Aku Lupa, Yesus Juga Kawanku

Oleh Caleb Daniel
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Forgot I Was Friends With Jesus

Tumbuh besar di gereja, aku sering mendengar Yesus disebut sebagai “kawan sejati”. Di sekolah Minggu, Yesus ditunjukkan sebagai seorang sahabat terbaik yang bisa kumiliki. Aku juga berulang-ulang kali mendengar bahwa Dia mengasihiku, Dia memberikan hidup-Nya buatku, dan seharusnya aku pun membagikan kasih-Nya kepada orang lain. “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu” (Yohanes 15:9). Aku yakin, kamu juga pernah mengalami yang sama sepertiku.

Namun, di satu titik dalam perjalanan hidup kita, banyak dari kita yang meragukan-Nya.

Di tahun ketiga kuliahku, aku baru sadar kalau selama ini aku sudah melupakan persahabatanku dengan Yesus. Aku merasa relasiku dengan-Nya hanyalah tentang kewajiban-kewajiban yang harus kuikuti. Aku juga baru ditunjuk menjadi ketua di pelayanan kampus. Hari-hariku di semester itu jadi amat sibuk. Baca Alkitab lebih terasa seperti tugas; berdoa pun terasa hambar. Juga saat ikut kebaktian, aku tidak merasakan ada hadirat Tuhan. Aku diberi sebuah misi untuk menyampaikan Kabar Baik kepada dunia, tapi misi yang seharusnya menjadi sukacita itu malah terasa memberatkan. Itulah mengapa momen ketika Yesus bersama murid-murid-Nya yang tertulis di pasal terakhir Injil Yohanes adalah favoritku.

Yesus telah bangkit dari maut dan hanya menunjukkan diri-Nya beberapa kali. Para murid kembali melaut, tapi mereka kesulitan menangkap ikan. Yesus berseru pada mereka dari tepi pantai dan menyuruh mereka menangkap ikan dari sisi perahu yang berbeda. Ketika mereka menyadari bahwa yang berseru itu Yesus, Petrus melompat keluar dari perahu dan bergegas menemui-Nya (Yohanes 21:7). Murid-murid lainnya pun ikut menjumpai Yesus, dan ternyata telah tersedia makanan bagi mereka di tepi pantai.

Aku beranggapan jika Yesus akan meluangkan waktu-waktu terakhir-Nya di bumi untuk menginjili, menyembuhkan yang sakit, atau membangkitkan orang mati. Bukankah itu lebih produktif? Namun, di sinilah kita melihat sisi “lebih santai” dari Yesus. Mungkin, waktu-waktu dengan murid-murid-Nya itu adalah momen terakhir untuk menegaskan pesan yang senantiasa Yesus sampaikan: “Tinggallah di dalam Aku.” Pesan ini bukanlah tentang apa yang murid-murid bisa lakukan buat Yesus. Pesan ini adalah tentang sebuah kasih yang dapat mengubah hidup mereka, bahkan dunia!

Cobalah luangkan waktu untuk membayangkan ini: udara pagi yang segar, aroma roti yang baru keluar dari oven, sukacita bersama teman-teman dekatmu. Momen saat murid-murid bertemu Yesus itu tentu adalah momen yang amat menyenangkan. Mereka dapat begitu akrab dengan Yesus tanpa dirisaukan oleh kumpulan orang yang berusaha mendekat Sang Mesias. Yesus, Juruselamat dunia, meluangkan waktu-waktu terakhir-Nya di dunia sebelum pergi ke surga dengan melayani murid-murid-Nya menikmati sarapan di tepi pantai.

Kita pun seringkali lupa bahwa dalam persahabatan dengan Yesus ada penghiburan dan sukacita. Yesus meminta kita agar selalu terhubung dengan-Nya, pokok anggur sejati, karena Dia tahu betapa mudahnya kita terjebak dalam kewajiban-kewajiban agamawi ketimbang dalam relasi (lihat Yohanes 15;1-17). Ketika kita menerima undangan-Nya untuk menjadi sahabat-Nya, kita dibebaskan! Kita dibebaskan dari ekspektasi bahwa kita harus senantiasa produktif melayani. Kita dibebaskan dari beban yang seharusnya kita tanggung sendirian. Kita juga dibebaskan dari perasaan malu atau tidak layak dalam melayani kerajaan-Nya.

Mengetahui kebenaran ini, hidupku disegarkan dan dibebaskan dari beban yang bahkan tak kusadari sedang kutanggung. Dalam sekejap, aku merasa 10 karung batu bata dilepaskan dari pundakku. Aku melihat firman-Nya lebih indah daripada sebelumnya. Aku tak lagi berfokus pada soal berapa lama durasi aku berdoa. Ibadahku menjadi respons syukur atas apa yang sudah Tuhan perbuat. Hal-hal yang dulu kulakukan seperti kewajiban kini kulakukan dengan perasaan akrab dalam persahabatan dengan-Nya. Aku beribadah bukan untuk memenuhi ritual belaka, tetapi mendapatkan kedamaian dari-Nya. Aku juga dapat merasakan kehadiran-Nya di mana-mana, tak peduli di mana aku berada atau bersama siapa. Hidupku bersama-Nya tak lagi terbatas pada tindakan yang aku cap sebagai rohani. Hadirat-Nya memenuhiku saat aku masak, makan, jalan ke kelas, bahkan saat aku menonton sekalipun. Aku sungguh merasa Yesus juga peduli pada kehidupan sehari-hariku yang biasa-biasa, tak cuma ketika aku melakukan disiplin rohani. Akhirnya aku terhubung kembali dengan Kawan lamaku yang terhilang, dan inilah yang aku butuhkan.

Teruntuk kamu yang berbeban berat, lelah, dan putus asa, temukanlah penghiburan di dalam-Nya hari ini. Lepaskan tarikan nafasmu dan ingatlah kebenaran ini:

Yesus ingin dekat denganmu. Dia menikmati waktu-waktu bersamamu. Dan, Dia tidak meminta 100 persen kesempurnaan darimu. Kamu dapat bersandar pada anugerah-Nya yang akan membebaskanmu dari beban.

Baca Juga:

Doa Minta Dikuatkan, Tapi Kok Semakin Banyak Masalah?

“Tuhan, kuatkan aku menghadapi pergumulan ini.” Pernahkah kamu berdoa seperti itu, tapi rasanya pergumulanmu malah tambah berat?

Kamu tidak sendiri. Teman kita, Paramytha juga pernah mengalaminya dan inilah sekelumit ceritanya yang ingin dia bagikan.

Bagikan Konten Ini
3 replies
  1. Erni
    Erni says:

    Tuhan Yesus mengetahui apa yang telah di pikir kan oleh manusia. Maka Tuhan selalu ikut campur tangan dalam setiap permasalahan yg di hadapi oleh kita. Amin

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *