Posts

Allah Imanuel, Menyertaiku dan Masa Depanku

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Aku bersama rekan sekerjaku sedang berkomitmen untuk membaca Alkitab secara keseluruhan. Di suatu sore, aku melanjutkan pembacaan Alkitabku di Keluaran 33.

Keluaran 33 bercerita tentang Musa yang memohon penyertaan Tuhan untuk berjalan bersama-sama bangsa Israel di padang gurun menuju tanah Kanaan. Bangsa Israel adalah bangsa yang tegar tengkuk. Meskipun Tuhan telah menunjukkan banyak mukjizat dan memelihara mereka, bangsa Israel tetap saja bersungut-sungut. Bahkan, di Keluaran 32 tertulis bahwa bangsa Israel memalingkan diri dari Tuhan dengan membuat anak lembu emas dan sujud menyembah kepadanya.

Akibat perbuatan mereka, Tuhan tidak berkenan untuk menyertai bangsa Israel. Namun, mendengar ancaman dari Tuhan, bangsa Israel pun berkabung dan Musa memohon agar kiranya Tuhan tetap berkenan menyertai mereka. Ada bagian yang menarik di pasal ini. Di pasal 33 ayat 15, Musa berkata, “Jika Engkau sendiri tidak membimbing kami, janganlah suruh kami berangkat dari sini.” Musa memahami betul bahwa kehadiran Tuhan di tengah bangsa Israel adalah yang terpenting, hingga dia pun memohon agar kiranya Tuhan sudi beserta dengan mereka. Tanpa kehadiran Tuhan, mustahil bagi bangsa Israel untuk lari dari kejaran kereta Firaun dan juga menghadapi tantangan-tantangan lainnya.

Keluaran 33 mengingatkanku kembali akan perjalanan hidupku sepanjang tahun ini. Ada banyak hal yang aku syukuri, tapi ada juga hal-hal yang kupertanyakan. Misalnya, tahun ini aku dinyatakan lulus untuk melanjutkan pendidikanku setelah sekian lama aku mendoakannya. Namun, di tahun ini juga aku banyak dikecewakan oleh orang-orang yang aku kasihi. Aku pun bertanya, apakah yang akan terjadi di tahun depan? Semua bisa berubah tiba-tiba dan aku ragu untuk menghadapi tahun depan.

Aku pribadi adalah orang yang sistematis, aku punya perencanaan dalam segala hal. Di akhir tahun seperti ini, aku membuat berbagai perencanaan untuk ke depannya, tetapi aku malah jadi sulit menikmati kehadiran Tuhan dalam tiap perencanaan yang kubuat. Aku sibuk memikirkan bagaimana caranya supaya apa yang kurencanakan terwujud tanpa mempercayai bahwa Tuhan akan menyertai perjalananku. Agaknya, aku seperti bangsa Israel yang meragukan penyertaan Tuhan, padahal dalam perjalananku di tahun ini dan tahun-tahun sebelumnya, Tuhan telah menyertaiku.

Jika ada di antara kamu yang juga mengalami sepertiku, marilah kita mengingat kembali bahwa meskipun apa yang kita inginkan tidak berjalan seturut kemauan kita, Tuhan selalu menyertai perjalanan kita. Seperti bangsa Israel di padang gurun yang diberkati Tuhan dengan burung puyuh, roti mana, tiang api, dan tiang awan, Tuhan pun dalam pemeliharaan-Nya yang sempurna akan menyediakan segala yang kita butuhkan.

Pemeliharaan Tuhan tidak selalu terwujud lewat hal-hal yang spektakuler. Ketika kita diberi kesehatan, bisa menikmati pekerjaan dan pelayanan, serta dikelilingi oleh keluarga dan sahabat yang mendukung, itu adalah salah satu dari sekian banyak bukti pemeliharaan-Nya buat kita.

Di penghujung tahun ini, seiring kita juga menyiapkan diri untuk menyambut Natal, kiranya kita tidak hanya sibuk oleh hal-hal lahiriah, tetapi juga menyiapkan hati kita agar Sang Juruselamat yang kita rayakan kelahiran-Nya, lahir dan memerintah pula dalam hati kita. Sang Juruselamat tidak hanya hadir saat bulan Desember, Dia senantiasa hadir menyertai kita. Nabi Yesaya dalam nubuatannya pun mengatakan bahwa Juruselamat itu akan dinamakan Imanuel, yang berarti Allah selalu menyertai kita.

Kesetiaan Allah sebagaimana ditunjukkan-Nya kepada bangsa Israel tidak pernah berubah sampai kepada hari ini, Dia pun menyertai kita senantiasa.

Menutup tulisan ini, ada sepenggal lirik lagu yang ingin kubagikan:

Pardon for sin and a peace that endureth,
Thine own dear presence to cheer and to guide;
Strength for today and bright hope for tomorrow,
Blessings all mine, with ten thousand beside!
“Great is Thy faithfulness!”

Lirik lagu ini adalah doaku untuk bersyukur atas semua hal yang terjadi di tahun ini, sekaligus juga menjadi pengharapanku untuk menjalani tahun yang baru.

Kepada sahabat-sahabatku, juga semua pembaca, selamat menyambut Sang Juruselamat dengan hati yang terus mengimani Dia, Imanuel.

Baca Juga:

Mengapa Kita Perlu Bersyukur atas Peristiwa Natal?

Menjelang Natal, tak jarang aku mendengar khotbah-khotbah diwartakan dari atas mimbar, “Kita harus bersyukur atas peristiwa Natal.” Sejenak aku berpikir, mengapa kita perlu bersyukur atas Natal? Adakah hal istimewa yang sungguh menjadikan Natal sebagai peristiwa yang patut disyukuri?

Apakah yang Kupercayai Sungguh Membuatku Berbeda?

Oleh Savannah Janssen
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Does What I Believe In Really Make A Difference?

Beberapa tahun lalu, ketika aku sedang memimpin kelompok studi Alkitab, seorang perempuan bertanya, “Guys, apa kalian sungguh percaya apa yang kita baca? Jika iya, apakah itu membuat perubahan dalam hidup kita?”

Teman-teman yang lain terkejut dengan pertanyaan itu, tapi kemudian pertanyaan-pertanyaan lain yang serupa pun terlontar. Mereka mengakui kalau pertanyaan seperti itu—pertanyaan yang real dan penting—sering muncul dalam perjalanan iman mereka. Mengajukan pertanyaan dan merasakan keraguan tidaklah salah, itu bisa menolong kita kepada cara pandang dan pengetahuan yang baru tentang Tuhan. Pernahkah kamu berpikir:

Apakah iman yang kuanut sungguh membuat perubahan dalam hidupku?

Apakah dengan menjadi orang Kristen, aku jadi orang yang ‘lebih baik’?

Apakah orang-orang melihat hidupku berbeda karena aku percaya pada Tuhan?

Aku pernah bertemu dan mengenal orang-orang bukan Kristen yang begitu baik dan jujur. Sedihnya, ada di antara mereka yang berkata, “Aku tahu orang-orang yang tidak religius, dan mereka lebih baik daripada semua orang Kristen yang kutahu.” Mendengar kalimat itu rasanya sakit…tapi, mereka ada benarnya.

Panggilan kita sejatinya begitu jelas: Orang Kristen harus berbeda karena apa yang kita percayai. Alkitab memanggil kita untuk menjadi pelita dan garam dunia (Matius 5:13-16). Jadi, tentu hidup kita dipanggil untuk membuat perbedaan yang mendasar dan kekal. Tapi, bagaimana? Alkitab memberi kita dua cara untuk membuat hidup kita terlihat berbeda:

1. Bagaimana kita memperlakukan diri kita sendiri

Pernahkah kamu mengizinkan dirimu ditentukan dari ekspektasi orang-orang lain kepadamu? Beberapa kali dalam hidupku, aku mengizinkan ekspektasi orang lain membentukku menjadi orang yang sebenarnya tidak kuinginkan. Ketika itu terjadi, aku lupa bahwa Tuhan yang menciptakanku telah menentukan siapa diriku, bukan orang lain.

Tuhan memanggil kita kepada standar yang lebih tinggi, sebagaimana tertulis: “Tetapi kamulah bangsa yang terpilih, imamat yang rajani, bangsa yang kudus, umat kepunyaan Allah sendiri, supaya kamu memberitakan perbuatan-perbuatan yang besar dari Dia, yang telah memanggil kamu keluar dari kegelapan kepada terang-Nya yang ajaib” (1 Petrus 2:9).

Meskipun kita hancur, meskipun kita gagal berkali-kali, tapi karena pengorbanan Kristus, Tuhan menyambut kita tanpa syarat ketika kita bersedia kembali kepada-Nya. Tuhan memanggil kita orang terpilih, kudus, dan istimewa. Lebih lagi, relasi kita dengan Tuhan mendorong kita mengubah diri kita menjadi pribadi yang telah Dia tetapkan untuk kita.

Tuhan menawarkan kesempatan yang baru setiap hari. Tuhan melihat kita dengan mata yang penuh kasih dan Dia tidak menyimpan segala kesalahan masa lalu kita. Karena anak-Nya, kita mendapatkan pengampunan dari hukuman (Roma 8:1-2). Tuhan mengejar kita dengan kasih yang tak bersyarat.

2. Bagaimana kita memperlakukan orang lain

Kita mengasihi karena Tuhan telah lebih dulu mengasihi kita (1 Yohanes 4:19). Kita diciptakan karena kasih dan untuk mengasihi. Pernahkah kamu begitu mengasihi seseorang hingga kamu pun mulai menikmati apa yang mereka nikmati pula? Ketika kita mengasihi seseorang, secara alami kita bertumbuh untuk memedulikan apa yang mereka pedulikan.

Ketika kita dekat dengan Tuhan, kita akan menikmati hal-hal yang Tuhan juga nikmati. Kita mulai menyadari ada kebutuhan di sekitar kita. Kita mulai melihat dunia dari kacamata Tuhan, dan mulai menghidupi kasih Tuhan untuk anak-anak-Nya. Ini bukanlah pilihan, tetapi perintah yang murni dari Tuhan yang adalah kasih.

“Aku memberikan perintah baru kepada kamu, yaitu supaya kamu saling mengasihi; sama seperti Aku telah mengasihi kamu demikian pula kamu harus saling mengasihi. Dengan demikian semua orang akan tau, bahwa kamu adalah murid-murid-Ku, yaitu jikalau kamu saling mengasihi” (Yohanes 13:34-35).

Karena kita telah menerima kasih Allah, iman kita pun seharusnya mampu mendorong kita untuk memperluas kasih kita kepada orang lain, sebab dunia ini menyaksikan kita.

Salah satu ciri dari kasih Allah adalah kemurahan hati-Nya yang melimpah (Matius 7:11; Lukas 15:22-24). Jika Tuhan kita murah hati, kita pun seharusnya demikian. Sebagai contoh, kita bisa bermurah hati dengan memberikan waktu kita. Di zaman ketka segalanya serba terburu-buru, meluangkan waktu berkualitas dengan seseorang bisa jadi hal yang sulit. Tapi, kita tahu bahwa segala yang kita miliki bersal dari Tuhan, jadi marilah kita dengan murah hati memberikan waktu kita ketika ada orang-orang yang butuh pertolongan. Ketika kita dengan murah hati memberikan apa yang kita anggap berharga, kita sedang menghidupi konsep kasih yang kita anut.

* * *

⠀⠀⠀

Relasi kita dengan Tuhan harus membuat perbedaan yang tampak dalam kehidupan kita, sebagaimana kita dipanggil untuk tidak menjadi serupa dengan dunia. Ketika dunia meminta kita untuk membenci, Tuhan meminta kita untuk mengasihi (Matius 5:39043). Ketika ada keputusasaan, kita dipanggil untuk membawa harapan (Ibrani 6:19). Orang-orang yang miskin, lemah lembut, berduka, murni hatinya, dan yang teraniaya, merekalah yang akan mendapatkan kerajaan surga (Matius 5:3-10).

“Karena Anak Manusia juga datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang” (Markus 10:45).

Intinya, hidup beriman harus memberi perbedaan. Mengapa? Karena hidup kita adalah refleksi dari harapan yang mendasar, kebenaran yang abadi, kedamaian yang tak terbandingkan, sukacita yang tetap, dan kasih yang tak bersyrat. Ketika orang-orang melihat kehidupan kita, mereka harus melihat cara kita memperlakukan diri kita dan orang lain adalah aktivitas yang memberi dampak, bukan untuk diri kita sendiri, tetapi untuk tujuan Tuhan.

Baca Juga:

Menghidupi Sisi Terang Pelayanan dalam Anugerah Tuhan

Pelayanan tidak selalu berjalan mulus, kadang ada pergumulan yang harus kita hadapi. Meski begitu, kita harus terus memberi diri kita melayani.

Dibimbing Allah

Jumat, 8 September 2017

Dibimbing Allah

Baca: Mazmur 30:1-13

30:1 Mazmur. Nyanyian untuk pentahbisan Bait Suci. Dari Daud.30:2 Aku akan memuji Engkau, ya TUHAN, sebab Engkau telah menarik aku ke atas, dan tidak memberi musuh-musuhku bersukacita atas aku.

30:3 TUHAN, Allahku, kepada-Mu aku berteriak minta tolong, dan Engkau telah menyembuhkan aku.

30:4 TUHAN, Engkau mengangkat aku dari dunia orang mati, Engkau menghidupkan aku di antara mereka yang turun ke liang kubur.

30:5 Nyanyikanlah mazmur bagi TUHAN, hai orang-orang yang dikasihi-Nya, dan persembahkanlah syukur kepada nama-Nya yang kudus!

30:6 Sebab sesaat saja Ia murka, tetapi seumur hidup Ia murah hati; sepanjang malam ada tangisan, menjelang pagi terdengar sorak-sorai.

30:7 Dalam kesenanganku aku berkata: “Aku takkan goyah untuk selama-lamanya!”

30:8 TUHAN, oleh karena Engkau berkenan, Engkau telah menempatkan aku di atas gunung yang kokoh; ketika Engkau menyembunyikan wajah-Mu, aku terkejut.

30:9 Kepada-Mu, ya TUHAN, aku berseru, dan kepada Tuhanku aku memohon:

30:10 “Apakah untungnya kalau darahku tertumpah, kalau aku turun ke dalam lobang kubur? Dapatkah debu bersyukur kepada-Mu dan memberitakan kesetiaan-Mu?

30:11 Dengarlah, TUHAN, dan kasihanilah aku, TUHAN, jadilah penolongku!”

30:12 Aku yang meratap telah Kauubah menjadi orang yang menari-nari, kain kabungku telah Kaubuka, pinggangku Kauikat dengan sukacita,

30:13 supaya jiwaku menyanyikan mazmur bagi-Mu dan jangan berdiam diri. TUHAN, Allahku, untuk selama-lamanya aku mau menyanyikan syukur bagi-Mu.

Sepanjang malam ada tangisan, menjelang pagi terdengar sorak-sorai. —Mazmur 30:6

Dibimbing Allah

Baru-baru ini tanpa sengaja saya menemukan beberapa jurnal yang saya tulis semasa kuliah. Setelah membacanya lagi, saya menyadari bahwa perasaan saya terhadap diri sendiri saat itu sangat jauh berbeda dengan perasaan saya saat ini. Pergumulan saya dalam menghadapi kesepian dan keraguan atas iman saya terasa begitu berat untuk dihadapi saat itu. Namun ketika melihat ke belakang, saya dapat melihat dengan jelas bagaimana Allah telah membimbing saya ke tempat yang lebih baik. Melihat bagaimana Allah dengan lembut membimbing saya melewati masa-masa itu mengingatkan saya bahwa apa yang begitu membebani kita hari ini kelak akan menjadi bagian dari kisah yang lebih besar tentang kasih-Nya yang memulihkan kita.

Mazmur 30 adalah mazmur perayaan yang juga melihat ke masa lalu dengan rasa kagum dan syukur atas pemulihan Allah yang luar biasa: yang sakit telah disembuhkan, yang terancam nyawanya telah diselamatkan, yang merasakan hukuman Allah telah menikmati kemurahan-Nya, yang berdukacita telah bersukacita (ay.3-4,12).

Mazmur itu ditulis oleh Daud, seorang yang menuliskan sejumlah ratapan paling memilukan di dalam Alkitab. Namun demikian, Daud juga mengalami pemulihan yang begitu luar biasa hingga ia dapat menyatakan, “Sepanjang malam ada tangisan, menjelang pagi terdengar sorak-sorai” (Mzm. 30:6). Di balik semua penderitaan yang dialaminya, Daud menemukan sesuatu yang jauh lebih besar, yaitu tangan pemulihan Allah yang penuh kuasa.

Jika hari ini kamu terluka dan sedang membutuhkan penguatan, ingatlah kembali pada masa lalu ketika Allah membimbing dan memulihkanmu. Berdoalah agar kamu kembali beriman bahwa Dia akan melakukannya lagi. —Monica Brands

Tuhan, saat pergumulan kami terlalu berat untuk kami tanggung, tolonglah kami menemukan penghiburan dan kekuatan saat mengingat bimbingan-Mu di masa lalu.

Dengan penuh kasih, Allah bekerja membawa pemulihan dan sukacita di dalam dan melalui penderitaan hidup kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Amsal 3-5 dan 2 Korintus 1

Keraguan yang Hilang

Senin, 13 Februari 2017

Keraguan yang Hilang

Baca: Yohanes 11:1-16

11:1 Ada seorang yang sedang sakit, namanya Lazarus. Ia tinggal di Betania, kampung Maria dan adiknya Marta.

11:2 Maria ialah perempuan yang pernah meminyaki kaki Tuhan dengan minyak mur dan menyekanya dengan rambutnya.

11:3 Dan Lazarus yang sakit itu adalah saudaranya. Kedua perempuan itu mengirim kabar kepada Yesus: “Tuhan, dia yang Engkau kasihi, sakit.”

11:4 Ketika Yesus mendengar kabar itu, Ia berkata: “Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan.”

11:5 Yesus memang mengasihi Marta dan kakaknya dan Lazarus.

11:6 Namun setelah didengar-Nya, bahwa Lazarus sakit, Ia sengaja tinggal dua hari lagi di tempat, di mana Ia berada;

11:7 tetapi sesudah itu Ia berkata kepada murid-murid-Nya: “Mari kita kembali lagi ke Yudea.”

11:8 Murid-murid itu berkata kepada-Nya: “Rabi, baru-baru ini orang-orang Yahudi mencoba melempari Engkau, masih maukah Engkau kembali ke sana?”

11:9 Jawab Yesus: “Bukankah ada dua belas jam dalam satu hari? Siapa yang berjalan pada siang hari, kakinya tidak terantuk, karena ia melihat terang dunia ini.

11:10 Tetapi jikalau seorang berjalan pada malam hari, kakinya terantuk, karena terang tidak ada di dalam dirinya.”

11:11 Demikianlah perkataan-Nya, dan sesudah itu Ia berkata kepada mereka: “Lazarus, saudara kita, telah tertidur, tetapi Aku pergi ke sana untuk membangunkan dia dari tidurnya.”

11:12 Maka kata murid-murid itu kepada-Nya: “Tuhan, jikalau ia tertidur, ia akan sembuh.”

11:13 Tetapi maksud Yesus ialah tertidur dalam arti mati, sedangkan sangka mereka Yesus berkata tentang tertidur dalam arti biasa.

11:14 Karena itu Yesus berkata dengan terus terang: “Lazarus sudah mati;

11:15 tetapi syukurlah Aku tidak hadir pada waktu itu, sebab demikian lebih baik bagimu, supaya kamu dapat belajar percaya. Marilah kita pergi sekarang kepadanya.”

11:16 Lalu Tomas, yang disebut Didimus, berkata kepada teman-temannya, yaitu murid-murid yang lain: “Marilah kita pergi juga untuk mati bersama-sama dengan Dia.”

Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya dan sebelum aku mencucukkan jariku ke dalam bekas paku itu dan mencucukkan tanganku ke dalam lambung-Nya, sekalikali aku tidak akan percaya. —Yohanes 20:25

Keraguan yang Hilang

Kita mengenalnya sebagai “Tomas si Peragu” (baca Yoh. 20:24-29), tetapi julukan itu sebenarnya tidak begitu adil. Lagipula, berapa banyak dari kita yang benar-benar percaya bahwa pemimpin kita yang dihukum mati telah bangkit dari kematian? Kita mungkin bisa menjulukinya “Tomas si Pemberani”. Setidaknya Tomas menunjukkan keberanian yang luar biasa pada saat Yesus sedang menjalani peristiwa demi peristiwa menjelang kematian-Nya.

Setelah Lazarus mati, Yesus berkata, “Mari kita kembali lagi ke Yudea” (Yoh. 11:7), dan itu diprotes oleh murid-murid-Nya. Kata mereka, “Rabi, baru-baru ini orang-orang Yahudi mencoba melempari Engkau, masih maukah Engkau kembali ke sana?” (ay.8). Tomaslah yang berkata, “Marilah kita pergi juga untuk mati bersama-sama dengan Dia” (ay.16).

Tindakan Tomas ternyata tidak sebanding dengan niatnya. Pada saat Yesus ditangkap, Tomas pun melarikan diri bersama murid-murid lain (Mat. 26:56), dan hanya Petrus dan Yohanes yang mendampingi Kristus hingga ke halaman Imam Besar. Hanya Yohanes yang terus mengikuti Yesus hingga ke bawah salib-Nya.

Walaupun sudah menyaksikan kebangkitan Lazarus (Yoh. 11:38-44), Tomas masih sulit mempercayai bahwa Tuhan Yesus yang disalibkan itu telah mengalahkan kematian. Setelah Tomas si Peragu yang manusiawi itu melihat Tuhan yang telah bangkit, barulah ia berkata, “Ya Tuhanku dan Allahku!” (Yoh. 20:28). Respons Yesus memberikan keyakinan kepada si peragu dan penghiburan yang tak terkira kepada kita semua: “Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya. Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya” (ay.29). —Tim Gustafson

Bapa, ajar kami bertindak menurut apa yang kami yakini tentang Engkau dan kebaikan-Mu, dan beriman kepada-Mu atas apa yang tidak kami ketahui.

Orang yang murni keraguannya akan mencari jalan menuju terang, tetapi orang yang tidak percaya merasa puas berdiam dalam kegelapan.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 14; Matius 26:51-75

Artikel Terkait:

Tomas, Si Peragu

Mendengar nama Tomas, salah satu murid Yesus, yang ada di benak kita adalah sikap keraguannya pada kebangkitan Yesus. Ia tidak percaya bahwa Yesus telah bangkit, sebelum ia melihatnya sendiri. Sikap Tomas yang pesimis ini juga mengingatkanku akan keraguan yang pernah aku alami.

Baca selengkapnya di dalam artikel ini.

Keraguan Dan Iman

Minggu, 12 Agustus 2012

Keraguan Dan Iman

Baca: Yohanes 20:24-31

Ya Tuhanku dan Allahku! —Yohanes 20:28

Apakah seseorang yang percaya kepada Yesus, yang terkadang memiliki keraguan tentang hal-hal yang menyangkut imannya, dapat tetap efektif dalam melayani Tuhan? Ada yang berpikir bahwa orang Kristen yang dewasa dan bertumbuh dalam iman tidak akan pernah mempertanyakan keyakinan mereka. Namun sama seperti kita memiliki beragam pengalaman yang membangun iman kita, kita juga dapat memiliki pengalaman yang menyebabkan keraguan sesaat.

Seorang murid bernama Tomas awalnya ragu terhadap kabar kebangkitan Yesus. Ia berkata, “Sebelum aku melihat bekas paku pada tangan-Nya . . . sekali-kali aku tidak akan percaya” (Yoh. 20:25). Kristus tidak menegur Tomas melainkan memberinya bukti yang diminta. Takjub melihat Sang Juruselamat yang telah bangkit itu, Tomas berseru: “Ya Tuhanku dan Allahku!” (20:28). Setelah peristiwa itu, Perjanjian Baru tidak mencatat lagi tentang apa yang terjadi pada Tomas.

Akan tetapi, sejumlah kepercayaan dari gereja mula-mula menyatakan bahwa Tomas pergi ke India sebagai misionaris. Dikatakan bahwa saat berada di sana, ia mengabarkan Injil, melakukan mukjizat, dan membangun gereja. Beberapa dari gereja di India ini masih aktif dalam pelayanan dan dapat menelusuri sejarah mereka sampai ke masa Tomas hidup.

Saat-saat penuh keraguan tidak harus terjadi terus-menerus dalam kehidupan kita. Izinkanlah Allah untuk memimpin Anda kepada pengertian yang lebih mendalam tentang kehadiran-Nya yang nyata. Perbaruilah iman Anda. Anda masih dapat menggenapi hal-hal besar bagi-Nya. —HDF

Saat iman melemah dan keraguan meningkat,
Ingatlah akan kasih dan kepedulian Allah;
Ingatkanlah dirimu semua yang telah Dia perbuat
Dan saat-saat Dia menjawab doamu. —D. De Haan

Belajarlah meragukan keraguan Anda dan meyakini keyakinan Anda.

Bertanyalah

Selasa, 10 Juli 2012

Bertanyalah

Baca: Lukas 7:18-28

Pergilah, dan katakanlah kepada Yohanes apa yang kamu lihat dan kamu dengar: Orang buta melihat, orang lumpuh berjalan, . . . kepada orang miskin diberitakan kabar baik. —Lukas 7:22

Wajar jika ketakutan dan keraguan terkadang muncul dalam benak kita. “Bagaimana jika ternyata surga itu tidak ada?” “Apakah Yesus satu-satunya jalan menuju Allah?” “Apakah cara saya menjalani hidup akan diperhitungkan?” Pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidak boleh dijawab dengan tergesa-gesa atau seenaknya.

Yohanes Pembaptis, yang disebut Yesus sebagai nabi yang terbesar (Luk. 7:28), mempertanyakan beberapa hal sesaat sebelum penghukumannya (ay.19). Ia ingin tahu dengan pasti apakah Yesus itu Mesias dan apakah pelayanannya selama ini sudah benar.

Jawaban Yesus adalah suatu jawaban menghibur yang dapat kita teladani. Alih-alih mengabaikan keraguan Yohanes atau mengkritiknya, Yesus merujuk pada mukjizat-mukjizat yang sedang dilakukan-Nya. Sebagai saksi mata, murid-murid Yohanes dapat menghadap kembali dengan membawa keyakinan teguh bagi guru mereka. Namun bukan itu saja yang Dia lakukan—Dia juga menggunakan perkataan dan ungkapan (ay.22) dari nubuat Nabi Yesaya mengenai Mesias yang akan datang (Yes. 35:4-6; 61:1). Semua ini pasti telah dikenal baik oleh Yohanes.

Lalu, berkata kepada orang banyak, Yesus memuji Yohanes (Luk. 7:24-28), menghilangkan keraguan yang mengatakan Dia tersinggung oleh pertanyaan yang menuntut kepastian dari Yohanes yang selama ini telah menyaksikan pelayanan Yesus (Mat. 3:13-17).

Sikap mempertanyakan maupun meragukan sesuatu adalah respons manusiawi yang dapat dimengerti. Kedua sikap itu merupakan kesempatan yang diberikan untuk mengingatkan, memastikan, dan menghibur orang-orang yang terguncang oleh keragu-raguan. —RKK

Saat jiwaku yang miskin terdampar dalam ragu
Dan kegelapan menutupi wajah Juruselamat,
Kasih dan kebenaran-Nya mengenggamku erat
Karena Dia ‘kan mendekapku dalam karunia-Nya. —D. De Haan

Kita menerima kepastian saat kita meragukan apa yang kita pertanyakan dan meyakini apa yang kita percayai.