Posts

Merayakan Duka

Oleh Triska Zagoto, Medan

Penghujung bulan Oktober lalu hadir dengan kisah duka yang menyisakan pilu, dan kuyakin di bulan yang sama di tahun depan pun memori kehilangan ini akan mengurai air mata. Ada dua ibadah penghiburan yang kuhadiri dalam rentang waktu kurang dari 24 jam. Sebagai orang yang memiliki pengalaman dukakehilangan seorang yang dikasihi sebelas tahun yang lalu, ternyata perasaan yang sulit dipahami dan tak dapat dijelaskan akan kehilangan itu masih ada… atau mungkin akan terus ada.

Ada perasaan campur aduk antara kehilangan dan belajar menerimanya. Belajar menerima kehilangan itu membutuhkan proses bertahun-tahun, atau mungkin berpuluh-puluh tahun. Nicholas Wolterstorff, seorang teolog dan filsuf, dalam bukunya Ratapan Bagi Putra (judul asli: Lament for a Son), buku tipis yang berisi catatan harian beliau setelah kehilangan putranya Erick, mengatakan, Memang itulah yang seharusnya terjadi, apabila ia bernilai untuk dicintai, maka ia pun bernilai menerima rasa duka kita. Kedukaan merupakan kesaksian kehidupan tentang nilai seseorang yang dikasihi. Nilai itu akan terus ada. Sepenggal kalimat ini menyadarkanku bahwa kedukaan adalah momen untuk mengingat dan mengenang mereka yang pernah Tuhan hadirkan di hidup kita.

Menerima Kehilangan sebagai Bagian dari Hidup

Seorang pendeta dalam khotbahnya pernah mengatakan bahwa kehidupan kita ini bersifat transisi. Seperti halnya halte, stasiun, pelabuhan, dan bandara adalah tempat perhentian untuk kita menuju suatu tempat. Ya, kita akan menuju ke suatu tempat! Namun kita tahu bahwa dalam masa-masa transisi ini kita akan menjumpai kehilangan demi kehilangan, mengurai air mata demi air mata, menemui pertanyaan-pertanyaan yang tak terjawab, penuh pergulatan iman, pun pergumulan lain-lain. Tuhan menghargai setiap pengalaman-pengalaman itu, dan di sana pulalah Ia hadir dengan segala penghiburan-Nya.

Philip Yancey, dalam salah satu bukunya, mengatakan di Surga sana, ada Pribadi Allah yang memiliki bekas-bekas luka, yang karena itu Dia sangat memahami semua rasa yang mungkin ada saat penderitaan itu dialami oleh manusia. Di dalam proses menerima kehilangan tahun demi tahun, aku semakin belajar bahwa Allah yang kita sembah itu bukan saja Allah dari orang-orang yang menderita, tetapi Allah yang juga menderita. Maka kita pun mengerti bahwa Allah memberi dan menyediakan ruang yang luas untuk kita berkeluh kesah dan berduka.

Allah yang Hadir Bersama

Namun, mengetahui dan menyadari kebenaran ini tidak membuat kedukaan bisa kita jalani dengan instan. Tentu saja hari-hari setelah kehilangan itu masih terasa berat,. membentangkan satu realita yang sulit diterima yaitu tentang hal yang tidak akan pernah terulang lagi. Tentang tidak akan pernah ada lagi suara, canda, tawa, nasihat, pelukan, dan kehadiran mereka yang kita kasihi. Semuanya akan menjadi kenangan yang akan sering menyapa di waktu-waktu sendirian dan mungkin pertanyaan “Mengapa, Tuhan?” akan dengan lantang kita teriakkan di malam-malam gelap. Namun, Allah yang turut merasakan penderitaan kita itu adalah Allah yang bersetia, setiap hari, setiap waktu. Seperti pemazmur dalam doanya: “Inilah penghiburanku dalam sengsaraku, bahwa janji-Mu menghidupkan aku.” (Mazmur 119:50). Di dalam kerapuhan itu, Allah hadir bersama kita selangkah demi selangkah.

Penghiburan Kita

Menerima realita bahwa hidup saat ini bersifat transisi, adalah hal yang penting untuk direnungkan ke mana kita sedang menuju. Menerima bahwa kematian dapat menyambut siapa saja, termasuk kita, adalah realita yang menyadarkan bahwa kita ini rapuh, kita ini fana. Namun, dalam Alkitab kita menemukan ternyata kematian itu bukanlah akhir. Jawab Yesus: “Akulah kebangkitan dan hidup; barangsiapa percaya kepada-Ku, ia akan hidup walaupun ia sudah mati, dan setiap orang yang hidup dan yang percaya kepada-Ku, tidak akan mati selama-lamanya.” (Yohanes 11:25-26). Inilah pengharapan kekal yang kita miliki, sebagai orang percaya kita akan dibangkitkan sama seperti Yesus telah bangkit dan akan bersama-sama dengan Dia di Surga. Inilah penghiburan yang tak dapat ditawarkan oleh dunia. Inilah penghiburan yang menguatkan hati dan memantapkan langkah-langkah kita untuk menjalani hari-hari sampai waktu kita tiba.

Di dalam pengalaman duka yang kualami, Tuhan memberiku kesempatan-kesempatan untuk merayakannya. Entah dalam ketakutan, pun keindahan ketika aku boleh menyaksikan rahmat-Nya merengkuhku yang kian hari menumbuhkan iman dan pengenalanku akan Dia. Memberi ruang bebas yang tak terbatas untuk siapapun boleh datang pada-Nya adalah salah satu dari sekian banyak bukti bahwa Tuhan menghargai setiap kegelisahan, kepedihan, ketakutan, dan air mata kita.

Selamat merayakan duka untuk siapapun yang tengah kehilangan atau bagi kamu yang sedang belajar menerimanya.

“Dan aku mendengar suara dari sorga berkata: Tuliskan: ‘Berbahagialah orang-orang mati yang mati dalam Tuhan, sejak sekarang ini. ‘ ‘Sungguh,’ kata Roh, ‘supaya mereka boleh beristirahat dari jerih lelah mereka, karena segala perbuatan mereka menyertai mereka.” (Wahyu 14:13).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Tak Diabaikan-Nya Ratapan Kita

Oleh Yawan Yafet Wirawan, Jakarta

Karena pandemi, hari-hari ini kita mudah melihat orang-orang yang mengeluh dan meratap. Ada yang gajinya dipotong, kewalahan karena tugas sekolah yang sangat banyak, tak bisa hangout dengan teman atau pacar, atau bahkan ada pula yang meratap karena ditinggal selama-lamanya oleh orang-orang terkasih.

Aku sendiri pun tak luput dari kesusahan-kesusahan tersebut. Rasanya tugas-tugasku sangat banyak, kapan aku bisa istirahat? Aku bosan tidak bisa keluar untuk beli ini itu, kapan masa ini berakhir? Aku ingin pulang ke rumah berkumpul bersama keluarga. Aku yakin setiap kita pun punya keluhannya sendiri-sendiri.

Di tengah beragam keluhan itu, beberapa hari ini aku teringat kembali akan renungan yang pernah dibawakan oleh seorang dosen di kampusku. Renungan ini bertajuk A Cry for Lament atau sebuah teriakan untuk ratapan, yang terambil dari Keluaran 2:23-25. Penggalan firman Tuhan itu menceritakan keadaan ketika bangsa Israel hidup dalam perbudakan bangsa Mesir. Mereka ditindas dengan cara melakukan kerja paksa. Bayi laki-laki dan perempuan Israel terancam dibunuh dan dilemparkan ke sungai Nil. Penderitaan ini membuat bangsa Israel mengerang dan berteriak pada Allah.

Allah mendengar seruan Israel. Allah mengingat kovenan yang dibuat-Nya dengan Abraham, Ishak, dan Yakub. ‘Mengingat’ di sini bukan berarti Allah hanya mengenang, tapi Allah sungguh bertindak. Allah mengutus Musa sebagai pemimpin yang kelak membawa bangsa Israel keluar dari tanah perbudakan.

Kisah pertolongan Allah atas Israel mengingatkanku bahwa Allah sejatinya tidak mengabaikan ratapan umat-Nya. Namun, ratapan seperti apakah yang seharusnya kita lakukan ketika kita menghadapi penindasan atau penderitaan? N.T Wright, seorang hamba Tuhan dan sarjana Perjanjian Baru mengatakan bahwa ratapan adalah momen ketika kita mengakui dengan jujur bahwa kita sama sekali tidak mengetahui alasan di balik suatu kejadian ataupun hasil akhirnya.

Habakuk meratap pada Tuhan, “Berapa lama lagi Tuhan aku berteriak tetapi tidak Kau dengar, aku berseru kepada-Mu ‘penindasan’ tetapi tidak Kau tolong” (Habakuk 1:2). Dalam ratapannya, Habakuk bertanya-tanya bilamana Allah akan menolong umat-Nya. Meskipun Habakuk kala itu tak tahu persis kapan pertolongan-Nya akan terjadi, ratapan Habakuk tidak membawanya menjadi semakin sedih dan terpuruk, tetapi iman dan harapan yang kembali ditambatkannya kepada Allah. Ungkapan iman dan harapan tersebut dapat kita simak di Habakuk 3:17-18.

Jika aku berkaca pada diriku sendiri, kadang ketika aku meratap, aku tidak berfokus kepada Tuhan. Aku meratap dan mengeluh hanya karena kesulitan dan kesakitan yang kualami, lalu aku berupaya mencari-cari cara sendiri untuk keluar dari permasalahan yang kuhadapi. Aku ingin supaya Tuhan cepat-cepat melepaskan semua pergumulanku, tanpa memberi ruang dalam hatiku untuk bertanya apa yang Allah kehendaki dari penderitaan ini? Apa yang Allah ingin aku pelajari dari penderitaan ini?

Seorang penulis terkenal, C.S Lewis dalam bukunya, The Problem of Pain, pernah melontarkan pertanyaan pada Tuhan:

“Tuhan mengapa Engkau lebih mudah ditemui saat hidup ini berjalan lancar, tetapi begitu sulit aku temui ketika hidup ini membutuhkan pertolongan-Mu?”

Pernyataan Lewis mungkin mewakili keadaan kita. Teriakan, jeritan, dan ratapan kita seolah tak mengubah keadaan. Kita merasa Tuhan berdiam diri tanpa memberi jawaban. Namun, itu terjadi karena seringkali kita hanya ingin jalan keluar yang instan. Dalam keadaan seperti itu, aku hanya menjadikan Allah sebagai alat untuk menyediakan jalan keluar atas masalah yang kuhadapi.

Sebagaimana Allah menjawab seruan Israel dan juga orang-orang pilihan-Nya, sejatinya ratapan kita pun tak diabaikan-Nya. Tidak semua pertanyaan Habakuk dijawab Tuhan, tapi di tengah situasi demikian, Habakuk memutuskan untuk tetap percaya dan berharap kepada Tuhan. Kita bisa meneladani Habakuk, bahwa dalam masa-masa sulit yang kita hadapi, biarlah iman kita menjadi murni.

Kita dapat membawa seluruh kegelisahan yang kita alami, keraguan yang kita miliki, kesakitan yang kita rasakan ke hadapan Allah tanpa perlu menyembunyikan apa pun.

Aku tidak tahu apa yang menjadi pergumulan masing-masing kita, tetapi saat ini aku ingin mengajak kita semua agar dalam masa-masa sulit sekalipun, kita membuka hati untuk menyampaikan ratapan kita dan berfokus kepada Allah saja.

Baca Juga:

Kebohongan yang Kita Genggam, Membuat Kita Mudah Menyerah

Kita sering diperhadapkan dengan pernyataan-pernyataan yang tidak bisa diuji kebenarannya. Misalnya, “Duh, ngapain pacaran jarak jauh, nanti ujung-ujungnya putus.”. Lantas, bagaimanakah seharusnya kita menyikapinya?