Ayah, Terima Kasih untuk Teladanmu

Oleh Bintang Lony Vera, Jakarta

“Seperti bapa sayang kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan Dia” (Mazmur 103:13)

“Bapak”, demikian aku memanggilnya. Ia adalah pria berkulit terang yang suka memancing dan bernyanyi, pribadi yang sederhana dan penuh kasih. Dia begitu mengasihiku, adik-adikku, dan penolongnya yang sepadan yaitu Mama.

Bapak tidak pernah menempatkan dirinya sebagai yang paling utama. Suatu pagi, langit tiba-tiba mendung ketika aku sedang diantar Bapak ke sekolah. Tak lama kemudian, hujan pun turun. Sayangnya, kami tidak membawa jas hujan. Bapak segera memberikan jaket yang dipakainya kepadaku, lalu kembali melanjutkan perjalanan karena jam masuk sekolah sudah hampir tiba. Bapak bertanya apakah keadaanku baik-baik saja, padahal kondisi Bapaklah yang perlu dikhawatirkan karena ia mengendarai motor di tengah hujan tanpa jaket. Tetapi, ia lebih mementingkan kesehatanku daripada dirinya sendiri.

Bapak selalu memberikanku dukungan dan penghiburan di saat aku membutuhkannya. Saat aku ujian masuk perguruan tinggi, Bapak yang mengantarkanku. Bapak pula yang memberikan pelukan hangat untuk menenangkanku di malam pengumuman saat aku dinyatakan tidak diterima di pilihan pertamaku.

Bapak menunjukkan kasihnya dengan cara yang sederhana. Biasanya, Bapak akan mampir ke pasar sepulang kerja untuk membeli buah. Sesampainya di rumah, dari ambang pintu ia berkata, “Bapak pulang. Ini ada buah, ayo kupas dan kita makan”. Selain bekerja sebagai seorang karyawan swasta, Bapak juga menjual tas. Bapak telah mengusahakan banyak hal untuk aku dan adik-adikku agar kami dapat menikmati pendidikan dan memenuhi kebutuhan kami sehari-hari.

Bertemu dengan Bapak dan berbicara dengannya pada sore hari sepulang kerja adalah hal yang kunantikan setiap hari. Aku senang jika suara motornya sudah terdengar dari dalam rumah. Kami dapat berbincang tentang apapun. Aku merasa bebas lepas saat berbicara dengan Bapak. Kedekatan ini membuatku semakin mengenal dan memahami Bapak. Aku sudah tahu Bapak sedang memikirkan sesuatu sebelum Bapak menceritakannya. Bapak juga tahu apa yang kualami sebelum aku menceritakannya. Meski begitu, tidak jarang kami berbeda pendapat. Aku sering membuatnya kecewa, begitupun sebaliknya. Kadang kebijakan-kebijakan Bapak dapat membuatku bersedih hati. Namun aku tahu, keputusan yang dibuat Bapak adalah untuk kebaikanku.

Cinta yang Bapak berikan mengingatkanku akan cinta kasih Bapa surgawi. Bapa begitu mencintai anak-anak-Nya sehingga Ia memberikan Putra-Nya yang tunggal bagi dunia. Ia mengosongkan diri-Nya dan menjadi sama seperti manusia, dan rela mengorbankan diri-Nya di atas kayu salib untuk menebus dosa umat manusia.

Kedekatan dengan Bapak membuatku rindu untuk lebih dekat dengan Bapa yang mengenalku lebih dari siapapun dan telah mengasihiku lebih dulu. Kini saatnya aku belajar semakin mengenal dan mengasihi-Nya melalui hubungan yang dibangun setiap hari lewat doa dan saat teduh. Bercermin dari hubunganku dengan Bapak, aku percaya bahwa setelah mengenal dan mengasihi Bapa Surgawi, aku akan semakin memahami apa yang menjadi kehendak-Nya. Aku belajar untuk menghayati bahwa semua yang terjadi di dalam hidup ini juga seturut dengan kehendak-Nya dan bertujuan untuk mendatangkan kebaikan, sekalipun dalam kedukaan.

Setiap kali aku menghabiskan waktu dengan Bapak, aku selalu teringat untuk meluangkan waktu berbincang dengan Bapa Surgawi—Pribadi yang menerimaku sepenuhnya, mengenalku sampai ke bagian yang terdalam, dan mengasihiku lebih dari siapapun.

Baca Juga:

Tentang Benda-benda Langit yang Mengingatkanku akan Kebesaran Allah

Melalui hari yang panas terik, aku menyadari bahwa Tuhan kembali menyatakan diri-Nya dengan mengingatkanku akan karya ciptaan-Nya yang luar biasa.

Aku Mengalami Bipolar Mood Disorder, Namun Aku Bersyukur

Oleh Febriani*

“Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya” (Mazmur 139 : 14).

“Tuhan itu baik.”

Kalimat itu rasanya sudah terlalu sering kudengar. Namun, membutuhkan waktu seumur hidupku untuk benar-benar memahami dan menghidupi kebenaran itu. Setelah berhasil melewati setiap hal yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidupku dan menyaksikan pekerjaan tangan-Nya, akhirnya saat ini aku bisa benar-benar mengatakan kalimat itu dari hatiku, tidak hanya dengan mulut. Hal itu pun bisa terjadi karena kebaikan-Nya.

Aku dapat merasakan kebaikan dan anugerah Tuhan dengan begitu nyata ketika aku bisa merasa “stabil”. Terdengar aneh, memang. Tetapi bagiku, ini sungguh luar biasa.

Pergumulanku dengan bipolar mood disorder

Beberapa bulan yang lalu, aku sempat berada di sebuah situasi di mana aku benar-benar tidak dapat mengendalikan diriku. Saat itu, aku menangis tidak terkendali sampai melukai diriku sendiri. Hal yang terlintas di benakku hanyalah betapa aku sangat membenci diriku sendiri, dan aku ingin segera mengakhiri hidupku. Keadaan ini membuat orang-orang terdekatku mengkhawatirkanku. Aku tidak sadar dan tidak benar-benar mengerti apa yang baru saja terjadi, aku sudah berada di rumah sakit ketika aku terbangun.

Ketika kesadaranku mulai kembali, aku mendengar dokter memberi diagnosis. “Depresi”, katanya. “Kalau seperti ini lagi, tolong pasien jangan dibawa ke rumah sakit ini, tetapi ke rumah sakit jiwa atau dokter kejiwaan.”

Kalimat itu membuat keluargaku sangat terpukul, terutama kedua orang tuaku. Kenyataan bahwa anaknya mengalami depresi mungkin sulit mereka terima, karena selama ini aku ingin orang melihatku seakan baik-baik saja. Mereka tidak pernah tahu apa yang kusembunyikan dari mereka. Aku memendam semua beban dan kepedihanku dalam-dalam. Namun bagaimanapun aku berusaha, aku tidak cukup tangguh untuk menyimpan semua itu sendirian. Akhirnya, semuanya pun meledak.

Mengetahui hal itu, papa dan mamaku meminta bantuan hamba Tuhan di gereja kami untuk memberiku pelayanan konseling. Melalui konseling selama beberapa bulan, aku dipulihkan. Selapis demi selapis, luka dan selubung dalam diriku Tuhan singkapkan. Aku mulai mengenal diriku seutuhnya.

Aku juga menyadari sebuah keadaan yang dapat dikatakan sebagai kenyataan yang aneh. Aku memiliki orang tua dan keluarga yang cukup baik, tetapi kasih sayang dari mereka yang terlalu besar sampai menjadi overprotective terhadapku justru menimbulkan luka dan kepahitan yang tidak kusadari telah menumpuk dan membentuk diriku yang seperti sekarang ini. Papaku yang terlalu melindungi, mengekang, dan mendidikku dengan keras, membuatku tidak dapat merasakan kasihnya kepadaku. Aku tumbuh dengan sebuah pemikiran bahwa papa tidak mengasihiku. Konsep tentang seorang papa yang seperti ini membuatku tidak percaya bahwa Allah Bapa mengasihiku.

Ternyata, gambar diriku rusak. Dokter dan konselorku menyebutnya dengan “pecahnya diri dan kepribadian”-ku. Aku sama sekali tidak menyadari bahwa aku telah sakit.

Proses menuju pulih

Sebenarnya, konselorku sudah mengenal dan melayaniku cukup lama karena beliau adalah pembimbing gereja kami semenjak aku remaja. Saat-saat aku mengalami depresi yang adalah titik terendah dalam hidupku, beliau pun terus setia melayani dan menolongku. Beliau juga sempat curiga, mengapa aku bergumul di masalah yang sama selama bertahun-tahun, seperti mengalami mood swing yang tidak terkendali. Tidak hanya beliau, ternyata selama ini keluargaku juga bingung dengan diriku yang bisa tiba-tiba sangat bahagia, tetapi beberapa jam kemudian menjadi sangat sedih dan penuh kemarahan.

Konselorku pun mendorongku untuk memeriksakan diri ke dokter. Aku sendiri menyadari bahwa aku sangat lelah akan mood swing yang tidak terkendali. Setelah berdoa dan bergumul, akhirnya aku didampingi konselorku untuk menemui seorang dokter.

Aku positif mengalami bipolar mood disorder. Meskipun telah merasakan serangkaian gejalanya selama bertahun-tahun, aku mengira apa yang kualami adalah sesuatu yang normal dan umum dialami oleh banyak orang. Rupanya, aku membutuhkan pengobatan dan penanganan khusus.

Aku sudah terlalu lelah dengan mood-ku yang begitu mudah berubah-ubah dan mempengaruhi hidupku. Aku sudah berusaha begitu banyak hal dan memohon Allah Roh Kudus untuk menguasaiku. Namun, terus ada saat-saat di mana aku masih saja berkutat di masalah yang sama, dan ini terasa sangat melelahkan.

Pil-pil ini, psikiater, rumah sakit, dan dokter spesialis kejiwaan—semua ini merupakan hal yang sangat tabu dan mengerikan untukku beberapa bulan yang lalu. Namun, tidak ada kata yang dapat mengungkapkan rasa syukurku ketika saat ini Bapa yang baik memampukanku untuk dapat menerima kenyataan bahwa ternyata aku adalah seseorang dengan bipolar mood disorder, yang membutuhkan pertolongan lebih dari konseling. Aku membutuhkan penanganan dari dokter dan obat-obatan untuk membuat pulih.

Mengapa baru sekarang, setelah 32 tahun aku hidup, seakan aku harus memulai menata diriku dan hidupku dari awal? Mengapa aku mengalami ini? Kenapa Tuhan membuatku dengan bipolar seperti ini?

Pertanyaan-pertanyaan ini tidak lagi memerlukan jawaban. Sebab sekarang yang ada bagiku, hanya ucapan syukur pada-Nya. Aku mau berserah dan percaya penuh pada rencana-Nya bagiku yang tidak pernah berlaku buruk dan tidak pernah bertujuan untuk mencelakakanku. Ia Allah yang ingin memulihkanku dan mengerjakan rencana indah-Nya bagiku dengan cara-Nya, waktu-Nya, dan di dalam kehendakNya. Ia Bapaku yang kekal, Pribadi terbaik yang mengerti dan mengasihiku.

“Aku bukan sebuah kesalahan. Aku ini anak kesayangan-Nya dan alat kemuliaan-Nya.”

Mari kita bersama-sama meneguhkan kembali identitas kita di dalam Tuhan, bahwa kita diciptakan sesuai dengan gambar dan rupa-Nya. Kiranya Tuhan Yesus menolong kita semua. Amin.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Setahun Mencari Pekerjaan, Tuhan Akhirnya Menjawab Doaku

Saat masih duduk di bangku kuliah, aku pernah berpikir bahwa hidup akan terasa mudah dan indah setelah selesai kuliah. Lulus dengan nilai bagus, lalu diterima di perusahaan besar di Jakarta. Namun, impianku justru pupus begitu saja.

Kecelakaan Hebat Menghancurkan Hidupku, Namun Kisahku Tidak Berakhir di Situ

Ditulis oleh Matthew Job Tan, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Surviving Traumatic Brain Injury: From “Why Me” To “Why Not Me?”

Yeremia 29:11 berkata, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Sebagian besar orang Kristen mungkin pernah mendengar ayat Alkitab yang terkenal ini. Seperti yang mungkin pernah kita dengar, mengetahui dan mengalami merupakan dua hal yang berbeda. Jika suatu hal tidak dialami secara pribadi, ayat ini hanya akan menjadi kepercayaan yang abstrak.

Pencobaan

“Karena bukan dari debu timbul bencana dan bukan dari tanah tumbuh kesusahan.” (Ayub 5:6)

Ketika aku berusia 16 tahun, segala sesuatu dalam hidupku berjalan dengan baik. Aku unggul di bidang akademis dan olahraga Judo, masa depanku tampak menjanjikan. Namun, hari-hari kejayaanku itu berakhir secara tragis dan mendadak pada 20 April 2010. Kala itu, aku sedang bertanding di babak semifinal pertandingan Judo—sedekat itulah aku dengan medali emas pertamaku—ketika aku mendarat dalam posisi yang salah saat menerima pukulan lawan. Kejadian ini membuatku mengalami cedera otak traumatik (traumatic brain injury; TBI).

Akibat cedera itu, aku mengalami koma selama 2 bulan. Cedera otak itu turut menyebabkan kerusakan otot-ototku. Aku tidak mampu menjalankan aktivitas apapun. Aku memperoleh asupan gizi lewat infus (untuk minum) dan selang (untuk makan). Pasca koma, otot-ototku terlalu lemah untuk menahan kepala atau badanku pada posisi tegak. Berbicara dan bergerak adalah hal yang mustahil untuk kulakukan. Dalam sekejap mata, hidupku hancur berantakan.

Perjalananku untuk pulih dan kembali ke kehidupan normal dipenuhi dengan hambatan. Pada masa-masa awal, proses pemulihan fungsi-fungsi tubuhku bagaikan mimpi buruk. Aku tidak bisa berbicara maupun bergerak. Aku takut untuk bangun setiap pagi karena kondisi tubuhku yang rusak.

Satu tahun kemudian, aku kembali ke sekolah menengahku yang lama dengan kursi roda, yang membuatku menghadapi semakin banyak kesulitan. Selain harus menghadiri sesi terapi rawat jalan setiap minggunya, aku kesulitan untuk fokus dan mengikuti pelajaran karena stamina mental yang terbatas dan proses berpikir yang lambat. Saat itulah aku menyadari kerusakan yang ditimbulkan cedera otak pada sisi kognitifku.

Aku tidak lagi dapat mengejar ketertinggalan dari teman-temanku di sekolah sekalipun aku sudah mengurangi beberapa mata pelajaran. Aku hanya mengambil lima mata pelajaran, sementara teman-teman sekelasku mengambil sembilan. Dari kegagalan yang berulang kali terjadi saat ujian, terbukti bahwa aku bukan lagi peraih prestasi seperti dulu.
Pindah ke politeknik, aku tidak hanya terus bergumul di bidang akademik—aku juga harus berjuang agar bisa berbaur dengan baik. Proses berpikir yang lambat membuatku terus bersikap canggung. Sekalipun orang-orang di sekitarku menghiburku, aku tetap merasa sendirian dan mulai membenci diriku sendiri.

Kesulitan yang kualami membuatku mempertanyakan maksud Tuhan yang mengizinkan malapetaka ini menimpaku. Kalau rencana Tuhan dalam hidupku memang untuk memberikan damai sejahtera dan masa depan yang berpengharapan, aku benar-benar tidak mengerti mengapa Tuhan tidak menghentikan terjadinya kecelakaan itu.

“Apa aku telah berbuat dosa besar yang membuatku pantas dihukum seberat ini? Kenapa Dia masih membiarkanku hidup di sini untuk menderita? Bukankah lebih baik kalau aku mati saja pada hari itu? Kenapa aku?” Itu adalah sederet pertanyaan yang menyeretku masuk dalam keputusasaan. Pada satu titik, aku bahkan berpikir untuk mengakhiri hidupku. Pencobaan yang kualami terlalu menyesakkan. Manusiawi jika aku memilih untuk menyerah.

Memahami “mengapa”

“Hidup dan kasih setia Kau karuniakan kepadaku, dan pemeliharaan-Mu menjaga nyawaku.” (Ayub 10:12)

Ketidakpercayaanku akan rencana Tuhan yang sempurna tidak membuat-Nya berhenti mengasihiku. Melalui keluarga, guru, teman, mentor, dan bahkan orang yang tidak kukenal, Tuhan memberikan kekuatan, semangat, dan mukjizat yang memampukanku melewati masa-masa sulit itu. Saat aku menengok ke belakang, aku menyadari penyertaan-Nya dalam hidupku: hanya kasih karunia-Nya yang dapat menjaga dan memberiku kekuatan untuk memikul salibku.

Sekalipun sempat mengalami kegagalan saat kembali ke sekolah menengah, aku berhasil meraih beasiswa untuk melanjutkan pendidikan di politeknik berkat dukungan dari guru-guruku.

Dalam masa pemulihan, aku diperkenalkan pada pengobatan alternatif seperti akupuntur, terapi berenang, dan meditasi. Ditambah dengan olahraga yang intens setiap harinya, akhirnya setelah dua tahun aku bisa kembali berjalan. Bahkan, aku dapat menyelesaikan pertandingan lari jarak jauh, termasuk perlombaan maraton 10 kilometer di tahun 2016.

Walaupun diperhadapkan pada kenyataan bahwa aku tidak akan mampu bkerja di bidang pendidikan atau industri, aku diterima bekerja sebagai asisten terapis untuk terapi musik di sebuah panti jompo Kristen yang mau mempekerjakan dan memberi dukungan tanpa pamrih untukku.

Pekerjaanku membuatku berkembang, baik dalam pemulihanku maupun kompetensiku sebagai seorang profesional. Kompleks panti jompo yang besar mengharuskanku banyak menggerakkan kaki dan memberiku banyak kesempatan untuk latihan berjalan. Dengan bangga kukatakan bahwa kecepatan berjalanku sudah bertambah!

Aku tertantang untuk memikirkan cara supaya tugas yang diberikan kepadaku bisa menjadi sesuatu yang bermakna. Jam klinik harian bersama para penghuni panti jompo juga membantuku mengembangkan kemampuan untuk bersosialisasi dan menjalin hubungan. Disiplin untuk mengerjakan semua kewajiban seperti persiapan, pelaksanaan, dan pembersihan untuk sesi individu maupun kelompok memberiku kesempatan untuk melatih kemampuan manajemen waktu. Terlepas dari keterampilan kerjaku yang bertambah baik, aku mulai mengerti sebagian kecil dari alasan mengapa Tuhan mengizinkan aku mengalami kejadian yang mengerikan itu.

Mengalami maksud penebusan Tuhan

Di tempat kerja, hari-hariku dilalui dengan berinteraksi dengan mereka yang sudah memasuki usia senja. Aku berjalan bersama mereka yang telah—entah secara perlahan maupun tiba-tiba—kehilangan kendali atas hidup mereka. Oleh karena itu, mereka hanya bisa bergantung pada orang-orang di sekitar mereka untuk bertahan hidup. Kondisi mereka mencerminkan masa laluku.

Melalui musik, aku dapat membawa sukacita dan penghiburan bagi orang-orang yang mirip denganku. Tentu saja, kesakitan dan penderitaanku tidak dapat dibandingkan dengan apa yang mereka rasakan. Tetapi aku percaya, Tuhan mengizinkanku merasakan kehilangan pengharapan dan ketidakberdayaan supaya aku bisa lebih berempati kepada para penghuni panti jompo ini.

Dengan empati yang aku miliki, aku menjadi lebih sabar dan peka dalam menjalani keseharianku bersama mereka. Aku bersikeras untuk terus berusaha menjalin hubungan dengan mereka, sekalipun ada dari mereka yang sulit ditangani atau tidak responsif. Aku tahu betul bagaimana rasanya kesepian, dan inilah yang menggerakkanku untuk menjangkau dan mengunjungi penghuni panti setiap hari sekalipun saat itu bukan jadwal tugasku.

Tentu, dedikasiku padapekerjaan membuatku merasa lelah di ujung hari. Namun, aku bersukacita karena aku pulang ke rumah tanpa membawa penyesalan. Aku kagum akan kasih Tuhan untukku, karena melalui keadaan hidupku yang unik, yang dulu pernah kulalui, aku bisa memaknai pekerjaanku dan menemukan sukacitaku berlipat ganda.

Seiring berjalannya waktu, aku mulai memahami apa maksud Tuhan untuk hidupku. Tuhan tahu bahwa aku akan menderita, tetapi Dia memberiku kekuatan yang cukup untuk bertahan dari kecelakaan cedera otak dan mempersiapkanku untuk melakukan pekerjaan yang indah ini. Dengan kasih karunia Allah, aku berhasil membalikkan pencobaan terberatku menjadi hal terbaik yang mungkin dapat terjadi kepadaku.

Setelah mengalami kebenaran dan indahnya janji Tuhan, aku bisa memiliki harapan akan masa depanku. Jika saja dulu aku memutuskan untuk menyerah, aku tidak akan bisa melihat karya-Nya di hidupku dan menikmati perjalanan bersama Tuhan hari ini. Pertanyaan terbesarku “Mengapa aku?” sudah berganti menjadi “Mengapa bukan aku?”, dan hal ini dapat terjadi karena aku telah bertekun dalam penderitaanku yang bersifat sementara.

Tuhan tidak pernah menjanjikan hidup yang mudah, tapi sama seperti Ia menyertai orang Israel selama masa pengasingan, Ia juga berjanji tidak akan pernah meninggalkan atau membuang kita di tengah pencobaan dan penderitaan yang kita alami.

Rencana Tuhan kadangkala melibatkan rasa sakit dan penderitaan, namun Dia berjanji akan menyertai kita melewati semua itu (Yesaya 41:10). Apapun yang kamu sedang alami saat ini, aku mengajakmu untuk tetap bertahan. Sebab, saat kamu “membiarkan ketekunan itu memperoleh buah yang matang”, kamu akan menjadi “sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apa pun” (Yakobus 1:4). Pengharapan bahwa kita akan disempurnakan di dalam Dia akan memberikan kita pengharapan untuk masa depan kita. Amin.

Artikel ini diterjemahkan oleh Stephanie Yudith

Baca Juga:

Jangan Sekadar Mengeluh!

“Ya Gusti, cepet banget ya dari hari Minggu ke hari Senin, tapi dari Senin ke Minggu lama banget. Coba jarak Senin ke Minggu kita sama kaya Pasar Minggu sama Pasar Senen di Jakarta, kan bolak-balik gak beda jauh.”

Pernahkah teman-teman mengeluh seperti itu? Mungkin sebagian besar dari kita juga pernah mengeluh karena weekend kita berlalu dengan cepat.”

Ketika Kisah Cinta Kami Berjalan Keliru

Oleh Wendy Wong
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Where Our Love Story Went Wrong

“Di mana kamu mendapatkan sukacita terbesarmu?”

Aku berhenti sejenak, mengingat apa yang membuatku tersenyum, apa yang membuatku bertahan menjalani keseharianku, dan apa yang paling membawa kebahagiaan untukku.

“Kurasa aku mendapatkan sukacita terbesarku . . . dalam dirimu,” Ucapku dengan lembut.

“Aku juga.”

***

Inilah bagian dari kisah cinta kita di mana kita tersenyum sambil menatap satu sama lain dengan malu-malu, menggenggam tangan dan merangkul satu sama lain dalam cinta—cinta yang penuh dengan kebahagiaan, romantis, dan terasa seperti melayang-layang.

Bagian cerita inilah yang membuat kita sadar bahwa kita sedang menghidupi kisah-kisah cinta yang diceritakan dalam dongeng, lagu, buku, dan film. Kisah cinta yang disajikan pada kita dengan segala kalimat, lirik, dan adegannya, hingga tanpa sadar kita telah membeli sesuatu yang sama berkali-kali.

Namun, justru pada bagian inilah kisah cinta kita berjalan ke arah yang keliru. Sebab, kisah cinta yang sejati tidaklah seperti itu, dan kisah cinta yang sedang kita jalani sekarang tidak akan bertahan selamanya.

***

Aku sedang menjalani hubungan dengan tunanganku, David, selama 2 tahun. Dan hari demi hari, aku semakin jatuh cinta dengannya.

Namun selalu ada bahaya ketika aku mencintainya dengan sangat. Cinta itu dapat membuatku mencintainya lebih dari cinta pertama dan terbaikku: Tuhan.

Adalah hal yang sangat menakutkan ketika aku mendapati diriku melewati batas itu: ketika aku memilih untuk menghabiskan malamku dengannya dibandingkan meluangkan waktu menyendiri dengan Tuhan, ketika hatiku lebih mendapat kepuasan di dalamnya dibanding di dalam Tuhan, ketika aku lebih mengkhususkan perhatianku untuk kebutuhan dan keinginannya, bukan untuk mengenal dan mematuhi Tuhan.

Tapi mengapa itu seperti hal yang buruk? Apa yang salah dengan lebih mencintai calon suamiku daripada Tuhan?

Itu sangat berbahaya. Hal itu menarikku dari menyembah Tuhan kepada memberhalakan seorang manusia biasa yang penuh kelemahan dan kekurangan (Roma 1:25). Terkadang aku mendapati diriku sangat mencintainya hingga aku lupa bahwa dia hanyalah manusia. Dan walaupun dia berusaha sebaik mungkin untuk mencintaiku dengan benar, dia terkadang gagal—akupun juga. Dan saat itulah kita merasa kecewa, tersakiti, dan marah pada pasangan kita.

Itu adalah dosa. Hal itu melanggar perintah pertama Tuhan pada kita: bahwa kita tidak menyembah allah lain di hadapan-Nya (Keluaran 20:3). Berhala bukan hanya patung kayu kecil atau sebuah altar di dalam rumah yang kita sembah, melainkan hal yang bertakhta di kehidupanku. Berhala adalah hal yang kucintai, dambakan dan hargai lebih dari apapun dan siapapun di dunia ini.

Dan itulah hal yang mendukakan Tuhan. Tuhan bersedih ketika aku pergi menjauh dari-Nya menuju pelukan kekasih lain, sebuah karunia yang Tuhan sendiri berikan padaku, tapi yang telah kubelokkan dan kusalahgunakan untuk keegoisanku. Mengkhianati Tuhan juga menyakitiku dalam cara-cara yang tidak dapat kumengerti secara kognitif, namun kurasakan secara spiritual, ketika rohku berduka bersama dengan Roh Kudus.

Berkali-kali aku diperlihatkan pada konsekuensi dari mencintai pasanganku lebih daripada Tuhan. Namun konsekuensi ini ditujukan untuk menuntunku pada pertobatan dan untuk mendisiplinkanku untuk kebaikanku (Ibrani 12:5-11). Seperti yang dikatakan dengan tepat oleh temanku: “Tuhan tidak memberikanmu seseorang untuk melihat dia mengambil tempat-Nya di hidupmu.”

Mengasihi tunanganku lebih dari Bapa seringkali menuntun pada rasa sakit dan hubungan yang merenggang. Karena ketika aku meninggikannya hingga dia menjadi tuhan dalam hidupku—sosok yang kupercaya dapat memenuhi segala keinginan dan kebutuhanku, yang mencintai dan mengerti diriku tanpa syarat, dan yang selalu ada denganku dalam segala kondisi, baik secara fisik maupun emosional—aku mendapati dirinya gagal memenuhi semua itu. Seharusnya hal ini tidak mengherankan, tapi aku tidak dapat menahan diriku dari perasaan kecewa, bahkan seperti merasa ditipu. Dan semua itu karena aku mempercayai kebohongan yang kubuat sendiri.

Lalu bagaimana caranya kita mengasihi pasangan kita tanpa memberhalakan mereka?

Momen ketika kami mengaku bahwa kami mendapatkan sukacita terbesar dalam pelukan satu sama lain merupakan pengalaman yang pahit namun manis—pahit karena kami tahu bahwa cinta kami dapat dengan mudah berubah menjadi berhala jika kami tidak berhati-hati; namun manis, karena kita telah menemukan orang yang jiwa kita kasihi dan yang dengannya kita akan disatukan (Kidung Agung 3:4, Kejadian 2:1-24).

Momen itu merupakan pengingat bahwa cinta romantis seperti itu, sama dengan cinta lainnya, hanyalah bayang-bayang dari Cinta terbesar yang pernah ada: cinta yang diwujudkan di kayu salib melalui Anak Allah, yang menanggung dosa-dosa kita dan mati bagi kita

Aku belajar bahwa satu-satunya cara untuk mencintai David dengan benar, dan juga satu-satunya cara David untuk mencintaiku dengan benar, adalah dengan mencintai Tuhan dengan benar (1 Yohanes 4:19). Hal ini berarti menanyakan pada diri kita siapa Tuhan bagi kita; dan jika Tuhan adalah Tuhan kita, kita meresponinya dengan menjalani hidup yang menyembah Allah dengan sepenuhnya.

Hal ini berarti menyatakan Tuhan sebagai Raja dari hati kita, dengan mengutamakan pertumbuhan relasi kita dengan Cinta pertama kita, baik secara pribadi maupun sebagai pasangan. Tidak hanya ketika kita mendengarkan khotbah di gereja, atau ketika kita menghabiskan waktu dengan keluarga kita, tapi juga di saat-saat kita sedang sendiri.
Hubungan yang berpusat pada Kristus didasari oleh komitmen, kebergantungan dan keintiman. Ini artinya dengan sadar memiliih untuk mencintai Tuhan di atas pasangan kita, bersandar hanya pada Kristus sebagai batu penjuru, dan mendekat pada-Nya tiap hari, dalam setiap keputusan yang kita ambil sehari-hari.

Semenjak kami menyadari bahwa kami perlu menempatkan Tuhan di atas satu sama lain, kami telah menyediakan waktu untuk berdoa, mengucap syukur, dan merenungkan Firman-Nya bersama-sama ketika kami bertemu. Kami juga memulai kebiasaan mendoakan satu sama lain tiap hari, menanyakan hal yang ingin didoakan, dan menguatkan satu sama lain melalui Firman.

Pada akhirnya, kisah cinta kita adalah tentang mengalami apa yang pemazmur alami ketika dia menulis: “Engkaulah Tuhanku, tidak ada yang baik bagiku selain Engkau!” dan bahwa “di hadapan-Mu ada sukacita berlimpah-limpah” (Mazmur 16:2, 11). Ini berarti menghargai Tuhan sebagai hartaku yang paling berharga, dan menikmati-Nya sebagai kenikmatan terbesarku (Matius 6:21). Inilah caranya kami menjalani kisah cinta kami dengan benar: dengan menemukan sukacita terbesar kami yang hanya ada di dalam Dia seorang, bersama-sama.

Baca Juga:

Ada Pemeliharaan Allah dalam Perjalanan Iman Kita

Menyambut momen Jumat Agung yang akan kita peringati besok, selain menghayati pengorbanan Kristus di kayu salib, maukah kita juga membagikan kepada orang lain kisah tentang kasih dan pengampunan-Nya?

Menegur, Sulit tapi Baik untuk Dilakukan

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Menegur orang lain merupakan hal yang sangat sulit untuk kulakukan. Aku takut pada risiko yang mengikutinya—ditolak dan dijauhi oleh orang yang kutegur. Aku tidak siap menghadapi hal itu.

Beberapa minggu ini, aku merasa gelisah dengan postingan temanku di media sosial. Aku merasa risih dengan konten yang dia unggah. Bukan aku saja yang merasa begitu, teman-temanku yang lain juga merasakan hal yang sama. Tapi, tidak ada satu pun dari kami yang berani menegurnya.

Suatu malam, temanku itu meng-update status di media sosialnya yang menurutku kurang bijak. Dia mengumbar masalah yang sedang dia hadapi dengan pacarnya. Aku memutuskan untuk bertanya alasan mengapa ia sering mengunggah konten seperti itu. Sebagai sahabatnya, aku tidak ingin kalau karena postingannya itu, orang lain jadi salah persepsi terhadapnya.

Tapi, temanku malah berbeda pendapat denganku. Dia merasa tidak ada yang salah dengan semua postingannya. Ia justru berkata bahwa dengan aku menegurnya seperti itu, aku telah melukai hatinya. Dia tidak menerima teguranku dan sebaliknya malah jadi marah padaku.

Aku gelisah. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri, apakah aku menyampaikan teguranku dengan cara yang salah hingga temanku jadi sakit hati? Apakah aku terlalu berlebihan?

Aku berdoa pada Tuhan, meminta ampun apabila tindakanku telah menyakiti hatinya—terlebih lagi jika melukai hati Tuhan. Aku berdoa agar Tuhan yang menyempurnakan teguran itu kepadanya, dan memulihkan hati kami berdua.

Di tengah rasa khawatirku itu, aku merasa sangat diteguhkan ketika Tuhan mengingatkanku pada Amsal 27:6 yang berkata:

“Seorang kawan memukul dengan maksud baik, tetapi seorang lawan mencium secara berlimpah-limpah.”

Apa yang kulakukan terhadap temanku mungkin dimaknainya sebagai tindakan yang tidak menyenangkannya, tetapi sesungguhnya sebagai seorang teman, teguranku adalah untuk kebaikannya.

Dua hari kemudian, sesuatu yang tidak kuduga pun terjadi. Aku menerima pesan WhatsApp darinya.

“Novita, apa yang sudah pernah terjadi jangan sampai merusak relasi kita, ya.”

Pesan itu mungkin singkat, tapi, sungguh aku sangat senang ketika membaca pesan tersebut. Aku lalu kembali menegaskan padanya bahwa teguran yang kuberikan padanya adalah karena aku menganggapnya sebagai sahabatku. Aku tahu apa yang dia lakukan itu salah, dan sudah tugasku untuk memberitahunya.

Aku merasakan bagaimana Tuhan turut campur tangan dalam menyampaikan teguran itu kepada temanku. Tuhan juga yang menolongku meredakan ketegangan dalam hubunganku dengan dia. Setelah dua minggu berlalu, aku tidak lagi melihat temanku itu memposting hal-hal yang biasanya dia posting dahulu.

Lewat peristiwa ini, aku diingatkan bahwa kita tidak perlu takut untuk menegur orang lain ketika tindakan orang itu memang tidak baik. Kita hanya perlu sungguh-sungguh memohon pada Tuhan untuk memampukan kita menyampaikan teguran tersebut dengan cara, sikap, dan kata-kata yang tepat. Dengan begitu, tidak ada yang sedih ataupun tersakiti oleh teguran kita. Tuhan mampu menyempurnakan semua kekurangan dalam perbuatan baik yang hendak kita lakukan.

Selamat menegur sesama kita dengan penuh kasih. Jangan lupa, kita juga harus siap menerima teguran dari orang lain dengan penuh kasih pula. Tuhan Yesus memberkati.

Baca Juga:

Pelajaran dari Sebuah “Doa yang Menghentikan Hujan”

Suatu kali, temanku memposting pengalaman luar biasanya bersama dengan anak-anak rohaninya yang berdoa supaya hujan reda. Awal cerita, temanku merasa kasihan melihat anak-anak rohaninya yang tidak bisa pulang ke rumah karena hujan deras. Temanku lalu berdoa secara pribadi, tapi hujan tidak kunjung reda. Kemudian ia melihat hujan malah semakin deras, menggerakkannya untuk keluar ruangan dan berdoa kembali mengharap hujan reda. Saat ia selesai berdoa, hujan tidak reda dalam sekejap.

Gagal Naik Podium Tidak Menghentikan Rencana Tuhan dalam Hidupku

Oleh Janessa Moreno, Tangerang

Aku adalah seorang atlet bulutangkis. Namaku terdaftar sebagai penerima beasiswa di salah satu klub ternama di Indonesia, pencetak para juara dunia. Namun, aku bukanlah atlet yang banyak menorehkan prestasi. Aku bisa berada di tempat ini semata-mata karena kemurahan Tuhan.

Menjadi seorang atlet membuat hidupku tidak seperti anak sekolah pada umumnya. Aku tinggal di asrama, dengan rutinitas berupa latihan bulutangkis setiap pagi dan sore. Latihan-latihan yang dijalani tentunya memiliki satu tujuan—menorehkan prestasi bagi klub dan mengharumkan nama bangsa.

Klub-klub besar menerapkan sistem promosi degradasi yang diberlakukan per enam bulan, termasuk klub tempatku dilatih. Jika tidak berhasil menampilkan performa terbaik dan meraih prestasi, maka anggota tersebut harus dikeluarkan dari pusat pelatihan impian ini. Oleh karena itu, aku selalu melakukan latihan tambahan setiap subuh ketika yang lain masih tertidur dan pulang lebih akhir dibandingkan yang lain demi meraih juara dan bertahan di klub ini. Aku percaya bahwa proses tidak akan mengkhianati akhir. Hari demi hari kulalui dengan kekuatan dari Tuhan, yang kuperoleh melalui doa dan firman-Nya dalam renungan yang kubaca.

Namun, usaha kerasku tidak membuahkan hasil sesuai harapanku.

Tahun 2017 menjadi tahun yang berat, ketika aku tidak berhasil menyumbangkan prestasi apapun. Aku selalu terhenti di babak perempat final sehingga tidak berkesempatan untuk naik podium juara sama sekali. Padahal, aku merasa sudah memberikan yang terbaik.

Tidak hanya kecewa pada diri sendiri, aku juga kecewa pada Tuhan. Aku bingung dan bertanya-tanya kepada Tuhan, “Tuhan, mengapa teman-temanku yang lain dapat dengan mudahnya mendapatkan apa yang kuusahakan dengan mati-matian, sedangkan aku tidak?”

Hari pengumuman pun tiba. Ternyata, namaku masih tercantum dalam daftar anggota klub bulutangkis ini. Tidak berhenti sampai di situ, 6 bulan demi 6 bulan selanjutnya, aku masih bertahan sebagai anggota. Bahkan, Tuhan memberiku kejutan-kejutan seperti ketika aku mengalahkan sejumlah pemain terbaik, meskipun tidak berhasil meraih juara. Aku terheran-heran, apa yang membuatku masih bisa memenuhi syarat ketika aku tidak bisa menunjukkan prestasi yang diharapkan?

Suatu malam, aku bertanya kepada Tuhan di dalam doa: “Tuhan, apa yang Tuhan lihat dalam diriku sehingga Engkau terus memilihku sebagai atlet meskipun aku bukan atlet yang berprestasi?”

Dalam perenunganku, tiba-tiba ada suara dalam hatiku yang berkata, “Semangatmulah yang membuat semuanya tidak berhenti. Belas kasih-Ku turun di saat air matamu jatuh, ketika kamu merasa tidak dihargai. Percayalah, Nak, aku ada di saat kamu melakukan pekerjaan yang tidak dilihat orang lain. Aku yang menggandengmu setiap pagi, Aku yang mengangkatmu di saat jatuh. Rencana-Ku belum selesai di dalam kamu.”

Saat itu pula aku menangis. Ternyata, selama ini ada satu Pribadi memerhatikanku. Kedamaian melingkupi hatiku ketika menyadari bahwa Tuhan selalu menopangku.

Aku merasakan penyertaan Tuhan yang begitu nyata dalam perjalananku selama menjadi atlet bulutangkis. Jika hanya mengandalkan kekuatanku sendiri, aku rasa aku tidak akan sanggup bertahan setelah berkali-kali mengalami kegagalan dan kesakitan. Ketika aku hampir menyerah, Tuhan selalu membangkitkan semangatku kembali.

Memasuki tahun 2019, aku memiliki target untuk masuk ke Pelatihan Nasional Indonesia. Aku menyerahkan semua rencanaku pada Tuhan. Apapun yang akan terjadi, aku percaya bahwa rencana Tuhan selalu yang terbaik (Yeremia 29:11). Aku percaya bahwa proses yang kujalani dalam pelatihan ini adalah cara Tuhan mengajarkanku tentang kegigihan, serta mempersiapkanku untuk menjadi kesaksian hidup dan memberi seluruh kemuliaan untuk Tuhan ketika aku berhasil meraih juara.

Mungkin di antara kamu ada yang merasa tidak berharga, tidak hebat, atau putus asa karena apa yang kamu usahakan belum berhasil dicapai. Tetapi bertahanlah, Tuhan mendengar setiap seruan doamu dan melihat air matamu karena Ia dekat kepada orang-orang yang patah hati (Mazmur 34:18). Dia akan membuat segalanya indah pada waktu-Nya, dan tidak ada satu hal pun yang dapat menggagalkan rencana-Nya (Pengkhotbah 3:11). Bagian kita adalah hidup dengan penuh semangat, dan melakukan semua hal seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kolose 3:23).

Baca Juga:

Belajar dari Daud: Bukan Kekuatan Kita Sendiri yang Mampu Mengubah Kita

Aku berjuang keras untuk berubah, aku merenung dan menyusun langkah-langkah praktis untuk kulakukan. Tapi, tetap saja tiap kali ada distraksi muncul, aku gagal kembali. Kurasa semua yang kulakukan tidak banyak membuatku berubah. Hingga suatu ketika, aku pun ditegur melalui respons Daud.

Apakah Mengikuti Kata Hati Bisa Membuat Kita Berbahagia?

Oleh Ashley Ashcraft
Artikel asli dalam bahasa Inggris: The Key To Happiness—Don’t Follow Your Heart

“Ikuti kata hatimu.” Kita mungkin telah mendengarnya berjuta-juta kali. Mungkin juga kita telah membacanya di Instagram, gelas kopi, karya seni, bahkan di toko buku Kristen. Tapi, apakah benar jika aku mengikuti kata hatiku? Apakah mengikuti kata hatiku bisa membuatku bahagia?

Ada masa-masa dalam hidupku di mana aku menyesal karena telah mengikuti kata hatiku. Contohnya, aku mengikuti kata hatiku untuk memanjakan diri dengan makan yang banyak. Tapi, pada akhirnya, bukan kebahagiaan karena kenyang yang kudapat, aku malah sakit perut. Aku juga pernah mengikuti kata hatiku untuk menjalin sebuah relasi yang pada ujungnya berakhir dengan kesedihan. Seruan “ikuti kata hatimu” ini sepertinya mempengaruhi dan mewarnai banyak hal dalam kehidupan kita.

Hati kita licik

Banyak orang berjuang untuk mengikuti kata hati. Mereka percaya bahwa suara hati mereka adalah penuntun terbaik yang mereka miliki. Namun, Alkitab memberitahu kita bahwa sesungguhnya hati kita itu licik (Yeremia 17:9). Jika kita mengetahui kebenaran ini, tentunya kita tidak ingin mengikuti sesuatu yang bisa menyesatkan kita begitu jauh, bukan?

Tapi, seringkali pula kita sulit untuk menyadari bahwa hati itu licik. Perlu usaha keras untuk mengubah pemahaman di kepala kita dan menyadari bahwa kedagingan kita bisa berdampak buruk untuk kita. Namun, kita perlu bersyukur kepada Tuhan. Meskipun hati kita licik, tetapi ketika kita dibasuh dan dikuduskan oleh Yesus (1 Korintus 6:11), Tuhan dapat bekerja mentransformasi hati kita untuk semakin serupa dengan hati Yesus. Namun, hingga kelak nanti kita tiba di kehidupan yang baru, hati kita saat ini tetap bisa saja menuntun kita ke jalan yang salah.

Aku tidak mengatakan bahwa suara hati yang umumnya menyangkut aspek emosi kita adalah hal yang buruk. Emosi atau perasaan yang kita alami memampukan kita merasakan Tuhan dengan lebih penuh. Kita tahu bahwa Tuhan bersama dengan kita dalam kesedihan, sukacita, dan Dia pun tahu betul seperti apa yang kita rasakan. Tapi, emosi tidak seharusnya menjadi penggerak dalam keputusan atau tindakan kita. Penggerak dari kehidupan kita yang seharusnya adalah iman kita—apa yang kita ketahui sebagai kebenaran, apa yang kita percayai terlepas dari apa yang kita rasakan. Ketika iman menjadi penggerak kehidupan kita, kemungkinan bahwa emosi menuntun kita ke sesuatu yang salah menjadi semakin kecil.

Jadi, bagaimana caranya kita dapat memahami dengan betul bahwa emosi adalah pemberian dari Tuhan sekaligus juga sesuatu yang bisa saja menuntun kita ke arah yang salah?

Jangan ikuti kata hatimu, ikutilah hati Kristus

Kurasa jawaban dari pertanyaan di atas terdapat di dalam pengorbanan. Pengorbanan adalah bagian esensial dari pesan Injil dan itu jugalah yang seharusnya kita lakukan sebagai orang Kristen. Yesus telah berkorban lebih dulu untuk kita. Yesus merendahkan diri-Nya untuk datang ke dalam dunia; Dia melayani orang-orang; dan Dia menderita, memberikan pengorbanan-Nya yang terbesar di kayu salib. Pada malam sebelum kematian-Nya, Dia berdoa di Taman Getsemani, “Bukan kehendak-Ku, tapi kehendak-Mu.” Oleh karena itu, sebagai orang yang memiliki gambar dan rupa Kristus, pengorbanan adalah bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan kita, bagian dari DNA spiritual kita.

Jika kita selalu mengikuti kata hati kita, melakukan apa yang kita inginkan dengan cara kita, bagaimanakah kita dapat berkorban? Apakah kita benar-benar bisa menjadi murid Kristus dan selalu mendapatkan apapun juga yang kita inginkan? Di sinilah perubahan harus terjadi: kita tidak lagi mengikuti kata hati kita sendiri, kita harus mengikuti kata hati Kristus.

Karena kata hati kita dan kata hati Kristus seringkali tidak selalu sejalanan, di sinilah pengorbanan menjadi hal yang penting. Kita perlu menanggalkan kehendak kita dan memilih taat pada kehendak-Nya. Kita perlu berkata seperti Yesus, “Bukan kehendakku, tapi kehendak-Mu.” Dan, kita melakukan ini karena kita percaya pada Tuhan lebih daripada kita mempercayai hati kita sendiri.

Mengorbankan kehendak diri sendiri untuk taat pada kehendak Tuhan adalah hal yang sulit dilakukan, tapi kurasa dengan kita berusaha untuk tidak mengikuti kehendak diri kita sendiri, ini adalah disiplin rohani yang dapat menolong kita. Kita diingatkan bahwa bukan kitalah yang memegang kendali atas kehidupan. Apakah kita mengikuti hati Kristus atau hati kita sendiri? Apakah ada bagian-bagian dari kehidupan kita di mana kita harus mengorbankan kehendak kita?

Di dalam hidupku, contoh pengorbanan ini terjadi di dapur. Jika aku mengikuti kata hatiku, di sore hari aku tidak akan pergi ke dapur. Aku lebih memilih aktivitas lain yang lebih menyenangkan, sebab sesungguhnya aku tidak menikmati aktivitas cuci piring dan menyiapkan makanan. Dan, hal yang membuatku kesal adalah dapurku cuma bisa bersih beberapa saat saja sebelum ada remah-remah, tumpahan makanan, dan cucian baru untuk kubersihkan.

Tapi, pada akhirnya aku sadar bahwa tidak ada tempat lain yang lebih baik untukku melatih disiplin dan berkorban bagi keluargaku selain di dapurku. Dari dapurku, aku bisa menghidupi Injil. Aku bisa mematikan keinginan dagingku sendiri dan mengarahkan hatiku kepada Yesus. Aku bisa mengasihi keluargaku dalam bentuk menyiapkan piring yang bersih dan menyajikan makanan yang lezat dan sehat.

Mungkin apa yang kulakukan tidaklah seberapa kalau dibandingkan dengan orang-orang lain yang sudah berkorban dengan jauh lebih besar dan dengan cara-cara yang mengagumkan. Namun, aku percaya Tuhan menghargai pengorbananku sekecil apapun.

Jadi, setiap sore aku pun pergi ke dapur. Aku menyiapkan makanan dan mencuci piring. Tapi, sekarang aku tidak pergi ke dapur atas kehendakku sendiri. Aku pergi karena Tuhan telah memintaku untuk mengasihi keluargaku dengan menyiapkan kebutuhan makanan mereka. Sejak aku mulai mengubah pola pikirku, aktivitas di dapur yang tampaknya sederhana menjadi suatu berkat yang besar buatku. Seandainya aku mengikuti kata hatiku sendiri dan bukan hati Kristus, aku mungkin akan melewatkan begitu saja pengalaman ini, sebuah latihan yang dipakai Tuhan untuk menghidupi Injil dalam keseharianku.

Apakah artinya aku tidak boleh berbahagia?

Setelah menyampaikan ceritaku di atas, aku tidak sedang berkata bahwa Tuhan mau agar kita selalu mengorbankan keinginan kita, dan bahwa emosi adalah hal yang buruk. Sebagai orang tua, ketika aku melihat anakku berbahagia, aku pun turut merasa bahagia. Dan, kupikir ini jugalah yang Tuhan rasakan terhadap kita. Ketika kita bahagia, Dia pun berbahagia. Namun, poin pentingnya adalah, apa yang membuat kita bahagia? Tuhan ingin mengaruniakan kita kebahagiaan yang sejati—yang berlangsung abadi dan memuaskan—dan kebahagiaan ini bisa kita dapatkan dengan mengikuti hati-Nya.

Bagaimana kita bisa tahu isi hati Tuhan? Jawabannya adalah dengan membaca firman-Nya. Dengan membaca firman-Nya, kita belajar untuk percaya bahwa Tuhan tidak hanya tahu apa yang terbaik, tapi apa yang benar-benar dapat membuat kita berbahagia. Banyak hal di dunia ini mungkin bisa menghibur kita secara sementara, tapi itu semua tidak bisa bertahan hingga selamanya. JIka kita mulai mencari kebahagiaan kita sendiri, mengikuti kata hati sendiri, kemungkinannya kita akan berhenti di suatu hal yang fana dan kurang berarti, dan pada akhirnya mengecewakan kita.

Mazmur 86 telah jadi mazmur favoritku sejak lama. Di ayat 11, Raja Daud berkata, “Tunjukkanlah kepadaku jalan-Mu, ya TUHAN, supaya aku hidup menurut kebenaran-Mu; bulatkanlah hatiku untuk takut akan nama-Mu.” Daud mengerti dengan benar—fokus hati kita mudah terbagi. Dan karena itu, hati kita bisa saja menyesatkan kita. Oleh karena itu, kita dapat menggemakan kata-kata Daud dan berkata, “Tunjukkanlah kepadaku jalan-Mu Tuhan.”

Motto hidup kita seharusnya bukan: ikuti kata hatimu, tetapi ikuti kata hati-Nya. Saat kita mengikuti kata hati Tuhan, kita menunjukkan kepercayaan kita kepada jalan-Nya, juga kita mengakui kedaulatan-Nya. Pun kita menunjukkan pada dunia bahwa kita dipuaskan ketika kita meminum dari-Nya, sang Mata Air Kehidupan. Segala jalan lain di dunia tidak akan pernah memberikan kita kepuasan, hanya Tuhan sajalah. Hanya Tuhan yang dapat membuat kita berbahagia. Ikutilah kata hati-Nya.

Baca Juga:

Pergumulanku Menanti Dia yang Tepat dari Tuhan

Natal tahun lalu, keluarga besarku berkumpul untuk merayakan Natal bersama. Aku tidak menyangka jika acara itu akan terasa seperti ruang persidangan di mana aku akan diinterogasi dengan pertanyaan “kapan menikah?” ketika aku bahkan belum pernah memiliki pacar.

Ketika Pekerjaanku Menjadi Tempat Tuhan Memproses Hidupku

Oleh Cana

“Oh hari ini sudah hari Senin dan aku harus masuk kerja lagi. Oh Tuhan, kapan hari Sabtu dan Minggu ya? Rasanya menyebalkan dan tidak semangat.”

Itulah sekelumit gambaran perasaanku setiap kali aku harus berangkat kerja di hari Senin. Aku baru bekerja di tempat yang baru selama dua bulan. Awalnya aku merasa sangat bersyukur dan senang diterima di sini. Bagaimana tidak, di sini aku mendapatkan gaji yang cukup baik dan posisi yang kuharapkan, yaitu sebagai dosen. Dan, terlebih lagi adalah aku bisa bekerja satu kota dengan suamiku.

Tapi, seiring berjalannya waktu, aku harus menerima kenyataan pahit bahwa posisi yang awalnya kudapatkan sebagai dosen ternyata hanyalah sebuah status yang tertera di name tag. Ada miskomunikasi saat proses perekrutan dulu. Pihak HRD kala itu menyampaikan padaku bahwa mereka membutuhkan dosen dan nantinya jika aku diterima, mereka juga memintaku untuk menolong bidang promosi di fakultas. Aku mengiyakan tawaran itu karena kupikir porsi pekerjaan utamaku adalah menjadi dosen. Namun, setelah aku bekerja di sana, rupanya bidang yang sangat mereka butuhkan adalah marketing, bukan dosen.

Para pimpinan pun menghampiriku satu per satu dan menjelaskan bahwa ilmu Kesehatan Masyarakat yang jadi latar belakang studiku kurang sesuai dengan Fakultas Kedokteran di mana aku berada. Dan, kalau aku tetap diizinkan mengajar, maka yang terjadi adalah beberapa dosen lain akan merasa tidak adil. Mereka mungkin akan keluar dan tidak mau mengajar lagi. Intinya, aku tidak bisa mengajar sebagai dosen dan mereka menyarankanku untuk mempertimbangkan ulang bidang marketing atau bagian lain yang mengurus administrasi.

Aku merasa jadi seseorang yang tidak diharapkan, tidak diinginkan, dan tertolak. Pertanyaan besar pun menggantung di benakku, “Lalu, aku bekerja di sini sebagai apa? Mengapa aku tidak layak mendapatkan posisi dosen di sini? Apakah aku tidak baik? Apakah aku bodoh? Apakah status lulusan S-2ku tidak ada artinya?”

Saat itu aku merasa stres dan ingin keluar, tapi aku sendiri membutuhkan pekerjaan. Jadi, aku coba bertahan. Namun, hari-hariku dipenuhi kebingungan, kekecewaan, dan rasa marah. Aku tidak punya jobdesc yang jelas dan karenanya aku juga tidak memiliki teman dekat. Aku sering menyendiri, diam, dan tidak berani bergaul. Bahkan, aku tidak berani memakai name tag dosen yang seharusnya kupakai setiap kerja. Aku selalu membaliknya sehingga orang tidak tahu aku bekerja di posisi apa.

Aku memendam semua perasaan ini, hingga akhirnya aku merasa tidak sanggup lagi. Aku menangis dan terus menangis di depan suamiku. Kala itu, karena aku merasa tidak dibutuhkan dan tidak berguna, aku berpikir bahwa solusi yang paling tepat adalah bunuh diri. Suamiku terkejut. Dia memelukku dan bertanya mengapa aku jadi seperti ini. Dia berusaha menenangkanku.

Saat aku lebih tenang, suamiku lalu menunjukkan foto-foto tentang kebersamaan kami yang di dalamnya juga tertulis ayat-ayat Alkitab. Aku berhenti menangis. Foto-foto itu membuatku mengingat kembali dan tersadar akan perjalanan yang telah kami berdua lalui. Tuhan telah begitu baik, Dia menyertai kami berdua di dalam setiap pergumulan studi hingga hubungan yang kami jalani.

Satu teguran yang mengubahku

Beberapa hari kemudian, aku membaca cerita tentang perumpamaan anak yang hilang yang diambil dari Lukas 15:11-32. Dalam cerita itu, si anak bungsu pergi meninggalkan rumah dan menghabiskan semua uang yang diberikan oleh bapanya. Ketika uangnya habis, si bungsu hidup menderita. Hingga suatu ketika, dia teringat akan kehidupannya semula bersama sang bapa. Dia lalu memberanikan diri untuk pulang.

Cerita itu membuatku berpikir. Betapa si anak bungsu yang memiliki sikap buruk ini punya keberanian untuk menghadap bapanya. Dia bisa saja merasa takut dan bersalah hingga pergi semakin jauh. Tapi, dia berani datang kepada bapanya seburuk apapun kondisinya, semalu dan sehancur apapun perasannya. Kupikir, si bungsu berani melakukan itu karena dia yakin bahwa bapanya tidak akan menolaknya. Dan, pada akhirnya, sang bapa pun menerimanya dengan tangan terbuka.

Aku tertegur. Selama ini, aku takut datang kepada Bapa karena kupikir kondisiku terlalu buruk dan hatiku sangat hancur. Aku menyembunyikan segala pergumulan itu dalam hatiku dan mencari-cari jalan keluar sendiri. Padahal, seperti anak bungsu yang disambut oleh bapanya, Tuhan tentu akan menerimaku dengan tangan terbuka. Aku pun meminta ampun kepada Tuhan, juga kepada suamiku karena aku telah berpikir buruk, bahkan hingga ingin mengakhiri hidupku.

Sejak saat itu, aku memohon pertolongan Tuhan untukku melalui hari-hariku. Aku mungkin belum sepenuhnya pulih dari perasaan kecewaku, tetapi sekarang aku tahu aku harus berlari ke mana dan kepada Siapa. Tuhan adalah Bapa yang menerima setiap hati yang hancur. Tak peduli apapun kondisiku, Dia selalu menerimaku. Hari-hariku kemudian menjadi momen pembelajaranku bahwa yang terpenting adalah identitasku sebagai anak-Nya, yang dikasihi dan diterima-Nya.

Aku belajar untuk memandang pekerjaanku bukan sebagai tempatku mencari nafkah semata, tetapi sebagai tempat di mana aku berproses. Meskipun terasa pahit, sakit, dan rasanya tidak sesuai dengan keinginanku, namun aku mau belajar yakin bahwa Tuhan merancangkan kebaikan di balik segala hal yang kualami.

Hingga kini memang aku belum mendapatkan kesempatan untuk mengajar, namun sekarang aku mulai dapat mengecap sedikit demi sedikit pengalaman baru yang kudapatkan dari bidang pekerjaan yang kutekuni. Aku berusaha melakukan setiap tugas yang diberikan oleh atasanku dengan baik. Aku percaya bahwa Tuhan mengetahui apa yang jadi keinginan hatiku. Pun Tuhan lebih tahu di mana tempat yang tepat untuk memprosesku, apapun jabatan yang diberikan kepadaku saat ini.

Hati yang patah dan remuk tidak akan Kaupandang hina, ya Allah,” Mazmur 51:19b.

Baca Juga:

Saat Aku Mengizinkan Ketakutan Menguasaiku

Ketakutanku yang berlebihan itu rasanya adalah sesuatu yang konyol, sebab ketakutan itu tidak berdasar. Tapi, mengapa aku dan mungkin juga kamu dapat terjebak di dalamnya?

Surat untuk Sahabatku yang Sedang Berduka

Oleh Glori Ayuni, Jakarta

Yang terkasih, sahabatku,

Tahun telah berganti, tetapi kamu tidak ingin melangkah sebab orang yang paling kamu kasihi, telah meninggalkanmu di tahun sebelumnya. Semarak pesta pergantian tahun tidak membuatmu terpesona. Kamu mungkin merasa lebih nyaman menghabiskan waktu di kamar. Dan, mungkin pula kamu berharap ada mesin waktu yang dapat membawamu kembali ke masa-masa dulu.

Berita mengenai gulungan ombak, gempa bumi, banjir bandang, tanah longsor, dan sederet bencana lainnya, mengingatkanmu pada sosok orang-orang terkasihmu. Bencana itu telah merenggut mereka darimu. Mereka pergi dengan cara yang tidak kamu sangka. Kini, hanya ada dua hal yang tersisa padamu: kenangan dan kepedihan hati.

Sahabatku, aku tak sanggup membayangkannya. Kurasa, itu semua terasa berat buatmu. Aku tak bisa menyemangatimu dengan cara apapun. Mungkin kamu pun sudah bosan dengan berbagai penghiburan yang orang-orang coba berikan. Atau, mungkin juga kamu sudah muak dengan kalimat, “Tuhan tetap baik. Ia punya rencana indah bagimu.”

Mungkin, dalam hatimu, kamu bertanya, “Kalau Tuhan memang baik, lalu mengapa Ia membiarkanku bersedih?” Mungkin kamu juga merasa terhakimi dengan pertanyaan itu, seakan-akan kamu tidak cukup beriman ketika kamu mempertanyakan Tuhan dan keberadaan-Nya dalam kesedihanmu.

Tenagamu mungkin juga telah habis untuk melangkah ke tahun yang baru karena tekanan kesedihan yang begitu kerasnya dalam hatimu. Hal itu bertambah parah karena kamu takut dianggap kurang beriman karena bersedih terlalu lama dan mempertanyakan Tuhan.

Sahabatku, aku memang belum pernah merasakan kesedihan karena kehilangan orang yang kukasihi. Akan tetapi, aku pernah bersedih karena hal lain yang juga membuatku bertanya di manakah keberadaan Tuhan di tengah dukacitaku. Namun, Tuhan menguatkanku melalui ucapan seorang kakak yang kutemui di suatu acara, dan kuharap ini juga dapat menguatkanmu:

“Kesedihan yang membuat kita bertanya di mana keberadaan Tuhan adalah bentuk nyata dari iman. Kita sadar bahwa kehidupan kita seutuhnya, baik suka maupun duka, adalah milik Tuhan. Ketika ada suatu hal yang membuat kita bersedih, sudah sewajarnya seorang ciptaan menanyakan kepada Penciptanya tentang apa yang terjadi padanya. Karena ciptaan itu menyadari bahwa yang paling tahu tentang dirinya adalah hanya Penciptanya sendiri. Dan, itulah iman.”

Sahabat, aku mengajakmu untuk mengambil waktu sejenak, untuk membawa segala kesedihanmu ke hadapan Tuhan di awal tahun ini. Tanyakan dan luapkankanlah seluruh isi hatimu kepada-Nya. Aku percaya, Roh Kudus akan menguatkanmu melangkah di tahun yang baru ini, meskipun tanpa keberadaan orang yang paling kamu kasihi.

Sahabat, meskipun mungkin ada luka dalam hatimu yang belum mengering, namun aku percaya, bersama Tuhan kamu mampu melangkah di tahun ini. Untuk itu, aku ingin mengajakmu bersama memuji Tuhan:

Pujilah Tuhan, hai jiwaku yang sedih!
Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku yang terluka.

Memuji Allah di masa yang sulit bukanlah hal yang mudah. Apalagi setelah mengalami kehilangan yang menyakitkan. Tetapi biarlah kita menyadari bahwa memang keberadaan manusia di dunia ini begitu fana, seperti yang dinyatakan Daud dalam Mazmur 103:15-16, “Adapun manusia, hari-harinya seperti rumput, seperti bunga di padang demikianlah ia berbunga; apabila angin melintasinya, maka tidak ada lagi ia, dan tempatnya tidak mengenalnya lagi.” Meskipun begitu, Tuhan menjanjikan kesetiaan-Nya apada kita di ayat 17: “Kasih setia TUHAN dari selama-lamanya sampai selama-lamanya atas orang-orang yang takut akan Dia.”

Meskipun mungkin sulit buatmu melihat kasih setia Tuhan dalam tahun yang baru ini setelah peristiwa berat yang kamu jalani sebelumnya, aku berdoa kiranya aku dan kamu tidak melupakan segala kebaikan-Nya. Aku ingin kita dapat bersama-sama memuji-Nya kembali.

Selamat memulai lembaran yang baru, sahabatku. Selamat berjalan bersama Allah! Tuhan menyertai kita semua.

*Surat ini ditulis teristimewa untuk rekan satu gereja denganku yang kehilangan orang tuanya dalam bencana tsunami di akhir Desember 2018.

Baca Juga:

Marvelle Kecil yang Mengajariku Tentang Ketaatan

Marvelle dilarang oleh mamanya berbuat sesuatu. Ia pun lalu menangis keras. Sebagai gurunya, tangisan itu membuat perasaanku campur aduk. Namun, aku jadi terpikir akan suatu hal.