Tak Diabaikan-Nya Ratapan Kita

Oleh Yawan Yafet Wirawan, Jakarta

Karena pandemi, hari-hari ini kita mudah melihat orang-orang yang mengeluh dan meratap. Ada yang gajinya dipotong, kewalahan karena tugas sekolah yang sangat banyak, tak bisa hangout dengan teman atau pacar, atau bahkan ada pula yang meratap karena ditinggal selama-lamanya oleh orang-orang terkasih.

Aku sendiri pun tak luput dari kesusahan-kesusahan tersebut. Rasanya tugas-tugasku sangat banyak, kapan aku bisa istirahat? Aku bosan tidak bisa keluar untuk beli ini itu, kapan masa ini berakhir? Aku ingin pulang ke rumah berkumpul bersama keluarga. Aku yakin setiap kita pun punya keluhannya sendiri-sendiri.

Di tengah beragam keluhan itu, beberapa hari ini aku teringat kembali akan renungan yang pernah dibawakan oleh seorang dosen di kampusku. Renungan ini bertajuk A Cry for Lament atau sebuah teriakan untuk ratapan, yang terambil dari Keluaran 2:23-25. Penggalan firman Tuhan itu menceritakan keadaan ketika bangsa Israel hidup dalam perbudakan bangsa Mesir. Mereka ditindas dengan cara melakukan kerja paksa. Bayi laki-laki dan perempuan Israel terancam dibunuh dan dilemparkan ke sungai Nil. Penderitaan ini membuat bangsa Israel mengerang dan berteriak pada Allah.

Allah mendengar seruan Israel. Allah mengingat kovenan yang dibuat-Nya dengan Abraham, Ishak, dan Yakub. ‘Mengingat’ di sini bukan berarti Allah hanya mengenang, tapi Allah sungguh bertindak. Allah mengutus Musa sebagai pemimpin yang kelak membawa bangsa Israel keluar dari tanah perbudakan.

Kisah pertolongan Allah atas Israel mengingatkanku bahwa Allah sejatinya tidak mengabaikan ratapan umat-Nya. Namun, ratapan seperti apakah yang seharusnya kita lakukan ketika kita menghadapi penindasan atau penderitaan? N.T Wright, seorang hamba Tuhan dan sarjana Perjanjian Baru mengatakan bahwa ratapan adalah momen ketika kita mengakui dengan jujur bahwa kita sama sekali tidak mengetahui alasan di balik suatu kejadian ataupun hasil akhirnya.

Habakuk meratap pada Tuhan, “Berapa lama lagi Tuhan aku berteriak tetapi tidak Kau dengar, aku berseru kepada-Mu ‘penindasan’ tetapi tidak Kau tolong” (Habakuk 1:2). Dalam ratapannya, Habakuk bertanya-tanya bilamana Allah akan menolong umat-Nya. Meskipun Habakuk kala itu tak tahu persis kapan pertolongan-Nya akan terjadi, ratapan Habakuk tidak membawanya menjadi semakin sedih dan terpuruk, tetapi iman dan harapan yang kembali ditambatkannya kepada Allah. Ungkapan iman dan harapan tersebut dapat kita simak di Habakuk 3:17-18.

Jika aku berkaca pada diriku sendiri, kadang ketika aku meratap, aku tidak berfokus kepada Tuhan. Aku meratap dan mengeluh hanya karena kesulitan dan kesakitan yang kualami, lalu aku berupaya mencari-cari cara sendiri untuk keluar dari permasalahan yang kuhadapi. Aku ingin supaya Tuhan cepat-cepat melepaskan semua pergumulanku, tanpa memberi ruang dalam hatiku untuk bertanya apa yang Allah kehendaki dari penderitaan ini? Apa yang Allah ingin aku pelajari dari penderitaan ini?

Seorang penulis terkenal, C.S Lewis dalam bukunya, The Problem of Pain, pernah melontarkan pertanyaan pada Tuhan:

“Tuhan mengapa Engkau lebih mudah ditemui saat hidup ini berjalan lancar, tetapi begitu sulit aku temui ketika hidup ini membutuhkan pertolongan-Mu?”

Pernyataan Lewis mungkin mewakili keadaan kita. Teriakan, jeritan, dan ratapan kita seolah tak mengubah keadaan. Kita merasa Tuhan berdiam diri tanpa memberi jawaban. Namun, itu terjadi karena seringkali kita hanya ingin jalan keluar yang instan. Dalam keadaan seperti itu, aku hanya menjadikan Allah sebagai alat untuk menyediakan jalan keluar atas masalah yang kuhadapi.

Sebagaimana Allah menjawab seruan Israel dan juga orang-orang pilihan-Nya, sejatinya ratapan kita pun tak diabaikan-Nya. Tidak semua pertanyaan Habakuk dijawab Tuhan, tapi di tengah situasi demikian, Habakuk memutuskan untuk tetap percaya dan berharap kepada Tuhan. Kita bisa meneladani Habakuk, bahwa dalam masa-masa sulit yang kita hadapi, biarlah iman kita menjadi murni.

Kita dapat membawa seluruh kegelisahan yang kita alami, keraguan yang kita miliki, kesakitan yang kita rasakan ke hadapan Allah tanpa perlu menyembunyikan apa pun.

Aku tidak tahu apa yang menjadi pergumulan masing-masing kita, tetapi saat ini aku ingin mengajak kita semua agar dalam masa-masa sulit sekalipun, kita membuka hati untuk menyampaikan ratapan kita dan berfokus kepada Allah saja.

Baca Juga:

Kebohongan yang Kita Genggam, Membuat Kita Mudah Menyerah

Kita sering diperhadapkan dengan pernyataan-pernyataan yang tidak bisa diuji kebenarannya. Misalnya, “Duh, ngapain pacaran jarak jauh, nanti ujung-ujungnya putus.”. Lantas, bagaimanakah seharusnya kita menyikapinya?

Bagikan Konten Ini
4 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *