahku, bahkan sebelum aku dilahirkan. Tuhan bekerja dalam rancangan keselamatan buah ayahku. Tugasku adalah percaya, berdoa, dan tetap setia (Amsal 3:5-6).

Tapi, proses selanjutnya tidak selancar yang dikira. Setelah aku menikah, aku berdiskusi untuk membawa ayahku ke gereja istriku. Kebaktian di sana menggunakan dua bahasa, dan ada banyak lansia juga. Ayahku tidak terlalu menolak seperti biasanya, dan dia lebih tenang. Inilah kali pertama kami membawa ayahku ke gereja, dan aku berharap kalau ayahku menunjukkan semangatnya, atau mungkin memutuskan jadi orang percaya. Harapan itu tidak terjadi dan aku kecewa, tapi istriku mengingatkanku untuk tidak tawar hati, Tuhan sedang melembutkan hati ayah.

Di awal tahun ini, aku dan istriku mengajak ayahku untuk ikut kebaktian antar-denominasi di kota kami. Ayahku sudah 71 tahun, dan dia perlu segera mendengar Injil dan mengertinya. Kami mengajaknya, dan setelah banyak pertanyaan diajukannya, dia bersedia ikut. Di sana kami mendengar kesaksian, dan khotbah tentang kebenaran; ayahku duduk di sepanjang acara, kadang berkomentar tentang bahasa yang salah. Tapi, dia mendengarkan apa yang dia perlu dengar. Ketika panggilan altar dilangsungkan, aku dan istriku meyakinkannya.

Dia mengakui kalau dia sudah mengerti, segera atau nanti dia akan percaya pada Yesus karena semua keluarganya sudah percaya lebih dulu. Tapi, ayahku masih ragu akan beberapa hal yang kupikir keraguan itu bisa dijawab nanti setelah dia dimuridkan lebih jauh. Akhirnya, ayahku bersedia untuk maju ke depan, dan kami menemaninya menjawab panggilan altar.

Aku begitu bersemangat dan senang, akhirnya ayahku percaya pada Kristus. Tapi, dalam diskusinya dengan pejabat gereja, dia mengakui belum percaya. Aku merasa ini adalah kegagalan, tapi kemudian aku melihatnya sebagai kemenangan ketika dia berdoa dan bersedia untuk menggali lebih dalam tentang iman yang dibawa oleh “misionaris-misionaris dari Barat” ini. Pejabat gereja itu lalu memberinya Alkitab Perjanjian Baru. Keselamatan pada ayahku semakin dekat!

Di minggu-minggu selanjutnya, ayahku datang ke gereja dengan keinginannya sendiri. Dia ditemani oleh ayah mertuaku, dan inilah momen yang spesial. Ayahku mungkin cuma pernah ke gereja sebanyak enam atau tujuh kali di masa mudahnya, dan lima kali dalam satu bulan belakangan.

Aku ingin mendengar dari ayah mertuaku tentang apa yang terjadi. Ayah mertuaku bercerita kalau ayahku menangis dan hatinya tergerak oleh iman yang dibagikan oleh aku, istriku, dan ibuku.

30 Juni 2019, aku, istriku, dan para pemimpin di gereja kami menerima sebuah video yang direkam oleh ayah mertuaku. Ayahku sedang berdoa dan mengakui imannya kepada Tuhan Yesus.

Tuhan bekerja. Tuhan mengasihi. Tuhan menyelesaikan.

“Sebab karena kasih karunia kamu diselamatkan oleh iman; itu bukan hasil usahamu, tetapi pemberian Allah, itu bukan hasil pekerjaanmu: jangan ada orang yang memegahkan diri” (Efesus 2:8-9).

Baca Juga:

Divonis Tumor Payudara, Pertolongan Tuhan Nyata Bagiku

Divonis menderita tumor payudara di usia muda membuatku kalut dan sedih. Aku pun harus dioperasi dan sempat mencari alternatif lain. Namun, ketika akhirnya aku harus tetap dioperasi, aku mengalami penyertaan Tuhan yang nyata bagiku.