Posts

Terserah Pada-Mu, Tuhan

Oleh Meili Ainun, Jakarta

Kalau seseorang bertanya, “Mau makan apa hari ini?” apa jawabanmu? 

Mungkin kamu akan menjawab dengan spesifik, tapi mungkin pula kamu menjawab dengan tersenyum lalu bilang, “Ya, terserahlah…” Jawaban ‘terserah’ itu berarti kita membiarkan orang lain yang memikirkan dan memutuskan pilihan. Tapi, kadang pilihan yang dibuat malah tidak sesuai dengan yang kita inginkan, lalu kita pun mengomel. Kita lupa kalau sebelumnya kita sudah menjawab “terserah”.

Ketika merenungkan fenomena “terserah” yang sering terjadi dalam obrolan-obrolan kita, aku lantas berpikir tentang Tuhan. Bagaimana dengan Tuhan? Bukankah kita juga dengan mudahnya berkata “terserah” pada-Nya ketika kita minta Dia menyatakan kehendak-Nya buat kita? Bila mau jujur, kurasa sulit untuk menjawab Tuhan dengan kata “terserah” karena dalam diri kita sendiri masih ada keinginan agar kehendak kita sendiri yang terjadi. 

Alkitab memberi kita teladan tentang “terserah” dari Maria, ibu Yesus. Alkitab memang tidak mencatat Maria menjawab Tuhan dengan kata “terserah” secara langsung, tapi sikap Maria selanjutnya menunjukkan apa arti menyerahkan pilihan dan keputusan yang sebenarnya pada Tuhan.

Dalam Matius 1:18-25 dan Lukas 1:26-38, Maria dikisahkan sebagai seorang gadis yang tinggal di desa kecil bernama Nazaret di Galilea. Maria telah bertunangan dengan Yusuf. Baik Maria dan Yusuf, keduanya berasal dari garis keturunan keluarga Daud. Maria kemudian mendapatkan pesan dari malaikat Gabriel. 

Kedatangan Gabriel terjadi tiba-tiba. Setelah mengucapkan salam, Malaikat Gabriel menyampaikan pesan yang dibawanya kepada Maria yaitu dia akan mengandung, melahirkan seorang anak laki-laki, dan akan dinamai Yesus. Maria terkejut, karena sekalipun dia telah bertunangan namun dia belum menikah, maka dia mengatakan “Bagaimana hal itu mungkin terjadi, karena aku belum bersuami?” (Lukas 1:34) Maka malaikat itu menjawab, “Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang MahaTinggi akan menaungi engkau, sebab itu anak yang akan kau lahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah” (Lukas 1:35).

Yang menarik adalah respon Maria terhadap perkataan Malaikat Gabriel. Dia menjawab, ”Sesungguhnya aku ini adalah hamba Tuhan, jadilah padaku menurut perkataanmu itu.” (Lukas 1:38).

Maria menyebut dirinya sebagai hamba Tuhan, suatu kesadaran bahwa dirinya adalah hamba yang harus tunduk kepada otoritas (dalam hal ini terlebih lagi ada otoritas ilahi yaitu Allah). Dan ketika dia mengatakan “Jadilah padaku menurut perkataanmu itu”, ada unsur iman dan ketaatan di dalamnya. 

Apakah iman Maria adalah iman yang buta? Apakah Maria tidak tahu risiko apa yang harus dihadapinya saat dia harus hamil di luar nikah? 

Maria dengan jelas tahu risiko apa yang harus dihadapinya bila dirinya ketahuan telah hamil sebelum menikah. Beberapa risiko yang dapat terjadi adalah Maria bisa dibuang atau diasingkan dari masyarakat, bahkan dapat dikeluarkan dari ikatan keluarga, kesalahpahaman masyarakat Yahudi yang mungkin mempertanyakan kesucian keluarganya, risiko putus tunangan dengan Yusuf, bahkan mungkin juga ancaman hukuman mati (kehamilan di luar nikah adalah pelanggaran berat bagi orang Yahudi, seperti tercatat pada Ulangan 22:23-24). 

Kita dapat melihat iman Maria bukan iman buta. Terlepas dari semua risiko yang mungkin dia hadapi, Maria tunduk pada kehendak Tuhan. Dia menyerahkan dirinya sepenuhnya kepada Tuhan. Dia rela untuk mempercayakan perjalanan hidupnya kepada rencana Allah sekalipun rencana itu akan mengubah seluruh hidupnya.

Maria tidak hanya menunjukkan imannya, dia juga menampilkan ketaatan. Tidak ada bantahan, perdebatan, atau mencoba mengelak, Maria memilih untuk patuh pada kehendak Allah. Dia melakukan apa yang Allah minta dengan sepenuh hatinya.

Ketika kita memilih berserah di dalam melakukan kehendak Tuhan, hal itu tentu menyenangkan hati-Nya. Tuhan senang kepada orang-orang yang melakukan kehendak-Nya. Bukan hanya itu, saat kita memilih berserah, ketakutan dan kekhawatiran kita mungkin akan tetap ada, tetapi itu tidak lagi menguasai kita karena kita tahu kepada Siapa kita percaya, yakni pada Dia yang telah menyatakan kehendak-Nya. Hidup dapat menjadi jauh lebih damai dan tenang untuk dijalani. Dan tanpa kita sadari, sikap berserah yang kita jalankan dapat menjadi berkat bagi sesama kita. Hidup kita menjadi kesaksian bagi orang-orang di sekeliling kita. 

Meskipun berserah kepada kehendak Tuhan bukan hal yang mudah dilakukan, marilah kita berusaha untuk terus mencobanya. Mengatakan “Terserah pada-Mu, Tuhan” tidak lagi sekadar ucapan, tetapi dengan iman dan ketaatan.

Berdoa dan Bekerja, Manakah yang Lebih Penting?

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta

Mana yang lebih penting: berdoa atau bekerja?

Pertanyaan ini seakan menunjukkan bahwa salah satu pilihan pasti lebih baik dari lainnya. Benarkah demikian? Apa yang Kitab Suci katakan tentang ini? Untuk menolong kita menemukan jawabannya, aku mengajakmu membaca kembali kisah yang Injil ceritakan dalam Lukas 10:38-42.

Dalam nats ini dikisahkan ada seorang wanita bernama Marta yang menerima Yesus di rumahnya. Marta memiliki seorang saudara perempuan bernama Maria. Jika nama Marta disebut lebih dulu, dalam konteks sejarah Israel mungkin karena dialah pemilik rumah. Ia menyambut Yesus sebagai peziarah sebagaimana biasanya peziarah diterima pada zaman itu. Narasi singkat ini menampilkan Marta sebagai figur yang sibuk dan cemas dalam mempersiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan untuk melayani Yesus, sementara Maria mendengarkan kata-kata Yesus, bahkan tidak hanya mendengarkan pengajaran-Nya, tetapi ia duduk dekat kaki-Nya (Lukas 10:39).

Marta yang tampak kesal datang kepada Yesus dan meminta-Nya agar menyuruh Maria membantunya. Lukas mencatat bagi kita perkataan penting Tuhan Yesus, “Marta, Marta, engkau khawatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu. Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya” (Lukas 10:41-42). Dalam sepanjang sejarah gereja, kisah ini sudah ditafsir oleh banyak Bapa Gereja dan orang-orang kudus. Marta sering dilihat sebagai simbol aktivitas dan pekerjaan di dunia ini, sedangkan Maria dilihat sebagai simbol kontemplasi atau saat teduh.

Penting dipahami, bahwa kisah ini bukan tentang dua sikap yang kontradiktif: mendengarkan firman Tuhan, saat teduh atau kontemplasi, dan pelayanan praktis kepada sesama kita. Bukan tentang mana lebih penting: bekerja atau berdoa? Sama sekali bukan tentang dua sikap yang bertentangan satu sama lain, tetapi sebaliknya, kisah ini menunjukkan bahwa bekerja dan berdoa merupakan dua aspek penting dalam kehidupan Kristen kita. Berdoa dan bekerja adalah dua aspek yang tidak pernah dapat dipisahkan, tetapi dihayati dalam kesatuan dan harmoni yang dalam.

Perhatikan dua perikop sebelum dan sesudah nats ini, yang mengapit kisah Marta dan Maria. Di situ ada perikop tentang Orang Samaria yang Murah Hati (Lukas 10:25-37), yang menunjukkan karya atau tindakan nyata kepada sesama, dan perikop tentang Hal Berdoa (Lukas 11:1-12), yang menunjukkan aktivitas doa yang intim bersama Tuhan. Kedua perikop ini lantas menemukan integrasinya dalam kisah Maria dan Marta (Lukas 10:41-42), di mana karya nyata (bekerja) dan berdoa seharusnya menjadi satu nafas hidup tiap orang percaya. Baik berdoa maupun bekerja sama-sama penting.

Lalu mengapa Yesus berkata seakan Ia menegur Marta? Tampaknya karena Marta menganggap hanya apa yang dia lakukan (bekerja) yang paling penting. Sejatinya, karya pelayanan tidak pernah terlepas dari prinsip semua tindakan kita: Mendengarkan sabda Tuhan, menjadi seperti Maria, dan bekerja secara nyata, menjadi sama seperti Marta. Contoh: Yesus yang aktif melayani sekaligus tak pernah meninggalkan saat teduh-Nya secara pribadi (Matius 14:23, 26:36-46; Markus 1:35)

Bekerja, belajar, dan melayani adalah penting. Namun, persekutuan secara pribadi dengan Tuhan tak kalah pentingnya. Keduanya harus menjadi nafas hidup kita secara sebagai anak Tuhan. Dunia ini membutuhkan orang-orang muda yang memiliki kombinasi Marta dan Maria: giat bekerja dan rajin berdoa. Orang-orang muda yang murni hatinya, sopan ucapnya, dan elok lakunya. Itu adalah panggilan bagi kita.

Yuk, kita belajar dari Marta dan Maria.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menantikan Pertolongan Allah

Respons alami ketika kita mendapat masalah adalah segera mencari pertolongan. Tetapi, Allah pernah menghukum Israel karena melakukan ini. Belajar dari peristiwa itu, bagaimana seharusnya kita merespons persoalan?

Seri Lukisan Natal: Sebuah Tempat Bersalin yang Sederhana

lukisan-natal-warungsatekamu-bayi-yesus

Karena Sang Bayi, penduduk dunia serentak mendaftarkan diri
Demi terlahir Mesias di Betlehem, kota Daud yang terpuji
Yusuf dan Maria pun pergi dengan rela hati
Tak ada kamar, palungan pun jadi

Sang Bayi Kudus, Yesus namanya
Relakah kamu juga hidup bagi Dia, apa pun risikonya?

Baca: Lukas 2:1-7

Pelukis: @galihsuseno
Tahun: 2015
Bahan: Acrylic on Canvas
Ukuran: 120 x 160 cm

Seri Lukisan Natal: Sebuah Pemberitahuan yang Tidak Terduga

lukisan-natal-warungsatekamu-maria

Karena Sang Bayi, Maria berjumpa utusan surgawi
Ia ‘kan mengandung Anak Kudus dari Allah yang Mahatinggi
“Tiada yang mustahil bagi Allah,” sang perawan takjub berserah
“Jadilah padaku menurut sabda-Nya.”

Sang Bayi Kudus, Yesus namanya
Apakah kamu pun takjub berserah saat mengenal-Nya?

Baca: Lukas 1:26-38

Pelukis: @galihsuseno
Tahun: 2015
Bahan: Acrylic on Canvas
Ukuran: 120 x 160 cm

Mimpi Buruk Menjelang Natal

Penulis: Clare H.
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: The Nightmare Before Christmas

The-nightmare-before-Christmas

Aku hanya bisa membayangkan apa yang berkecamuk di benak Maria ketika malaikat Gabriel memberitahukan bahwa ia akan mengandung sebagai seorang perawan dan akan melahirkan seorang anak laki-laki yang akan menjadi besar dan disebut Anak Allah yang Mahatinggi (Lukas 1:32).

Meski Maria adalah seorang gadis yang penurut dan bersedia taat, tentu tetap ada sedikit rasa cemas dan khawatir di hatinya, mengingat ia sudah bertunangan dengan Yusuf. Dalam ayat 29 dikatakan Maria terkejut dan sudah bertanya-tanya dalam hati (dalam terjemahan Inggris: greatly troubled), bahkan sebelum berita itu disampaikan malaikat Gabriel kepadanya.

Sebagian dari kita mungkin punya jiwa seperti prajurit, siap sedia setiap saat untuk bergerak maju begitu mendapatkan perintah Allah. Tetapi, aku menduga kebanyakan dari kita memiliki perasaan yang mungkin mencerminkan kecemasan dan kekhawatiran Maria. Jika ditanya, menurutku situasi seperti yang dialami Maria adalah sebuah mimpi buruk—karena aku akan mengandung, tetapi bukan dari suamiku.

Namun Maria memahami peran yang diberikan kepadanya, dan imannya kepada Allah memungkinkan ia menjalani sembilan bulan berikutnya hingga akhirnya peristiwa Natal terjadi, Sang Mesias, Yesus Kristus, Juruselamat kita, dilahirkan.

Tanpa sembilan bulan “mimpi buruk” yang harus dialami Maria, kita tidak akan menerima Sang Juruselamat, dan tidak akan pernah merayakan Natal. “Mimpi buruk” ini harus mendahului Natal yang sangat dibutuhkan seluruh dunia.

Banyak di antara kita mungkin juga harus melalui sejumlah “mimpi buruk”. Entah itu di dalam pekerjaan, kehidupan pribadi, persahabatan, atau kesehatan, mimpi-mimpi buruk dapat datang kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja. Mimpi-mimpi buruk itu bisa berlangsung selama satu hari saja di tempat kerja, satu minggu di rumah sakit, sembilan bulan yang tidak nyaman, atau bahkan 40 tahun di padang gurun.

Walau begitu, ketika direnungkan, kita akan menyadari bahwa “mimpi-mimpi buruk” ini seringkali merupakan medan pelatihan Allah bagi kita. Situasi yang tampaknya berantakan akan kembali pulih setelah Allah mewujudkan apa yang menjadi rencana-Nya bagi kita di dalam hidup kita. Bahkah begitu kita telah taat, belajar, dan mengerjakan bagian kita, “mimpi-mimpi buruk”akan berakhir, diikuti dengan “peristiwa-peristiwa Natal” yang menggenapkan tujuan Allah dan yang memuliakan Dia.

Kemungkinan kita tidak akan pernah tahu kapan mimpi-mimpi buruk akan datang, namun kita dapat yakin sepenuhnya bahwa semua mimpi buruk itu pasti akan berakhir, “…sepanjang malam ada tangisan, menjelang pagi terdengar sorak-sorai” (Mazmur 30:6).

Photo credit: optictopic / Foter / CC BY