Pergumulanku Menanti Dia yang Tepat dari Tuhan

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Natal tahun lalu, keluarga besarku berkumpul untuk merayakan Natal bersama. Aku tidak menyangka jika acara itu akan terasa seperti ruang persidangan di mana aku akan diinterogasi dengan pertanyaan “kapan menikah?” ketika aku bahkan belum pernah memiliki pacar. Usiaku saat ini memasuki 25 tahun, usia yang bagi beberapa orang dianggap sudah pantas untuk berkeluarga. Aku tidak marah atau kesal dengan hujaman pertanyaan itu, sebaliknya, aku justru benar-benar berpikir serius mengenai pertanyaan itu.

The idea of having boyfriend

Sesungguhnya, pertanyaan yang diajukan oleh saudara-saudaraku adalah pertanyaan yang juga sering aku ajukan kepada Tuhan. Dua puluh lima tahun menjomblo bukanlah waktu yang singkat. Mustahil jika tidak pernah ada masa di mana aku mulai merasa geram dan kesepian dengan kesendirianku. Ketika aku berumur 23 tahun, aku bahkan pernah berdoa sambil menangis ketika bertanya kepada Tuhan mengapa hingga saat itu Tuhan belum menunjukkan kepadaku pasangan hidupku. Waktu itu aku baru lulus kuliah dan masuk dunia kerja, dan aku mulai merasakan kesepian karena kehilangan sosok sahabat-sahabatku di masa kuliah yang sebelumnya sering melewatkan waktu bersamaku. Aku juga mulai iri melihat teman-temanku yang datang ke acara persekutuan bersama pacarnya atau menghabiskan waktu bersama. Rasa kesepian itu begitu menguasaiku hingga aku berpikir bahwa memiliki pasangan adalah jawaban yang tepat untuk mengatasinya.

Sebenarnya dari masa kuliah, aku sudah belajar mengenai “teori-teori dalam menantikan pasangan hidup” (yang banyak dipengaruhi oleh buku “Lady in Waiting” yang ditulis oleh Jackie Kendall dan Debby Jones). Aku tahu bahwa selama masa menanti si dia yang dari Tuhan, seharusnya aku berfokus kepada Dia, yang akan memberikanku si dia. Aku juga merasa sudah paham kalau aku harus merasa puas (content) dengan kehadiran Tuhan, dan merasa cukup dengan Allah. Aku juga sudah belajar kalau masa-masa sendiri atau single haruslah aku isi dengan menikmati relasiku dengan Tuhan sebaik-baiknya dan giat melayani Dia, karena dalam masa inilah aku memiliki banyak kesempatan untuk melakukannya.

Namun, ketika rasa kesepian melandaku dengan hebat, aku seperti amnesia dengan “teori-teori” yang kurasa aku sudah kuasai. Rasa kesepian membuatku menjadi egois dan berpikir bagaimana caranya untuk memuaskan keinginan pribadiku, dan hal itu sangat self-centered. Rasa kesepian membuatku terjerembab dalam lubang self-centered-ness ketika seharusnya aku menjalani masa penantian pasangan hidup secara God-centered. Ketika aku berdiam dan merenung, aku menemukan kelemahanku dalam pergumulan pasangan hidup. Selama ini, yang aku idamkan bukanlah pasangan hidup yang memiliki citra Kristus, melainkan the idea of having a boyfriend. Yang aku idam-idamkan adalah bayangan kalau aku akan memiliki pasangan yang akan menemaniku datang ke acara persekutuan atau menungguiku pulang rapat atau sekadar teman jalan-jalan. Aku gagal melihat kedalaman alasan Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, karena aku terlalu sibuk mencari perhatian untuk diriku sendiri. Memang tidak salah memiliki pasangan untuk datang ke acara persekutuan bersama, tapi Tuhan tidak memberikan kita pasangan hidup hanya untuk datang ke acara persekutuan bersama, kan?

Teman (berbagi) hidup

Dalam perenungan itu pula aku teringat cerita tentang Molly Kecil di bab 11 buku “Sacred Search” karya Gary Thomas. Gary menceritakan suatu keluarga yang sedang menantikan kelahiran anak pertama mereka. Namun, ternyata terdapat kelainan dalam tubuh bayi kecil itu (yang mereka panggil sebagai Molly Kecil), yang membuat Molly Kecil tidak bisa bertahan hidup lebih lama. Tapi, sungguh bersyukur, Molly Kecil punya orang tua yang sangat mengasihi Tuhan. Lebih lagi, Molly Kecil punya kakek dan nenek yang juga sangat mengasihi Tuhan. Di waktu-waktu terakhir hidup Molly Kecil, mereka berkumpul, menyanyikan lagu pujian, berdoa, dan menyampaikan pesan terakhir bagi Molly Kecil. Keteguhan hati kakek, nenek, dan orang tua Molly Kecil dalam cerita itu membuatku terkagum. Sungguh cerita yang sangat kuat untuk menunjukkan betapa pentingnya memilih pasangan hidup yang tepat, karena pilihan itu akan berdampak langsung kepada anak-anak, cucu-cucu, dan generasi di bawah kita. Ketika ayahku meninggal, beliau tidak meninggalkan harta kekayaan yang berlimpah, tapi warisan iman dan kisah ketaatan yang sangat aku syukuri dan teladani. Pilihan yang salah akan mewariskan hal yang tidak baik, tetapi sebaliknya pilihan yang tepat akan mewariskan kekayaan iman yang luar biasa.

Mencari pasangan hidup bukan sekadar mencari orang yang akan hidup bersama kita, berbagi biaya kebutuhan hidup, atau bersih-bersih rumah bersama. Kita sedang mencari partner membangun Kerajaan Allah, teman menangis bersama melihat kondisi dunia yang sedang menuju kesudahannya, dan sahabat berdoa selamanya. Dan, mencari “teman hidup” ini tentu bukanlah proses asal-asalan. Pencarian yang bijaksana pasti akan menghasilkan temuan yang lebih berharga.

Bukan kutukan

Pelajaran berharga lainya yang aku peroleh dalam pergumulan itu adalah kesendirian, atau singleness bukanlah kutukan. Tidak salah jika kita ingin memiliki pasangan, tapi tidak seharusnya kita melihat pacaran atau pernikahan sebagai solusi akan rasa kesepian. Di luar sana, banyak orang yang memiliki pasangan tapi tetap merasa kesepian. Mengapa? Karena bukan pasangan yang akan membuat kita tidak merasa kesepian. Hanya satu Pribadi yang dapat mengisi rasa sepi dan kosong dalam hati setiap manusia: Yesus Kristus.

Bahkan, justru kesendirian atau singleness adalah pemberian (gift) dari Allah bagi kita yang saat ini masih sendiri.

If you are single today, the portion assigned to you for today is singleness. It is God’s gift. Singleness ought not to be viewed as a problem, nor marriage as a right. God in his wisdom and love grants either as a gift.

Terjemahan bebas: “Jika saat ini kamu masih sendiri, bagian yang Tuhan berikan kepadamu hari ini adalah kesendirian. Hal ini merupakan pemberian dari Allah. Kesendirian tidak seharusnya dilihat sebagai masalah, atau pernikahan sebagai hak. Allah dalam kebijaksanaan dan kasih-Nya memberikan kedua-duanya sebagai pemberian.”

(dalam buku berjudul “Quest for Love” oleh Elisabeth Elliot sebagaimana dikutip oleh Stacy Reaoch dalam artikel berjudul “Singleness Is Not a Problem to Be Solved”).

Kebanyakan dari kita tumbuh dengan keyakinan bahwa kita pasti akan menikah. Mungkin kita berpikir, “aku ingin memiliki pasangan, jadi Tuhan harus memberikannya kepadaku”. Kita menganggap bahwa memilki pasangan hidup adalah keharusan, dan menjadi kewajiban Tuhan untuk memberikannya kepada kita. Memang benar dalam Kejadian 2:18, Allah sendiri berfirman bahwa tidak baik bahwa manusia seorang diri saja. Namun hal ini tidak menjadi dasar bahwa memiliki pasangan adalah sebuah keharusan dan Tuhan berkewajiban memberikan pasangan kepada kita semua. Bahkan dalam Matius 19:12, Tuhan Yesus sendiri berkata: “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga.” Selain itu, Rasul Paulus sendiri tidak menikah (1 Korintus 7:8). Jadi jelas bahwa kesendirian/singleness (baik karena belum menikah maupun karena tidak menikah) bukanlah kutukan. Sebaliknya, kesendirian/singleness adalah pemberian yang baik dari Allah karena: “TUHAN Allah adalah matahari dan perisai; kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela” (Mazmur 84:12).

Mungkin hal ini sulit untuk diterima dalam kebudayaan masyarakat Indonesia yang menjadikan pernikahan dan keluarga sebagai bukti “keberhasilan”. Namun aku, dan kita semua, juga harus belajar menerima bahwa kondisi apapun yang Allah berikan bagi kita adalah pemberian yang baik (Yakobus 1:17). Grace Rankin dalam artikel yang ditulisnya berjudul “Valentine’s Day for Single Christians”, menulis:

Think of this: even if we remain single for the rest of our lives here on earth, it is only a fraction of time compared to the eternity we will spend rejoicing in the presence of Christ, who we will know more fully through our pain and loneliness than we ever would have otherwise.

Terjemahan bebas: Coba bayangkan: bahkan jika kita tetap sendiri hingga akhir hidup kita di bumi, hal ini hanyalah bagian kecil dibandingkan dengan kekekalan yang akan kita lalui dengan bersukacita dalam hadirat Kristus, yang kita kenal lebih dalam melalui rasa sakit dan kesepian kita daripada yang pernah kita miliki sebelumnya.

Pada akhirnya, waktu kesendirian/singleness ini menjadi terasa terlalu kecil untuk kita permasalahkan dibandingkan dengan Cerita Besar Allah (God’s Great Story) yang sudah Dia persiapkan bagi setiap kita dengan begitu indahnya. Daripada kita menghabiskan masa kesendirian ini untuk meratapi kesepian, kita bisa menggunakannya untuk mengejar hadirat Sang Pencipta, menjalani hubungan pribadi dengan Tuhan yang lebih dalam, lebih memuaskan, dan lebih memuliakan Dia hari demi hari.

Kebahagiaan bukan diperoleh dengan menemukan pasangan hidup, melainkan menemukan kepuasan di dalam Juruselamat yang memanggil kita sebagai milik kepunyaan-Nya dan menjadikan kita anak Raja yang dikasihi.

“Ten thousand years from now, your marriage may be just a sweet, but short sticky notes in the massive filing cabinet of our happy marriage with Jesus. After centuries without any confusion or fear or sadness, how will you reflect on your days of heartache and loneliness here? The painful desires and waiting will still have been very real, but now small and insignificant compared with the perfect, seamless love and happiness we will enjoy forever.”

Terjemahan bebas: “Sepuluh ribu tahun dari sekarang, pernikahanmu mungkin terasa manis, namun hanyalah memo kecil dalam lemari arsip besar dari pernikahan bahagia kita dengan Yesus. Setelah berabad-abad tanpa kebingungan atau kekhawatiran atau kesedihan, bagaimana kita akan berkaca kembali pada masa-masa sakit hati dan kesepian kita saat ini? Rasa mengingini dan penantian yang menyakitkan akan tetap terasa begitu nyata, namun sekarang terasa begitu kecil dan tidak berarti dibandingkan dengan dengan cinta dan kebahagiaan yang sempurna dan tanpa batas yang akan kita nikmati selamanya.”

(Dalam Artikel “You Don’t Have to Get Married to Be Happy” oleh Marshall Segal)

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Ketika Aku Bertobat dari Membicarakan Orang Lain di Belakangnya

Aku pernah tidak suka dengan rekan sepersekutuanku. Aku lalu membicarakannya ke temanku yang lain, hingga akhirnya aku sadar bahwa tindakan itu tidaklah sejalan dengan imanku.

Bagikan Konten Ini
27 replies
  1. Melania
    Melania says:

    Sy sangat terberkati dg tulisan ini. Sy mau simpan di Pinterest tp tidak bisa.
    Mungkin admin bs bantu..

    Terima Kasih
    *Solideo Gloria*

  2. elen
    elen says:

    Shallom.
    Kamu beruntung krn baru 25 thn, d bandingkan saya yg 1 dasawarsa d atasmu dan pergumulannya sama dgn mu.
    Bukan hal baru ketika seseorang sdh bekerja, lalu pertanyaan itu d tanyakan oleh org2 d sekitar.
    Saya hanya mencoba membagi sedikit pemahaman saya.
    Ketika si dia yg d harapkan dr Tuhan blm datang, maka cobalah utk membuat pemahaman, bahwa Tuhan ingin kamu agar fokus dan membantu org2 d sekelilingmu, tanpa mengharapkan balasan dr org2 d sekelilingmu.
    Ketika kamu merasa hal itu tdk adil, maka cobalah mengingat, betapa banyak hal baik yg sudah, sedang dan akan selalu Tuhan kasih padamu.
    Tugas kita adalah mengerjakan tugas2 yg telah Tuhan tentukan utk kita selesaikan.
    Kalaupun kamu merasa sedih dan ingin menangis, maka kamu tahu kpd siapa kamu hrs menangis.
    Tuhan selalu kasih yg terbaik buat semua ciptaanNya menurut kehendakNya. Kita hanya tunggu waktuNya.
    Bergembiralah d dlm Tuhan dan krn Tuhan, sebab Tuhan Yesus pasti tahu dan ingin yg terbaik untukmu.

    Tuhan Yesus memberkati.

  3. Asnath Dewi
    Asnath Dewi says:

    Semakin yakin akan keputusanku untuk memilih single dr pada asal jalani. Terima kasih atas sharingnya yang semakin menguatkan.

  4. Nurhayati Rahim
    Nurhayati Rahim says:

    Artikel ini mind set sebagai orang tua, semua nya Tuhan yg mengatur perjalanan setiap manusia siapa pun dia pasti akan melalui nya,dan kita mengharapkan yg terbaik untuk hidup kita …Amin

  5. nova
    nova says:

    saya 5 thn diatas mu… wkt umur 25 thn saya malah gak ambil pusing mslh pernikahan hehehe…

    si umur 27 thn saya sudah mulai galau dan pusing mikirin pernikahan..

    sedih, nangis2, sampe pura2 bego, semua sudah saya rasain. hingga akhirnya saya lelah dan skrg ini saya berpikirnya.. terserah Tuhan saja mau kaya apa.. saya pasrah menyerahkan semuanya pada Tuhan.. Diberi PH yg terbaik versi Tuhan, ya Puji Tuhan, klo gak diberi yaa.. minta Tuhan spy bisa meredam semua ketakutan saya.. justru diumur ini, saya lbh memikirkan kegundahan org tua saya.. saya kasihan dgn org tua saya yg selalu menunggu kapan “waktu itu” dtg.. dan itu yg lebih membuat saya ingin menangis saat ini..

  6. Satria
    Satria says:

    Tapi justru dengan memiliki pasangan hidup, kita dapat melakukan banyak hal yg besar.
    Menikah jelaa bukan sumber kebahagiaan, Kristus sumber kebahagiaan itu. Tp dengan pasangan hidup yg tepat, kebahagiaan dapat di capai.
    Dan dengan memiliki pasangan hidup (yang tepat), jelas hidup kita dapat lebih bermakna dan lebih berwarna.
    Memiliki pasangan hidup itu sendiri pun juga adalah suatu pilihan.
    Tuhan memberkati

  7. Novitriani Sinaga
    Novitriani Sinaga says:

    Syalom…
    Sangat terberkati setelah membacanya. Yaps, fokus kita harusnya kepada Dia yg memberikan segalanya. Thanks for sharing

  8. Delfi
    Delfi says:

    sangat terberkati oleh tulisan ini
    Dan sy juga mengalaminyaaa saat ini dimana menanti pasangan hidup yg terbaik dari Tuhan
    Kadang bermasa bodoh dengan omongan orang2 disekitar tp lama2 bikin kita jadi mumed jugaaa
    Tapi sy kembali percaya bahwa apapun yang sy jalani sekarang itulah yang terbaik…karna Tuhan sudah menyiapkan masa depan yang terbaik dalam hidupku

    Gbu

  9. Rizna Siantury
    Rizna Siantury says:

    Terima kasih sangat memberkati
    Saya ingin sedikit sharing, justru lewat kesendirian TUHAN ingin kita lebih dekat pada ya, krn hny TUHAN yg sanggup memberikan apapun yg kita mau..

  10. Reynold Anthonie
    Reynold Anthonie says:

    waktu saya baca tulisan ini, saya sedang dalam pergumulan hebat tapi ada beberapa point penting dalam tulisan ini yg membawa saya kembali sadar dengan keadaan saya sekarang yang harus lebih saya syukuri apapun itu ..
    thank you ..

  11. Tika
    Tika says:

    Saya sangat bersyukur membaca artikel ini , membuat saya semakin banyak bersyukur atas apa yg sedang saya jalani. Di usia 22 ini saya akan lebih fokus pada Tuhan sang pemberi Teman Hidup, Tuhan sediakan yang terbaik yaitu orang yang tepat dan pada waktu yang Tepat.

  12. andto
    andto says:

    ya …disaat kita berjuang hanya dengan kekuatan kita sendiri untuk mendapatkan pasangan hidup , semuanya bersifat hanya dunia saja , semu , sakit hati , kecewa, bahkan masih beruntung jika belum menikah dengan pasangan yang ternyata tidak tepat. Dalam kesendirian kita di ajar oleh Tuhan untuk lebih mendekat kepadan-Nya itu waktu yang Tuhan beri untuk Tuhan menyatakan rencana dan kehendak-Nya dalam hidup kita, “tetapi carilah dahulu kerajaan Allah dan kebenaranya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu”

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *