Posts

Tak Diabaikan-Nya Ratapan Kita

Oleh Yawan Yafet Wirawan, Jakarta

Karena pandemi, hari-hari ini kita mudah melihat orang-orang yang mengeluh dan meratap. Ada yang gajinya dipotong, kewalahan karena tugas sekolah yang sangat banyak, tak bisa hangout dengan teman atau pacar, atau bahkan ada pula yang meratap karena ditinggal selama-lamanya oleh orang-orang terkasih.

Aku sendiri pun tak luput dari kesusahan-kesusahan tersebut. Rasanya tugas-tugasku sangat banyak, kapan aku bisa istirahat? Aku bosan tidak bisa keluar untuk beli ini itu, kapan masa ini berakhir? Aku ingin pulang ke rumah berkumpul bersama keluarga. Aku yakin setiap kita pun punya keluhannya sendiri-sendiri.

Di tengah beragam keluhan itu, beberapa hari ini aku teringat kembali akan renungan yang pernah dibawakan oleh seorang dosen di kampusku. Renungan ini bertajuk A Cry for Lament atau sebuah teriakan untuk ratapan, yang terambil dari Keluaran 2:23-25. Penggalan firman Tuhan itu menceritakan keadaan ketika bangsa Israel hidup dalam perbudakan bangsa Mesir. Mereka ditindas dengan cara melakukan kerja paksa. Bayi laki-laki dan perempuan Israel terancam dibunuh dan dilemparkan ke sungai Nil. Penderitaan ini membuat bangsa Israel mengerang dan berteriak pada Allah.

Allah mendengar seruan Israel. Allah mengingat kovenan yang dibuat-Nya dengan Abraham, Ishak, dan Yakub. ‘Mengingat’ di sini bukan berarti Allah hanya mengenang, tapi Allah sungguh bertindak. Allah mengutus Musa sebagai pemimpin yang kelak membawa bangsa Israel keluar dari tanah perbudakan.

Kisah pertolongan Allah atas Israel mengingatkanku bahwa Allah sejatinya tidak mengabaikan ratapan umat-Nya. Namun, ratapan seperti apakah yang seharusnya kita lakukan ketika kita menghadapi penindasan atau penderitaan? N.T Wright, seorang hamba Tuhan dan sarjana Perjanjian Baru mengatakan bahwa ratapan adalah momen ketika kita mengakui dengan jujur bahwa kita sama sekali tidak mengetahui alasan di balik suatu kejadian ataupun hasil akhirnya.

Habakuk meratap pada Tuhan, “Berapa lama lagi Tuhan aku berteriak tetapi tidak Kau dengar, aku berseru kepada-Mu ‘penindasan’ tetapi tidak Kau tolong” (Habakuk 1:2). Dalam ratapannya, Habakuk bertanya-tanya bilamana Allah akan menolong umat-Nya. Meskipun Habakuk kala itu tak tahu persis kapan pertolongan-Nya akan terjadi, ratapan Habakuk tidak membawanya menjadi semakin sedih dan terpuruk, tetapi iman dan harapan yang kembali ditambatkannya kepada Allah. Ungkapan iman dan harapan tersebut dapat kita simak di Habakuk 3:17-18.

Jika aku berkaca pada diriku sendiri, kadang ketika aku meratap, aku tidak berfokus kepada Tuhan. Aku meratap dan mengeluh hanya karena kesulitan dan kesakitan yang kualami, lalu aku berupaya mencari-cari cara sendiri untuk keluar dari permasalahan yang kuhadapi. Aku ingin supaya Tuhan cepat-cepat melepaskan semua pergumulanku, tanpa memberi ruang dalam hatiku untuk bertanya apa yang Allah kehendaki dari penderitaan ini? Apa yang Allah ingin aku pelajari dari penderitaan ini?

Seorang penulis terkenal, C.S Lewis dalam bukunya, The Problem of Pain, pernah melontarkan pertanyaan pada Tuhan:

“Tuhan mengapa Engkau lebih mudah ditemui saat hidup ini berjalan lancar, tetapi begitu sulit aku temui ketika hidup ini membutuhkan pertolongan-Mu?”

Pernyataan Lewis mungkin mewakili keadaan kita. Teriakan, jeritan, dan ratapan kita seolah tak mengubah keadaan. Kita merasa Tuhan berdiam diri tanpa memberi jawaban. Namun, itu terjadi karena seringkali kita hanya ingin jalan keluar yang instan. Dalam keadaan seperti itu, aku hanya menjadikan Allah sebagai alat untuk menyediakan jalan keluar atas masalah yang kuhadapi.

Sebagaimana Allah menjawab seruan Israel dan juga orang-orang pilihan-Nya, sejatinya ratapan kita pun tak diabaikan-Nya. Tidak semua pertanyaan Habakuk dijawab Tuhan, tapi di tengah situasi demikian, Habakuk memutuskan untuk tetap percaya dan berharap kepada Tuhan. Kita bisa meneladani Habakuk, bahwa dalam masa-masa sulit yang kita hadapi, biarlah iman kita menjadi murni.

Kita dapat membawa seluruh kegelisahan yang kita alami, keraguan yang kita miliki, kesakitan yang kita rasakan ke hadapan Allah tanpa perlu menyembunyikan apa pun.

Aku tidak tahu apa yang menjadi pergumulan masing-masing kita, tetapi saat ini aku ingin mengajak kita semua agar dalam masa-masa sulit sekalipun, kita membuka hati untuk menyampaikan ratapan kita dan berfokus kepada Allah saja.

Baca Juga:

Kebohongan yang Kita Genggam, Membuat Kita Mudah Menyerah

Kita sering diperhadapkan dengan pernyataan-pernyataan yang tidak bisa diuji kebenarannya. Misalnya, “Duh, ngapain pacaran jarak jauh, nanti ujung-ujungnya putus.”. Lantas, bagaimanakah seharusnya kita menyikapinya?

P3K: Pedoman Penting untuk Pengikut Kristus

Pedoman Penting untuk Pengikut Kristus | Tiap hari menyajikan tantangan. Untuk bisa menghadapinya, kita perlu berpegang pada dasar yang teguh: firman Tuhan. Tatkala hati kita dipenuhi oleh firman-Nya, hari-hari mungkin tak selalu baik, tapi kita selalu bisa mengecap hal-hal baik di dalamnya. Dan, tentunya juga berbuah bagi sesama.

Dari Danny, Aku Belajar Mengasihi Tanpa Syarat

Oleh Nerissa Archangely, Tangerang

Adikku bernama Danny, usianya 25 tahun. Dia anak yang istimewa dengan retardasi mental, tapi satu yang kuingat adalah dia selalu tersenyum apa pun yang terjadi. Saat bicara, pasti gigi-giginya akan terlihat. Walau sering dimarahi, atau kadang dipukul, dia tetap saja bisa tertawa. Rumah kami pun selalu ramai kalau ada Danny.

Namun, perubahan besar terjadi saat mamaku mendapat serangan stroke. Beliau lumpuh separuh badan dan sulit bicara. Kejadian itu terjadi di Februari 2020, beberapa hari sebelum Imlek. Papaku yang sangat syok dan depresi juga jadi sulit melakukan aktivitas sehari-hari seperti makan, mandi, tidur, dan sebagainya. Danny yang biasanya mendapatkan perhatian dan asuhan penuh dari kedua orang tua pun jadi terlantar. Akhirnya, kami sekeluarga berembuk dan dengan berat hati kami menitipkan Danny di sebuah panti rehabilitasi Bethesda yang dikelola oleh Ps. Irwan Silaban, MARS (Manajemen RS) di Bogor. Namun belum genap satu bulan, kami dihubungi panti untuk menjemput Danny di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Marzoeki Mahdi (RSMM). Alasannya, Danny sudah empat hari lebih tidak makan. Dia mengalami perburukan gizi, badannya lemas. Saat itu dia diinfus dan dipasangi selang untuk mensuplai makanan ke dalam tubuhnya.

Berbekal info tersebut, aku dan suamiku pergi ke sana untuk melihat Danny secara langsung. Keadaan Danny rupanya lebih buruk dari gambaran kami. Danny terbaring lemas sulit bergerak, tidak bisa bicara. Tawanya kini berganti dengan erangan tertahan, terlebih ada memar-memar di sekujur tubuhnya. Bahkan, didapati ada kerusakan fungsi liver. Kami putuskan untuk merawat Danny sementara di sini sampai fisiknya pulih. Saat itu, virus Covid-19 sudah menyebar di Indonesia dan RSMM pun sempat menerima pasien suspect corona. Hingga tanggal 10 April 2020, Danny diizinkan pulang oleh pihak rumah sakit karena intake (kebutuhan gizi) dan fungsi organ vital lainnya sudah stabil.

Karena kondisi orang tua yang tidak memungkinkan lagi untuk merawat Danny, maka aku dan suamiku sepakat untuk merawat Danny di rumah kami. Sangat tidak mudah awalnya, karena kami memang bukan tenaga ahli seperti perawat khusus orang sakit atau homecare. Di tahun ketiga pernikahan kami, di saat kami mengharapkan adanya bayi di tengah keluarga kecil kami, kami seolah-olah mendapatkan ‘bayi besar’ yang setiap hari harus diberi susu, diganti popoknya, dimandikan, dijemur, dan sebagainya. Tapi, anugerah Tuhan tak pernah habis. Aku belajar banyak dari perawat di rumah sakit hingga aku bisa memasang selang NGT sendiri, memandikan di tempat tidur, membersihkan mulut dengan kasa, mengganti popok dengan benar, dan lainnya. Aku juga bersyukur suamiku siap sedia untuk membantu, walau memang awalnya kami jadi sering bertengkar karena selain kesulitan merawat Danny, kami juga khawatir terhadap kedua orang tua kami yang rapuh di tengah masa pandemi. Orangtuaku dirawat oleh adik lelakiku di Tangerang. Bukan hanya kami lelah secara fisik, namun kami juga dirundung oleh beban mental yang besar: khawatir akan kesehatan orang tua dan apakah adikku sanggup merawat mereka seorang diri. Bahkan ada masa-masa di mana aku merasa sangat tertekan hingga tak bisa melihat Allah dan rasanya ingin mati saja. Tapi, dengan segala cara yang ajaib, Tuhan tetap merengkuhku kembali.

Saat dirawat di RSMM itu memang ada indikasi pendarahan di otak Danny serta cedera lainnya, namun kami tak pernah menyangka bahwa bahu kanan Danny ternyata mengalami dislokasi dan open fracture. Hingga sekitar akhir April, kami perhatikan ada memar di bahu kanannya yang berujung pada pembengkakan dan sepsis (nanah yang sudah menginfeksi seluruh tubuh) pada 2 Mei 2020. Kami segera membawa Danny ke RS Medika BSD untuk mendapat penanganan pertama. Diperlukan ICU untuk operasi, tapi tak ada tempat tersedia di sana. Terpaksa kami harus menunggu 3 hari untuk mendapat rujukan. Tak hanya itu, kami juga dihadapkan dengan fakta lain. Danny sempat melalui rapid test Covid-19 dan CT-Scan paru-paru. Hasil CT-Scan menunjukan ground-glass opacification/opacity (GGO), sebuah indikasi kuat dari infeksi Covid-19. Kami menghubungi seluruh rumah sakit di Jakarta dan sekitarnya, namun semuanya menolak karena alasan suspect infeksi Covid-19 dan kompleksnya kondisi Danny (ada open fracture bahu, sepsis, dan anak kebutuhan khusus). Pihak RS Medika menyarankan kami untuk membawa Danny langsung ke RSUP Fatmawati yang punya fasilitas lebih lengkap.

Tanggal 5 Mei 2020, akhirnya Danny dibawa ke IGD RSUP Fatmawati sendiri—tanpa ambulans—dan sungguh karena anugerah Tuhan, dia bisa mendapatkan ruang ICU besoknya. Sebelumnya, Danny membutuhkan darah karena sel darah putihnya semakin meningkat akibat infeksi. Ini membuat sel darah merahnya sangat kurang, sehingga sangat berisiko jika dia dioperasi tanpa ada transfusi darah. Awalnya kami ragu akan dapat donor dengan cepat, terlebih karena stok di PMI pusat pun kosong. Pandemi Covid-19 membuat banyak orang enggan mendonorkan darah. Tetapi jalan Tuhan tidak pernah buntu. Lewat pesan broadcast di Twitter, Instagram dan WhatsApp grup serta dibantu oleh rekan-rekanku sewaktu di PMK POMITI dulu, akhirnya kami bisa mendapatkan donor yang diperlukan. Pihak RS membutuhkan minimal 3 orang sebagai pendonor tapi Tuhan yang Maha Pemurah menyediakan sampai 4 orang. Tuhan seolah ingin menyampaikan bahwa rencana-Nya untuk Danny masih belum usai.

Tuhan terlebih-lebih menyayangi Danny. Tuhan memanggil Danny pulang pada 8 Mei 2020 jam 7 pagi. Sekarang Danny tidak lagi merasakan sakit dan sesak. Danny bisa tertawa lagi bersama Bapa di Surga.

Pemakaman Danny sungguh sepi. Tiada musik, tiada karangan bunga, tiada arak-arakan, bahkan kami pun tak sempat memberikan penghormatan terakhir. Tapi kami yakin Allah Bapa telah menyiapkan pesta meriah untuk kepulangannya. Mungkin dunia menolak Danny, tapi tangan Bapa terbuka lebar menyambut Danny.

Awalnya aku bertanya-tanya apa tujuan Tuhan menjadikan Danny hadir di dunia ini? Mengapa Tuhan izinkan Danny ‘berbeda’?

Kini aku mengerti. Lewat Danny, Tuhan mengajariku untuk bisa mengasihi tanpa syarat, kepada siapa pun, sesulit apa pun situasinya. Hidup Danny walau singkat, memberiku kesan mendalam. Aku tak akan pernah lupa pelajaran hidup dari adikku yang istimewa ini.

Aku pribadi amat bersyukur atas setiap hal yang Tuhan izinkan terjadi dalam hidupku. Bahkan sampai saat ini pun aku merasa aku orang yang amat beruntung. Di tengah situasi yang luar biasa sulit, Tuhan yang penuh kuasa memberikan orang-orang yang luar biasa pula, yang dipakai-Nya untuk menjadi perpanjangan tangan-Nya.

Suamiku, Indra, dia sosok yang sabar mendampingiku. Dia mendukungku di masa-masa terkelamku, tetap mengasihiku dalam kondisi apa pun. Sungguh aku amat beruntung dikasihi dan memilikinya sebagai teman hidupku.

Mertuaku sekeluarga, juga sangat luar biasa mendukung kami secara fisik maupun mental. Aku tahu dari mana kebaikan suamiku berasal. Papa dan mama mertuaku sungguh istimewa, betapa aku beruntung dan bersyukur bisa memanggil mereka ‘papa’ dan ‘mama’.

Keluarga kecilku di guru-guru sekolah Minggu GKY BSD, Laoshi Wiwi sebagai pembina dan secara khusus partner-ku di kelas 2 siang, kalian sungguh luar biasa. Sungguh ucapan terima kasihku rasanya tak cukup membalas setiap chat, telepon, dukungan dana, dan bahan pangan sehari-hari, serta setiap bentuk perhatian yang dicurahkan. Kehadiran mereka ibarat lilin-lilin kecil yang menerangi hatiku yang gelap dan lembab di tengah keterpurukan.

Juga kelompok kecilku sejak di PMK kampus. Meskipun kami hanya berlima, tapi berdampak besar. Meski kami berjauhan, tapi Tuhan selalu mendekatkan hati kami.

Bahkan, Tuhan juga memakai mereka yang belum percaya, dan juga orang-orang yang baru kukenal via media sosial, yang bermurah hati untuk membantu dari segi dana dan siap menjadi pendonor bagi Danny. Betapa Tuhan juga bermurah padaku dengan mengaruniakan seorang atasan yang peduli, penuh pengertian serta suportif terhadap kondisi yang aku alami, sehingga tanggung jawab pekerjaanku dilonggarkan ketika sedang merawat Danny.

Aku tahu kondisi Covid-19 tidak bisa dianggap remeh, tapi aku tahu Tuhan kita Yesus Kristus jauh lebih hebat daripada virus itu. Di atas segala-galanya, Dialah tabib segala tabib yang mampu menyelamatkan bukan hanya fisik, namun jiwa kita pun sanggup Dia selamatkan.

Ayub 1:21 berkata, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!”

Baca Juga:

Ketika Tuhan Mengajarku Melalui Anakku yang Cacat Mental

Vonis dokter bahwa Sharon adalah anak cacat membuatku terkejut. Aku termenung sejenak, mengapa ini semua harus terjadi? Di tengah perenungan itu, aku mengingat bahwa bagaimanapun juga, Sharon adalah anak yang kulahirkan sendiri. Penyakit ini datang bukan karena kesalahan Sharon. Oleh karena itu, tak peduli apapun keadaannya, aku berjanji untuk selalu mengusahakan yang terbaik untuknya.

Dinyatakan Positif COVID-19: Sepenggal Ceritaku Menjalani Isolasi Bersama Tuhan

Oleh Dian Mangedong, Makassar
*Kisah ini ditulis berdasarkan kesaksian dari NA

“Hasil tes swab pegawai sudah keluar, dan kamu hasilnya positif…”

Aku NA, salah satu anggota tim perawatan isolasi Covid di rumah sakit swasta. Mendengar kabar itu dari balik telepon, seketika duniaku runtuh. Aku menangis sejadi-jadinya. Bahkan sakit sekali, mengabari bapak di kampung yang hari itu tepat berulang tahun. Aku tiba-tiba menyesal, kenapa mesti menjadi bagian tim Covid di rumah sakit tempatku bekerja. Masa depanku kurasa hilang begitu saja. Semangat yang biasa kuberi kepada pasien Covid yang kurawat, sekarang hanya sekadar kata-kata belaka. Sebab aku sudah tertular dan positif!

“Jangan panik, jangan stress, percaya saja Tuhan selalu lindungi..” suara direktur rumah sakit dari balik telepon. Walau pagi itu ucapan semangat bertubi-tubi datang kepadaku, baik dari orang tua, sahabat, teman kerja, sungguh tidak ada pengaruhnya. Kukunci kamar dan kubanjiri kasurku sampai basah dengan air mata. Rasa bersalah karena dapat menjadi pembawa virus bagi orang sekitar. Rasa hancur karena diberikan cobaan seperti ini dari Tuhan. Bahkan marah! Kenapa saat aku memberi diri melayani sebagai petugas medis isolasi Covid, Tuhan malah membiarkanku terjangkit virus ini.

Melalui beberapa waktu sendiri, aku bangkit dan bersiap menuju rumah sakit. Aku akan menjalani perawatan isolasi. Di saat itu aku bahkan kesal saat orang-orang hanya mengirimkanku pesan tanpa berani menjengukku. Seketika ilmu yang kupelajari mengenai Covid hilang begitu saja. Aku panik, khawatir, egois, bahkan marah oleh karena pikiran yang kuciptakan sendiri.

Setelah melalui hari yang panjang. Aku merasa lelah dan tetap tidak damai. Aku masuk kategori orang tidak bergejala (OTG) dan perlahan mulai menerima keadaan ini. Satu-satunya cara adalah kembali kepada Tuhan. Seorang pendeta meneleponku dan mengingatkanku lagi tentang kisah Yusuf. Ia dibuang saudaranya, dijual, difitnah, tetapi di balik itu semua Tuhan punya rencana yang besar. Pula tentang Ayub yang tetap bersyukur dan memuliakan Tuhan di setiap pergumulan yang ia hadapi.

Di ruang isolasi aku merenungi semua yang terjadi. Saat itu aku berdoa dan mencurahkan semua kesedihanku kepada Tuhan. Air mata mengalir tetapi hati benar-benar damai. Kutahu Tuhan sudah menunggu saat-saat seperti ini bersamaku. Berdua saja. Intim dan khidmat. Kuingat lagi kata mamaku bahwa kejadian ini bukan petaka namun menjadi waktuku bersama Tuhan, untuk lebih dekat lagi, membaca Alkitab, berkomunikasi dengan-Nya, bahkan berserah penuh.

Sebagai manusia biasa, aku sadar telah melalui masa-masa penolakan dan stress luar biasa. Tetapi dibalik semua aku sangat bersyukur dan jiwaku lega menyadari ada satu jalan tempatku kembali dan merasakan damai, yaitu di dalam Tuhan. Bahkan Tuhan bukannya membuatku terasing di ruangan isolasi ini. Setiap hari kulihat bagaimana cinta nyata-Nya terwujud melalui sesama manusia terhadapku. Mendukungku dengan segala macam cara dan bentuk. Sungguh manis dan mengharukan kasih Tuhan melalui kehadiran kasih mereka.

“Perang baru dimulai!” kataku dengan penuh kekuatan. Aku berusaha menjalani hari-hariku di ruang isolasi dengan energi positif dari firman Tuhan yang senantiasa menguatkan dan menemaniku setiap hari. Hari-hari kulalui dengan bersyukur. Selain menjalani terapi fisik, perbaikan hubungan bersama Tuhan adalah yang paling kurasakan. Bagaimana sempurnanya kasih Tuhan yang bahkan mencintaiku disaat-saat terpuruk sekalipun.

“Satu kali Allah berfirman, dua hal yang aku dengar: bahwa kuasa dari Allah asalnya, dan dari pada-Mu juga kasih setia, ya Tuhan” (Mazmur 62:12-13a).

Ya, aku percaya Tuhan berkuasa atas hidupku, maka aku tenang.

Hari-hari isolasiku telah usai. Hasil tes swab keduaku sudah negatif. Puji Tuhan… Masih perlu satu kali swab lagi untuk menyatakan aku benar-benar bersih dari virus ini. Sampai kumenulis ini tidak ada gejala sama sekali yang kurasakan. Sungguh Tuhan teramat baik terhadap umat-Nya.

Baca Juga:

Kehendak-Nya Tidak Selalu Tentang Mauku

Ketika sesuatu terjadi tak sesuai mau kita, kita mungkin membombardir Tuhan dengan deretan pertanyaan kenapa. Tapi, mengapa tidak menjadikan momen ini sebagai kesempatan untuk melihat dari sudut pandang-Nya?

Tidak Semua Orang Tua

Kadang kita tak menyadari, di balik nada marah, wajah lesu, atau raut kebingungan orang tua kita, tersimpan kasih sayang yang tak terungkapkan dengan kata-kata. Terlebih di masa-masa sulit seperti sekarang ini, orang tua kita tetap berupaya melakukan bagiannya sebaik mungkin bagi keluarganya.

Tak ada orang tua yang sempurna, namun tiap orang tua layak mendapatkan apresiasi, sebab tanpa perjuangan, teladan, dan kasih sayang mereka, takkan muncul generasi mendatang yang tangguh.

Teruntuk Papa, Mama, Ayah, Ibu, terima kasih! Kami mengasihimu.

Kontribusi oleh Yohanes Tenggara dan Grace Tjahyadi ( @dreamslandia dan @gracetjahyadi_ ) untuk Our Daily Bread Ministries (Santapan Rohani dan WarungSaTeKaMu)

Melihat Jelas Batas Antara Hidup dan Mati, Ini Kisahku Menjadi Perawat di Masa Pandemi Covid-19

Oleh Galang Siregar

Sudah enam tahun aku tinggal merantau jauh dari keluarga. Bersama tiga temanku, kami bekerja sebagai perawat di unit perawatan intesif (ICU) di sebuah rumah sakit swasta di Jawa Barat. Ketika virus corona mewabah di Tiongkok, aku tak berpikir kalau virus itu akan masuk ke Indonesia dan menjangkiti banyak orang. Namun, inilah kenyataannya sekarang. Kita sedang bertarung melawan virus-virus tak kasat mata.

Rumah sakit tempatku bekerja sebenarnya bukanlah rumah sakit rujukan untuk COVID-19, namun rumah sakit kami tetap berusaha menangani pasien ODP dan PDP sampai mereka mendapatkan fasilitas rujukan. Tapi, untuk mendapatkan fasilitas rujukan tidak mudah, apalagi jika keadaan pasien semakin memburuk. Pihak rumah sakit kami pun membentuk tim khusus penanganan COVID-19 untuk menangani pasien yang kondisinya memburuk dan tak mendapat rujukan.

Aku terpilih menjadi bagian dari tim tersebut. Tak lama setelah tim terbentuk, datang pasien PDP dengan kondisi sakit berat. Tim kami bertugas di ICU isolasi. Dalam sekali tugas, ada empat perawat yang bertugas dan dibagi menjadi 3 shift bergantian: pagi, siang, dan malam. Dalam setiap shift, satu perawat bertugas merawat dua pasien. Setiap kali melakukan handover dari shift sebelumnya ke shift kami, kami memulainya dengan berdoa.

Kami saling memeriksa apakah sudah aman untuk masuk menangani pasien. Pasien 1, Tn. G, usianya 51 tahun. Dia datang dari UGD dengan kondisi tidak sadar. Nafasnya sudah diintubasi, dibantu oleh mesin ventilator. Tn. G masuk dalam kategori pasien PDP karena berdasar hasil CT-scan terdapat pnemumonia di paru-parunya. Pasien juga sudah menjalani rapid test dan hasilnya reaktif, dan sekarang sedang menunggu giliran diambil sampel swab untuk menegaskan diagonosisnya. Kondisi Tn. G terus memburuk. Tensinya menurun dan harus mengonsumsi obat yang mendukung tensi darahnya. Keluarga sudah diberikan informasi mengenai consent, dan mereka memilih opsi DNR (do not resuscitation) atau tidak perlu diresusitasi untuk mencoba mengembalikan kesadaran. Keluarga menganggap risiko Tn. G untuk kembali sembuh kecil, dan jika opsi resusitasi dilakukan, risiko penularan virus ke petugas medis akan lebih besar.

Meski keadaan Tn. G bisa dikatakan amat buruk, kami tetap berusaha memberikan pelayanan yang terbaik. Kami selalu rutin membilas lambung Tn. G yang kotor dan mengobservasinya, supaya saat lambung itu telah bersih kami bisa memberinya nutrisi. Puji Tuhan! Mukjizat terjadi. Keadaan Tn. G perlahan membaik. Tensinya mulai naik dan Tn. G tidak lagi bergantung pada obat untuk menaikkan tensinya. Kemudian, kami mulai menyetop pemberian obat sedasi (obat penenang) untuk menilai sejauh mana kesadaran Tn. G.

Suatu ketika, aku membangunkan Tn. G dan dia membuka matanya. Kucoba berikan perintah untuk mengedipkan mata dan menggerakkan kaki serta tangan, dan Tn. G mampu melakukannya. Tn. G masih mengenakan ventilator sehingga dia tak dapat bicara. Saat itu aku yakin kesadaran Tn. G sudah membaik, hanya nafasnya saja masih harus dibantu oleh ventilator.

Aku berkata kepada Tn. G. “Bapak jangan khawatir.” Lalu kutanya, “Apakah bapak percaya Tuhan Yesus?” Dia mengedipkan matanya.

Kulanjutkan kalimatku bahwa Tuhan Yesus ada di sini, Tn. G tak perlu khawatir karena keluarganya mendoakan dia, dan aku pun senantiasa ada di dekatnya untuk melayaninya. Setiap kali aku memberikan makan dan obat, aku mengajak Tn. G untuk berdoa bersama. Hasil tes swab sudah diambil, semoga hasilnya baik. Saat ini Tn. G masih dalam perawatan.

Pasien kedua, Ny. P, usianya 77 tahun. Ny. P menjadi PDP karena memiliki riwayat perjalanan ke luar negeri lalu mengalami gejala sesak. Ny. P dibawa dari UGD dalam keadaan sadar namun nafasnya berat. Timku yang terdiri empat perawat bersehati mendoakan Ny. P, merawatnya, sembari memotivasi Ny. P untuk juga berdoa dalam hatinya. Karena nafasnya semakin berat, kami menggunakan ventilator dan dua obat pendukung tensi. Puji Tuhan, keadaan Ny. P semakin membaik. Saat ini kondisi Ny. P tak lagi bergantung pada ventilator dan dia sudah bisa makan menggunakan mulutnya.

Cerita yang kutulis ini adalah sekelumit pengalamanku melayani sebagai petugas medis di garda terdepan. Jika kamu membaca kesaksianku ini, aku mohon kiranya kamu pun berdoa bagi setiap orang yang sakit tanpa melihat latar belakang orang tersebut.

Pandemi virus corona ini hadir secara nyata di tengah kita, namun kita pun yakin bahwa Tuhan Yesus berkarya di tengah-tengah pandemi ini. Dia sanggup menyembuhkan, memulihkan, menghibur, dan memberi kedamaian bagi setiap kita.

Baca Juga:

Menghadapi Disrupsi: Mencoba, atau Menyerah?

Disrupsi, artinya tercabut dari akar. Aktivitas yang dulu dengan mudah kita lakukan secara tatap muka, sekarang terpaksa dikurangi atau ditiadakan. Kita mengubah kebiasaan lama untuk menyesuaikan dengan pola baru. Bagaimana ke depannya?

Menghadapi Disrupsi: Mencoba, atau Menyerah?

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

Siapa sih yang suka kondisi ini?

Sudah sebulan lebih sejak peraturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) diberlakukan di Jakarta dan sekitarnya. Sekarang kota-kota lainnya ikut mengajukan PSBB wilayah. Desa-desa pun tak ketinggalan menetapkan status lockdown mandiri. Para pelajar, pekerja, dan umat beragama pun diminta melakukan aktivitasnya dari rumah saja.

Nyaman? Aku sih tidak!

Pertama kali mengikuti ibadah online 22 Maret 2020 lalu, entah kenapa aku pun mewek, berasa sedih, melow, dan gloomy. Ini baru satu hal yang “tercabut” dari kebiasaan kita. Bagi yang biasa nongkrong atau traveling bareng teman, hari-hari ini jadi sulit karena kita harus melaksanakan physical distancing. Para pelajar dan pekerja pun harus membiasakan diri menggunakan ragam teknologi supaya tugas dan tanggung jawabnya dapat terlaksana walau secara fisik mereka berdiam diri di rumah. Anak kos sepertiku, agak susah mencari tempat makan yang masih berjualan. Kalau pun ada, harus menyesuaikan dengan sistem take away.

Disrupsi pun terjadi! Berbagai kegiatan yang biasanya dilakukan dengan tatap muka terpaksa harus dikurangi atau ditiadakan. Banyak aktivitas, seolah tercabut dari akarnya. Kebiasaan lama perlu diubah untuk menuju sebuah pola yang baru. Siapa yang suka dengan kondisi seperti ini?

Belajar dari RPG/MMORPG

Di tengah kesuntukan seperti ini, mungkin sebagian besar kita mencari hiburan dengan main gim alias game. Salah satu gim yang jadi perbincangan terkini ialah Final Fantasy VII Remake yang dimainkan pada konsol PS4. Aku sih tidak ikut main, tidak cukup uang untuk beli konsolnya, hehe…. Tapi, melihat ulasan yang ditayangkan di YouTube, aku jadi kangen keseruan beberapa tahun silam saat memainkan gim Final Fantasy VII pada konsol PS1.

Aku tentu tidak akan mengulas gim ini karena tidak semua pembaca memainkannya. Hal yang bisa aku pahami dan sampaikan dari gim bergenre Role Playing Game (RPG) maupun Multiplayer Massive Online – RPG (MMORPG) adalah sistem permainan yang mirip dengan kehidupan manusia. Di awal permainan, biasanya kita akan diberikan musuh yang tergolong “mudah”. Setelah itu, karakter kita akan melawan bos, yang lebih susah ditaklukkan.

Dari berbagai pertarungan yang telah dimenangkan dari gim bergenre RPG dan MMORPG, karakter pun bisa naik level, juga skill-nya ikut naik. Semakin sering naik level, semakin mudah menghadapi musuh. Sesuatu yang awalnya nampak susah, ketika semakin sering diperhadapkan dalam pertarungan, lama-lama akan nampak biasa saja.

Ciptaan yang beradaptasi

Seperti nama genre di atas, atau yang diartikan gim berbasiskan permainan peran, tentu terinspirasi dari sesuatu yang nyata, yaitu makhluk hidup. Sistem permainan yang menyediakan tantangan yang susah dan terus dilakukan hingga menjadi nampak biasa, juga kita hidupi. Saat kita bayi, kita diberi tantangan untuk bisa berjalan dengan dua kaki. Bagi bayi, berjalan ini susah. Awalnya dia hanya bisa merangkak, mencoba berdiri, lalu jatuh. Tapi dengan segala upaya, sang bayi terus berusaha mengatasi tantangan sulit itu sampai akhirnya dia bisa berjalan dan berlari. Di usia kita sekarang, terlebih bagi yang memiliki fungsi kaki normal, apakah berjalan jadi proses yang sulit seperti kita masih bayi dulu?

Aku rasa kondisi kita saat ini, baik kita pekerja maupun pelajar, kita tentu sudah melewati banyak tantangan hidup. Hasilnya, kita paham banyak ilmu dan pengetahuan, baik hard skill maupun soft skill, mulai dari ilmu alam, ilmu sosial, sampai kemahiran kita membuat beragam konten kreatif audio visual, atau juga berbicara di depan umum.

Beberapa bulan ini, secara masif kita semua mendapatkan tantangan yang dikarenakan oleh pandemi virus corona. Sebagian besar kita, mau tidak mau harus tercabut dari akar kebiasaan kita. Apakah mudah? Tentu bukan tantangan yang mudah diselesaikan. Namun kita bisa belajar dari satu tokoh Alkitab yang juga mengalami disrupsi dalam kehidupannya.

Disrupsi dalam Kisah Para Rasul pasal 10

Terdisrupsi tentu bukan hal yang menyenangkan karena seseorang tercabut dari kebiasaan lamanya. Perasaan tidak senang pun muncul karena keadaan bertentangan dengan ideologi atau pemahaman yang dipegang seseorang. Dalam banyak kisah bangsa Israel merupakan bangsa pilihan Allah oleh karena janji yang Dia berikan pada Abraham (Kejadian 17:708). Setelah bangsa Israel terpecah, justru perasaan istimewa inilah yang membuat bangsa Yahudi tidak mudah bergaul dengan bangsa lainnya, bahkan dengan orang Samaria, yang sebenarnya satu rumpun dengan mereka. Dalam Yohanes 4:9b, dituliskan keterangan, “Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria.”

Ideologi akan keistimewaan bangsa Yahudi pun terbawa oleh para rasul, salah satunya Simon Petrus. Kita kita membaca Kisah Para Rasul 10, Petrus berkeyakinan kuat bahwa seorang Yahudi dilarang keras bergaul dengan orang-orang bukan Yahudi, atau bahkan masuk ke rumah mereka. Namun, Tuhan berkata lain. Melalui tiga kali penglihatan akan binatang berkaki empat, binatang menjalar, dan burung, Tuhan mengatakan agar Petrus menyembelih lalu memakannya. Tuhan juga datang pada Kornelius, dan meminta agar bawahannya menjemput Petrus datang padanya.

Petrus pun terdisrupsi dari pemahamannya untuk tidak menajiskan orang non-Yahudi. Seperti tertulis dalam ayat 28b: “Tetapi Allah telah menunjukkan kepadaku, bahwa aku tidak boleh menyebut orang najis atau tidak tahir.”

Dari secuplik kisah Petrus yang terdisrupsi itu, ada tiga hal yang bisa kita petik:

1. Belajar untuk bertanya maksud dan kehendak Allah. Tentu kita perlu memahami bahwa segala sesuatu dalam hidup kita terjadi karena Tuhan berkenan. Kita mungkin tidak tahu maksud dan tujuan Tuhan lewat disrupsi yang terjadi, tetapi tidaklah salah jika kita bertanya pada-Nya.

2. Belajar lebih peka akan suara Tuhan. Kita perlu memahami bahwa Tuhan dapat menyampaikan suatu pesan lewat hal-hal yang ada di sekitar kita. Lewat penglihatan, bahkan lewat tantangan pun Tuhan menyatakan suara-Nya. Dalam kesulitan melepas atau memikirkan kembali idealisme kita pun, Tuhan dapat menyatakan suara-Nya.

3. Melihat suatu tantangan disrupsi sebagai cara untuk memuliakan Allah. Apa pun yang kita perbuat seharusnya membawa kemuliaan bagi nama-Nya. Memenangkan tantangan tentu bukan demi pujian atas diri kita sendiri.

Menghadapi disrupsi: mencoba, atau menyerah?

Pandemi COVID-19 dan segala disrupsi yang terjadi menciptakan era normalitas yang baru. Kita jadi belajar untuk hidup dengan lebih higienis: rajin cuci tangan dan pakai masker saat bepergian. Sebagian gereja, yang sebelumnya tidak familiar atau bahkan tidak punya akun media sosial, sekarang memanfaatkan medium ini untuk menyampaikan pesan firman Tuhan dan juga menjalin relasi dengan jemaat.

Mungkin masih ada beberapa bentuk disrupsi yang kita menjadi tantangan kita saat ini. Dan saat ini kita dihadapkan pada pilihan untuk mencoba membiasakan diri atau menyerah. Bagiku, ketika kita mencoba dan mungkin gagal, kita masih bisa kok mencoba terus-menerus sampai kita terbiasa. Dengan bertanya maksud dan kehendak Allah, peka akan suara Tuhan, serta melihat suatu tantangan disrupsi sebagai cara untuk memuliakan nama Allah, maka Dia tentu akan menguatkan kita untuk terus menerus mencoba.

Maka, apakah kita mau terus mencoba atau menyerah?

Baca Juga:

Melayani di IGD, Caraku Menikmati Berkat Tuhan

Memutuskan tidak pulang kampung dan melayani di garda terdepan awalnya adalah keputusan yang berat. Ada rasa takut, tapi dengan anugerah-Nya, ketakutanku berubah menjadi semangat dan sukacita melayani.

Melayani di IGD, Caraku Menikmati Berkat Tuhan

Oleh Still Ricardo Peea, Tangerang

Ketika himbauan bekerja dari rumah dikeluarkan, aku dan beberapa temanku memilih tetap tinggal di asrama kampus. Kami tidak pulang kampung dan menyiapkan diri untuk menjadi relawan di rumah sakit jika sewaktu-waktu tenaga kami dibutuhkan. Karena jurusan kuliahku adalah Keperawatan, dengan menjadi relawan aku bisa belajar dan mengaplikasikan ilmuku bagi masyarakat.

Aku sudah memikirkan dan mendoakan kesempatan menjadi relawan ini sejak Desember 2019 lalu, saat virus corona masih berepisentrum di Tiongkok. Keluargaku menghimbauku pulang saja karena ada tiket murah, tapi aku menolak. Meski aku sehat, aku tak mau jadi agen penularan, apalagi di rumahku ada kakek dan nenekku, juga tante dan pamanku yang punya riwayat sakit gula. Mereka beresiko terkena COVID-19.

Aku terus memikirkan dan mendoakan hal tersebut hingga di Februari, aku menjalankan praktik klinik untuk mata kuliah pengayaan di salah satu rumah sakit yang kini menjadi tempat rujukan bagi pasien COVID-19.

Pergumulan untuk tetap tinggal

Meski aku punya passion untuk melayani dan mengaplikasikan ilmuku, tapi di kala aku berdoa, aku melihat betapa pandemi ini mengerikan. Virus tak kasat mata ini telah merenggut ribuan nyawa, baik itu masyarakat umum dan juga tenaga kesehatan.

“Apakah Tuhan mau membawaku ke sini untuk mendidikku, atau supaya aku mati karena pandemi ini?” gumamku.

Tapi suara dalam hatiku segera menyentakku. “Hey, di mana kepercayaanmu? Tidakkah kau ingat kebaikan Tuhan selama ini?”

Pandanganku lalu tertuju kepada rerumputan. Aku ingat firman Tuhan di Yesaya 40:8 dan 1 Petrus 1:24-25 yang mengatakan betapa fananya manusia di hadapan Allah Sang Pencipta. Kita seperti rumput, ada hanya sebentar, lalu layu. Namun, meski hidup kita fana, di sinilah Tuhan berkarya. Melalui hidup kita, Tuhan ingin agar orang lain pun beroleh sentuhan kasih-Nya.

Di Minggu pagi setelah ibadah, kulihat langit cerah. Angkasa berwarna lebih biru dari biasanya. Tiupan angin menerpaku. Lagi-lagi aku merasa seperti dibisikkan, “Tuhan sungguh mempedulikanku. Tidakkah itu luar biasa? Allah Bapa sungguh mengasihimu.”

Sore harinya, saat kupandang langit senja, lagi-lagi aku teringat firman Tuhan yang berkata bahwa Allah sungguh mengasihi kita. “Aku mengasihi engkau dengan kasih yang kekal, sebab itu Aku melanjutkan kasih setia-Ku kepadamu” (Yesaya 31:3). Segala benda langit diciptakan-Nya, juga dipelihara-Nya. Jika benda-benda langit dan segala makhluk hidup dipelihara Tuhan, masakan kita sebagai manusia luput dari perhatian-Nya?

Dengan kekuatan dari Tuhan, aku diizinkan-Nya untuk membantu di bagian screening di Instalasi Gawat Darurat dan di bangsal. Aku membantu setiap pengunjung mengisi formulir pernyataan kesehatan yang menyatakan bahwa mereka tidak memiliki gelaja dari COVID-19. Apabila ada salah satu gejala dan faktor pendukung lain, seperti riwayat kontak dengan orang terduga COVID-19, maka orang tersebut harus mengecek kesehatannya di klinik umum dulu. Aku bertugas memastikan secara spesifik apa yang menjadi keluhan utama mereka.

Setiap orang yang berkunjung ke IGD juga harus dicek suhu tubuhnya. Meski pasien virus corona menjadi perhatian utama, tapi kami tetap harus juga memperhatikan pasien-pasien lain yang dalam kondisi kesehatannya gawat. Kami mengarahkan ke tempat di mana mereka bisa mendapatkan perawatan menyeluruh. Selain itu, kesempatan melayani ini juga menciptakan momen-momen diskusi dengan kakak-kakak seniorku, aku belajar banyak hal.

Meskipun awalnya aku sempat ragu dan takut, sekarang aku bisa bersukacita karena aku tahu apa yang kukerjakan adalah sebuah pelayanan bagi-Nya melalui menolong sesamaku. Hikmat dan pemahaman yang Tuhan anugerahkan memampukanku melihat pandemi ini dari sudut pandang yang berbeda: bukan ketakutan karena virus, tetapi semangat untuk meneruskan kasih-Nya pada orang lain.

Martin Luther dikenal karena dia tidak bisa diam saja ketika mendapati ada yang keliru dalam pengajaran dan praktik kehidupan bergereja. Dia juga tak bisa diam ketika melihat orang lain membutuhkan pertolongan. “Orang Kristen terpanggil untuk mendemonstrasikan belas kasih,” katanya. Juga Florence Nightingale yang memilih untuk menjadi relawan dan melayani dalam perang, tak memikirkan dirinya sebagai anak bangsawan melainkan mau melayani dengan resiko yang besar yaitu terbunuh dalam perang, dia menentang adanya diskriminasi dalam pemberian pelayanan kesehatan. Pemikiran, tindakan dan perkataan Luther dan Nightingale mencerminkan sosok teladan yang sempurna, Kristus sendiri. Alkitab mencatat selama pelayanan-Nya di dunia, Kristus tak hanya mengajar, Dia juga melayani dengan menyembuhkan banyak orang sakit, juga membasuh kaki murid-murid-Nya.

Menutup tulisanku, kupandangi mentari. Sinarnya di pagi hari memberikan kesan hangat dan nyaman, menandai hari yang baru telah tiba. Jika matahari yang dengan sinarnya memberikan banyak kebaikan bagi dunia, demikian juga kita yang diciptakan-Nya begitu istimewa. Dengan segala berkat yang kita terima, kita pun diutus-Nya untuk meneruskan berkat itu kepada orang-orang di sekitar kita.

Bapa kami yang di surga, terima kasih banyak.

Baca Juga:

3 Hal yang Bisa Kita Lakukan Kala Menghadapi Penderitaan

Dalam masa-masa sulit, sulit pula buat kita memikirkan hal-hal yang baik. Tapi, ada satu kebenaran: dalam segala masa, Tuhan selalu baik. Kepada-Nyalah kita dapat berharap dan berdiri teguh.

Apa yang Kamu Lihat? Penghiburan atau Penghakiman?

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Beberapa waktu lalu ada sebuah video yang cukup viral. Di video itu ditunjukkan seorang badut dengan mimik tersenyum berdiri di ballroom mal yang sepi pengunjung. Saking sedikitnya pengunjung di mal itu, tak ada satupun yang tergerak untuk mengisi kotak uangnya. Namun, sang badut bergeming menghibur orang-orang yang sedikit itu dengan senyumannya.

Sang pembuat video lalu berinisiatif memasukkan uang ke dalam kotak. Rupanya tindakan ini mendorong pengunjung lainnya untuk memberi juga. Lalu, setelah video ini viral di media sosial, sumbangan kepada sang badut pun berdatangan dari para warganet.

Di tengah situasi pandemi yang mencekam ini, mendapati kisah-kisah kebaikan seperti di atas terasa menghibur hati. Namun, aku jadi teringat. Masih di media sosial, terjadi perdebatan atas peristiwa merebaknya virus corona pada sebuah acara gereja di Bandung.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengidentifikasi bahwa jumlah orang yang positif terjangkit dari klaster acara tersebut berjumlah 226 orang. Di luar jumlah itu, ada beberapa yang telah meninggal dunia pula. Ketika berita ini menyebar di media sosial, komentar-komentar pun berdatangan. Ada komentar-komentar yang mengatakan bahwa itu ganjaran yang tepat untuk mereka yang mengikuti acara tersebut.

Sejenak aku termenung.

Jika ingin digali secara detail, mungkin investigasi dari peristiwa ini akan panjang. Untuk mencari dan menentukan siapa yang paling bertanggung jawab dari merebaknya virus ini di acara tersebut, kupikir itu adalah ranah pihak yang berwajib untuk memprosesnya. Namun, bagaimana jika kita menggeser sedikit cara pandang kita? Daripada berfokus kepada “salah siapa,” bagaimana jika kita memberi ruang bagi empati untuk turut hadir dalam asumsi-asumsi kita?

Aku membayangkan, para anggota jemaat yang hadir di acara tersebut tentunya terguncang karena terjangkit. Pun, ketika ada di antara mereka yang meninggal dunia, pastilah itu meninggalkan duka mendalam bagi keluarga mereka.

Selayaknya, tugas kita sebagai orang Kristen adalah menawarkan penghiburan dan empati. Para korban dari pandemi ini, siapa pun mereka, adalah manusia juga seperti kita. Manusia yang berdosa dan membutuhkan anugerah pengampunan Tuhan.

Ketika Yesus berjumpa dengan seorang yang buta sejak lahir, murid-murid-Nya bertanya, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (Yohanes 9:2). Pertanyaan murid-murid sejatinya bukanlah pertanyaan yang tidak peka terhadap kesakitan si orang buta, karena pada zaman itu orang-orang meyakini bahwa cacat fisik seseorang adalah akibat dari dosa. Dan, biasanya mereka yang buta sejak lahir bernasib menjadi pengemis. Buta dan pengemis pula. Lengkap sudah penderitaan orang itu. Yesus lalu menjawab, “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yohanes 9:3).

Dari bagian ini, kita mendapati bahwa Yesus dan murid-murid-Nya sama-sama melihat orang buta tersebut. Namun, dalam cara dan respons yang berbeda. Dalam bahasa Ibrani ada dua pilihan kata untuk “melihat”, yakni blepo dan horao. Murid-murid melihat dengan blepo, mereka melihat hanya dengan mata jasmani. Cara melihat seperti ini akhirnya menghasilkan penghakiman yang terselubung, seperti tercermin dalam pertanyaan mereka. Sedangkan Yesus melihat dengan horao, melihat dengan hati. Cara Yesus melihat menghasilkan respons untuk berbelas kasihan. Bukan penghakiman yang ditawarkan-Nya, tetapi tindakan kasih yang berujung pada pemulihan.

Andaikata saat itu si orang buta tak jadi dicelikkan Yesus, mungkin hatinya merasa lebih baik sebab Yesus tidak menghakimi matanya yang buta sebagai dosa. Namun, Kristus berkenan memulihkan penglihatannya, sehingga celiklah matanya.

Mata kita tidak pernah melihat dengan asal melihat. Kita melihat dengan tujuan. Kita melihat untuk mencari sesuatu dan kita berfokus melihat apa yang kita lihat. Hari ini, ketika kita melihat satu per satu korban berjatuhan, apakah yang kita lihat dan pikirkan? Apakah kita melihatnya sebagai hukuman, biar tau rasa, atau terbitkah kasih kita kepada mereka? Tergerakkah hati kita untuk mendoakan mereka, agar tangan Tuhan yang berkuasa menjamah dan menganugerahkan mereka dengan damai sejahtera?

Yesus mengatakan bahwa semua orang akan tahu kita adalah murid-murid-Nya jika kita saling mengasihi (Yohanes 13:35). Kasih yang Yesus maksudkan di sini bukan hanya mengasihi orang yang dekat dengan kita, atau yang baik pada kita. Kita diminta-Nya untuk mengasihi siapa saja, termasuk musuh kita sekalipun (Matius 4:44). Tak ada pengecualian, kita wajib mengasihi semua orang.

Virus COVID-19 memang berbahaya, cepat menular, tetapi yang tak kalah bahayanya adalah dosa-dosa yang bersarang dalam diri kita. Kita membutuhkan pengampunan dari-Nya, sebab kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri (Yesaya 53:6).

Baca Juga:

Kasih Tuhan di Masa Corona

Lent, Jumat Agung, dan Paskah serasa tenggelam di tengah-tengah pandemi COVID-19, tetapi kegelapan tidak dapat menutupi terang. Pesan apa yang salib Yesus 2000 tahun lalu sampaikan? Kasih Tuhan yang terus menyertai, bahkan di masa corona.