Posts

Ketika Aku Menggenggam Terlalu Erat

Oleh Wira Perdana, Ambon

“Apa jadinya hidup tanpa kehadirannya?” Sanggupkah aku?” Mampukah aku?”

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang bermunculan di pikiranku ketika mendapat kabar bahwa Ayah pergi untuk selamanya pada 10 September 2021 yang lalu karena terpapar COVID-19. Sungguh sebuah kenyataan yang sulit diterima pada saat itu.
Dalam keheningan dini hari, aku hanya bisa menangis dan meratapi kenyataan di kamar kosan seorang diri. Hatiku remuk dan hancur. Tubuhku pun lemas tak berdaya.

Tidak berada di sampingnya saat akhir hidupnya adalah sebuah hal yang tidak pernah aku bayangkan dan terasa sungguh menyesakkan hati. Terlebih aku hanya bisa menyaksikan proses pemakaman secara virtual karena kondisi pandemi saat itu masih sangat mewabah. Aku hanya bisa pasrah, sebuah kesedihan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, hanya dapat diungkapkan dengan air mata.

Berbagai ungkapan dukacita datang dari sanak saudara, keluarga, juga para sahabat. Namun, sejujurnya ungkapan itu tak berdampak sama sekali padaku. Saat itulah kusadari bahwa aku begitu rapuh.

Seringkali aku menguatkan orang lain yang pernah mengalami hal serupa dengan cara memberikan kata-kata motivasi yang disertai ayat Alkitab. Namun, ketika aku yang mengalaminya, cara tersebut tidak dapat menguatkanku. Aku pikir aku kuat, tapi ternyata tidak. Dan hati kecilku bertanya, apa maksud dan rencana Tuhan bagiku dan keluargaku?

Rasa cemas dan khawatir selalu menghampiriku, terutama di awal kepergian ayah. Bagaimana hidupku selanjutnya tanpa adanya sosok ayah? Siapa yang akan menjadi tumpuan dan tulang punggung keluarga? Terlebih, siapa yang bisa menjadi problem solver ketika kelak kami punya masalah? Sungguh, kehilangan sosok ayah membuatku dan keluargaku seperti kehilangan arah.

Ayah ibarat sebuah pohon besar yang memberi kerindangan bukan hanya bagi keluarga kami, melainkan bagi seluruh keluarga besar. Ayah selalu mengupayakan segala yang terbaik bagi keluarganya, sekalipun terkadang dia melupakan kesenangannya sendiri. Dan menjelang akhir hidupnya, ayah masih menjadi sosok yang sama.

Kehadiran Ayah terkadang membuatku lupa arti kekurangan. Ayah selalu berusaha mencukupi dan memenuhi apa yang menjadi kebutuhan dan keinginanku serta keluarga. Bahkan hingga aku sudah bekerja di salah satu instansi pemerintah, Ayah tetap ingin mengirim penghasilannya padaku sekalipun beliau juga sedang merantau bekerja di salah satu daerah pedalaman Papua, yang dari segala akses justru lebih sulit dari tempatku yang bekerja di perkotaan.

Beberapa hari setelah Ayah berpulang untuk selamanya, di tengah kondisi yang masih berduka aku mendapatkan pesan dari seorang sahabat di Yogyakarta, yang mengingatkanku bahwa kepergian Ayah memang bukan hal yang mudah, tetapi dapat menjadi kesempatan bagiku dan keluargaku untuk semakin mengalami kasih Bapa secara langsung tanpa melalu perantara seorang Ayah lagi.

Pesan tersebut kemudian menjadi titik balik bagiku yang di satu sisi menguatkanku, namun sekaligus menyadarkanku bahwa selama ini aku sangat bergantung pada sosok seorang Ayah. Aku lupa bahwa kehadiran seorang ayah adalah salah satu perpanjangan dan saluran dari kasih dan kebaikan Tuhan, bukan untuk menjadi pengganti-Nya. Kedukaanku yang terus berlarut terjadi karena selama ini aku terlalu mengandalkan dan memegang erat sosok seorang ayah melebihi Tuhan. Alhasil, ketika akhirnya ayah pergi, aku dilanda kecemasan yang luar biasa.

Setelah waktu-waktu yang panjang dan proses yang Tuhan izinkan, aku belajar menerima bahwa kehilangan sosok ayah tidak lagi menjadi momok yang menakutkan, justru menjadi sebuah kekuatan dan harapan yang terus aku imani bahwa Tuhan ingin menyalurkan kasih dan kebaikan-Nya secara langsung. Tugas ayah di dunia telah selesai, dan sekarang tugasku untuk melanjutkan kembali hidup dengan pertolongan Tuhan.

Bapa Surgawi ingin aku belajar bergantung dan melekatkan segala harapanku kepada-Nya, bukan melalui ciptaan-Nya. Ayah bukanlah milikku. Ayahku adalah milik-Nya yang dititipkan untuk sementara waktu, hingga pada waktu yang telah ditetapkan-Nya, ayah akan diambil kembali. Demikian pula dengan semua orang yang kita kasihi: orang tua, pasangan, sahabat, dan sosok lainnya, tidak ada yang abadi. Namun, kita membutuhkan sesama di dunia ini dan harus menghargai keberadaan mereka selagi masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini. Tuhan menciptakan sesama manusia untuk saling membantu dan membangun, terlebih untuk menjadi berkat bagi kemuliaan nama-Nya (Roma 14:8).

Kepergian ayah kini membuatku belajar untuk menghargai waktu bersama orang-orang terkasih yang masih Tuhan “titipkan” dalam hidupku, agar aku tidak menyesal di kemudian hari. Dan aku berharap, pengalamanku ini juga dapat menjadi kesaksian untuk menguatkan orang lain yang mengalami hal serupa atau kehilangan orang yang dikasihi.

Bagi kita yang pernah maupun sedang mengalami kehilangan orang terkasih, tak perlu cemas dan khawatir, karena pemeliharaan sesungguhnya berasal dari Tuhan sendiri. Percayalah, segala sesuatu diizinkan-Nya terjadi bagi kebaikan kita semua. Dan waktu-Nya adalah waktu yang terbaik.

“Demikian juga kamu sekarang diliputi dukacita, tetapi Aku akan melihat kamu lagi dan hatimu akan bergembira dan tidak ada seorang pun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu” (Yohanes 16:22).

3 Perenungan untuk Menyambut Natal

Oleh Yohanes Bensohur

Wah! Gak terasa sudah mau Natalan dan tahun baru lagi.

Rasanya baru kemarin, tetapi sekarang kita sudah akan memasuki tahun ketiga hidup bersama pandemi.

Teringat masa-masa di awal ketika orang-orang panik—memborong stok makanan, harga masker, sampai jahe pun jadi melangit. Ibadah dan persekutuan berubah menjadi online, semua berdoa agar pandemi berlalu.

Namun, kenyataan tidak demikian. Pertengahan tahun 2020, jumlah orang yang terpapar COVID semakin melonjak. Segala harapan untuk keadaan membaik seolah tampak sirna. Beberapa orang mungkin berpikir kenapa begitu lama pandemi ini terjadi, kenapa Tuhan mengizinkan hal ini, bahkan ekstremnya ada orang yang mempertanyakan tentang kebaikan Tuhan: jika Tuhan baik dan berkuasa mengapa mengizinkan kesulitan dan pandemi ini terjadi?

Sebaliknya, ada sebagian orang yang menanti kondisi terus membaik, melihat bagaimana Tuhan tetap berkuasa dan bekerja di dalam dan melalui pandemi. Memasuki tahun 2021 keadaan pun tidak lebih baik dari sebelumnya, peningkatan juga terus melonjak, ditambah dengan munculnya jenis varian baru. Kita semua menghadapi gelombang kedua yang membuat rumah sakit dan petugas medis kelabakan dalam mencari tempat dan merawat pasien, kita seperti terjebak di rumah, banyak orang di PHK, tidak bisa kerja, dsb.

Sekarang, 2021 hendak kita tutup dan tahun yang baru segera datang. Aku mengajakmu untuk berefleksi sejenak ke dalam diri melalui tiga pertanyaan ini:

1. Masih setiakah kita berdoa?

Ketika awal-awal pandemi, kita semua takut. Bersama komunitas gereja, persekutuan, atau secara pribadi kita berdoa memohon Tuhan memulihkan keadaan.

Namun, ketika pandemi tak juga kunjung usai, masih setiakah kita berdoa?

Doa-doa yang kita naikkan mungkin tidak akan mengubah keadaan dalam sekejap, tetapi ketika berdoa, kita sedang mengizinkan agar damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal memelihara hati dan pikiran kita (Filipi 4:7). Dan, janganlah kiranya kita pun lupa, bahwa doa orang benar bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya (Yakobus 5:16).

2. Apakah kita bertumbuh?

Sebelum pandemi, dinamika kehidupan kita pun ada naik-turunnya. Lalu, pandemi hadir dan rasanya membuat dinamika naik turun itu semakin parah. Tetapi, ibarat grafik denyut jantung yang naik turun, demikian jugalah kehidupan.

Naik dan turun adalah tanda bahwa kita hidup. Pertumbuhan apa yang nampak dalam diri kita? Apakah kita bertumbuh semakin serupa dengan Kristus?

3. Bagaimana kita memaknai Natal tahun ini?

Perasaan seperti apa yang sedang kita rasakan dalam menantikan Natal? Sedang biasa saja? Merasa lelah? Tidak begitu bersemangat? Apa yang sebenarnya menjadi kerinduan kita dalam natal dan tahun baru ini?

Natal kali ini, Kita dapat melatih hati kita untuk melihat kebesaran karya Allah. Dia, yang Mahabesar hadir dalam rupa bayi yang kecil dan rapuh, tapi dari sosok bayi inilah hadir pula dampak yang begitu besar terhadap dunia.

Raja Herodes khawatir apabila ada sosok yang akan mengganggu kekuasaanya sehingga ingin membunuh seluruh bayi di bawah dua tahun. Para Gembala menjadi orang-orang terpilih untuk menjumpai bayi dibungkus lampin seperti yang dijanjikan malaikat. Orang Majusi jauh dari timur mencari dan menemui Yesus melalui petunjuk bintang serta memberikan persembahan kepada-Nya.

Kiranya Natal tahun ini kita boleh kembali menata hati kita, mempertanyakan kembali di manakah posisi kita saat ini dihadapan Tuhan, sehingga kita tidak melewati Natal dan tahun baru ini begitu saja.

We wish you merry Christmas and Happy New Year. Kiranya yang menjadi kerinduan kita akan Natal dan tahun baru ini bukanlah suatu hal yang rendah dan tak bernilai, tapi Kristuslah yang boleh menjadi kerinduan terbesar kita, Dia yang benar-benar kita nantikan, kita muliakan dan kita juga rindu agar orang-orang boleh memiliki kerinduan yang besar pula akan Dia.

Ketika Tuhan Memulihkan Keluargaku Lewat Covid-19

Oleh Mary Anita, Surabaya

Awalnya, kuharap pandemi Covid-19 yang telah terjadi lebih dari setahun ini tidak akan menimpa keluargaku. Tetapi, yang kuharapkan tak selalu sejalan dengan cara Tuhan. Ada kalanya Tuhan memakai hal yang paling tidak kita inginkan untuk mendatangkan kebaikan.

Cerita ini dimulai pada awal Mei. Seorang pendeta kenalan papa mengontak kami. Dia mengajak kami untuk berdoa puasa memohon pemulihan hubungan bagi keluarga kami. Sudah lebih dari 10 tahun kami mendoakan kakak laki-lakiku yang akrab kami panggil ‘koko’. Koko dulu begitu mencintai Tuhan, tetapi karena kecewa dalam pelayanan di gereja dan kepahitan pada papa sejak remaja, dia perlahan undur. Selama beberapa waktu, doa puasa kami berlangsung baik, tetapi kemudian tanda tanya pun menggantung. Kami tak kunjung melihat adanya pemulihan keluarga yang akan terjadi.

Bulan Juli, saat PPKM diberlakukan, rumah sakit di mana-mana membeludkan dan kabar dukacita datang silih berganti. Di momen itulah diketahui kalau empat orang dalam keluarga—termasuk koko—positif terinfeksi Covid-19, menyisakan aku dan papa saja yang negatif. Kata dokter, virus yang menjangkit ini adalah varian delta. Kami harus bergerak cepat, dari berburu tabung oksigen, menebus obat-obatan yang sudah langka di banyak apotek, hingga antre untuk mendapatkan kamar inap di rumah sakit.

Di dalam tekanan besar itu, aku tak lagi bisa berpikir jernih. Sebuah firman Tuhan yang kudapat dalam saat teduhku malam sebelumnya terlintas di pikiran:

“Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan” (Yesaya 41:10).

Firman itu kurenungkan berulang kali dan selalu menguatkan imanku, terutama dalam waktu-waktu genting. Tuhan menyentuh hatiku dengan kasih-Nya dan menolongku untuk menguasai diri, serta mengingatkanku untuk bersandar hanya pada-Nya, satu-satunya Pribadi yang bisa diandalkan.

Puji syukur, Tuhan perlahan menuntun jalan kami di waktu yang tepat. Kami mendapatkan kamar inap, tapi kenyataan pahit harus kami terima karena dari hasil pemeriksaan dokter, koko mengalami Pneumonia di paru-parunya. Koko membutuhkan plasma kovalesen ketika stok di PMI kosong. Aku menangis, sampai tak lagi bisa menangis karena kadar saturasi oksigennya terus turun ke angka 77 meskipun telah dibantu dengan ventilator.

Aku berdoa, “Tuhan, jujur aku belum siap untuk kehilangan koko. Aku memang memohon kesembuhan untuknya, tapi yang terpenting dari itu adalah berikan ia kesempatan untuk bertobat dan mempercayai-Mu sekali lagi, walau di akhir hidupnya.” Roh Kudus pun menolongku untuk melanjutkan doaku dan mengakhirinya dengan berserah seperti yang Yesus doakan pada Lukas 22:42, “…tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.”

Ada rasa damai dan tenang dalam hatiku walaupun kami belum menemukan donor plasma. Dan, siapa sangka malam itu mukjizat terjadi. Seorang teman sepelayanan koko yang hampir satu dekade hilang kontak malahan tiba-tiba membantu memberi donor plasma. Perlahan keadaan koko mulai pulih dan dua minggu setelahnya dia dinyatakan sembuh. Tak berhenti di situ, sakit ini pun memberinya pengalaman pribadi dengan Tuhan yang kemudian membuatnya bertobat, mengampuni papa, dan kembali aktif digembalakan di gereja.

Peristiwa yang terjadi ini bak mimpi bagiku. Tuhan memulihkan kami tidak hanya melalui kesembuhan fisik, tetapi mengubah setiap pribadi kami sekeluarga untuk saling mengasihi satu sama lain, mengandalkan dan memprioritaskan Tuhan selagi hidup, dan mau menjadi perpanjangan tangan-Nya bagi orang lain sama seperti orang-orang yang telah menolong dan bermurah hati pada kami. Tuhan juga membuka mata kami bahwa semua itu terjadi semata karena kasih kemurahan Tuhan.

Kiranya kesaksian singkat ini boleh mengingatkanku selalu bahwa Tuhan selalu mendengar setiap doa dan Dia bekerja di balik layar untuk mendatangkan kebaikan bagi kita anak-anak-Nya. Amin.

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28).

Baca Juga:

4 Hal Istimewa dari Kisah Yesus dan Perempuan Samaria

Pertemuan Yesus dengan seorang perempuan Samaria bukan sekadar kisah obrolan biasa, ada 4 hal menarik yang bisa kita temukan dari kisah ini.

Catatan Kecil Anak Seorang Dokter

Oleh Fedora Aletheia Putri Leuwol, Bekasi

Ketika pandemi mengamuk hebat, para dokterlah yang berada di garda terdepan menyelamatkan dan merawat orang-orang yang terinfeksi COVID-19. Salah satunya, papaku sendiri. Bersama para dokter lainnya, papa bekerja begitu keras melayani setiap pasien yang meminta pertolongannya.

Naiknya kasus Covid, berarti bertambah pula jam kerja papa. Dalam keluarga kami, papa adalah orang yang terkenal paling gaptek. Dia biasanya malas memegang HP. Tapi, selama pandemi ini papa jadi memegang HP seharian penuh—dari subuh sampai larut malam, hari kerja atau hari libur. Banyak rumah sakit kewalahan menampung pasien. Mereka yang gejalanya tidak terlalu berat diminta untuk dirawat di rumah saja, alias isoman. Nah, mereka-mereka yang isoman inilah yang paling membutuhkan jasa dokter secara daring, atau istilah bekennya: telemedicine. Papa menulis berlembar-lembar surat resep, hingga mencarikan rumah sakit bagi mereka yang gejalanya memburuk.

Sebagian dari pasien-pasien papa adalah jemaat gereja kami, tetangga di perumahan, teman-teman di kantor mamaku, dan masih banyak lagi. Itu belum termasuk orang-orang yang memberikan nomor WA papaku kepada kenalan mereka yang sakit. Saking banyaknya, papa pernah bilang kalau dia nyaris kewalahan untuk membalas chat dan mengangkat telepon. Untuk sekadar makan atau duduk tenang pun jadi susah.

Karena tuntutan pekerjaannya pula, tiap hari papa pergi ke luar rumah, bertaruh nyawa. Tahun lalu, kami sekeluarga pernah terpapar COVID-19 karena papa tertular dari seseorang yang ia periksa di tempat kerjanya. Beruntung, meski memiliki komorbid, papa bisa sehat kembali. Namun, peristiwa itu membuatku trauma, khawatir papa akan terpapar lagi, dan menulari kami semua.

Aku takut kelelahan kerja akan membuat imun tubuhnya melemah. Itu sebabnya aku selalu memintanya istirahat saja kalau di rumah, tidak usah mengurusi pasien.

“Nggak usah buka WA dululah, untuk sementara,” gertakku.

Papa berkeras, “Tidak bisa begitu, Kak. Kamu bayangin kalau keluargamu yang sakit, kamu WA dokter terus dokternya nyuekin kamu? Gak bisa!”

Usul lain yang pernah kulontarkan, “Coba Papa larang pasien Papa sembarangan kasih nomor Papa. Papa tuh udah sibuk banget!”

Tapi, lagi-lagi ia menolak, “Gak bisalah, Kakak, mana bisa kayak gitu! Orang kok gak boleh minta tolong? Lagi pula, ini memang tugas papa. Pekerjaan papa kan memang menolong orang.”

Kira-kira selalu begitu responnya.

Aku terdiam. Ucapan papa itu membuatku berpikir: betapa besar perjuangan papa, para dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain di masa pandemi ini. Hatiku meradang setiap kali mengingat perjuangan papa. Selain berjuang menyelamatkan orang lain, papa juga menafkahi kami sekeluarga dari pekerjaannya sebagai dokter. Tapi, kalau begini caranya, aku tidak ingin papaku menjadi dokter. Rasanya ingin marah ke seluruh dunia, kenapa harus ada pandemi ini? Mengapa pandemi ini tidak selesai-selesai? Mengapa orang-orang harus selalu mencari papaku untuk meminta tolong? Mengapa begitu banyak orang yang tidak patuh prokes, dan lebih percaya kepada hoax yang mengatakan COVID-19 itu konspirasi?

Sampai suatu ketika, ada satu momen yang membuatku tersadar.

Waktu itu sudah cukup malam. Kami memesan makanan secara daring, dan betapa terkejutnya kami ketika si Bapak driver yang mengantarkan pesanan datang bersama istrinya. Aku tahu itu istrinya karena Bapak itu meminta maaf, katanya: “Maaf ya, Mbak, agak lama, tadi sekalian lewat jemput istri dulu pulang kerja.” Melihat itu aku pun menyadari sesuatu yang tak pernah terpikir olehku.

Selama ini aku selalu mengomel dan mengeluh mengapa papa harus menjadi pahlawan di pandemi ini. Namun, melihat si Bapak malam itu, aku sadar bahwa pejuang dalam pandemi ini bukan hanya dokter atau tenaga kesehatan, tapi juga para pengemudi ojol, kurir, pedagang pasar, petugas minimarket, sopir kendaraan umum, polisi, dan masih banyak lagi.

Ketika pandemi menggila, mereka tetap harus keluar rumah, harus bekerja, demi menafkahi keluarga. Bapak ini bahkan harus keluar rumah bersama istrinya, yang mungkin berarti mereka meninggalkan anak-anak mereka di rumah. Bagaimana perasaan anak-anak mereka? Mereka mungkin juga takut orang tua mereka terpapar virus ini. Tapi mereka tidak punya pilihan karena orang tua mereka harus bekerja.

Aku tercenung, memandangi motor si Bapak menderu semakin jauh, membonceng istrinya pulang ke rumah.

Pahlawan di masa pandemi adalah mereka-mereka yang setia melakukan tanggung jawabnya. Coba bayangkan jika tidak ada driver ojol. Keluargaku pasti kesulitan untuk membeli makanan. Berkat pelayanan para driver, aku dan keluargaku tidak harus keluar dari dekapan aman keempat dinding rumah kami, terlindung dari virus yang mengamuk di luar.

Perlahan pikiranku melayang ke ratusan, bahkan mungkin jutaan orang lain yang malam ini berada di luar rumah, bertarung melawan pandemi, demi melayani kita semua dan menafkahi keluarga mereka. Banyak di antara mereka mungkin memiliki keluarga yang mengkhawatirkan mereka seperti aku kepada papaku.

Dalam situasi seperti sekarang ini, rasanya wajar jika kekhawatiran itu muncul dalam hati. Kita mengkhawatirkan kesehatan kita dan anggota keluarga kita. Kurasa itu tidak apa-apa. Yang jadi masalah adalah, apakah kemudian rasa khawatir itu membuat kita mengabaikan segala tugas kita dalam melayani sesama? Apakah kemudian kemampuan dan karunia yang kita terima dari Tuhan harus kita “nonaktifkan” sementara waktu sambil menunggu keadaan pulih dan membaik?

Sebait firman Tuhan terbesit dalam pikiranku: “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah” (1 Petrus 4:10). Kita diminta untuk melayani sesama dengan segala karunia yang sudah Tuhan berikan kepada kita, dan sesuai dengan kemampuan serta keterampilan yang kita miliki. Tidak hanya dalam situasi yang baik-baik saja tetapi juga dalam keadaan paling buruk sekalipun.

Hal ini menyadarkanku bahwa life must go on. Semengerikan apa pun keadaan di luar sana, banyak orang yang harus tetap keluar untuk berjuang menghidupi keluarga mereka. Dan menurutku, mereka semua pahlawan dan pejuang tangguh. Kita pun, yang beruntung bisa tetap tinggal di rumah, bisa mendukung mereka dengan doa, tetap menggunakan layanan mereka, memberi tips, atau sesimpel memberikan senyuman ramah. Hanya Tuhanlah kekuatan dan pengharapan kita.

Setiap malam, kami sekeluarga berdoa bersama menopang papa. Papa berpesan agar aku selalu ingat bahwa Allah-lah perisai kita, seperti yang terungkap dalam Mazmur 33:20: “Jiwa kita menanti-nantikan TUHAN. Dialah penolong kita dan perisai kita!”

Ya, Allah-lah perisai bagi para pejuang pandemi ini: papaku dan mereka semua yang sedang berjibaku di luar sana. Kiranya Tuhan melindungi dan menjaga mereka semua. Terima kasih karena sudah berjuang!

Dari aku, putri seorang dokter

Baca Juga:

Tuhan, Runtuhkanlah Tembokku Agar Aku Bisa Memandang-Mu

Berawal dari trauma di masa lalu, aku melindungi diriku dengan membangun ‘tembok’ yang kuharap bisa melindungiku dari terluka. Tapi, tembok ini malah membuatku semakin terasing dan terisolasi.

Berhenti Sejenak untuk Berdoa | Berdoa bagi Indonesia

Ketika perahu yang kita naiki terguncang karena badai, seringkali kita lupa bahwa tidak ada badai yang terlalu hebat untuk Tuhan Yesus tenangkan.

Hari-hari ini, ketika kita menyaksikan atau bahkan juga mengalami kegetiran dan kesedihan yang diakibatkan oleh badai pandemi, adalah baik untuk datang pada Bapa. Dia tahu dan peduli apabila ada dari antara kita yang dengan berat hati harus mengikhlaskan kepergian yang mendadak; keterpisahan sementara dengan orang-orang terkasih; kesulitan karena lapangan kerjanya terdampak; dan banyak nestapa lainnya yang menghadang.

Datanglah pada Tuhan, mencari wajah-Nya dengan berdoa.

Doa yang kita naikkan mungkin tidak akan mengubah keadaan dalam sekejap, tetapi dengan berdoa, kita mengizinkan damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal memelihara hati dan pikiran kita dalam Kristus Yesus.

Bersama Tuhan Yesus, kita pasti bisa melalui semua ini.

#WarungSaTeKaMu
#LawanPandemi #SatukanHati #PrayForIndonesia #BerdoaBagiBangsa

Di Balik Angka yang Kian Melejit

Hari-hari ini, ada banyak alasan untuk kita menjadi tawar hati ataupun apatis dengan apa yang sedang terjadi… Tetapi, yuk kita satukan hati. Pandemi ini hanya bisa dikalahkan dengan aksi-aksi kolektif kita bersama.

3 Pelajaran Berharga Dariku, Seorang Penyintas Covid-19

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Pada tanggal 14 April 2021 aku kaget ketika membaca kertas dihadapanku. Surat keterangan hasil swab tes antigen tersebut menyatakan bahwa aku positif Covid-19. Kemudian aku beranjak dari gedung laboratorium klinik swasta itu dengan perasaan campur aduk. Di atas motor yang kukendarai aku bertanya-tanya “Lalu bagaimana, Tuhan? Apa yang harus aku lakukan?”

Sesampainya di rumah kontrakan, aku menelepon salah satu rekan yang juga pernah mengalami positif Covid-19. Dia menenangkanku dan memberikan beberapa saran. Aku harus melakukan isolasi mandiri selama 14 hari ke depan karena gejala yang aku alami tidak parah. Aku mulai kehilangan penciuman sejak 3 hari sebelum aku memutuskan untuk swab antigen. Selebihnya aku tidak merasakan gejala seperti sesak nafas atau pun demam. Sehingga aku masih bisa melakukan aktifitas seperti biasa meski semuanya dilakukan di rumah saja.

Aku juga menghubungi keluarga dan beberapa orang yang aku temui selama satu minggu belakangan. Hal yang paling aku takutkan adalah jika aku menularkan penyakit itu pada orang lain. Aku tidak bisa membayangkannya. Penyesalan dan rasa bersalah yang akan menghantuiku jika mereka harus menderita sakit karena tertular olehku. Aku bersyukur ketika tahu bahwa orang-orang yang berinteraksi denganku selama satu minggu terakhir tidak mengalami gejala Covid-19. Tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki keluhan sakit.

Pengalaman terinfeksi dan isolasi mandiri memberiku beberapa pelajaran, dan inilah yang ingin kubagikan pula untukmu.

1. Aku tidak sendirian di masa yang sulit ini

Di kota tempatku bekerja dan melayani, aku tinggal seorang diri di rumah kontrakan, tapi meski jauh dari keluarga aku bersyukur memiliki saudara seiman di sini. Ketika tahu bahwa aku positif Covid-19 dan harus melakukan karantina mandiri, Allah memakai mereka untuk memenuhi kebutuhanku. Mulai dari membelikan multivitamin, susu, bahan makanan dan bahkan oximeter (alat pengukur kadar oksigen dalam darah). Bukan hanya saudara seiman yang ada di kota yang sama denganku, mereka yang di luar kota juga menunjukkan kasihnya dengan bertanya kabar dan mengirimkan makanan. Jarak tidak menjadi penghalang untuk bisa menunjukkan kepedulian.

Aku merasa bahwa ayat firman Tuhan di Galatia 6:2 ini benar-benar aku alami “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” Allah seringkali menunjukkan kasih-Nya melalui uluran tangan saudara seiman. Aku semakin tidak ragu akan kebaikan dan pemeliharaan Allah dalam hidupku.

Tuhan menginginkan kita mengambil bagian dalam kesulitan yang dialami oleh saudara-saudara kita. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan, mulai dari mendoakan, mengirim pesan singkat, menelepon, memberi apa yang bisa kita berikan. Dengan saling tolong-menolong inilah kita menjadi perpanjangan tangan Allah bagi saudara kita.

2. Aku semakin mengenal siapa Allah dan diriku sendiri

Sebagai seorang ekstrovert yang menjalani masa karantina mandiri, tidak bertemu atau berinteraksi langsung dengan manusia lain adalah suatu bencana bagiku. Aku mulai merasakan kekhawatiran dan ketakutan yang sulit untuk dijelaskan. Aku merasa tidak sanggup untuk menjalani satu hari lagi tanpa bertemu dengan seorang pun. Aku merindukan sebuah pertemuan! Ada waktu di mana aku pergi tidur dan menangis tanpa tahu apa sebabnya. Aku berusaha untuk terus optimis dan bersukacita, namun rasa sedih itu tidak mau kunjung pergi. Aku berdoa dan memohon kepada Allah untuk memberiku kekuatan dan damai sejahtera. Aku bertanya “Apa yang Kau inginkan untuk aku pelajari dari kejadian ini?”

Aku diperhadapkan dengan diriku sendiri. Tidak ada yang lain selain aku dan Tuhan. Dia mulai membukakan kepadaku, luka yang selama ini aku sembunyikan. Ternyata selama ini aku menyimpan kekecewaan yang berasal dari masa lalu. Alih-alih menyembunyikannya, Tuhan ingin aku merengkuh setiap luka itu dan menghadapinya bersama-sama. Dia rindu untuk memulihkanku, bukan hanya dari penyakit Covid-19 tetapi terlebih lagi dari luka yang ada di hatiku. Selama masa karantina mandiri, aku mengenal diriku sendiri bahwa ternyata aku tidak setangguh kelihatannya dan itu tidak apa-apa.

Dia adalah Allah yang tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya. Dia adalah Allah yang setia. Ketika kita tidak percaya pada diri kita sendiri dan ingin menyerah, Allah tidak pernah menyerah untuk terus membentuk kita menjadi pribadi yang dikehendaki-Nya. Mungkin kita memiliki banyak bekas luka, itu tidak apa-apa. Bekas luka itu akan mengingatkan kita bahwa kita telah melalui banyak hal dalam hidup ini. Bekas luka itu juga mengingatkan kita jika kita boleh ada hingga saat ini, itu semua karena penyertaan dan kemurahan Tuhan semata.

3. Kita perlu punya iman tetapi juga kewaspadaan

Aku tidak bangga dengan pengalaman menjadi penyintas Covid-19, karena aku sadar ini terjadi akibat kelalaianku sendiri. Meski aku tidak begitu yakin kapan dan di mana aku terkena virus itu, nampaknya ini karena aku tidak segera membersihkan diri setelah menaiki bus angkutan umum. Aku berharap semoga sikapku ini tidak ditiru. Aku mengakui bahwa tidak ada seorang pun yang bisa kebal terhadap Covid-19: kaya-miskin, tua-muda, hitam-putih, orang dengan agama apa pun, dapat terjangkit virus ini.

Iman adalah hal penting dalam hidup orang percaya, namun bukan berarti itu meniadakan tindakan kita untuk mewaspadai supaya tidak terkena Covid-19. Sebab iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:17). Dengan mematuhi protokol kesehatan, membatasi pertemuan dengan kerumunan orang, dan terus menjaga pola hidup yang sehat adalah wujud iman kita juga. Hal ini dapat membuat kita terhindar dari Covid-19 dan menolong orang lain untuk tidak tertular.

Kita memang sedang menghadapi masa yang tidak mudah. Mungkin kita sudah kehilangan orang terkasih di masa pandemi ini, ada juga yang sedang berjuang untuk sembuh, ada yang sabar mendampingi kerabat yang sedang sakit. Tidak ada yang tahu pasti tahu kapan Covid-19 akan segera berakhir, namun kiranya kita mau tetap percaya bahwa Dia adalah Allah yang peduli. Jika Dia sangat peduli dengan hal yang paling penting dalam hidup umat manusia yaitu keselamatan kekal mereka, maka terlebih lagi dalam menghadapi Covid-19 ini.

Aku tidak tahu pasti alasan mengapa Tuhan mengizinkan pandemi ini terjadi, dan mungkin memang tidak perlu tahu. Satu hal penting yang aku tahu, Dia adalah Tuhan yang mengetahui setiap kesedihan, rasa sakit, dan penderitaan yang kita alami karena Dia pernah menjadi manusia, sama seperti kita. Kiranya Tuhan memampukan kita menghadapi masa-masa sulit ini. Kiranya damai sejahtera dan sukacita dari Allah melimpah dalam hati kita.

Soli Deo Gloria!

Baca Juga:

Belajar Mengasihi Orang Asing: Aku vs Ketakutanku

Kehadiran orang asing dalam hidup seringkali bukan sekadar kebetulan. Apa yang harus kita lakukan untuk menunjukkan kasih kepada mereka?

Dilema Memutuskan Keluar Kerja di Tengah Pandemi

Oleh Leah Koh
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Quit My Job In The Midst Of The Pandemic

Di akhir tahun kemarin aku meninggalkan pekerjaanku sebagai guru yang sudah kutekuni selama 15 tahun—sebuah pekerjaan yang memberiku keseimbangan di tengah tuntutan antara kerja dan keluarga.

Dua tahun ke belakang, aku putus asa dan kelelahan karena kelas-kelas yang kuampu tidak berjalan dengan baik. Meskipun aku sering berdoa agar dikuatkan dan aku merasakan sukacita membangun relasi dengan murid-muridku dan menolong mereka belajar dan bertumbuh setiap hari, bekerja dengan bos yang suka mengkritik dan minim empati sungguh menghancurkan semangatku. Ditambah lagi lingkungan kerjaku yang toksik. Aku sangat takut jika membuat kesalahan, hingga kala malam aku pun susah tidur dan sesak nafas.

Ketika akhirnya pandemi datang dan lockdown diberlakukan, aku merasa lebih lega bisa bekerja di rumah, jauh dari lingkungan yang toksik. Namun, ketika sekolah kembali dibuka, aku takut. Aku tidak tahu apakah aku bisa memenuhi semua tuntutan kerjaku.

Suatu hari, ketika aku sedang sendiri di kamar mandi, kutanya Tuhan apakah aku sebaiknya keluar dari pekerjaan ini. Hatiku berbeban berat dan aku sangat ingin keluar, tapi aku tak mau jika alasanku keluar adalah karena ketakutanku dan rasa putus asaku.

Tuhan menjawab doaku. Dari Juli sampai September, aku mengalami gejolak emosi, mulai dari dibentak-bentak bosku hanya karena hal sepele, yang kemudian merembet ke hal lain. Ini saatnya, kubilang pada diriku sendiri; ini tandanya. Ini waktu untuk keluar. Jadi, dengan nasihat dari teman gerejaku dulu yang menjadi direktur HR, aku mendapat keberanian untuk mengakhiri relasiku dengan bosku di bulan September.

Menghadapi masa depan yang tak pasti

Namun, keluar kerja tidak sebebas apa yang kupikirkan dulu. Kekhawatiran mulai masuk. Aku tidak punya rencana cadangan dan tak tahu berapa lama uangku akan cukup. Masa depanku terasa suram.

Tuhan mengingatkanku dengan firman-Nya, “Aku hendak mengajar dan menunjukkan kepadamu jalan yang harus kautempuh; Aku hendak memberi nasihat, mata-Ku tertuju kepadamu” (Mazmur 32:8). “Janganlah ingat-ingat hal-hal yang dahulu, dan janganlah perhatikan hal-hal yang dari zaman purbakala! Lihat, Aku hendak membuat sesuatu yang baru, yang sekarang sudah tumbuh, belumkah kamu mengetahuinya? Ya, Aku hendak membuat jalan di padang gurun dan sungai-sungai di padang belantara” (Yesaya 43:18-19).

Setelah keluar kerja, aku membuat diriku sibuk dengan melakukan riset online dan membaca banyak buku, berharap mendapatkan pekerjaan di bidang pengembangan belajar tapi dalam lingkup korporat. Passion-ku adalah desain dan mengajar, jadi kupikir aku bisa mencari pekerjaan di dua bidang ini.

Tapi, berpindah bidang kerja terkhusus di masa pandemi ini susah. Aku kewalahan bagaimana belajar membuat cover-letter dan memperbaiki resume-ku, merapikan profil LinkedIn, belajar bagaimana lolos wawancara, dan lain sebagainya. Aku baru bisa tidur larut malam karena selalu khawatir akan masa depan.

Janji Allah yang memberi penghiburan

Suatu malam aku bermimpi. Aku sedang menyetir dan tersesat. Aku sangat takut hingga aku berseru pada Tuhan, memohon agar dia menolongku. Tak disangka, Tuhan hadir! Tapi, dia tidak menggantikan posisiku mengemudi. Dia hanya duduk di sampingku dan mulai mengajakku mengobrol. Anehnya rasa takutku hilang dan aku bisa mengemudi dengan tenang. Meskipun aku masih tersesat, aku tidak lagi takut karena Tuhan di sampingku. Aku tidak sendiri. Dia ada bersamaku dan aku tahu aku akan kembali ke jalan yang benar.

Meskipun itu cuma mimpi, aku merasa kembali hidup dan bersemangat saat kuceritakan kembali mimpiku ke suami dan anakku. Melalui mimpi, Allah berjanji tidak akan meninggalkanku.

Aku mulai membaca lebih banyak buku-buku Kristen dan mendengarkan khotbah untuk mengingatkanku akan siapa diriku di dalam Kristus–bahwa aku adalah anak yang disayang-Nya. Tuhan menampakkan kehadiran-Nya dalam cara yang berbeda. Dia memberiku teman-teman yang menguatkanku. Dia memberiku ketekunan untuk tetap mencari kerja, meskipun aku tidak menerima respons apa pun dari email-email yang kukirim. Aku tahu Tuhan berkarya sekalipun aku tidak melihat apa yang sedang terjadi.

Mengalami pemeliharaan Allah

Sebelum aku keluar di bulan November, aku mendaftar ke Design Education Summit yang diselenggarakan pada Februari. Di acara ini, aku menemukan sebuah organisasi yang membuatku tertarik untuk bergabung sebagai relawan fasilitator. Direktur dari organisasi itu malah menanyaiku apakah aku tertarik untuk bergabung di bidang manajerial di mana tugasku adalah mendesain program untuk anak-anak. Aku tertarik lalu mendaftar.

Prosedur setelahnya adalah aku melalui dua wawancara yang berjalan sangat lancar. Namun, di malam setelah wawancara keduaku, direktur memberi tahu bahwa organisasi itu tidak bisa mendapatkan dana hibah dari pemerintah sebelum Februari. Tanpa dana hibah itu, aku tidak bisa mendapatkan gaji yang sesuai dengan keinginanku. Tapi, tidak ada jalan lain bagiku jika aku harus menunggu sampai Februari karena di November adalah bulan terakhirku bekerja.

Aku merasa hancur. Aku pikir inilah pintu yang Tuhan telah bukakan buatku. Teman gerejaku menasihatiku untuk berdoa agar dana hibah itu bisa turun lebih cepat. Tidak ada hal lain yang bisa kulakukan saat itu selain menunggu dan berdoa. Lewat khotbah yang kutonton online, Tuhan menegaskan kembali janji penyertaan-Nya. Yang kuperlukan adalah meletakkan kepercayaanku pada-Nya dan memuliakan-Nya di dalam segala hal yang kulakukan.

Sekitar seminggu setelahnya, sang direktur menjadwalkan sesi Zoom denganku. Pekerjaan yang dia tawarkan tidak sesuai harapanku karena aku akan mendapatkan potongan gaji yang lumayan besar. Aku dilema antara menerima tawaran kerja dengan gaji kecil atau berusaha lagi bernegosiasi hingga menemukan titik sepakat.

Esoknya aku bertemu kembali dengan direktur. Aku teringat kisah tentang bangsa Israel ketika mereka di padang gurun–bagaimana Allah mengubah arah angin yang menyebabkan burung-burung puyuh terbang di atas kemah-kemah (Keluaran 16:12-13; Mazmur 105:40). Tuhan tentu menyediakan apa pun yang orang-orang butuhkan, sekalipun itu di tengah padang gurun, dan Dia pun tentu dapat melakukan yang sama untukku.

Temanku juga menyemangatiku untuk memilih jalan setapak yang membutuhkan iman untuk melangkah di atasnya. Dua jam sebelum pertemuanku, aku membaca kisah Daud dan Goliat. Meskipun Daud berperawakan kecil dan cuma bersenjata umban batu, dia meletakkan imannya pada Allah.

Momen-momen ini mengingatkanku akan kesetiaan-Nya dan bagaimana Dia telah menyertaiku di sepanjang perjalanan yang kulalui. ‘

Dengan berani aku pun mengikuti meeting final dengan direktur itu. Tawaran yang dia berikan sesuai dengan harapanku. Aku bahkan tidak perlu meminta! Dia berkata kalau pemerintah telah melonggarkan dana hibah tersebut selama enam bulan, sehingga itu memungkinkan bagi mereka untuk merekrutku. Aku menerima tawaran itu dengan damai di hati, meyakini bahwa Tuhanlah yang telah membawaku tiba sampai ke titik ini.

Tuhan telah mengajariku banyak hal dalam perjalanan ini. Dia menunjukkanku bahwa Dia hadir secara nyata dan mengasihiku dengan sungguh. Dia memberikan anugerah-Nya di dalam kelemahanku.

Aku harap kisahku bisa menguatkan orang-orang yang mengalami pergumulan yang sama sepertiku. Seperti Amsal 3:5-6 berkata, “Percayalah kepada Tuhan dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri. Akuilah Dia dalam segala lakumu, maka Ia akan meluruskan jalanmu.”

Kisahmu mungkin akan berbeda dari kisahku, tapi satu jaminan yang selalu dapat kita pegang: ketika kita bersandar pada Allah, kita bisa percaya bahwa Dia setia dan Dia selalu menyediakan. Dialah Bapa kita, dan kitalah anak-anak-Nya.

Baca Juga:

Menikmati Bumi Pemberian Allah Bersama Makhluk Lain

Kita perlu menyadari kembali bahwa penduduk yang hidup di bumi bukan hanya manusia, pun pemilik bumi juga bukan manusia. Tetapi kenyataannya, sebagian manusia suka “mendadak lupa” atau justru sengaja mengabaikan keberadaan penduduk bumi lainnya.

Menghadapi Pandemi: Kita Butuh Lebih Dari Sekadar Berani

Oleh Adiana Yunita, Yogyakarta

Hampir setahun berlalu tetapi pandemi belum mereda. Sebaliknya, malah makin meluas. Virus ini awalnya tampak jauh dari hidupku karena aku selalu menerapkan disiplin protokol kesehatan dan belum ada orang-orang di inner-circle-ku yang terkonfrimasi positif. Tapi, belakangan tetanggaku positif, disusul dengan temanku. Rasa tenang dan aman pun mulai berubah menjadi resah dan gelisah.

Di tengah rasa gelisahku itu, keluargaku berkumpul untuk melakukan ibadah keluarga. Kami biasanya membaca sebuah ayat atau perikop. Kali ini, bacaan diambil dari Hakim-hakim 7:1-8, ketika Gideon dan pasukannya akan pergi berperang melawan orang Midian. Pertama-tama, Gideon membawa 32 ribu pasukan, namun Tuhan berfirman bahwa jumlah itu terlalu banyak. Tuhan meminta Gideon berseru: siapa anggota pasukan yang takut dan gentar agar pulang ke rumah masing-masing. Hasilnya, 22 ribu orang undur diri sehingga tersisa 10 ribu orang. Mereka tentu adalah pasukan perang yang berani dan tak gentar. Namun, Tuhan berfirman lagi bahwa jumlah tersebut masih terlalu banyak. Tuhan memerintahkan Gideon untuk meminta pasukannya minum air. Mereka yang minum dengan berlutut dan menjilat air seperti seekor anjing harus disingkirkan. Yang harus Gideon pilih ialah mereka yang minum dengan menghirup air dengan membawa tangannya ke mulutnya (Hakim-hakim 7:5-6). Maka, tersisalah 300 orang yang dipilih Allah, yaitu mereka yang minum dengan cara mencedok air dengan tangan mereka. Tetapi, mengapa kelompok pasukan itu yang dipilih? Sebab, mereka yang minum dengan berlutut adalah pasukan yang bersikap tidak siaga. Bayangkan jika ketika mereka sedang minum dan pasukan musuh menyerang? Allah memilih pasukan yang bersikap siaga untuk membawa kemenangan bersama Gideon.

Kisah Gideon memberi ketenangan di tengah kekalutanku menghadapi pandemi yang rasanya tak kunjung berakhir. Firman-Nya memberi terang bagi langkahku. Masa pandemi ini mungkin bisa kita ibaratkan seperti sedang ‘berperang’ melawan musuh-musuh yang tak terkira jumlahnya. Seperti para pasukan Gideon, pasti banyak pula di antara kita yang takut dan gentar, sebagaimana aku pun merasa was-was. Namun, ada satu alasan yang dapat membuat kita tetap berani dan tidak gentar, yaitu ketika kita tahu bahwa Allah berjalan bersama-sama dengan kita.

Institute of Basic Life Principle mendefinisikan karakter ‘berani’ atau boldness sebagai sikap yang menerima segala konsekuensi, termasuk penderitaan. Ketika kita melakukan kebenaran dengan yakin, itu akan menghasilkan kuasa kasih yang lebih besar. Sebagai umat Allah, kita betul-betul bisa merasakan kehadiran Allah di manapun, kapan pun, dan dengan siapa pun. Kehadiran-Nya itulah yang memampukan kita bersikap berani untuk mengerjakan panggilan kita. Namun, apakah itu berarti kita hanya bermodalkan rasa berani saja untuk memenangkan pertempuran?

Di antara orang-orang yang berani itu, ada satu lagi karakter yang Tuhan inginkan. Tuhan memilih mereka yang bersikap siaga dalam segala hal! Siaga atau alertness berarti melatih indera jasmani dan rohani kita untuk mengenali bahaya yang dapat mengurangi sumber daya yang dipercayakan kepada kita. Sikap siaga salah satunya juga termasuk siaga terhadap kesehatan kita dan orang-orang di sekitar kita. Karena itu, mengikuti anjuran pemerintah dan ahli kesehatan dengan mematuhi protokol kesehatan adalah bentuk kesiagaan kita menghadapi musuh-musuh tak terlihat itu.

Terpujilah Allah karena firman-Nya senantiasa menjadi pelita bagi kaki kita dan terang bagi jalan kita. Aku sangat bersyukur karena setelah mendengar firman ini, khawatirku digantikan dengan pengharapan akan janji penyertaan-Nya yang sempurna. Sekalipun kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari, kita tetap percaya bahwa bagian kita adalah tetap berani dan siaga di tengah pandemi ini. Aku percaya, akan ada banyak kesempatan yang terlewatkan jika kita terus takut dengan pandemi ini dan abai dengan protokol yang sudah dicanangkan. Jadi, tetaplah maju dengan pasti bersama dengan Allah di tengah ketidakpastian dunia ini.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Berhentilah Membanding-bandingkan Dosa Kita dengan Dosa Orang Lain

Kita sering membanding-bandingkan, termasuk jika itu bicara soal dosa. Namun, terlepas dari siapa yang tampak ‘lebih baik’ dari perbanding-bandingan itu, fakta yang pasti ialah kita semua sejatinya adalah pendosa