Posts

Sebuah Retret Keluarga di Rumah Sakit

Oleh Putri L.

Namaku Putri. Aku mahasiswi di salah satu perguruan tinggi negeri di Indonesia. Aku ingin membagikan sedikit pengalamanku menghadapi terjangan badai yang selama ini sangat kutakutkan. Sebelumnya, ibuku juga sempat menuliskan kisah ini dari sudut pandangnya di sini. Semoga bisa bermanfaat bagi siapa pun yang membaca tulisanku.

Semua berawal dari kemarahanku pada pacarku. Kita semua tahu bahwa kumpul-kumpul di masa pandemi itu salah. Aku marah padanya karena pacarku itu malah main futsal di gelanggang olahraga yang tempatnya tertutup. Nggak pakai masker, lagi! Aku marah sekali padanya dan melarangnya datang menemuiku selama dua minggu penuh.

Alasanku marah adalah selain khawatir ia bisa tertular, aku juga sangat mengkhawatirkan kesehatan ayahku. Ayahku seorang dokter, dan aku selalu khawatir jika dirinya terkena virus corona ini. Ayahku memiliki komorbid diabetes sekaligus hipertensi, jadi pikirku, bila ayahku terkena corona, itu akan sangat berat baginya dan aku bisa kehilangan dia. Itu yang paling kutakutkan.

Sepuluh hari berlalu tanpa ada hal yang aneh. Menjelang hari pacarku akan datang mengunjungiku lagi, mendadak aku merasa tidak enak badan. Mataku panas. Dengan cemas aku mengukur suhu badanku. Mataku membelalak melihat angka yang tertera di sana. Tiga puluh tujuh koma lima derajat. Dengan perasaan takut, aku menenggak pil pereda demam, sambil berharap demamnya cepat turun. Dan, ya, memang turun.

Aku lega sekali. Namun kelegaanku tidak berlangsung lama. Keesokan harinya, tubuhku kembali demam, kali ini suhu badanku mencapai angka 38. Aku nyaris tidak bisa mengikuti perkuliahan daring hari itu. Hari berikutnya lebih menakutkan. Selain demam, aku mulai tidak bisa mencium bau apa pun. Aku ingat sekali, hari itu ibuku memasak semur kesukaanku. Tapi, aku tidak bisa mencicipi sama sekali.

Aku ketakutan. Tambahan lagi, ibuku mengalami hal yang sama sejak tiga hari sebelumnya. Apakah kami kena corona? Rasanya mustahil! Selama pandemi ini aku hanya bertemu dengan pacarku. Tidak pernah bertemu dengan yang lain. Ibu dan adikku juga tidak. Hanya ayahku yang pergi keluar, itu pun hanya untuk bekerja. Beliau selalu mengenakan face shield dan masker, sering cuci tangan, memakai hand-sanitizer, pokoknya protokol kesehatan selalu beliau jalankan. Jadi, apa yang membuat kami terkena corona? Harusnya tidak ada!

Hari berikutnya demamku hilang, tapi aku tetap kehilangan kemampuan mencium dan merasa. Akhirnya orangtuaku memutuskan untuk swab test keesokan harinya. Aku mencoba untuk santai, walau tak bisa dipungkiri aku tetap ketakutan. Kami menjalani swab di sebuah rumah sakit di Jakarta Selatan. Rasanya sedikit sakit dan geli, air mataku sampai keluar. Setelah itu kami pulang dan menunggu hasilnya di rumah.

Malamnya adalah malam terburuk. Kami menerima hasil dan hasilnya adalah aku dan kedua orangtuaku positif terkena Covid-19. Kami semua bagaikan tersambar petir mendengarnya. Rasanya ingin menjerit dan menangis. Ya Tuhan, apa yang harus kulakukan? Bagaimana dengan ayahku, apa aku akan kehilangan dia? Bagaimana dengan ibuku? Adikku, yang tidak ikut di swab test itu? Apakah dia sehat, atau tidak?

Ibuku terus-terusan menangis dan dalam kekalutannya sempat menyalahkan ayahku karena ternyata beliau sempat memeriksa temannya yang belakangan positif Covid-19. Ayahku marah. Adikku ketakutan. Sesaat kami tidak tahu harus berbuat apa. Keesokan harinya, kami ‘menyerahkan diri’ untuk dirawat di rumah sakit. Di sana, adikku langsung ikut masuk ke rumah sakit karena ia juga sudah demam, meski belum di-swab test. Namun ternyata hal itu tidak percuma, karena dua hari kemudian, adikku juga dinyatakan positif Covid-19.

Awalnya, aku juga marah. Aku sampai mogok membuka Instagram, karena aku benci melihat Instagram stories teman-temanku. Mereka tetap berkumpul bersama, nongkrong di mal, tapi sehat-sehat saja! Sementara aku yang selalu patuh tinggal di rumah, malah terkena Covid-19! Coba bayangkan: aku dan pacar selalu di rumah, tidak pernah nongkrong di luar. Kalaupun ingin makan di luar, kami hanya membelinya lalu menyantapnya di rumah. Ibuku apalagi. Sejak bulan Maret beliau selalu di rumah karena kantornya mewajibkan WFH (Work From Home). Ia sangat keras dan disiplin terhadap kebersihan, ayahku selalu dipaksa untuk langsung mandi olehnya begitu pulang kerja. Seluruh barang dengan sangat teliti selalu disemprot disinfektan oleh ibuku. Rumah setiap hari di pelnya dengan karbol. Ia juga tidak pernah berkumpul bersama teman-temannya. Adikku lebih parah lagi, ia bahkan tidak pernah keluar dari rumah sekali pun. Apa lagi yang kurang?

Tapi sekarang, saat kami berempat berada di ruang isolasi, kami mulai menyadari ada satu ‘protokol kesehatan’ yang sesungguhnya sering lalai kami lakukan. Di ruang isolasi yang mencekam itu, Tuhan mengingatkan kami. Aku merasa ditegur-Nya lewat mimpi. Ayahku diperdengarkan terus dengan lagu-lagu rohani yang terus bergema di hatinya ketika ia tidur. Ada hal terpenting dari sekian banyak protokol yang harus ditaati tapi justru tidak kami lakukan: berdoa mohon perlindungan!

Kenapa aku bilang berdoa merupakan salah satu bagian dari protokol kesehatan? Karena aku dan keluargaku sudah mengalaminya sendiri: semua itu percuma kalau kita tidak melibatkan Tuhan di dalamnya. Seperti kata Ayub: “Apakah kekuatanku?” (Ayub 6:11). “Tetapi pada Allahlah hikmat dan kekuatan, Dialah yang mempunyai pertimbangan dan pengertian” (Ayub 12:13). Kami sudah melakukan protokol kesehatan dengan benar dan disiplin, tapi tetap saja kena. Karena apa? Ya, karena akhir-akhir ini, kami memang sangat kurang membangun mezbah keluarga. Dalam kesibukan keluarga setiap pagi, sebelum Ayah pergi bekerja, kami tidak pernah melepasnya dalam doa secara khusus. Kami membiarkannya begitu saja, berjuang di luar menghadapi pandemi, tanpa meminta perlindungan dari Tuhan, karena kami begitu yakin kami telah melakukan protokol dengan tepat dan benar. Kami sekeluarga memakai kekuatan kami sendiri dengan merasa terlalu percaya diri. Kami lupa melibatkan Tuhan agar senantiasa menjaga kami.

Namun begitu, Tuhan tetap sayang pada kami. Dari awal semua telah diatur oleh-Nya. Pacarku, yang selama ini tidak pernah bandel, dibuat-Nya menjadi bandel agar kami tidak bertemu dan ia terhindar dari Covid-19. Dan, kami bersyukur memperoleh kemudahan mendapat ruangan di rumah sakit padahal banyak yang terpaksa berkeliling ke beberapa rumah sakit dulu baru berhasil mendapatkan ruangan. Keluarga, teman, dan pacarku juga senantiasa mendoakan dan mendukung dari rumah. Mereka selalu menyemangatiku ketika kami lagi-lagi mendapatkan hasil ‘positif’ di swab yang kedua. Keluarga besar, secara bergiliran, mengirimi kami makanan enak-enak setiap harinya, sampai terkadang rasanya terlalu banyak. Ketakutan yang selalu terbayang olehku, bahwa ayahku pasti kalah bila terkena penyakit ini juga tidak terbukti, karena sampai hari ini ayahku sehat-sehat saja dan dapat beraktivitas seperti biasa, meski memang karena komorbidnya, kondisi paru-paru beliau yang paling parah di antara kami berempat, dan proses penyembuhannya akan memakan waktu yang lebih lama. Tuhan Yesus begitu sayang pada keluarga kami, padahal kami sudah lama melupakan-Nya. Karena kasihnya, Dia mengizinkan peristiwa ini terjadi pada keluarga kami untuk mengingatkan bahwa Dia ada dan selalu menyertai kami.

Kata ayahku, ini retret keluarga kami. Dalam ruang isolasi rumah sakit ini, kami diingatkan lagi untuk membangun kembali mezbah keluarga yang sudah lama hilang dari keluarga kami. Kami diingatkan bahwa percuma saja kami mengandalkan kekuatan sendiri dan tidak melibatkan Tuhan dalam hidup kita. Terima kasih Tuhan Yesus, Engkau begitu baik kepada kami.

Untuk teman-teman yang kukasihi, aku meminta kalian untuk tidak lupa menyertakan Tuhan. Jangan lupa untuk tetap melakukan protokol kesehatan, tapi sebelum itu mulailah semua kegiatan kalian dengan berdoa. Buka dan tutup hari kalian dengan doa. Melakukan protokol kesehatan tanpa Tuhan sama saja bohong. “Sebab Tuhan, Dia sendiri akan berjalan di depanmu, Dia sendiri akan menyertai engkau, Dia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau; janganlah takut dan jangan patah hati” (Ulangan 31:8).

Jaga kesehatan kalian, karena terjangkit Covid-19 sangat tidak enak! Kiranya tulisanku ini bisa menjadi berkat. Tuhan Yesus memberkati, amin.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Tidak Sempurna, Tetapi Diberikan-Nya Tepat Buatku

Kasih bapakku tidak sempurna, tetapi kasih Allah Bapa menyempurnakannya. Kedua orangtuaku, juga orangtuamu mungkin banyak berlaku salah dan mengecewakan kita, tetapi percayakah kita kalau merekalah yang terbaik buat kita?

Tidak Semua Orang Tua

Kadang kita tak menyadari, di balik nada marah, wajah lesu, atau raut kebingungan orang tua kita, tersimpan kasih sayang yang tak terungkapkan dengan kata-kata. Terlebih di masa-masa sulit seperti sekarang ini, orang tua kita tetap berupaya melakukan bagiannya sebaik mungkin bagi keluarganya.

Tak ada orang tua yang sempurna, namun tiap orang tua layak mendapatkan apresiasi, sebab tanpa perjuangan, teladan, dan kasih sayang mereka, takkan muncul generasi mendatang yang tangguh.

Teruntuk Papa, Mama, Ayah, Ibu, terima kasih! Kami mengasihimu.

Kontribusi oleh Yohanes Tenggara dan Grace Tjahyadi ( @dreamslandia dan @gracetjahyadi_ ) untuk Our Daily Bread Ministries (Santapan Rohani dan WarungSaTeKaMu)

3 Hal yang Bisa Kita Lakukan Kala Menghadapi Penderitaan

Oleh Dwi Maria Handayani, Bandung

Dunia saat ini sedang menderita. Kita tidak hanya diperhadapkan dengan bahaya pandemi, tetapi juga kelaparan, kemiskinan, dan kematian. Dalam situasi seperti ini, aku pun bertanya-tanya. Apa yang sedang terjadi? Apa maksud Tuhan? Lalu aku teringat akan nabi Habakuk, yang pada saat itu hidup dalam situasi yang sulit. Apa yang harus kita lakukan sekarang?

1. Inilah waktunya untuk meratap (time to lament)

Seperti pemazmur dan Habakuk, kita dapat datang kepada Tuhan dengan semua pertanyaan yang ada dalam hati kita. “Berapa lama lagi Tuhan aku berteriak tetapi tidak Kau dengar, aku berseru kepada-Mu ‘penindasan’ tetapi tidak Kau tolong? Mengapa Engkau memperlihatkan kepadaku kejahatan, sehingga aku memandang kelaliman? Ya, aniaya dan kekerasan ada di depan mataku; perbantahan dan pertikaian terjadi” (Habakuk 1:2-3).

Habakuk saat itu mencurahkan keberatan hatinya pada Tuhan: mengapa Tuhan membiarkan raja Yoyakim yang lalim dan jahat berkuasa? Yoyakim hanya memikirkan kesenangannya sendiri dan membuat rakyatnya menderita. Dia raja yang menindas dan memeras, membiarkan ketidakadilan terjadi, menumpahkan darah orang yang tidak bersalah. Tapi, Tuhan seakan berdiam diri, sehingga Habakuk bertanya, “berapa lama lagi, ya Tuhan?” (Yeremia 22).

Kita pun mungkin punya pertanyaan yang tidak terjawab. Tuhan ingin kita datang kepada-Nya membawa semua pertanyaan itu. Mempertanyakan pertanyaan-pertanyaan sulit pada Tuhan bukan berarti kita tidak beriman, tetapi sebaliknya kita berani bertanya karena kita punya relasi yang dekat dengan Tuhan sehingga kita menghampiri-Nya dengan segala pertanyaan dan perasaan yang melingkupi kita.

2. Inilah waktunya untuk mendengar (time to listen)

Ketika Habakuk meratap, berteriak, dan bertanya kepada Tuhan, jawaban yang diterimanya bukanlah jawaban yang mungkin diharapkan Habakuk. Tuhan akan membangkitkan Babel, sang musuh Yehuda, untuk menyerang mereka. Jawaban itu mengejutkan, tidak terbayangkan oleh Habakuk, maka dia pun kembali bertanya, “Bukankah Engkau, ya Tuhan, dari dahulu Allahku, yang maha kudus?… mata-Mu terlalu suci untuk melihat kejahatan dan Engkau tidak dapat memandang kelaliman…?” (ayat 12-13).

Dengan kata lain, Habakuk berkata, Tuhan bukan jawaban itu yang aku harapkan. Mengapa Tuhan mengirimkan bangsa lain yang tidak mengenal Tuhan untuk menghukum Israel? Di pasal 2, akhirnya Habakuk memutuskan untuk mengisolasi diri, berdiam, dan menunggu Tuhan. Bisa jadi, jawaban yang kita terima dari Tuhan berbeda dengan apa yang kita harapkan. Atau bahkan, jawaban itu malah makin membuat kita bingung. Tapi, tidak apa-apa. Itu adalah bagian dari perjalanan iman. Seperti Habakuk, marilah jadikan masa-masa berdiam diri di rumah ini sebagai momen untuk menantikan Tuhan.

3. Inilah waktunya untuk berharap (time to hope)

Tidak semua pertanyaan Habakuk dijawab Tuhan. Bahkan ketika Tuhan menjawab pun, Habakuk malah makin tidak mengerti. Akan tetapi, di tengah situasi demikian, Habakuk memutukan untuk tetap menantikan Tuhan dengan penuh pengharapan. Di tengah segala ketidakmengertiannya, Habakuk mampu berkata, “sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam Tuhan, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku. Allah Tuhanku itu kekuatanku: Ia membuat kakiku seperti kaki rusa, Ia membiarkan aku berjejak di bukit-bukitku” (Habakuk 3:17-18).

Masa-masa yang sulit ini Tuhan izinkan terjadi agar kita beroleh iman yang murni. Ada banyak orang menjadi marah, kecewa, dan meninggalkan Tuhan ketika Dia tidak menjawab doa mereka seturut yang mereka ingingkan. Marilah kita meneladani Habakuk, sekalipun kita tidak mengerti, sekalipun situasi belum berubah, tetapi iman dan pengharapan kita tetap teguh kepada Allah.

Baca Juga:

Penderitaan yang Membingungkan dan Yesus yang Kukenal

Bagaimana jika kita telah berusaha hidup benar tetapi masih tetap dihantam oleh gelombang penderitaan? Kita lantas bertanya, mengapa Tuhan mengizinkan kita terluka?

Pertanyaan ini sulit, namun aku ingin mengajakmu menemukan sebuah kebenaran yang dapat meneguhkan hatimu.

Apa yang Kamu Lihat? Penghiburan atau Penghakiman?

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Beberapa waktu lalu ada sebuah video yang cukup viral. Di video itu ditunjukkan seorang badut dengan mimik tersenyum berdiri di ballroom mal yang sepi pengunjung. Saking sedikitnya pengunjung di mal itu, tak ada satupun yang tergerak untuk mengisi kotak uangnya. Namun, sang badut bergeming menghibur orang-orang yang sedikit itu dengan senyumannya.

Sang pembuat video lalu berinisiatif memasukkan uang ke dalam kotak. Rupanya tindakan ini mendorong pengunjung lainnya untuk memberi juga. Lalu, setelah video ini viral di media sosial, sumbangan kepada sang badut pun berdatangan dari para warganet.

Di tengah situasi pandemi yang mencekam ini, mendapati kisah-kisah kebaikan seperti di atas terasa menghibur hati. Namun, aku jadi teringat. Masih di media sosial, terjadi perdebatan atas peristiwa merebaknya virus corona pada sebuah acara gereja di Bandung.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengidentifikasi bahwa jumlah orang yang positif terjangkit dari klaster acara tersebut berjumlah 226 orang. Di luar jumlah itu, ada beberapa yang telah meninggal dunia pula. Ketika berita ini menyebar di media sosial, komentar-komentar pun berdatangan. Ada komentar-komentar yang mengatakan bahwa itu ganjaran yang tepat untuk mereka yang mengikuti acara tersebut.

Sejenak aku termenung.

Jika ingin digali secara detail, mungkin investigasi dari peristiwa ini akan panjang. Untuk mencari dan menentukan siapa yang paling bertanggung jawab dari merebaknya virus ini di acara tersebut, kupikir itu adalah ranah pihak yang berwajib untuk memprosesnya. Namun, bagaimana jika kita menggeser sedikit cara pandang kita? Daripada berfokus kepada “salah siapa,” bagaimana jika kita memberi ruang bagi empati untuk turut hadir dalam asumsi-asumsi kita?

Aku membayangkan, para anggota jemaat yang hadir di acara tersebut tentunya terguncang karena terjangkit. Pun, ketika ada di antara mereka yang meninggal dunia, pastilah itu meninggalkan duka mendalam bagi keluarga mereka.

Selayaknya, tugas kita sebagai orang Kristen adalah menawarkan penghiburan dan empati. Para korban dari pandemi ini, siapa pun mereka, adalah manusia juga seperti kita. Manusia yang berdosa dan membutuhkan anugerah pengampunan Tuhan.

Ketika Yesus berjumpa dengan seorang yang buta sejak lahir, murid-murid-Nya bertanya, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (Yohanes 9:2). Pertanyaan murid-murid sejatinya bukanlah pertanyaan yang tidak peka terhadap kesakitan si orang buta, karena pada zaman itu orang-orang meyakini bahwa cacat fisik seseorang adalah akibat dari dosa. Dan, biasanya mereka yang buta sejak lahir bernasib menjadi pengemis. Buta dan pengemis pula. Lengkap sudah penderitaan orang itu. Yesus lalu menjawab, “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yohanes 9:3).

Dari bagian ini, kita mendapati bahwa Yesus dan murid-murid-Nya sama-sama melihat orang buta tersebut. Namun, dalam cara dan respons yang berbeda. Dalam bahasa Ibrani ada dua pilihan kata untuk “melihat”, yakni blepo dan horao. Murid-murid melihat dengan blepo, mereka melihat hanya dengan mata jasmani. Cara melihat seperti ini akhirnya menghasilkan penghakiman yang terselubung, seperti tercermin dalam pertanyaan mereka. Sedangkan Yesus melihat dengan horao, melihat dengan hati. Cara Yesus melihat menghasilkan respons untuk berbelas kasihan. Bukan penghakiman yang ditawarkan-Nya, tetapi tindakan kasih yang berujung pada pemulihan.

Andaikata saat itu si orang buta tak jadi dicelikkan Yesus, mungkin hatinya merasa lebih baik sebab Yesus tidak menghakimi matanya yang buta sebagai dosa. Namun, Kristus berkenan memulihkan penglihatannya, sehingga celiklah matanya.

Mata kita tidak pernah melihat dengan asal melihat. Kita melihat dengan tujuan. Kita melihat untuk mencari sesuatu dan kita berfokus melihat apa yang kita lihat. Hari ini, ketika kita melihat satu per satu korban berjatuhan, apakah yang kita lihat dan pikirkan? Apakah kita melihatnya sebagai hukuman, biar tau rasa, atau terbitkah kasih kita kepada mereka? Tergerakkah hati kita untuk mendoakan mereka, agar tangan Tuhan yang berkuasa menjamah dan menganugerahkan mereka dengan damai sejahtera?

Yesus mengatakan bahwa semua orang akan tahu kita adalah murid-murid-Nya jika kita saling mengasihi (Yohanes 13:35). Kasih yang Yesus maksudkan di sini bukan hanya mengasihi orang yang dekat dengan kita, atau yang baik pada kita. Kita diminta-Nya untuk mengasihi siapa saja, termasuk musuh kita sekalipun (Matius 4:44). Tak ada pengecualian, kita wajib mengasihi semua orang.

Virus COVID-19 memang berbahaya, cepat menular, tetapi yang tak kalah bahayanya adalah dosa-dosa yang bersarang dalam diri kita. Kita membutuhkan pengampunan dari-Nya, sebab kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri (Yesaya 53:6).

Baca Juga:

Kasih Tuhan di Masa Corona

Lent, Jumat Agung, dan Paskah serasa tenggelam di tengah-tengah pandemi COVID-19, tetapi kegelapan tidak dapat menutupi terang. Pesan apa yang salib Yesus 2000 tahun lalu sampaikan? Kasih Tuhan yang terus menyertai, bahkan di masa corona.

Ketika Aku Divonis Sakit Oleh Pikiranku Sendiri

Oleh Mary Anita, Surabaya

Hari-hari ini media mana saja membahas COVID-19 tanpa henti, bak seorang artis yang viral mendunia. Setiap hari aku membaca berita, mencari tahu update terkini. Namun, lama-lama kebiasaan ini rupanya melemahkan iman percayaku.

Awal bulan ini, aku mendapat kabar bahwa ayah dari temanku meninggal karena terjangkit COVID-19. Padahal, beliau dikenal sebagai seorang yang pola hidupnya sehat. Kabar ini membuatku semakin cemas. Virus ini terasa sangat nyata, dia siap mengancam siapa pun tanpa pandang bulu.

Suatu malam, saat aku hendak tidur, pikiranku melayang-layang. Aku ingat berita yang kubaca sebelumnya bahwa COVID-19 lebih rentan menyerang orang yang punya riwayat sakit paru-paru. Tahun 2016, aku pernah mengalami sakit pneumonia akut (aku pernah menuliskan kesaksiannya di sini). Bagaimana bisa aku tenang-tenang saja kalau begitu. Bagaimana jika penyakit pneumonia itu berulang? Sederetan pikiran buruk pun terus berlanjut dan berkecamuk di benakku.

Aku makin cemas tak karuan. Saat itu pula aku merasa sakit tiba-tiba. Awalnya sekujur tubuhku terasa pegal, lalu berlanjut jadi menggigil di sekujur kaki dan telapak tanganku. Sekitar jam setengah 2 pagi, perutku mual. Aku bangun, lalu memakai jaket. Dalam kecemasanku, aku berdoa, “Tuhan Yesus, tolong aku.” Tiga detik berselang, aku muntah sejadi-jadinya. Kucek suhu badanku dan hasilnya membuatku syok. Aku demam tingg, 37,8 derajat!

Ibuku terbangun dan menghampiriku. Dia memberiku obat penurun panas sembari mengajakku tetap tenang dan berdoa bersama. Kami menyanyi, menyembah Tuhan. Dalam keadaanku yang lemah dan pikiran yang kacau, Tuhan sepertinya dengan lembut menyadarkanku. Aku teringat pada suatu ayat:

“Mata adalah pelita tubuh. Jika matamu baik, teranglah seluruh tubuhmu; jika matamu jahat, gelaplah seluruh tubuhmu. Jadi jika terang yang ada padamu gelap, betapa gelapnya kegelapan itu” (Matius 6:22-23).

Aku sadar, akhir-akhir ini aku lebih banyak mongonsumsi berita-berita yang akhirnya membuatku takut daripada mengutamakan kebenaran firman Tuhan. Waktuku untuk membaca update terkait virus lebih sering daripada waktuku berdoa dan merenungkan firman-Nya. Tanpa kusadari, kecemasan menguasaiku dan mengakibatkan tubuhku ikut lemah. Benar bahwa semua kabar buruk yang terjadi sekarang ini adalah fakta, tapi ada fakta yang lebih besar dan benar, yaitu Tuhan Yesus, sang Terang sejati yang selalu menyertai dan berkuasa dalam diri setiap orang percaya.

Dalam doaku, aku memohon ampun pada Tuhan karena alih-alih mempercayakan hidupku dalam kendali-Nya, aku malah membuka celah membiarkan kecemasan menguasai pikiranku. Kecemasan itu ibarat berhala yang pelan-pelan mengeser posisi Tuhan di hidupku.

Setelah tiga jam berselang, kami kembali berdoa. Suhu tubuhku berangsurturun dan aku merasa lebih baik. Siang harinya, puji Tuhan aku pulih sepenuhnya. Aku bersyukur pada Tuhan karena melalui hal ini, Dia mengingatkanku akan pentingnya menjaga tubuh kita yang sejatnya adalah bait Allah (1 Korintus 3:16). Aku belajar untuk lebih bijak menyelaraskan setiap yang kubaca, dengar, dan pikirkan, dengan kebenaran firman Tuhan.

Dunia akan selalu menawarkan berita dan beragam kejadian buruk setiap harinya. Rasa takut dan cemas itu manusiawi, terutama di masa-masa yang berat seperti sekarang. Namun, bukan berarti kita perlu takut dan cemas berlarut-larut. Kita bisa melawannya dengan berdoa dan mengingat semua kebaikan Tuhan dalam hidup kita, seraya tetap waspada.

Kiranya damai sejahtera-Nya yang sempurna memenuhi kita sekalian.

“Jadi akhirnya, saudara-saudara, semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang suci, semua yang manis, semua yang sedap didengar, semua yang disebut kebajikan dan patut dipuji, pikirkanlah semuanya itu. Dan apa yang telah kamu pelajari dan apa yang telah kamu terima, dan apa yang telah kamu dengar dan apa yang telah kamu lihat padaku, lakukanlah itu. Maka Allah sumber damai sejahtera akan menyertai kamu” (Filipi 4:8-9).

Baca Juga:

Tuhan Tahu Aku Butuh Penyakit Ini Agar Aku Berbalik Kepada-Nya

Suatu hari, aku menderita demam tinggi, batuk parah, dan sesak nafas saat terbangun dari tidurku. Semua gejala ini terus terjadi sepanjang minggu. Ketika aku pergi ke dokter, dokter memintaku untuk melakukan X-ray. Kemudian diketahuilah bahwa aku menderita pneumonia akut. Aku langsung diopname di rumah sakit dan diberikan pengobatan.

Mengapa Kita Perlu Menunda Pertemuan Fisik?

Oleh Dr. Alex Tang
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why We Should Stop Meeting Together

Mengapa orang-orang Kristen perlu menunda aktivitas pertemuan selama masa-masa pandemi virus Covid-19? Apakah karena kita kekurangan iman bahwa Tuhan akan melindungi kita? Bukankah Tuhan menjanjikan perlindungan-Nya sebagaimana tertulis di Mazmur 91:5-6 agar kita tidak “takut terhadap kedahsyatan malam, terhadap panah yang terbang di waktu siang, terhadap penyakit sampar yang berjalan di dalam gelap, terhadap penyakit menular yang mengamuk di waktu petang”?

Gereja-gereja menunda pertemuan ibadah dan pertemuan-pertemuan lainnya sebagai antisipasi dalam mencegah penyebaran virus. Berbagai cara alternatif pun dilakukan. Ada gereja yang menyiarkan ibadahnya secara daring, atau hadir dalam media-media lain agar para jemaat tetap mendapatkan dukungan dan terhubung dengan firman Tuhan.

Pertemuan ibadah di mana jemaat hadir bersama-sama adalah bagian yang penting dalam tradisi gereja Kristen. Kita bertemu bersama untuk koinonia; perjamuan kudus, persekutuan, berdoa, menyembah, dan mendidik jemaat. Bahkan di masa-masa penganiayaan pun, gereja selalu berusaha untuk bertemu bersama secara sembunyi-sembunyi terlepas dari bahaya yang mengancam. Lantas, mengapa sekarang kita menghindari pertemuan tatap muka? Mengapa kita harus membatalkan semua pertemuan fisik yang sudah kita rencanakan?

Bukan kekurangan iman, tapi kita tidak mencobai Tuhan

Pertama, gereja-gereja menunda pertemuan fisik bukanlah tanda bahwa gereja kekurangan iman, melainkan gereja beriman kepada Tuhan yang menciptakan manusia dan mengaruniakannya dengan pemikiran yang rasional. Ya, Tuhan menjanjikan perlindungan-Nya. Tapi, apakah dengan begitu kita lalu terjun dari lantai 10 sebuah gedung dan percaya Tuhan akan mengirim malaikat-malaikat-Nya sebelum tubuh kita terluka? Bukankah Mazmur 91:11-12 berkata, “Sebab malaikat-malaikat-Nya akan diperintahkan-Nya kepadamu untuk menjaga engkau di segala jalanmu. Mereka akan menatang engkau di atas tangannya, supaya kakimu jangan terantuk kepada batu”?

Kita perlu berpikir, apakah ini masalah iman, atau kesombongan? Iblis merayu Yesus ketika dia membawa-Nya ke puncak tertinggi bait Allah dan menyuruh-Nya lompat. Iblis bahkan mengutip Mazmur 91:11-12 (Iblis juga tahu firman Tuhan!). Tapi, Yesus merespons Iblis dengan tegas. Yesus berkata bahwa Dia tidak mencobai Allah, mengutip dari Ulangan 6:16, “Jangalah kamu mencobai TUHAN, Allahmu, seperti kamu mencobai Dia di Masa.”

Yesus dengan tepat menegaskan masalahnya di sini bukanlah tentang iman, tetapi tentang mencobai Allah. Di Masa, bangsa Israel berdebat dengan Musa perihal kekurangan air, dan Musa menegur mereka karena telah mencobai Allah dengan ketidaktaatan dan keraguan mereka. Itulah mengapa generasi Musa tidak melihat Tanah Perjanjian, tapi mendapatkan hukuman untuk mengembara di padang gurun selama 40 tahun sampai mereka semua mati (Mazmur 95:8-10).

Jadi, ketika kita saling bertanya tentang iman kita, kita perlu meyakini bahwa kita tidak sedang mencobai Tuhan. Kadang, kita hanya ingin melihat Tuhan menepati firman-Nya. Aku mempunyai saran bahwa menunda pertemuan selama masa ini bukanlah tindakan kekurangan iman, tetapi sebuah sikap penyembahan kepada Tuhan.

Pembatasan sosial adalah tanggung jawab kita

Kedua, pembatasan sosial (social distancing) dianggap sebagai cara yang efektif untuk membatasi penyebaran virus Covid-19. Virus ini hanya dapat aktif dalam tubuh manusia dan disebarkan dari satu manusia ke manusia lain melalui droplet (batuk, bersin) dan kontak di area yang sudah terkontaminasi (seperti meja dan kursi). Virus jadi semakin mudah menyebar ketika orang-orang berkumpul dalam jumlah besar dan dalam kumpulan itu ada satu orang yang terinfeksi. Ketika orang yang terinfeksi mampu diidentifikasi dengan cepat dan segera dirawat (saat ini tidak ada perawatan yang sifatnya efektif, hanya suportif), virus itu akan mati dan tidak menyebar.

Memutus rantai persebaran virus dari manusia ke manusia akan menolong mengurangi jumlah orang yang terinfeksi pandemi ini. Oleh karena itu, kita perlu membatalkan semua pertemuan publik di mana orang-orang datang secara bersama-sama dan dalam jumlah besar. Inilah yang disebut dengan pembatasan sosial dan merupakan tanggung jawab kita untuk melaksanakannya. Kita melakukan ini untuk saling melindungi, terkhusus bagi kaum lansia di atas 65 tahun yang paling berisiko meninggal dunia karena terjangkit virus ini.

Dampak lain dari pembatasan sosial adalah memperlambat penyebaran virus. Jika terlalu banyak orang terinfeksi dalam waktu bersamaan, fasilitas kesehatan kita akan kebanjiran pasien, sebagaimana terjadi di Italia dan Iran, dan Tiongkok.

Bisakah kita melakukan sesuatu?

Kita tidak bisa mengentaskan pandemi ini sendirian. Dalam lingkup kita yang terbatas, yang bisa kita lakukan adalah menjaga kebersihan pribadi, patuh pada anjuran dari instansi kesehatan dan pemerintah, serta mempercayakan para petugas medis untuk melaksanakan tugasnya.

Tips praktis bagi kita semua

– Tinggallah di rumah sebisa mungkin.
– Hindari perjalanan ke luar kota atau ke luar negeri jika memungkinkan (meskipun kita sudah mengeluarkan biaya, kesehatan kita jauh lebih penting daripada uang).
– Cuci tangan dengan sabun dan air saat di rumah dan gunakan pembersih tangan saat di luar rumah.
– Jika sakit dengan gejala batuk dan demam, tinggallah di rumah dan jangan mengunjungi teman.
– Makan di rumah, atau beli makanan bungkus jika memungkinkan.
– Jika harus pergi makan ke luar, gunakan pembersih tangan untuk membersihkan area di sekitar tempat duduk dan bawalah peralatan makan pribadi.
– Hindari menyentuh hidung, wajah, dan mulut.
– Jangan duduk berdekat-dekatan dengan orang lain.
– Hindari tempat-tempat ramai, bahkan taman bermain atau ruangan terbuka sekalipun.

Tanggung jawab sosial yang kita lakukan adalah bentuk ibadah kita untuk mengasihi sesama. Keputusan untuk membatalkan atau menunda aktivitas gereja adalah sikap yang bertanggung jawab dalam menanggapi pandemi virus corona. Gereja-gereja harus mencari cara lain untuk tetap terhubung dengan jemaatnya secara daring, sesuai dengan perkembangan teknologi. Marilah terus berdoa agar pandemi ini dapat segera berakhir dan kita dapat melanjutkan kembali persekutuan kita seperti sediakala.

* * *

Tentang penulis:

Dr. Alex Tang adalah seorang pengkhotbah, pembicara, cendekiawan, penulis dan pendiri Kairos Spiritual Formation Ministries. Dia juga menjabat sebagai Konsultan Senior Pediatri (Ilmu kedokteran tentang kesehatan anak) di KPJ Johor Specialist Hospital, Johor Bahru dan sebagai rekanan Profesor Pediatri di Clinical School Monash University. Dr. Tang juga mengajar teologi praktis di Malaysia Bible Seminary (MBS) dan East Asia School of Theology (EAST) di Singapura. Kunjungi situsnya di www.alextang.org

Baca Juga:

Bosan Saat Berdoa? Cobalah Metode Berdoa Berdasarkan Alkitab

Sulit menikmati doa?
Bingung bagaimana harus berdoa?

Teman kita, Novita, pernah mengalaminya. Dia lalu membaca satu buku yang mencerahkannya. Yuk baca artikel Novita.

Virus Wuhan: Tinggal di “Kota Hantu” dan Diliputi Ketakutan

Oleh Kim Cheung, Tiongkok
Gambar diambil dari screenshot video
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: 疫情蔓延的当下,我们的盼望在哪里?

Waktu terasa berjalan amat lambat belakangan ini.

Tulisan ini kutulis dari provinsi Jiangsu, tempat tinggalku. Ini adalah hari ketiga perayaan Tahun Baru Imlek (27 Januari 2020)—waktu di mana kami seharusnya sibuk mengunjungi sanak famili dan teman-teman. Namun kenyataannya, kami hanya terduduk di rumah sambil terus memantau keadaan terkini dari media sosial tentang penyebaran virus Corona. Bahkan hanya untuk turun tangga dan singgah ke warung pun rasanya luar biasa cemas.

Delapan hari telah berlalu sejak media resmi mulai memberitakan penyebaran virus Corona. Ketika aku pertama melihat beritanya di 20 Januari, kupikir ini bukan masalah serius. Aku malah janjian dengan dua temanku yang baru pulang dari Eropa untuk bertemu merayakan tahun baru Imlek. Namun hari ini, semua janji pertemuan telah kubatalkan. Aku sudah bersiap tidak meninggalkan rumah atau mengunjungi siapa pun selama dua minggu ke depan.

Virus Corona menyebar lebih cepat dari yang dibayangkan. Hanya semalam, kemudian dikonfirmasi bahwa virus itu dapat menular dari manusia ke manusia. Semua masker ludes. Kota Wuhan bak kota mati. Supermarket kosong… Rumor dan berita-berita yang tidak jelas bertebaran ke mana-mana, membuat orang semakin takut. Berselancar di media sosial, update berita terbaru muncul hampir tiap detik. Namun, berapa jumlah sebenarnya orang yang tertular tidak ada angka yang valid. Berapa orang yang sudah meninggal? Berapa orang yang sungguh terinfeksi? Tidak ada yang tahu pastinya.

Hanya beberapa hari lalu, aku masih bisa melihat banyak orang di jalanan, tapi hari ini, jalanan kosong, kotaku seperti kota hantu. Hampir semua orang panik, dan orang-orang tua mulai berdiskusi tentang seberapa mengerikannya virus itu.

Kami tidak tahu seberapa berbahayanya virus Corona. Beberapa ahli dari Hong Kong mengindikasikan bahwa kekuatan virus kali ini 10 kali lebih kuat daripada SARS, sementara beberapa ahli lain mengatakan bahwa wabah kali ini tidak separah yang dulu. Saat ini, asal mula virus belum terkonfirmasi (meski ada yang bilang bermula dari pasar hewan di Wuhan). Spekulasi lainnya mengatakan periode inkubasi virus bisa berlangsung sampai 14 hari, dan virus ini bisa menyebar juga selama masa inkubasi—semua hal ini menambah ketakutan dan kepanikan.

Dua hari lalu, aku melihat temanku membagikan bagaimana kondisi sebenarnya di banyak rumah sakit di Wuhan, dan hatiku tersayat. Rumah sakit di sana dijejali orang-orang sakit yang tak terlayani. Para dokter dan suster tak punya perlindungan yang cukup atau pun masker, dan mereka tidak bisa beristirahat sewajarnya, bahkan hanya untuk makan siang pun sulit. Suplai makanan terbatas. Para pekerja medis kelelahan karena beban kerja mereka melonjak tajam, dan hanya bisa makan sehari sekali—itu pun hanya mie instan. Dan, para suster di sana berlinangan air mata.

Hatiku berduka. Rasanya tak sanggup buatku menonton berita di TV. Bagaimana bisa seseorang tak bersedih menghadapi situasi ini? Selain berdoa, rasanya tak ada hal lain yang bisa kami lakukan.

Siang hari ini, aku mendengar dua kenalanku, orang Kristen di Wuhan, mengalami demam. Besar kemungkinan mereka telah terinfeksi virus Corona. Hatiku semakin berat. Bagaimana kelak masa depan? Akankah virus ini menjadi bencana dunia? Apakah ini sungguh kiamat? Deretan pertanyaan ini membuatku semakin khawatir dan tak berdaya.

Namun, saat ini dunia hanya mampu memberikan jawaban berupa kepanikan dan putus asa, padahal yang sejatinya dibutuhkan adalah harapan yang teguh. Ketika kita harap-harap cemas akan bagaimana obat dan vaksin untuk mengentaskan wabah ini, apakah kita juga sebagai anak Tuhan kehilangan harapan dan putus asa? Jika harapan kita hanya disandarkan pada hal lahiriah, apakah bedanya kita dengan mereka yang tidak percaya? (Roma 8:24).

Ketika kita diselimuti kepanikan dan putus asa, kita seharusnya berpegang lebih erat kepada Tuhan dan firman-Nya. Hanya Tuhanlah harapan kita. Kiranya kebenaran-kebenaran ini menguatkan kita:

Tuhan memegang kendali

Meskipun situasi tampaknya mengerikan, hal yang teramat pasti adalah Tuhan kita memegang kendali. Meskipun Si Jahat ingin mencuri dan melenyapkan kehidupan, Tuhan tetap memegang kendali penuh. Tanpa seizin-Nya, tak ada satu hal pun dapat terjadi. Jika Tuhan tidak mengizinkan, sehelai rambut di kepala kita pun takkan jatuh ke tanah (Lukas 12:6-7). Ketika aku berpegang pada kebenaran ini, aku merasa terhibur.

Tuhan tidak pernah meninggalkan kita

Tuhan telah berjanji bahwa Dia tidak akan meninggalkan kita. Bahkan di tengah pencobaan dan kesakitan, Tuhan senantiasa beserta kita. Dan, Dia pun akan menyelamatkan kita pada akhirnya (Yohanes 6:37).

Karena aku tahu Dia ada bersama kita, kita tidak perlu takut atau khawatir (Matius 10:28). Meskipun virus ini mengerikan, Pencipta surga dan bumi ada bersama kita, dan kita mampu beroleh damai sejahtera.

Tuhan akan memberikan jalan keluar

Ketika kita merasa takut dan panik karena kabar-kabar yang terus berdatangan, marilah kita berpegang teguh pada janji Tuhan. Tuhan tidak membiarkan kita dicobai melampaui kekuatan kita (1 Korintus 10:13). Dia akan memberikan jalan keluar supaya kita mampu mengatasinya.

Hendaknya kita pun senantiasa berdoa. Meskipun banyak gereja di Tiongkok membatalkan kegiatan mereka demi keamanan, kami masih bisa berkumpul dengan keluarga dan berdoa. Ketika aku mempelajari Lukas 4:17-22 siang ini, aku sekali lagi menyadari apa sesungguhnya Injil itu.

Injil yang Yesus Kristus wartakan adalah tentang keselamatan kita. Namun, sebagai pendosa, kita lebih tertarik kepada kedagingan kita. Aku menyadarinya sedari berita tentang wabah virus Corona merebak, aku begitu terpaku pada notifikasi di ponselku, terus merefresh berita-berita terbaru. Tapi, banyak berita yang kubaca rupanya malah hoaks dan tak berdampak apa-apa selain menambah panik. Mengapa aku tidak meluangkan lebih banyak waktuku untuk berdoa dan berpegang pada firman-Nya lebih lagi?

Aku mengajakmu untuk bersama-sama mendoakan kota Wuhan dan orang-orang yang terinfeksi di Tiongkok dan seluruh dunia. Menemukan pengobatan untuk virus Corona adalah baik, tetapi itu hanya menyelesaikan penderitaan secara fisik. Tidakkah kita juga berfokus mendoakan agar mereka yang belum mengenal Kristus dapat mengenal-Nya dan beroleh keselamatan yang kekal?

Kiranya Tuhan menguatkan hati kita, teruntuk bagi kami di Tiongkok yang harus mendekam di rumah kami masing-masing. Kiranya kita semakin mengenal Tuhan, demikian juga dengan orang-orang di Tiongkok.

Tuhan masih memegang kendali. Janji Tuhan tak pernah gagal. Kehendak-Nya dinyatakan di atas bumi.

“Yaitu kamu, yang dipelihara dalam kekuatan Allah karena imanmu sementara kamu menantikan keselamatan yang telah tersedia untuk dinyatakan pada zaman akhir” (1 Petrus 1:5).

Baca Juga:

Apakah Kekristenan Itu Hanyalah Sebuah Garansi “Bebas dari Neraka”?

Kekristenan itu sederhana, bukan? Ayat Alkitab seperti Yohanes 3:16 menunjukkan bahwa untuk menjadi seorang Kristen kita hanya perlu percaya kepada Tuhan, dan kelak saat meninggal kita akan masuk surga (tempat yang baik), bukan neraka (tempat yang buruk). Bukankah kekristenan pada dasarnya adalah semacam asuransi kehidupan yang dampaknya baru akan kita rasakan suatu hari kelak (semoga masih lama) setelah hidup kita di dunia ini berakhir?