Posts

Sebuah Penyakit yang Meruntuhkan Keegoisanku

sebuah-penyakit-yang-meruntuhkan-keegoisanku

Oleh Amanda, Bali

Terkadang, sulit bagi kita untuk melihat apa sesungguhnya rencana Tuhan untuk kita saat ini. Kita mungkin bersungut-sungut dan bertanya mengapa hal-hal ini terjadi? Mengapa harus seperti ini? Bahkan, tidak jarang kita marah atas segala sesuatu yang terjadi di luar keinginan kita.

Sebelas tahun yang lalu, aku merasa hidupku begitu sempurna. Aku tinggal di luar negeri, memiliki pekerjaan yang menjanjikan, serta keluarga dan teman-teman yang selalu mendukungku. Begitu nyamannya kehidupanku saat itu, hingga tidak pernah terpikir olehku untuk kembali pulang ke tanah air Indonesia.

Setelah lulus dari bangku SMA, aku melanjutkan pendidikanku di Singapura. Ketika aku lulus dari universitas, aku memilih untuk menetap di perantauan. Aku mendapatkan pekerjaan sebagai seorang manajer retail di Singapura. Tapi, pekerjaan itu sejujurnya bukanlah passionku, sehingga di tengah kesibukan kerja aku pun mengambil kursus singkat untuk menjadi seorang make up artist atau penata rias profesional.

Ketika virus ganas menyerangku

Di tahun 2012, ketika aku baru saja terbangun di pagi hari, aku merasakan setengah dari wajahku tidak dapat digerakkan. Hari-hari sebelumnya memang ada sesuatu yang aneh dengan kondisi fisikku. Sepanjang hari terdengar suara berdengung tanpa henti di telingaku. Ketika aku memeriksakan diri ke pihak medis, diagnosa dokter pada mulanya menyebutkan bahwa suara itu disebabkan karena sinusitis—peradangan pada dinding sinus, yaitu rongga kecil yang terletak di belakang tulang pipi dan dahi.

Akan tetapi, ternyata penyakit itu sesungguhnya bukan sinusitis. Dokter yang menanganiku kemudian berkata bahwa aku terserang penyakit Bell’s Palsy. Penyakit inilah yang menyebabkan setengah dari wajahku lumpuh. Sebetulnya, penyakit Bell’s Palsy dapat sembuh dalam rentang waktu dua hingga empat minggu, tapi kasusku ini berbeda. Di belakang telingaku telah tumbuh suatu kelenjar yang ternyata sudah merusak saraf telinga dan wajahku.

Hari itu juga, dokter memutuskan untuk melakukan operasi terhadapku. Keluarga dan teman-temanku tidak mengira bahwa penyakit yang menyerangku saat itu adalah Bell’s Passy. Mereka mengira bahwa operasi yang kulakukan adalah operasi sinusitis.

Saat itu aku merasa sedih dan tidak tahu apa yang harus kuperbuat selanjutnya. Aku bertanya kepada Tuhan, mengapa Dia mengizinkan ini terjadi kepadaku? Setengah dari wajahku sama sekali tidak dapat digerakkan. Aku tidak bisa menutup salah satu mataku, bahkan minum pun harus dengan bantuan sedotan.

Para pengidap penyakit Bell’s Passy pada umumnya dapat sembuh secara total, tapi tidak denganku. Kelenjar yang telah tumbuh di belakang telingaku telah menginfeksi saraf-saraf, sehingga sampai hari ini pun wajahku belum pulih seutuhnya. Aku merasa sedih dan malu dengan keadaan wajahku.

Seharusnya saat itu aku marah kepada Tuhan, tapi entah mengapa, hatiku merasa bersyukur atas penyakit yang menimpaku. Waktu itu aku berpikir kalau bukan karena pertolongan Tuhan, mungkin dokter pada hari itu tidak dapat menolongku.

Kebaikan Tuhan mengalahkan rasa kecewaku

Setelah mengetahui bahwa aku menderita penyakit ini, kedua orangtuaku memaksaku untuk kembali pulang ke Indonesia. Keputusan itu amat berat bagiku. Singapura telah menjadi zona nyamanku. Aku menemukan pekerjaan dan lingkungan yang kurasa amat cocok denganku. Aku merasa hidupku begitu mulus tanpa masalah, tapi secara tidak kusadari, kehidupan itu telah membuatku menjadi sangat egois.

Sekembalinya di Indonesia, dukungan dari teman-teman dan keluarga terus mengalir seraya aku terus berjuang lewat terapi-terapi rutin yang kulakukan. Ketika aku merasakan bahwa orang-orang di sekitarku begitu peduli, aku sadar bahwa sejatinya Tuhan memiliki rencana atas hidupku. Wajahku belum sembuh secara sempurna, tetapi dari penyakit ini aku belajar bahwa Tuhan tidak meninggalkanku sendirian dalam lembah kekelaman.

Tuhan mempertemukanku dengan seorang lelaki yang mau menerima keadaanku apa adanya dan saat ini kami telah menikah. Tak hanya sampai di situ, ada begitu banyak kebaikan Tuhan lainnya yang terus aku rasakan. Dulu, dari pekerjaanku di Singapura, aku mendapatkan gaji yang amat besar. Namun, karena pekerjaan itu bukanlah passionku, jadi di sela-sela pekerjaan aku pun mengikuti kursus make up artist. Sekarang, aku amat bersyukur karena kursus singkat yang pernah kuikuti dulu di Singapura ternyata menjadi berguna saat ini. Sambil terus melakukan pengobatan atas wajahku, dengan penuh sukacita aku bekerja sebagai seorang make up artist yang adalah passionku. Aku sadar bahwa Tuhan meniti dengan indah setiap momen-momen kehidupanku, dan rancangan-Nya selalu tepat pada waktu-Nya.

Jika dulu penyakit ini tidak menimpaku, mungkin aku tidak akan pernah kembali ke Indonesia dan melakukan pekerjaan yang memang sesuai dengan passionku. Keadaan apapun yang terjadi dalam kehidupan kita saat ini, percayakan dan serahkan semuanya kepada Tuhan dan yakinlah bahwa suatu saat kita akan melihat rencana-Nya yang indah.

Dahulu aku adalah seorang yang egois dan tidak pernah sekalipun memikirkan orang lain. Tetapi, sekarang ketika aku membuka mataku, aku melihat kebaikan Tuhan hadir di setiap kehidupan kita.

“Ya, karena Dia hati kita bersukacita, sebab kepada nama-Nya yang kudus kita percaya” (Mazmur 33:21).

Baca Juga:

Manakah yang Lebih Baik, Menikah atau Tetap Single?

Topik seputar pernikahan nampaknya menjadi sesuatu yang hangat dibicarakan di mana-mana. Sebagai seorang single, kadang itu membuatku jadi penasaran dan bertanya. Hal apakah yang bisa mendorongku melepas status singleku untuk terikat dalam pernikahan dengan seseorang?

Ketika Tuhan Menjawab Doaku dengan 2 Buah Kentang

Oleh Diana Yemima

Aku dan keluargaku bergumul dengan permasalahan ekonomi yang terjadi belakangan ini. Gaji ayahku yang diterima setiap bulan tidak mampu mencukupi semua kebutuhan keluarga. Melihat kondisi keluarga yang kekurangan, ibu berjualan kue di sekitar kompleks perumahan.

Kue yang dijual oleh ibu itu sangat sederhana, yaitu donat yang dibuat dari kentang dan ditaburi gula halus. Ibu memiliki masalah fisik sehingga tidak memungkinkan untuk berjualan setiap hari, jadi dalam satu minggu ia hanya berjualan tiga kali. Keterbatasan itu tidak menyurutkan semangat ibu, malahan ia mengatakan kalau strateginya menjual donat tiga kali seminggu itu bagus karena membuat pelanggannya dilanda “rindu” terlebih dahulu.

Apa yang ibu lakukan itu ada benarnya juga. Setiap kali ia berjualan keliling komplek perumahan, para pelanggan membeli donat dalam jumlah banyak, ada yang membeli lima donat sekaligus bahkan lebih. Mungkin mereka membeli banyak karena tahu kalau tidak setiap hari bisa menyantap donat kentang buatan ibuku.

Tuhan Yesus memberkati usaha berjualan donat yang ibu kerjakan. Setiap kali ia berjualan, semua donat selalu habis terjual sehingga uang hasil penjualan itu cukup untuk memenuhi kebutuhan makan keluarga kami.

Suatu hari tagihan listrik di rumah kami telah jatuh tempo, tapi kami tak punya cukup uang untuk melunasinya. Uang yang kami miliki saat itu seharusnya digunakan untuk berbelanja kebutuhan bahan-bahan membuat donat kentang.

Ayah berusaha mencari pinjaman uang untuk membayar tagihan listrik itu. Aku teringat kalau masih ada tabungan yang kusimpan di celengan. Kubongkar celengan itu dan kukumpulkan setiap keping uang logam. Setelah digabung dengan sisa uang yang ada, ternyata itu cukup untuk membayar tagihan listrik kami.

Aku teringat satu ayat yang tertulis dalam Lukas 3:14 tentang perkataan Yohanes Pembaptis kepada prajurit-prajurit yang bertanya kepadanya, “Cukupkanlah dirimu dengan gajimu.” Ayat ini menguatkanku kalau Tuhan mencukupi kebutuhan keluargaku sehingga kami tidak harus berhutang kepada orang lain.

Aku berdoa sembari tanganku menggenggam uang. “Ya Bapa, Engkau tahu bahwa uang ini adalah uang terakhir yang ada di keluarga kami. Dan uang ini akan digunakan untuk membayar listrik. Aku menyerahkan uang ini ke dalam tangan kuasa-Mu. Biarlah dengan uang ini, kami dapat memenuhi setiap kebutuhan kami hingga akhir bulan nanti. Dalam nama Tuhan Yesus, amin,” ucapku pada-Nya.

Aku pikir masalah hari itu sudah selesai, tapi masih ada yang terjadi. Aku tidak melihat ibu menyiapkan bahan membuat donat kentang, padahal besok adalah hari Selasa yang semestinya ibu berjualan. Karena seluruh uang yang kami miliki, termasuk uang hasil penjualan donat ibu telah digunakan untuk melunasi tagihan listrik, maka kami tidak punya sisa uang lagi untuk membeli bahan-bahan membuat donat.

“Apakah tidak ada stok bahan yang tersisa di dapur?” tanyaku. Ibu menjawab kalau ia hanya memiliki dua buah kentang, padahal untuk satu kali adonan donat membutuhkan empat buah kentang.

Jika besok ibu tidak berjualan, kami tidak akan memiliki uang untuk makan karena penghasilan ibulah yang menjadi penyangga kehidupan sehari-hari kami. Aku masih tidak percaya kalau hanya tersisa dua kentang saja. Aku bergegas menuju dapur yang diterangi cahaya redup. Ternyata apa yang ibu katakan itu benar, hanya tersisa dua kentang saja di sana.

Kemudian aku masuk ke dalam kamar dan berdoa. “Tuhan terimakasih atas berkat-Mu karena akhirnya kami dapat membayar listrik tanpa meminjam uang. Tapi, Tuhan, ibu kehabisan kentang untuk membuat donat, sedangkan besok kami membutuhkan uang untuk makan. Bapa, aku yakin bahwa Engkau tak pernah membiarkan anak-Mu terlantar dan kelaparan. Engkau pasti memberi jalan keluar untuk segala permasalahan kami. Kami serahkan segalanya ke dalam tangan kuasa-Mu. Dalam nama Tuhan Yesus, amin.”

Seusai berdoa aku keluar dari kamar dan tiba-tiba ibu menghampiriku dengan raut wajah penuh syukur. Ia mengatakan kalau ayah menemukan dua buah kentang lagi yang tersembunyi di bawah tangga. Tangan ayah mampu merogoh hingga ke ujung dan ternyata ada dua buah kentang yang tersimpan di bawah sana. Awalnya ibu berpikir kalau kentang yang ditemukan itu pastilah sudah busuk karena itu kentang sisa dari minggu sebelumnya. Tapi, kentang itu masih dalam kondisi baik, tidak busuk.

Aku terharu melihat pertolongan Tuhan karena aku tahu kentang itu tidak datang tiba-tiba dari langit. Tuhan menjawab doaku dan membuatku menangis penuh ucapan syukur. Aku menyadari kalau pertolongan Tuhan itu selalu tepat waktu. Tidak lebih cepat, tapi juga tidak terlambat.

Ketika kita dihadapkan pada keadaan di mana segala sesuatunya seolah buntu, Tuhan tahu jalan keluar terbaik untuk setiap persoalan anak-anak-Nya. Kisahku bersama Tuhan menjadi suatu bukti kalau Dia tidak pernah membiarkan anak-anak-Nya kelaparan.

Firman Tuhan dalam Lukas 12:22-24 menguatkanku karena Tuhan berjanji selalu memelihara anak-anak-Nya, bahkan menyediakan setiap detail kebutuhan kita. Tuhan Yesus memberi perumpamaan tentang burung-burung di udara yang tidak menabur atau menuai, tetapi tetap dipelihara oleh-Nya. Jika Tuhan sanggup memelihara burung-burung itu, terlebih lagi Ia juga memelihara kita. Tuhan tidak pernah lalai menepati janji-Nya, namun yang perlu kita lakukan adalah setia melakukan bagian kita dengan baik.

“Serahkanlah segala kekuatiranmu kepada-Nya, sebab Ia yang memelihara kamu,” (1 Petrus 5:7). Seberat apapun pergumulan yang kamu alami, kamu tidak pernah berjalan sendirian. Tuhan Yesus menemani langkah perjalananmu, bahkan Ia juga akan menggendongmu ketika kamu lemah. Ketika kita mengakui kelemahan kita dan merendahkan diri di hadapan-Nya, di situlah kita akan merasakan penyertaan-Nya.

Menutup kesaksianku, ada satu ayat yang diambil dari 1 Korintus 10:13b, “Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.”

Jadi, seberat apapun pergumulan yang kamu alami, janganlah menyerah pada keadaan, tetapi berserahlah kepada Tuhan.

Baca Juga:

Ketika Tuhan Berkata Pria Itu Bukan Untukku

Sakit. Sedih. Kecewa. Itulah yang kurasakan ketika aku akhirnya putus dari pacarku setelah kami menjalin hubungan selama 3 tahun 7 bulan. Di saat aku telah mendoakan hubungan ini dan membayangkan akan menikah dengannya, ternyata hubungan kami harus kandas di tengah jalan.

Lokasi Terpencil

Rabu, 22 Juni 2016

Lokasi Terpencil

Baca: Markus 8:1-13

8:1 Pada waktu itu ada pula orang banyak di situ yang besar jumlahnya, dan karena mereka tidak mempunyai makanan, Yesus memanggil murid-murid-Nya dan berkata:

8:2 “Hati-Ku tergerak oleh belas kasihan kepada orang banyak ini. Sudah tiga hari mereka mengikuti Aku dan mereka tidak mempunyai makanan.

8:3 Dan jika mereka Kusuruh pulang ke rumahnya dengan lapar, mereka akan rebah di jalan, sebab ada yang datang dari jauh.”

8:4 Murid-murid-Nya menjawab: “Bagaimana di tempat yang sunyi ini orang dapat memberi mereka roti sampai kenyang?”

8:5 Yesus bertanya kepada mereka: “Berapa roti ada padamu?” Jawab mereka: “Tujuh.”

8:6 Lalu Ia menyuruh orang banyak itu duduk di tanah. Sesudah itu Ia mengambil ketujuh roti itu, mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikannya kepada murid-murid-Nya untuk dibagi-bagikan, dan mereka memberikannya kepada orang banyak.

8:7 Mereka juga mempunyai beberapa ikan, dan sesudah mengucap berkat atasnya, Ia menyuruh supaya ikan itu juga dibagi-bagikan.

8:8 Dan mereka makan sampai kenyang. Kemudian orang mengumpulkan potongan-potongan roti yang sisa, sebanyak tujuh bakul.

8:9 Mereka itu ada kira-kira empat ribu orang. Lalu Yesus menyuruh mereka pulang.

8:10 Ia segera naik ke perahu dengan murid-murid-Nya dan bertolak ke daerah Dalmanuta.

8:11 Lalu muncullah orang-orang Farisi dan bersoal jawab dengan Yesus. Untuk mencobai Dia mereka meminta dari pada-Nya suatu tanda dari sorga.

8:12 Maka mengeluhlah Ia dalam hati-Nya dan berkata: “Mengapa angkatan ini meminta tanda? Aku berkata kepadamu, sesungguhnya kepada angkatan ini sekali-kali tidak akan diberi tanda.”

8:13 Ia meninggalkan mereka; Ia naik pula ke perahu dan bertolak ke seberang.

Allahku akan memenuhi segala keperluanmu menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus. —Filipi 4:19

Lokasi Terpencil

Pulau Tristan da Cunha terkenal karena lokasinya yang terpencil. Pulau itu merupakan pulau berpenghuni paling terpencil di dunia, dengan penduduk sebanyak 288 orang. Pulau tersebut terletak di Lautan Atlantik Selatan, 2.816 km jauhnya dari Afrika Selatan sebagai daratan yang paling dekat. Siapa saja yang mau mengunjunginya harus menempuh perjalanan dengan kapal selama 7 hari karena pulau tersebut tidak mempunyai lapangan udara.

Yesus dan para murid-Nya sedang berada di daerah yang lumayan terpencil ketika Dia melakukan mukjizat dengan memberi makan ribuan orang yang sedang lapar. Sebelum melakukan mukjizat-Nya, Yesus berkata kepada murid-murid-Nya, “Sudah tiga hari mereka mengikuti Aku dan mereka tidak mempunyai makanan. Dan jika mereka Kusuruh pulang ke rumahnya dengan lapar, mereka akan rebah di jalan, sebab ada yang datang dari jauh” (Mrk. 8:2-3). Karena sedang berada di pedesaan di mana makanan tidak mudah tersedia, mereka harus bergantung sepenuhnya kepada Yesus. Mereka tidak dapat berharap kepada yang lain.

Terkadang Allah mengizinkan kita berada di tempat-tempat yang terpencil di mana hanya Dialah satu-satunya sumber pertolongan kita. Kesanggupan-Nya untuk memenuhi kebutuhan kita tidaklah dibatasi oleh keadaan kita. Bila Allah dapat menciptakan dunia dari apa yang tidak ada menjadi ada, tentulah Dia sanggup memenuhi segala kebutuhan kita—bagaimana pun keadaan kita—menurut kekayaan dan kemuliaan-Nya dalam Kristus Yesus (Flp. 4:19). —Jennifer Benson Schuldt

Ya Allah, terima kasih untuk segala sesuatu yang telah Engkau sediakan melalui Anak-Mu, Yesus Kristus. Engkau tahu apa saja kebutuhanku. Yakinkanlah aku akan kasih-Mu dan kuasa-Mu.

Kita dapat mempercayai Allah untuk mengerjakan apa yang tidak sanggup kita kerjakan.

Bacaan Alkitab Setahun: Ester 6-8; Kisah Para Rasul 6

Artikel Terkait:

Bagaikan Air Sirami Tanah Gersang

Berjalan bersama Tuhan seringkali terasa tidak mudah. Apa yang terlihat di depan mata, terdengar di telinga, dan muncul dalam hati, lebih sering menyurutkan semangat. Namun, Tuhan selalu punya cara untuk menyegarkan ingatan kita akan janji firman-Nya. Yuk baca kesaksian Melisa tentang perjalanan hidupnya bersama Tuhan.