Posts

Mengenal Ritual-ritual dalam Iman Kristen

Oleh Dhimas Anugrah

La Tomatina atau “perang tomat” yang ada di Spanyol mungkin merupakan pesta atau ritual terbesar di dunia. Biasanya, La Tomatina diadakan setiap hari Rabu terakhir di bulan Agustus. Para peserta saling melempar tomat dan terlibat dalam pertarungan yang tak menyakitkan satu sama lain. Ritual ini menjadi terkenal sejak abad yang lalu. Di seberang benua lainnya, selama ratusan tahun ada upacara Okali, ritual melempar bayi yang baru lahir dari atas atap kuil di India. Namun, keselamatan bayi tetap diutamakan dengan sejumlah orang bersiap menangkap si bayi dari bawah dengan menggunakan kain putih lebar yang dibentangkan. Muasal ritual ini, konon dulu ada pasangan yang bersumpah di kuil apabila mereka mempunyai keturunan, maka mereka akan rutin menjalankan ritual di situ untuk berterima kasih kepada dewa. 

Dua praktik di atas hanya sedikit contoh dari sekian banyak ritual yang dilakukan komunitas-komunitas manusia di muka bumi. Ritual secara sederhana dipahami sebagai ekspresi batin yang melibatkan tindakan fisik simbolis. Namun, yang perlu diingat adalah frasa “ritual” tidak terisolasi hanya pada ranah agama, melainkan juga budaya dan adat-istiadat.

Umat Kristen, seperti halnya komunitas tradisi atau agama lain, pun memiliki ritual yang unik. Para pengikut Kristus memiliki ritual khasnya, dengan melakukan sakramen baptisan, perjamuan kudus, berdoa, bernyanyi, beribadah di gereja, berpuasa, kolekte, bersaksi, dan beragam ekspresi iman lainnya.

Ritual-ritual Kristiani

Frasa “ritual” sendiri berasal dari bahasa Latin “ritualis” dengan akar kata “ritus” yang biasanya dipahami sebagai jenis upacara atau kegiatan. Kata “ritual” dalam bahasa Inggris menjadi lebih dikaitkan dengan agama mulai pada tahun 1600-an. Ritual dalam iman Kristiani sendiri, secara mendasar dilandasi oleh ungkapan syukur kepada Allah yang telah menyelamatkan umat-Nya melalui Sang Juruselamat Yesus Kristus (Mazmur 28:7; Ibrani 12:28; Kolose 3:1). Berdoa adalah salah satu ritual umum dalam iman Kristiani. Praktik ini berakar dari Perjanjian Lama, dan terus berlanjut dalam Perjanjian Baru, seperti dapat dilihat pada doa harian yang dilakukan secara teratur baik di rumah maupun di Bait Allah, Yerusalem. Dalam Kisah Para Rasul kita membaca bahwa doa dilakukan tiga kali (2:15; 10:9; 10:30-31; 3:1). Menurut Maxwell E. Johnson dalam “The Apostolic Tradition,” in The Oxford History of Christian Worship, hal ini sesuai dengan pengorbanan Bait Suci pada pagi hari (sekitar pukul 09.00), tengah hari, dan sore hari (sekitar pukul 15.00). Jemaat akan berdiri di luar Bait Suci sambil berdoa ketika imam mempersembahkan dupa di atas mezbah (bdk. Lukas 1:10).

Ritual lainnya, menyanyikan pujian. Seringkali memang seperti tidak ada batasan yang jelas antara menyanyikan pujian, berdoa, dan membaca Alkitab. Dalam Kitab Suci, memuji Allah dapat merujuk pada doa dan juga nyanyian (Kisah Para Rasul 16:25; Ibrani 13:15). Pengajaran juga dapat berbentuk nyanyian, seperti membaca mazmur yang dapat disebut sebagai menyanyikan “puji-pujian dan nyanyian rohani” (Kolose 3:16; Efesus 5:19). Jesper Svenpro dalam “Archaic and Classical Greece: The Invention of Silent Reading,” in A History of Reading in the West, menunjukkan lagu-lagu rohani juga bisa jadi merupakan ekspresi iman spontan yang diilhami oleh Roh Kudus. Menyanyi sebagai doa dan pengajaran turut dilatarbelakangi fakta bahwa membaca memang jarang dilakukan di dunia kuno. Praktik membaca justru biasa menjadi aktivitas vokal atau bahkan musik (Filipi 2:5-11; Kolose 1:15-20; dan 1 Petrus 3:18-22). 

Perjamuan Kudus juga merupakan ritual dalam laku sakramen “makan serta minum tubuh dan darah Yesus Kristus.” Sakramen sendiri merupakan “tanda yang terlihat” atau simbol yang dapat ditangkap pancaindra, sehingga anugerah keselamatan Allah yang adikodrati dapat dihayati umat pilihan-Nya. Tradisi Kristiani lainnya menyebut sakramen sebagai “Misteri Suci.” Perjamuan Kudus adalah inti dari ibadah Kristen mula-mula dan dimaksudkan untuk terus mengenang Kristus dan ajaran-Nya. Sejak awal dalam tradisi Kristiani, ritual ini dikaitkan dengan perkataan Yesus, “Perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku” (1 Korintus 11:24; Lukas 22:19). Ajakan “mengingat” ini demi menghayati kembali peristiwa ”pemecahan roti” yang Kristus lakukan dalam Perjamuan Akhir (Lukas 24:35).

Dalam sejarah, orang Kristen mula-mula berusaha menjaga ingatan ini tetap hidup dengan melakukan “komuni” atau memecah-mecahkan roti setiap hari dan memanjatkan doa (Kisah Para Rasul 2:42, 46). Namun, di kemudian hari dalam kitab yang sama Lukas menginformasikan, orang-orang Kristen memecah-mecahkan roti pada hari pertama dalam pekan itu, yaitu hari Minggu (Kisah Para Rasul 20:11). Para ahli umumnya percaya perjamuan ini adalah sebuah peraturan dan perjamuan yang asli. Meskipun kita tidak mengetahui semua detail dari praktik ini, Perjanjian Baru menyebutkan perjamuan mencakup makanan seperti roti, anggur, ikan, dan sejenisnya (Lukas 24:39-43; Yohanes 21:12-13). Mereka juga menyertakan kegiatan seperti berkhotbah dan berdoa, dan para anggota jemaat makan “dengan sukacita dan dengan hati yang tulus” (Kisah Para Rasul 2:46).

Selain itu, ritual yang dikenal paling khas dari iman Kristiani adalah Baptisan. Kata kerja Yunani βαπτίζω (baptizō) memiliki arti antara lain: menyiram, menyeka, menyelam, mencelupkan atau bahkan menceburkan seseorang ke dalam air. Dalam Perjanjian Baru, praktik pembaptisan secara selam tampak tersirat, karena Yesus “keluar dari air” setelah ritual tersebut dilakukan (Markus 1:10; bandingkan dengan Roma 6:3-6). Meski demikian, sejarah dan faktanya hingga kini, gereja memiliki praktik baptisan yang berbeda, seperti dipercik maupun disiram secara terbatas di atas kepala peserta baptis. Keragaman metode teknis baptisan ini suatu keniscayaan dan bukan hal yang perlu diperdebatkan, justru kita didorong membuka hati bagi perbedaan itu sebagai kekayaan ekspresi iman yang perlu dirayakan. 

Injil-injil Sinoptik setuju bahwa tujuan baptisan Yohanes adalah untuk menghasilkan pertobatan dan pengampunan dosa (Markus 1:4; Matius 3:11; Lukas 3:3), bahkan Injil Yohanes memusatkan perhatian pada “Anak Domba Allah yang menghapus dosa dunia” (Yohanes 1:29). Injil Yohanes juga menyamakan baptisan dengan “dilahirkan kembali.” Kelahiran kembali ini memiliki makna ganda dalam teks Yunani, karena kata ἄνωθεν (anōthen) dapat berarti: (1) “kembali” atau (2) “dari atas.” Dalam teks ini, Nikodemus tampak tidak mengerti karena ia berpikir bahwa ia harus “dilahirkan kembali” secara harfiah, sebab ia belum paham bahwa “dilahirkan kembali” itu bermakna spiritual atau “dilahirkan dari Allah” (Yohanes 3:3-7, 3:31, 19:11, 23).

Akhirul Kalam

Apakah semua ritual itu wajib kita jalankan? Kalau kita tidak melakukannya, akan berdampak apa? Dari sedikit uraian di atas, tampak jelas bahwa ritual dalam iman Kristiani memberi kita kesempatan mengingat kisah-kisah penting dalam Alkitab dan ajaran Juruselamat serta Guru Agung kita Yesus Kristus. Semua ritus religius gerejawi yang dilandasi kisah dalam Alkitab, secara khusus Perjanjian Baru, membuka ruang bagi orang percaya untuk tetap belajar merenungkan pesan-pesan iman yang dia dengar dari sabda Tuhan (Roma 10:17). Ritual secara simbolis membantu kita mengungkapkan dan merayakan iman kepada Allah secara nyata, sekaligus menghubungkan diri kita di masa kini dengan kesinambungan sejarah iman umat Kristiani di sepanjang segala abad. 

Kita diajak memahami, bahwa ritual Kristen memiliki peran penting dalam mengaktualisasikan iman dan memperdalam relasi kita dengan Allah Yang Maharahim. Penting diingat bahwa sifat dan signifikansi ritual dalam iman Kristen dapat bervariasi antara denominasi dan kelompok gereja. Di sini kita diundang untuk menghargai dan mengapresiasi setiap ekspresi iman tiap kelompok Kristiani dalam menjalankan ritualnya. Tidak perlu saling merendahkan maupun menganggap diri lebih benar atau superior dari denominasi yang lain. Beberapa komunitas Kristiani mungkin menekankan beberapa ritual lebih dari yang lain, atau sebaliknya. Ini merupakan keindahan taman teologi gereja yang perlu dirayakan. Ritual adalah bagian dari ungkapan cinta kita kepada Allah, sekaligus ikhtiar dalam menggenapi tujuan hidup kita, yaitu memuliakan Dia (Roma 11:36; 1 Korintus 10:31; Mazmur 73:25-26).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Saat Menganggur, Imanku Diuji

Pernahkah kamu merasa putus asa saat mencari pekerjaan? 

Mungkin kamu merasa yakin bisa lolos–ijazahmu baik, kamu punya pengalaman, dan kamu sudah berdoa sungguh-sungguh, tapi ternyata kamu ditolak. Menghadapi banyak penolakan tidaklah mudah, terlebih tuntutan dari keluarga atau lingkungan membuatmu semakin tertekan. 

Saat keadaan sulit menghadang dan berat untuk percaya, mungkin di sinilah kita bisa belajar untuk percaya dan patuh, seperti yang dialami oleh salah satu sobat muda. 

Yuk, simak di bawah dan baca selengkapnya di sini.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI (@ymi_today)

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Saat Menganggur, Imanku Diuji

Oleh Michele Ong

Diterjemahkan dari bahasa Inggris: How To Trust God in The Season of Job Hunting

Aku menghabiskan enam bulan hidupku sebagai kaum mageran.

Tiap hari aku bisa dengan bebas menonton serial terbaru, jadi anggota tetap kelompok renang, juga ikut gym. Saking selow-nya, bahkan buku dengan genre crime-thriller Jepang favoritku telah tuntas kubaca sebelum penulisnya mampu menerjemahkan seri berikutnya ke dalam bahasa Inggris. 

Itu adalah gaya hidup yang kunikmati selama tiga bulan pertama, setelah aku mengundurkan diri dari pekerjaan sebelumnya yang penuh tekanan dan membuat kepercayaan diriku hancur berkeping-keping. Namun, gaya hidup bersantai ria bukanlah gaya hidup yang cocok untuk dilakukan secara berkelanjutan. Tak lama, aku pun kehabisan uang. Saldoku di bank hampir habis, tagihan menumpuk, dan aku baru saja menggunakan uangku untuk membeli kendaraan. 

Jadi, setelah masuk dalam keadaan kepepet, aku melakukan apa yang akan dilakukan oleh kebanyakan orang: mencari pekerjaan. Tapi, ternyata cari kerja itu susah. Prosesnya panjang dan menyakitkan. Aku seolah dipaksa untuk bergantung pada Tuhan.

Tidak mudah untuk mempercayai Tuhan selama setengah tahun berikutnya. Aku menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengirimkan lamaran pekerjaan hanya untuk menerima balasan email, “Dengan berat hati kami memberitahukan kepada Anda…” Lalu ada kalanya aku mempersiapkan diri untuk wawancara hanya untuk diberitahu, “Kami telah memutuskan untuk memilih kandidat lain…”

Aku menangis. Ibarat air terjun, air mataku tak berhenti mengalir. Namun, selama enam bulan aku mencari pekerjaan, aku belajar lebih banyak tentang Tuhan daripada jika doa-doaku dijawab dengan cepat.

Ketika aku mengundurkan diri dari pekerjaan awalku sebagai wartawan, aku juga siap untuk berhenti menulis. Aku tidak ingin mendekati apa pun yang berhubungan dengan menulis, dan aku cukup senang mencari karier di bidang akuntansi, yang merupakan gelar utama yang kumiliki.

Namun, Tuhan memiliki rencana lain untukku. Pada akhir pekan kepemimpinan di gereja, khotbah dari seorang pendeta Amerika, John Bevere, membuatku menarik kembali keputusanku sebelumnya. Pendeta Bevere berbicara tentang perumpamaan talenta (Matius 25:14-30), di mana sekelompok hamba dipercayakan tuannya untuk menjaga talenta masing-masing selama tuannya pergi. Beberapa orang memelihara dan mengembangkan talenta mereka, tetapi salah satu hamba menyembunyikan talentanya. Ketika tuannya mengetahui hal ini, dia menegur hamba tersebut karena telah jahat dan malas, serta mengambil talenta itu darinya.

Khotbah tersebut mengingatkanku untuk memakai talenta dengan baik, dan meyakinkanku bahwa aku harus sungguh-sungguh mencoba menulis lagi. Kadang ketika kita minta Tuhan menunjukkan jalan pada kita, tanpa sadar kita memelihara keraguan tentang pimpinan-Nya, yang pada akhirnya membuat kita gagal dalam mengambil langkah-langkah kecil. 

Apakah saat ini kamu sedang mencari pekerjaan? Adakah sesuatu yang perlu kamu lakukan saat ini sebelum Tuhan menunjukkan langkahmu selanjutnya? Mungkin kamu rindu menjadi relawan di pekerjaan sosial, atau melayani di gereja? Masa-masa kamu menganggur bisa menjadi waktu yang tepat bagimu untuk melakukan hal-hal yang selama ini tidak sempat kamu lakukan, terutama jika motivasimu adalah untuk memuliakan Tuhan di dunia. Ini juga bisa menjadi cara Tuhan untuk menolongmu mendapatkan keterampilan khusus yang dicari oleh calon atasanmu, atau keterampilan yang kelak menolongmu menjadi saksi-Nya di tempat kerja.

Bagiku sendiri, aku harus mulai menulis lagi sebagai tindakan ketaatan kepada Tuhan. Aku tahu dan yakin menulis adalah talenta yang Tuhan percayakan buatku.

Setelah aku kembali menulis, kupikir akan ada tawaran kerja yang kuterima, tapi ternyata tidak. Email penolakan lagi yang kuterima. Ada malam-malam ketika aku terbangun, khawatir akan masa depanku, dan membandingkan keadaanku dengan teman-teman yang sudah memiliki jabatan bagus.

Namun, Tuhan telah berjanji bahwa Dia akan menjaga kita dan Dia memegang masa depan kita di tangan-Nya. Lukas 12:32 memberiku banyak penghiburan selama masa ini. “Janganlah takut, hai kamu kawanan kecil! Karena Bapamu telah berkenan memberikan kamu Kerajaan itu.”

Hal lain yang kupelajari dari proses pencarian kerja ini adalah bahwa identitasku tidak berasal dari jabatan yang terdengar “wow”. Sebaliknya, identitasku ada di dalam Kristus. Meskipun manusia mungkin menilai statusku sebagai pengangguran, Tuhan melihatku sebagai anak-Nya yang berharga, dan nilai diriku di mata-Nya tidak berkurang sedikit pun.

Sangat mudah bagi kita memaknai nilai diri kita dari apa yang tercetak di “kartu nama”. Tetapi, identitas yang kita temukan di dalam Tuhan adalah sesuatu yang tidak dapat diambil oleh siapa pun. Perusahaan kita mungkin menyuruh kita untuk “berkemas dan pergi” karena kondisi ekonomi perusahaan yang suram, tetapi jika kita tahu siapa diri kita di dalam Kristus, kita tidak akan membiarkan hal itu menggoyahkan kepercayaan diri kita.

Aku menunggu untuk waktu yang lama sebelum aku mendapat tawaran pekerjaan yang kulakukan saat ini. Dan tahukah kamu? Itu jauh lebih baik dari apa yang kuharapkan dan doakan sebelumnya. Pekerjaan itu datang dengan gaji yang menarik, lingkungan kerja yang lebih baik, dan jam kerja yang teratur.

Mungkin kamu berada dalam situasi yang sama. Mungkin kamu telah melamar begitu banyak pekerjaan hingga kamu tidak dapat menghitungnya, dan kamu merasa ingin menyerah karena tekanan dari orang tua dan teman sebaya. Namun, tenanglah dan ketahuilah bahwa Tuhan adalah Tuhan yang lebih dari cukup (Efesus 3:20). Dia akan menopangmu dengan tangan kanan-Nya (Yesaya 41:10), dan Dia akan memberikan kekuatan kepada orang yang letih lesu (Yesaya 40:29).

Pencarian kerja mungkin sangatlah sulit. Tetapi aku tahu bahwa Tuhan menjawab doa pada waktu yang telah ditentukan-Nya. Corrie Ten Boom pernah berkata, “Jangan pernah takut untuk mempercayakan masa depan yang tidak diketahui kepada Tuhan yang kita tahu.” Jadi, berpeganglah pada Tuhan dan pengharapan yang Dia tawarkan; Dia akan menemanimu sampai akhir.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Satu Hal yang Kuperlukan, Itu Kado dari Tuhan Buatku

Oleh Mary, Surabaya

“Dor! Pyar-Pyar! “

Bak memecah keheningan malam, kembang api cantik yang hanya muncul setahun sekali itu mewarnai gelapnya malam pergantian tahun dan membuatku tersenyum lega. Siapa sangka, peristiwa kecil sekadar melihat kembang api tanpa hujan di awal tahun ini seperti menerima kado yang menyerukan pesan penting dari Tuhan. Prediksi itu meleset. Kota Surabaya yang tadinya diperkirakan pasti akan diwarnai hujan lebat dan cuaca ekstrem, nyatanya malah cerah dan teduh. Setidaknya dari area timur dan tengah kota sampai menuju rumah sepulangku ibadah tutup tahun di gereja.

Seketika, aku pun teringat ayat alkitab di Amsal 16:9 yang berbunyi, “Hati manusia memikir-mikirkan jalannya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya.” Ayat ini menyadarkanku bahwa manusia benar-benar tidak punya kendali yang absolut atas apapun yang terjadi pada hidup. Ada kalanya hal yang kita sangka buruk nyatanya malah baik ataupun sebaliknya. Apapun itu, semua di bawah kedaulatan Tuhan semata dan memiliki tujuan sesuai kehendak-Nya.

Jujur saja, memikirkan kilas balik 2022, sungguh merupakan tahun yang berat untukku setelah mengecap berbagai pergumulan baru yang belum pernah kujumpai di tahun-tahun sebelumnya. Hal ini sangat kontras dengan beberapa teman di medsos kerap memposting story ataupun IG reels dengan backsound viral “Dear 2022.. Thanks for the memories”. Seakan 2022 telah mereka lalui dengan banyak kenangan indah dan telah menggapai pencapaian-pencapaian yang memuaskan.

Menilik diriku sendiri, aku tidak punya keberanian melakukan hal yang sama, bahkan untuk menuliskan daftar tersebut dalam diary personalku sekalipun. Terlalu sedih rasanya mengingat kilas balik akan beberapa resolusi yang kuharapkan tidak terjadi maupun dengan adanya persoalan-persoalan berat yang tetap akan menjadi pergumulan yang berlanjut di tahun 2023 ini. Mulai dari kesehatan beberapa anggota keluarga yang menurun bersamaan, persoalan hubungan emosional yang renggang, dan banyak persoalan pribadi lainnya.

Jika hidup diibaratkan game, kondisiku saat di akhir tahun kemarin seakan bersiap memasuki level baru dengan tantangan serba baru dan lebih berat tetapi dengan kondisi lakon utama yang babak belur dan energi yang tidak seberapa. Seperti itulah aku sebenarnya. Lelah dan tidak percaya diri akan esok hari. Namun, semakin pikiran mengasihani diri berkecamuk, justru Tuhan menyadarkanku dengan lembut dalam hati bahwa pemegang kontrol utama dalam hidupku bukan ada dalam kendaliku melainkan ada pada Tuhan. Semua yang terjadi sepanjang tahun telah terlewati, tak ada guna juga menyesalinya. Toh, apa pun itu, tak ada alasan bagiku untuk menolak melangkah maju bersama Tuhan. Satu ayat lagi dari Amsal menjadi pengingat penting, “Janganlah memuji diri karena esok hari, karena engkau tidak tahu apa yang akan terjadi hari itu.” (Amsal 27:1).

Dari sini, Tuhan memberiku perenungan bahwa ayat tersebut berbicara soal tidak baik untuk menyombongkan diri akan hari esok seakan kita yakin dan mampu bahwa masa depan pastilah terjadi mulus sesuai rencana-rencana kita. Tapi di sisi lain, tidak baik juga jika kita bertahan dalam sifat pesimis dan memiliki pandangan bahwa tidak akan ada terobosan baru. Mukjizat ataupun masa depan baik yang sudah disediakan Tuhan yang pantas kita dapatkan. Berdiam diri dalam perasaan pesimis dan suram sama halnya dengan menyombongkan diri akan hari esok. Tuhan telah merancangkan masa depan bagi kebaikan kita untuk kemuliaan-Nya semata.

Sungguh, bila aku bisa kembali ke awal tahun 2022 dan memberi pesan kepada diriku sendiri dengan perspektif berbeda seperti yang Amsal katakan tadi, aku pun akan mengakui bahwa benar di sepanjang tahun ada hal-hal yang berat tanpa disangka terjadi, namun sepanjang 2022 pun hanya Tuhan lah satu-satu-Nya yang bisa kuandalkan melewati semua.

Aku merasakan betapa nyatanya perlindungan dan kemurahan kasih karunia-Nya hingga aku bisa berdiri sampai di tahun 2023 ini. Aku tanpa Tuhan adalah lemah. Betapa beruntungnya aku karena aku memiliki satu yang kuperlu, yaitu berpegang teguh pada pribadi Yesus yang bisa kuandalkan dalam segala situasi apapun dan pemegang hari esokku.

Kawan, jika kamu memulai awal tahun ini dengan berat hati seperti yang kurasakan, berbagai pergumulan seolah membuatmu patah semangat, ingatlah untuk tidak terburu-buru melangkah dengan mengandalkan kekuatan diri kita sendiri. Masih ada satu Pribadi yang memegang kontrol akan segala sesuatu dan berjalan bersama kita selalu, Dialah Yesus.

“Sungguh, kamu tidak akan buru-buru keluar dan tidak akan lari-lari berjalan, sebab TUHAN akan berjalan di depanmu, dan Allah Israel akan menjadi penutup barisanmu.” (Yesaya 52 :12).

Sedikit Lagi, dan Lihat Apa yang Dia Lakukan!

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianey, Medan

Aku melirik jam di komputer di meja kerjaku, beberapa menit lagi waktu kerja berakhir. Aku mengecek ulang laporan yang sudah kubuat sejak kemarin, baru satu jam lalu aku menyelesaikannya. Kugulir kursor beberapa kali untuk memastikannya sekali lagi. Setelah yakin, kuklik send, dan aku menghembuskan napas berat.

Hari ini hari terakhir kerja di tahun ini, seminggu lagi tahun baru dan aku sudah mengajukan cuti untuk 10 hari ke depan. Kuhembuskan napas sekali lagi, aku berdiri, kuregangkan otot-otot yang mulai kaku karena minim pergerakan sepanjang hari ini. Lalu bersiap-siap mengemas barang-barangku untuk meluncur pulang. Layar ponselku menyala, sebuah notifikasi muncul. Kulirik sesaat, tapi bukan pada notifikasi itu fokusku. Kuraih ponsel itu dan kunyalakan kembali layarnya. Aku memandangi wallpaper home-screen-ku lekat-lekat. Itu daftar resolusi yang kubuat tahun lalu, untuk dicapai di tahun ini.

Mungkin tepat satu tahun lalu aku menyusun daftar resolusi itu. Itu adalah daftar panjang yang kususun sedemikian rupa dan sengaja kujadikan sebagai wallpaper untuk mengingatkanku setiap waktu aku membuka ponsel. Kupandangi satu per satu daftar itu, kubaca setiap nomor, setiap kata demi kata. Aku tersenyum pada diri sendiri. Banyak yang sudah kuberi checklist, tapi lebih banyak yang belum. Otakku langsung memutar hari demi hari di sepanjang tahun ini. Bagaikan film yang diputar mundur, momen demi momen bermunculan. Perpisahan dan pertemuan, saat-saat penuh tawa dan masa-masa penuh haru bangga, kehilangan dan mendapatkan, menangis, kecewa, patah hati, pencapaian, perjuangan, berdiam diri, dll.

Aku kembali duduk di kursi kerjaku, menatap kosong ke layar komputer yang sudah mati, pikiran jauh melayang ke hari-hari di tahun ini. Aku mengingat-ingat lagi apa saja usaha yang sudah kulakukan sepanjang tahun ini. Malam-malam begadang, weekend-weekend produktif di berbagai tempat, kegiatan-kegiatan di pelayanan, dan semua kesibukanku hampir sepanjang tahun. Tapi.. mengapa masih ada resolusi yang belum tercapai? Apakah aku masih kurang berusaha? Atau aku masih kurang serius dalam mewujudkannya? Apa aku masih kurang nge-push diriku sendiri?

“Kamu serius? … Wahh selamat yaa! Aku senang banget mendengarnya… Iya.. pasti… Good luck ya! okee.. bye!” Suara Mbak Ayu terdengar dari balik meja kerjanya di seberang ruangan, baru selesai teleponan dengan seseorang tampaknya. Aku yang sempat melamun mau tidak mau menoleh juga padanya, lalu melihat sekeliling ruangan, hanya tersisa kami berdua ternyata.

“Din, kamu ingat sepupuku yang aku ceritain batal nikah tahun lalu?” tanyanya padaku dengan mata berbinar.

Aku mengangguk samar, “Yang batal karena calon suaminya dapat beasiswa lanjut studi di luar negeri itu, Mbak?”

“Iya, kamu ingat kan? Tahun lalu mereka udah mantap banget buat menikah, itu kayak resolusi terbesar mereka deh tahun lalu dan it’s too close to happened kan? Soalnya dia itu awalnya udah hopeless banget sama aplikasi beasiswanya itu, dia pikir udah pasti nggak disetujuilah soalnya dia apply tahun lalu dan lama banget nggak ada kabar. Eh ternyata sebulan sebelum nikah malah datang approvement letter-nya.”

“Kalau aja dia diterima setelah mereka menikah pasti bakal beda cerita ya, Mbak,” komentarku.
“Bakal beda cerita banget, Din. Soalnya persyaratan beasiswanya itu tidak boleh yang sudah menikah dan tidak boleh menikah selama menempuh pendidikan. Makanya kemarin mesti ngomong lagi antar keluarga, karena keduanya sama-sama penting kan, dan memang harus ada yang mengalah, bersabar sedikit lagi. Mereka benar-benar mempertimbangkan banget waktu itu, berdoa, berpuasa, sampai akhirnya mengambil keputusan itu.”

Aku hanya menggumamkan sesuatu, ikut berpikir.

“Oh jadi lupa tadi aku mau cerita apa” seru Mbak Ayu tiba-tiba, “Jadi, tadi itu dia ngabarin kalau si calon suaminya itu bakal lulus awal tahun depan dan sudah langsung dapat pekerjaan di sana. Jadi mereka bakal tinggal di sana deh. Aku terharu aja dengarnya, Din, kesabaran yang membuahkan hasil yang lebih baik dari yang direncanakan sebelumnya.” lanjut Mbak Ayu mengakhiri.

Aku mengangguk-angguk, tiba-tiba mulai memikirkan hal-hal lain.

“Aku ingat banget waktu itu kami lagi pulang ibadah bareng sebelum mereka mengambil keputusan, orangtuanya bilang gini, Nggak semua resolusi harus tercapai di waktu yang sesuai dengan ekspektasi kita, kadang Tuhan memilih waktu yang lain dan justru memberikan sesuatu yang bahkan tidak ada dalam daftar kita. Tidak mencapai salah satu dari daftar itu bukan berarti kita gagal, tapi mungkin Tuhan meminta kita bersabar sedikit lebih lama karena ada hal lain yang lebih kita butuhkan. Yang penting kita tetap merencanakan yang terbaik, dan berusaha melakukan yang terbaik. Untuk Tuhan.”

Mbak Ayu mengucapkan kata-kata itu seperti itu memang ditujukan padaku, seolah-olah Tuhan sedang berbicara menjawab pertanyaan-pertanyaanku beberapa saat lalu. Aku tertawa kecil, menyadari betapa indah Tuhan memperhatikan aku dengan begitu detail. Aku hampir saja menjatuhkan air mata karena merasa Tuhan sedang melihat aku dan tahu apa yang paling aku butuhkan. Sekali lagi kubaca daftar resolusiku itu, aku terlalu fokus dengan tanda check-list di daftar itu dan melupakan bahwa ada banyak hal hebat lain yang Tuhan lakukan untukku sepanjang tahun ini yang tidak ada dalam daftar ini. Betapa aku sudah salah fokus dari kedaulatan Tuhan menjadi pembuktian diri sendiri.

“Din!” seru Mbak Ayu, tiba-tiba dia sudah berdiri di dekat pintu, “Ayo pulang! Kamu mau di sini sampai tahun baru?”
Aku tertawa lagi, buru-buru menyusulnya.

Memang baik jika kita membuat daftar resolusi tahunan untuk menolong kita menjadi lebih baik dan fokus pada tujuan kita kan, tapi jangan sampai kita salah fokus untuk SIAPA sesungguhnya kita melakukan dan mencapai itu semua.

“Banyaklah rancangan di hati manusia, tetapi keputusan TUHANlah yang terlaksana” (Amsal 19:21).

Catatan Kecilku Saat Berduka: Ada Pengharapan dari-Nya

Oleh Jefferson

Natal identik dengan perayaan, sukacita, dan reuni bersama kerabat dan teman, tetapi Natal yang baru berlalu terasa berbeda untukku dan keluarga. Tepat satu minggu sebelum Natal, nenekku meninggal dunia. Aku yang sedang pulang liburan kuliah langsung membatalkan semua janjiku untuk menjalani proses kedukaan bersama keluarga.

Perasaanku campur aduk. Aku bingung bagaimana harus menanggapi kepergian nenek. Di satu sisi, aku selalu menemui beliau setiap kali aku pulang dan sebelum aku berangkat kembali Singapura. Di sisi lain, aku merasa tidak dekat dengan beliau karena jarak yang membatasi interaksi kami selama sembilan tahun terakhir.

Seperti yang biasa kulakukan untuk setiap peristiwa kehidupan yang signifikan, aku menulis jurnal sebagai doa kepada Tuhan sembari memproses setiap kejadian dan perasaan yang kualami bersama-Nya. Aku belakangan tahu manfaat di balik memusatkan diri kepada Allah selama berduka. Prakata buku On Death (“Tentang Maut”) karangan Tim Keller mengutip Samuel Johnson, “maut cenderung memusatkan pikiran dengan luar biasa.” Selama masa berduka kita cenderung merenungkan hal-hal yang tak biasa kita pikirkan seperti kehidupan dari yang berpulang, memori-memori bersamanya, dan apa yang terjadi setelah kematian. Dalam periode seperti inilah iman kita diuji. Oleh karena itu, kita yang mengaku percaya kepada Kristus harus mengarahkan diri untuk berduka dalam Tuhan. Dan dalam Firman-Nya kutemukan cara berduka yang menangkap dengan baik perasaanku yang campur aduk:

“Selanjutnya kami tidak mau, saudara-saudara, bahwa kamu tidak mengetahui tentang mereka yang meninggal, supaya kamu jangan berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan. Karena jikalau kita percaya bahwa Yesus telah mati dan telah bangkit, maka kita percaya juga bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia. Ini kami katakan kepadamu dengan firman Tuhan: kita yang hidup, yang masih tinggal sampai kedatangan Tuhan, sekali-kali tidak akan mendahului mereka yang telah meninggal. Sebab pada waktu tanda diberi, yaitu pada waktu penghulu malaikat berseru dan sangkakala berbunyi, maka Tuhan sendiri akan turun dari sorga dan mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit; sesudah itu, kita yang hidup, yang masih tinggal, akan diangkat bersama-sama dengan mereka dalam awan menyongsong Tuhan di angkasa. Demikianlah kita akan selama-lamanya bersama-sama dengan Tuhan. Karena itu hiburkanlah seorang akan yang lain dengan perkataan-perkataan ini” [1 Tes. 4:13–18].

Berdukacita Menurut Alkitab: Tindakan yang Paradoksal

Tim Keller mengamati bahwa klausa terakhir dalam ayat 13 adalah negatif ganda (“jangan” dan “tidak”), jadi dalam konotasi positif Paulus sedang mengajarkan jemaat Tesalonika untuk berdukacita sebagai orang-orang yang mempunyai pengharapan. Tetapi bukankah frasa ini, berdukacita dalam pengharapan, terdengar kontradiktif? Bagaimana dua hal yang bertolak belakang, kesedihan dan pengharapan, dapat kita hidupi secara bersamaan? Sebelum kita menjawab pertanyaan ini, kita perlu memahami konteks surat 1 Tesalonika terlebih dahulu.

Tema utama kitab ini adalah kedatangan Yesus Kristus yang kedua (1:10; 2:19–20; 3:13; 4:13–18; 5:1–11, 23–24). Jemaat Tesalonika tampaknya tak memahami hal ini dengan benar sehingga ada beberapa isu berkaitan yang Paulus bahas dalam suratnya, termasuk tentang kebangkitan orang mati dalam perikop ini. Ada jemaat yang menganggap bahwa anggota gereja yang saat itu telah meninggal akan melewatkan kedatangan kedua Kristus sehingga mereka “berdukacita seperti orang-orang lain yang tidak mempunyai pengharapan” (ay. 13).

Paulus tidak menyalahkan jemaat Tesalonika karena ia memang tidak sempat mengajarkan hal ini ketika ia melayani di sana (3:10, bdk. 2:15, 17; Kis. 17:5–10). Ia malahan mendorong mereka untuk berdukacita, tetapi dalam pengharapan yang tidak dunia miliki. Maka Paulus mengajak kita untuk menyeimbangkan dua ekstrim, duka dan pengharapan, sehingga kita dapat melihat dua sudut dari tanggapan Kristiani terhadap kepergian orang yang berpulang.

Di satu sisi, kita patut berdukacita karena itu memang adalah respons yang pantas ketika seseorang meninggal. Aku mungkin terdengar bodoh karena menuliskan hal yang sudah jelas, namun ada banyak orang Kristen yang mencoba melangkahi dukacita lalu menderita di kemudian hari karena tidak memproses kepergian orang yang berpulang dengan benar. Kita tahu ada pengharapan kebangkitan orang mati (yang akan dibahas di paragraf berikutnya), namun Paulus di suratnya yang lain juga mengajarkan kita untuk berduka bersama mereka yang sedang berduka (Rom. 12:15). Kekayaan catatan Alkitab tentang orang-orang yang berduka (e.g., Ul. 34:8; 2 Sam. 12:15–23; Ay. 1:13–21) turut mendorongku untuk berani merangkul kedukaan. Firman Tuhan menyediakan ruang bagi yang berduka dan meragukan kehadiran-Nya di tengah duka, bahkan Ayub tidak mempertanyakan Tuhan hanya pada dua pasal pertama dan terakhir kitabnya! Kamu dapat membaca bagian-bagian Alkitab lain yang mencatat pengalaman dukacita umat Allah, tapi aku ingin mengakhiri paragraf ini dengan air mata Tuhan Yesus sendiri (Yoh. 11:35). Mengapa Yesus meratapi kematian Lazarus ketika Ia tahu Ia akan membangkitkannya sesaat kemudian? Tim Keller mengamati, “Karena itu adalah respons yang benar terhadap kejahatan dan ketidakwajaran maut.”

Di sisi lain, kita menyandarkan kedukaan kita pada pengharapan “bahwa mereka yang telah meninggal dalam Yesus akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia” (ay. 14) dan “mereka yang mati dalam Kristus akan lebih dahulu bangkit” (ay. 16). Dengan kata lain, kita perlu mengingat pengharapan akan kebangkitan dari maut. Ketika Paulus mengajarkan kita untuk tidak berdukacita seperti mereka yang tak memiliki pengharapan di ayat 13, ia sedang menunjukkan keunikan iman Kristen yang berharap pada kebangkitan tubuh dan kehidupan kekal setelah kematian. Sambil memproses perasaanku, mengikuti setiap proses kedukaan, dan merenungkan Natal, aku jadi lebih menghargai kata-kata Tuhan Yesus dalam Yohanes 10:10, “Pencuri datang hanya untuk mencuri dan membunuh dan membinasakan; Aku datang, supaya mereka mempunyai hidup, dan mempunyainya dalam segala kelimpahan.” Ia pertama kali datang untuk mati dan bangkit agar kita dapat percaya dengan yakin bahwa Ia akan membangkitkan kita pada kedatangan-Nya yang kedua. Adakah pengharapan lain yang lebih kuat, hebat, dan mulia dibandingkan dengan yang Yesus Kristus berikan kepada manusia? Maka Ia memampukan kita untuk berdukacita dalam pengharapan.

Berdukacita untuk Mereka yang Mengaku Tidak Percaya Kepada Kristus

Namun bagaimana praktik berdukacita dalam pengharapan ini diterapkan kalau orang yang berpulang tidak percaya kepada Kristus, apalagi ayat 14 dengan spesifik mencatat “mereka yang telah meninggal dalam Yesus”? Jika Kekristenan adalah satu-satunya iman yang sejati dan benar, bukankah mereka yang tak percaya kepada Yesus tidak “akan dikumpulkan Allah bersama-sama dengan Dia”? Bagaimana aku dapat berduka dalam pengharapan-Nya untuk nenekku yang sampai akhir hidupnya kelihatannya tidak percaya kepada Yesus?

Karena hal ini tidak dijelaskan oleh Alkitab dengan eksplisit, kita perlu menerapkan hikmat dari Allah untuk mencapai kesimpulan yang selaras Firman-Nya. Dua sumber terpercaya, Got Questions dan Desiring God, mengarahkanku kepada doa Abraham:

“Jauhlah kiranya dari pada-Mu untuk berbuat demikian, membunuh orang benar bersama-sama dengan orang fasik, sehingga orang benar itu seolah-olah sama dengan orang fasik! Jauhlah kiranya yang demikian dari pada-Mu! Masakan Hakim segenap bumi tidak menghukum dengan adil? [Kejadian 18:25].

Dalam ayat ini, Abraham memohon kepada Tuhan untuk tidak menghancurkan Sodom dan Gomora asalkan ada orang benar di sana. Perhatikan bahwa ia tidak melandaskan doanya pada kebajikan penduduk-penduduk Sodom dan Gomora. Abraham justru memohon atas dasar identitas Allah sendiri sebagai “Hakim segenap bumi” yang “menghukum dengan adil”.

Dari sumber-sumber di atas, aku belajar dua hal tentang bagaimana berduka bagi mereka yang tampaknya tidak percaya kepada Kristus. Pertama, urusan ke mana yang berpulang pergi adalah antara dia dengan Tuhan. Aku tidak dapat bilang dengan pasti bahwa nenekku tidak percaya dengan Tuhan sampai akhir, walaupun kelihatannya begitu. Mungkin saja Ia secara ajaib menemui nenekku di detik-detik akhirnya dan membawanya percaya pada-Nya. Yang pasti, kami yang percaya pada Kristus telah membagikan Injil kepada nenekku bahkan hingga di ranjang perawatannya. Percaya atau tidaknya nenekku adalah urusannya dengan Tuhan, bukan kami. Yang kedua, mengutip John Piper, “yang perlu kita ingat adalah Tuhan adil, baik, dan tidak melakukan apapun yang tidak akan kita setujui pada akhirnya.” Standar kebenaran, kebaikan, dan kebajikan adalah Tuhan Yesus, bukan kita. Ketika ada orang yang mengaku tidak percaya berpulang, kita dapat turut berduka baginya sambil berharap bahwa penghakiman Allah baginya adalah adil dan benar. Pada titik ini makna kedatangan pertama Yesus Kristus di momen Natal menjadi semakin berarti. Roma 8:32 terngiang dalam benak, “Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita bersama-sama dengan Dia?”

Doa Dukaku dalam Pengharapan Natal

Tulisan ini adalah rangkuman perenungan yang kucatat dalam jurnalku pada hari kematian nenekku. Maka kurasa tepat untuk mengakhirinya dengan doaku hari itu kepada Allah:

Bapa di dalam surga, aku mengucap syukur atas segala karunia dan berkat yang telah Kau bagikan lewat nenek sehingga bahkan asisten rumah tangga kami pun meneteskan air mata atas kehilangannya. Aku berdoa dan berharap Engkau sempat menyatakan diri-Mu sendiri kepadanya di momen-momen terakhirnya di bumi dan membawanya kembali ke hadirat-Mu sehingga aku dapat bertemu dengannya lagi bersama-Mu di masa yang akan datang. Tetapi aku bukan Engkau, aku hanya dapat beriman bahwa Engkau telah melaksanakan apa yang Engkau kehendaki. Aku menyerahkan diriku sendiri dan semua anggota-anggota keluargaku ke dalam tangan-Mu, mengetahui bahwa bahkan kematian pun adalah salah satu berkat-Mu bagi kami. Beri aku kekuatan untuk mendampingi orangtuaku selama masa berkabung ini, biarlah Roh-Mu terus beserta dengan kami dan menghibur kami dalam kasih Anak-Mu bagi kami. Dan biarlah peristiwa ini menjadi alat-Mu untuk menjangkau kerabat-kerabatku yang belum percaya kepada-Mu. Sebab tak ada dukacita dalam pengharapan lain di dunia selain yang Injil-Mu beritakan.

Di dalam nama-Mu, Anak, dan Roh Kudus aku berduka, berharap, dan telah berdoa, amin.

Bagaimana Mencari Tahu Apakah Pekerjaan Kita Berkenan Buat Tuhan atau Tidak?

Oleh Hendra Winarjo

Sobat muda, pernahkah kamu bertanya, “Kerjaanku sekarang ini sesuai gak ya sama kehendak Tuhan?

Pertanyaan ini tentu wajar untuk kita tanyakan, apalagi kalau kita sudah kuliah semester akhir atau sedang bingung dengan apa yang sedang dikerjakan sekarang. Sebagai pelayan Tuhan yang melayani jemaat, aku pun cukup sering mendapat pertanyaan serupa khususnya oleh teman-teman mahasiswa dan fresh graduate. Nampaknya ada kekhawatiran jika pekerjaan kita—baik nanti ataupun sekarang—itu tidak sesuai dengan kehendak Tuhan, apalagi jika tidak mendatangkan kemuliaan bagi Tuhan.

Mencari jawaban dari pertanyaan itu tidak selalu mudah. Mungkin jawaban kebanyakan orang terkesan menyederhanakan, “Kalau kamu mau menghubungkan pekerjaanmu dengan pekerjaan Tuhan, maka kerjakan saja apa yang jadi panggilanmu.” Pada dasarnya, aku setuju bahwa sebagai orang Kristen kita wajib mengerjakan apa yang jadi panggilan (vocation) kita. Tetapi, kita mungkin keliru jika mengekslusifkan kata ‘panggilan’ itu hanya berfokus pada suatu bidang tertentu saja. Martin Luther dan John Calvin, dua tokoh reformasi gereja juga mengajar bahwa Tuhan tidak hanya memanggil umat-Nya untuk melayani sebagai pendeta, tetapi Tuhan memanggil dan memperlengkapi tiap umat-Nya dalam berbagai profesi atau ladang pekerjaan masing-masing.

Pemisahan antara pekerjaan yang ‘rohani’ dan ‘sekuluer’ adalah kekeliruan. Tidak semua pekerjaan yang dianggap pekerjaan “sekuler” sungguh-sungguh “duniawi,” serta tidak semua pekerjaan “rohani” sungguh-sungguh “rohani.” Misalnya, rasul Paulus menyebutkan bahwa pekerjaan atau aktivitas kita bahkan dimulai dari hal yang paling sederhana seperti makan atau minum, semuanya dapat memuliakan Allah (1Kor. 10:31). Artinya, bagi Paulus, asalkan segala sesuatu kita kerjakan untuk kemuliaan Allah, maka untuk apa kita perlu memisahkan secara tajam antara pekerjaan rohani atau sekuler, sebab semuanya itu pada akhirnya diarahkan bagi Tuhan.

Akan tetapi, aku tidak setuju apabila kita akhirnya jadi menyimpulkan kalau pekerjaan yang yang berkenan pada Tuhan itu sebatas mengerjakan apa yang kita yakini sebagai panggilan kita lalu menolak hal-hal lain yang sebenarnya dapat kita kerjakan. Tidak semua orang punya jawaban yakin dan spesifik dari pertanyaan, “Apa kamu sudah tahu apa panggilan Tuhan atas hidupmu?” meskipun, memang ada sebagian orang Kristen yang sudah tahu secara pasti mereka dipanggil untuk menjadi seorang dokter, desainer, pengusaha, atau bahkan pendeta, dan lain sebagainya. Juga, yang pasti lainnya adalah Allah tidak mungkin memanggil umat-Nya untuk berprofesi sebagai penjahat, pembunuh, dan hal-hal lain yang tidak kudus, yang tidak memuliakan nama-Nya.

Nah, lantas bagaimana buat orang yang tidak tahu pasti apa yang jadi panggilan hidupnya? Apakah mereka tidak dapat memuliakan Tuhan melalui apa yang mereka kerjakan sekarang?

Jawabannya ialah tentu Tuhan dapat dimuliakan meskipun kita sendiri mungkin ragu dengan pekerjaan kita. Pekerjaan Tuhan bersifat luas, dan itu tidak melulu bicara sesuatu yang kita senang untuk lakukan. Ketika Allah memanggil Gideon untuk memimpin Israel berperang melawan Midian, Gideon tidaklah suka akan panggilan ini. Dia seorang yang penakut, tetapi Tuhan menyertainya dan menjadikan Gideon berkat bagi seisi bangsanya. Atau, ada pula contoh lain ketika Allah memakai Babel, bangsa yang tidak mengenal-Nya untuk menghukum orang Israel karena dosa dan pelanggaran mereka. Babel dipakai Allah untuk mengerjakan keadilan-Nya meskipun mereka sendiri tidak sadar bahwa mereka sedang ‘dipakai’ Tuhan. Kita yang hidup di masa kini dapat dengan mudah mengetahui dari teks Alkitab bahwa dari perspektif Allah, Babel dipakai-Nya untuk menggenapi rencana Allah.

Jadi, meskipun saat ini kita masih bingung dengan apa yang jadi panggilan Allah bagi kita, kita dapat dengan setia melakukan apa yang Tuhan sudah berikan bagi kita untuk kita kerjakan. Kita masih bisa mengerjakan pekerjaan Allah dan memuliakan-Nya, dengan atau tanpa kita mengetahui terlebih dulu dengan pasti serta spesifik apa panggilan Tuhan atas hidup kita, asalkan kita juga memakai pekerjaan kita saat ini untuk menghadirkan sifat-sifat Allah, seperti keadilan atau pun kasih Allah kepada sesama. Dengan cara inilah, kita tetap dapat menghubungkan pekerjaan kita dengan pekerjaan Tuhan, sambil berdoa agar Tuhan menunjukkan kepada kita apa panggilan Tuhan atas hidup kita.

Mari kita belajar dari tokoh Hong Du Sik dalam film drama Hometown Cha Cha Cha. Sekalipun Hong Du Sik tidak memiliki sebuah pekerjaan tetap, tetapi melalui pekerjaan serabutannya, seperti menjadi fotografer, kuli bangunan, tukang paket, dan lain seterusnya, ia dapat menolong banyak penduduk desa Gongjin di Korea Selatan. Mungkin bagi sebagian orang Kristen, orang seperti Hong Du Sik tidak mengerjakan pekerjaan Tuhan, sebab ia tidak mengerjakan satu pekerjaan spesifik yang menjadi panggilannya. Namun, sebetulnya orang seperti Hong Du Sik sedang mengerjakan pekerjaan Tuhan, bahkan memuliakan Tuhan, karena apa yang ia kerjakan itu telah menghadirkan kasih Allah kepada sesamanya.

Hal ini sesuai dengan apa yang diucapkan oleh Rasul Paulus di dalam 1 Korintus 10:31, “Aku menjawab: Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.”

Semuanya Dimulai dengan Percaya Bahwa Tuhan Itu Baik

Oleh Gabrielle Triyono
Artikel asli dalam bahasa Inggris: It Starts With Believing God is Good

Kita semua mungkin pernah berkata “Thank God” atau “Tuhan baik” berkali-kali dalam hidup kita. Tapi, apakah pilihan dan cara hidup kita benar-benar mencerminkan apa yang kita katakan? Jawabanku adalah: tidak selalu. 

Tumbuh besar sebagai orang Kristen, aku diajarkan kalau Tuhan itu baik, dan memang aku telah mengalami sendiri kebaikan Tuhan. Tapi, meskipun aku mengalami kebaikan-Nya, seringkali aku masih ragu dengan apa yang Tuhan minta untuk kulakukan.

Pada suatu momen, Tuhan meneguhkan hatiku untuk putus dari suatu hubungan pacaran. Meskipun pada masa-masa yang lalu aku telah mengalami sendiri kesetiaan dan kebaikan Tuhan, tapi keterikatanku pada relasi dengan pacarku membutakanku dari melihat tuntunan Tuhan. Aku memaksakan kehendakku sendiri dan menganggap cara Tuhan bukanlah yang terbaik buatku. 

Tapi, ternyata aku salah.

Hubungan dengan pacarku membuatku jauh dari Tuhan. Aku kehilangan fokus kepada panggilan Tuhan. Buku-buku yang Tuhan tanamkan dalam hatiku untuk kutulis jadi tertunda, dan aku tidak bisa memberi diri sepenuhnya untuk melayani dalam persekutuan di gereja. Dan karena Yesus tidak pernah menjadi pusat dalam hubunganku dengan pacarku, kami  pun tidak bertumbuh secara rohani.

Sejak itu, aku melihat Tuhan berkarya lebih banyak dalam hidupku daripada sebelumnya.

Tuhan membuka pintu bagiku untuk menjadi pemimpin di persekutuan para lajang di gerejaku (meskipun aku baru join persekutuan ini beberapa bulan saja). Aku juga diundang untuk berbicara, berbagi kesaksian, dan memimpin ibadah untuk acara Natal para lajang di gerejaku. Sungguh mengharukan melihat bagimana ceritaku berpengaruh pada orang-orang yang juga bergumul dalam hidupnya. Salah satunya lewat buku yang kutulis, yang berjudul Living Revelations. Beberapa orang memberiku tanggapan bahwa karyaku itu bermanfaat bagi mereka. 

Aku pun mengalami Efesus 3:30 menjadi nyata dalam hidupku: Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita.”Tuhan pasti memberiku lebih dari apa yang kubayangkan. Dia membuka lebih banyak pintu untuk pelayananku. 

Pengalaman ini membuatku sadar tentang kebenaran penting. Menyadari bahwa Tuhan itu baik menolong kita melangkah dalam ketaatan untuk melakukan panggilan kita.  Mazmur 18:30 mengingatkan kita, “Adapun Allah, jalannya sempurna.”

Seringkali kita melewatkan berkat Tuhan dengan menolak untuk menaati-Nya karena kita tidak percaya kalau jalan-Nya adalah sempurna. Aku perlu belajar bahwa meskipun jalan-Nya terlihat seperti bukan yang terbaik, tapi itulah yang terbaik buat kita. 

Pertemuan Simon Petrus dengan Yesus adalah contoh yang baik tentang pentingnya percaya pada panggilan Allah. Dalam Lukas 5, Yesus meminta Petrus untuk berlayar ke perairan yang dalam untuk menangkap ikan lagi, sedangkan Petrus baru saja menghabiskan sepanjang malam melaut tapi tidak ada ikan yang tertangkap.

Petrus pun menanggapi Yesus, Guru, telah sepanjang malam kami bekerja keras dan kami tidak menangkap apa-apa, tetapi karena Engkau menyuruhnya, aku akan menebarkan jala juga.” Petrus sudah kelelahan, dan kita bisa melihat dari tanggapannya bahwa dia tidak merasa gagasan Yesus itu baik. Namun, walaupun dia ragu dan bimbang, dia tetap melakukannya.

Apa hasilnya? Berkat yang luar biasa.

Petrus dan rekan-rekan nelayannya menangkap begitu banyak ikan, sampai jala mereka pun mulai koyak (ayat 6). Lukas 5:8-9 mengatakan, “Ketika Simon Petrus melihat hal itu ia pun tersungkur di depan Yesus… Dia takjub oleh karena banyaknya ikan yang mereka tangkap..” (titik beratku).

Petrus menyadari kebaikan Tuhan. Jika dia mengikuti perasaannya dan tidak mendengarkan Yesus, dia tidak akan pernah berada pada posisinya saat itu—di kaki Yesus, penuh kekaguman akan kuasa-Nya.

Mungkin kita seperti Simon Petrus. Tapi seperti pengalaman yang ditunjukkan Petrus, perasaan kita tidaklah selalu jadi cerminan kenyataan. Tuhan ingin memenuhi kita dengan kebaikan dan berkat-Nya, tapi itu dimulai dengan ketaatan kita.

Maukah kita menanggapi Yesus seperti Simon Petrus dan berkata, “Karena Engkau telah bilang begitu, maka aku akan melakukannya”

Jika kamu belum melihat tangan Tuhan berkarya dalam hidupmu, sekaranglah kesempatanmu untuk melihat kebaikan-Nya tercurah dalam hidupmu. Dan jika kamu telah melihat Tuhan berkarya dalam hidupmu, percayalah Dia akan melakukannya lagi dan lagi.

Hari ini, maukah kita mengikuti permintaan Yesus? Melakukan perintah-Nya dengan beriman, terlepas dari perasaan dan keraguan kita. Maukah kita menyadari kebenaran sederhana ini bahwa Tuhan selalu berlaku baik untuk kebaikan kita?

Kita tidak perlu takut dengan apa yang akan datang. Selama kita berjalan dengan Tuhan, kebaikan-Nya akan selalu menemani hidup kita. Mazmur 23:6 berkata, “Kebajikan dan kemurahan belaka akan mengikuti aku, seumur hidupku; dan aku akan diam dalam rumah TUHAN sepanjang masa.”.

Tidak ada yang lebih baik daripada hidup di dalam kehendak Tuhan.

Ilmu Teologi: Bukan Cuma untuk Pendeta, Ini Ilmu Tentang Hidup yang Berfokus pada Tuhan

Oleh Jovita Hutanto

Sobat muda, pernahkah kamu bertanya apakah tujuan hidupmu, atau merenungkan bagaimana hidup setelah kematian? Apakah kamu juga yakin bahwa Tuhan kitalah satu-satunya yang benar dan hidup?

Pada suatu momen dalam hidup, kita semua pasti pernah berpikir tentang pertanyaan-pertanyaan di atas. Namun, tak semua mendapat jawaban yang pasti dan memuaskan. Bagi kebanyakan orang, hidup selalu menyajikan ruang-ruang kosong, pertanyaan-pertanyaan yang tak dapat dijawab.

Merenungkan hal ini, aku ingat bahwa filsuf Agustinus pernah berkata, “My heart is restless until it rests in You”. Jika diterjemahkan, artinya, “hatiku gelisah sampai aku menemukan peristirahatan di dalam-Mu.” Perkataan Agustinus menggemakan kembali suatu kenyataan bahwa Tuhan telah menciptakan manusia dengan satu ruang kosong di hatinya, di mana ruang tersebut hanya bisa diisi dengan kepuasan yang datangnya dari Tuhan. Namun, seringkali manusia mencari pemenuhan atas ruang kosong itu dengan mengejar kesenangan dan kepuasaan sesaat tanpa sungguh-sungguh mencari tahu apa yang jadi esensi dari kehidupan.

Ada beberapa pertanyaan sederhana yang bisa kita tanyakan ke diri sendiri. Apa yang membuat kita semangat bangun di pagi hari untuk menjalankan tugas dan kewajiban kita? Lalu, apa motivasi kita dalam melakukan hal tersebut?

Pertanyaan ini terkesan remeh, tapi sebenarnya ini menyangkut fondasi kehidupan kita yang seharusnya kita ketahui dan pahami. Jawaban yang tepat dapat kita temukan dari Alkitab.

Mempelajari Teologi, bukan sekadar membaca Alkitab

Semasa sekolah, aku banyak bergumul akan ujung dari hidup ini. Jujur, aku murid yang cukup rajin belajar, sampai di satu titik aku muak dengan rutinatis yang sifatnya fana. Memang para senior dan guru banyak mengingatkan agar kita belajar dengan baik agar kelak dapat pekerjaan yang baik dan meraih mimpi kita. Namun, setelah mendapatkan pekerjaan yang baik dan seluruh mimpi tercapai, apa yang akan jadi finish line-nya?

Kematian.

Walaupun aku diajarkan oleh guru sekolah minggu tentang adanya new creation (ciptaan baru setelah kedatangan Tuhan Yesus yang kedua kalinya), aku tidak mengerti cara menikmati prosesnya bersama Tuhan di luar gereja. Di situlah timbulnya sebuah kerinduan untuk memaknai rutinitas hidup yang fana ini. Aku sadar aku perlu mencari Tuhan dalam keseharianku dan merenungkan teks Alkitab dengan lebih sungguh-sungguh. Akhirnya aku bertekad lebih rajin membaca Alkitab dan buku-buku kekrsitenan lainnya dan aku mulai menjumpai banyak topik kontroversial di dalam Alkitab bermunculan. Salah satu contoh topiknya adalah konsep predestinasi (mengapa Tuhan hanya memilih sebagian?) atau mengapa kematian Tuhan Yesus harus di atas kayu salib? Bahkan tulisan Alkitab itu sendiri sering menimbulkan pertanyaan, layaknya cerita pemanggilan arwah Samuel, atau percakapan antara Tuhan dengan Iblis di kitab Ayub. Pertanyaan berat seperti ini mulai menumpuk seiring aku banyak membaca, sampai di satu titik saya mulai meragukan imanku sendiri. Keraguan ini menimbulkan gejolak ketidaktenangan hatiku akan sosok satu-satunya yang bisa diandalkan, yaitu Tuhan Yesus. Tuhan menanamkan dalam hati rasa haus dan kerinduan untuk menjawab seluruh pertanyaan ini dan aku memutuskan untuk mempelajari ilmu teologi.

Ketika Alkitab menyajikan jawaban atas beragam pertanyaan dalam hidup, hal yang sepatutnya kita lakukan bukanlah sekadar membacanya sambil lalu. Alkitab diberikan Tuhan untuk kita pelajari, tetapi banyak orang berpikir bahwa mempelajari Alkitab atau ilmu teologi itu hanya tugas dari hamba Tuhan. Padahal, mempelajari teologi adalah kewajiban orang Kristen. Alkitab itu bagaikan buku manual bagi orang-orang percaya, buku panduan hidup yang lengkap karena isinya bukan hanya memberikan cerita nyata yang baik dan benar saja, namun juga menyatakan sisi buruk dari realita kehidupan manusia berdosa. Apapun yang kita hadapi di muka bumi ini bukanlah hal yang baru lagi; prinsipnya sama, hanya alur cerita nya saja yang berbeda.

Alkitab bersifat kontekstual bagi seluruh umat manusia, khususnya bagi umat yang percaya. Belajar ilmu ketuhanan tidak hanya diperuntukan mereka yang terpanggil menjadi pendeta, namun untuk kita semua yang ingin mempertanggung-jawabkan iman kita di hadapan Tuhan. Kamu dan aku, sebagai umat percaya tentu ingin mempertanggung jawabkan siapa dan apa yang kita percayai, betul kan? Oleh sebab itu aku lebih senang menggunakan parafrase “ilmu hidup yang berfokus pada Tuhan Yesus” daripada “ilmu teologi” yang terdengar dan terkesan lebih tabu, bahkan untuk kalangan komunitas Kristen sendiri.

Dengan mempelajari ilmu teologi, kita menjadi lebih memahami penulisan Alkitab di dalam konteks yang benar. Alkitab tidak ditujukan secara eksklusif agar dapat dimengerti oleh segelintir orang yang mempelajarinya. Dengan pertolongan Roh Kudus, pesan firman Tuhan yang terkandung di Alkitab dapat kita mengerti dengan membacanya. Namun, untuk mendapatkan pengertian yang lebih utuh kita perlu menyingkap banyak hal terselubung dalam Alkitab, yang tentu kita bisa pahami lebih detail dan jelas lagi jika kita mempelajari di dalam konteks yang benar, baik konteks geografis, sejarah, maupun kultur di zaman tersebut. Bukan hanya menerima ilmu mentahnya saja, ‘Ilmu hidup yang berfokus pada Tuhan Yesus’ juga mengajarkan kita cara membaca dan menganalisis teks Alkitab. Tujuannya adalah supaya kita dapat mengerti maksud dan alasan dari si penulis menuliskan surat/teks tersebut. Setelah mengerti keseluruhan dari pasal atau kitab tersebut, barulah kita dapat merenungkan dan merefleksikan apa yang Tuhan ingin sampaikan kepada diri kita masing-masing melalui pembacaan tersebut.

Pengertian akan Alkitab yang benar akan mengonfirmasi iman kita kepada Tuhan. Dengan pengertian yang lebih menyeluruh ini, pemahaman kita akan siapa diri kita dan panggilan pribadi kita akan lebih diperluas dan diperjelas. Secara tidak sadar, ilmu yang kita pelajari akan mempengaruhi cara pandang kita dalam kehidupan keseharian kita. Dengan perlahan, perspektif kita akan dibentuk menjadi lebih sesuai dengan kehidupan Kristiani yang sesuai dengan kehendak Tuhan. Kamu dan aku dibuat menjadi lebih peka akan Dia dan mengetahui beban apa yang Tuhan telah titipkan dalam hidup kita.

Ingat bahwa Tuhan adalah pencipta kita, pengenalan akan Tuhan itu erat hubungannya dengan pengenalan akan diri. Semakin kita mengenal Tuhan, semakin kita mengenal diri lebih baik lagi. Semakin kita mengenal diri lebih baik lagi, semakin kita tahu apa yang harus kita lakukan di dalam hidup. Pengetahuan akan Tuhan itu kunci kehidupan pribadi kita semua.

Dari pengalaman pribadiku, ‘Ilmu hidup yang berfokus pada Tuhan’ ini mengubah perspektif dan cara hidupku. Setelah mempelajari kesinambungan Alkitab dengan realita kehidupan, tentu imanku kepada Tuhan Yesus lebih diyakinkan. Aku pun menjadi lebih mengerti dengan arti hidup yang sesungguhnya, lebih semangat menjalani hari-hariku karena aku tahu jelas tujuan hidupku.

Di kala pergumulan dan kesusahan datang melanda, ilmu yang telah kupelajari membantu memperlengkapi imanku. Selain itu, ilmu yang telah aku pelajari juga sangat membantuku dalam keseharianku membaca alkitab, khususnya dalam cara menganalisis teks-teksnya. Jika membandingkan buku refleksi renunganku pada saat aku masih bersekolah dengan yang sekarang (sudah bekerja), aku melihat banyak perubahan dari segi analisis teks dan refleksi ke kehidupan pribadiku. Meski memang umur mempengaruhi cara pikir dan daya tangkapku, namun aku percaya ilmu yang aku telah pelajari juga menambah pengetahuan Alkitabku dan meningkatkan kemampuanku dalam menganalisis teks demi teks yang tertulis di Alkitab. Aku menjadi lebih paham dan berpikir lebih kritis untuk setiap pembacaan, sehingga respons penerapan ke kehidupan pribadiku pun menjadi lebih konkrit dan terjalani.

Saat ini, walau aku bekerja di bidang usaha yang tentunya sangat tidak berkaitan dengan gelar ilmu yang aku pelajari (psikologi dan teologi), aku dapat mengintegrasikan prinsip kekristenanku dalam menjalani bisnis kecil keluargaku, sehingga hari-hariku menjadi lebih spesial dan bermakna.

Di dalam bisnis, persaingan sengit kadang membuat kita menghalakan segala cara untuk mencapai goal dan profit. Namun, aku terus diingatkan untuk mengaplikasikan prinsip Kristus dalam usahaku (Christ-centered business). Mottoaku adalah serving while earning profit. Bisnis memang bertujuan meraih profit, tapi aku juga mengutamakan pelayanan kepada manusianya, baik itu client maupun karyawanku. Aku berusaha memberikan pelayanan yang terbaik dan bertanggung-jawab atas produk-produk yang aku jual. Pada beberapa kesempatan, aku juga memperlakukan karyawanku sebagai seorang teman sehingga terbentuk relasi yang baik. Memang awalnya konsep melayani dalam dunia bisnis ini terasa aneh, namun setelah 3 tahun menjalaninya, melayani para client dan karyawanku juga merupakan pelayanan yang nyata sebagaimana aku melayani di gereja.

Bagaimana denganmu? Apa yang akan kamu lakukan untuk semakin memperdalam pengenalan imanmu?