Posts

Sebuah Retret Keluarga di Rumah Sakit

Oleh Putri L.

Namaku Putri. Aku mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia. Aku ingin membagikan sedikit pengalamanku menghadapi terjangan badai yang selama ini sangat kutakutkan. Sebelumnya, ibuku juga sempat menuliskan kisah ini dari sudut pandangnya di sini. Semoga bisa bermanfaat bagi siapa pun yang membaca tulisanku.

Semua berawal dari kemarahanku pada pacarku. Kita semua tahu bahwa kumpul-kumpul di masa pandemi itu salah. Aku marah padanya karena pacarku itu malah main futsal di gelanggang olahraga yang tempatnya tertutup. Nggak pakai masker, lagi! Aku marah sekali padanya dan melarangnya datang menemuiku selama dua minggu penuh.

Alasanku marah adalah selain khawatir ia bisa tertular, aku juga sangat mengkhawatirkan kesehatan ayahku. Ayahku seorang dokter, dan aku selalu khawatir jika dirinya terkena virus corona ini. Ayahku memiliki komorbid diabetes sekaligus hipertensi, jadi pikirku, bila ayahku terkena corona, itu akan sangat berat baginya dan aku bisa kehilangan dia. Itu yang paling kutakutkan.

Sepuluh hari berlalu tanpa ada hal yang aneh. Menjelang hari pacarku akan datang mengunjungiku lagi, mendadak aku merasa tidak enak badan. Mataku panas. Dengan cemas aku mengukur suhu badanku. Mataku membelalak melihat angka yang tertera di sana. Tiga puluh tujuh koma lima derajat. Dengan perasaan takut, aku menenggak pil pereda demam, sambil berharap demamnya cepat turun. Dan, ya, memang turun.

Aku lega sekali. Namun kelegaanku tidak berlangsung lama. Keesokan harinya, tubuhku kembali demam, kali ini suhu badanku mencapai angka 38. Aku nyaris tidak bisa mengikuti perkuliahan daring hari itu. Hari berikutnya lebih menakutkan. Selain demam, aku mulai tidak bisa mencium bau apa pun. Aku ingat sekali, hari itu ibuku memasak semur kesukaanku. Tapi, aku tidak bisa mencicipi sama sekali.

Aku ketakutan. Tambahan lagi, ibuku mengalami hal yang sama sejak tiga hari sebelumnya. Apakah kami kena corona? Rasanya mustahil! Selama pandemi ini aku hanya bertemu dengan pacarku. Tidak pernah bertemu dengan yang lain. Ibu dan adikku juga tidak. Hanya ayahku yang pergi keluar, itu pun hanya untuk bekerja. Beliau selalu mengenakan face shield dan masker, sering cuci tangan, memakai hand-sanitizer, pokoknya protokol kesehatan selalu beliau jalankan. Jadi, apa yang membuat kami terkena corona? Harusnya tidak ada!

Hari berikutnya demamku hilang, tapi aku tetap kehilangan kemampuan mencium dan merasa. Akhirnya orangtuaku memutuskan untuk swab test keesokan harinya. Aku mencoba untuk santai, walau tak bisa dipungkiri aku tetap ketakutan. Kami menjalani swab di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan. Rasanya sedikit sakit dan geli, air mataku sampai keluar. Setelah itu kami pulang dan menunggu hasilnya di rumah.

Malamnya adalah malam terburuk. Kami menerima hasil dan hasilnya adalah aku dan kedua orangtuaku positif terkena Covid-19. Kami semua bagaikan tersambar petir mendengarnya. Rasanya ingin menjerit dan menangis. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Bagaimana dengan ayahku, apa aku akan kehilangan dia? Bagaimana dengan ibuku? Adikku, yang tidak ikut di swab test itu? Apakah dia sehat, atau tidak?

Ibuku terus-terusan menangis dan dalam kekalutannya sempat menyalahkan ayahku karena ternyata beliau sempat memeriksa temannya yang belakangan positif Covid-19. Ayahku marah. Adikku ketakutan. Sesaat kami tidak tahu harus berbuat apa. Keesokan harinya, kami ‘menyerahkan diri’ untuk dirawat di rumah sakit. Di sana, adikku langsung ikut masuk ke rumah sakit karena ia juga sudah demam, meski belum di-swab test. Namun ternyata hal itu tidak percuma, karena dua hari kemudian, adikku juga dinyatakan positif Covid-19.

Awalnya, aku juga marah. Aku sampai mogok membuka Instagram, karena aku benci melihat Instagram stories teman-temanku. Mereka tetap berkumpul bersama, nongkrong di mal, tapi sehat-sehat saja! Sementara aku yang selalu patuh tinggal di rumah, malah terkena Covid-19! Coba bayangkan: aku dan pacar selalu di rumah, tidak pernah nongkrong di luar. Kalaupun ingin makan di luar, kami hanya membelinya lalu menyantapnya di rumah. Ibuku apalagi. Sejak bulan Maret beliau selalu di rumah karena kantornya mewajibkan WFH (Work From Home). Ia sangat keras dan disiplin terhadap kebersihan, ayahku selalu dipaksa untuk langsung mandi olehnya begitu pulang kerja. Seluruh barang dengan sangat teliti selalu disemprot disinfektan oleh ibuku. Rumah setiap hari di pelnya dengan karbol. Ia juga tidak pernah berkumpul bersama teman-temannya. Adikku lebih parah lagi, ia bahkan tidak pernah keluar dari rumah sekali pun. Apa lagi yang kurang?

Tapi sekarang, saat kami berempat berada di ruang isolasi, kami mulai menyadari ada satu ‘protokol kesehatan’ yang sesungguhnya sering lalai kami lakukan. Di ruang isolasi yang mencekam itu, Tuhan mengingatkan kami. Aku merasa ditegur-Nya lewat mimpi. Ayahku diperdengarkan terus dengan lagu-lagu rohani yang terus bergema di hatinya ketika ia tidur. Ada hal terpenting dari sekian banyak protokol yang harus ditaati tapi justru tidak kami lakukan: berdoa mohon perlindungan!

Kenapa aku bilang berdoa merupakan salah satu bagian dari protokol kesehatan? Karena aku dan keluargaku sudah mengalaminya sendiri: semua itu percuma kalau kita tidak melibatkan Tuhan di dalamnya. Seperti kata Ayub: “Apakah kekuatanku?” (Ayub 6:11). “Tetapi pada Allahlah hikmat dan kekuatan, Dialah yang mempunyai pertimbangan dan pengertian” (Ayub 12:13). Kami sudah melakukan protokol kesehatan dengan benar dan disiplin, tapi tetap saja kena. Karena apa? Ya, karena akhir-akhir ini, kami memang sangat kurang membangun mezbah keluarga. Dalam kesibukan keluarga setiap pagi, sebelum Ayah pergi bekerja, kami tidak pernah melepasnya dalam doa secara khusus. Kami membiarkannya begitu saja, berjuang di luar menghadapi pandemi, tanpa meminta perlindungan dari Tuhan, karena kami begitu yakin kami telah melakukan protokol dengan tepat dan benar. Kami sekeluarga memakai kekuatan kami sendiri dengan merasa terlalu percaya diri. Kami lupa melibatkan Tuhan agar senantiasa menjaga kami.

Namun begitu, Tuhan tetap sayang pada kami. Dari awal semua telah diatur oleh-Nya. Pacarku, yang selama ini tidak pernah bandel, dibuat-Nya menjadi bandel agar kami tidak bertemu dan ia terhindar dari Covid-19. Dan, kami bersyukur memperoleh kemudahan mendapat ruangan di rumah sakit padahal banyak yang terpaksa berkeliling ke beberapa rumah sakit dulu baru berhasil mendapatkan ruangan. Keluarga, teman, dan pacarku juga senantiasa mendoakan dan mendukung dari rumah. Mereka selalu menyemangatiku ketika kami lagi-lagi mendapatkan hasil ‘positif’ di swab yang kedua. Keluarga besar, secara bergiliran, mengirimi kami makanan enak-enak setiap harinya, sampai terkadang rasanya terlalu banyak. Ketakutan yang selalu terbayang olehku, bahwa ayahku pasti kalah bila terkena penyakit ini juga tidak terbukti, karena sampai hari ini ayahku sehat-sehat saja dan dapat beraktivitas seperti biasa, meski memang karena komorbidnya, kondisi paru-paru beliau yang paling parah di antara kami berempat, dan proses penyembuhannya akan memakan waktu yang lebih lama. Tuhan Yesus begitu sayang pada keluarga kami, padahal kami sudah lama melupakan-Nya. Karena kasihnya, Dia mengizinkan peristiwa ini terjadi pada keluarga kami untuk mengingatkan bahwa Dia ada dan selalu menyertai kami.

Kata ayahku, ini retret keluarga kami. Dalam ruang isolasi rumah sakit ini, kami diingatkan lagi untuk membangun kembali mezbah keluarga yang sudah lama hilang dari keluarga kami. Kami diingatkan bahwa percuma saja kami mengandalkan kekuatan sendiri dan tidak melibatkan Tuhan dalam hidup kita. Terima kasih Tuhan Yesus, Engkau begitu baik kepada kami.

Untuk teman-teman yang kukasihi, aku meminta kalian untuk tidak lupa menyertakan Tuhan. Jangan lupa untuk tetap melakukan protokol kesehatan, tapi sebelum itu mulailah semua kegiatan kalian dengan berdoa. Buka dan tutup hari kalian dengan doa. Melakukan protokol kesehatan tanpa Tuhan sama saja bohong. “Sebab Tuhan, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau; janganlah takut dan jangan patah hati” (Ulangan 31:8).

Jaga kesehatan kalian, karena terjangkit Covid-19 sangat tidak enak! Kiranya tulisanku ini bisa menjadi berkat. Tuhan Yesus memberkati, amin.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Tidak Sempurna, Tetapi Diberikan-Nya Tepat Buatku

Kasih bapakku tidak sempurna, tetapi kasih Allah Bapa menyempurnakannya. Kedua orangtuaku, juga orangtuamu mungkin banyak berlaku salah dan mengecewakan kita, tetapi percayakah kita kalau merekalah yang terbaik buat kita?

Keluargaku di Bawah Bayang-bayang Maut

Oleh Monica Koesoemo, Bekasi

Jumat, 4 September 2020. Pagi itu aku bangun dalam keadaan badan kurang enak. Sekujur badan terasa sedikit linu dan lelah. Hingga Rabu, kulewatkan hari-hari dengan kondisi yang tidak kunjung fit. Ditambah kemudian aku mulai tidak bisa mencium atau merasakan apa-apa. Belum lagi kondisiku membaik, putriku mulai merasakan gejala yang sama. Khawatir dengan perkembangan yang semakin memburuk, kami memutuskan menjalani swab test . Sabtu, 12 September, dunia kami terasa runtuh. Tiga dari empat anggota keluargaku sama-sama menerima hasil tes di Sabtu malam itu. Kami positif terinfeksi Covid-19. Tak lama, anak lelakiku juga menjalani swab test. Hasilnya, ia juga positif terinfeksi virus yang telah merenggut banyak jiwa itu.

Dalam suasana hati yang kalut, secercah keberuntungan menghampiri: kami memperoleh kemudahan berupa kamar perawatan yang bisa dipakai berempat. Dengan menjalani perawatan bersama-sama, kami berharap bisa saling menyemangati sehingga bisa pulih lebih cepat. Namun, jujur, kondisiku di saat menulis kisah ini masih tak menentu. Reaksi pertama ketika mengetahui kami sekeluarga terkena Covid-19, aku marah dan syok.

Aku marah, karena merasa selama ini sudah sangat disiplin menjaga diri. Tidak pernah ke luar rumah yang tidak perlu sejak bulan Maret, menghindari ajakan teman untuk kumpul-kumpul, bekerja dari rumah, hanya ke luar untuk membeli kebutuhan pokok, tidak pergi ke mal, dan tidak bersosialisasi. Tapi, ternyata masih kena juga! Apalagi ditambah hasil CT scan paru-paru suami dan anak lelakiku menunjukkan adanya pneumonia. Meskipun secara klinis mereka baik-baik saja, namun ketidaktahuan kami tentang perjalanan penyakit ini membuatku didera kekhawatiran yang parah.

Aku gamang dan kehilangan optimisme. Padahal sehari-hari aku melayani di gereja, aktif memimpin jemaat, sesekali berkhotbah membawakan firman, dan pekerjaanku sehari-hari pun tidak pernah lepas dari firman Tuhan. Tapi mengapa saat aku dan keluarga mendapat cobaan berat ini, aku merasa semua firman yang pernah kubaca lenyap dari ingatan? Mengapa imanku mendadak rapuh? Mengapa aku merasa Tuhan tidak ada untuk menolongku?

Semua pesan firman Tuhan, tulisan-tulisan tentang kekuatan, pengharapan, sukacita, seolah tak ada kekuatannya. Hanya sekadar tulisan tak bermakna. Aku stres berat. Menit demi menit terasa berjalan lambat. Jantungku deg-degan setiap saat. Tangan dan kakiku dingin, berkeringat. Tensiku naik hingga 175 dan tidak turun-turun.

Di tengah kegalauan itu, aku teringat pada sebuah lagu yang menguatkan aku di saat anak perempuanku harus menjalani operasi usus buntu, sekitar enam tahun lalu. Lagu itu bertutur tentang Allah sebagai suara harapan, sauh bagi jiwa, yang sanggup menunjukkan jalan di saat tidak ada jalan. Allah yang adalah Raja Damai, yang menenangkan jiwa di tengah penderitaan. Segera kucari lagu itu di YouTube, dan kudengarkan sambil ikut menyanyikannya, sambil menangis dan mengangkat tangan, menyembah Tuhan. Kulakukan terus sambil berurai air mata. Di saat itu aku benar-benar merasa Tuhan ada di dekatku, memelukku, menenangkanku. Perlahan, kasih-Nya yang lembut itu menyusup masuk dalam hatiku, melingkupiku dengan damai sejahtera.

Setelah bisa tenang kembali, aku merasa Roh Kudus mulai berbicara dengan lembut dalam hatiku. Semua firman yang menguatkan kembali bermunculan dalam hatiku, meneguhkanku. Ya, aku tidak boleh takut! Aku harus percaya Tuhan memelihara hidup kami. Memang kami tidak tahu apa yang akan terjadi di depan, tetapi Tuhan menghendaki kita berserah saja pada-Nya, tidak memusingkan pikiran dengan hal-hal di luar kendali kami. Kami toh sudah berdoa, sudah memohon kesembuhan. Walaupun kami belum menerimanya saat ini, tapi kami harus percaya dengan iman bahwa kami sudah menerimanya (Markus 11:24).

Esok paginya, dalam sesi mezbah keluarga bersama-sama dari kamar isolasi, suamiku bersaksi bahwa tadi malam ia sulit tidur. Bukan apa-apa, tapi karena seakan suara Tuhan terus bergema di dalam hatinya, mengatakan kepadanya agar tidak takut. Tuhan juga terus memperdengarkan lagu-lagu pujian di dalam hatinya, sehingga sepanjang malam hatinya dipenuhi nyanyian sorgawi yang menguatkan:

“Engkau ada bersama-Ku di setiap musim hidupku. Tak pernah Kaubiarkan ku sendiri. Kekuatan di jiwaku adalah bersama-Mu. Tak pernah kuragukan kasih-Mu. Bersama-Mu Bapa, kulewati semua. Perkenanan-Mu yang teguhkan hatiku. Engkau yang bertindak, memberi pertolongan. Anugerah-Mu besar melimpah bagiku.” Suamiku juga menyampaikan pesan Tuhan untuk kami, “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” (Matius 6:34.)

Momen ini menjadi luar biasa, karena setelah itu aku mengikuti persekutuan doa kelompok kecil dengan teman-teman kantor melalui video call, salah seorang di antara mereka meneguhkan pesan Tuhan tadi dengan memberikan ayat yang persis sama! Padahal, aku belum sempat bercerita apa-apa dengannya. Hal itu membuatku semakin yakin, bahwa Allah kita adalah Allah yang hidup, yang benar-benar ada bagi kita di setiap musim dalam hidup kita. Dia sanggup menjangkau hatiku yang galau lewat pesan yang sama yang Dia sampaikan kepada dua orang yang berbeda. Itu bukti bahwa Dia benar-benar memperhatikan keadaanku. Dia tahu aku sedang perlu dihibur dan dikuatkan.

Entah kapan kami sekeluarga bisa ke luar dari tempat ini. Mungkin masih lama. Mungkin juga sebentar lagi. Ke depan, mungkin akan ada hari-hari di mana aku akan merasakan ketakutan dan kekhawatiran lagi. Tapi aku tidak boleh menyerah. Aku harus kuat, tabah, sabar, dan berani! Aku harus mengimani bahwa di saat yang paling gelap sekalipun, Tuhan Yesus itu tetap dekat. Ia dekat dengan orang-orang yang patah hati, dan menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya (Mazmur 34:18).

Kiranya Tuhan menguatkan kami, dan menguatkan teman-teman semua di luar sana yang saat ini masih harus berjuang menjalani hidup di tengah pandemi yang melanda. Tuhan menyertai kita semua. Tetap semangat!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Berdoa dan Bekerja, Manakah yang Lebih Penting?

Kisah Marta dan Maria bukanlah tentang dua sikap yang bertentangan, tentang mana yang lebih penting: bekerja atau berdoa. Apa sejatinya makna kisah mereka buat kita?

Ketika Aku Sakit Bukan Berarti Tuhan Tidak Mengasihiku

Oleh Christina Anggita

Satu pertanyaan muncul dalam suatu kelompok tumbuh bersama, “Apa yang paling kamu syukuri sepanjang hidupmu?” Jawaban dari teman-temanku adalah penyertaan Tuhan, keluarga, maupun komunitas. Saat itu aku menjawab, kesehatan. Ya. Aku merasakan bahwa Tuhan begitu mengasihiku dengan menganugerahkanku kesehatan yang sangat baik. Mungkin hanya setahun sekali aku demam. Hampir tidak pernah aku tidak masuk sekolah atau bekerja karena sakit.

Namun, beberapa waktu setelahnya, aku mengalami sakit di bagian ulu hati. Biasanya aku merasakannya hanya sebentar tetapi kali ini berbeda, sakitnya masih bisa kurasakan selama dua hari berturut-turut. Di hari kedua itu, aku merasa ada yang aneh pada tubuhku. Bangun tidur, sebelah mataku bengkak, begitu pun leher. Siang hari di tempat kerja, aku melihat kakiku sepertinya bengkak tetapi aku tidak benar-benar yakin karena aku memakai celana panjang dan sepatu kets, dan tidak berniat memeriksanya. Sore hari, aku bersama teman mencoba menimbang berat badan ternyata berat badanku naik 5 kg. Aku senang sekali karena akhirnya aku gemuk, tapi setibanya di rumah setelah pulang kerja, aku berganti pakaian dan aku melihat ternyata kakiku bengkak seluruhnya. Ketika aku bercermin, mata dan leherku masih bengkak dan bertambah di bagian dahi.

Aku memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter, lalu dokter merujukku ke rumah sakit. Aku didiagnosis mengalami Sindrom Nefrotik (ginjal bocor). Aku harus menjalani proses pemeriksaan berkelanjutan dengan seluruh bagian tubuh yang semakin membengkak. Kondisi ini tidak mudah bagiku, terlebih saat itu aku berada di tanah rantau. Aku kemudian memutuskan kembali ke kota asal untuk dirawat di sana oleh keluarga.

Hampir saja aku kecewa karena Tuhan memberiku penyakit, tetapi aku masih memiliki keyakinan bahwa Tuhan pasti tetap mengasihiku dan ingin mengajarkanku sesuatu melalui penyakit ini. Inilah yang tetap kulakukan dan kupelajari selama masa-masa sakitku:

1. Tetap belajar bersyukur

Waktu aku sehat aku yakin Tuhan mengasihiku karena Dia mengaruniakan kesehatan, tapi waktu aku sakit aku juga sangat yakin Tuhan mengasihiku, meskipun sakit yang kualami terasa seperti teguran. Aku tetap berusaha bersyukur, karena aku percaya bahwa Tuhan itu baik dan Dia tentu punya rencana yang baik pula di balik sakit yang kualami.

2. Belajar mengandalkan Tuhan

Waktu aku sehat, fisikku kuat, aku bisa melakukan banyak hal. Pertanyaannya, apakah aku sering mengandalkan kekuatanku sendiri untuk banyak hal itu? Jawabannya ya. Waktu aku sakit, aku tidak bisa melakukan banyak hal. Aku melihat diriku lemah, jalan saja susah, terbatas beraktivitas, bisakah aku mengandalkan kekuatanku sendiri? Tentu tidak. Aku membutuhkan orang lain dalam banyak hal. Aku menyadari bahwa sesungguhnya aku hanya ciptaan yang terbatas dan lemah, tetapi aku punya Pencipta yang begitu kuat dan luar biasa. Kekuatanku itu semata-mata hanya karena kasih anugerah-Nya sehingga aku dan kita semua ada sampai saat ini. Maka sesungguhnya kita selalu membutuhkan Tuhan dalam tiap aspek kehidupan dan tiap waktu. Aku belajar lebih berserah pada Tuhan dalam kondisi apapun itu.

3. Belajar melayani sesama

Waktu aku sakit, begitu mudahnya aku mendapat pertolongan, doa dan dukungan di tengah kesulitan yang kualami selama sakit. Itu juga merupakan bukti bahwa Tuhan begitu mengasihiku. Ia mengizinkan aku merasa sesuatu yang tidak enak menurutku tetapi Dia juga menyediakan pertolongan melalui orang-orang di sekitar. Mereka berdoa bersamaku, menguatkan dan memberi semangat kepadaku, bahkan membantu menyiapkan makananku hingga mengantarku bolak-balik ke rumah sakit. Sekarang pertanyaannya adalah sudahkah aku juga memberi diri untuk melayani dan menolong sesama dengan setia?

Rasul Paulus jelas mengingatkan kita semua tentang kasih Kristus dalam Efesus 3 : 18-19 (TB) “Aku berdoa, supaya kamu bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami, betapa lebarnya dan panjangnya dan tingginya dan dalamnya kasih Kristus, dan dapat mengenal kasih itu, sekalipun ia melampaui segala pengetahuan. Aku berdoa, supaya kamu dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah.”

Bagian ini merupakan rangkaian dari bagian doa Rasul Paulus bagi orang-orang percaya di Efesus. Apa yang menjadi permohonan Paulus bagi jemaat di Efesus adalah bukan supaya kehidupan jemaat bertumbuh dalam hal kuantitas, mereka yang hidup dalam kemiskinan menjadi bergelimpang harta, mereka yang sakit mendapatkan kesembuhan, melainkan bagaimana jemaat bertumbuh dalam memahami dan memiliki pengenalan akan kasih Kristus. Harapan Paulus dalam doanya adalah supaya jemaat di Efesus bersama-sama dengan segala orang kudus dapat memahami kasih Kristus.

Paulus menggambarkan kasih Kristus itu betapa lebar, panjang, tinggi, dan dalam. Kasih Kristus adalah kasih yang tiada tara, yang sulit dipahami oleh akal pikiran manusia yang terbatas. Namun frasa “sulit dipahami” itu bukan berarti bahwa orang percaya seharusnya berhenti saja untuk belajar memahami dan mengenal-Nya. Paulus juga memohonkan kepada Allah supaya jemaat di Efesus dipenuhi di dalam seluruh kepenuhan Allah. Paulus rindu mereka hidup dalam kasih kepada Kristus Yesus dan kasih kepada sesama, sebagai orang yang telah diselamatkan dan sebagai tubuh Kristus.

Inilah juga yang seharusnya menjadi konten dan semangat yang seharusnya hidup dalam kehidupan setiap orang kudus di segala abad dan tempat. Tidak jarang kita memohonkan kepada Allah tentang bagaimana kita sembuh dari sakit penyakit, bagaimana supaya keuangan kita bertambah, karir lancar atau meningkat dan lain-lain. Adakah permohonan kita kepada Allah tentang bagaimana kita bertambah teguh dalam iman, memahami, mengenal dan menghidupi kasih Allah dengan sungguh-sungguh dalam kehidupan keseharian sehingga hidup yang kita jalani adalah hidup yang benar dan yang memuliakan nama Tuhan.

Sesungguhnya kehidupan selama masa pemulihan sangatlah sulit bagiku. Selain melakukan rawat jalan dengan cek urin dan darah setiap dua minggu, aku harus mengonsumsi banyak obat dan mengubah pola makan. Aku benar-benar tak menyukainya tapi aku belajar taat. Setiap hari juga aku berdoa bukan hanya untuk kesembuhan tapi untuk terus bertambah teguh dalam iman kepada Kristus seperti yang Paulus ingatkan. Puji Tuhan setelah empat bulan berlalu, aku sembuh total. Aku bersyukur atas perkenanan Tuhan memberiku kesembuhan meskipun akhirnya Tuhan izinkan aku tidak bekerja lagi demi kesehatanku yang lebih baik.

Tuhan mengubahku menjadi pribadi yang berbeda setelah melalui penyakit ini. Aku menjadi pribadi yang selalu mencari Tuhan lebih dahulu dalam menghadapi pergumulan apapun sehingga aku lebih kuat menghadapinya dan percaya segala sesuatu indah pada waktu-Nya. Kehidupan doa dan saat teduh menjadi bagian yang kunikmati setiap hari. Tuhan juga menanamkan panggilan untuk terus melayani orang-orang di sekitarku meski hanya melalui hal kecil yang bisa kulakukan seperti menjadi pendengar dan mendoakan sesama yang sedang bergumul, serta memberi kesaksian bagaimana Tuhan bekerja dalam hidupku melalui komunitas maupun media sosial.

Kiranya kasih Kristus selalu memampukanku dan kita semua untuk bersyukur, mengandalkan Tuhan, serta melayani Tuhan dan sesama dengan setia.

To God be the glory.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Lebih Dari Kain Kering Bekas

Pertolongan Tuhan selalu datang tepat waktu. Meski sempat gengsi untuk meminta tolong, tetapi Tuhan menolongku lewat tindakan kasih teman-temanku.

Gwan-hee Lee: Melalui Kanker, Kristus Nyata Hidup di Tubuhku

Oleh Yosheph Yang
Artikel ini ditulis berdasarkan film dan buku “Church Brother” (교회 오빠) yang mengisahkan perjuangan Gwan-hee melawan kanker.

*Spoiler alert

Segala sesuatu berjalan dengan baik di kehidupan Gwan-hee. Lulus dari salah satu universitas ternama di Korea Selatan, kerja sebagai peneliti di perusahaan besar di Korea, dan menikah dengan istri yang baik (Eun-joo Oh). Tidak sampai 100 hari setelah kelahiran anak pertama (So-yeon Lee), di bulan September 2015, Gwan-hee didiagnosis menderita kanker usus besar stadium empat. Tidak ada yang mengira bahwa ini adalah awal dari penderitaan lain yang menghampiri hidup Gwan-hee.

Hidupku adalah misi dari Tuhan

Di akhir tahun 2015, Gwan-hee dan keluarganya harus menelan pil pahit lain dalam kehidupannya. Ibunya Gwan-hee mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri dikarenakan depresi melihat Gwan-hee yang menderita kanker. Eun-joo merasa bersalah tidak tahu bagaimana galaunya kehidupan ibu mertuanya setelah mengetahui berita kanker itu.

Melalui film dokumentasi tentang hidupnya melawan kanker, Gwan-hee sama sekali tidak berusaha menutupi masalah keluarganya. Gwan-hee menanggap apa yang ia alami berada di bawah pengaturan Tuhan, dan ia hanya menyampaikan kehidupannya yang terhempas ini apa adanya kepada orang-orang lain.

Walaupun kenyataannya pahit, Gwan-hee tetap mengasihi Tuhan dan percaya kepada kedaulatan Kristus dalam kehidupannya. Melihat sikap Gwan-hee yang seperti ini, banyak orang bertanya kepadanya. “Dengan kenyataan bahwa ibu kamu meninggal dengan bunuh diri, bagaimana kamu tetap bisa memuji Tuhan dan tidak membenci Tuhan sama sekali?”

Dan beginilah Gwan-hee menjawabnya. “Setelah menerima kenyataan pahit tentang ibuku, aku memulai doaku dengan menyalahkan Tuhan. Tuhan, kapan aku membenci Engkau dengan kanker yang aku terima? Tuhan tahu dengan jelas isi doa-doaku. Aku berdoa tolong Tuhan jaga hati ibuku yang lemah, berikan ibuku kekuatan terhadap berita kankerku. Apabila doa ini tidak didengar sama sekali, selanjutnya doa apakah yang bisa kupanjatkan kepada Engkau, ya Tuhanku?” Ketika Gwan-hee memulai doanya seperti itu, ia merasakan Roh Kudus memberikan penghiburan kepadanya. “Dukacita dan kesedihan yang aku terima tentang meninggal ibuku yang sangat kusayangi itu juga lebih dirasakan oleh Tuhan. Aku juga melihat di dalam hatiku Tuhan menangis ketika memeluk ibuku. Aku tidak bisa membenci Tuhan setelah itu.” Gwan-hee pun mengakhiri doanya saat itu dengan memuji Tuhan. Ia berkomitmen untuk tetap cinta Tuhan apapun kesengsaraan yang akhirnya akan muncul di dalam kehidupannya.

Empat bulan setelah meninggalnya sang ibu, Gwan-hee menerima kenyataan pahit lain dalam kehidupannya. Istrinya yang ia kasihi didiagnosis kanker darah stadium empat. Gwan-hee dalam kesaksiannya menceritakan walaupun kehidupannya tidak dapat dibandingkan dengan kisah Ayub di Alkitab, ia merasakan Tuhan sedang menguji imannya. Di dalam situasinya saat itu, Gwan-hee percaya misinya saat itu adalah tetap percaya kepada Tuhan. Mazmur 50:15 dan Yeremia 33:3 menjadi janji Firman Tuhan yang ia pegang dan percaya di dalam kesesakannya. Berseru dan berdoa kepada Tuhan dengan mengutarakan segala permasalahan dalam kehidupannya menjadi tanggapan Gwan-hee terhadap janji Tuhan yang ia pegang itu.

Berserulah kepada-Ku pada waktu kesesakan, Aku akan meluputkan engkau, dan engkau akan memuliakan Aku. (Mazmur 50:15)

Berserulah kepada-Ku, maka Aku akan menjawab engkau dan akan memberitahukan kepadamu hal-hal yang besar dan yang tidak terpahami, yakni hal-hal yang tidak kauketahui. (Yeremia 33:3)

Perenungan melalui kanker

Di dalam masa pengobatan buat Gwan-hee dan istrinya yang sama-sama melawan kanker, mereka bersama-sama melakukan saat teduh di pagi hari. Di pagi itu, mereka membaca dari Roma 3:23, “Karena semua orang telah berbuat dosa dan telah kehilangan kemuliaan Allah”.

Gwan-hee membimbing diskusi yang ia lakukan bersama istrinya. Mengapa Tuhan melihat kita sebagai orang berdosa? Kita perlu lebih jelas memahami makna dosa dalam kehidupan kita. Menurut Gwan-hee, dosa adalah walaupun tahu pentingnya percaya Kristus, manusia pada umumnya tidak percaya sepenuhnya kepada Kristus dan tidak memberikan Kristus hak milik seutuhnya dalam kehidupan kita. Selain itu bagi Gwan-hee, dosanya adalah walaupun Tuhan telah memilihnya sebagai bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah (1 Petrus 2:9) yang diciptakan untuk mengasihi orang lain dan menjadi murid Kristus, ia tidak melakukan panggilan tersebut sepenuhnya.

Melalui perenungan tentang relasi antara dosa dan mengasihi orang lain, terlebih di masa pengobatan kankernya, Gwan-hee diajarkan Tuhan tentang apakah dosa itu dan makna kasih yang sebenarnya. Inilah yang menjadi hal yang pertama dalam pertobatannya. “Sebelum kanker tiba, dibandingkan dengan orang lain, aku berpikir bahwa aku melakukan banyak hal-hal baik di dalam atau pun di luar gereja.” Namun, setelah sakit menerpa tubuhnya, Gwan-hee menyadari bahwa dia tidak sepenuhnya mencari kemuliaan Tuhan.

Gwan-hee juga berpikir apabila ia tetap membiarkan rasa kebencian dan akar pahit dalam kehidupannya, itu bisa berdampak terhadap penyebaran sel-sel kanker di dalam tubuhnya. Gwan-hee pun berdoa kepada Tuhan untuk bisa mengasihi, mengerti, dan mengampuni orang-orang tersebut. Tuhan pun memberikan kasih karunia bagi Gwan-hee untuk berubah. “Dengan asumsi bahwa hari yang diberikan adalah hari terakhir dalam hidupku, aku tidak ingin menghabiskan hari yang diberikan ini dengan membenci orang lain,” katanya.

Di dalam masa pengobatan kanker, selain berterima kasih atas pengobatan yang ia terima, Gwan-hee juga berterima kasih karena ia dibandingkan sebelumnya lebih bisa melihat dengan jelas keadaan pikiran dan jiwanya dan bisa bertumbuh lebih lagi secara rohani.

Hanya Kristus yang hidup

Empat belas bulan pasca operasi kanker pertama yang dilakukan oleh Gwan-hee, sel kanker di dalam tubuhnya bertumbuh kembali di tubuhnya. Setelah mendengar kabar itu, tidak ada sama sekali rasa putus asa dan kecewa yang keluar dari mulutnya kepada istrinya. Sebaliknya, ia berkata demikian.

“Akhir-akhir ini, pokok doa dalam kehidupanku adalah di dalam tubuhku aku mati dan hanya Kristus yang hidup. Jika dilihat baik-baik, ini ada perkataan yang keren dan sulit, tetapi bagi aku dan Eun-ju yang saat ini berada di antara hidup dan mati, ini adalah situasi yang bisa kita lakukan. Orang-orang yang sehat pada umumnya, sulit untuk bisa memahami makna ini. Tetapi saat ini, jika kita lihat baik-baik, kita diberikan kesempatan untuk benar-benar mengaplikasikan makna sesungguhnya dari aku mati dan Kristus hidup dalam kehidupan kita. Hidup yang hanya digerakkan oleh Kristus”

Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku (Galatia 2:20)

Banyak orang di sekitar Gwan-hee yang berpikir kalau ia bisa sembuh seutuhnya dari kanker ini adalah mukjizat Tuhan yang luar biasa. Tetapi Gwan-hee berpikir lain. “Melalui pengobatan kanker ini, satu hari untuk hidup yang diberikan oleh Tuhan, itu sendiri adalah mukjizat yang besar. Melalui kanker ini, aku bisa merasakan pentingnya satu hari. Walaupun kanker itu sendiri bukan berkat, kita bisa merasakan pentingnya satu hari. Inilah manfaat yang aku dapat,” katanya.

Gwan-hee menjalani hidupnya hari demi hari. Apabila hanya satu hari saja yang diberikan oleh Tuhan, Gwan-hee mau melalui masa yang singkat itu untuk menjadi orang yang lebih diutuhkan dan dewasa di dalam Kristus. Baginya, inilah alasan hidupnya.

Menghitung berkat dalam hidup

Salah satu alasan lain yang membuat Gwan-hee tidak bisa membenci Tuhan dikarenakan ia selalu menghitung berkat yang ia terima dari Kristus. Di acara perkumpulan bersama para penderita kanker lainnya, ia berkata, “Di dalam pikiranku, aku punya laporan untung dan rugi tentang kehidupanku. Jika aku melihat hidupku seutuhnya dan menghitung berkat yang aku terima dari Tuhan dan membandingkan dengan penderitaan yang aku alami, hasilnya selalu positif. Aku sama sekali tidak bisa membenci Tuhan.”

Terkadang Gwan-hee juga khawatir apakah ia bisa tetap menjaga imannya sampai akhir hidupnya, terlepas apapun masalah lain yang akan muncul. Melalui sakit yang dideritanya, Ia merasakan bahwa ia adalah orang yang lemah yang sangat memerlukan bantuan Roh Kudus untuk hidup hari demi hari. Dengan keyakinan penuh, Gwan-hee berkata, “Bagi kita yang percaya kepada Yesus Kristus, total laporan dalam kehidupan kita tidak akan pernah rugi dikarenakan di laporan keuntungan ada kasih Kristus di atas kayu salib yang menerima kita orang berdosa ini sebagai anak-anak Allah (Yohanes 1:12). Kasih Allah yang di dalam Kristus lebih besar daripada masalah-masalah yang muncul di dalam kehidupan kita.”

Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita. (Roma 8:38-39)

Banyak hal lain yang aku juga kagumi di hidupnya Gwan-hee. Di dalam masa pengobatan kankernya, ia lebih memilih tidak menggunakan morfin untuk mengurangi rasa sakitnya. Baginya, dengan morfin, saraf-sarafnya tidak berfungsi secara optimal dan tidak bisa menerima Firman Tuhan. Ia lebih memilih menderita bersama Kristus dibandingkan hidup tanpa Firman Tuhan. Sebagai ganti morfin, ia diberikan obat analgetik-antipiretik.

Masa-Masa terakhir hidup

Setelah operasi kanker keduanya gagal, Gwan-hee memakai waktunya untuk lebih bersama dengan orang-orang yang disayanginya. Gwan-hee sangat kecewa tidak bisa mendampingi anaknya bisa masuk ke hari pertama sekolah, yang merupakan misinya setelah menerima kanker. Terlepas dari kondisinya saat itu, Gwan-hee tetap percaya kepada kedaulatan Kristus. Dia berharap anaknya yang masih kecil itu bisa mencontoh imannya ketika dewasa nanti.

Menjelang akhir hidupnya, Gwan-hee berkata kepada istrinya, “Aku merasa takut. Setiap hari aku berdoa untuk belas kasihan Tuhan, pengampunan atas dosa-dosaku, keselamatan dari kesengsaraanku. Apabila penderitaanku ini kehendak Tuhan, berikan aku kekuatan untuk menghadapinya. Aku terkadang merasakan Tuhan tidak mendengar doa-doaku dan menghempaskanku. Inilah ketakutanku.” Gwan-hee merasakan apa yang Yesus rasakan di atas kayu salib. “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku?” (Matius 27:46b).

Dini hari tanggal 16 September 2018, Gwan-hee menyelesaikan pertandingan hidupnya dan berpulang ke rumah Bapa di surga. Istrinya berterima kasih kepada Tuhan karena sampai pada akhirnya Gwan-hee tetap beriman kepada Kristus dan percaya kepada pengaturan Kristus. Gwan-hee memberikan kepada keluarganya dan orang-orang di sekitar contoh hidup orang beriman.

Melihat kehidupan perjuangan Gwan-hee melawan kanker, banyak hal yang bisa kita pelajari. Beberapa pelajaran hidup yang aku pelajari dari hidupnya adalah:

  • Pentingnya mendalami kasih Kristus di atas kayu salib bagi kita.
  • Aku berusaha mempelajari kembali makna injil dalam kehidupan. Aku 100% orang berdosa yang diselamatkan oleh Allah melalui pengorbanan Kristus di kayu salib.

  • Memiliki hubungan intim dengan Tuhan adalah cara orang beriman menanggapi kasih Kristus.
  • Gwan-hee di masa kesengsaraannya selalu berusaha mencari Tuhan melalui saat teduh dan doanya. Baginya keselamatannya hanya datang dari Tuhan. Sekalipun dagingnya dan tubuhnya habis lenyap, gunung batu dan bagiannya tetaplah Allah selama-lamanya (Mazmur 73:26).

  • Hidup dengan “fighting spirit” untuk memelihara iman sampai kita kembali bertemu Tuhan.
  • Sama seperti Gwan-hee, kita juga harus menjaga iman sampai garis akhir hidup kita. Apapun permasalahan muncul, kasih Kristus lebih besar dari pada masalah apapun juga. Kita juga bisa menanggap hari yang diberikan Tuhan hari ini adalah hari terakhir kita. Kita tidak mau mengakhiri pertandingan hidup kita dengan tidak taat atau lebih memilih dosa.

“Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya” (2 Timotius 4:7-8).

Sebagai penutup, aku ingin membagikan lagu yang dibuat berdasarkan renungan saat teduh Gwan-hee Lee. Tuhan memberkati.

Blessed Through Suffering (Lirik dari Note Saat Teduh Gwan-hee Lee)
(Pianis di video tersebut adalah Eun-joo, istri dari Gwan-hee)

I am flying the sky
Up and up I soar into the sky
My wings are strong and I need no more
I will continue and make it to the top

When my Lord broke my wings
And has brought me among the lowest
Now I see what I didn’t see before
My Lord let me see so many souls in pain

Now I know I am blessed through the suffering
My Lord turned my troubles into blessing
and made me kneel before the Cross
when people questioned where my Lord was
I am nowhere to be found now
Only my Lord appears in my humble life

“Who,” you ask me, “is my Jesus?”
Mourners’ Comforter is He
Light and Vision for the blind
He is healing for the ailing
For the dead, He is Resurrection
And in Him we find our life

Baca Juga:

Kebahagiaan Sejati Hanya di Dalam Yesus

Jika ditanya apa yang menjadi sumber kebahagiaan kita? Tentu jawabannya bisa beragam. Ada yang menjawab sumber kebahagiaannya adalah memiliki tabungan berlimpah, rumah, mobil, pekerjaan tetap, anak-anak yang sehat dan pintar, bahkan pensiun di masa tua dengan pemasukan yang terus berjalan.

Dia yang Kukasihi, Dia yang Berpulang Lebih Dulu

Oleh Nia Andrei, Sampit

Kawanku terkasih, tulisan ini adalah cerita singkat dari perjalanan pernikahanku dan suamiku.

Sekitar sebulan lebih setelah pernikahan kami, barulah diketahui bahwa suamiku menderita Leukimia atau kanker darah. Selama beberapa bulan setelahnya, suamiku harus kontrol bolak-balik ke rumah sakit dan transfusi darah.

Karena kondisi sakit kankernya yang membutuhkan perawatan lebih intensif, kami sekeluarga memutuskan untuk melanjutkan perawatannya di Rumah Sakit Kanker Dharmais, Jakarta Barat. Pada hari Sabtu, 2 Februari 2019, aku mendapatkan cuti dari kantorku. Aku sengaja tidak menghubungi suamiku. Aku tidak bilang kalau aku akan menyusulnya ke Jakarta. Hari itu, aku tiba-tiba datang ke ruang perawatannya.

Aku membuka tirai ruangannya dan berkata, “Hai..”

Papa mertuaku yang sedang menemaninya di ruangan pun tersenyum ketika aku datang.

Suamiku kaget, lalu bilang, “Hah?!”

“Kamu seneng nggak aku datang?”

“Iya,” jawabnya lirih.

“Tapi kok biasa aja?”

“Memangnya aku harus loncat-loncat di ranjang?” jawabnya begitu.

Aku tertawa dan menimpalinya dengan candaan, “Iya lah, sambil loncat-loncat di bed.”

Waktu melihat keadaannya, aku hampir menangis, tapi aku tetap berusaha tegar di hadapannya. Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menangis di depan suamiku. Aku melihat lebam besar di pergelangan tangan kanan dan di paha sebelah kirinya. Kuoleskan salep di kedua bagian itu.

Mulai hari itu, aku menginap di RS, menenami dia. Setiap hari sebelum dia tidur, aku mengelus dahinya supaya dia merasa nyaman.

Minggu, 3 Februari 2019

Kegiatanku selama di rumah sakit tiap pagi dan sore adalah mengambil air panas di sudut ruangan. Tiap subuh jam 5, perawat datang untuk mengambil darah suamiku melalui selang cvc yang terpasang di dada kanannya, diukur tekanan darahnya, dan suhu tubuhnya. Aku melap seluruh badannya menggunakan waslap dan mengganti bajunya dengan baju pasien. Sprei dan sarung bantalnya pun tak lupa kuganti. Tiap mengusap wajahnya dengan waslap, aku berkata, “Ayang… Ayang…,” inginku menangis rasanya, tapi aku selalu menahan. Setiap kali dia buang air kecil selalu kucatat berapa mililiter volumenya, demikian juga jika dia minum dan buang air besar. Dia pun rutin menggunakan pengobatan uap untuk perbaikan infeksi di paru-parunya. Kadang hanya berselang satu hari jikalau Hb dan trombositnya turun, pasti dia harus melakukan transfusi darah.

Aku membawa Alkitab pernikahan kami. Setiap pagi sesudah sarapan aku membacakan beberapa ayat Alkitab dan dia hanya memandang diriku. Aku pun memandangi dirinya. Kami berdoa dan menyanyikan lagu-lagu rohani. Rasanya kami mampu menjalani hari ke hari hanya oleh penyertaan dan kasih setia Tuhan yang begitu luar biasa bagi kami.

Senin, 4 Februari 2019

Sama seperti hari-hari sebelumnya, ambil darah setiap pagi lewat selang cvc, disuntikkan antibiotik untuk paru-paru, minum obat pagi siang sore (4 macam), tetap pakai uap untuk perbaikan paru-parunya. Pagi hari itu, aku membacakan sebagian ayat Alkitab dan berdoa bersama. Sempat aku terdiam pada ayat Alkitab dari 2 Korintus 4:16, 5:1-8. Aku menangis dan diam, lalu dia memintaku untuk membacanya sampai habis.

Aku sempat mengobrol serius dengannya, “Hun, aku mau resign dari kerjaanku.”

Dia menjawab, “Kenapa? Pikirkan juga kerjaan.”

“Tapi kamu mau aku di sini sama kamu, kan? Mengurus kamu kan?”

“Iya,”

“Ya udah, jangan dipikirkan dulu.”

Selasa, 5 Februari 2019

Menjalani hari-hari bersama dia di RS, mengurus ini dan itu kebutuhannya setiap hari. Siangnya bertemu dokter paru dan dokter mengatakan bahwa pengobatan untuk paru-parunya perlu tetap dijalankan supaya nanti bisa dilakukan kemoterapi. Dokter sempat mengatakan dia perlu keluar dahulu sejenak supaya bisa menghirup udara segar dan terkena sinar matahari, tapi kondisinya tidak memungkinkan untuk keluar karena dia masih bergantung dengan selang oksigen.

Rabu, 6 Februari 2019

Kami menjalani hari-hari seperti hari-hari sebelumnya. Kami membaca Alkitab dan berdoa bersama.

Kamis, 7 Februari 2019

Sekitar jam 5 subuh, dokter Hematologi datang dan mengatakan kalau dia perlu dibawa keluar dari ruang perawatan supaya mendapat udara segar dan terkena sinar matahari karena udara dalam ruangan tidak baik untuk paru-parunya, antibiotik pun sudah resisten. Tapi, kondisinya masih tidak memungkinkan untuk keluar dari ruangan karena dia terlihat mulai sesak nafas dan bergantung dengan selang oksigen.

Hari itu adalah hari yang berat bagiku karena aku harus kembali ke Sampit dan meninggalkan dia di Jakarta.

Aku bertanya lagi memastikan keputusanku, “Hun, aku mau nanya lagi ni, memastikan. Kamu mau aku di sini kan nemenin kamu, mengurus kamu?”

“Iya, terserah saja. Yang terbaik ya.”

Aku bilang, “Oke kamu gak usah pikirin dulu karena keputusan ada di tanganku, aku mau resign.”

Pagi itu dia sudah terlihat mulai sesak nafas dan aku tak tega meninggalkan dia. Aku menghubungi atasanku untuk memperpanjang izinku, tapi tidak diperbolehkan. Mau tidak mau aku perlu pulang ke Sampit dan bilang bahwa aku ingin resign. Waktu aku pamit pada suamiku, wajahnya memerah. Matanya menatapku seolah ingin berkata, “Hun, jangan pergi.” Tapi aku tetap pergi waktu itu dan kembali ke Sampit.

Jumat, 8 Februari 2019

Pagi harinya aku masuk kantor dan sore hari tepat di jam pulang kantor aku memberanikan diri bilang ke atasanku bahwa aku ingin resign dan keputusan ini sudah bulat. Aku mau fokus merawat suamiku. Atasanku setuju.

Malam harinya aku mendapat kabar kalau dia sudah mulai sesak nafas dan di ruang perawatan pun sudah digunakan monitor jantung dan rencananya suamiku akan segera dibawa ke ICU. Aku menangis, berlutut, dan berdoa kiranya Tuhan dapat menolong dia melewati kondisi yang harus dihadapi. Aku pun bergegas membeli tiket pesawat untuk berangkat ke Jakarta besok paginya lewat Palangkaraya. Singkat cerita, saat dia yang kukasihi sedang berjuang di ruang ICU, waktu menunjukkan pukul 23:45 dan aku mendapat kabar bahwa Tuhan Yesus telah memanggilnya pulang.

Aku tersentak. Aku menangis. Aku meraung dan malam hari itu di Sampit turun hujan yang sungguh deras.

* * *

Aku mampu melewati semuanya, sepanjang perjalanan hubungan kami hingga menikah, semuanya karena kekuatan dan penyertaan daripada Tuhan. Aku mengingat kembali semua kebaikan-Nya pada kami. Walaupun waktu-waktu kami bersama begitu singkat, tetapi aku tetap bersyukur karena Tuhan masih memberikanku waktu untuk merawat suamiku dengan intens selama 6 hari di RS Kanker Dharmais Jakarta. Tuhan Yesus, terima kasih, Engkau sangat baik.

Sampai saat ini pun, aku tetap merasakan kasih dan penyertaan Tuhan dalam kehidupanku walau terkadang aku sangat rindu dengan suamiku, dia yang kukasihi.

Semoga kesaksian tentang sekelumit kisah kehidupanku dan alharhum suamiku bisa menjadi berkat bagi semua yang membaca kisah kehidupan kami.

Tuhan Yesus memberkati kita semua.

Baca Juga:

Wanita untuk Kemuliaan Allah

Pada saat Ia bangkit dari kematian-Nya, saksi pertama dari kisah yang mengguncangkan sejarah itu adalah Maria Magdalena, seorang wanita. Mengapa bukan tokoh yang dianggap penting seperti Petrus, Yohanes, Yakobus, atau murid pria lainnya?

Cerpen: Mamaku Terkena Stroke Tiba-tiba

Oleh Eka Arapenta Ginting, Medan

Pagi hari itu, Jumat, 8 Agustus 2014, aku terbangun dari tempat tidurku. Aku terkejut melihat mamaku tergeletak di ambal dan sedang diurut oleh ahli urut. Di samping mamaku, ada papa dan kakak.

“Mama kenapa, Pa?” aku bertanya.

“Mama kena stroke. Tangan dan kaki kirinya tidak bisa digerakkan,” jawab papaku.

Jawaban itu menyakitkan hatiku. Air mataku tak terbendung. Aku pergi ke kamar dan menangis tersedu. Hari itu aku harus masuk sekolah, tapi rasanya aku ingin bolos saja. Aku mengambil handuk lalu mandi, tapi di kamar mandi pun aku masih menangis. Seusai mandi, aku pergi ke kamar, mengganti bajuku, dan aku pun berdoa, “Tuhan, aku tidak percaya kalau mama terkena stroke. Sembuhkanlah mama, amin.”

Sesampainya di sekolah, hari itu ada kegiatan olahraga senam. Aku tidak serius mengikuti tiap gerakannya. Lalu di jam-jam setelahnya pun aku banyak diam sampai sahabatku heran dan bertanya, “Eka, kamu kenapa?” Pertanyaan itu tidak kujawab.

Waktu terasa berjalan lama, aku ingin segera pulang. Setelah jam pelajaran usai, aku mengirim sms ke kakakku. “Kak, bagaimana keadaan mama?”

“Sekarang mama lagi dirawat di IGD RS Adam Malik.”

Aku langsung pergi ke rumah sakit. Temanku bersedia mengantarku naik motor, tapi sesampainya di rumah sakit, dia langsung pulang ke rumahnya. Aku segera menjumpai mamaku di IGD.

Di situ aku mau menangis lagi, tapi mamaku bilang, “Jangan nangis, Ka. Tuhan pasti akan memberi jalan.”

Aku memberikan sedikit kataku untuk menyemangati mama, “Ma, kami bertiga belum sukses, Ma. Masa mama sakit? Mama harus bisa sembuh. Apalagi kakak dan abang bentar lagi wisuda, Ma.”

Mama cuma diam dan merenung saja. Sementara itu, kawan mama dan abangnya mengurus semua administrasi di rumah sakit. Aku berterima kasih karena ada orang-orang yang mempedulikan mama. Aku juga bersyukur kepada Tuhan karena seluruh biaya opname dan pengobatan ditanggung sepenuhnya oleh BPJS.

Kepada kawan mamaku, aku bertanya, “Kok mama bisa kena stroke?”

“Karena mamamu tensinya sampai 200, ditambah lagi jantungnya bengkak. Karena tensinya tinggi, pembuluh darahnya yang di otak mengalami pendarahan.”

Lagi-lagi air mataku ingin menetes, tapi aku berusaha sebisa mungkin menahannya. Waktu tak terasa sudah pukul 16:00, barulah mamaku mendapatkan ruangan opname, di lantai 2. Sekali lagi aku bersyukur karena mamaku mendapatkan ruang menginap dan tidak perlu menunggu sampai besok pagi.

Waktu sudah menunjukkan pukul 21:00. Aku pamit kepada mama, bapak, dan kakakku. Abang saudaraku mengantarku pulang. Tapi sesampainya di rumah, aku tidak bisa tidur karena terus memikirkan mama.

Aku berdoa pada Tuhan, “Tuhan, kenapa mamaku bisa terkena stroke ya Tuhan. Ampunilah dosa mama dan keluarga kami ya Tuhan, karena Engkaulah Allah yang paling berkuasa di dunia ini ya Tuhan! Amin.”

Setelah itu kudengarkan lagu rohani dan air mata kembali mengalir deras sampai aku tertidur.

* * *

Sudah dua hari mamaku dirawat di ruang Rindu A lantai 2. Mamaku tidak bisa tidur karena di ruangan itu ada 8 orang. Siang harinya, mama pindah ke lantai 3. Kali ini ruangannya kelas VIP, mama bisa tidur karena di ruangan itu hanya ada dua orang yang dirawat.

Setiap pulang sekolah aku selalu datang ke rumah sakit untuk menjenguk mama. Setiap malam juga aku terus berdoa pada Tuhan dan air mataku selalu mengalir. Hati ini tak bisa menahan perasaan yang menyedihkan.

Puji Tuhan, setelah 6 tahun mama sakit, Tuhan menyembuhkan mama perlahan demi perlahan. Namun, mama masih sering sesak nafas dan harus diopname di rumah sakit karena pasca stroke mama mengalami komplikasi penyakit lainnya.

Hikmah yang aku dapatkan melalui peristiwa ini adalah Tuhan tetap peduli kepadaku dan menjadikanku alat untuk menyatakan kemuliaan-Nya lewat tulisan singkatku ini.

“Semoga Allah, sumber pengharapan, memenuhi kamu dengan segala sukacita dan damai sejahtera dalam iman kamu, supaya oleh kekuatan Roh Kudus kamu berlimpah-limpah dalam pengharapan” (Roma 15:13).

Baca Juga:

Buatlah Pilihan untuk Melakukan Perkara Surgawi

Di dalam mengambil sebuah pilihan, apa pun itu, ingatlah bahwa semuanya memiliki dampak yang signifikan dalam hidup kita, cepat atau lambat. Itu sebabnya sebagai seorang anak Tuhan berhati-hatilah dalam memilih.

Wabah Virus Corona: Dari Ancaman, Terbit Harapan

Oleh Kim Cheung, Tiongkok
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: klik di sini

*Kim Cheung tinggal di Tiongkok. Sejak virus corona merebak, kota tempat tinggalnya diisolasi. Artikel Kim sebelumnya dapat dibaca di sini.

Hingga 2 Maret 2020, sudah 89,081 kasus terkonfirmasi, 3.057 orang meninggal dunia dan 45,156 pulih. (Data dari Worldometers).

Sudah dua bulan berlalu sejak Novel Corona Virus (Covid-19) pertama kali mewabah pada 31 Desember 2019 dan sebulan berlalu sejak kota-kota di sekitar Wuhan (termasuk kota di mana aku tinggal) diisolasi.

Banyak orang sepertiku dilarang meninggalkan rumah. Tak jelas kapan kami bisa kembali bekerja atau harus tetap bekerja dari rumah.

Apakah wabah ini akan semakin memburuk? Sampai kapan hidup kami akan dipengaruhi oleh kondisi ini? Tak ada yang tahu jawabannya.

Dalam minggu-minggu belakangan ini, aku telah menyaksikan banyak orang Tiongkok membagikan pengalaman terisolasi di kota mereka sendiri melalui media sosial. Beberapa meratapi kebosanan mereka. Yang lain bercanda karena akhirnya mereka tahu seperti apa rasanya “hidup di penjara”. Beberapa lagi mengatakan bahwa sekarang mereka mengerti mengapa para ibu yang baru melahirkan dan harus tinggal di rumah seringkali merasa depresi. Akan tetapi, seiring dengan semakin tingginya kasus diagnosa dan kematian karena virus corona, tidak ada satupun yang berani bertindak gegabah.

Sebulan terakhir ini terasa seperti seabad bagiku. Ini bukan hanya tentang berapa lama aku terjebak di rumah. Setiap harinya, aku diperhadapkan dengan apa yang seringkali aku saksikan dalam film Contagion. Kondisi ini membuatku semakin merefleksikan kehidupan lebih mendalam.

Kita melihat kebenaran dengan lebih jelas di saat-saat yang sulit. Seperti dikatakan melalui Pengkhotbah 7: 2, “Pergi ke rumah duka lebih baik dari pada pergi ke rumah pesta, karena di rumah dukalah kesudahan setiap manusia; hendaknya orang yang hidup memperhatikannya.” Dalam menghadapi bencana dan kematian, kita dipaksa untuk memperhitungkan satu realita kehidupan: kita semua kelak akan mati.

Rasa Takut dalam Ketiadaan Harapan

Selama sebulan belakangan, tidak ada di antara kami yang menganggap enteng masalah ini. Kami menghadapi sebuah wabah epidemik, rasa takut kami semakin menggema. Orang-orang sulit untuk berpikir jernih. Kepanikan menguasai. Mereka memborong barang-barang penting seperti makanan dan obat-obatan, plus percaya kepada berita-berita bohong yang merebak.

Aku tidak memikirkan berita-berita tersebut sampai aku masuk ke supermarket terdekat dan melihat orang-orang belanja dengan rakusnya di sekitarku. Itulah saat di mana ketakutan menyelimutiku. Dua bungkus biskuit yang ingin kubeli berubah jadi satu kardus. Aku juga langsung membeli sekarton susu dan makanan lain. Bagaimana jika aku tidak punya kesempatan untuk membeli semuanya ini di kemudian hari? Bagaimana jika aku kehabisan makanan di rumahku sendiri? Selain kebutuhan sehari-hari, semua orang juga menambah stok obat demam dan obat batuk, sembari berharap bahwa semua ini akan memberikan rasa aman yang sangat kami butuhkan dalam menghadapi keputusasaan.

Rumor-rumor semakin berkembang dan justru makin menggelikan dari hari ke hari. Dalam satu kesempatan di malam hari, sebuah pernyataan resmi dirilis. Katanya ada satu obat Tiongkok bernama Shuang Huang Lian yang bisa menghentikan virus corona. Banyak orang yang salah paham dan mengira itu adalah pasta teratai kuning telur yang seringkali digunakan sebagai isi kue bulan, kue tradisional Tiongkok. Salah paham ini terjadi karena ada kata-kata bahasa Mandarin yang bunyinya mirip satu sama lain. Ketika besoknya aku bangun, bukan hanya obat-obatan yang ludes terjual melainkan kue bulan juga.

Ketakutan menyetir orang untuk melakukan berbagai macam tindakan tak masuk akal. Ketika kita kekurangan rasa damai yang berasal dari pengetahuan akan kebenaran, sangat mudah bagi kita untuk mempercayai kebohongan serta terperangkap dalam rasa takut dan kekhawatiran.

Namun, sebagai orang yang menjadi milik Kristus, kami memegang kebenaran, kedamaian, dan harapan yang telah dianugerahkan-Nya kepada kami (Roma 15:13). Oleh karenanya, kami tidak perlu takut atau khawatir akan apa yang akan terjadi, tapi kami bisa terus menaruh harapan kepada-Nya seiring dengan perjuangan kami melawan ketidakpastian.

Penyakit yang Memperbudak Kami

Selain rasa takut, kami juga merasa terjebak. Namun, sebuah percakapan antara aku dengan seorang teman dari luar negeri membantuku melihat sudut pandang lain dari krisis yang terjadi di negaraku, bahkan juga di dunia. Ketika aku bercerita bahwa sebulan terakhir di rumahku terasa menyesakkan seperti di penjara, dia memberitahuku bahwa hidup memang selalu seperti ini—hanya saja dalam cara yang berbeda.

Sebelum wabah virus corona merebak, kami terbelenggu dengan jadwal rutinitas kami yang super sibuk. Sebaris dialog dari film The Shawshank Redemption merangkum itu semua: “Kita sibuk menghidupi diri sendiri.”

Saat itu, kita sebenarnya telah diperbudak. Namun, pengejaran kita akan kesenangan duniawi menjebak kita untuk berpikir bahwa kita ini bebas. Dunia di mana kita hidup sebenarnya tak lebih dari sebuah penjara yang besar. Meskipun terlihat seakan kita bisa bebas memilih apa yang kita inginkan, kita tidak bisa melarikan diri dari tanggung jawab kita untuk belajar, bekerja dan terhadap keluarga kita. Begitu pula mereka yang tampaknya bebas dan bisa traveling ke mana saja.

Itulah mengapa banyak orang khawatir dan depresi. Dan meskipun kita berfantasi tentang pindah ke luar negeri dan memulai hidup yang baru, kita tidak menyadari bahwa kita mengulang hidup yang sama di mana saja.

Kebebasan sejati hanya bisa ditemukan di dalam Kristus (Yohanes 14: 6). Ketika kita datang kepada-Nya, Dia membebaskan kita dari pencarian kita akan tujuan dan kepuasan hidup yang tanpa akhir.

Wabah ini juga telah memperlihatkan belenggu-belenggu lain yang tak tampak dari permukaan. Kami melihat sisi gelap dari manusia. Oleh karena makin sedikitnya stok masker, beberapa penjual menaikkan harga (satu masker bisa dihargai 4.30 dolar AS atau setara dengan Rp 58 ribu). Begitu juga dengan masker bekas yang dijual kembali.

Supermarket juga menaikkan harga kebutuhan sehari-hari. Sebuah kubis kini dijual seharga 8.60 dolar AS atau setara dengan Rp 116 ribu! Bahkan ada laporan bahwa Persatuan Palang Merah Wuhan secara diam-diam menahan semua masker donasi dan baju pelindung. Alhasil, barang-barang ini tidak bisa sampai ke garda depan staf medis.

Dan ada pula berita tentang geng bersenjata di Hong Kong yang mencuri tisu toilet senilai 206 dolar AS (Rp 2,8 juta) dari supermarket karena takut akan kekurangan tisu toilet.

Membaca berita-berita seperti ini semakin membuat kami kehilangan harapan. Aksi-aksi manusia itu rasanya lebih menakutkan daripada melihat statistik virus corona yang terus meningkat. Aku percaya bahwa dengan usaha para ahli kesehatan dunia, kelak kita akan menemukan vaksin untuk melawan wabah ini.

Namun rasa sakit yang ada di dalam diri kita—dosa—akan tetap ada. Meskipun kita akan menemukan obat untuk berbagai penyakit fisik dan kembali ke kehidupan kita yang penuh “damai”, namun mereka yang korup akan tetap korup.

Jiwa kita sakit dan kesakitan ini jauh lebih menakutkan daripada virus corona. Tak ada obat, praktik-praktik spiritual maupun agama yang bisa menyembuhkan penyakit ini. Hanya satu Pribadi yang bisa:

“Yesus mendengarnya dan berkata kepada mereka: “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit; Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (Markus 2:17).

Yesus adalah penyembuh kita yang luar biasa. Dia sendiri menanggung rasa sakit dan membayar harga mahal untuk menebus dosa kita dengan kematian-Nya. Dan penyembuhan ini cuma-cuma. Dia memberikannya kepada kita dengan penuh cinta.

Di saat-saat seperti ini, kita tidak perlu takut atau merasa bahwa kebebasan kita direnggut. Sebagai gantinya, semoga krisis yang kita alami ini mengarahkan kita kepada Kristus, memimpin kita untuk percaya kepada-Nya dan menerima berkat yang terbesar—kesembuhan sejati yang kita butuhkan.

Baca Juga:

Virus Wuhan: Tinggal di “Kota Hantu” dan Diliputi Ketakutan

Tulisan ini kutulis dari provinsi Jiangsu, tempat tinggalku. Semenjak virus Corona mewabah, negeriku diliputi kepanikan dan ketakutan. Kami hanya bisa terduduk di rumah, bahkan hanya turun tangga dan singgah ke warung pun rasanya luar biasa cemas.

Apakah Sakit Kankerku Merupakan Bagian dari Rencana Tuhan?

Oleh Debra Hunt, Selandia Baru
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Can Cancer Be Part Of God’s Plan?

Satu kalimat yang tak pernah ingin kudengar: “Kamu terkena kanker.”

Usiaku 31 tahun ketika aku menerima diagnosis mengejutkan itu. Aku dan suamiku dikaruniai tiga orang anak yang masih kecil dan aku bekerja sebagai pendeta bagi anak-anak di gerejaku.

Kanker payudara tidak pernah menjadi rencanaku selama lima tahun, atau rencana-rencana lain yang kubuat dalam hidup. Aku tidak merokok, tubuhku rasanya sehat dan bugar, pun tak ada catatan sejarah keluargaku yang mengidap kanker payudara.

Namun, terlepas dari semua fakta itu, aku mendapati diriku terduduk di ruangan berdinding hijau, mendengarkan dokterku menjelaskan seberapa jauh kankerku sudah menyebar. Kankerku tidak terdeteksi sejak awal, dan berkembang lumayan cepat, jadi sang dokter menyarankan perawatan yang kulakukan meliputi operasi, kemoterapi, radiasi, dan terapi endokrin* selama 10 tahun. Dia memprediksi jika aku bisa melalui semua perawatan itu, aku punya 75 persen kesempatan hidup selama lima tahun ke depan.

Minggu-minggu setelahnya, pelan-pelan aku melepaskan segala impian dan harapanku untuk masa depan, termasuk juga impianku untuk gereja tempatku bekerja dan melayani.

Hidupku terganggu. Aku mendapati diriku bertanya, “Tuhan, kenapa? Mengapa Engkau mengizinkan ini terjadi atasku? Mengapa Engkau izinkan kanker merenggutku dari sesuatu yang Kau inginkan untuk aku raih?”

Jemaat gereja mendoakanku. Aku berdoa untuk diriku sendiri, memohon supaya Tuhan menyembuhkanku.

Yang kurasakan saat itu adalah Tuhan cuma ingin aku percaya pada jalan yang Dia rancangkan. Ya, aku tahu Tuhan bisa menyembuhkanku, tapi maukah aku tetap percaya jika Dia tidak melakukannya?

Butuh berminggu-minggu buatku untuk menerima kenyataan jika seandainya aku tidak sembuh. Namun, setelah berlinangan air mata, aku sadar seharusnya responsku adalah: “YA!” Ya, aku harus percaya Tuhan, sekalipun Dia tidak mengambil kanker ini dari tubuhku. Alkitab berkata Tuhan itu dapat dipercaya, dan aku memilih untuk percaya pada-Nya. Aku meletakkan imanku pada-Nya karena aku tahu Dia selalu peduli padaku. Aku bersandar pada sebuah ayat favoritku, “Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu” (1 Petrus 5:7).

Aku memutuskan untuk berhenti meminta Tuhan seketika menyembuhkanku, melainkan aku memohon supaya aku dikuatkan dan percaya pada-Nya melalui setiap proses perawatan yang kulakukan.

Berkat-berkat tidak terduga

Apa yang kudapati sepanjang proses perawatanku adalah: meskipun rasanya sulit, Tuhan melimpahkan berkat-Nya dalam perjalananku ini.

Ketika aku pikir aku akan segera meninggal, dunia menjadi terlihat amat indah. Teringat akan kematianku sendiri, aku jadi melakukan segala sesuatu seolah itu adalah hal terakhir yang bisa kulakukan.

Aku berjalan menuju pintu di pagi hari dan terkagum akan embun yang menetes dari dedaunan, sinar mentari yang menyelinap di antara batang-batang pohon, dan bunga-bunga yang terkatup saat malam namun mekar merona kala fajar sambil disinari cahaya surya yang benderang. Keindahan di sekelilingku menjadi amat indah. Hidupku yang terancam oleh kematian membawaku untuk lebih bersyukur atas keindahan ciptaan-Nya; aku bisa melihat karya tangan Tuhan yang ajaib di mana-mana.

Aku juga diberkati dengan kedekatan yang istimewa dengan Yesus. Aku terkejut, karena aku merasa tidak seperti berjalan bersama-Nya di masa-masa berat ini… aku merasa Yesus menggendongku. Sejujurnya aku adalah orang yang pesimis dan agak negatif, tapi rasanya Yesus telah menolongku untuk merasa lebih positif dan optimis daripada hidupku yang biasa. Ya, menjalani hidup seperti ini masih terasa seperti tantangan sepanjang waktu, tapi aku selalu merasa Tuhan ada bersamaku, dan ada kedamaian tak terkatakan dalam hatku.

Menderita kanker juga membuka kesempatan bagiku untukku membagikan kisah kasih Tuhan. Aku diundang berbicara di beberapa acara, juga menulis di blog. Semua itu tak cuma menolongku untuk menikmati pengalamanku sendiri, tetapi mengizinkanku untuk bicara tetang hidup dan harapan yang orang-orang lain belum dapat memilikinya saat ini.

Kanker bukanlah rencana yang baik

Apakah berkat-berkat tak terduga yang kutuliskan di atas artinya kanker adalah rencana yang baik dari Tuhan? Kupikir tidak.

Ketika Tuhan membuat segala sesuatunya baru, di sana tidak akan ada lagi kesakitan dan kesedihan (Wahyu 21:4). Kanker bukanlah rancangan Tuhan bagi umat manusia, dan kanker tidak akan menguasai manusia selamanya—Tuhan kelak akan mengakhirinya. Tapi, sayangnya, untuk saat ini, kanker ada dalam hidup manusia, berkembang dalam tubuh, dan mempengaruhi banyak aspek kehidupan mereka yang menderitanya.

Seiring aku melanjutkan perjuanganku melawan kanker, aku tahu Tuhan tidak sedang duduk diam di surga sembari berkata supaya aku tetap kuat. Tuhan ada di sisiku, mengusap tetesan air mataku dan menguatkan tubuhku yang rapuh.

Aku yakin akan hal ini karena Yesus berbelas kasih atas ciptaan-Nya. Ketika Lazarus meninggal, Yesus menangis dan larut dalam sedih—meskipun Dia tahu akhir ceritanya akan bahagia! Yesus tahu Dia dapat membangkitkan Lazarus dari kematian, namun Dia mengizinkan diri-Nya diliputi kesedihan (Yohanes 11:35). Jadi, aku tahu bahwa menyakitkan pula bagi Tuhan untuk melihat ciptaan-Nya menderita dan kesakitan, rapuh, dan tak berdaya.

Kanker bukanlah rencana Tuhan. Itu adalah hasil dari dunia yang telah jatuh dalam dosa. Namun suatu hari kelak, Yesus akan mengakhiri segala kanker untuk semua orang.

Untuk saat ini, aku percaya Tuhan dapat menggunakan penyakit mengerikan ini untuk melakukan hal-hal menakjubkan. Meski aku mungkin terguncang karena kanker, Tuhan tidak. Tuhan sudah mengetahui Dia ingin memberikan sesuatu yang indah bagiku. Tuhanlah yang akan mengganti debu dengan mahkota yang indah, dan mengubah dukacita menjadi sorak sukacita (Yesaya 61:3, Mazmur 30:11). Kita bisa berhenti resah dan percaya pada-Nya, sebagaimana tertulis dalam Matius 6:25-27 dan Filipi 4:6-7.

Satu tahun telah berlalu dari perawatan yang kulalui, dan puji Tuhan keadaanku baik. Aku masih bergumul dengan kesehatanku, efek samping pengobatan, dan kekhawatiran apabila kankerku kembali. Tapi, aku amat bersyukur atas setiap kebaikan yang Tuhan telah lakukan dan yang akan Dia terus lakukan sepanjang perjalanan hidupku.

Kanker, sakit, atau penderitaan bukanlah rancangan yang Tuhan ingin berikan buatmu. Jika saat ini kamu menghadapi masa-masa yang sulit atau sedang berjuang melawan sakit, maukah kamu bersama denganku percaya pada-Nya, bahwa Tuhan mampu menggunakan keadaan kita yang buruk sekalipun untuk kebaikan?

*Terapi endokrin adalah terapi hormon untuk memperlambat atau menghentikan pertumbuhan sel kanker.

Baca Juga:

Karuna Sankara, Ini Suratku Untukmu

Karuna, bayi perempuan mungil yang jadi hadiah luar biasa bagi pernikahan kami dari Tuhan. Namun, kami harus belajar untuk melepasnya. Inilah pergumulan amat berat yang harus kami lalui.

Virus Wuhan: Tinggal di “Kota Hantu” dan Diliputi Ketakutan

Oleh Kim Cheung, Tiongkok
Gambar diambil dari screenshot video
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 疫情蔓延的当下,我们的盼望在哪里?

Waktu terasa berjalan amat lambat belakangan ini.

Tulisan ini kutulis dari provinsi Jiangsu, tempat tinggalku. Ini adalah hari ketiga perayaan Tahun Baru Imlek (27 Januari 2020)—waktu di mana kami seharusnya sibuk mengunjungi sanak famili dan teman-teman. Namun kenyataannya, kami hanya terduduk di rumah sambil terus memantau keadaan terkini dari media sosial tentang penyebaran virus Corona. Bahkan hanya untuk turun tangga dan singgah ke warung pun rasanya luar biasa cemas.

Delapan hari telah berlalu sejak media resmi mulai memberitakan penyebaran virus Corona. Ketika aku pertama melihat beritanya di 20 Januari, kupikir ini bukan masalah serius. Aku malah janjian dengan dua temanku yang baru pulang dari Eropa untuk bertemu merayakan tahun baru Imlek. Namun hari ini, semua janji pertemuan telah kubatalkan. Aku sudah bersiap tidak meninggalkan rumah atau mengunjungi siapa pun selama dua minggu ke depan.

Virus Corona menyebar lebih cepat dari yang dibayangkan. Hanya semalam, kemudian dikonfirmasi bahwa virus itu dapat menular dari manusia ke manusia. Semua masker ludes. Kota Wuhan bak kota mati. Supermarket kosong… Rumor dan berita-berita yang tidak jelas bertebaran ke mana-mana, membuat orang semakin takut. Berselancar di media sosial, update berita terbaru muncul hampir tiap detik. Namun, berapa jumlah sebenarnya orang yang tertular tidak ada angka yang valid. Berapa orang yang sudah meninggal? Berapa orang yang sungguh terinfeksi? Tidak ada yang tahu pastinya.

Hanya beberapa hari lalu, aku masih bisa melihat banyak orang di jalanan, tapi hari ini, jalanan kosong, kotaku seperti kota hantu. Hampir semua orang panik, dan orang-orang tua mulai berdiskusi tentang seberapa mengerikannya virus itu.

Kami tidak tahu seberapa berbahayanya virus Corona. Beberapa ahli dari Hong Kong mengindikasikan bahwa kekuatan virus kali ini 10 kali lebih kuat daripada SARS, sementara beberapa ahli lain mengatakan bahwa wabah kali ini tidak separah yang dulu. Saat ini, asal mula virus belum terkonfirmasi (meski ada yang bilang bermula dari pasar hewan di Wuhan). Spekulasi lainnya mengatakan periode inkubasi virus bisa berlangsung sampai 14 hari, dan virus ini bisa menyebar juga selama masa inkubasi—semua hal ini menambah ketakutan dan kepanikan.

Dua hari lalu, aku melihat temanku membagikan bagaimana kondisi sebenarnya di banyak rumah sakit di Wuhan, dan hatiku tersayat. Rumah sakit di sana dijejali orang-orang sakit yang tak terlayani. Para dokter dan suster tak punya perlindungan yang cukup atau pun masker, dan mereka tidak bisa beristirahat sewajarnya, bahkan hanya untuk makan siang pun sulit. Suplai makanan terbatas. Para pekerja medis kelelahan karena beban kerja mereka melonjak tajam, dan hanya bisa makan sehari sekali—itu pun hanya mie instan. Dan, para suster di sana berlinangan air mata.

Hatiku berduka. Rasanya tak sanggup buatku menonton berita di TV. Bagaimana bisa seseorang tak bersedih menghadapi situasi ini? Selain berdoa, rasanya tak ada hal lain yang bisa kami lakukan.

Siang hari ini, aku mendengar dua kenalanku, orang Kristen di Wuhan, mengalami demam. Besar kemungkinan mereka telah terinfeksi virus Corona. Hatiku semakin berat. Bagaimana kelak masa depan? Akankah virus ini menjadi bencana dunia? Apakah ini sungguh kiamat? Deretan pertanyaan ini membuatku semakin khawatir dan tak berdaya.

Namun, saat ini dunia hanya mampu memberikan jawaban berupa kepanikan dan putus asa, padahal yang sejatinya dibutuhkan adalah harapan yang teguh. Ketika kita harap-harap cemas akan bagaimana obat dan vaksin untuk mengentaskan wabah ini, apakah kita juga sebagai anak Tuhan kehilangan harapan dan putus asa? Jika harapan kita hanya disandarkan pada hal lahiriah, apakah bedanya kita dengan mereka yang tidak percaya? (Roma 8:24).

Ketika kita diselimuti kepanikan dan putus asa, kita seharusnya berpegang lebih erat kepada Tuhan dan firman-Nya. Hanya Tuhanlah harapan kita. Kiranya kebenaran-kebenaran ini menguatkan kita:

Tuhan memegang kendali

Meskipun situasi tampaknya mengerikan, hal yang teramat pasti adalah Tuhan kita memegang kendali. Meskipun Si Jahat ingin mencuri dan melenyapkan kehidupan, Tuhan tetap memegang kendali penuh. Tanpa seizin-Nya, tak ada satu hal pun dapat terjadi. Jika Tuhan tidak mengizinkan, sehelai rambut di kepala kita pun takkan jatuh ke tanah (Lukas 12:6-7). Ketika aku berpegang pada kebenaran ini, aku merasa terhibur.

Tuhan tidak pernah meninggalkan kita

Tuhan telah berjanji bahwa Dia tidak akan meninggalkan kita. Bahkan di tengah pencobaan dan kesakitan, Tuhan senantiasa beserta kita. Dan, Dia pun akan menyelamatkan kita pada akhirnya (Yohanes 6:37).

Karena aku tahu Dia ada bersama kita, kita tidak perlu takut atau khawatir (Matius 10:28). Meskipun virus ini mengerikan, Pencipta surga dan bumi ada bersama kita, dan kita mampu beroleh damai sejahtera.

Tuhan akan memberikan jalan keluar

Ketika kita merasa takut dan panik karena kabar-kabar yang terus berdatangan, marilah kita berpegang teguh pada janji Tuhan. Tuhan tidak membiarkan kita dicobai melampaui kekuatan kita (1 Korintus 10:13). Dia akan memberikan jalan keluar supaya kita mampu mengatasinya.

Hendaknya kita pun senantiasa berdoa. Meskipun banyak gereja di Tiongkok membatalkan kegiatan mereka demi keamanan, kami masih bisa berkumpul dengan keluarga dan berdoa. Ketika aku mempelajari Lukas 4:17-22 siang ini, aku sekali lagi menyadari apa sesungguhnya Injil itu.

Injil yang Yesus Kristus wartakan adalah tentang keselamatan kita. Namun, sebagai pendosa, kita lebih tertarik kepada kedagingan kita. Aku menyadarinya sedari berita tentang wabah virus Corona merebak, aku begitu terpaku pada notifikasi di ponselku, terus merefresh berita-berita terbaru. Tapi, banyak berita yang kubaca rupanya malah hoaks dan tak berdampak apa-apa selain menambah panik. Mengapa aku tidak meluangkan lebih banyak waktuku untuk berdoa dan berpegang pada firman-Nya lebih lagi?

Aku mengajakmu untuk bersama-sama mendoakan kota Wuhan dan orang-orang yang terinfeksi di Tiongkok dan seluruh dunia. Menemukan pengobatan untuk virus Corona adalah baik, tetapi itu hanya menyelesaikan penderitaan secara fisik. Tidakkah kita juga berfokus mendoakan agar mereka yang belum mengenal Kristus dapat mengenal-Nya dan beroleh keselamatan yang kekal?

Kiranya Tuhan menguatkan hati kita, teruntuk bagi kami di Tiongkok yang harus mendekam di rumah kami masing-masing. Kiranya kita semakin mengenal Tuhan, demikian juga dengan orang-orang di Tiongkok.

Tuhan masih memegang kendali. Janji Tuhan tak pernah gagal. Kehendak-Nya dinyatakan di atas bumi.

“Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir” (1 Petrus 1:5).

Baca Juga:

Apakah Kekristenan Itu Hanyalah Sebuah Garansi “Bebas dari Neraka”?

Kekristenan itu sederhana, bukan? Ayat Alkitab seperti Yohanes 3:16 menunjukkan bahwa untuk menjadi seorang Kristen kita hanya perlu percaya kepada Tuhan, dan kelak saat meninggal kita akan masuk surga (tempat yang baik), bukan neraka (tempat yang buruk). Bukankah kekristenan pada dasarnya adalah semacam asuransi kehidupan yang dampaknya baru akan kita rasakan suatu hari kelak (semoga masih lama) setelah hidup kita di dunia ini berakhir?