Hampir setahun berlalu tetapi pandemi belum mereda. Sebaliknya, malah makin meluas. Virus ini awalnya tampak jauh dari hidupku karena aku selalu menerapkan disiplin protokol kesehatan dan belum ada orang-orang di inner-circle-ku yang terkonfrimasi positif.
Rasanya tidaklah berlebihan jika kita berkata tahun 2020 itu mengerikan. Jutaan orang di seluruh dunia merasakan dampak dari pandemi, entah mereka terinfeksi atau mengalami efek domino lainnya yang diakibatkan kebijakan-kebijakan untuk meredam laju penyebaran virus.
Kupikir aku adalah orang yang punya ingatan bagus. Orang-orang sering berkata, “Ingetin aku ya….”. Tapi sekarang, aku terkejut karena betapa mudahnya aku melupakan apa yang seharusnya amat penting—siapa Tuhanku—ketika perasaan insecure dan kebohongan menghampiri pikiranku.
Meski terlahir dengan kondisi Tuli, itu tidak menyurutkan semangatku untuk menggapai sukses dalam karierku. Aku memiliki beberapa teman yang mengalami Tuli sepertiku yang juga sedang berjuang meniti kariernya. Kisah pekerjaanku dimulai pada pertengahan Juli 2018, ketika seorang teman Tuli sepertiku mengirimkan informasi lowongan kerja kepadaku melalui WhatsApp chat.
Namaku Putri. Aku mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia. Aku ingin membagikan sedikit pengalamanku menghadapi terjangan badai yang selama ini sangat kutakutkan. Semoga bisa bermanfaat bagi siapa pun yang membaca tulisanku.
Karena pandemi, hari-hari ini kita mudah melihat orang-orang yang mengeluh dan meratap. Ada yang gajinya dipotong, kewalahan karena tugas sekolah yang sangat banyak, tak bisa hangout dengan teman atau pacar, atau bahkan ada pula yang meratap karena ditinggal selama-lamanya oleh orang-orang terkasih.
“Hasil tes swab pegawai sudah keluar, dan kamu hasilnya positif…” Aku NA, salah satu anggota tim perawatan isolasi Covid di rumah sakit swasta. Mendengar kabar itu dari balik telepon, seketika duniaku runtuh.