Posts

Ketika Aku Menggenggam Terlalu Erat

Oleh Wira Perdana, Ambon

“Apa jadinya hidup tanpa kehadirannya?” Sanggupkah aku?” Mampukah aku?”

Pertanyaan-pertanyaan itulah yang bermunculan di pikiranku ketika mendapat kabar bahwa Ayah pergi untuk selamanya pada 10 September 2021 yang lalu karena terpapar COVID-19. Sungguh sebuah kenyataan yang sulit diterima pada saat itu.
Dalam keheningan dini hari, aku hanya bisa menangis dan meratapi kenyataan di kamar kosan seorang diri. Hatiku remuk dan hancur. Tubuhku pun lemas tak berdaya.

Tidak berada di sampingnya saat akhir hidupnya adalah sebuah hal yang tidak pernah aku bayangkan dan terasa sungguh menyesakkan hati. Terlebih aku hanya bisa menyaksikan proses pemakaman secara virtual karena kondisi pandemi saat itu masih sangat mewabah. Aku hanya bisa pasrah, sebuah kesedihan yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, hanya dapat diungkapkan dengan air mata.

Berbagai ungkapan dukacita datang dari sanak saudara, keluarga, juga para sahabat. Namun, sejujurnya ungkapan itu tak berdampak sama sekali padaku. Saat itulah kusadari bahwa aku begitu rapuh.

Seringkali aku menguatkan orang lain yang pernah mengalami hal serupa dengan cara memberikan kata-kata motivasi yang disertai ayat Alkitab. Namun, ketika aku yang mengalaminya, cara tersebut tidak dapat menguatkanku. Aku pikir aku kuat, tapi ternyata tidak. Dan hati kecilku bertanya, apa maksud dan rencana Tuhan bagiku dan keluargaku?

Rasa cemas dan khawatir selalu menghampiriku, terutama di awal kepergian ayah. Bagaimana hidupku selanjutnya tanpa adanya sosok ayah? Siapa yang akan menjadi tumpuan dan tulang punggung keluarga? Terlebih, siapa yang bisa menjadi problem solver ketika kelak kami punya masalah? Sungguh, kehilangan sosok ayah membuatku dan keluargaku seperti kehilangan arah.

Ayah ibarat sebuah pohon besar yang memberi kerindangan bukan hanya bagi keluarga kami, melainkan bagi seluruh keluarga besar. Ayah selalu mengupayakan segala yang terbaik bagi keluarganya, sekalipun terkadang dia melupakan kesenangannya sendiri. Dan menjelang akhir hidupnya, ayah masih menjadi sosok yang sama.

Kehadiran Ayah terkadang membuatku lupa arti kekurangan. Ayah selalu berusaha mencukupi dan memenuhi apa yang menjadi kebutuhan dan keinginanku serta keluarga. Bahkan hingga aku sudah bekerja di salah satu instansi pemerintah, Ayah tetap ingin mengirim penghasilannya padaku sekalipun beliau juga sedang merantau bekerja di salah satu daerah pedalaman Papua, yang dari segala akses justru lebih sulit dari tempatku yang bekerja di perkotaan.

Beberapa hari setelah Ayah berpulang untuk selamanya, di tengah kondisi yang masih berduka aku mendapatkan pesan dari seorang sahabat di Yogyakarta, yang mengingatkanku bahwa kepergian Ayah memang bukan hal yang mudah, tetapi dapat menjadi kesempatan bagiku dan keluargaku untuk semakin mengalami kasih Bapa secara langsung tanpa melalu perantara seorang Ayah lagi.

Pesan tersebut kemudian menjadi titik balik bagiku yang di satu sisi menguatkanku, namun sekaligus menyadarkanku bahwa selama ini aku sangat bergantung pada sosok seorang Ayah. Aku lupa bahwa kehadiran seorang ayah adalah salah satu perpanjangan dan saluran dari kasih dan kebaikan Tuhan, bukan untuk menjadi pengganti-Nya. Kedukaanku yang terus berlarut terjadi karena selama ini aku terlalu mengandalkan dan memegang erat sosok seorang ayah melebihi Tuhan. Alhasil, ketika akhirnya ayah pergi, aku dilanda kecemasan yang luar biasa.

Setelah waktu-waktu yang panjang dan proses yang Tuhan izinkan, aku belajar menerima bahwa kehilangan sosok ayah tidak lagi menjadi momok yang menakutkan, justru menjadi sebuah kekuatan dan harapan yang terus aku imani bahwa Tuhan ingin menyalurkan kasih dan kebaikan-Nya secara langsung. Tugas ayah di dunia telah selesai, dan sekarang tugasku untuk melanjutkan kembali hidup dengan pertolongan Tuhan.

Bapa Surgawi ingin aku belajar bergantung dan melekatkan segala harapanku kepada-Nya, bukan melalui ciptaan-Nya. Ayah bukanlah milikku. Ayahku adalah milik-Nya yang dititipkan untuk sementara waktu, hingga pada waktu yang telah ditetapkan-Nya, ayah akan diambil kembali. Demikian pula dengan semua orang yang kita kasihi: orang tua, pasangan, sahabat, dan sosok lainnya, tidak ada yang abadi. Namun, kita membutuhkan sesama di dunia ini dan harus menghargai keberadaan mereka selagi masih diberi kesempatan untuk hidup di dunia ini. Tuhan menciptakan sesama manusia untuk saling membantu dan membangun, terlebih untuk menjadi berkat bagi kemuliaan nama-Nya (Roma 14:8).

Kepergian ayah kini membuatku belajar untuk menghargai waktu bersama orang-orang terkasih yang masih Tuhan “titipkan” dalam hidupku, agar aku tidak menyesal di kemudian hari. Dan aku berharap, pengalamanku ini juga dapat menjadi kesaksian untuk menguatkan orang lain yang mengalami hal serupa atau kehilangan orang yang dikasihi.

Bagi kita yang pernah maupun sedang mengalami kehilangan orang terkasih, tak perlu cemas dan khawatir, karena pemeliharaan sesungguhnya berasal dari Tuhan sendiri. Percayalah, segala sesuatu diizinkan-Nya terjadi bagi kebaikan kita semua. Dan waktu-Nya adalah waktu yang terbaik.

“Demikian juga kamu sekarang diliputi dukacita, tetapi Aku akan melihat kamu lagi dan hatimu akan bergembira dan tidak ada seorang pun yang dapat merampas kegembiraanmu itu dari padamu” (Yohanes 16:22).

Ketika Tuhan Memulihkan Keluargaku Lewat Covid-19

Oleh Mary Anita, Surabaya

Awalnya, kuharap pandemi Covid-19 yang telah terjadi lebih dari setahun ini tidak akan menimpa keluargaku. Tetapi, yang kuharapkan tak selalu sejalan dengan cara Tuhan. Ada kalanya Tuhan memakai hal yang paling tidak kita inginkan untuk mendatangkan kebaikan.

Cerita ini dimulai pada awal Mei. Seorang pendeta kenalan papa mengontak kami. Dia mengajak kami untuk berdoa puasa memohon pemulihan hubungan bagi keluarga kami. Sudah lebih dari 10 tahun kami mendoakan kakak laki-lakiku yang akrab kami panggil ‘koko’. Koko dulu begitu mencintai Tuhan, tetapi karena kecewa dalam pelayanan di gereja dan kepahitan pada papa sejak remaja, dia perlahan undur. Selama beberapa waktu, doa puasa kami berlangsung baik, tetapi kemudian tanda tanya pun menggantung. Kami tak kunjung melihat adanya pemulihan keluarga yang akan terjadi.

Bulan Juli, saat PPKM diberlakukan, rumah sakit di mana-mana membeludkan dan kabar dukacita datang silih berganti. Di momen itulah diketahui kalau empat orang dalam keluarga—termasuk koko—positif terinfeksi Covid-19, menyisakan aku dan papa saja yang negatif. Kata dokter, virus yang menjangkit ini adalah varian delta. Kami harus bergerak cepat, dari berburu tabung oksigen, menebus obat-obatan yang sudah langka di banyak apotek, hingga antre untuk mendapatkan kamar inap di rumah sakit.

Di dalam tekanan besar itu, aku tak lagi bisa berpikir jernih. Sebuah firman Tuhan yang kudapat dalam saat teduhku malam sebelumnya terlintas di pikiran:

“Janganlah takut, sebab Aku menyertai engkau, janganlah bimbang, sebab Aku ini Allahmu; Aku akan meneguhkan, bahkan akan menolong engkau; Aku akan memegang engkau dengan tangan kanan-Ku yang membawa kemenangan” (Yesaya 41:10).

Firman itu kurenungkan berulang kali dan selalu menguatkan imanku, terutama dalam waktu-waktu genting. Tuhan menyentuh hatiku dengan kasih-Nya dan menolongku untuk menguasai diri, serta mengingatkanku untuk bersandar hanya pada-Nya, satu-satunya Pribadi yang bisa diandalkan.

Puji syukur, Tuhan perlahan menuntun jalan kami di waktu yang tepat. Kami mendapatkan kamar inap, tapi kenyataan pahit harus kami terima karena dari hasil pemeriksaan dokter, koko mengalami Pneumonia di paru-parunya. Koko membutuhkan plasma kovalesen ketika stok di PMI kosong. Aku menangis, sampai tak lagi bisa menangis karena kadar saturasi oksigennya terus turun ke angka 77 meskipun telah dibantu dengan ventilator.

Aku berdoa, “Tuhan, jujur aku belum siap untuk kehilangan koko. Aku memang memohon kesembuhan untuknya, tapi yang terpenting dari itu adalah berikan ia kesempatan untuk bertobat dan mempercayai-Mu sekali lagi, walau di akhir hidupnya.” Roh Kudus pun menolongku untuk melanjutkan doaku dan mengakhirinya dengan berserah seperti yang Yesus doakan pada Lukas 22:42, “…tetapi bukanlah kehendak-Ku, melainkan kehendak-Mulah yang terjadi.”

Ada rasa damai dan tenang dalam hatiku walaupun kami belum menemukan donor plasma. Dan, siapa sangka malam itu mukjizat terjadi. Seorang teman sepelayanan koko yang hampir satu dekade hilang kontak malahan tiba-tiba membantu memberi donor plasma. Perlahan keadaan koko mulai pulih dan dua minggu setelahnya dia dinyatakan sembuh. Tak berhenti di situ, sakit ini pun memberinya pengalaman pribadi dengan Tuhan yang kemudian membuatnya bertobat, mengampuni papa, dan kembali aktif digembalakan di gereja.

Peristiwa yang terjadi ini bak mimpi bagiku. Tuhan memulihkan kami tidak hanya melalui kesembuhan fisik, tetapi mengubah setiap pribadi kami sekeluarga untuk saling mengasihi satu sama lain, mengandalkan dan memprioritaskan Tuhan selagi hidup, dan mau menjadi perpanjangan tangan-Nya bagi orang lain sama seperti orang-orang yang telah menolong dan bermurah hati pada kami. Tuhan juga membuka mata kami bahwa semua itu terjadi semata karena kasih kemurahan Tuhan.

Kiranya kesaksian singkat ini boleh mengingatkanku selalu bahwa Tuhan selalu mendengar setiap doa dan Dia bekerja di balik layar untuk mendatangkan kebaikan bagi kita anak-anak-Nya. Amin.

“Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah” (Roma 8:28).

Baca Juga:

4 Hal Istimewa dari Kisah Yesus dan Perempuan Samaria

Pertemuan Yesus dengan seorang perempuan Samaria bukan sekadar kisah obrolan biasa, ada 4 hal menarik yang bisa kita temukan dari kisah ini.

Catatan Kecil Anak Seorang Dokter

Oleh Fedora Aletheia Putri Leuwol, Bekasi

Ketika pandemi mengamuk hebat, para dokterlah yang berada di garda terdepan menyelamatkan dan merawat orang-orang yang terinfeksi COVID-19. Salah satunya, papaku sendiri. Bersama para dokter lainnya, papa bekerja begitu keras melayani setiap pasien yang meminta pertolongannya.

Naiknya kasus Covid, berarti bertambah pula jam kerja papa. Dalam keluarga kami, papa adalah orang yang terkenal paling gaptek. Dia biasanya malas memegang HP. Tapi, selama pandemi ini papa jadi memegang HP seharian penuh—dari subuh sampai larut malam, hari kerja atau hari libur. Banyak rumah sakit kewalahan menampung pasien. Mereka yang gejalanya tidak terlalu berat diminta untuk dirawat di rumah saja, alias isoman. Nah, mereka-mereka yang isoman inilah yang paling membutuhkan jasa dokter secara daring, atau istilah bekennya: telemedicine. Papa menulis berlembar-lembar surat resep, hingga mencarikan rumah sakit bagi mereka yang gejalanya memburuk.

Sebagian dari pasien-pasien papa adalah jemaat gereja kami, tetangga di perumahan, teman-teman di kantor mamaku, dan masih banyak lagi. Itu belum termasuk orang-orang yang memberikan nomor WA papaku kepada kenalan mereka yang sakit. Saking banyaknya, papa pernah bilang kalau dia nyaris kewalahan untuk membalas chat dan mengangkat telepon. Untuk sekadar makan atau duduk tenang pun jadi susah.

Karena tuntutan pekerjaannya pula, tiap hari papa pergi ke luar rumah, bertaruh nyawa. Tahun lalu, kami sekeluarga pernah terpapar COVID-19 karena papa tertular dari seseorang yang ia periksa di tempat kerjanya. Beruntung, meski memiliki komorbid, papa bisa sehat kembali. Namun, peristiwa itu membuatku trauma, khawatir papa akan terpapar lagi, dan menulari kami semua.

Aku takut kelelahan kerja akan membuat imun tubuhnya melemah. Itu sebabnya aku selalu memintanya istirahat saja kalau di rumah, tidak usah mengurusi pasien.

“Nggak usah buka WA dululah, untuk sementara,” gertakku.

Papa berkeras, “Tidak bisa begitu, Kak. Kamu bayangin kalau keluargamu yang sakit, kamu WA dokter terus dokternya nyuekin kamu? Gak bisa!”

Usul lain yang pernah kulontarkan, “Coba Papa larang pasien Papa sembarangan kasih nomor Papa. Papa tuh udah sibuk banget!”

Tapi, lagi-lagi ia menolak, “Gak bisalah, Kakak, mana bisa kayak gitu! Orang kok gak boleh minta tolong? Lagi pula, ini memang tugas papa. Pekerjaan papa kan memang menolong orang.”

Kira-kira selalu begitu responnya.

Aku terdiam. Ucapan papa itu membuatku berpikir: betapa besar perjuangan papa, para dokter, perawat, dan tenaga kesehatan lain di masa pandemi ini. Hatiku meradang setiap kali mengingat perjuangan papa. Selain berjuang menyelamatkan orang lain, papa juga menafkahi kami sekeluarga dari pekerjaannya sebagai dokter. Tapi, kalau begini caranya, aku tidak ingin papaku menjadi dokter. Rasanya ingin marah ke seluruh dunia, kenapa harus ada pandemi ini? Mengapa pandemi ini tidak selesai-selesai? Mengapa orang-orang harus selalu mencari papaku untuk meminta tolong? Mengapa begitu banyak orang yang tidak patuh prokes, dan lebih percaya kepada hoax yang mengatakan COVID-19 itu konspirasi?

Sampai suatu ketika, ada satu momen yang membuatku tersadar.

Waktu itu sudah cukup malam. Kami memesan makanan secara daring, dan betapa terkejutnya kami ketika si Bapak driver yang mengantarkan pesanan datang bersama istrinya. Aku tahu itu istrinya karena Bapak itu meminta maaf, katanya: “Maaf ya, Mbak, agak lama, tadi sekalian lewat jemput istri dulu pulang kerja.” Melihat itu aku pun menyadari sesuatu yang tak pernah terpikir olehku.

Selama ini aku selalu mengomel dan mengeluh mengapa papa harus menjadi pahlawan di pandemi ini. Namun, melihat si Bapak malam itu, aku sadar bahwa pejuang dalam pandemi ini bukan hanya dokter atau tenaga kesehatan, tapi juga para pengemudi ojol, kurir, pedagang pasar, petugas minimarket, sopir kendaraan umum, polisi, dan masih banyak lagi.

Ketika pandemi menggila, mereka tetap harus keluar rumah, harus bekerja, demi menafkahi keluarga. Bapak ini bahkan harus keluar rumah bersama istrinya, yang mungkin berarti mereka meninggalkan anak-anak mereka di rumah. Bagaimana perasaan anak-anak mereka? Mereka mungkin juga takut orang tua mereka terpapar virus ini. Tapi mereka tidak punya pilihan karena orang tua mereka harus bekerja.

Aku tercenung, memandangi motor si Bapak menderu semakin jauh, membonceng istrinya pulang ke rumah.

Pahlawan di masa pandemi adalah mereka-mereka yang setia melakukan tanggung jawabnya. Coba bayangkan jika tidak ada driver ojol. Keluargaku pasti kesulitan untuk membeli makanan. Berkat pelayanan para driver, aku dan keluargaku tidak harus keluar dari dekapan aman keempat dinding rumah kami, terlindung dari virus yang mengamuk di luar.

Perlahan pikiranku melayang ke ratusan, bahkan mungkin jutaan orang lain yang malam ini berada di luar rumah, bertarung melawan pandemi, demi melayani kita semua dan menafkahi keluarga mereka. Banyak di antara mereka mungkin memiliki keluarga yang mengkhawatirkan mereka seperti aku kepada papaku.

Dalam situasi seperti sekarang ini, rasanya wajar jika kekhawatiran itu muncul dalam hati. Kita mengkhawatirkan kesehatan kita dan anggota keluarga kita. Kurasa itu tidak apa-apa. Yang jadi masalah adalah, apakah kemudian rasa khawatir itu membuat kita mengabaikan segala tugas kita dalam melayani sesama? Apakah kemudian kemampuan dan karunia yang kita terima dari Tuhan harus kita “nonaktifkan” sementara waktu sambil menunggu keadaan pulih dan membaik?

Sebait firman Tuhan terbesit dalam pikiranku: “Layanilah seorang akan yang lain, sesuai dengan karunia yang telah diperoleh tiap-tiap orang sebagai pengurus yang baik dari kasih karunia Allah” (1 Petrus 4:10). Kita diminta untuk melayani sesama dengan segala karunia yang sudah Tuhan berikan kepada kita, dan sesuai dengan kemampuan serta keterampilan yang kita miliki. Tidak hanya dalam situasi yang baik-baik saja tetapi juga dalam keadaan paling buruk sekalipun.

Hal ini menyadarkanku bahwa life must go on. Semengerikan apa pun keadaan di luar sana, banyak orang yang harus tetap keluar untuk berjuang menghidupi keluarga mereka. Dan menurutku, mereka semua pahlawan dan pejuang tangguh. Kita pun, yang beruntung bisa tetap tinggal di rumah, bisa mendukung mereka dengan doa, tetap menggunakan layanan mereka, memberi tips, atau sesimpel memberikan senyuman ramah. Hanya Tuhanlah kekuatan dan pengharapan kita.

Setiap malam, kami sekeluarga berdoa bersama menopang papa. Papa berpesan agar aku selalu ingat bahwa Allah-lah perisai kita, seperti yang terungkap dalam Mazmur 33:20: “Jiwa kita menanti-nantikan TUHAN. Dialah penolong kita dan perisai kita!”

Ya, Allah-lah perisai bagi para pejuang pandemi ini: papaku dan mereka semua yang sedang berjibaku di luar sana. Kiranya Tuhan melindungi dan menjaga mereka semua. Terima kasih karena sudah berjuang!

Dari aku, putri seorang dokter

Baca Juga:

Tuhan, Runtuhkanlah Tembokku Agar Aku Bisa Memandang-Mu

Berawal dari trauma di masa lalu, aku melindungi diriku dengan membangun ‘tembok’ yang kuharap bisa melindungiku dari terluka. Tapi, tembok ini malah membuatku semakin terasing dan terisolasi.

Berhenti Sejenak untuk Berdoa | Berdoa bagi Indonesia

Ketika perahu yang kita naiki terguncang karena badai, seringkali kita lupa bahwa tidak ada badai yang terlalu hebat untuk Tuhan Yesus tenangkan.

Hari-hari ini, ketika kita menyaksikan atau bahkan juga mengalami kegetiran dan kesedihan yang diakibatkan oleh badai pandemi, adalah baik untuk datang pada Bapa. Dia tahu dan peduli apabila ada dari antara kita yang dengan berat hati harus mengikhlaskan kepergian yang mendadak; keterpisahan sementara dengan orang-orang terkasih; kesulitan karena lapangan kerjanya terdampak; dan banyak nestapa lainnya yang menghadang.

Datanglah pada Tuhan, mencari wajah-Nya dengan berdoa.

Doa yang kita naikkan mungkin tidak akan mengubah keadaan dalam sekejap, tetapi dengan berdoa, kita mengizinkan damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal memelihara hati dan pikiran kita dalam Kristus Yesus.

Bersama Tuhan Yesus, kita pasti bisa melalui semua ini.

#WarungSaTeKaMu
#LawanPandemi #SatukanHati #PrayForIndonesia #BerdoaBagiBangsa

Di Balik Angka yang Kian Melejit

Hari-hari ini, ada banyak alasan untuk kita menjadi tawar hati ataupun apatis dengan apa yang sedang terjadi… Tetapi, yuk kita satukan hati. Pandemi ini hanya bisa dikalahkan dengan aksi-aksi kolektif kita bersama.

3 Pelajaran Berharga Dariku, Seorang Penyintas Covid-19

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Pada tanggal 14 April 2021 aku kaget ketika membaca kertas dihadapanku. Surat keterangan hasil swab tes antigen tersebut menyatakan bahwa aku positif Covid-19. Kemudian aku beranjak dari gedung laboratorium klinik swasta itu dengan perasaan campur aduk. Di atas motor yang kukendarai aku bertanya-tanya “Lalu bagaimana, Tuhan? Apa yang harus aku lakukan?”

Sesampainya di rumah kontrakan, aku menelepon salah satu rekan yang juga pernah mengalami positif Covid-19. Dia menenangkanku dan memberikan beberapa saran. Aku harus melakukan isolasi mandiri selama 14 hari ke depan karena gejala yang aku alami tidak parah. Aku mulai kehilangan penciuman sejak 3 hari sebelum aku memutuskan untuk swab antigen. Selebihnya aku tidak merasakan gejala seperti sesak nafas atau pun demam. Sehingga aku masih bisa melakukan aktifitas seperti biasa meski semuanya dilakukan di rumah saja.

Aku juga menghubungi keluarga dan beberapa orang yang aku temui selama satu minggu belakangan. Hal yang paling aku takutkan adalah jika aku menularkan penyakit itu pada orang lain. Aku tidak bisa membayangkannya. Penyesalan dan rasa bersalah yang akan menghantuiku jika mereka harus menderita sakit karena tertular olehku. Aku bersyukur ketika tahu bahwa orang-orang yang berinteraksi denganku selama satu minggu terakhir tidak mengalami gejala Covid-19. Tidak ada satu pun dari mereka yang memiliki keluhan sakit.

Pengalaman terinfeksi dan isolasi mandiri memberiku beberapa pelajaran, dan inilah yang ingin kubagikan pula untukmu.

1. Aku tidak sendirian di masa yang sulit ini

Di kota tempatku bekerja dan melayani, aku tinggal seorang diri di rumah kontrakan, tapi meski jauh dari keluarga aku bersyukur memiliki saudara seiman di sini. Ketika tahu bahwa aku positif Covid-19 dan harus melakukan karantina mandiri, Allah memakai mereka untuk memenuhi kebutuhanku. Mulai dari membelikan multivitamin, susu, bahan makanan dan bahkan oximeter (alat pengukur kadar oksigen dalam darah). Bukan hanya saudara seiman yang ada di kota yang sama denganku, mereka yang di luar kota juga menunjukkan kasihnya dengan bertanya kabar dan mengirimkan makanan. Jarak tidak menjadi penghalang untuk bisa menunjukkan kepedulian.

Aku merasa bahwa ayat firman Tuhan di Galatia 6:2 ini benar-benar aku alami “Bertolong-tolonglah menanggung bebanmu! Demikianlah kamu memenuhi hukum Kristus.” Allah seringkali menunjukkan kasih-Nya melalui uluran tangan saudara seiman. Aku semakin tidak ragu akan kebaikan dan pemeliharaan Allah dalam hidupku.

Tuhan menginginkan kita mengambil bagian dalam kesulitan yang dialami oleh saudara-saudara kita. Ada banyak hal yang bisa kita lakukan, mulai dari mendoakan, mengirim pesan singkat, menelepon, memberi apa yang bisa kita berikan. Dengan saling tolong-menolong inilah kita menjadi perpanjangan tangan Allah bagi saudara kita.

2. Aku semakin mengenal siapa Allah dan diriku sendiri

Sebagai seorang ekstrovert yang menjalani masa karantina mandiri, tidak bertemu atau berinteraksi langsung dengan manusia lain adalah suatu bencana bagiku. Aku mulai merasakan kekhawatiran dan ketakutan yang sulit untuk dijelaskan. Aku merasa tidak sanggup untuk menjalani satu hari lagi tanpa bertemu dengan seorang pun. Aku merindukan sebuah pertemuan! Ada waktu di mana aku pergi tidur dan menangis tanpa tahu apa sebabnya. Aku berusaha untuk terus optimis dan bersukacita, namun rasa sedih itu tidak mau kunjung pergi. Aku berdoa dan memohon kepada Allah untuk memberiku kekuatan dan damai sejahtera. Aku bertanya “Apa yang Kau inginkan untuk aku pelajari dari kejadian ini?”

Aku diperhadapkan dengan diriku sendiri. Tidak ada yang lain selain aku dan Tuhan. Dia mulai membukakan kepadaku, luka yang selama ini aku sembunyikan. Ternyata selama ini aku menyimpan kekecewaan yang berasal dari masa lalu. Alih-alih menyembunyikannya, Tuhan ingin aku merengkuh setiap luka itu dan menghadapinya bersama-sama. Dia rindu untuk memulihkanku, bukan hanya dari penyakit Covid-19 tetapi terlebih lagi dari luka yang ada di hatiku. Selama masa karantina mandiri, aku mengenal diriku sendiri bahwa ternyata aku tidak setangguh kelihatannya dan itu tidak apa-apa.

Dia adalah Allah yang tidak pernah meninggalkan perbuatan tangan-Nya. Dia adalah Allah yang setia. Ketika kita tidak percaya pada diri kita sendiri dan ingin menyerah, Allah tidak pernah menyerah untuk terus membentuk kita menjadi pribadi yang dikehendaki-Nya. Mungkin kita memiliki banyak bekas luka, itu tidak apa-apa. Bekas luka itu akan mengingatkan kita bahwa kita telah melalui banyak hal dalam hidup ini. Bekas luka itu juga mengingatkan kita jika kita boleh ada hingga saat ini, itu semua karena penyertaan dan kemurahan Tuhan semata.

3. Kita perlu punya iman tetapi juga kewaspadaan

Aku tidak bangga dengan pengalaman menjadi penyintas Covid-19, karena aku sadar ini terjadi akibat kelalaianku sendiri. Meski aku tidak begitu yakin kapan dan di mana aku terkena virus itu, nampaknya ini karena aku tidak segera membersihkan diri setelah menaiki bus angkutan umum. Aku berharap semoga sikapku ini tidak ditiru. Aku mengakui bahwa tidak ada seorang pun yang bisa kebal terhadap Covid-19: kaya-miskin, tua-muda, hitam-putih, orang dengan agama apa pun, dapat terjangkit virus ini.

Iman adalah hal penting dalam hidup orang percaya, namun bukan berarti itu meniadakan tindakan kita untuk mewaspadai supaya tidak terkena Covid-19. Sebab iman tanpa perbuatan adalah mati (Yakobus 2:17). Dengan mematuhi protokol kesehatan, membatasi pertemuan dengan kerumunan orang, dan terus menjaga pola hidup yang sehat adalah wujud iman kita juga. Hal ini dapat membuat kita terhindar dari Covid-19 dan menolong orang lain untuk tidak tertular.

Kita memang sedang menghadapi masa yang tidak mudah. Mungkin kita sudah kehilangan orang terkasih di masa pandemi ini, ada juga yang sedang berjuang untuk sembuh, ada yang sabar mendampingi kerabat yang sedang sakit. Tidak ada yang tahu pasti tahu kapan Covid-19 akan segera berakhir, namun kiranya kita mau tetap percaya bahwa Dia adalah Allah yang peduli. Jika Dia sangat peduli dengan hal yang paling penting dalam hidup umat manusia yaitu keselamatan kekal mereka, maka terlebih lagi dalam menghadapi Covid-19 ini.

Aku tidak tahu pasti alasan mengapa Tuhan mengizinkan pandemi ini terjadi, dan mungkin memang tidak perlu tahu. Satu hal penting yang aku tahu, Dia adalah Tuhan yang mengetahui setiap kesedihan, rasa sakit, dan penderitaan yang kita alami karena Dia pernah menjadi manusia, sama seperti kita. Kiranya Tuhan memampukan kita menghadapi masa-masa sulit ini. Kiranya damai sejahtera dan sukacita dari Allah melimpah dalam hati kita.

Soli Deo Gloria!

Baca Juga:

Belajar Mengasihi Orang Asing: Aku vs Ketakutanku

Kehadiran orang asing dalam hidup seringkali bukan sekadar kebetulan. Apa yang harus kita lakukan untuk menunjukkan kasih kepada mereka?

Menghadapi Penderitaan Tidak dengan Tawar Hati

Oleh Alvin Nursalim

Menjalani kehidupan pasti akan menghadapi penderitaan. Dalam profesiku sebagai dokter, rasa sakit, tangis, dan kesedihan adalah kawan yang menjadi keseharianku.

Pastinya teman-teman setuju bahwa rumah sakit bukanlah tempat berlibur. Di sini setiap pasien datang berobat dan berharap sembuh. Aku ingat ketika aku masih menempuh studi kedokteran dulu, biasanya aku akan sampai di rumah sakit sekitar jam 05:30 pagi. Aku dan rekan-rekan tim medis lainnya datang lebih pagi karena jumlah pasien yang menjadi tanggung jawab residen (dokter yang sedang mengambil program pendidikan spesialis) memang cukup banyak jumlahnya.

Para pasien bahkan datang lebih subuh dari kami. Mereka datang lebih awal untuk mengambil nomor pendaftaran. Rumah sakit tempat kami melayani adalah rumah sakit rujukan. Alhasil, pasien datang dari berbagai daerah dan pelosok negeri. Ada pasien-pasien yang masih anak kecil, masih tertidur di kursi roda mereka dan turut mengantre sedari subuh. Pecah tangis seringkali memenuhi ruangan karena kesakitan yang dialami oleh mereka.

Keadaan tersebut tidak berubah. Rumah sakit tetap penuh, malah mungkin lebih penuh karena pandemi Covid-19. Aku terpanggil untuk melayani pasien-pasien yang terinfeksi virus ini. Dewasa, anak kecil, wanita hamil, semua tidak luput dari virus. Rasa khawatir dan tangis dari pihak keluarga tidak asing bagi telingaku.

Menyaksikan penderitaan yang begitu nyata setiap hari seringkali membuatku termenung. Aku bertanya, “Bapa, mengapa ada penderitaan di dunia ini? Mengapa ada kemiskinan yang membuat banyak orang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan makan hariannya? Mengapa ada penyakit yang memberikan rasa sakit pada banyak orang?”

Pernahkah teman-teman juga bertanya-tanya seperti itu? Mencari tahu mengapa Tuhan tidak menciptakan dunia di mana semua orang seang, berkecukupan, dan tiada penderitaan?

Apakah Tuhan memahami penderitaan manusia?

Pertanyaan itu membawaku untuk menggali lebih dalam tentang penderitaan manusia. Ketika mengalami penderitaan, kita sebagai manusia sering bertanya apakah Tuhan memahami penderitaan kita. Tetapi, kita lupa bahwa diri-Nyalah sejatinya yang paling memahami penderitaan.

Yesus mengakhiri pelayanan-Nya di bumi dengan dihina, dihukum, dan dipaku di kayu salib. Dia mengalami tak cuma penderitaan fisik, juga penderitaan mental di tangan tentara Romawi dan orang-orang yang mencaci-Nya. Dia ditinggalkan oleh teman-teman terdekat-Nya di saat Dia paling membutuhkannya. Penderitaan Yesus telah ternubuatkan dalam tulisan Yesaya, “Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan” (Yesaya 53:3).

Jika kita bergumul dan berdoa pada-Nya, kita sejatinya sedang menyampaikan pergumulan manusia kepada Tuhan yang sangat dekat dan memahami penderitaan. Dia bukan Tuhan yang jauh dan tidak dapat berempati atas penderitaan manusia. Kita datang kepada Tuhan yang benar-benar tahu dan peduli, Dia adalah Tuhan yang juga merasakan bagaimana berada di titik nadir.

Selanjutnya, Yesaya 53:4 menulis, “Tetapi sesungguhnya, penyakit kitalah yang ditanggungnya dan kesengsaraan kita yang dipikul-Nya, padahal kita mengira dia kena tulah, dipukul dan ditindas Allah.”

Penderitaan Yesus melampaui apa yang dapat kita bayangkan. Di kayu salib, semua kejahatan dunia diarahkan pada satu Sosok yang bersih dan murni, yaitu Sang Anak Allah. Yesus melakukannya agar kita beroleh kehidupan, sehingga kejahatan tidak membinasakan manusia.

Mengapa Tuhan dengan segala kuasa-Nya tidak menghilangkan saja penderitaan?

Pertanyaan tersebut memiliki jawaban: suatu hari kejahatan akan disingkirkan selama-lamanya. Suatu hari tidak akan ada lagi dukacita atau rasa sakit. Tuhan akan menghapus setiap air mata (Wahyu 21:4). Tetapi, hari tersebut belumlah tiba.

Jika kita merenungkan posisi kita: siapakah kita manusia berdosa sehingga kita bertanya dan menghakimi Tuhan? Kita adalah ciptaan-Nya dan diciptakan untuk memuliakan-Nya. Justru, seharusnya kita bertanya, apakah hak kita sebagai manusia berdosa untuk menuntut kepada Tuhan yang sudah menebus dosa kita? Namun, terlepas dari segala dosa kita, Tuhan selalu menawarkan diri-Nya sendiri. Dia tidak cuma memberi kita berkat atau janji, tetapi Dia memberi diri-Nya sendiri. Dia merindukan kita datang kepada-Nya, berbicara dengan-Nya, dan membawa penderitaan kita kepada-Nya. Dalam penderitaan kita, Dia tidak meninggalkan kita sendirian. Jika kita berpaling kepada-Nya, ada kekuatan yang tidak pernah kita duga; ada kenyamanan dan pengharapan untuk hari ini dan esok.

Aku ingin mengakhiri tulisan ini dengan sebuah doa yang kuterjemahkan dari kumpulan doa puritan, The Valley of Vision. Doa ini begitu indah dan berisikan permohonan manusia agar bisa terus memuji keagungan Tuhan dan berserah kepada-Nya, terlepas dari keadaan yang tampaknya tidak sesuai harapan.

Tuhan, tinggi dan suci, lemah lembut dan rendah hati,

Engkau telah membawaku ke lembah penglihatan
Di mana aku tinggal di kedalaman tapi melihat-Mu di ketinggian,
dikelilingi gunung dosa aku melihat kemuliaan-Mu.

Biarkan aku belajar dengan paradoks
bahwa jalan turun adalah jalan ke atas,
bahwa menjadi rendah berarti tinggi,
bahwa patah hati adalah hati yang disembuhkan,
bahwa roh yang menyesal adalah roh yang bersukacita,
bahwa jiwa yang bertobat adalah jiwa yang menang,
bahwa tidak memiliki apa-apa berarti memiliki semua,
bahwa memikul salib adalah memakai mahkota,
bahwa memberi berarti menerima,
bahwa lembah adalah tempat penglihatan.

Tuhan, di siang hari bintang bisa dilihat dari sumur terdalam,
dan semakin dalam sumur, semakin terang bintang-bintang-Mu bersinar;

Biarkan aku menemukan cahaya-Mu dalam kegelapanku,
hidup-Mu dalam kematianku,
kegembiraan-Mu dalam kesedihanku,
anugerah-Mu dalam dosaku,
kekayaan-Mu dalam kemiskinanku,
kemuliaan-Mu di lembahku.

Tuhan Yesus memberkati kita semua.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Di Tengah Keadaan yang Tak Mudah, Pilihlah untuk Taat

Taat, mudah diucapkan sulit dipraktikkan. Apalagi jika ketaatan itu seolah membuat hidup kita malah menjadi susah. Tetapi, Alkitab memberitahu kita bahwa selalu ada berkat dalam ketaatan kita kepada-Nya.

Sebuah Retret Keluarga di Rumah Sakit

Oleh Putri L.

Namaku Putri. Aku mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia. Aku ingin membagikan sedikit pengalamanku menghadapi terjangan badai yang selama ini sangat kutakutkan. Sebelumnya, ibuku juga sempat menuliskan kisah ini dari sudut pandangnya di sini. Semoga bisa bermanfaat bagi siapa pun yang membaca tulisanku.

Semua berawal dari kemarahanku pada pacarku. Kita semua tahu bahwa kumpul-kumpul di masa pandemi itu salah. Aku marah padanya karena pacarku itu malah main futsal di gelanggang olahraga yang tempatnya tertutup. Nggak pakai masker, lagi! Aku marah sekali padanya dan melarangnya datang menemuiku selama dua minggu penuh.

Alasanku marah adalah selain khawatir ia bisa tertular, aku juga sangat mengkhawatirkan kesehatan ayahku. Ayahku seorang dokter, dan aku selalu khawatir jika dirinya terkena virus corona ini. Ayahku memiliki komorbid diabetes sekaligus hipertensi, jadi pikirku, bila ayahku terkena corona, itu akan sangat berat baginya dan aku bisa kehilangan dia. Itu yang paling kutakutkan.

Sepuluh hari berlalu tanpa ada hal yang aneh. Menjelang hari pacarku akan datang mengunjungiku lagi, mendadak aku merasa tidak enak badan. Mataku panas. Dengan cemas aku mengukur suhu badanku. Mataku membelalak melihat angka yang tertera di sana. Tiga puluh tujuh koma lima derajat. Dengan perasaan takut, aku menenggak pil pereda demam, sambil berharap demamnya cepat turun. Dan, ya, memang turun.

Aku lega sekali. Namun kelegaanku tidak berlangsung lama. Keesokan harinya, tubuhku kembali demam, kali ini suhu badanku mencapai angka 38. Aku nyaris tidak bisa mengikuti perkuliahan daring hari itu. Hari berikutnya lebih menakutkan. Selain demam, aku mulai tidak bisa mencium bau apa pun. Aku ingat sekali, hari itu ibuku memasak semur kesukaanku. Tapi, aku tidak bisa mencicipi sama sekali.

Aku ketakutan. Tambahan lagi, ibuku mengalami hal yang sama sejak tiga hari sebelumnya. Apakah kami kena corona? Rasanya mustahil! Selama pandemi ini aku hanya bertemu dengan pacarku. Tidak pernah bertemu dengan yang lain. Ibu dan adikku juga tidak. Hanya ayahku yang pergi keluar, itu pun hanya untuk bekerja. Beliau selalu mengenakan face shield dan masker, sering cuci tangan, memakai hand-sanitizer, pokoknya protokol kesehatan selalu beliau jalankan. Jadi, apa yang membuat kami terkena corona? Harusnya tidak ada!

Hari berikutnya demamku hilang, tapi aku tetap kehilangan kemampuan mencium dan merasa. Akhirnya orangtuaku memutuskan untuk swab test keesokan harinya. Aku mencoba untuk santai, walau tak bisa dipungkiri aku tetap ketakutan. Kami menjalani swab di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan. Rasanya sedikit sakit dan geli, air mataku sampai keluar. Setelah itu kami pulang dan menunggu hasilnya di rumah.

Malamnya adalah malam terburuk. Kami menerima hasil dan hasilnya adalah aku dan kedua orangtuaku positif terkena Covid-19. Kami semua bagaikan tersambar petir mendengarnya. Rasanya ingin menjerit dan menangis. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Bagaimana dengan ayahku, apa aku akan kehilangan dia? Bagaimana dengan ibuku? Adikku, yang tidak ikut di swab test itu? Apakah dia sehat, atau tidak?

Ibuku terus-terusan menangis dan dalam kekalutannya sempat menyalahkan ayahku karena ternyata beliau sempat memeriksa temannya yang belakangan positif Covid-19. Ayahku marah. Adikku ketakutan. Sesaat kami tidak tahu harus berbuat apa. Keesokan harinya, kami ‘menyerahkan diri’ untuk dirawat di rumah sakit. Di sana, adikku langsung ikut masuk ke rumah sakit karena ia juga sudah demam, meski belum di-swab test. Namun ternyata hal itu tidak percuma, karena dua hari kemudian, adikku juga dinyatakan positif Covid-19.

Awalnya, aku juga marah. Aku sampai mogok membuka Instagram, karena aku benci melihat Instagram stories teman-temanku. Mereka tetap berkumpul bersama, nongkrong di mal, tapi sehat-sehat saja! Sementara aku yang selalu patuh tinggal di rumah, malah terkena Covid-19! Coba bayangkan: aku dan pacar selalu di rumah, tidak pernah nongkrong di luar. Kalaupun ingin makan di luar, kami hanya membelinya lalu menyantapnya di rumah. Ibuku apalagi. Sejak bulan Maret beliau selalu di rumah karena kantornya mewajibkan WFH (Work From Home). Ia sangat keras dan disiplin terhadap kebersihan, ayahku selalu dipaksa untuk langsung mandi olehnya begitu pulang kerja. Seluruh barang dengan sangat teliti selalu disemprot disinfektan oleh ibuku. Rumah setiap hari di pelnya dengan karbol. Ia juga tidak pernah berkumpul bersama teman-temannya. Adikku lebih parah lagi, ia bahkan tidak pernah keluar dari rumah sekali pun. Apa lagi yang kurang?

Tapi sekarang, saat kami berempat berada di ruang isolasi, kami mulai menyadari ada satu ‘protokol kesehatan’ yang sesungguhnya sering lalai kami lakukan. Di ruang isolasi yang mencekam itu, Tuhan mengingatkan kami. Aku merasa ditegur-Nya lewat mimpi. Ayahku diperdengarkan terus dengan lagu-lagu rohani yang terus bergema di hatinya ketika ia tidur. Ada hal terpenting dari sekian banyak protokol yang harus ditaati tapi justru tidak kami lakukan: berdoa mohon perlindungan!

Kenapa aku bilang berdoa merupakan salah satu bagian dari protokol kesehatan? Karena aku dan keluargaku sudah mengalaminya sendiri: semua itu percuma kalau kita tidak melibatkan Tuhan di dalamnya. Seperti kata Ayub: “Apakah kekuatanku?” (Ayub 6:11). “Tetapi pada Allahlah hikmat dan kekuatan, Dialah yang mempunyai pertimbangan dan pengertian” (Ayub 12:13). Kami sudah melakukan protokol kesehatan dengan benar dan disiplin, tapi tetap saja kena. Karena apa? Ya, karena akhir-akhir ini, kami memang sangat kurang membangun mezbah keluarga. Dalam kesibukan keluarga setiap pagi, sebelum Ayah pergi bekerja, kami tidak pernah melepasnya dalam doa secara khusus. Kami membiarkannya begitu saja, berjuang di luar menghadapi pandemi, tanpa meminta perlindungan dari Tuhan, karena kami begitu yakin kami telah melakukan protokol dengan tepat dan benar. Kami sekeluarga memakai kekuatan kami sendiri dengan merasa terlalu percaya diri. Kami lupa melibatkan Tuhan agar senantiasa menjaga kami.

Namun begitu, Tuhan tetap sayang pada kami. Dari awal semua telah diatur oleh-Nya. Pacarku, yang selama ini tidak pernah bandel, dibuat-Nya menjadi bandel agar kami tidak bertemu dan ia terhindar dari Covid-19. Dan, kami bersyukur memperoleh kemudahan mendapat ruangan di rumah sakit padahal banyak yang terpaksa berkeliling ke beberapa rumah sakit dulu baru berhasil mendapatkan ruangan. Keluarga, teman, dan pacarku juga senantiasa mendoakan dan mendukung dari rumah. Mereka selalu menyemangatiku ketika kami lagi-lagi mendapatkan hasil ‘positif’ di swab yang kedua. Keluarga besar, secara bergiliran, mengirimi kami makanan enak-enak setiap harinya, sampai terkadang rasanya terlalu banyak. Ketakutan yang selalu terbayang olehku, bahwa ayahku pasti kalah bila terkena penyakit ini juga tidak terbukti, karena sampai hari ini ayahku sehat-sehat saja dan dapat beraktivitas seperti biasa, meski memang karena komorbidnya, kondisi paru-paru beliau yang paling parah di antara kami berempat, dan proses penyembuhannya akan memakan waktu yang lebih lama. Tuhan Yesus begitu sayang pada keluarga kami, padahal kami sudah lama melupakan-Nya. Karena kasihnya, Dia mengizinkan peristiwa ini terjadi pada keluarga kami untuk mengingatkan bahwa Dia ada dan selalu menyertai kami.

Kata ayahku, ini retret keluarga kami. Dalam ruang isolasi rumah sakit ini, kami diingatkan lagi untuk membangun kembali mezbah keluarga yang sudah lama hilang dari keluarga kami. Kami diingatkan bahwa percuma saja kami mengandalkan kekuatan sendiri dan tidak melibatkan Tuhan dalam hidup kita. Terima kasih Tuhan Yesus, Engkau begitu baik kepada kami.

Untuk teman-teman yang kukasihi, aku meminta kalian untuk tidak lupa menyertakan Tuhan. Jangan lupa untuk tetap melakukan protokol kesehatan, tapi sebelum itu mulailah semua kegiatan kalian dengan berdoa. Buka dan tutup hari kalian dengan doa. Melakukan protokol kesehatan tanpa Tuhan sama saja bohong. “Sebab Tuhan, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau; janganlah takut dan jangan patah hati” (Ulangan 31:8).

Jaga kesehatan kalian, karena terjangkit Covid-19 sangat tidak enak! Kiranya tulisanku ini bisa menjadi berkat. Tuhan Yesus memberkati, amin.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Tidak Sempurna, Tetapi Diberikan-Nya Tepat Buatku

Kasih bapakku tidak sempurna, tetapi kasih Allah Bapa menyempurnakannya. Kedua orangtuaku, juga orangtuamu mungkin banyak berlaku salah dan mengecewakan kita, tetapi percayakah kita kalau merekalah yang terbaik buat kita?

Keluargaku di Bawah Bayang-bayang Maut

Oleh Monica Koesoemo, Bekasi

Jumat, 4 September 2020. Pagi itu aku bangun dalam keadaan badan kurang enak. Sekujur badan terasa sedikit linu dan lelah. Hingga Rabu, kulewatkan hari-hari dengan kondisi yang tidak kunjung fit. Ditambah kemudian aku mulai tidak bisa mencium atau merasakan apa-apa. Belum lagi kondisiku membaik, putriku mulai merasakan gejala yang sama. Khawatir dengan perkembangan yang semakin memburuk, kami memutuskan menjalani swab test . Sabtu, 12 September, dunia kami terasa runtuh. Tiga dari empat anggota keluargaku sama-sama menerima hasil tes di Sabtu malam itu. Kami positif terinfeksi Covid-19. Tak lama, anak lelakiku juga menjalani swab test. Hasilnya, ia juga positif terinfeksi virus yang telah merenggut banyak jiwa itu.

Dalam suasana hati yang kalut, secercah keberuntungan menghampiri: kami memperoleh kemudahan berupa kamar perawatan yang bisa dipakai berempat. Dengan menjalani perawatan bersama-sama, kami berharap bisa saling menyemangati sehingga bisa pulih lebih cepat. Namun, jujur, kondisiku di saat menulis kisah ini masih tak menentu. Reaksi pertama ketika mengetahui kami sekeluarga terkena Covid-19, aku marah dan syok.

Aku marah, karena merasa selama ini sudah sangat disiplin menjaga diri. Tidak pernah ke luar rumah yang tidak perlu sejak bulan Maret, menghindari ajakan teman untuk kumpul-kumpul, bekerja dari rumah, hanya ke luar untuk membeli kebutuhan pokok, tidak pergi ke mal, dan tidak bersosialisasi. Tapi, ternyata masih kena juga! Apalagi ditambah hasil CT scan paru-paru suami dan anak lelakiku menunjukkan adanya pneumonia. Meskipun secara klinis mereka baik-baik saja, namun ketidaktahuan kami tentang perjalanan penyakit ini membuatku didera kekhawatiran yang parah.

Aku gamang dan kehilangan optimisme. Padahal sehari-hari aku melayani di gereja, aktif memimpin jemaat, sesekali berkhotbah membawakan firman, dan pekerjaanku sehari-hari pun tidak pernah lepas dari firman Tuhan. Tapi mengapa saat aku dan keluarga mendapat cobaan berat ini, aku merasa semua firman yang pernah kubaca lenyap dari ingatan? Mengapa imanku mendadak rapuh? Mengapa aku merasa Tuhan tidak ada untuk menolongku?

Semua pesan firman Tuhan, tulisan-tulisan tentang kekuatan, pengharapan, sukacita, seolah tak ada kekuatannya. Hanya sekadar tulisan tak bermakna. Aku stres berat. Menit demi menit terasa berjalan lambat. Jantungku deg-degan setiap saat. Tangan dan kakiku dingin, berkeringat. Tensiku naik hingga 175 dan tidak turun-turun.

Di tengah kegalauan itu, aku teringat pada sebuah lagu yang menguatkan aku di saat anak perempuanku harus menjalani operasi usus buntu, sekitar enam tahun lalu. Lagu itu bertutur tentang Allah sebagai suara harapan, sauh bagi jiwa, yang sanggup menunjukkan jalan di saat tidak ada jalan. Allah yang adalah Raja Damai, yang menenangkan jiwa di tengah penderitaan. Segera kucari lagu itu di YouTube, dan kudengarkan sambil ikut menyanyikannya, sambil menangis dan mengangkat tangan, menyembah Tuhan. Kulakukan terus sambil berurai air mata. Di saat itu aku benar-benar merasa Tuhan ada di dekatku, memelukku, menenangkanku. Perlahan, kasih-Nya yang lembut itu menyusup masuk dalam hatiku, melingkupiku dengan damai sejahtera.

Setelah bisa tenang kembali, aku merasa Roh Kudus mulai berbicara dengan lembut dalam hatiku. Semua firman yang menguatkan kembali bermunculan dalam hatiku, meneguhkanku. Ya, aku tidak boleh takut! Aku harus percaya Tuhan memelihara hidup kami. Memang kami tidak tahu apa yang akan terjadi di depan, tetapi Tuhan menghendaki kita berserah saja pada-Nya, tidak memusingkan pikiran dengan hal-hal di luar kendali kami. Kami toh sudah berdoa, sudah memohon kesembuhan. Walaupun kami belum menerimanya saat ini, tapi kami harus percaya dengan iman bahwa kami sudah menerimanya (Markus 11:24).

Esok paginya, dalam sesi mezbah keluarga bersama-sama dari kamar isolasi, suamiku bersaksi bahwa tadi malam ia sulit tidur. Bukan apa-apa, tapi karena seakan suara Tuhan terus bergema di dalam hatinya, mengatakan kepadanya agar tidak takut. Tuhan juga terus memperdengarkan lagu-lagu pujian di dalam hatinya, sehingga sepanjang malam hatinya dipenuhi nyanyian sorgawi yang menguatkan:

“Engkau ada bersama-Ku di setiap musim hidupku. Tak pernah Kaubiarkan ku sendiri. Kekuatan di jiwaku adalah bersama-Mu. Tak pernah kuragukan kasih-Mu. Bersama-Mu Bapa, kulewati semua. Perkenanan-Mu yang teguhkan hatiku. Engkau yang bertindak, memberi pertolongan. Anugerah-Mu besar melimpah bagiku.” Suamiku juga menyampaikan pesan Tuhan untuk kami, “Sebab itu janganlah kamu kuatir akan hari besok, karena hari besok mempunyai kesusahannya sendiri. Kesusahan sehari cukuplah untuk sehari” (Matius 6:34.)

Momen ini menjadi luar biasa, karena setelah itu aku mengikuti persekutuan doa kelompok kecil dengan teman-teman kantor melalui video call, salah seorang di antara mereka meneguhkan pesan Tuhan tadi dengan memberikan ayat yang persis sama! Padahal, aku belum sempat bercerita apa-apa dengannya. Hal itu membuatku semakin yakin, bahwa Allah kita adalah Allah yang hidup, yang benar-benar ada bagi kita di setiap musim dalam hidup kita. Dia sanggup menjangkau hatiku yang galau lewat pesan yang sama yang Dia sampaikan kepada dua orang yang berbeda. Itu bukti bahwa Dia benar-benar memperhatikan keadaanku. Dia tahu aku sedang perlu dihibur dan dikuatkan.

Entah kapan kami sekeluarga bisa ke luar dari tempat ini. Mungkin masih lama. Mungkin juga sebentar lagi. Ke depan, mungkin akan ada hari-hari di mana aku akan merasakan ketakutan dan kekhawatiran lagi. Tapi aku tidak boleh menyerah. Aku harus kuat, tabah, sabar, dan berani! Aku harus mengimani bahwa di saat yang paling gelap sekalipun, Tuhan Yesus itu tetap dekat. Ia dekat dengan orang-orang yang patah hati, dan menyelamatkan orang-orang yang remuk jiwanya (Mazmur 34:18).

Kiranya Tuhan menguatkan kami, dan menguatkan teman-teman semua di luar sana yang saat ini masih harus berjuang menjalani hidup di tengah pandemi yang melanda. Tuhan menyertai kita semua. Tetap semangat!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Berdoa dan Bekerja, Manakah yang Lebih Penting?

Kisah Marta dan Maria bukanlah tentang dua sikap yang bertentangan, tentang mana yang lebih penting: bekerja atau berdoa. Apa sejatinya makna kisah mereka buat kita?