Posts

Suatu Malam di Getsemani 

Oleh Adiana Yunita, Yogyakarta

Bila ada hal yang tak bisa dihentikan, ia adalah sesuatu bernama waktu. Baru kemarin rasanya kita mengikuti Perjamuan Kudus, mengenang kematian Yesus, dan merayakan kebangkitan-Nya. Tahu-tahu sekarang sudah di akhir April! Namun, pada serangkaian peristiwa Paskah kemarin, ada satu bagian yang hingga kini menggema kuat bagiku… suatu bagian yang menegaskan pada kita akan panggilan untuk finish well, mengakhiri dengan baik.

Mari kita mulai dengan membaca penggalan nats dari Markus 14:33-36:

Dan Ia membawa Petrus, Yakobus dan Yohanes serta-Nya. Ia sangat takut dan gentar, lalu kata-Nya kepada mereka: “Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah.” Ia maju sedikit, merebahkan diri ke tanah dan berdoa supaya, sekiranya mungkin, saat itu lalu dari pada-Nya. Kata-Nya: “Ya Abba, ya Bapa, tidak ada yang mustahil bagi-Mu, ambillah cawan ini dari pada-Ku, tetapi janganlah apa yang Aku kehendaki, melainkan apa yang Engkau kehendaki.”

Malam itu, Yesus pergi ke sebuah tempat di bukit Zaitun. Di sana terdapat sebuah taman bernama Getsemani. Nama “Getsemani” berarti “tempat pemerasan minyak”. Di sana orang-orang mengumpulkan buah zaitun, meletakkannya ke dalam sebuah alat yang berbentuk cekungan dan menggilingnya hingga keluar minyak.

Yesus tidak sendirian. Dia pergi ke sana bersama Petrus, Yakobus, dan Yohanes, tiga orang pengikut terdekat-Nya. Waktu itu bukanlah waktu biasa, tapi jam-jam terakhir sebelum Yesus ditangkap dan akan segera menghadapi eksekusi mati-Nya. Sampai di sini, mari kita berhenti sejenak. Coba bayangkan, bila kamu berada di saat-saat terakhir, kamu tahu sebentar lagi kita akan dihukum mati, kira-kira apa yang kamu harap bisa lakukan bersama dengan sirkel terdekatmu? Mungkin, jawaban yang paling umum adalah kamu ingin orang-orang yang kamu kasihi menemanimu, ada di dekatmu. Demikian juga dengan Yesus. Maksud-Nya mengajak ketiga murid-Nya adalah untuk menemani berdoa, tapi mereka justru tertidur karena kelelahan.

Mendapati ketiga murid-Nya tak sanggup menemani, Yesus berdoa kepada Bapa. Yesus mengutarakan ketakutan-Nya. Tapi.. bukankah Yesus adalah Allah yang Mahatahu? Mengapa Dia berbicara dengan penuh emosi dan tampak begitu lemah?

Di sinilah poin yang menarik untuk kita cermati. Yesus adalah Allah dan Dia tahu bahwa sebentar lagi Dia akan mengalami keterpisahan dengan Bapa. Inilah yang menjadikan-Nya begitu takut.

Pernahkan kamu berbicara dengan Bapa yang di Surga seintim itu? Tapi, bukannya Yesus itu Allah? Seharusnya Dia tahu segala sesuatu yang akan dihadapi-Nya, kan? Tentu saja, Dia itu Allah yang Maha Tahu. Tapi, Dia berbicara dengan penuh emosional dan manusiawi. Bagaimana mungkin Yesus yang kita kenal sebagai Juru Selamat dan yang oleh para pemazmur disebut-sebut sebagai Kota Benteng dan Kubu Pertahanan itu malah mengalami titik paling rendah, titik paling lemah, dalam kehidupan-Nya?

‘Sangat takut’ dan ‘gentar’ di Alkitab versi terjemahan lain disebut juga sebagai ‘distress’ atau ‘sangat tertekan’. ‘Distress’ merupakan kondisi menderita sakit secara psikologis atau fisik yang ekstrem. Itulah sebabnya, Alkitab mencatat bahwa dalam masa-masa ketakutan itu keringat Yesus berubah menjadi seperti butir-butir darah (Lukas 22:44).

Alkitab mencatat ada peristiwa-peristiwa lain ketika Yesus bergumul dengan perasaan takut dan sedih. Pendeta Joyman Waruwu menuliskan demikian, “Yesus tahu Ia akan membangkitkan Lazarus, namun Ia tetap menangis ketika tiba di depan kuburan Lazarus. Yesus sendiri pun tahu akan bangkit pada hari ketiga, namun Dia tetap menangis dan berpeluh darah di taman Getsemani. Pengetahuan akan sukacita masa depan tidaklah meniadakan duka pada masa sekarang. Namun, sama seperti Yesus, pengetahuan akan masa depan dapat menginspirasi kita bertahan melewati rasa sakit, ketegangan, dan penderitaan yang luar biasa.

Ketika memutuskan untuk ikut Tuhan Yesus, kita juga menghadapi begitu banyak pergumulan. Kita mencoba tetap lurus ketika yang lain berkompromi, kita berusaha jujur ketika samping kanan dan kiri kita mengatakan ‘berbohong demi kebaikan itu no problem’, kita memilih jalan memutar yang lebih sempit ketika lewat jalan pintas yang lebar itu terlihat jauh lebih mudah dan menguntungkan. Kadang kita sudah lelah, tertekan, takut, dan gelisah, seperti mau mati rasanya! Tapi lihatlah, Tuhan Yesus sudah pernah melalui semua itu, bahkan yang terburuk dari semua itu—ditinggalkan, dikhianati, disiksa, dan pada akhirnya, mati di kayu salib.

Suatu malam di Getsemani ini kiranya menjadi pengingat untukmu dan untukku. Juru Selamat kita adalah Teladan Besar kita untuk terus maju dengan setiap panggilan kita sebagai anak-anak yang dikasihi-Nya.

Ingatlah, ketika kita merasa sedang berada di titik terendah dan terlemah kita, kita dapat datang kepada Bapa Surgawi, sama seperti Yesus yang pernah menangis dan tersungkur di hadapan Bapa-Nya. Ingatlah kembali komitmen kita, sebagaimana Kristus taat pada panggilan-Nya sampai akhir.

Yesus mengakhiri dengan baik, demikian juga kita harus terus maju, melangkah dalam iman, pengharapan, dan kasih hingga hari-Nya tiba!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Kapan Terakhir Kali Kamu Ikut Menderita Bersama Kristus?

Oleh Triska Zagoto, Jakarta

Bulan Maret di tahun ini, kita, umat Kristen akan merayakan dua momen bersejarah dalam Alkitab, yaitu Jumat Agung dan Paskah. Sepanjang bulan ini kita telah membaca atau mendengar renungan, pujian, dan khotbah-khotbah yang mengangkat topik yang berkaitan dengan sengsara Kristus; tentang Via Dolorosa (Jalan Salib), Golgota, Kalvari, Tujuh Perkataan Salib, Kebangkitan Kristus, dan lain-lain. Bahkan, aku mengikuti proyek ketaatan dari gereja di mana aku beribadah untuk memakai Journey To The Cross-nya Paul David Trip sebagai bahan saat teduh khusus untuk merenungkan 40 hari penderitaan Kristus.

Salah satu momen sebelum Yesus disalibkan yang dicatat yaitu Perjamuan Terakhir, yang menceritakan tentang kebersamaan atau malam terakhir Tuhan Yesus dengan murid-murid-Nya yang dirayakan dengan roti dan anggur, dan yang ditutup dengan doa-Nya yang cukup panjang. Dan dalam Yohanes 17, untuk murid-murid-Nya saat itu, juga untuk kita yang percaya kepada-Nya dari pemberitaan mereka.

Lebih dari tiga tahun kita menyaksikan Yesus dan murid-murid-Nya melewati hari, bulan, dan tahun dengan perayaan demi perayaan, pelayanan demi pelayanan, menuju satu tempat ke tempat lainnya, menyaksikan mukjizat demi mukjizat, pemberitaan Injil bersama-sama kepada orang-orang dari latar belakang berbeda, dan lain-lain. Namun, nyatanya kedekatan mereka dengan Yesus secara personal tidak langsung membentuk satu keberanian yang kita saksikan ketika Yesus menempuh perjalanan menuju Kalvari hingga mati di kayu salib. Diawali dengan tiga murid terdekat Yesus yang memilih tidur ketika Yesus sedang bergumul di Getsemani, Yudas Iskariot yang menjual dan menyerahkan Tuhan Yesus demi 30 keping perak, dilanjutkan dengan Petrus yang begitu keras menyangkal Yesus di depan umum, dan sisanya ke mana? Selain sebelum Yesus menyerahkan nyawa-Nya, Yohanes ada di sana bersama Ibu Yesus, di Golgota, menyaksikan Yesus sampai mati. Alkitab tidak mencatat apa yang dilakukan murid-murid yang lain. Namun, di tengah cawan penderitaan yang Yesus terima,  dalam perjuangan dan rintihan-Nya menuju Kalvari, kita menyaksikan satu nama yang rasanya “tiba-tiba” muncul, yaitu Simon dari Kirene! Tiga kitab Injil mencatat hal ini:

Ketika mereka berjalan ke luar kota, mereka berjumpa dengan seorang dari Kirene yang bernama Simon. Orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus. (Matius 27:32).

Pada waktu itu lewat seorang yang bernama Simon, orang Kirene, ayah Aleksander dan Rufus, yang baru datang dari luar kota, dan orang itu mereka paksa untuk memikul salib Yesus. (Markus 15:21).

Ketika mereka membawa Yesus, mereka menahan seorang yang bernama Simon dari Kirene, yang baru datang dari luar kota, lalu diletakkan salib itu di atas bahunya, supaya dipikulnya sambil mengikuti Yesus. (Lukas 23:26)

Simon dari Kirene menilik ulang pemahamanku tentang apa itu mengikut Yesus; menata ulang pemahamanku tentang apa itu menyangkal diri; serta merangkai ulang pemahamanku tentang apa itu memikul salib.

Kita tahu bahwa jika penulis dalam Alkitab menyebut nama, tempat, peristiwa, dan lain-lain dengan begitu detail, berarti ada sesuatu yang sedang disampaikan dan perlu kita ketahui. Simon, tidak hanya disebut namanya, tetapi juga asalnya—dari Kirene. Bahkan di kitab Markus dicatat nama anak-anaknya, Aleksander dan Rufus. Dan, yang paling penting adalah apa yang dilakukan Simon dari Kirene pada momen paling bersejarah di saat-saat terakhir Yesus itu? Dipaksa memikul salib. Ya, memikul salib Yesus.

Lukas mencatat satu detail yang perlu menjadi perenungan kita,“lalu diletakkan salib itu di atas bahunya, supaya dipikulnya sambil mengikuti Yesus.” (23:26). Simon memikul salib Yesus sambil berjalan di belakang-Nya, bukan di depan-Nya merupakan gambaran tentang kehidupan kita sebagai orang Kristen yang Yesus sampaikan kepada murid-murid-Nya, dengan mengatakan,”Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Lukas 9:23).

Kita menyadari bahwa ada kalanya panggilan untuk ikut menderita bersama Kristus datang secara tiba-tiba, tanpa persiapan, dan tanpa antisipasi. Kita dituntut dengan segenap hati menyangkal diri. Simon dari Kirene yang memikul salib di belakang Yesus merupakan sikap yang indah sekaligus menyakitkan. Sebagai seorang murid, kapan terakhir kali kita ikut menderita bersama Kristus? Jika mengingat saat pertama kali menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatku hampir 10 tahun yang lalu, aku menyadari bahwa dalam perjalanan imanku, tak jarang aku mengikut Dia pada syarat dan ketentuan yang berlaku, yaitu selama hal tersebut tidak “terlalu banyak” menuntut harga dan pengorbanan, tidak terlalu menguras waktu dan tenaga, dan lain-lain. Ya, aku masih “perhitungan” kepada Dia yang tidak memperhitungkan dosa-dosaku dan kesalahanku. Aku menyadari betapa hidupku masih jauh dari sikap untuk memberi diri seutuh-utuhnya dan setunduk-tunduknya seperti Simon dari Kirene.

“..ikutlah Aku..”, adalah panggilan-Nya untuk kita setiap hari, setiap saat. Sebuah panggilan untuk berfokus kepada Kristus. Sebuah panggilan untuk mengambil bagian dalam pekerjaan-Nya. Sebuah panggilan untuk melepaskan kenyamanan-kenyamanan yang selama ini menghalangi kita untuk melayani Dia. Dan, kita tahu bahwa kesempatan untuk “dipanggil dan dipakai” oleh-Nya tidak selalu ada. Kesempatan kedua tidak selalu ada. Simon dari Kirene yang hanya muncul sekilas itu bagai “alarm” yang berdentum hebat untuk membangunkan kita yang selama ini tidur terlalu lama.

”Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.” (Lukas 9:23).

Bersediakah kita merespons panggilan-Nya itu?

Biarlah dalam perjalanan iman kita dalam mengikuti-Nya ada seruan-seruan yang terus bergema dalam hati kita seperti perkataan seorang martir Sadhu Sundar Singh ini:

“The cross before me,

the world behind me.

No turning back,

no turning back…”

Selamat menyambut Jumat Agung dan Paskah!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Persamaan antara Ishak yang (hampir) dikorbankan dengan pengorbanan Yesus

Pernahkah kamu bertanya-tanya mengapa Abraham diminta untuk mengorbankan Ishak, anaknya yang satu-satunya?

Mungkin kita berpikir bahwa kisah Abraham menunjukkan buruknya Abraham ketika dia menjadi ayah bagi Ishak, tentang bagaimana dia tidak ‘berjuang’ untuk mempertahankan anaknya. Namun, pada intinya, kisah Abraham sebenarnya adalah kisah tentang betapa baiknya Allah sebagai seorang Bapa bagi kita.

Di akhir Kejadian 22, Ishak diselamatkan, tetapi di akhir Injil, kematian Yesus menyelamatkan kita.

Lihatlah kesejajaran di antara kedua ayat ini supaya kita dapat melihat bagaimana Allah menggunakan Abraham dan Ishak untuk menunjukkan pada kita besarnya kerinduan-Nya untuk menyelamatkan kita dari dosa-dosa.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Begini Rasanya Kesepian di Usia yang Masih Muda

Oleh Sandyakala Senandika

Di umurku yang masih di angka 20-an, kesepian adalah pil pahit yang harus kutelan setiap hari. Bukannya aku tak punya teman. Temanku banyak. Tetapi, fase kehidupan yang telah berubah turut mempengaruhi aspek relasiku dengan teman-temanku.

Izinkan kuceritakan sekelumit kisahku. Sebenarnya, kesepian bukanlah hal baru di hidupku. Aku lahir di luar pernikahan yang sah. Bisa dibilang, ayah ibuku tidak secara intensional menginginkan kelahiranku. Saat tumbuh dewasa pun lingkunganku tidak suportif. Orang tuaku bertengkar setiap hari hingga akhirnya berpisah rumah. Sebagai anak bungsu dengan tiga kakak tiri, relasiku pun tidak terlalu dekat dengan mereka, menjadikanku tidak banyak bicara di rumah. Hingga akhirnya saat aku lulus sekolah, aku memutuskan merantau sampai hari ini.

Saat kuceritakan keluhan ini ke teman-teman kantor, gereja, atau sahabatku sejak zaman bocah, respons mereka kurang lebih sama.

“Makanya, udah deh sekarang cepetan cari pacar…”
“Masa sih se-kesepian itu lu? IG lu aktif banget loh…”
“Ah, kamu mah pasti bisa hadepin ini. Kan kamu suka petualangan. Keluyuran sendiri juga fine kan?”

Tidak ada yang salah dengan semua respons itu. Benar aku perlu mendoakan dan mencari pasangan hidup. Benar pula aku aktif di media sosial, juga aku rutin melakukan perjalanan ke alam dan ikut beragam komunitas.

Namun, kesepian adalah sebuah perasaan yang seringkali hadirnya tidak dipengaruhi oleh keadaan luar. Aku sadar, setelah lulus kuliah, aku tak lagi bisa sebebas dulu. Teman-temanku pun sama. Kami punya kesibukan masing-masing yang membuat perjumpaan fisik semakin susah. Semua ini tidak bisa dielakkan. Jadi, meskipun aku bisa saja menjumpai temanku, tapi perjumpaan itu tidak bisa lama dan rutin. Semakin terobsesi mencari teman justru membuat rasa sepi semakin nyata… dan diliputi banyak teman pun bukan jaminan rasa kesepian itu akan lenyap. Les Carter berkata: “Kesepian adalah perasaan terpisah, terisolasi, atau berjarak dari relasi antar manusia. Kesepian adalah luka emosional, perasaan kosong, dan hasrat untuk dimengerti dan diterima oleh seseorang.” Kamu bisa tetap merasa sepi meskipun ada di tengah-tengah kerumunan yang seru.

Kesepian, masa muda, dan kata Alkitab

Studi yang dilakukan oleh BBC Loneliness Experiment di Inggris Raya menunjukkan fakta mencengangkan. Jika biasanya kesepian sering diidentikkan kepada warga lansia yang sudah tak bisa melakukan banyak hal, temuan riset ini malah memaparkan bahwa 40% responden yang mengaku kesepian ada di kelompok usia 16-24 tahun. Angka ini jauh lebih tinggi ketimbang para lansia yang ada di angka 27%.

Fakta ini begitu kontras. Bagaimana bisa seorang muda dengan akses koneksi Internet, keluwesan berjejaring secara daring, bisa merasa sepi?

Meskipun masa muda memang adalah waktu penuh kebebasan dan petualangan, tak dipungkiri banyak transisi terjadi di masa ini. Merantau, memulai kuliah, meraih pekerjaan baru, akan mencabut kita dari pertemanan yang dibangun selama masa-masa kita tumbuh besar.

Teman yang kita temukan pasca usia 25 akan berbeda taraf keakrabannya dengan mereka yang kita jumpai di dekade sebelumnya. Alasannya simpel: dengan teman lama kita melewati proses pertumbuhan dan banyak fase transisi—dari sekolah ke kuliah, remaja ke dewasa. Sedangkan pada teman yang kita jumpai di usia dewasa, tak banyak waktu dan proses yang kita lewati bersama. Umumnya kesempatan bersama itu sekadar hang-out atau urusan kerja saja sehingga ikatan emosional yang terbentuk tidak begitu kuat.

Jika kita membuka Alkitab, kita pun akan disuguhi oleh kisah tentang orang pilihan Tuhan yang mengalami kesepian. Ini membuktikan kesepian adalah perasaan manusiawi yang dialami oleh siapapun, bahkan nabi sekalipun.

Yeremia dalam Perjanjian Lama dipanggil Allah untuk menjalani panggilan yang berat—mewartakan firman Allah kepada bangsa yang bebal dan menyimpang. Kabar yang dibawa Yeremia pun bukanlah kabar gembira, melainkan kabar penghakiman bahwa jika tidak ada pertobatan yang sungguh-sungguh, murka Allah akan datang. Maka, jelaslah bahwa Yeremia akan dibenci oleh bangsanya sendiri. Yeremia pun meratap, “Celaka aku, ya ibuku, bahwa engkau melahirkan aku, seorang yang menjadi buah perbantahan dan buah percederaan bagi seluruh negeri” (Yer 15:10). Dalam kesukarannya itu, Allah pun melarangnya dari menikah dan memiliki keturunan (Yer 16:2). Dapat kita bayangkan akan beratnya pergumulan seorang Yeremia. Sendirian, pun dibenci oleh bangsanya sendiri.

Yeremia merupakan salah satu nabi yang tidak cuma menyampaikan nubuatannya, tapi juga mengalami itu. Pada tahun 586SM Yeremia masih hidup dan menyaksikan bagaimana Babel menyerbu Yehuda, menghancurkan Yerusalem dan Bait Suci. Hukuman Tuhan berupa pembuangan Israel ke Babel pun tergenapi.

Menghadapi tugas berat itu, Yeremia sendiri sebenarnya bukanlah orang pemberani. Dia takut dan ada kalanya dia meragukan Allah. “Mengapa penderitaanku tidak berkesudahan, dan lukaku sangat payah, sukar disembuhkan? Sungguh, Engkau seperti sungai yang curang bagiku, air yang tidak dapat dipercayai” (Yer 15:18), tetapi Allah berjanji menyertainya (ayat 20).

Sisi yang menarik dari kisah Yeremia ialah: dalam kesepiannya, dia mengutarakan segenap perasaannya pada Allah. Apa yang dia luapkan merupakan perasaan campur aduk. Satu sisi dia mengeluh, tapi dia tidak melupakan kebaikan Allah, lalu meratap lagi. Hingga akhirnya Yeremia tuntas menunaikan tugas panggilannya, semua itu karena dia selalu kembali pada Allah dan mengingat janji-Nya (Yer 32:17).

Kisah kesepian yang aku, mungkin juga kamu alami pastilah berbeda dengan jenis kesepian nabi Yeremia karena dimusuhi oleh seisi bangsa. Tetapi, kita bisa meraih banyak pelajaran dari perjalanan Yeremia. Betul, dia merasa kesepian, tetapi dia tidak pernah kehilangan sosok teman sejati, yakni Allah sendiri. Yeremia mampu, hidup, bertahan, dan bertumbuh karena Allah hadir bersamanya. Dalam Yeremia 15:19 terselip pesan bagi setiap kita yang merasa kesepian, tidak berguna, atau surut imannya, sebab di sana Allah sedang memberi tahu Yeremia untuk kembali pada-Nya karena Dialah yang akan memulihkan sukacita keselamatannya.

Kesepian memang tidak terelakkan karena kejatuhan manusia dalam dosa menghancurkan persekutuan kita dengan Allah. Namun, kabar baiknya adalah Allah tidak membiarkan keterpisahan itu. Dia hadir dalam rupa Kristus untuk memulihkan kembali relasi yang hilang dengan anak-anak-Nya.

Selagi kita masih hidup dalam tubuh fana ini, kita tak bisa seratus persen tak pernah merasa sepi. Namun, janji dan kebenaran firman Tuhan menguatkan kita dan memampukan kita untuk menghidupi hari-hari yang sepi dengan cara-cara kreatif. Bukan dalam kemurungan dan semakin mengisolasi diri, tetapi dengan semangat baru bahwa kita disertai Allah dan ke dalam dunia inilah kita diutus (Yoh 17:18).

Sepanjang tahun ini aku telah belajar untuk hidup berdampingan dengan rasa sepiku, sebab kutahu dalam hidup manusia di dunia, kesepian adalah buah dari kejatuhan manusia yang tetap harus kita tanggung dan dalam upaya kita menanggung itu, ada jaminan bahwa Allah senantiasa melindungi kita (Yoh 17:15). Namun, ini tidak berarti kita membiarkan diri saja dalam kesepian. Sebagai ciptaan yang dikarunia hikmat, kita bisa mengubah kesepian ataupun perasaan negatif lainnya menjadi tindakan-tindakan aktif yang bisa mendatangkan hasil positif baik bagi diri kita sendiri, maupun lingkungan di sekitar kita.

Ketika rasa kesepian itu datang, aku menuliskannya dalam jurnal doaku dan mencari cara-cara kreatif untuk melalui hari-hariku setelahnya. Aku mulai bergabung dengan komunitas gereja lokal dekat tempat kerjaku, menginisiasi akun YouTube yang mendokumentasikan perjalanan-perjalanan rutinku, juga mengontak kembali teman-teman lama yang dahulu pernah akrab. Semua cara ini kendati tidak seratus persen mengeyahkan rasa sepi, berhasil menolongku melihat dunia dengan sudut pandang yang berbeda: dalam kesendirianku, aku tidak pernah sendirian.

3 Perenungan untuk Menyambut Natal

Oleh Yohanes Bensohur

Wah! Gak terasa sudah mau Natalan dan tahun baru lagi.

Rasanya baru kemarin, tetapi sekarang kita sudah akan memasuki tahun ketiga hidup bersama pandemi.

Teringat masa-masa di awal ketika orang-orang panik—memborong stok makanan, harga masker, sampai jahe pun jadi melangit. Ibadah dan persekutuan berubah menjadi online, semua berdoa agar pandemi berlalu.

Namun, kenyataan tidak demikian. Pertengahan tahun 2020, jumlah orang yang terpapar COVID semakin melonjak. Segala harapan untuk keadaan membaik seolah tampak sirna. Beberapa orang mungkin berpikir kenapa begitu lama pandemi ini terjadi, kenapa Tuhan mengizinkan hal ini, bahkan ekstremnya ada orang yang mempertanyakan tentang kebaikan Tuhan: jika Tuhan baik dan berkuasa mengapa mengizinkan kesulitan dan pandemi ini terjadi?

Sebaliknya, ada sebagian orang yang menanti kondisi terus membaik, melihat bagaimana Tuhan tetap berkuasa dan bekerja di dalam dan melalui pandemi. Memasuki tahun 2021 keadaan pun tidak lebih baik dari sebelumnya, peningkatan juga terus melonjak, ditambah dengan munculnya jenis varian baru. Kita semua menghadapi gelombang kedua yang membuat rumah sakit dan petugas medis kelabakan dalam mencari tempat dan merawat pasien, kita seperti terjebak di rumah, banyak orang di PHK, tidak bisa kerja, dsb.

Sekarang, 2021 hendak kita tutup dan tahun yang baru segera datang. Aku mengajakmu untuk berefleksi sejenak ke dalam diri melalui tiga pertanyaan ini:

1. Masih setiakah kita berdoa?

Ketika awal-awal pandemi, kita semua takut. Bersama komunitas gereja, persekutuan, atau secara pribadi kita berdoa memohon Tuhan memulihkan keadaan.

Namun, ketika pandemi tak juga kunjung usai, masih setiakah kita berdoa?

Doa-doa yang kita naikkan mungkin tidak akan mengubah keadaan dalam sekejap, tetapi ketika berdoa, kita sedang mengizinkan agar damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal memelihara hati dan pikiran kita (Filipi 4:7). Dan, janganlah kiranya kita pun lupa, bahwa doa orang benar bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya (Yakobus 5:16).

2. Apakah kita bertumbuh?

Sebelum pandemi, dinamika kehidupan kita pun ada naik-turunnya. Lalu, pandemi hadir dan rasanya membuat dinamika naik turun itu semakin parah. Tetapi, ibarat grafik denyut jantung yang naik turun, demikian jugalah kehidupan.

Naik dan turun adalah tanda bahwa kita hidup. Pertumbuhan apa yang nampak dalam diri kita? Apakah kita bertumbuh semakin serupa dengan Kristus?

3. Bagaimana kita memaknai Natal tahun ini?

Perasaan seperti apa yang sedang kita rasakan dalam menantikan Natal? Sedang biasa saja? Merasa lelah? Tidak begitu bersemangat? Apa yang sebenarnya menjadi kerinduan kita dalam natal dan tahun baru ini?

Natal kali ini, Kita dapat melatih hati kita untuk melihat kebesaran karya Allah. Dia, yang Mahabesar hadir dalam rupa bayi yang kecil dan rapuh, tapi dari sosok bayi inilah hadir pula dampak yang begitu besar terhadap dunia.

Raja Herodes khawatir apabila ada sosok yang akan mengganggu kekuasaanya sehingga ingin membunuh seluruh bayi di bawah dua tahun. Para Gembala menjadi orang-orang terpilih untuk menjumpai bayi dibungkus lampin seperti yang dijanjikan malaikat. Orang Majusi jauh dari timur mencari dan menemui Yesus melalui petunjuk bintang serta memberikan persembahan kepada-Nya.

Kiranya Natal tahun ini kita boleh kembali menata hati kita, mempertanyakan kembali di manakah posisi kita saat ini dihadapan Tuhan, sehingga kita tidak melewati Natal dan tahun baru ini begitu saja.

We wish you merry Christmas and Happy New Year. Kiranya yang menjadi kerinduan kita akan Natal dan tahun baru ini bukanlah suatu hal yang rendah dan tak bernilai, tapi Kristuslah yang boleh menjadi kerinduan terbesar kita, Dia yang benar-benar kita nantikan, kita muliakan dan kita juga rindu agar orang-orang boleh memiliki kerinduan yang besar pula akan Dia.

4 Hal Istimewa dari Kisah Yesus dan Perempuan Samaria

Oleh Paramytha Magdalena

Apa yang terlintas di pikiranmu saat mendengar Samaria?

Dari sebuah literatur yang kubaca, Samaria merupakan kata yang mengacu kepada tempat di wilayah pegunungan antara Galilea di utara dan Yudea di selatan. Orang-orang yang tinggal di sana disebut juga sebagai orang ‘Samaria’. Pada masa-masa pelayanan Yesus di bumi, orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria.

Kalau kita menelisik lebih lagi, Alkitab mencatat dengan jelas bagaimana relasi antara orang Samaria dan Yahudi dalam kehidupan sehari-hari. Yohanes 4:9 menuliskan demikian: “Maka kata perempuan Samaria itu kepada-Nya: “Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?” (Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria.)”. Orang-orang Yahudi menganggap orang Samaria itu kafir atau ras tidak murni karena mereka melakukan perkawinan campur dengan bangsa lain.

Kisah orang Yahudi dan Samaria yang tercatat di Alkitab memunculkan paradoks, terlebih jika kita menyimak detail kisah pertemuan Yesus dengan seorang perempuan Samaria. Perempuan itu mengambil air sekitar tengah hari, mungkin maksudnya agar dia tidak berjumpa dengan banyak orang. Namun, dia malah berjumpa dengan Yesus, seorang Yahudi yang notabene bermusuhan dengan orang Samaria.

Respons Yesus kepada perempuan itu luar biasa. Alih-alih menjauhinya, Yesus malah meminta minum darinya. Di sinilah Yesus menunjukkan cinta dan kasih Tuhan yang manis itu.

Ada 4 hal istimewa yang kudapatkan dari pertemuan Perempuan Samaria dan Yesus.

1. Apa pun latar belakang kita, kita dicintai dan diterima oleh Yesus

Perempuan Samaria ini memiliki latar belakang dan perilaku yang bisa dikatakan buruk karena sering berganti pasangan. Bahkan pasangan yang saat itu bersama dengannya bukanlah suaminya (ayat 18). Jadi, bukanlah hal yang mengejutkan lagi jika sikap orang sekitarnya akan menjauhi atau bahkan memandang rendah. Akan tetapi, Yesus mau menemui secara pribadi dan menghampiri perempuan tersebut.

Betapa seringnya aku berpikir bahwa aku harus melakukan semua hal dengan baik dulu agar bisa merasa layak dikasihi dan diterima oleh-Nya. Yesus menerima kita bukan berdasarkan apa yang kita perbuat, tetapi karena kasih-Nya sajalah (Roma 5:10).

Perempuan Samaria ini tidak melakukan apa-apa untuk membuat Yesus tertarik menemuinya. Cinta dan penerimaan-Nya tidak berdasar pada moral, status sosial, latar belakang, pengalaman, maupun kegagalan seseorang. Kasih-Nya adalah sebuah pemberian dan anugerah. Jadi, setiap kita memiliki kesempatan yang sama untuk menikmatinya.

Apakah kita mau menerima cinta-Nya dan memberikan cinta kita pada-Nya?

2. Kita dicari, ditemukan, dan diselamatkan oleh Yesus

Perempuan Samaria menimba air di sumur saat siang hari. Ini bukanlah kebiasaan yang lazim. Ia menyadari keadaannya dan berusaha menghindari orang-orang dengan datang ke sumur ketika sedang sepi dari perempuan-perempuan lain. Namun, Yesus sengaja bertemu dengannya dan menawarkan air kehidupan yaitu keselamatan.

Ini mengingatkanku akan seberapa seringnya aku bersembunyi, menghindari, dan lari dari berbagai macam situasi, orang-orang, bahkan dari Tuhan karena besarnya perasaan malu dan ketidaklayakanku. Akan tetapi berita baiknya adalah Dia rela datang untuk menyelamatkan kita yang terhilang agar bisa diselamatkan (Yohanes 1:29). Tidak ada perlindungan teraman selain di dalam-Nya dan tidak ada tempat yang teramat sulit untuk Dia bisa menemukan kita. Asalkan kita mau diselamatkan oleh-Nya.

3. Tuhan rindu berelasi dengan kita

Ketika Yesus bertemu dengan perempuan Samaria, ada percakapan antara mereka berdua. Bagian ini menarik buatku karena dari sini aku melihat bahwa Yesus tidak sekadar datang ke dunia untuk menebus dosa, tetapi juga berelasi dengan manusia. Lewat percakapan sederhana itu, Dia mendengar apa yang jadi kerisauan umat-Nya.

Apakah tentang kejatuhan, kegagalan, ketakutan, atau yang lainnya. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita mau bercakap-cakap denganNya? Dia siap mendengar dan menyegarkan kita dengan kebenaran-Nya.

4. Kita dapat mengakui dengan jujur isi hati kita

Dalam percakapan-Nya, Yesus menyuruh perempuan Samaria untuk memanggil suaminya, tetapi sang perempuan menjawab, “Aku tidak mempunyai suami” (ayat 17). Yesus lanjut merespons, “Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar” (ayat 18).

Coba kita perhatikan lagi ucapan Yesus. Kendati Yesus tahu bahwa perempuan Samaria itu bergonta-ganti pasangan, tetapi tidak ada penghakiman yang keluar dari mulut-Nya. Maksud Yesus di sini bukanlah dia membenarkan dosa yang diperbuat oleh sang perempuan, tetapi Dia hendak menunjukkan keselamatan yang sejati (ayat 21-24).

Sebelum sang perempuan mengakui identitasnya, Yesus telah tahu lebih dulu, tetapi Dia ingin kita mengakui dengan jujur dan rendah hati apa yang telah kita lakukan. Ini bukanlah demi kepentingan Tuhan, tapi demi kepentingan kita. Karena saat kita mengakui dengan jujur dan rendah hati kepada-Nya atas segala yang kita perbuat, dan kita menyadari kesalahan serta berbalik kepada-Nya, maka akan tersedia pemulihan dan pengampunan-Nya bagi kita.

Apakah kita mau mengakui bahwa kita telah berdosa dan membutuhkan anugerah kasih pengampunan-Nya setiap waktu?

Baca Juga:

4 Pertanyaan Penting Sebelum Memulai Hubungan yang Serius

Pernikahan adalah sesuatu yang aku inginkan sedari kecil, semenjak aku melihat dan mempelajari dari kedua orang tuaku tentang apa rasanya berada dalam pernikahan. Tapi sebelum memulai relasi yang mengarah ke sana, kuajukan dulu 4 pertanyaan ini pada diriku.

3 Sifat Anak Kecil yang Perlu Kita Contoh

Oleh Adiana Yunita, Yogyakarta

Apa yang terlintas di pikiranmu ketika mendengar kata ‘anak kecil’? Mungkin mereka lucu, menggemaskan, penuh kasih sayang, dan ngangenin. Atau sebaliknya, mereka bandel, rewel, serta penuh dengan tangisan dan rengekan.

Setiap kita punya pengalaman masing-masing dengan anak kecil, entah itu pengalaman positif maupun negatif. Di dalam Alkitab pun, Yesus pernah berbicara tentang anak-anak kecil ini. Sebenarnya ada apa dengan ‘anak-anak kecil’? Apa kaitannya dengan kehidupan doa kita?

Kita mungkin tidak asing dengan peristiwa di Alkitab ketika Tuhan Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah Dia dan para murid-Nya. Kisah itu tertulis di dalam kitab Markus 9:33-37.

Pada waktu itu para murid sedang mempertengkarkan tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Menariknya, Yesus merespons kejadian tersebut dengan memanggil seorang anak kecil dan berkata, “Sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” (Matius 18:3) Dari ayat ini, kita bisa memahami bahwa Tuhan Yesus mengharapkan kita menjadi seperti anak kecil yang menyambut Kerajaan Sorga. Kemudian, Yesus melanjutkan, “Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.” (Matius 18:4) Perkataan ini tampaknya mengejutkan para murid. Pasalnya, selama ini mereka berpikir bahwa seharusnya yang terbesar adalah seseorang yang sudah melakukan banyak pekerjaan besar atau yang paling terkenal di antara mereka.

Jadi, mengapa ketika kita datang dan berdoa kepada Allah kita perlu menjadi seperti anak kecil? Ternyata, jika kita perhatikan, ada beberapa sifat anak-anak kecil yang dapat kita contoh. Setidaknya, ada tiga hal yang dapat kita pelajari dari anak-anak kecil.

1. Anak kecil itu selalu menunjukkan antusiasme

Anak-anak tidak pernah terlepas dari keceriaannya. Buktinya, cukup familiar di telinga kita ketika mendengar orang tua berkata, “Energi anak-anak memang ga pernah ada habisnya.” Ya, memang benar, anak-anak selalu terlihat bersemangat dan seolah tiada lelah. Inilah wujud antusiasme yang nyata dalam diri anak-anak.

Lantas, bagaimana dengan kehidupan doa kita? Apakah kita selalu antusias dan bersemangat ketika datang kepada Tuhan? Tuhan Yesus ternyata tidak pernah mensyaratkan bahasa yang indah-indah ketika kita berdoa. Ia menginginkan kita datang dan berdoa dengan penuh kerinduan dan antusias kepada-Nya.

2. Anak kecil itu selalu jujur

Jika kita perhatikan, anak-anak itu selalu bersikap apa adanya. Ketika senang, mereka akan tertawa, bahkan sampai berjingkrak-jingkrak. Sebaliknya, saat sedih, mereka akan menunjukkan kekecewaannya dengan menangis. Orang dewasa mungkin bisa ‘pura-pura bahagia’, tetapi anak-anak akan mengekspresikan perasaannya dengan jujur. Mungkin ini juga yang membuat kehidupan doa kita tidak cukup menggairahkan. Kita seringkali tidak jujur dengan perasaan kita di hadapan Tuhan. Kadang waktu kita malah habis karena kebingungan memilih rangkaian kata yang pas di dalam doa kita. Padahal, Tuhan mau kita datang dengan jujur di hadapan-Nya seperti anak-anak yang bebas mengekspresikan perasaannya tanpa takut tertolak oleh siapa pun.

3. Anak kecil itu selalu memiliki rasa ingin tahu

Pernah suatu kali aku melihat seorang anak yang terus-menerus bertanya kepada orang tuanya. Ia bertanya banyak hal tentang segala sesuatu yang ia temui di sepanjang perjalanan. Ia selalu ingin tahu. Dan, memang begitulah natur anak-anak. Di masa tumbuh kembangnya, anak-anak selalu ingin memahami tentang kehidupan ini dan meminta penjelasan dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Sekalipun sudah dewasa, kita pun tidak akan pernah memahami secara utuh kehidupan ini. Tentu saja, kita semua tahu bahwa hanya Tuhan, Sumber Hikmat itu, yang memahami segala sesuatunya. Begitu juga dalam kehidupan doa kita.

Seringkali kita berdoa seolah-olah kita telah memahami segala yang terbaik buat hidup kita. Padahal, bagi Allah, kita ini sama seperti anak kecil yang selalu bertanya, “Mengapa, mengapa, dan mengapa,” tanpa mau mendengar jawaban-Nya. Kita lupa bahwa segala jawaban sudah Ia tuliskan di dalam sebuah Buku Kehidupan berisi surat-surat cinta-Nya kepada kita, yaitu Alkitab.

Kapan terakhir kali kita sungguh-sungguh ingin tahu isi Alkitab? Seiring waktu kita berdoa, datanglah juga dengan segala keingintahuan dengan membaca firman-Nya sehingga kita semakin memahami tentang kehidupan, terutama kehendak-Nya bagi hidup kita.

Mungkin ada di antara kita yang saat ini sedang mengalami kehidupan doa yang terasa hambar dan membosankan. Namun, anak kecil yang Yesus panggil mengingatkan kita bahwa yang terbesar di antara kita adalah yang mau merendahkan hati menjadi seperti anak kecil itu. Anak kecil yang selalu antusias dan selalu jujur ketika datang kepada-Nya, serta selalu ingin tahu kerinduan hati Bapa di Sorga. Mari terus datang kepada Tuhan. Ia pasti akan selalu menyambut kita.

Baca Juga:

Pertolongan yang Ajaib

Di perjalanan pulang dari gereja, dua orang bersenjata api menodong kami. Panik, yang bisa kami lakukan cuma melarikan diri, dan Tuhan menolong kami dengan cara-Nya yang ajaib.

Siapakah Yesus bagi Kita? Sebuah Perenungan Menyambut Natal

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta

Pernahkah kamu mendengar nama Joe Biden, Xi Jinping, Camilla Rothe, Jennifer Hudson, dan Sundar Pichai? Mereka ialah segelintir dari 100 orang terpopuler di tahun 2020 versi majalah Time. Figur-figur ini dianggap memberi pengaruh besar pada masyarakat di generasi mereka. Contohnya, Camila Rothe. Pada Januari 2020 lalu spesialis penyakit menular di Munich itu menjadi salah satu orang pertama yang mendokumentasikan infeksi Covid-19 tanpa gejala. Laporannya itu pertama kali disambut dengan ketidakpercayaan, bahkan diremehkan. Tetapi, setelah banyak pasien mengalami kondisi tanpa gejala, laporan Camelia pun diterima secara luas. Kini, adanya Orang Tanpa Gejala (OTG) menjadi salah satu tantangan terbesar dalam perang melawan pandemi corona. Temuan Camilia itu telah menyelamatkan banyak jiwa. Menurut TIME, jika saja banyak orang mau mendengarkan dia sebelumnya, penyebaran lebih besar mungkin akan bisa dicegah.

Daftar 100 nama orang terpopuler berubah tiap tahun. Ada yang bertahan, ada pula yang terlempar ke luar. Namun, dari sekian banyak nama populer di setiap zaman di dunia ini, ada satu figur yang namanya selalu menempati posisi tertinggi dalam daftar orang terpopuler di lebih dari 2000 tahun terakhir. Namanya Yesus Kristus. Dailymail pada 15 Desember 2013 lalu melaporkan, Yesus adalah orang paling populer dan terpenting dalam sejarah menurut program pencarian internet baru. Nama Yesus disusul Napoleon, ada Aristoteles di peringkat 8, dan seterusnya. Software program yang dikembangkan di Amerika Serikat itu bekerja dengan cara menjelajahi internet untuk mencari pendapat warganet di seluruh dunia tentang orang-orang terkenal, dengan menggunakan algoritma khusus untuk melihat seberapa pentingnya pengaruh figur-figur populer itu hingga 200 tahun setelah kematian mereka

Yesus, Dia bukan hanya populer hingga 200 tahun setelah wafat-Nya, tetapi hingga kini pun nama-Nya masih dibicarakan orang. Putra Maria itu selama ribuan tahun telah menjadi titik tengkar sekaligus titik perdamaian. Selain karena popularitas-Nya, yang menjadi salah satu alasanku menulis tentang Dia adalah keinginan menjawab pertanyaan para sahabat kepadaku, “Mengapa kamu beragama Kristiani?” Memang, dalam pergaulan di antara kawan yang multi agama dan ras, aku jarang membicarakan tentang imanku, kecuali kepada mereka yang bertanya. Pertanyaan-pertanyaan itu pun tak jarang muncul dalam kesempatan atau waktu yang sangat singkat, sehingga untuk menjawabnya pun tidak bisa berlama-lama.

Tulisan ini kubuat bagi para sahabat yang pernah bertanya tentang alasan mengapa aku percaya Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, juga bagi kita yang ingin sedikit “me-refresh” ingatannya tentang sosok Yesus. Isi dari tulisan ini tidak ada yang baru. Aku hanya mengulangnya saja. Ada banyak buku dan artikel yang mengulas tentang Yesus dari berbagai tradisi, baik Katolik, Ortodoks, Protestan maupun Pentakosta/Karismatik. Semoga setelah tulisan ini dimuat, akan ada diskusi-diskusi lanjutan yang menarik dengan sahabat-sahabatku itu, seperti yang sudah-sudah.

Siapakah Yesus?

Pertanyaan tentang figur Yesus sudah muncul sejak 2000 tahun lalu. Banyak orang yang keliru menafsirkan identitas Yesus sesungguhnya. Ada yang mengira Dia Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan Dia nabi Elia, nabi Yeremia atau salah seorang dari para nabi (Matius 16:14). Di tengah simpang-siurnya anggapan orang tentang siapa Yesus sesungguhnya, Dia bertanya kepada para murid-Nya, “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” (Lukas 9:20; Matius 16:15). Yesus bertanya kepada pengikut-pengikut-Nya yang sudah sekian lama melihat karya dan mendengar pengajaran-Nya secara langsung.

Pada waktu Dia mengajukan pertanyaan itu, seolah-olah semua murid-Nya tidak mempunyai jawaban. Tetapi ada satu murid, yaitu Petrus, yang menjawab dengan tegas, “Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup” (Matius 16:16). Petrus tahu bahwa Yesus bukanlah Yohanes Pembaptis atau Elia atau seorang nabi di masa lalu. Dia lebih dari sekadar seorang reformator spiritual, lebih dari seorang pembuat mukjizat, lebih dari seorang nabi. Yesus adalah Kristus, Mesias. Anak Allah yang hidup.

Mesias

Kata “Mesias” berasal dari bahasa Ibrani, “Mashiach,” artinya “yang diurapi” atau “yang terpilih.” Pada zaman Perjanjian Lama, nabi, imam, dan raja diurapi dengan minyak ketika mereka ditetapkan untuk posisi dengan tanggung jawab ini. Urapan adalah tanda bahwa Tuhan telah memilih mereka dan menguduskan mereka untuk pekerjaan yang Dia berikan kepada mereka. Christos (Kristus) adalah padanan Yunani dari istilah Ibrani, Mesias (Yohanes 1:41). Ketika Andreas berkenalan dengan Yesus, hal pertama yang ia lakukan adalah menemui saudaranya, Simon (Petrus) dan memberi tahu dia tentang pertemuannya dengan Yesus. Andreas memberi tahu saudaranya bahwa ia telah bertemu Mesias (Kristus), dan Andreas membawa Simon kepada Yesus (Yohanes 1:41).

Ketika dalam Yohanes 1:41 Andreas mengatakan, “Kami telah menemukan Mesias,” ia ingin mengatakan bahwa pengharapan orang-orang Yahudi agar Tuhan mengirim seorang Mesias kini sudah terjawab. Mesias itu adalah Yesus. Komunitas Yahudi telah membaca nubuatan Perjanjian Lama (Yesaya 42:1; 61: 1-3; Mazmur 16, 22; Daniel 9, Dsb) yang berjanji bahwa Tuhan akan mengirimkan seorang penyelamat bagi umat-Nya, dan Andreas ingin mengatakan kepada Simon bahwa Sang Mesias yang dijanjikan itu telah datang.

Namun sayangnya, orang-orang Yahudi salah paham tentang apa yang akan dilakukan Mesias ini. Mereka membaca nubuatan tentang bagaimana Mesias akan mengalahkan musuh-musuh Tuhan dan menganggap bahwa Yesus akan membebaskan mereka dari penjajahan Romawi. Mereka mengharapkan Mesias untuk mendirikan kerajaan di bumi, di mana mereka akan menjadi penguasanya, bukan yang dikuasai. Anggapan Mesianis politis dan militeristis ini menunjukkan bahwa orang-orang Yahudi mengabaikan peran spiritual Mesias sebagai pembebasan dari dosa dan Setan. Mereka tidak memahami bahwa kerajaan Sang Mesias bersifat spiritual, bukan politik. Hasilnya, hanya sedikit orang Yahudi yang bersedia menerima Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan, sebab Dia tidak sesuai dengan pemikiran dan harapan mereka tentang apa yang akan dilakukan Mesias.

Injil berulang kali menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias—Yang dipilih oleh Tuhan dan diurapi oleh-Nya untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa (Matius 16:16; Lukas 4: 17-21; Yohanes 1: 40-49; 4:25, 26). Setelah kebangkitan Yesus, Petrus mengingatkan orang-orang yang mendengarkan khotbahnya tentang “Allah mengurapi Dia dengan Roh Kudus dan kuat kuasa, Dia berkeliling sambil berkeliling baik-baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai Iblis, karena Allah menyertai Dia” (Kisah Para Rasul 10:38, 39). Yesus sendiri mengaku sebagai Mesias yang dijanjikan. Ketika seorang wanita di sebuah sumur di Samaria berkata kepada Yesus, “Aku tahu bahwa Mesias akan datang, yang disebut juga Kristus; Ia datang, Ia akan memberitakan segala sesuatu kepada kami. Kata Yesus kepadanya: Akulah Dia, yang sedang berkata-kata dengan engkau” (Yohanes 4:25, 26).

Dari apa yang Injil laporkan tampak jelas, warta kepada para pembaca bahwa Yesus sebagai Mesias begitu kuat. Seperti kata Yohanes, “Tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yohanes 20:31). Yesus sebagai Mesias berarti Dia adalah yang dipilih Tuhan, yang diurapi untuk datang membebaskan manusia dari dosa dan Setan. Sebagai Mesias, Dia menawarkan pengampunan atas dosa-dosa manusia. Dia menjanjikan keselamatan dan tempat di kerajaan-Nya yang akan datang. “Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu,… dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Matius 11:28, 29).

Anak Allah

Istilah ini sering menimbulkan kesalahpahaman. “Anak Allah” merupakan istilah yang tidak bisa ditafsirkan tanpa kacamata teologi Kristiani. Yesus bukan Anak Allah dalam konteks hubungan antara ayah dan anak. Tentu, Allah tidak menikah kemudian memiliki seorang anak. Yesus sebagai Anak Allah perlu dipahami dalam konteks Dia sebagai Allah yang mengambil rupa manusia (Yohanes 1:1, 14). Yesus sebagai Anak Allah artinya, Ia dikandung oleh Roh Kudus, bukan hasil hubungan laki-laki dengan perempuan. Lukas 1:35 mengatakan, “Jawab malaikat itu kepadanya: ‘Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.’”

Dalam konteks zaman itu, frasa ”anak manusia” digunakan untuk merujuk seorang manusia. Jadi, “anak manusia” berarti manusia, dan “Anak Allah” berarti Allah itu sendiri. Pada waktu Yesus dihakimi para pemimpin Yahudi, Imam Agung memerintahkan Yesus, “Demi Allah yang hidup, katakanlah kepada kami, apakah Engkau Mesias, Anak Allah, atau tidak” (Matius 26:63). “Engkau telah mengatakannya,” Yesus menjawabnya. “Akan tetapi, Aku berkata kepadamu, mulai sekarang kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit” (Matius 26:64). Para pemimpin Yahudi merespons dengan menuduh bahwa Yesus telah menghujat Allah (Matius 26:65-66). Kemudian, di hadapan Pontius Pilatus, “Jawab orang-orang Yahudi itu kepadanya: ‘Kami mempunyai hukum dan menurut hukum itu Ia harus mati, sebab Ia menganggap diri-Nya sebagai Anak Allah'” (Yohanes 19:7).

Mengapa mengklaim sebagai Anak Allah dianggap penghujatan dan layak dihukum mati? Para pemimpin Yahudi tentu mengerti apa yang dimaksud Yesus dengan ungkapan “Anak Allah.” Menjadi Anak Allah adalah sama dengan Allah. Klaim yang menyamai natur Allah adalah sama dengan menjadi Allah, dan itu dianggap penghujatan bagi para pemimpin Yahudi, sehingga mereka menuntut kematian Yesus sesuai dengan Imamat 24:15. Ibrani 1:3 mengungkapkan hal ini secara jelas, “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah.”

Mengapa Allah-Manusia?

Dari uraian di atas dapat kita pahami dwinatur Yesus, yaitu sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia. Di dalam Yohanes 1:14, kita mengetahui bahwa melalui sabda, Allah menyingkapkan diri-Nya dengan berbagai-bagai cara sampai dengan puncaknya, yaitu inkarnasi-Nya menjadi manusia Yesus. Namun pertanyaannya, “Mengapa Allah-manusia?” Atau, “Mengapa Person ilahi dengan hakikat Allah (Sang Putra) harus menambahkan hakikat kemanusiaan menjadi hakikat-Nya juga?” Jika Dia Allah yang Mahakuasa, mengapa inkarnasi menjadi satu-satunya pilihan-Nya untuk menyatakan karya penyelamatan?

“Mengapa Allah-manusia?” Pertanyaan ini bukanlah pertanyaan umum. Tidak juga dialamatkan kepada pikiran umum. Mengapa Allah (mengambil rupa) manusia (Cur Deus Homo) adalah pergumulan khas komunitas Kristen, yaitu orang-orang yang mendapat sapaan intim dari Sang Pencipta. Ini pertanyaan untuk kita. Di dalam konteks inilah, Cur Deus Homo sejak awal memang tidak diarahkan kepada mereka yang tidak percaya, apa lagi sekadar untuk memuaskan dahaga intelektual mereka.

Secara doktrinal, banyak usaha telah dilakukan dalam konteks teologis dan filosofis untuk mencari jawaban dari pertanyaan ini. Solusi yang ditawarkan Anselmus (bahwa iman akan menuntun kepada pengertian) sudah lama berlalu dan tidak membuahkan hasil yang manis, bahkan masih menyisakan pertanyaan. Cur Deus Homo adalah suatu pertanyaan yang menuntut respons, ketimbang jawaban. “Mengapa Allah mengambil rupa manusia” bukanlah pertanyaan yang mengetuk pintu kognitif, melainkan menggedor-gedor gerbang hati yang berkarat.

Secara teologis, Cur Deus Homo dipahami sebagai pertanyaan batiniah manusia, yang merupakan respons terhadap panggilan dan tindakan Allah yang menantang, karena Ia telah mengutus Putra-Nya ke dalam dunia. Tindakan Allah ini menuntut suatu respons yang penting, sehingga inti dari permasalahannya bukan terletak pada pertanyaan “Bagaimana?” melainkan “Mengapa?” dalam keperluan ontologis dan apriori. Aku percaya, filsafat analitis menyediakan beberapa titik terang bagi kita untuk memahami kata “Mengapa” dalam pertanyaan ini.

Kata “Mengapa” biasanya mengandung dua aspek umum, yaitu kepedulian pragmatis dan keperluan ontologis (mencari hakikat). Menerapkan orientasi pemikiran yang terarah pada pertanyaan teologis tentang Cur Deus Homo, sadar atau tidak sadar, kita selalu memusatkan perhatian kepada orang yang bertanya. Dalam hal ini, pertanyaan teologis menjadi pertanyaan antropologis, sehingga doktrin Kristen hanya akan melayani minat para pemercaya dan pertanyaan-pertanyaan mereka.

Sang Putra menjadi manusia dan berdiam di antara manusia karena kemauan Bapa-Nya (Yohanes 20:21). Tuntutan Allah adalah menghukum manusia berdosa, karena upah dosa adalah maut (Roma. 6:23), tetapi Dia rela mengutus Putra-Nya menggantikan manusia untuk menerima hukuman. Singkatnya, dalam drama ini Yesus Kristus harus memenuhi dua persyaratan sebagai Pengganti (penebus manusia berdosa): Pertama, Ia adalah manusia; Kedua, Ia tidak berdosa. Dan Ia memenuhinya.

Penjelasan di atas cukup memadai, namun pertanyaan “Mengapa Allah-manusia?” tahun demi tahun akan terus mewarnai hati orang percaya. Orang Kristiani yang rata-rata tidak akan menanyakannya, hanya yang bergumul serius dengan imannya yang melakukannya. Orang Kristiani sejati berkomitmen penuh menerima kedatangan-Nya sebagai Mesias dan Anak Allah, Raja di atas segala raja, dan selalu mengingat “Kita hidup oleh iman kepada Putra Allah yang mengasihi kita dan memberikan diri-Nya bagi kita.” (Galatia 2:20).


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Lepaskan Khawatirmu Supaya Kamu Mendapat Kedamaian

Naluri alamiahku ketika menghadapi kabar buruk adalah khawatir, over-thinking, dan panik. Tidakkah aku berdoa? Ya, aku berdoa. Tapi, doa yang kunaikkan bukan berasal dari hati, itu doa yang didasari putus asa dan kesuraman.

Aku Lupa, Yesus Juga Kawanku

Oleh Caleb Daniel
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Forgot I Was Friends With Jesus

Tumbuh besar di gereja, aku sering mendengar Yesus disebut sebagai “kawan sejati”. Di sekolah Minggu, Yesus ditunjukkan sebagai seorang sahabat terbaik yang bisa kumiliki. Aku juga berulang-ulang kali mendengar bahwa Dia mengasihiku, Dia memberikan hidup-Nya buatku, dan seharusnya aku pun membagikan kasih-Nya kepada orang lain. “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu” (Yohanes 15:9). Aku yakin, kamu juga pernah mengalami yang sama sepertiku.

Namun, di satu titik dalam perjalanan hidup kita, banyak dari kita yang meragukan-Nya.

Di tahun ketiga kuliahku, aku baru sadar kalau selama ini aku sudah melupakan persahabatanku dengan Yesus. Aku merasa relasiku dengan-Nya hanyalah tentang kewajiban-kewajiban yang harus kuikuti. Aku juga baru ditunjuk menjadi ketua di pelayanan kampus. Hari-hariku di semester itu jadi amat sibuk. Baca Alkitab lebih terasa seperti tugas; berdoa pun terasa hambar. Juga saat ikut kebaktian, aku tidak merasakan ada hadirat Tuhan. Aku diberi sebuah misi untuk menyampaikan Kabar Baik kepada dunia, tapi misi yang seharusnya menjadi sukacita itu malah terasa memberatkan. Itulah mengapa momen ketika Yesus bersama murid-murid-Nya yang tertulis di pasal terakhir Injil Yohanes adalah favoritku.

Yesus telah bangkit dari maut dan hanya menunjukkan diri-Nya beberapa kali. Para murid kembali melaut, tapi mereka kesulitan menangkap ikan. Yesus berseru pada mereka dari tepi pantai dan menyuruh mereka menangkap ikan dari sisi perahu yang berbeda. Ketika mereka menyadari bahwa yang berseru itu Yesus, Petrus melompat keluar dari perahu dan bergegas menemui-Nya (Yohanes 21:7). Murid-murid lainnya pun ikut menjumpai Yesus, dan ternyata telah tersedia makanan bagi mereka di tepi pantai.

Aku beranggapan jika Yesus akan meluangkan waktu-waktu terakhir-Nya di bumi untuk menginjili, menyembuhkan yang sakit, atau membangkitkan orang mati. Bukankah itu lebih produktif? Namun, di sinilah kita melihat sisi “lebih santai” dari Yesus. Mungkin, waktu-waktu dengan murid-murid-Nya itu adalah momen terakhir untuk menegaskan pesan yang senantiasa Yesus sampaikan: “Tinggallah di dalam Aku.” Pesan ini bukanlah tentang apa yang murid-murid bisa lakukan buat Yesus. Pesan ini adalah tentang sebuah kasih yang dapat mengubah hidup mereka, bahkan dunia!

Cobalah luangkan waktu untuk membayangkan ini: udara pagi yang segar, aroma roti yang baru keluar dari oven, sukacita bersama teman-teman dekatmu. Momen saat murid-murid bertemu Yesus itu tentu adalah momen yang amat menyenangkan. Mereka dapat begitu akrab dengan Yesus tanpa dirisaukan oleh kumpulan orang yang berusaha mendekat Sang Mesias. Yesus, Juruselamat dunia, meluangkan waktu-waktu terakhir-Nya di dunia sebelum pergi ke surga dengan melayani murid-murid-Nya menikmati sarapan di tepi pantai.

Kita pun seringkali lupa bahwa dalam persahabatan dengan Yesus ada penghiburan dan sukacita. Yesus meminta kita agar selalu terhubung dengan-Nya, pokok anggur sejati, karena Dia tahu betapa mudahnya kita terjebak dalam kewajiban-kewajiban agamawi ketimbang dalam relasi (lihat Yohanes 15;1-17). Ketika kita menerima undangan-Nya untuk menjadi sahabat-Nya, kita dibebaskan! Kita dibebaskan dari ekspektasi bahwa kita harus senantiasa produktif melayani. Kita dibebaskan dari beban yang seharusnya kita tanggung sendirian. Kita juga dibebaskan dari perasaan malu atau tidak layak dalam melayani kerajaan-Nya.

Mengetahui kebenaran ini, hidupku disegarkan dan dibebaskan dari beban yang bahkan tak kusadari sedang kutanggung. Dalam sekejap, aku merasa 10 karung batu bata dilepaskan dari pundakku. Aku melihat firman-Nya lebih indah daripada sebelumnya. Aku tak lagi berfokus pada soal berapa lama durasi aku berdoa. Ibadahku menjadi respons syukur atas apa yang sudah Tuhan perbuat. Hal-hal yang dulu kulakukan seperti kewajiban kini kulakukan dengan perasaan akrab dalam persahabatan dengan-Nya. Aku beribadah bukan untuk memenuhi ritual belaka, tetapi mendapatkan kedamaian dari-Nya. Aku juga dapat merasakan kehadiran-Nya di mana-mana, tak peduli di mana aku berada atau bersama siapa. Hidupku bersama-Nya tak lagi terbatas pada tindakan yang aku cap sebagai rohani. Hadirat-Nya memenuhiku saat aku masak, makan, jalan ke kelas, bahkan saat aku menonton sekalipun. Aku sungguh merasa Yesus juga peduli pada kehidupan sehari-hariku yang biasa-biasa, tak cuma ketika aku melakukan disiplin rohani. Akhirnya aku terhubung kembali dengan Kawan lamaku yang terhilang, dan inilah yang aku butuhkan.

Teruntuk kamu yang berbeban berat, lelah, dan putus asa, temukanlah penghiburan di dalam-Nya hari ini. Lepaskan tarikan nafasmu dan ingatlah kebenaran ini:

Yesus ingin dekat denganmu. Dia menikmati waktu-waktu bersamamu. Dan, Dia tidak meminta 100 persen kesempurnaan darimu. Kamu dapat bersandar pada anugerah-Nya yang akan membebaskanmu dari beban.

Baca Juga:

Doa Minta Dikuatkan, Tapi Kok Semakin Banyak Masalah?

“Tuhan, kuatkan aku menghadapi pergumulan ini.” Pernahkah kamu berdoa seperti itu, tapi rasanya pergumulanmu malah tambah berat?

Kamu tidak sendiri. Teman kita, Paramytha juga pernah mengalaminya dan inilah sekelumit ceritanya yang ingin dia bagikan.