Posts

Keteladanan Hidup Apa yang Akan Kita Tinggalkan?

Oleh Astrid Winda Sondakh

Beberapa waktu lalu, orang yang paling kukasihi dan sayangi pergi meninggalkanku. Dia adalah omaku, namun lebih akrab kupanggil “mama”, panggilan yang kurasa sangat tepat untuknya karena sampai saat ini aku merasa oma bukanlah sekadar nenek. Mama benar-benar seperti wanita yang melahirkanku karena kasih sayangnya yang luar biasa padaku.

Kematian mama telah membawaku “terbangun dari tidur”. Bagaimana tidak, segala keteladanan hidupnya benar-benar membuatku kagum dan bangga, memotivasiku untuk menjalani hidupku sebaik mungkin. Integritasnya dalam pelayanan dan juga dalam segala hal sungguh luar biasa. Dari dulu—sejak sosok mamaku masih ada—aku memang sudah sangat kagum padanya. Mama sering mengajakku ikut di kegiatan pelayanan, juga kegiatan-kegiatan lain di sekolah tempatnya mengajar. Dia sosok yang bersemangat, bertanggung jawab, dan berwibawa sehingga di mataku dialah sosok panutan yang membuatku terkagum. Namun, saat kematiannyalah yang benar-benar menambah kekagumanku, karena ternyata bukan hanya aku saja yang kagum, namun ada banyak orang juga.

Ketika mama disemayamkan, saat itu aku sedang duduk di samping jenazah. Para pelayat bergantian datang melihat jenazah mama untuk terakhir kalinya. Di sela-sela itu, setiap kali para pelayat masuk, aku mendengar mereka memberi kesaksian tentang mamaku ini, entah mereka bercerita pada satu dengan yang lain atau pun bercerita langsung kepadaku. Mereka menceritakan tentang kekaguman mereka, tentang bagaimana perjuangannya dalam menghidupi keluarga sampai perjuangannya dalam pelayanan. Mereka juga kagum dengan sosok mamaku yang sampai akhir hayatnya tidak pernah buang-buang waktu, padahal sebagai seorang pensiunan, kebanyakan orang hanya duduk santai di rumah. Namun tidak dengannya, dia menggunakan waktu itu untuk pergi berkebun dan menanam segala macam tanaman yang dapat menghasilkan untuk anak-anak dan cucu-cucunya. Mereka juga sering mengatakan bahwa mamaku dari masih muda sampai akhir hayatnya selalu aktif dalam pelayanan, baik itu dalam pelayanan pemuda, kaum ibu, sampai lansia. Banyak kepercayaan, khususnya pelayanan yang diberi padanya, bahkan selain sebagai seorang guru Fisika, dia juga diberi kepercayaan di sekolah untuk menjadi guru agama.

Bukan hanya sekadar kesaksian orang-orang itu, namun aku pun menyaksikan sendiri bagaimana perjuangan mama sampai akhir hayatnya, sehingga bagiku, perkataan Paulus dalam 2 Timotius 4:7-8 (TB) sangat tepat untuk mamaku, “Aku telah mengakhiri pertandingan yang baik, aku telah mencapai garis akhir dan aku telah memelihara iman. Sekarang telah tersedia bagiku mahkota kebenaran yang akan dikaruniakan kepadaku oleh Tuhan, Hakim yang adil, pada hari-Nya; tetapi bukan hanya kepadaku, melainkan juga kepada semua orang yang merindukan kedatangan-Nya.” Mama benar-benar telah memelihara imannya, bahkan sampai pada garis akhirnya.

Hampir setahun lebih mamaku mengalami sakit, sudah masuk keluar rumah sakit, sampai pergi ke dokter spesialis pun sudah mama lakukan namun sakit yang mama alami tak kunjung sembuh malah kondisinya semakin menurun, sampai kami keluarga mulai khawatir dan mulai menyalahkan pihak medis. Namun mamaku tetap sabar walaupun aku tahu dia juga hanya manusia biasa yang pastinya ada rasa kecewa, khawatir dan sebagainya. Dalam sakitnya sampai akhir hayatnya itu, mamakulah yang terus menguatkan kami keluarga dan mengajak kami untuk terus berdoa, bahkan di tengah goncangan iman ini, mamakulah yang berkata pada kami, “Kita sudah berdoa, Tuhan pasti tolong.” Imannya tidak goyah, bahkan saat dia sedang dalam kelemahan dan kesakitan. Di saat–saat terakhirnya itu dia masih terus mengatakan, “Tuhan, tolong hamba-Mu” berulang kali. Dan, saat itu juga air mataku langsung jatuh, karena melihat betapa teguh imannya itu. Dia tidak marah, tidak berteriak-teriak. Dia tetap tenang menahan kesakitan dan kelemahannya itu. Tidak heran, ekspresinya saat meninggal benar-benar menunjukkan sedang tersenyum dan begitu tenang.

Dalam perenunganku, aku terpikir dengan perkataan Yesus tentang “Ajakan Juruselamat” dalam Matius 11:29 (TB), “Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan.” Dalam proses hidupnya, mamaku benar-benar telah dibentuk dan terbentuk menjadi pribadi yang kuat dan tangguh. Bahkan, dalam ibadah pemakaman, gembala yang memimpin ibadah pemakaman dan setiap sambutan yang disampaikan terus mengatakan bahwa dia adalah surat Kristus yang terbuka, karena mereka benar-benar menyaksikan bahwa Injil benar-benar mama hidupi dalam hidupnya. Darinya, aku belajar tentang arti kehidupan ini. Membuatku mengerti betapa pentingnya menabur dan taat pada setiap proses, dalam ziarah kita di dunia yang fana ini.

Ketika aku menceritakan kisahnya pada temanku, temanku berkata, “Eh, pernah terpikir tidak, kalau kita meninggal, apa yang akan orang katakan?” Aku belum pernah terpikir akan hal itu. Namun, pertanyaan itu membuatku merenungkan akan apa arti hidup kita di dunia ini dan apa yang seharusnya kita tinggalkan. Bukan sekadar mencari nama baik, namun apa yang kita bisa berikan pada mereka yang telah kita tinggalkan lewat keteladanan semasa hidup di dunia fana ini dan bagaimana kita dapat menginspirasi banyak orang lewat cerita dan proses hidup kita sampai akhir hayat.

Aku menulis ini bukan untuk membangga-banggakan mamaku, aku sadar dia juga hanya manusia biasa yang jauh dari kata sempurna namun aku menulis ini, karena aku rindu cerita hidupnya menjadi berkat dan teladan, bukan hanya untukku, namun untuk kita semua.

Aku ingin memberi pertanyaan kepada kita semua, “Teladan apa yang akan kita tinggalkan setelah kita tiada? Apakah kita juga bisa menghidupi Injil semasa hidup kita ini dan menjadi surat Kristus yang terbuka? Dan, hal apa yang kita ingin orang ingat tentang kita?”

Akhirnya, aku ingin berterima kasih kepada mama, untuk semua yang telah mama lewati dan keteladanan yang telah mama tinggalkan.

Suatu Saat Nanti Kita Tersenyum dan Berkata dalam Hati: “Oh, Jadi Ini Maksudnya Tuhan”

Oleh Herti Juliani Gulo, Medan

Awal tahun 2022 adalah tahun yang penuh dukacita mendalam bagi keluargaku, terutama bagi diriku sendiri. Tidak pernah terbayang dalam pikiran jika tahun ini aku kehilangan seorang panutanku yang luar biasa—ayahku sendiri yang akrab kupanggil ‘papa’.

Di mataku, papa adalah orang baik, yang hidupnya selalu dipenuhi oleh kasih sayang, canda tawa, dan rasa syukur yang melimpah. Aku adalah salah satu saksi bagaimana papa menjalani hidupnya. Di tengah banyaknya cobaan, papa selalu menjadi penyejuk dalam keluarga. Ketika dia menghadapi masalah di keluarga, pekerjaan, atau komunitas gerejawi, papa selalu bijak mengambil keputusan karena dia selalu berpikir bahwa setiap masalah itu dicari solusinya, bukan dihakimi penyebabnya. Papa menyadari bahwa manusia tidaklah sempurna, dan cenderung menghakimi tanpa menyelesaikan masalah.

Ketika akhirnya papa meninggal, banyak orang mengatakan kepergiannya misterius. Saat berhadapan dengan orang lain, papa kelihatan kuat. Namun, di balik itu, ada sakit yang tak tertahankan dalam tubuhnya. Begitulah papaku, dia mampu menahan sakitnya sendiri demi menjaga perasaan keluarga dan tidak membuat orang lain khawatir.

Aku sebagai anak perempuannya, amat mengagumi papaku. Sejak aku kecil, kami sangat dekat dan kedekatan ini diaminkan oleh banyak orang yang berkata bahwa aku dan papa punya ikatan batin yang kuat. Papa juga amat mengasihiku. Dia tidak pernah marah, menghakimi, atau melakukan kekerasan fisik karena memang dalam hidupnya dipenuhi kasih. Aku sendiri merenung, betapa beruntungnya aku memilikinya sepanjang papa hidup di dunia ini.

Satu hal yang aku syukuri dari kepergiaan papa adalah papa telah hidup di dalam Tuhan. Papa orang yang sangat beriman. Sejak aku kecil, dia selalu berusaha untuk mendekatkan hidupku dan keluargaku dengan Tuhan. Namun, tidak semua dari kami berhasil hidup melekat dengan Tuhan karena tentunya kerohanian seseorang adalah keputusan personal. Berkat upaya papa, meskipun aku sendiri belum sepenuhnya berpengharapan pada Tuhan, tetapi aku selalu meminta pimpinan Roh Kudus agar Dialah satu-satunya yang kuandalkan di dunia ini.

Dari kepergian papa, aku menyadari ada dua hal penting dalam hidupku. Pertama, aku sempat berpikir mengapa orang baik sangat cepat dipanggil Tuhan? Kenapa bukan orang berdosa saja yang Tuhan cepat panggil?

Dalam perenunganku, kusadar bahwa pemikiran itu tidak benar. Jika Tuhan memanggil orang baik, orang yang telah mengenal-Nya, itu karena Tuhan tahu mereka akan tinggal bersama-sama dengan-Nya di surga. Setiap orang telah berdosa, dan kepada mereka dikaruniakan kesempatan dan waktu untuk mengenal-Nya dan hidup benar.

Kedua, Tuhan punya rencana lain dalam hidupku. Kuakui bahwa selama ini, hidupku sangat bergantung pada papa karena kedamaian selalu kuperoleh dari papa, sehingga tanpa kusadari aku menaruh harap berlebih pada papa, selalu memprioritaskannya daripada Tuhan. Sekarang, aku sadar bahwa Tuhan punya rencana indah buatku. Tuhan ingin agar aku melihat-Nya dan lebih mengagumi-Nya daripada manusia yang ada di dunia ini. Kebaikan papa selama hidupnya menunjukkanku bahwa papa adalah perpanjangan kasih dan kebaikan Tuhan. Ketika Tuhan memanggil papa pulang, itu karena tugasnya telah selesai di dunia ini dan Tuhan ingin agar aku dan keluarga merasakan kasih dan kebaikan-Nya secara langsung.

Proses menerima kedukaan terasa berat. Hidupku terpuruk, namun aku selalu berdoa agar Tuhan menguatkan… dan di sinilah kualami kesetiaan Tuhan. Tuhan selalu menyelipkan kedamaian di tengah-tengah dukacita yang kualami berbulan-bulan. Dari keterpurukan yang kurasakan, ada kasih setia Tuhan yang kuperoleh. Tuhan memakai orang lain, ada keluarga, teman, sahabat, untuk menjadi berkat dalam hidupku. Semenjak itu, aku terus hidup berpengharapan sama Tuhan, karena hanya di dalam Tuhan bisa kuperoleh kasih dan kedamaian hidup. Hal ini membuatku tersenyum dan dalam hati berkata, “Oh, jadi ini maksudnya Tuhan.”

Firman Tuhan di Yohanes 16:20 yang berkata, “Aku berkata kepadamu: sesungguhnya kamu akan menangis dan meratap, tetapi dunia akan bergembira, kamu akan berdukacita, tetapi dukacitamu akan berubah menjadi sukacita” tergenapi dalam hidupku. Begitu banyaknya pergumulan yang kuhadapi sejak papa pergi. Namun, pergumulan itu berhasil kuhadapi, karena ada kekuatan yang Tuhan berikan. Air saja mampu Tuhan ubah menjadi anggur, maka aku percaya bahwa dukacita pasti Tuhan ubah menjadi sukacita.

Kita yang masih hidup di dunia ini, hendaknya terus bertumbuh dalam iman. Berlomba-lomba melakukan kebaikan, berbagi dengan sesama, rendah hati, dan terus mengucap syukur dalam keadaan apa pun. Marilah kita punya kerinduan untuk memperbaiki hidup menjadi lebih baik, mampu mencitrakan diri Tuhan Yesus dalam hidup kita kepada orang lain, melanjutkan kasih setia Tuhan, kebaikan dan keteladanan hidup Yesus. Ketika kita berhasil melakukan itu semua, dengan iman, kita pasti disambut oleh Tuhan dalam kerajaan surga.

Suatu saat nanti, akan ada reuni surgawi bagi kita yang sudah hidup percaya kepada Tuhan. Jadi, kiranya kita tidak takut kehilangan orang yang kita kasihi, karena pada akhirnya, kita semua akan kembali kepada Bapa di surga, sebab kita adalah milik-Nya. Mereka yang sudah pergi hanya mendahului kita dan Tuhan sedang mempersiapkan tempat bagi kita di surga. Rencana Tuhan indah pada waktunya.

Ada sebuah lagu favorit, yang kuharap dapat menjadi kekuatan bagi kita semua:

Indah rencana-Mu Tuhan, di dalam hidupku
Walau ku tak tahu dan ku tak mengerti, semua jalan-Mu
Dulu ku tak tahu, Tuhan, berat kurasakan
Hati menderita dan ku tak berdaya, menghadapi semua
Tapi ku mengerti sekarang, Kau tolong padaku
Kini kumelihat dan kumerasakan, indah rencana-Mu

Penghiburan di Kala Duka Mendera

Oleh Abyasat Tandirura, Toraja

Jarum jam menunjukkan pukul 17.35 WITA, ketika aku menerima kabar duka lewat messenger dari seorang temanku di SMA dulu. Rabu, 19 Februari 2020, Tuhan berkehendak memanggil pulang seorang teman yang kami kasihi dan dicintai oleh keluarganya. Ia merupakan teman seperjuanganku di bangku SMA hingga berkuliah di perguruan tinggi negeri yang sama di kota Makassar. Rasanya sulit untuk mempercayai kabar duka itu, sampai akhirnya aku menyaksikan sendiri tubuh yang kaku dan terbaring dalam peti di hari penguburannya 4 hari kemudian.

Aku mengerti bahwa kematian merupakan hal yang menakutkan dan menyedihkan secara manusiawi. Kedatangannya tidak mengenal usia dan waktu. Apalagi hal ini terjadi pada temanku yang berusia 28 tahun. Usia yang masih tergolong sangat muda. Aku sedih karena kehilangan seorang teman yang baik, sopan, dan ramah. Tak bertemu selama hampir 8 tahun sejak masa-masa wisuda, kini kami benar-benar harus berpisah dan tak akan pernah berjumpa lagi untuk selamanya.

Kini sudah 9 bulan berlalu sejak kepergiannya. Sekalipun sulit untuk melenyapkan rasa sedih dan kehilangan, aku yakin bahwa Tuhan benar-benar mengerti dan peduli dengan duka yang kualami. Ia selalu punya cara terbaik untuk menghibur dan menguatkanku secara pribadi, serta memberi sukacita abadi melalui beberapa hal yang kualami.

1. Melalui lagu pujian yang menguatkan

Sehari sebelum aku mendapat berita duka tersebut, aku sedang berlatih lagu himne favoritku menggunakan keyboard mini Judulnya “Ku Berbahagia” (Kidung Jemaat nomor 392) ciptaan Fanny Crosby. Begini liriknya:

‘Ku berbahagia, yakin teguh: Yesus abadi kepunyaanku!
Aku warisNya, ‘ku ditebus, ciptaan baru Rohul kudus.
Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya.
Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya.

Pasrah sempurna, nikmat penuh; suka sorgawi melimpahiku.
Lagu malaikat amat merdu; kasih dan rahmat besertaku.
Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya.
Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya.

Aku serahkan diri penuh, dalam Tuhanku hatiku teduh.
Sambil menyongsong kembaliNya, ‘ku diliputi anugerah.
Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya.
Aku bernyanyi bahagia memuji Yesus selamanya.

Setiap kali mendengar, melantunkan, dan juga mengiringi lagu ini, rasanya aku tidak kuasa membendung air mata haru. Ditambah lagi sejak kepergian temanku, lagu ini juga jadi mengingatkanku padanya. Di saat yang sama, lagu ini pun mengingatkanku pada Yesus yang telah menjadi Tuhan dan Juruselamatku secara pribadi. Yesus memberiku kebahagiaan sejati, baik saat aku bersukacita maupun berdukacita seperti yang sedang kurasakan saat ini. Kita memiliki Yesus dan kita dijadikan milik-Nya. Sehingga meskipun kita sedang berdukacita, Allah tetap turut bekerja mendatangkan kebaikan bagi kita yang mengasihi-Nya (Roma 8:28). Ia juga memberikan sukacita sorgawi, seperti yang ditulis Fanny Crosby dalam lagu tersebut. Sukacita sorgawi itu adalah pengharapan akan kehidupan kekal bersama Kristus kelak. Untuk itu, aku bahagia memiliki Yesus sebagai kawan sejati yang tidak akan meninggalkanku dan tetap mengasihiku dengan kasih yang kekal (Yohanes 15:9).

2. Melalui kesaksian dari keluarga

Selama masa-masa kedukaan, aku banyak mendengar kesaksian dari pihak keluarga. Kesaksian mereka ketika dihiburkan dan dikuatkan secara tidak langsung membuatku ikut terhibur juga di masa-masa duka tersebut. Salah satu saudara kandung dari almarhum menuturkan bahwa meskipun segenap keluarga berduka karena kehilangan anggota keluarga terkasih, mereka bersyukur pada Tuhan ketika mereka dikunjungi oleh para hamba Tuhan dari tempatnya berjemaat, bahkan ada juga yang datang dari luar daerah. Tidak hanya itu, pihak keluarga juga menuturkan rasa sukacitanya ketika menyaksikan almarhum yang tetap tersenyum dan tidak mengeluh dalam masa-masa perawatannya di rumah sakit saat berjuang melawan penyakit TBC usus yang dideritanya.

Masih dari penuturan pihak keluarga, ternyata temanku menyampaikan doa penyerahan terakhir sebelum ia menghembuskan nafas terakhirnya. Ia sempat menyatakan:

“Oh Tuhan, ke dalam tangan-Mu kuserahkan hidupku, ampuni saya.”

Sejenak aku merenungkan kata-kata terakhir beliau. Aku melihat temanku itu benar-benar berserah secara total kepada Penciptanya dan menyatakan pertobatannya. Menurutku, itu hal yang sangat luar biasa. Dan aku yakin Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Pengampun sanggup melimpahkan damai sejahtera juga kepada segenap keluarga, teman-teman, dan semua orang yang ditinggalkannya. Sungguh sebuah kesaksian iman yang menguatkan aku secara pribadi.

3. Melalui kidung nyanyian favorit si teman

Ketika aku menulis tulisan ini, aku teringat salah satu lagu kesukaan almarhum yang disampaikan kakaknya kepadaku yang berjudul “Ku Tahu Tuhan Pasti Buka Jalan”:

Ku tahu Tuhan pasti buka jalan
Ku tahu Tuhan pasti buka jalan
Asal ku hidup suci
Tidak turut dunia
Ku tahu Tuhan pasti buka jalan

Dalam menikmati lagu ini, aku mau memaknai benar adanya bahwa Tuhan telah membuka jalan baginya, baik ketika sedang menghadapi pergumulan di dunia ini, juga ketika beliau akhirnya memasuki tempat peristirahatan dan tempat penantian yang indah dan penuh damai. Aku harap aku juga bisa memaknai pesan mendalam yang disampaikan lagu ini ketika aku menghadapi pergumulan pribadi sepanjang hidupku.

4. Diingatkan oleh karya kasih Yesus

Kematian temanku mengingatkan aku kembali pada satu Pribadi yang juga pernah mengalami kematian, tetapi kematian yang istimewa. Begitu istimewanya kematian-Nya sehingga Ia sanggup mengubah sebuah ratapan menjadi sukacita. Pribadi itu adalah Yesus Kristus. Karena kasih, Yesus mati mengorbankan diri-Nya bagi kita, supaya kita manusia yang berlumuran dosa beroleh pengampunan dan keselamatan untuk menikmati hidup kekal bersama-Nya (Yohanes 3:16). Yesus juga bangkit dari kematian sebagai bukti bahwa Ia mengalahkan maut (Roma 6:9, Wahyu 1:18). Dengan kebangkitan-Nya, iman percaya kita tidak sia-sia sebab kita tahu bahwa ketika kita mati dalam iman kepada Kristus, maka kita juga akan dibangkitkan dalam kemuliaan kelak (Yohanes 11:25, 2 Korintus 4:14-15).

5. Janji-Nya bahwa kami akan bertemu lagi kelak

Di hari penguburannya, aku dan seorang temanku yang lain melihat dia untuk yang terakhir kalinya. Menatapnya yang terbaring kaku dalam peti sungguh memilukan. Perpisahan untuk selamanya ini sungguh membuat kami merindukannya. Namun kami mau mengingat apa yang dijanjikan Allah melalui kesaksian Rasul Paulus di Korintus:

“Sebab sama seperti maut datang karena satu orang manusia, demikian juga kebangkitan orang mati datang karena satu orang manusia. Karena sama seperti semua orang mati dalam persekutuan dengan Adam, demikian pula semua orang akan dihidupkan kembali dalam persekutuan dengan Kristus.” (1 Korintus 15:21-22)

Bagian Firman ini mengajak aku untuk percaya bahwa kematian hanyalah perpisahan sementara bagi orang percaya. Aku dan temanku yang sudah terbaring kaku itu akan bertemu lagi karena kami sama-sama percaya kematian dan kebangkitan Yesus bagi pengampunan dosa-dosa kami (1 Korintus 15:3-4).

Aku dan keluarga temanku sungguh mengucap syukur pada Tuhan yang telah menghibur dan menguatkan kami melalui berbagai hal. Sangat bersukacita juga ketika mengetahui banyak pihak yang mendoakan almarhum semasa perawatannya di rumah sakit, meski Tuhan tahu betul apa yang terbaik untuk jalan hidupnya. Aku mengerti bahwa sesungguhnya tidak ada yang abadi dalam dunia ini. Namun iman kita kepada Yesus Kristus adalah hal yang menjadi abadi dan sangat berharga bagi kita orang percaya. Sekalipun kematian memisahkan kita secara fisik dari orang-orang yang kita kasihi, kita tentu tak akan bisa dipisahkan dari kasih Allah yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita (Roma 8:38-39).
Damai bersamamu kawan, sampai bertemu, sampai lagi kita bertemu di langit dan bumi yang baru!

“Berharga di mata Tuhan, kematian semua orang yang dikasihi-Nya” (Mazmur 116:15).

Terpujilah Kristus!


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Menemukan Pemeliharaan Tuhan lewat Tenaga Profesional Kesehatan Mental

Selama ini aku menyimpan semua masalahku dan berusaha terlihat baik-baik saja. Sampai ketika tekanan hidup tak lagi kuat kutanggung, aku memberanikan diri untuk datang pada konselor, dan di sanalah aku menemukan pemeliharaan Tuhan.

Dalam Momen Terkelam Sekalipun, Allah Tetap Setia

Oleh Puput Ertiandani, Palu

Dua tahun yang lalu, tepatnya di bulan September, aku mengalami kejadian yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Aku berada di Palu, Sulawesi Tengah ketika bencana gempa, tsunami, dan likuifaksi tanah terjadi. Ketika aku merenungkan kembali kejadian itu, aku sadar betapa baiknya Tuhan. Dia memberikanku kesempatan untuk hidup hingga hari ini, bahkan aku bisa terbebas dari trauma dan ketakutan pun adalah kasih karunia-Nya.

Kala itu aku sedang berada di kantor untuk pertemuan tahunan. Tiba-tiba suara bergemuruh datang entah dari mana. Lantai-lantai keramik mulai terbuka dan ruangan kami ikut bergerak tak karuan. Buku-buku, laptop dan barang-barang di atas meja terserak-serak, menambah ketakutan kami. Teman-teman yang sedang bersamaku berteriak-teriak dan ada juga yang menangis. Aku secara refleks berusaha keluar dari ruangan dan menyelamatkan diri. Aku sempat terjatuh sebelum berhasil melewati pintu untuk keluar.

Di tengah kepanikan, aku berdoa meskipun tanpa suara keluar dari mulutku. Aku berdoa agar aku tidak tertinggal, juga supaya teman-temanku tidak mengalami sesuatu yang lebih buruk. Sekitar lima menit kami terjebak dan berusaha menyelamatkan diri. Ketika aku berhasil keluar dari bangunan, kulihat dan kudengar kekacauan di sekelilingku. Kontras dengan bumi yang luluh lantak, malam harinya kulihat langit tampak indah dengan bintang-bintang. Pemandangan itu menyadarkanku, bahwa Tuhan memegang kendali dan mampu memberikan ketenangan.

Hari-hari pasca bencana terasa lebih melelahkan. Sebagai pekerja kemanusiaan, aku membantu mengatur logistik untuk warga yang mengungsi. Aku mendata setiap yang datang, memberikan rekomendasi prioritas wilayah yang paling urgen untuk diberikan bantuan. Aku tidur di tenda, bangun dini hari dan terus bekerja sampai larut malam kembali. Tak jarang ada orang-orang yang malah berebutan meminta bantuan.

Mengalami bencana yang sama, aku dan rekan-rekan pekerja juga butuh dihibur dan dikuatkan, tapi di saat yang sama kami mengemban tugas untuk menghibur dan menguatkan orang lain. Ada waktu-waktu ketika aku merasa sangat kesepian dan hampir hilang harapan. Namun selalu ada cara Tuhan untuk membuatku bangkit. Doa dan semangat dari keluarga yang berada jauh di Jawa, pelukan orang-orang terdekat bahkan sekadar telepon dari teman gereja. Di tengah segala keterbatasan, aku merayakan ulang tahun yang ke-26 dengan diawali gempa susulan pada dini hari, beberapa hari setelah gempa besar terjadi. Sungguh pengalaman yang tidak akan terlupakan. Hari yang seharusnya menjadi hari bahagia bercampur dengan kewaspadaan setiap menitnya.

Kini dua tahun berlalu, dan aku sempat bertanya-tanya kenapa aku harus ada di kota perantauan yang mengalami kekacauan karena bencana sebesar itu. Firman Tuhan dalam Yeremia 29:7 (Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu) mengajarkanku bahwa di mana pun kita ditempatkan kita harus berdoa dan menjadi berkat untuk kota itu. Dan aku bersyukur aku boleh melewati situasi itu untuk berdoa, mengusahakan kesejahteraan orang-orang yang terdampak, dan menjadi berkat, yang pada akhirnya menjadi kesaksian hidup demi kemuliaan nama Tuhan.

Ada banyak hal yang Tuhan berikan agar aku belajar selama dua tahun ini. Bukan hanya hubunganku dengan Tuhan tetapi juga kepercayaan dan kapasitas yang lebih besar untuk melayani dan berkarya dalam pekerjaanku. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi dan banyak hal bisa terjadi di luar kendali kita. Namun kita punya Tuhan yang tidak pernah meninggalkan kita sedetik pun. Dia mengerti setiap ketakutan dan kesedihan kita. Di titik terendah dalam hidup ada Tuhan Yesus yang senantiasa ada untuk kita anak-anak-Nya. Bahkan air mata kita ditampung dalam kirbat-Nya.

“Kuatkan dan teguhkanlah hatimu, janganlah takut dan jangan gemetar karena mereka, sebab TUHAN, Allahmu, Dialah yang berjalan menyertai engkau; Ia tidak akan membiarkan engkau dan tidak akan meninggalkan engkau” (Ulangan 31:6).


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Yesus Kawan yang Sejati bagi Kita yang Lemah

Masa-masa penuh kekhawatiran dan kesepian membuatku terjaga sepanjang malam, hingga kuingat sebuah lagu yang mengatakan Yesus kawan yang sejati. Sungguhkah Yesus adalah kawan kita yang sejati?

Apa yang Kamu Lihat? Penghiburan atau Penghakiman?

Oleh Aryanto Wijaya, Jakarta

Beberapa waktu lalu ada sebuah video yang cukup viral. Di video itu ditunjukkan seorang badut dengan mimik tersenyum berdiri di ballroom mal yang sepi pengunjung. Saking sedikitnya pengunjung di mal itu, tak ada satupun yang tergerak untuk mengisi kotak uangnya. Namun, sang badut bergeming menghibur orang-orang yang sedikit itu dengan senyumannya.

Sang pembuat video lalu berinisiatif memasukkan uang ke dalam kotak. Rupanya tindakan ini mendorong pengunjung lainnya untuk memberi juga. Lalu, setelah video ini viral di media sosial, sumbangan kepada sang badut pun berdatangan dari para warganet.

Di tengah situasi pandemi yang mencekam ini, mendapati kisah-kisah kebaikan seperti di atas terasa menghibur hati. Namun, aku jadi teringat. Masih di media sosial, terjadi perdebatan atas peristiwa merebaknya virus corona pada sebuah acara gereja di Bandung.

Pemerintah Provinsi Jawa Barat telah mengidentifikasi bahwa jumlah orang yang positif terjangkit dari klaster acara tersebut berjumlah 226 orang. Di luar jumlah itu, ada beberapa yang telah meninggal dunia pula. Ketika berita ini menyebar di media sosial, komentar-komentar pun berdatangan. Ada komentar-komentar yang mengatakan bahwa itu ganjaran yang tepat untuk mereka yang mengikuti acara tersebut.

Sejenak aku termenung.

Jika ingin digali secara detail, mungkin investigasi dari peristiwa ini akan panjang. Untuk mencari dan menentukan siapa yang paling bertanggung jawab dari merebaknya virus ini di acara tersebut, kupikir itu adalah ranah pihak yang berwajib untuk memprosesnya. Namun, bagaimana jika kita menggeser sedikit cara pandang kita? Daripada berfokus kepada “salah siapa,” bagaimana jika kita memberi ruang bagi empati untuk turut hadir dalam asumsi-asumsi kita?

Aku membayangkan, para anggota jemaat yang hadir di acara tersebut tentunya terguncang karena terjangkit. Pun, ketika ada di antara mereka yang meninggal dunia, pastilah itu meninggalkan duka mendalam bagi keluarga mereka.

Selayaknya, tugas kita sebagai orang Kristen adalah menawarkan penghiburan dan empati. Para korban dari pandemi ini, siapa pun mereka, adalah manusia juga seperti kita. Manusia yang berdosa dan membutuhkan anugerah pengampunan Tuhan.

Ketika Yesus berjumpa dengan seorang yang buta sejak lahir, murid-murid-Nya bertanya, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (Yohanes 9:2). Pertanyaan murid-murid sejatinya bukanlah pertanyaan yang tidak peka terhadap kesakitan si orang buta, karena pada zaman itu orang-orang meyakini bahwa cacat fisik seseorang adalah akibat dari dosa. Dan, biasanya mereka yang buta sejak lahir bernasib menjadi pengemis. Buta dan pengemis pula. Lengkap sudah penderitaan orang itu. Yesus lalu menjawab, “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yohanes 9:3).

Dari bagian ini, kita mendapati bahwa Yesus dan murid-murid-Nya sama-sama melihat orang buta tersebut. Namun, dalam cara dan respons yang berbeda. Dalam bahasa Ibrani ada dua pilihan kata untuk “melihat”, yakni blepo dan horao. Murid-murid melihat dengan blepo, mereka melihat hanya dengan mata jasmani. Cara melihat seperti ini akhirnya menghasilkan penghakiman yang terselubung, seperti tercermin dalam pertanyaan mereka. Sedangkan Yesus melihat dengan horao, melihat dengan hati. Cara Yesus melihat menghasilkan respons untuk berbelas kasihan. Bukan penghakiman yang ditawarkan-Nya, tetapi tindakan kasih yang berujung pada pemulihan.

Andaikata saat itu si orang buta tak jadi dicelikkan Yesus, mungkin hatinya merasa lebih baik sebab Yesus tidak menghakimi matanya yang buta sebagai dosa. Namun, Kristus berkenan memulihkan penglihatannya, sehingga celiklah matanya.

Mata kita tidak pernah melihat dengan asal melihat. Kita melihat dengan tujuan. Kita melihat untuk mencari sesuatu dan kita berfokus melihat apa yang kita lihat. Hari ini, ketika kita melihat satu per satu korban berjatuhan, apakah yang kita lihat dan pikirkan? Apakah kita melihatnya sebagai hukuman, biar tau rasa, atau terbitkah kasih kita kepada mereka? Tergerakkah hati kita untuk mendoakan mereka, agar tangan Tuhan yang berkuasa menjamah dan menganugerahkan mereka dengan damai sejahtera?

Yesus mengatakan bahwa semua orang akan tahu kita adalah murid-murid-Nya jika kita saling mengasihi (Yohanes 13:35). Kasih yang Yesus maksudkan di sini bukan hanya mengasihi orang yang dekat dengan kita, atau yang baik pada kita. Kita diminta-Nya untuk mengasihi siapa saja, termasuk musuh kita sekalipun (Matius 4:44). Tak ada pengecualian, kita wajib mengasihi semua orang.

Virus COVID-19 memang berbahaya, cepat menular, tetapi yang tak kalah bahayanya adalah dosa-dosa yang bersarang dalam diri kita. Kita membutuhkan pengampunan dari-Nya, sebab kita sekalian sesat seperti domba, masing-masing kita mengambil jalannya sendiri (Yesaya 53:6).

Baca Juga:

Kasih Tuhan di Masa Corona

Lent, Jumat Agung, dan Paskah serasa tenggelam di tengah-tengah pandemi COVID-19, tetapi kegelapan tidak dapat menutupi terang. Pesan apa yang salib Yesus 2000 tahun lalu sampaikan? Kasih Tuhan yang terus menyertai, bahkan di masa corona.

Di Saat Aku Berdukacita, Tuhan Menghiburku

Oleh Wisud Yohana Sianturi, Sidikalang

Aku telah kehilangan kedua orangtuaku. Ayahku dipanggil Tuhan lebih dulu. Ketika hari itu tiba, aku marah dan kecewa. Aku menyalahkan semuanya, orang-orang di sekitarku, keadaanku, bahkan juga Tuhan.

Sewaktu ayahku masih hidup, hubungan kami kurang begitu baik. Karena banyak hal, aku berusaha menjaga jarak dengannya. Hingga ketika Ayah mengalami sakit keras, dia berkata kepadaku, “Nang [nak], pasti kau merasa kalau aku tidak peduli kepadamu, cuek sama kamu. Tapi bapak sayang samamu, nang.” Hari itu aku menangis di depan Ayah. Ketika dia akhirnya meninggal dunia, aku menyesal karena merasa dulu tidak menjadi anak yang baik.

Selepas kepergian Ayah, aku menjauhi Tuhan. Aku sering mengabaikan pertemuan ibadah di gereja dan juga tidak mau berdoa lagi. Ketika ibuku tahu tentang hal ini, dia menegurku. Katanya, Tuhan itu tidak pernah berbuat buruk. Tuhan selalu berlaku baik. Apa pun itu pasti untuk kebaikan. Aku menangis mendengar teguran dari ibuku, dan setelahnya aku pelan-pelan belajar untuk kembali berdoa.

Beberapa bulan berselang, ibuku masuk rumah sakit dan harus dipindahkan ke rumah sakit lain yang lebih memadai. Ketika kabar itu datang, hari sudah malam dan aku tidak tahu harus berbuat apa karena kami tidak tinggal di satu kota yang sama. Perasaanku tak karuan dan aku ketakutan. Dalam keadaan itulah aku berdoa dan membaca Alkitab sambil menangis. Aku berkata pada Tuhan kalau aku belum siap jika harus kehilangan Ibu. Jika ibuku pergi meninggalkanku, maka aku akan menyerah dengan mengakhiri hidupku juga.

Keesokan harinya, aku dikabari bahwa Ibu terkena stroke dan dilarikan ke ICU. Setelah kuliah usai, aku bergegas menuju rumah sakit tempat ibuku dirawat. Ibuku sedang dalam keadaan tidak sadarkan diri. Di dekat telinganya, aku berbisik, “Mak, jangan tinggalkan aku. Aku gak siap mamak tinggalkan sendirian.” Aku melihat ibuku meneteskan air mata.

Singkat cerita, melalui serangkaian proses perawatan itu ibuku bisa bertahan dan tetap bersamaku selama hampir setahun sampai aku diwisuda. Hari-hari yang dulu kulalui bersama Ibu adalah hari yang berat. Namun, dalam kondisi seperti itu justru aku merasa kalau itu adalah masa-masa di mana aku dekat Tuhan. Masa-masa di mana aku benar-benar membutuhkan Tuhan. Hanya Tuhan tempatku mengadu, sampai akhirnya Ibu kembali masuk rumah sakit dan Tuhan memanggilnya.

Dalam dukacitaku, Tuhan menghiburku

Sejujurnya, aku rasa aku tidak sanggup menerima kenyataan kalau aku sudah tidak lagi punya orangtua. Ketika Ibu meninggal, aku sempat berpikir untuk berhenti membaca firman Tuhan dan tidak mau berdoa lagi. Ada rasa marah dan kecewa pada Tuhan hingga aku ingin meninggalkan-Nya selama beberapa waktu. Tapi, di sisi lain hatiku, aku sadar bahwa hanya Tuhan sajalah satu-satunya yang kumiliki. Dialah penciptaku, yang tahu betul akan diriku lebih daripada aku sendiri. Aku pun teringat pesan ibuku dulu ketika aku berusaha menjauhi Tuhan setelah kepergian Ayah. Tuhan itu selalu baik dan apa pun yang terjadi adalah untuk mendatangkan kebaikan.

Selama seminggu aku diliputi rasa duka. Hingga suatu ketika aku bertanya-tanya dalam hati, “Apa sih yang Tuhan akan katakan mengenai keadaanku saat ini?” Aku pun membaca renungan yang ada di tabletku. Isi renungan hari itu diambil dari Yohanes 14 yang terdiri dari beberapa ayat. Ada satu ayat yang membuatku menangis.

“Aku tidak akan meninggalkan kamu sebagai yatim piatu. Aku datang kembali kepadamu” (Yohanes 14:18).

Melalui ayat ini, aku merasa Tuhan benar-benar menghiburku. Aku berusaha menjauh dari-Nya, tapi Dia tidak pernah meninggalkanku sendirian. Kuakui, ketika kedua orangtuaku masih hidup, aku sangat mengandalkan mereka. Bersama mereka, aku merasa aman dan kuletakkan harapanku pada mereka. Tapi, ketika mereka pergi, barulah aku sadar bahwa manusia itu terbatas dan tumpuan harapan terbesar yang seharusnya menjadi satu-satunya andalanku adalah Tuhan Yesus sendiri.

Kedua orangtuaku telah pergi dari sisiku, tetapi Tuhan selalu ada buatku. Entah bagaimana pun keadaanku, di mana pun aku berada, Dia selalu bersamaku.

Aku berdoa, kiranya kesaksianku ini boleh memberi kekuatan untuk teman-teman yang membacanya.

“Engkau mengetahui, kalau aku duduk atau berdiri, Engkau mengerti pikiranku dari jauh” (Mazmur 139:2).

Baca Juga:

Tuhan, Lakukanlah Kepadaku Apa Pun

Hampir tidak pernah kita berdoa “Tuhan, berikanlah kepadaku apa pun juga. Kegelapan, terang, penghiburan, penderitaan… apa pun juga… dan aku tetap akan memuji-Mu!” Wow, doa ini mungkin terdengar ngeri buatku, tapi di sinilah aku belajar untuk memahami kembali bagaimana seharusnya aku berdoa.

Ajakan Untuk Menghibur

Senin, 26 Mei 2014

Ajakan Untuk Menghibur

Baca: 2 Korintus 1:3-11

1:3 Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan,

1:4 yang menghibur kami dalam segala penderitaan kami, sehingga kami sanggup menghibur mereka, yang berada dalam bermacam-macam penderitaan dengan penghiburan yang kami terima sendiri dari Allah.

1:5 Sebab sama seperti kami mendapat bagian berlimpah-limpah dalam kesengsaraan Kristus, demikian pula oleh Kristus kami menerima penghiburan berlimpah-limpah.

1:6 Jika kami menderita, hal itu menjadi penghiburan dan keselamatan kamu; jika kami dihibur, maka hal itu adalah untuk penghiburan kamu, sehingga kamu beroleh kekuatan untuk dengan sabar menderita kesengsaraan yang sama seperti yang kami derita juga.

1:7 Dan pengharapan kami akan kamu adalah teguh, karena kami tahu, bahwa sama seperti kamu turut mengambil bagian dalam kesengsaraan kami, kamu juga turut mengambil bagian dalam penghiburan kami.

1:8 Sebab kami mau, saudara-saudara, supaya kamu tahu akan penderitaan yang kami alami di Asia Kecil. Beban yang ditanggungkan atas kami adalah begitu besar dan begitu berat, sehingga kami telah putus asa juga akan hidup kami.

1:9 Bahkan kami merasa, seolah-olah kami telah dijatuhi hukuman mati. Tetapi hal itu terjadi, supaya kami jangan menaruh kepercayaan pada diri kami sendiri, tetapi hanya kepada Allah yang membangkitkan orang-orang mati.

1:10 Dari kematian yang begitu ngeri Ia telah dan akan menyelamatkan kami: kepada-Nya kami menaruh pengharapan kami, bahwa Ia akan menyelamatkan kami lagi,

1:11 karena kamu juga turut membantu mendoakan kami, supaya banyak orang mengucap syukur atas karunia yang kami peroleh berkat banyaknya doa mereka untuk kami.

Terpujilah Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus, Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan. —2 Korintus 1:3

Ajakan Untuk Menghibur

Dalam buku Dear Mrs. Kennedy, Jay Mulvaney dan Paul De Angelis menuliskan bahwa selama beberapa minggu setelah terbunuhnya Presiden Amerika Serikat John Kennedy, jandanya, Jacqueline, menerima setidaknya 1 juta surat dari orang-orang di seluruh belahan dunia. Sebagian datang dari para kepala negara, selebritas, dan teman dekat. Yang lainnya dikirim oleh masyarakat umum yang mengirimkan surat mereka dengan mencantumkan alamat “Kepada Ibu Kennedy, Washington” dan “Ny. Presiden, Amerika”. Semuanya menuliskan surat untuk mengungkapkan rasa dukacita dan simpati atas peristiwa kehilangan besar yang dialami Ny. Kennedy.

Ketika ada seseorang yang menderita dan kita rindu menolongnya, ada baiknya kita mengingat kembali perkataan Paulus yang menggambarkan “Allah, Bapa Tuhan kita Yesus Kristus” sebagai “Bapa yang penuh belas kasihan dan Allah sumber segala penghiburan” (2Kor. 1:3). Bapa surgawi kita adalah sumber utama dari setiap belas kasihan yang lembut, perkataan yang baik, dan sikap suka menolong yang memberikan penguatan dan pemulihan. Ahli Alkitab W. E. Vine berkata bahwa paraklesis—kata dalam bahasa Yunani yang diterjemahkan menjadi “penghiburan”—berarti “ajakan untuk mendampingi seseorang”. Kata penghiburan muncul berulang kali dalam bacaan Alkitab hari ini sebagai suatu pengingat bahwa Tuhan mendekap kita dan mengundang kita untuk bergantung pada-Nya.

Sebagaimana Tuhan menghibur kita dengan dekapan tangan-Nya yang penuh kasih, maka kita pun dapat menghibur sesama “dengan penghiburan yang [kita] terima sendiri dari Allah” (ay.4). —DCM

Bapa, terima kasih sudah mengizinkan kami berbagi kekhawatiran
dan persoalan dengan-Mu. Kami bersyukur karena Engkau menyertai
kami untuk menghibur dan menjaga. Tolong kami untuk menghibur
sesama seperti Engkau memperhatikan kami anak-anak-Mu.

Allah menghibur kita agar kita dapat menghibur sesama.