Jangan Hanya Memiliki Teman-Teman Seiman

Oleh: Lingyi Dai, Shanghai
(Artikel asli dalam Simplified Chinese: 不要单以基督徒为友)

Jangan-Hanya-Punya-Teman-Seiman

Persahabatan selalu menjadi bagian yang penting dalam hidupku, terutama di sekolah. Mayoritas teman dekatku bukanlah orang Kristen. Namun saat aku kuliah, mendengar Injil dan percaya kepada Yesus, aku kemudian mengenal saudara-saudara seiman di gereja dan mulai membangun persahabatan dengan mereka. Pada saat itu aku menyadari betapa berbedanya nilai-nilai yang dipegang oleh para pengikut Kristus dibandingkan dengan orang-orang dunia. Imanku kepada Kristus membuat aku mulai tidak sependapat dengan teman-teman yang dulunya kuanggap sejalan denganku dan yang dulunya bisa menjadi teman curhatku.

Awalnya, aku merasa bingung dan bertanya-tanya bagaimana aku bisa mempertahankan persahabatanku dengan perbedaan-perbedaan nilai yang kami miliki. Akan tetapi, ketika aku mempelajari Alkitab, aku menemukan dalam Matius 5, bahwa Allah menghendaki kita menjadi “garam” dan “terang” dunia.

Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang. Kamu adalah terang dunia. Kota yang terletak di atas gunung tidak mungkin tersembunyi. Lagipula orang tidak menyalakan pelita lalu meletakkannya di bawah gantang, melainkan di atas kaki dian sehingga menerangi semua orang di dalam rumah itu. Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”—Matius 5:13-16

Allah tidak ingin kita memutus hubungan sama sekali dengan dunia sekuler. Sebaliknya, kita justru harus hidup di tengah-tengah dunia ini dengan cara yang berpadanan dengan panggilan Allah, supaya orang lain yang melihat hidup kita akan memuliakan Dia.

Setelah menyadari kebenaran ini, aku mulai membagikan keyakinanku dengan teman-temanku yang non-Kristen. Adakalanya aku bahkan mengundang mereka ikut acara gereja dan kegiatan Natal. Perlahan-lahan, teman-temanku mulai mengetahui lebih banyak tentang Yesus dan kekristenan. Meskipun pendapat kami masih berbeda tentang beberapa hal, kami kini belajar menghormati satu sama lain dan bertumbuh dalam pemahaman kami masing-masing. Hingga saat ini, aku telah menerima banyak kasih dan perhatian dari teman-temanku yang non-kristen, dan mereka menolongku untuk melihat berbagai masalah dalam konteks yang lebih besar. Mereka menolongku menyadari bahwa meski semua orang tidak sempurna, setiap kita punya pendapat-pendapat yang baik. Jika kita bersedia merendahkan hati untuk belajar dari satu sama lain, kita akan mendapatkan banyak kejutan.

Belakangan ini, salah satu teman baikku bercerita bahwa ia kini memercayai Yesus dan berencana untuk dibaptis tahun ini. Aku merasa sangat gembira. Kami sudah bisa mulai saling menguatkan satu sama lain dengan firman Tuhan. Betapa baik dan luar biasanya Tuhan itu!

Kiranya Tuhan menuntun kita menjadi utusan-utusan-Nya di dunia ini, yang membawa banyak orang untuk datang mengenal-Nya.

“Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan sebanyak mungkin orang. Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum Taurat. Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah. Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin memenangkan beberapa orang dari antara mereka. Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil, supaya aku mendapat bagian dalamnya.”—1 Korintus 9:19-23

Sharing: Menurutmu, Sahabat Sejati Itu Seperti Apa?

Sharing-WarungSaTeKaMu-201508-B

Amsal 17:17 berkata,
“Seorang sahabat menaruh kasih setiap waktu,
dan menjadi seorang saudara dalam kesukaran.”

Adakah orang-orang di hidupmu
yang kamu sebut sahabat seperti itu?

Apakah kamu sendiri bisa diandalkan
sebagai sahabat yang demikian?

Menurutmu, sahabat sejati itu seperti apa?

Mazmur di Tengah Meja Operasi

Oleh: Basar Daniel Jevri Tampubolon

mazmur-di-meja-operasi

“Stop thinking, just believe…”

“Yah, kita doakan. Jam berapa operasinya?”

“…Terpujilah Tuhan! Maz 103.”

Aku tertegun sejenak melihat pesan pendek yang terakhir. Ada banyak sekali pesan yang kuterima sepanjang malam hingga pagi hari. Dari adik-adik, ibu, abang angkat, teman dekat, dan kenalan lainnya. Seolah ada yang menuntun, aku pun membuka dan membaca Mazmur 103.

Pujilah TUHAN, hai jiwaku! Pujilah nama-Nya yang kudus, hai segenap batinku! Pujilah TUHAN, hai jiwaku, dan janganlah lupakan segala kebaikan-Nya! Dia yang mengampuni segala kesalahanmu, yang menyembuhkan segala penyakitmu, Dia yang menebus hidupmu dari lobang kubur, yang memahkotai engkau dengan kasih setia dan rahmat, Dia yang memuaskan hasratmu dengan kebaikan, sehingga masa mudamu menjadi baru seperti pada burung rajawali.

Firman itu berbicara dengan kuat dalam pikiran dan hatiku. Tuhan Mahabesar, Mahakuasa. Dia memegang kendali atas segala sesuatu, termasuk apa yang berlangsung dalam ruang operasi pagi itu. Operasi yang membuatku dan ibu gemetar dan sulit tidur. Operasi yang kami harapkan bisa menyembuhkan penyakit bapak yang sangat kami kasihi.

Enam tahun lebih bapak menderita Trigeminal Neuralgia. Penyakit itu disebabkan bersentuhannya saraf kelima dengan pembuluh darah. Efeknya, pipi seperti kena sentrum, gigi serasa dibor, mata perih, ngunyah atau sikat gigi nyeri sekali. Hal sederhana seperti terpaan angin AC dan sinar matahari bisa memicu kambuhnya penyakit ini. Di Eropa dan Jepang banyak penderita penyakit ini yang mengakhiri hidup mereka karena putus asa.

Ada beberapa opsi penyembuhan: Minum obat setiap hari, suntik botox, atau operasi Microvascular Decompression (MVD). Bapak sudah bertahun-tahun minum obat, namun tidak kunjung sembuh. Belakangan malah sudah kebal obat. Suntik botox belum pernah dilakukan karena mesti ke Singapore atau Malaysia, hasilnya juga kurang memuaskan menurut beberapa pasien.

MVD menjadi pilihan. Metodenya: tengkorak kepala bagian belakang dekat kuping dibor sekian millimeter, lalu dengan alat khusus dicari saraf kelima dan pembuluh darahnya. Setelah itu dilakukan pemisahan sejauh mungkin dan dipasang teflon sebagai pembatas. Daripada makan obat 11 butir setiap hari, ini pilihan yang patut dicoba! Pemulihannya bisa dua hari, seminggu, atau dua bulan. Tergantung kondisi fisik pasien.

Malam sebelum operasi, saat menemui dokter yang menanganinya, bapak sempat curcol, “Saya pernah putus asa, Dok. Minta Tuhan cabut saja nyawa saya supaya penderitaan ini berhenti.” Sedih sekali aku mendengarnya. Bersyukur bahwa sikap sang dokter menenangkan hati. Setelah menjelaskan hasil MRI, metode operasi, dan lain sebagainya, ia berkata mantap, “Kita akan operasi besok pagi, yang penting berdoa.”

Aku lalu mengantar bapak kembali ke kamar dan berdoa untuknya, “Tuhan, ini bapak yang saya kasihi. Dia anak yang Engkau sayangi. Kami tahu, kami punya Tuhan yang besar! Sertai dia dalam tidurnya dan tenangkan hati juga pikirannya…” Kata-kata itu mengalir bersama air mata.

Waktu terasa berjalan sangat lambat di ruang tunggu. Aku menatap monitor di hadapan kami dengan harap-harap cemas. Mazmur 103 terus terngiang dan menguatkanku. Mengingatkanku kepada siapa aku meletakkan pengharapanku: Sang Juruselamat yang berkuasa menebus dosa dan menyembuhkan segala penyakit! Dia berkuasa menjamah, mencari, memisahkan, dan membuang penyakit yang sudah membuat bapak saya menderita sekian tahun.

Setelah satu jam berlalu, gambar di monitor berganti dan suara dokter menyapa. Oh My God! Kepala bapak sudah dibor! Kami melihat saraf, pembuluh darah, dan otaknya yang berdenyut-denyut. Dengan tenang beliau menjelaskan dan menunjuk tempat saraf kelima dan pembuluh darahnya menggunakan alat setipis rambut. Ibu diam saja. Aku yakin dalam hati ia terus berdoa untuk bapak. Aku pun begitu. Kami mengikuti semua yang dilakukan dokter terhadap bapak melalui monitor. Hanya beberapa menit, namun rasanya sangat menegangkan!

Mata ibu tampak berkaca-kaca ketika akhirnya operasi selesai. Aku sendiri merasa sangat lega. Satu jam kemudian kami dipanggil ke ICU untuk melihat bapak. Dokter yang tadi memimpin operasi juga ada di sana. “Pak Torang, bangun! Lihat ini, siapa hayoo?” ia berseru membangunkan bapak dengan gaya bercanda. Suaranya yang ceria membangkitkan semangat dan sukacita. Aku dan ibu tersenyum melihatnya. Bapak masih di bawah pengaruh obat bius dan memakai beberapa selang. Namun, masa kritis itu telah lewat. Sekarang bapak ada dalam tahap pemulihan. Terima kasih, Tuhan!

Peristiwa ini terjadi empat tahun lalu, tepatnya pada bulan Oktober 2011. Namun, mazmur yang sama masih menguatkanku hingga hari ini. Adakalanya masalah yang besar membuat kita lupa bahwa kita memiliki Tuhan yang jauh lebih besar! Secara teori kita tahu bahwa Tuhan sanggup melakukan segala sesuatu, Dia Mahakuasa! Namun pada praktiknya, kita kerap meragukan campur tangan-Nya. Kita mengaminkan bahwa Dia Mahatahu dan Mahabijak, namun kita gencar memberitahu dan mencoba mengatur apa yang seharusnya Dia lakukan.

Apa yang Tuhan izinkan terjadi membuatku mengalami sendiri apa artinya mempercayai Tuhan dan berharap kepada-Nya dalam situasi yang menurut sudut pandang manusia tidak lagi punya harapan. Kami melihat pemeliharaan Tuhan melalui dukungan doa, proses pengobatan, serta dana yang dicukupkan pada waktunya. Semuanya disediakan Tuhan.. Terpujilah Tuhan! Terima kasih abang, kakak, ibu, tim dokter, sahabat, PTPN VI dan X, juga semua yang telah menjadi sarana kasih karunia Tuhan bagi kami sekeluarga. God is able!

SinemaKaMu: Pelajaran dari Para Minion

Oleh: Cindy Hendrietta, Indonesia
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: What I’ve Learned from Minions

pelajaran-dari-para-minion

Beberapa waktu lalu, aku pergi ke bioskop dengan teman-temanku untuk menonton aksi nyentrik sekelompok makhluk lucu yang badannya berbentuk seperti kapsul, kecil, kuning, dan selalu memakai baju kodok (jumpsuit) berwarna biru. Yep, kami menonton Minions, sebuah film yang mengisahkan bagaimana makhluk-makhluk yang tidak terampil apa-apa tetapi sangat menggemaskan ini bertemu dan menjadi anak buah Gru, “pahlawan” tak terduga dalam film Despicable Me.

Yang membuatku terkesan adalah keinginan besar para minion untuk menemukan seorang tuan yang dapat mereka layani. Selama ribuan tahun, mereka telah mencari seorang pribadi yang lebih besar dan hebat, kepada siapa mereka dapat memberikan segenap hati dan hidup mereka. Para minion menjalani hari-hari mereka dengan bergembira dan melakukan segala sesuatu sesuka hati mereka, tetapi tanpa seorang tuan, hidup mereka terasa kosong dan tidak bermakna. Upaya mereka untuk menemukan seorang tuan untuk mereka layani menjadi inti cerita dari film ini.

Sembari menontonnya, aku tersadar betapa kita manusia juga punya kesamaan dengan mereka. Kita ingin mendapatkan kesenangan, tujuan, dan keberhasilan dalam hidup. Jiwa kita terus mencari kepuasan, tetapi kerap kita tidak dapat menemukannya. Sebab itu, kita kemudian memandang ke atas dan mencari seseorang atau sesuatu yang lebih tinggi, yang lebih agung, yang dapat kita hormati.

Aku diingatkan dengan kejadian dua tahun lalu ketika aku sedang duduk di aula gerejaku, bingung tentang masa depanku, tentang bagaimana aku harus menjalani hidupku, dan tentang apa yang sebenarnya kuperjuangkan dalam hidup. Aku mengikuti kebaktian pemuda pada hari itu, dan tema khotbahnya adalah “Minion-nya Tuhan” (minion= pengikut, pelayan rendahan dari seseorang yang berkuasa). Pada saat itu, aku tidak merasa bahwa Tuhan sedang memanggil aku atau menyatakan hadirat-Nya kepadaku.

Peristiwa lain pun melintas di pikiranku. Dua minggu lalu, seorang temanku memutuskan untuk mempersembahkan sisa hidupnya untuk melayani Tuhan penuh waktu. Aku tidak terlalu mengenalnya. Aku hanya pernah mendengar sekilas bahwa ia ingin menjadi pelayan Tuhan penuh waktu dan akan belajar di sekolah Alkitab. Entah kenapa, aku tidak bisa melupakan teman itu serta komitmennya kepada Tuhan. Sepertinya Tuhan memakai ingatan akan peristiwa tersebut untuk mengajar aku agar secara serius memikirkan komitmenku kepada Tuhan, sama seperti temanku.

Beberapa hari setelah menonton film Minion, aku menghadiri ibadah perayaan ulang tahun ke-70 dari gerejaku; dan aku tahu itu saatnya aku meresponi panggilan Tuhan. Bersama-sama dengan sekitar 500 pemuda lainnya, aku mendedikasikan hidupku sepenuhnya untuk melayani Tuhan—siap diperlengkapi untuk menjadi para “minion”-nya Tuhan.

Sejak hari itu, Tuhan selalu memotivasiku untuk mencari Dia melalui firman-Nya. Aku didorong oleh berbagai ayat dalam Alkitab untuk senantiasa mengarahkan pandanganku kepada-Nya, peka mendengar panggilan-Nya, dan bertindak seturut dengan kehendak-Nya. Setiap hari aku diingatkan bahwa Tuhan adalah satu-satunya Tuan yang benar, satu-satunya Pribadi yang dapat memberi kita makna dan tujuan dalam hidup ini.

Aku bersyukur bahwa Allah adalah Tuan kita. Dalam Mazmur 46:11, Dia berfirman: “Diamlah dan ketahuilah, bahwa Akulah Allah! Aku ditinggikan di antara bangsa-bangsa, ditinggikan di bumi!”

Ketika Orang Menjulukiku Gendut

Oleh: Chrisanty L, Indonesia
(Artikel asli dalam Bahasa Inggris: When Others Called Me Fat)

ketika-aku-dijuluki-gendut

Saat aku kuliah di China dan melihat-lihat pakaian di toko-toko sekitar kampus, kerap aku tidak dihiraukan para penjaga toko. Bila melayani, biasanya mereka akan berkata, “Maaf, kami hanya punya ukuran kecil.”

Kebanyakan dari 15.000 mahasiswa di kampusku memang bertubuh kecil. Para pendatang yang posturnya lebih tinggi dan besar biasanya akan tampak menonjol. Aku sendiri adalah orang Indonesia keturunan Tionghoa, namun posturku lebih besar dari rata-rata mahasiswi Tionghoa. Sebab itu, lambat laun aku mulai takut untuk memasuki toko-toko di sekitar kampus. Aku merasa orang memperhatikan dan memberi penilaian minus terhadap penampilanku.

Aku selalu merasa tidak nyaman dengan posturku yang besar dan bahuku yang lebar. Mungkin perasaan itu muncul karena aku selalu merasa orang melihat dan menilaiku sebagai “cewek gendut”. Aku sangat tidak suka bila ada orang yang meraih lenganku dan mulai memberi komentar tentang betapa besarnya lenganku itu. Aku juga kesal setiap kali teman atau anggota keluargaku bercanda tentang berat badanku, menasihatiku untuk mulai diet, atau membanding-bandingkan aku dengan gadis-gadis lain seusiaku. Parahnya lagi, setiap kali aku berusaha menguruskan badan, biasanya aku akan jatuh sakit. Dan, orang tetap saja menjulukiku “gendut”.

Pada akhirnya, menjadi “gendut” membuat aku membenci diriku sendiri. Makin lama, makin tertanam di benakku bahwa aku memang gendut dan jelek, dan hal itu tidak akan pernah berubah.

Aku mulai menjadi orang yang sangat sensitif. Sangat mudah aku tersinggung oleh kata-kata orang lain, bahkan saat mereka sebenarnya berniat baik dan komentar mereka tidak berkaitan dengan postur tubuhku. Aku merasa semua orang mengejekku. Aku kecewa dengan diriku sendiri. Aku tidak suka berkenalan dengan orang baru dan kehilangan rasa percaya diri. Aku tidak ingin berteman dengan orang lain atau melakukan apapun. Aku jengkel kepada orang-orang di sekitarku. Ketika kita tidak menyukai diri sendiri, hampir mustahil kita bisa bersikap baik dan murah hati kepada orang lain, karena kita sendiri tidak punya pikiran dan sikap yang positif untuk dibagikan.

Pemikiranku mulai berubah ketika kemudian aku bertemu dengan seorang mahasiswi lain di China. Ia juga kesulitan menemukan pakaian yang pas dengan ukuran tubuhnya di toko-toko sekitar kampus. Ia juga menghadapi orang-orang yang menganggapnya gendut. Tetapi, bukan kesamaan itu yang mengesankan aku. Mahasiswi tersebut datang ke China penuh kerinduan melayani Tuhan melalui panti-panti asuhan. Ia bertekad untuk membagikan kasih yang telah ia terima kepada anak-anak yang sangat sedikit merasakan kasih sayang. Selepas pembicaraan kami pada suatu sore, aku sempat berpikir: “Tuhan pasti melihatnya sebagai seorang yang cantik dan menyayanginya, meskipun orang lain atau bahkan ia sendiri tidak melihat dirinya demikian.”

Aku pun mulai memikirkan situasiku sendiri. Bagaimana Tuhan melihatku? Bagaimana Sang Pencipta melihat ciptaan-Nya?

1 Samuel 16:7 berkata, “Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” Selama ini aku tidak bisa menerima diriku sendiri. Aku hanya bisa melihat diriku sebagai seorang yang gendut. Aku lupa bahwa yang dilihat Tuhan, Sang Pencipta, melampaui penampilanku di depan orang lain. Tuhan melihat hati dan hidup kita. Dia melihat bahwa semua ciptaan-Nya itu baik. Kebenaran ini mengubahkan hidupku.

Ketika kita mulai memikirkan betapa besar Tuhan kita dan betapa luar biasa kasih-Nya, kita akan mulai mengobarkan kembali kasih kita kepada diri sendiri, orang lain, bahkan mereka yang mungkin telah menyakiti kita. Harus kuakui prosesnya tidak mudah, apalagi karena aku sendiri telah banyak mendengar dan percaya dengan komentar-komentar orang lain tentang tubuhku. Aku mengawali perubahan sikapku dengan bersyukur atas tubuh yang dianugerahkan Tuhan kepadaku, lalu menjaganya agar selalu sehat. Aku tidak lagi terobsesi dengan bentuk dan ukuran tubuh yang menurut orang baik untukku.

Kupikir wajar saja jika kadang-kadang kita merasa tidak percaya diri dengan penampilan kita—namun jangan biarkan perasaan itu merusak hidupmu. Ada Bapa di surga yang tidak menilaimu berdasarkan penampilan belaka, dan yang mengasihimu bagaimanapun keadaanmu. Aku juga menyadari bahwa sekalipun sebagai manusia kita selalu mendambakan penampilan yang baik, tak seharusnya pengejaran itu menghalangi kita untuk membangun persahabatan dan mengerjakan hal-hal yang memuliakan Tuhan.

Surat Cinta untuk Seorang Lesbian

Oleh: Jackie Hill Perry
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Love Letter To A Lesbian
Diterjemahkan dengan izin dari Desiring God

love-letter-to-a-lesbian

Yang terkasih ________________,

Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku mengerti apa yang kamu rasakan.

Aku tahu bagaimana rasanya jatuh cinta dengan sesama perempuan. Merasa ingin selalu bersamanya lebih dari apapun juga. Merasa dunia sungguh kejam karena membiarkan hatimu direbut oleh makhluk yang persis seperti dirimu.

Dulu, aku juga adalah seorang lesbian. Aku mulai tertarik dengan sesama jenis sejak aku berusia lima tahun. Perasaan itu terus berkembang seiring aku beranjak remaja. Aku jatuh cinta kepada sahabat-sahabat perempuanku, tetapi aku malu mengakuinya kepada mereka. Aku hanya menyimpannya sendiri.

Pada usia 17 tahun, aku akhirnya memutuskan untuk tidak lagi menekan hasrat dalam hatiku. Aku mulai menjalin hubungan dengan “pacar pertama”-ku. Ciuman pertama kami terasa sangat natural, seolah-olah itulah yang memang kubutuhkan dalam hidup ini. Aku punya dua pacar lagi setelahnya. Semua hubunganku itu bisa dibilang sangat serius, setiap hubungan bisa bertahan lebih dari setahun. Aku menikmati semua hubungan itu dan sangat mencintai mereka. Pada satu titik aku bahkan rela mengorbankan segalanya, termasuk jiwaku, untuk menikmati cinta mereka.

Bulan Oktober 2008, saat aku berusia 19 tahun, hidupku akhirnya dihentakkan oleh hadirnya cinta yang jauh lebih dalam—cinta yang datang dari luar diriku, cinta yang sudah pernah aku dengar sebelumnya namun belum pernah kualami sendiri. Untuk pertama kalinya, aku disadarkan akan dosa-dosaku sedemikian rupa hingga aku benar-benar memikirkan tentang segala sesuatu yang aku cintai (yang telah menjadi ilah dalam hidupku) beserta segala konsekuensinya. Aku melihat hidupku dan menyadari bahwa aku telah mencintai berbagai macam hal, kecuali Allah, dan keputusanku itu jelas akan membawaku kepada kematian kekal kelak. Mataku terbuka dan aku mulai mempercayai semua yang dikatakan Allah dalam firman-Nya. Aku mulai yakin bahwa apa yang Dia katakan tentang dosa, kematian, dan neraka, adalah benar.

Yang luar biasa, di saat aku menyadari betapa ngerinya akibat dosa yang telah banyak kuperbuat, Allah menunjukkan kepadaku keindahan yang luar biasa dari salib Kristus. Gambaran tentang Anak Allah yang disalibkan, menanggung murka yang seharusnya kuterima, juga kubur kosong yang menyatakan kuasa Kristus atas maut—semua yang dulu pernah kudengar tanpa rasa tertarik sedikit pun, kini menjadi penyataan cinta yang paling mulia dan paling berharga yang pernah kutemukan.

Aku menyadari, bila aku memutuskan mengikut Kristus, ada banyak hal yang harus aku tinggalkan. Aku pun berkata kepada Allah, “Aku tidak bisa melepaskan rasa ini, juga orang-orang ini, dengan kekuatanku sendiri. Aku terlalu mencintai mereka. Tetapi, aku tahu bahwa Engkau baik dan berkuasa untuk menolongku.”

Kini, di usiaku yang ke-23, aku bisa menyatakan dengan segenap hati bahwa Allah telah menjawab permohonanku. Allah telah menolongku untuk mencintai-Nya di atas segala sesuatu.

Lalu, untuk apa aku memberitahumu tentang semua ini? Aku membagikan sekilas tentang kisah hidupku karena aku ingin kamu tahu bahwa aku memahami apa yang kamu alami. Selain itu aku ingin kamu tahu bahwa aku juga mengerti bagaimana rasanya jatuh cinta kepada Sang Pencipta jagat raya. Tidak menginginkan apa pun selain bisa bersama dengan-Nya selamanya. Merasakan anugerah-Nya, berita paling baik yang pernah didengar umat manusia. Melihat pengampunan-Nya, bagaimana Dia merengkuh hati yang jahat dengan tangan-Nya yang penuh belas kasihan.

Meski begitu, bagi sebagian besar masyarakat dalam dunia tempat kita hidup sekarang, kisah seperti yang kualami dianggap tidak mungkin terjadi atau tidak menarik. Homoseks mulai digaungkan di mana-mana, mulai dari musik, tayangan televisi, bahkan dunia olahraga. Jika kamu mempercayai pendapat banyak orang tentang homoseks, mungkin sekali kamu akan menyimpulkan bahwa homoseks itu adalah sesuatu yang wajar, bahkan mengagumkan. Akan tetapi, pendapat tersebut sangat jauh dari kebenaran. Allah memberitahu kita bahwa homoseks itu dosa, kekejian, dan sesuatu yang tidak normal (Imamat 18:22; 20:13; Roma 1:18-32; 1 Korintus 6:9-11; 1 Timotius 1:8-10). Jujur saja, adakalanya daya tarik homoseks terkadang terasa begitu wajar bagiku.

Mungkin saja saat ini kamu juga sedang menghadapi dilema, sama seperti yang pernah kuhadapi. Kamu tahu apa yang dikatakan firman Allah tentang homoseks, tetapi hatimu berkata lain. Firman Allah bilang itu dosa, tetapi hatimu bilang itu baik-baik saja. Firman Allah bilang itu kekejian, hatimu bilang itu sebuah kenikmatan. Firman Allah bilang itu menyimpang, hatimu bilang itu normal. Apakah kamu dapat melihat perbedaan yang sangat jelas antara apa yang dikatakan firman Allah dan apa yang dirasakan hatimu? Suara mana yang harus kamu percayai?

Dalam perjalananku mengikut Kristus, ada banyak hal yang menggodaku untuk kembali menjadi seorang lesbian. Semua godaan itu membuatku meragukan firman Allah. Keinginan hatiku terasa jauh lebih nyata daripada kebenaran Alkitab. Dalam doa dan perenungan pribadi, Allah berbicara dengan kuat dalam hatiku, “Jackie, kamu harus percaya bahwa firman-Ku benar, sekalipun itu bertentangan dengan perasaanmu.” Wah, itu benar sekali. Aku harus memilih apakah aku mau mempercayai firman Allah atau perasaanku sendiri. Apakah aku mau mencari Allah untuk memuaskan hasrat jiwaku atau mencari hal-hal fana yang tidak dapat memuaskan jiwa? Apakah aku akan menaati firman Allah atau menolak kebenaran-Nya seolah-olah itu sebuah kebohongan?

Perjuangan melawan homoseksualitas adalah sebuah pergulatan iman. Apakah Allah adalah sukacitaku? Apakah Dia cukup baik? Ataukah aku masih terus berusaha menggali kolam yang bocor, berusaha memuaskan kehausanku dengan apa yang hanya dapat dipuaskan Allah? Ini adalah tantangan yang harus aku dan kamu hadapi.

Sobat, pilihannya ada di tanganmu. Aku berdoa agar kamu meletakkan imanmu di dalam Kristus dan lari menjauhi kebohongan zaman ini yang terasa pas dengan suara hatimu—hati yang oleh Alkitab digambarkan licik dan tak terduga (Yeremia 17:9). Larilah mendekat kepada Yesus. Kamu diciptakan untuk Dia (Roma 11:36). Dialah yang paling kamu butuhkan! Dia baik dan penuh rahmat (Mazmur 145:9). Dia sumber segala penghiburan (2 Korintus 1:3). Dia sabar terhadap kita (2 Petrus 3:9). Dia benar dan setia (Mazmur 33:4). Dia suci dan adil (1 Yohanes 1:9). Dialah Raja kita yang sesungguhnya (Mazmur 47:7). Dialah Juruselamat kita (Yudas 1:25). Dan, Dia mengundangmu tidak hanya untuk menjadi hamba-Nya, tetapi juga menjadi sahabat-Nya.

Jika kamu selama ini mencari cinta yang akan bertahan selamanya di luar Kristus, kamu sedang mencari hal yang sia-sia, mencari hal yang tidak akan pernah kamu temukan, dan perlahan-lahan kamu akan dihancurkan oleh pencarianmu itu. Akan tetapi, di dalam Yesus, ada kepenuhan sukacita. Di dalam Yesus, ada hubungan yang jauh lebih berharga daripada semua hubungan lainnya, yaitu hubungan dengan Pribadi yang mengetahui dan dapat memenuhi semua kebutuhanmu. Mendekatlah kepada-Nya.

 
Tentang Penulis
Jackie Hill Perry (@JackieHillPerry) adalah seorang penyair dan penyanyi hip-hop dari St. Louis yang telah diselamatkan oleh anugerah Allah. Album terbarunya adalah The Art of Joy.

Keluar dari Zona Nyaman

Oleh: Sukma Sari

Tidak ada kenyamanan di zona pertumbuhan, tidak ada pertumbuhan di zona nyaman

Kalimat ini mengingatkanku pada mutiara. Perhiasan yang indah itu tidaklah terbentuk dalam situasi yang nyaman. Sebaliknya, butiran-butiran mutiara itu terbentuk oleh lapisan-lapisan mineral yang dikeluarkan tiram ketika ada tamu tak diundang (pasir, misalnya) yang masuk ke dalam cangkangnya dan menyebabkan iritasi.

Aku juga punya cangkang pribadi yang indah dan nyaman. Dunia kecilku sendiri. Sebagai anak tunggal dalam keluarga, selama 19 tahun aku telah membangun dunia kecil yang terdiri dari aku, daku, dan diriku. Aku tidak punya saudara kandung, hanya punya orangtua yang selalu sibuk. Aku tidak perlu berbagi apapun dengan siapapun. Aku senang dengan dunia kecilku, dan aku ingin duniaku selalu seperti itu!

Ketika aku mulai kuliah, aku menemukan bahwa kehidupan ternyata jauh lebih besar daripada dunia kecilku. Aku bertemu dengan orang-orang yang beda pandangan hidupnya, beda cara berpikirnya, beda kebiasaannya, beda gaya-hidupnya, dan aku sangat tidak nyaman dengan semua itu. Aku tidak mengerti mengapa orang tidak bisa melihat apa yang kulihat atau melakukan apa yang kulakukan, tetapi, mengapa aku harus memusingkan diri dengan pendapat mereka? Jadi, aku memutuskan untuk mulai membatasi interaksiku dengan orang lain. Lagipula kata “berbagi” itu tidak ada dalam kamusku.

Namun, pada masa itu juga, Tuhan membawaku mengenal anugerah keselamatan-Nya di dalam Yesus Kristus. Di sanalah titik balik dalam hidupku. Menjadi seorang pemimpin kelompok kecil di kampus memaksaku untuk keluar dari cangkangku. Aku harus bertemu secara teratur dengan anggota kelompokku, baik itu kakak tingkat maupun adik tingkat. Aku harus berbagi hidup dengan mereka, mendengarkan mereka, dan berusaha memahami mereka. Sungguh tidak mudah. Rasanya dunia yang telah kubangun dengan hati-hati selama 19 tahun kini hancur berantakan. Sebagai contoh, dalam dunia kecilku dulu, aku tidak pernah berpikir bisa mengasihi orang yang tidak sependapat denganku atau orang yang telah menyakitiku dengan perkataan dan perbuatan mereka. Tetapi, dalam Matius 22:39, Yesus memberi perintah: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”.

Hari ini, setelah sekian tahun berlalu, aku sungguh bersyukur Tuhan telah menarikku keluar dari dunia kecilku. Masa-masa tidak nyaman itu telah mempersiapkanku untuk masuk ke dalam dunia kerja, di mana aku harus berinteraksi dengan banyak orang yang jauh dari sempurna (termasuk diriku). Aku harus berbagi hidup dengan mereka. Bisa dibilang setiap hari, aku harus menghadapi beragam orang dengan visi, kepentingan, dan sikap yang berbeda-beda. Betapa aku senantiasa diingatkan untuk selalu bergantung dan belajar dari Juruselamatku yang Mahakasih.

Kamilah tanah liat dan Engkaulah yang membentuk kami, dan kami sekalian adalah buatan tangan-Mu,” seru nabi Yesaya sembari mengakui dosa-dosanya dan dosa-dosa bangsanya di hadapan Allah (Yesaya 64:8). Sebelum menjadi bejana yang indah dan berguna, tanah liat harus melewati serangkaian proses pembentukan. Pertama-tama, pembuat bejana akan membersihkan tanah liat dari segala macam kotoran yang melekat. Setelah itu, ia akan menekannya berulang-ulang sampai lembut dan mudah dibentuk. Ia lalu akan memanaskan tanah liat yang sudah dibentuk pada suhu tinggi. Semua proses ini samasekali tidak menyenangkan, tetapi jika tidak dilakukan, tanah liat akan tetap menjadi tanah liat, dan tidak akan berubah menjadi bejana yang indah. Proses serupa juga kualami dalam zona pertumbuhanku.

Apakah kamu merasa Allah sedang menarikmu keluar dari cangkang pribadimu? Mungkin Dia telah menunjukkan beberapa area dalam hidupmu yang perlu kamu perbaiki. Mungkin Dia sedang menunjukkan beberapa kebiasaan yang perlu kamu latih sebagai persiapan untuk babak hidupmu selanjutnya. Percayalah pada pimpinan-Nya, meski sepertinya mustahil mengubah cara hidupmu selama ini. Sang Pembuat bejana tahu keindahan karya-Nya setelah nanti selesai dibentuk.

Tidak ada kenyamanan di dalam zona pertumbuhan, tetapi anugerah Tuhan akan memampukan kita untuk terus bertumbuh makin serupa dengan-Nya. Ketika kita menemui banyak tantangan dalam perjalanan pertumbuhan kita, mari ingatkan diri selalu: “Jangan menyerah! Sabar! Tuhan belum selesai membentuk diri kita!”

Ketika Aku Bersedia untuk Diproses Tuhan

Oleh: Risky Samuel

ketika-kubersedia-diproses-Tuhan

Lahir dalam keluarga Kristen, tinggal di kota dengan mayoritas penduduk Kristen, tidak membuat hidupku lebih mudah dijalani. Sama seperti kebanyakan anak muda, aku pun bergumul dengan berbagai masalah, terutama dalam proses pencarian jati diri. Keluargaku berantakan, dan sejak kecil aku kehilangan kasih sayang orangtua, khususnya papa. Aku tumbuh sebagai anak yang haus kasih sayang, dan dengan mudah aku dipengaruhi oleh teman-temanku untuk mencari kasih di tempat-tempat yang tidak seharusnya. Kehausanku akan kasih seorang papa membawa aku kemudian terlibat dalam hubungan homoseksual.

Awalnya aku merasa baik-baik saja. Bukankah wajar kita mencari komunitas yang mau menerima kita, mengasihi kita, dan peduli pada kebutuhan kita? Pikiranku membela diri. Aku hanya berusaha mencari kasih sayang yang tidak kutemukan di dalam keluarga. Aku bersyukur untuk pasanganku. Aku yang tadinya sudah suam-suam kuku di gerejaku, bahkan diajak pasanganku untuk kembali mencari Tuhan. Aku mengikutinya ke gereja, dan dilayani hingga menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatku. Kami aktif melayani. Aku bahkan merayakan Natal bersama dengan keluarganya. Tidak ada yang menegur kami, karena mereka tidak tahu bahwa kami adalah pasangan gay.

Pada akhirnya, firman Tuhan sendirilah yang menegurku. Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa hubungan antara sesama jenis adalah dosa dan kekejian di mata Tuhan (Imamat 20:13; 1 Korintus 6:9-10). Namun, untuk keluar dari dunia yang telah kuhidupi selama bertahun-tahun lamanya, sangatlah sulit. Dengan berbagai cara aku berusaha membenarkan diri. Bukankah Tuhan yang menciptakan aku seperti ini? Bukankah aku tidak merugikan orang lain? Bukankah yang penting aku hidup dalam “kasih”?

Amsal 16:2 menegurku dengan keras, “Segala jalan orang adalah bersih menurut pandangannya sendiri, tetapi Tuhanlah yang menguji hati.” Tuhan tahu betul apa yang ada di dasar hatiku. Tuhan tahu kalau aku lebih percaya kata hatiku sendiri daripada percaya firman-Nya. Tuhan tahu kalau aku lebih mengasihi kenikmatan hubunganku dengan pasanganku daripada mengasihi-Nya. Aku sangat menyesal telah melangkah terlalu jauh dalam hubunganku dengan sesama jenis, namun aku juga merasa tidak punya harapan lagi untuk dapat dipulihkan.

Bersyukur bahwa Tuhan tidak meninggalkanku. Ketika aku bersungguh-sungguh mencari-Nya dengan segenap hati, Dia memampukanku untuk akhirnya bisa lepas dari pola hidup yang lama. Selama 3 tahun lebih aku berjuang melawan godaan untuk kembali berhubungan dengan sesama jenis. Teman-teman lamaku itu selalu baik dan siap menerimaku apa adanya. Sementara, keluarga dan teman-teman yang lain justru kerap merendahkan aku karena masa laluku. Jujur saja, hingga kini godaan yang sama masih kerap mengganggu, namun firman Tuhan menjadi benteng pertahananku. Tantangan itu juga menyadarkanku bahwa yang lebih penting adalah penilaian Tuhan, bukan manusia. Ketika aku merasa nyaris putus asa dan mulai menyalahkan situasi atau orang lain sebagai penyebab masalahku, firman Tuhan mengingatkan aku bahwa semua ini terjadi bukan karena salah siapa-siapa, tetapi “karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan” di dalam diriku (Yohanes 9:3). Aku pun dikuatkan untuk tetap bergantung kepada Tuhan saja. Aku menyadari bahwa hidup ini bukan sekadar untuk memuaskan keinginan hatiku belaka, tetapi untuk memuliakan Tuhan, Pencipta hidupku.

Dalam budaya serba instan di abad ini, kebanyakan kita menghendaki segala sesuatu bisa terwujud dengan cepat. Termasuk dalam perjalanan iman kita. Kita berharap begitu percaya kepada Yesus, semua masalah kita bisa langsung beres, semua orang mendukung kita, dan keberhasilan mengejar kita tanpa kita perlu berusaha. Faktanya, kita hidup dalam dunia yang tidak ideal, dan firman Tuhan memberitahu kita bahwa perjalanan kita tidak akan mulus-mulus saja.

Proses pembentukan Tuhan bagi setiap kita mungkin berbeda-beda. Apa yang kualami mungkin tidak sama dengan apa yang kamu alami. Tetapi satu hal yang pasti, kita perlu sabar dengan yang namanya proses. Perhiasan emas yang indah dan tinggi nilainya, dibentuk lewat proses pemurnian dan pembentukan yang panjang. Tidak terjadi begitu saja. Seringkali hidup kita tidak mengalami perubahan apa-apa karena kita tidak sabar dalam proses, takut untuk diproses, atau tidak mau diproses oleh Tuhan. Kita memilih kembali pada pola hidup kita yang lama. Amsal 16:32 menyemangati kita dalam menjalani proses pembentukan Tuhan, “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.”

Apapun yang teman-teman alami di masa lalu, yuk kita sama-sama berjuang menjalani hidup ini ke depan! Mari luangkan waktu untuk terus isi pikiran kita dengan kebenaran firman Tuhan, di manapun kita berada, agar kita tidak mudah terpengaruh oleh pola pikir dunia. Ada saatnya kita mungkin akan jatuh, tetapi Tuhan selalu mengulurkan tangan-Nya untuk menolong kita bangkit kembali. Dia Mahatahu dan memahami segala pergumulan kita, Dia tidak akan membiarkan kita sendirian.

Mengapa Harus Aku?

Oleh: Putri Patuan Rabby Lumban Gaol

Mengapa-Harus-Aku_

Sewaktu kelas 4 SD, aku sering melihat para pelayan Tuhan yang datang berkunjung ke tempat-tempat kumuh sekitar rumahku. Aku terkesan. Orang-orang terpelajar seperti mereka punya pekerjaan yang baik dan dihormati orang. Mengapa mereka mau susah-susah datang ke tempat kumuh seperti ini? Aku makin keheranan ketika di lain waktu melihat orang-orang di sekitar rumah, termasuk mamaku sendiri, melakukan hal yang sama. Aku tak habis mengerti mengapa mereka yang serba kekurangan bahkan makan pun susah mau datang ke tempat kumuh lainnya untuk berbagi dan melayani sesama? Setelah aku lebih dewasa, aku baru memahami, bahwa sikap yang mau melayani itu mereka miliki karena mereka mengenal Allah yang sama, Allah yang Mahakasih dan Mahapemurah. Dalam Firman-Nya kita diajarkan untuk saling berbagi (Lukas 3:11), dan saling melayani seperti yang telah diteladankan oleh Kristus sendiri (Matius 20:28; Yohanes 13:14-15).

Yang sangat mengesankan bagiku adalah Allah berkenan memakai berbagai macam orang untuk terlibat dalam pekerjaan-pekerjaan-Nya yang luar biasa. Alkitab mencatat tentang Tomas yang peragu, Petrus yang emosional, Marta yang penuh kekuatiran, Rahab yang pernah melacurkan diri, Elia yang bahkan sampai mau bunuh diri. Alkitab mencatat tentang raja yang terkenal, janda yang miskin, orang-orang terpelajar, juga nelayan yang tidak sekolah. Yang dipakai Allah bukan sekadar orang-orang berbakat khusus, tetapi orang-orang yang mau menanggapi panggilan-Nya.

Entah kamu pernah merasakannya atau tidak, tetapi adakalanya aku sendiri merasa minder, merasa tidak punya kemampuan yang hebat untuk melayani Allah. Bukankah ada banyak orang lain yang punya keahlian dan lebih layak untuk dipakai Allah? Mengapa harus aku? Aku tidak punya hal yang cukup baik untuk diberikan. Tanpa kusadari, aku sudah membuat standar sendiri untuk mengukur yang namanya pelayanan kepada Allah. Aku menganggap pekerjaan-pekerjaan tertentu sebagai pelayanan yang besar dan berarti, sementara pekerjaan-pekerjaan tertentu hanyalah pelayanan kecil yang kurang berarti. Padahal, Firman Allah mengajarkan kita melakukan segala sesuatu untuk Allah, untuk memuliakan-Nya (1 Korintus 10:31; Kolose 3:23)! Jadi, sebenarnya tidak ada pelayanan yang terlalu besar atau terlalu kecil di mata Allah. Ketika kita melakukannya dengan hati yang tertuju kepada Allah, menjahit pakaian atau memberi secangkir air minum pun berharga di mata-Nya, dan bahkan dapat dipakai-Nya dengan luar biasa (Markus 9:41; Kisah Para Rasul 9:39).

Ketika mengetik tulisan ini, aku memperhatikan lampu kamar yang ukurannya lebih kecil daripada lampu ruang tengah. Apakah lampu itu lantas menjadi kurang penting? Jelas tidak. Ukuran lampu kamarku kecil karena kamarku memang tidak seluas ruang tengah yang membutuhkan penerangan lebih besar. Sebuah gambaran yang mengingatkanku betapa Allah yang Mahatahu dan Mahabijak, juga memperlengkapi dan menempatkan kita tidak secara kebetulan. Dia mempersiapkan setiap kita secara unik, memberi kita kapasitas yang berbeda-beda, sehingga kita bisa saling melengkapi sebagai sesama anggota tubuh Kristus yang melayani Sang Raja!

Makin lama melayani, makin aku menyadari bahwa sebagaimana kita diselamatkan karena anugerah Allah, kita juga dipanggil untuk melayani karena anugerah-Nya. Allah bisa memakai siapa saja yang dikehendaki-Nya untuk melayani Dia. Allah bahkan bisa saja memakai bala tentara malaikat yang jelas lebih mumpuni daripada kita manusia. Akan tetapi, Allah memilih menyatakan karya-Nya di dunia ini melalui kita, bukan tanpa kita!

Hari ini, aku tidak merasa lebih hebat karena sudah aktif melayani dalam komunitas orang percaya. Kenyataannya, Allah mengizinkanku menghadapi berbagai kesulitan dan hambatan dalam pelayanan untuk mengajarku terus bergantung kepada-Nya, dan membentuk karakterku agar makin serupa Kristus. Aku tidak perlu menjadi hebat dan sempurna dulu baru aku dapat melayani-Nya. Allah memakai orang-orang yang mau menanggapi panggilan-Nya. Sebab itu, selama aku masih ditempatkan Allah di dunia ini, aku ingin terus taat dan setia mengerjakan apa yang dipercayakan-Nya di tanganku, seperti yang kerap diingatkan sebuah lagu:

Yesus Kau kebenaran yang menyelamatkanku,
Kau memb’rikanku hidup dan pengharapan

S’lama ku hidup, ku hidup bagi-Mu,
mataku tetap, tetap memandang-Mu,
dunia tak bisa menjauhkanku dari kasih-Mu

Kerinduanku ketika menghadap Allah kelak, muka dengan muka, aku dapat mendengar Dia berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia, … Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu.” (Matius 25:23).