Posts

Persamaan antara Ishak yang (hampir) dikorbankan dengan pengorbanan Yesus

Pernahkah kamu bertanya-tanya mengapa Abraham diminta untuk mengorbankan Ishak, anaknya yang satu-satunya?

Mungkin kita berpikir bahwa kisah Abraham menunjukkan buruknya Abraham ketika dia menjadi ayah bagi Ishak, tentang bagaimana dia tidak ‘berjuang’ untuk mempertahankan anaknya. Namun, pada intinya, kisah Abraham sebenarnya adalah kisah tentang betapa baiknya Allah sebagai seorang Bapa bagi kita.

Di akhir Kejadian 22, Ishak diselamatkan, tetapi di akhir Injil, kematian Yesus menyelamatkan kita.

Lihatlah kesejajaran di antara kedua ayat ini supaya kita dapat melihat bagaimana Allah menggunakan Abraham dan Ishak untuk menunjukkan pada kita besarnya kerinduan-Nya untuk menyelamatkan kita dari dosa-dosa.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Begini Rasanya Kesepian di Usia yang Masih Muda

Oleh Sandyakala Senandika

Di umurku yang masih di angka 20-an, kesepian adalah pil pahit yang harus kutelan setiap hari. Bukannya aku tak punya teman. Temanku banyak. Tetapi, fase kehidupan yang telah berubah turut mempengaruhi aspek relasiku dengan teman-temanku.

Izinkan kuceritakan sekelumit kisahku. Sebenarnya, kesepian bukanlah hal baru di hidupku. Aku lahir di luar pernikahan yang sah. Bisa dibilang, ayah ibuku tidak secara intensional menginginkan kelahiranku. Saat tumbuh dewasa pun lingkunganku tidak suportif. Orang tuaku bertengkar setiap hari hingga akhirnya berpisah rumah. Sebagai anak bungsu dengan tiga kakak tiri, relasiku pun tidak terlalu dekat dengan mereka, menjadikanku tidak banyak bicara di rumah. Hingga akhirnya saat aku lulus sekolah, aku memutuskan merantau sampai hari ini.

Saat kuceritakan keluhan ini ke teman-teman kantor, gereja, atau sahabatku sejak zaman bocah, respons mereka kurang lebih sama.

“Makanya, udah deh sekarang cepetan cari pacar…”
“Masa sih se-kesepian itu lu? IG lu aktif banget loh…”
“Ah, kamu mah pasti bisa hadepin ini. Kan kamu suka petualangan. Keluyuran sendiri juga fine kan?”

Tidak ada yang salah dengan semua respons itu. Benar aku perlu mendoakan dan mencari pasangan hidup. Benar pula aku aktif di media sosial, juga aku rutin melakukan perjalanan ke alam dan ikut beragam komunitas.

Namun, kesepian adalah sebuah perasaan yang seringkali hadirnya tidak dipengaruhi oleh keadaan luar. Aku sadar, setelah lulus kuliah, aku tak lagi bisa sebebas dulu. Teman-temanku pun sama. Kami punya kesibukan masing-masing yang membuat perjumpaan fisik semakin susah. Semua ini tidak bisa dielakkan. Jadi, meskipun aku bisa saja menjumpai temanku, tapi perjumpaan itu tidak bisa lama dan rutin. Semakin terobsesi mencari teman justru membuat rasa sepi semakin nyata… dan diliputi banyak teman pun bukan jaminan rasa kesepian itu akan lenyap. Les Carter berkata: “Kesepian adalah perasaan terpisah, terisolasi, atau berjarak dari relasi antar manusia. Kesepian adalah luka emosional, perasaan kosong, dan hasrat untuk dimengerti dan diterima oleh seseorang.” Kamu bisa tetap merasa sepi meskipun ada di tengah-tengah kerumunan yang seru.

Kesepian, masa muda, dan kata Alkitab

Studi yang dilakukan oleh BBC Loneliness Experiment di Inggris Raya menunjukkan fakta mencengangkan. Jika biasanya kesepian sering diidentikkan kepada warga lansia yang sudah tak bisa melakukan banyak hal, temuan riset ini malah memaparkan bahwa 40% responden yang mengaku kesepian ada di kelompok usia 16-24 tahun. Angka ini jauh lebih tinggi ketimbang para lansia yang ada di angka 27%.

Fakta ini begitu kontras. Bagaimana bisa seorang muda dengan akses koneksi Internet, keluwesan berjejaring secara daring, bisa merasa sepi?

Meskipun masa muda memang adalah waktu penuh kebebasan dan petualangan, tak dipungkiri banyak transisi terjadi di masa ini. Merantau, memulai kuliah, meraih pekerjaan baru, akan mencabut kita dari pertemanan yang dibangun selama masa-masa kita tumbuh besar.

Teman yang kita temukan pasca usia 25 akan berbeda taraf keakrabannya dengan mereka yang kita jumpai di dekade sebelumnya. Alasannya simpel: dengan teman lama kita melewati proses pertumbuhan dan banyak fase transisi—dari sekolah ke kuliah, remaja ke dewasa. Sedangkan pada teman yang kita jumpai di usia dewasa, tak banyak waktu dan proses yang kita lewati bersama. Umumnya kesempatan bersama itu sekadar hang-out atau urusan kerja saja sehingga ikatan emosional yang terbentuk tidak begitu kuat.

Jika kita membuka Alkitab, kita pun akan disuguhi oleh kisah tentang orang pilihan Tuhan yang mengalami kesepian. Ini membuktikan kesepian adalah perasaan manusiawi yang dialami oleh siapapun, bahkan nabi sekalipun.

Yeremia dalam Perjanjian Lama dipanggil Allah untuk menjalani panggilan yang berat—mewartakan firman Allah kepada bangsa yang bebal dan menyimpang. Kabar yang dibawa Yeremia pun bukanlah kabar gembira, melainkan kabar penghakiman bahwa jika tidak ada pertobatan yang sungguh-sungguh, murka Allah akan datang. Maka, jelaslah bahwa Yeremia akan dibenci oleh bangsanya sendiri. Yeremia pun meratap, “Celaka aku, ya ibuku, bahwa engkau melahirkan aku, seorang yang menjadi buah perbantahan dan buah percederaan bagi seluruh negeri” (Yer 15:10). Dalam kesukarannya itu, Allah pun melarangnya dari menikah dan memiliki keturunan (Yer 16:2). Dapat kita bayangkan akan beratnya pergumulan seorang Yeremia. Sendirian, pun dibenci oleh bangsanya sendiri.

Yeremia merupakan salah satu nabi yang tidak cuma menyampaikan nubuatannya, tapi juga mengalami itu. Pada tahun 586SM Yeremia masih hidup dan menyaksikan bagaimana Babel menyerbu Yehuda, menghancurkan Yerusalem dan Bait Suci. Hukuman Tuhan berupa pembuangan Israel ke Babel pun tergenapi.

Menghadapi tugas berat itu, Yeremia sendiri sebenarnya bukanlah orang pemberani. Dia takut dan ada kalanya dia meragukan Allah. “Mengapa penderitaanku tidak berkesudahan, dan lukaku sangat payah, sukar disembuhkan? Sungguh, Engkau seperti sungai yang curang bagiku, air yang tidak dapat dipercayai” (Yer 15:18), tetapi Allah berjanji menyertainya (ayat 20).

Sisi yang menarik dari kisah Yeremia ialah: dalam kesepiannya, dia mengutarakan segenap perasaannya pada Allah. Apa yang dia luapkan merupakan perasaan campur aduk. Satu sisi dia mengeluh, tapi dia tidak melupakan kebaikan Allah, lalu meratap lagi. Hingga akhirnya Yeremia tuntas menunaikan tugas panggilannya, semua itu karena dia selalu kembali pada Allah dan mengingat janji-Nya (Yer 32:17).

Kisah kesepian yang aku, mungkin juga kamu alami pastilah berbeda dengan jenis kesepian nabi Yeremia karena dimusuhi oleh seisi bangsa. Tetapi, kita bisa meraih banyak pelajaran dari perjalanan Yeremia. Betul, dia merasa kesepian, tetapi dia tidak pernah kehilangan sosok teman sejati, yakni Allah sendiri. Yeremia mampu, hidup, bertahan, dan bertumbuh karena Allah hadir bersamanya. Dalam Yeremia 15:19 terselip pesan bagi setiap kita yang merasa kesepian, tidak berguna, atau surut imannya, sebab di sana Allah sedang memberi tahu Yeremia untuk kembali pada-Nya karena Dialah yang akan memulihkan sukacita keselamatannya.

Kesepian memang tidak terelakkan karena kejatuhan manusia dalam dosa menghancurkan persekutuan kita dengan Allah. Namun, kabar baiknya adalah Allah tidak membiarkan keterpisahan itu. Dia hadir dalam rupa Kristus untuk memulihkan kembali relasi yang hilang dengan anak-anak-Nya.

Selagi kita masih hidup dalam tubuh fana ini, kita tak bisa seratus persen tak pernah merasa sepi. Namun, janji dan kebenaran firman Tuhan menguatkan kita dan memampukan kita untuk menghidupi hari-hari yang sepi dengan cara-cara kreatif. Bukan dalam kemurungan dan semakin mengisolasi diri, tetapi dengan semangat baru bahwa kita disertai Allah dan ke dalam dunia inilah kita diutus (Yoh 17:18).

Sepanjang tahun ini aku telah belajar untuk hidup berdampingan dengan rasa sepiku, sebab kutahu dalam hidup manusia di dunia, kesepian adalah buah dari kejatuhan manusia yang tetap harus kita tanggung dan dalam upaya kita menanggung itu, ada jaminan bahwa Allah senantiasa melindungi kita (Yoh 17:15). Namun, ini tidak berarti kita membiarkan diri saja dalam kesepian. Sebagai ciptaan yang dikarunia hikmat, kita bisa mengubah kesepian ataupun perasaan negatif lainnya menjadi tindakan-tindakan aktif yang bisa mendatangkan hasil positif baik bagi diri kita sendiri, maupun lingkungan di sekitar kita.

Ketika rasa kesepian itu datang, aku menuliskannya dalam jurnal doaku dan mencari cara-cara kreatif untuk melalui hari-hariku setelahnya. Aku mulai bergabung dengan komunitas gereja lokal dekat tempat kerjaku, menginisiasi akun YouTube yang mendokumentasikan perjalanan-perjalanan rutinku, juga mengontak kembali teman-teman lama yang dahulu pernah akrab. Semua cara ini kendati tidak seratus persen mengeyahkan rasa sepi, berhasil menolongku melihat dunia dengan sudut pandang yang berbeda: dalam kesendirianku, aku tidak pernah sendirian.

3 Perenungan untuk Menyambut Natal

Oleh Yohanes Bensohur

Wah! Gak terasa sudah mau Natalan dan tahun baru lagi.

Rasanya baru kemarin, tetapi sekarang kita sudah akan memasuki tahun ketiga hidup bersama pandemi.

Teringat masa-masa di awal ketika orang-orang panik—memborong stok makanan, harga masker, sampai jahe pun jadi melangit. Ibadah dan persekutuan berubah menjadi online, semua berdoa agar pandemi berlalu.

Namun, kenyataan tidak demikian. Pertengahan tahun 2020, jumlah orang yang terpapar COVID semakin melonjak. Segala harapan untuk keadaan membaik seolah tampak sirna. Beberapa orang mungkin berpikir kenapa begitu lama pandemi ini terjadi, kenapa Tuhan mengizinkan hal ini, bahkan ekstremnya ada orang yang mempertanyakan tentang kebaikan Tuhan: jika Tuhan baik dan berkuasa mengapa mengizinkan kesulitan dan pandemi ini terjadi?

Sebaliknya, ada sebagian orang yang menanti kondisi terus membaik, melihat bagaimana Tuhan tetap berkuasa dan bekerja di dalam dan melalui pandemi. Memasuki tahun 2021 keadaan pun tidak lebih baik dari sebelumnya, peningkatan juga terus melonjak, ditambah dengan munculnya jenis varian baru. Kita semua menghadapi gelombang kedua yang membuat rumah sakit dan petugas medis kelabakan dalam mencari tempat dan merawat pasien, kita seperti terjebak di rumah, banyak orang di PHK, tidak bisa kerja, dsb.

Sekarang, 2021 hendak kita tutup dan tahun yang baru segera datang. Aku mengajakmu untuk berefleksi sejenak ke dalam diri melalui tiga pertanyaan ini:

1. Masih setiakah kita berdoa?

Ketika awal-awal pandemi, kita semua takut. Bersama komunitas gereja, persekutuan, atau secara pribadi kita berdoa memohon Tuhan memulihkan keadaan.

Namun, ketika pandemi tak juga kunjung usai, masih setiakah kita berdoa?

Doa-doa yang kita naikkan mungkin tidak akan mengubah keadaan dalam sekejap, tetapi ketika berdoa, kita sedang mengizinkan agar damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal memelihara hati dan pikiran kita (Filipi 4:7). Dan, janganlah kiranya kita pun lupa, bahwa doa orang benar bila dengan yakin didoakan, sangat besar kuasanya (Yakobus 5:16).

2. Apakah kita bertumbuh?

Sebelum pandemi, dinamika kehidupan kita pun ada naik-turunnya. Lalu, pandemi hadir dan rasanya membuat dinamika naik turun itu semakin parah. Tetapi, ibarat grafik denyut jantung yang naik turun, demikian jugalah kehidupan.

Naik dan turun adalah tanda bahwa kita hidup. Pertumbuhan apa yang nampak dalam diri kita? Apakah kita bertumbuh semakin serupa dengan Kristus?

3. Bagaimana kita memaknai Natal tahun ini?

Perasaan seperti apa yang sedang kita rasakan dalam menantikan Natal? Sedang biasa saja? Merasa lelah? Tidak begitu bersemangat? Apa yang sebenarnya menjadi kerinduan kita dalam natal dan tahun baru ini?

Natal kali ini, Kita dapat melatih hati kita untuk melihat kebesaran karya Allah. Dia, yang Mahabesar hadir dalam rupa bayi yang kecil dan rapuh, tapi dari sosok bayi inilah hadir pula dampak yang begitu besar terhadap dunia.

Raja Herodes khawatir apabila ada sosok yang akan mengganggu kekuasaanya sehingga ingin membunuh seluruh bayi di bawah dua tahun. Para Gembala menjadi orang-orang terpilih untuk menjumpai bayi dibungkus lampin seperti yang dijanjikan malaikat. Orang Majusi jauh dari timur mencari dan menemui Yesus melalui petunjuk bintang serta memberikan persembahan kepada-Nya.

Kiranya Natal tahun ini kita boleh kembali menata hati kita, mempertanyakan kembali di manakah posisi kita saat ini dihadapan Tuhan, sehingga kita tidak melewati Natal dan tahun baru ini begitu saja.

We wish you merry Christmas and Happy New Year. Kiranya yang menjadi kerinduan kita akan Natal dan tahun baru ini bukanlah suatu hal yang rendah dan tak bernilai, tapi Kristuslah yang boleh menjadi kerinduan terbesar kita, Dia yang benar-benar kita nantikan, kita muliakan dan kita juga rindu agar orang-orang boleh memiliki kerinduan yang besar pula akan Dia.

4 Hal Istimewa dari Kisah Yesus dan Perempuan Samaria

Oleh Paramytha Magdalena

Apa yang terlintas di pikiranmu saat mendengar Samaria?

Dari sebuah literatur yang kubaca, Samaria merupakan kata yang mengacu kepada tempat di wilayah pegunungan antara Galilea di utara dan Yudea di selatan. Orang-orang yang tinggal di sana disebut juga sebagai orang ‘Samaria’. Pada masa-masa pelayanan Yesus di bumi, orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria.

Kalau kita menelisik lebih lagi, Alkitab mencatat dengan jelas bagaimana relasi antara orang Samaria dan Yahudi dalam kehidupan sehari-hari. Yohanes 4:9 menuliskan demikian: “Maka kata perempuan Samaria itu kepada-Nya: “Masakan Engkau, seorang Yahudi, minta minum kepadaku, seorang Samaria?” (Sebab orang Yahudi tidak bergaul dengan orang Samaria.)”. Orang-orang Yahudi menganggap orang Samaria itu kafir atau ras tidak murni karena mereka melakukan perkawinan campur dengan bangsa lain.

Kisah orang Yahudi dan Samaria yang tercatat di Alkitab memunculkan paradoks, terlebih jika kita menyimak detail kisah pertemuan Yesus dengan seorang perempuan Samaria. Perempuan itu mengambil air sekitar tengah hari, mungkin maksudnya agar dia tidak berjumpa dengan banyak orang. Namun, dia malah berjumpa dengan Yesus, seorang Yahudi yang notabene bermusuhan dengan orang Samaria.

Respons Yesus kepada perempuan itu luar biasa. Alih-alih menjauhinya, Yesus malah meminta minum darinya. Di sinilah Yesus menunjukkan cinta dan kasih Tuhan yang manis itu.

Ada 4 hal istimewa yang kudapatkan dari pertemuan Perempuan Samaria dan Yesus.

1. Apa pun latar belakang kita, kita dicintai dan diterima oleh Yesus

Perempuan Samaria ini memiliki latar belakang dan perilaku yang bisa dikatakan buruk karena sering berganti pasangan. Bahkan pasangan yang saat itu bersama dengannya bukanlah suaminya (ayat 18). Jadi, bukanlah hal yang mengejutkan lagi jika sikap orang sekitarnya akan menjauhi atau bahkan memandang rendah. Akan tetapi, Yesus mau menemui secara pribadi dan menghampiri perempuan tersebut.

Betapa seringnya aku berpikir bahwa aku harus melakukan semua hal dengan baik dulu agar bisa merasa layak dikasihi dan diterima oleh-Nya. Yesus menerima kita bukan berdasarkan apa yang kita perbuat, tetapi karena kasih-Nya sajalah (Roma 5:10).

Perempuan Samaria ini tidak melakukan apa-apa untuk membuat Yesus tertarik menemuinya. Cinta dan penerimaan-Nya tidak berdasar pada moral, status sosial, latar belakang, pengalaman, maupun kegagalan seseorang. Kasih-Nya adalah sebuah pemberian dan anugerah. Jadi, setiap kita memiliki kesempatan yang sama untuk menikmatinya.

Apakah kita mau menerima cinta-Nya dan memberikan cinta kita pada-Nya?

2. Kita dicari, ditemukan, dan diselamatkan oleh Yesus

Perempuan Samaria menimba air di sumur saat siang hari. Ini bukanlah kebiasaan yang lazim. Ia menyadari keadaannya dan berusaha menghindari orang-orang dengan datang ke sumur ketika sedang sepi dari perempuan-perempuan lain. Namun, Yesus sengaja bertemu dengannya dan menawarkan air kehidupan yaitu keselamatan.

Ini mengingatkanku akan seberapa seringnya aku bersembunyi, menghindari, dan lari dari berbagai macam situasi, orang-orang, bahkan dari Tuhan karena besarnya perasaan malu dan ketidaklayakanku. Akan tetapi berita baiknya adalah Dia rela datang untuk menyelamatkan kita yang terhilang agar bisa diselamatkan (Yohanes 1:29). Tidak ada perlindungan teraman selain di dalam-Nya dan tidak ada tempat yang teramat sulit untuk Dia bisa menemukan kita. Asalkan kita mau diselamatkan oleh-Nya.

3. Tuhan rindu berelasi dengan kita

Ketika Yesus bertemu dengan perempuan Samaria, ada percakapan antara mereka berdua. Bagian ini menarik buatku karena dari sini aku melihat bahwa Yesus tidak sekadar datang ke dunia untuk menebus dosa, tetapi juga berelasi dengan manusia. Lewat percakapan sederhana itu, Dia mendengar apa yang jadi kerisauan umat-Nya.

Apakah tentang kejatuhan, kegagalan, ketakutan, atau yang lainnya. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah kita mau bercakap-cakap denganNya? Dia siap mendengar dan menyegarkan kita dengan kebenaran-Nya.

4. Kita dapat mengakui dengan jujur isi hati kita

Dalam percakapan-Nya, Yesus menyuruh perempuan Samaria untuk memanggil suaminya, tetapi sang perempuan menjawab, “Aku tidak mempunyai suami” (ayat 17). Yesus lanjut merespons, “Tepat katamu, bahwa engkau tidak mempunyai suami, sebab engkau sudah mempunyai lima suami dan yang ada sekarang padamu, bukanlah suamimu. Dalam hal ini engkau berkata benar” (ayat 18).

Coba kita perhatikan lagi ucapan Yesus. Kendati Yesus tahu bahwa perempuan Samaria itu bergonta-ganti pasangan, tetapi tidak ada penghakiman yang keluar dari mulut-Nya. Maksud Yesus di sini bukanlah dia membenarkan dosa yang diperbuat oleh sang perempuan, tetapi Dia hendak menunjukkan keselamatan yang sejati (ayat 21-24).

Sebelum sang perempuan mengakui identitasnya, Yesus telah tahu lebih dulu, tetapi Dia ingin kita mengakui dengan jujur dan rendah hati apa yang telah kita lakukan. Ini bukanlah demi kepentingan Tuhan, tapi demi kepentingan kita. Karena saat kita mengakui dengan jujur dan rendah hati kepada-Nya atas segala yang kita perbuat, dan kita menyadari kesalahan serta berbalik kepada-Nya, maka akan tersedia pemulihan dan pengampunan-Nya bagi kita.

Apakah kita mau mengakui bahwa kita telah berdosa dan membutuhkan anugerah kasih pengampunan-Nya setiap waktu?

Baca Juga:

4 Pertanyaan Penting Sebelum Memulai Hubungan yang Serius

Pernikahan adalah sesuatu yang aku inginkan sedari kecil, semenjak aku melihat dan mempelajari dari kedua orang tuaku tentang apa rasanya berada dalam pernikahan. Tapi sebelum memulai relasi yang mengarah ke sana, kuajukan dulu 4 pertanyaan ini pada diriku.

3 Sifat Anak Kecil yang Perlu Kita Contoh

Oleh Adiana Yunita, Yogyakarta

Apa yang terlintas di pikiranmu ketika mendengar kata ‘anak kecil’? Mungkin mereka lucu, menggemaskan, penuh kasih sayang, dan ngangenin. Atau sebaliknya, mereka bandel, rewel, serta penuh dengan tangisan dan rengekan.

Setiap kita punya pengalaman masing-masing dengan anak kecil, entah itu pengalaman positif maupun negatif. Di dalam Alkitab pun, Yesus pernah berbicara tentang anak-anak kecil ini. Sebenarnya ada apa dengan ‘anak-anak kecil’? Apa kaitannya dengan kehidupan doa kita?

Kita mungkin tidak asing dengan peristiwa di Alkitab ketika Tuhan Yesus memanggil seorang anak kecil dan menempatkannya di tengah-tengah Dia dan para murid-Nya. Kisah itu tertulis di dalam kitab Markus 9:33-37.

Pada waktu itu para murid sedang mempertengkarkan tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Menariknya, Yesus merespons kejadian tersebut dengan memanggil seorang anak kecil dan berkata, “Sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” (Matius 18:3) Dari ayat ini, kita bisa memahami bahwa Tuhan Yesus mengharapkan kita menjadi seperti anak kecil yang menyambut Kerajaan Sorga. Kemudian, Yesus melanjutkan, “Sedangkan barangsiapa merendahkan diri dan menjadi seperti anak kecil ini, dialah yang terbesar dalam Kerajaan Sorga.” (Matius 18:4) Perkataan ini tampaknya mengejutkan para murid. Pasalnya, selama ini mereka berpikir bahwa seharusnya yang terbesar adalah seseorang yang sudah melakukan banyak pekerjaan besar atau yang paling terkenal di antara mereka.

Jadi, mengapa ketika kita datang dan berdoa kepada Allah kita perlu menjadi seperti anak kecil? Ternyata, jika kita perhatikan, ada beberapa sifat anak-anak kecil yang dapat kita contoh. Setidaknya, ada tiga hal yang dapat kita pelajari dari anak-anak kecil.

1. Anak kecil itu selalu menunjukkan antusiasme

Anak-anak tidak pernah terlepas dari keceriaannya. Buktinya, cukup familiar di telinga kita ketika mendengar orang tua berkata, “Energi anak-anak memang ga pernah ada habisnya.” Ya, memang benar, anak-anak selalu terlihat bersemangat dan seolah tiada lelah. Inilah wujud antusiasme yang nyata dalam diri anak-anak.

Lantas, bagaimana dengan kehidupan doa kita? Apakah kita selalu antusias dan bersemangat ketika datang kepada Tuhan? Tuhan Yesus ternyata tidak pernah mensyaratkan bahasa yang indah-indah ketika kita berdoa. Ia menginginkan kita datang dan berdoa dengan penuh kerinduan dan antusias kepada-Nya.

2. Anak kecil itu selalu jujur

Jika kita perhatikan, anak-anak itu selalu bersikap apa adanya. Ketika senang, mereka akan tertawa, bahkan sampai berjingkrak-jingkrak. Sebaliknya, saat sedih, mereka akan menunjukkan kekecewaannya dengan menangis. Orang dewasa mungkin bisa ‘pura-pura bahagia’, tetapi anak-anak akan mengekspresikan perasaannya dengan jujur. Mungkin ini juga yang membuat kehidupan doa kita tidak cukup menggairahkan. Kita seringkali tidak jujur dengan perasaan kita di hadapan Tuhan. Kadang waktu kita malah habis karena kebingungan memilih rangkaian kata yang pas di dalam doa kita. Padahal, Tuhan mau kita datang dengan jujur di hadapan-Nya seperti anak-anak yang bebas mengekspresikan perasaannya tanpa takut tertolak oleh siapa pun.

3. Anak kecil itu selalu memiliki rasa ingin tahu

Pernah suatu kali aku melihat seorang anak yang terus-menerus bertanya kepada orang tuanya. Ia bertanya banyak hal tentang segala sesuatu yang ia temui di sepanjang perjalanan. Ia selalu ingin tahu. Dan, memang begitulah natur anak-anak. Di masa tumbuh kembangnya, anak-anak selalu ingin memahami tentang kehidupan ini dan meminta penjelasan dari orang-orang dewasa di sekitarnya. Sekalipun sudah dewasa, kita pun tidak akan pernah memahami secara utuh kehidupan ini. Tentu saja, kita semua tahu bahwa hanya Tuhan, Sumber Hikmat itu, yang memahami segala sesuatunya. Begitu juga dalam kehidupan doa kita.

Seringkali kita berdoa seolah-olah kita telah memahami segala yang terbaik buat hidup kita. Padahal, bagi Allah, kita ini sama seperti anak kecil yang selalu bertanya, “Mengapa, mengapa, dan mengapa,” tanpa mau mendengar jawaban-Nya. Kita lupa bahwa segala jawaban sudah Ia tuliskan di dalam sebuah Buku Kehidupan berisi surat-surat cinta-Nya kepada kita, yaitu Alkitab.

Kapan terakhir kali kita sungguh-sungguh ingin tahu isi Alkitab? Seiring waktu kita berdoa, datanglah juga dengan segala keingintahuan dengan membaca firman-Nya sehingga kita semakin memahami tentang kehidupan, terutama kehendak-Nya bagi hidup kita.

Mungkin ada di antara kita yang saat ini sedang mengalami kehidupan doa yang terasa hambar dan membosankan. Namun, anak kecil yang Yesus panggil mengingatkan kita bahwa yang terbesar di antara kita adalah yang mau merendahkan hati menjadi seperti anak kecil itu. Anak kecil yang selalu antusias dan selalu jujur ketika datang kepada-Nya, serta selalu ingin tahu kerinduan hati Bapa di Sorga. Mari terus datang kepada Tuhan. Ia pasti akan selalu menyambut kita.

Baca Juga:

Pertolongan yang Ajaib

Di perjalanan pulang dari gereja, dua orang bersenjata api menodong kami. Panik, yang bisa kami lakukan cuma melarikan diri, dan Tuhan menolong kami dengan cara-Nya yang ajaib.

Siapakah Yesus bagi Kita? Sebuah Perenungan Menyambut Natal

Oleh Dhimas Anugrah, Jakarta

Pernahkah kamu mendengar nama Joe Biden, Xi Jinping, Camilla Rothe, Jennifer Hudson, dan Sundar Pichai? Mereka ialah segelintir dari 100 orang terpopuler di tahun 2020 versi majalah Time. Figur-figur ini dianggap memberi pengaruh besar pada masyarakat di generasi mereka. Contohnya, Camila Rothe. Pada Januari 2020 lalu spesialis penyakit menular di Munich itu menjadi salah satu orang pertama yang mendokumentasikan infeksi Covid-19 tanpa gejala. Laporannya itu pertama kali disambut dengan ketidakpercayaan, bahkan diremehkan. Tetapi, setelah banyak pasien mengalami kondisi tanpa gejala, laporan Camelia pun diterima secara luas. Kini, adanya Orang Tanpa Gejala (OTG) menjadi salah satu tantangan terbesar dalam perang melawan pandemi corona. Temuan Camilia itu telah menyelamatkan banyak jiwa. Menurut TIME, jika saja banyak orang mau mendengarkan dia sebelumnya, penyebaran lebih besar mungkin akan bisa dicegah.

Daftar 100 nama orang terpopuler berubah tiap tahun. Ada yang bertahan, ada pula yang terlempar ke luar. Namun, dari sekian banyak nama populer di setiap zaman di dunia ini, ada satu figur yang namanya selalu menempati posisi tertinggi dalam daftar orang terpopuler di lebih dari 2000 tahun terakhir. Namanya Yesus Kristus. Dailymail pada 15 Desember 2013 lalu melaporkan, Yesus adalah orang paling populer dan terpenting dalam sejarah menurut program pencarian internet baru. Nama Yesus disusul Napoleon, ada Aristoteles di peringkat 8, dan seterusnya. Software program yang dikembangkan di Amerika Serikat itu bekerja dengan cara menjelajahi internet untuk mencari pendapat warganet di seluruh dunia tentang orang-orang terkenal, dengan menggunakan algoritma khusus untuk melihat seberapa pentingnya pengaruh figur-figur populer itu hingga 200 tahun setelah kematian mereka

Yesus, Dia bukan hanya populer hingga 200 tahun setelah wafat-Nya, tetapi hingga kini pun nama-Nya masih dibicarakan orang. Putra Maria itu selama ribuan tahun telah menjadi titik tengkar sekaligus titik perdamaian. Selain karena popularitas-Nya, yang menjadi salah satu alasanku menulis tentang Dia adalah keinginan menjawab pertanyaan para sahabat kepadaku, “Mengapa kamu beragama Kristiani?” Memang, dalam pergaulan di antara kawan yang multi agama dan ras, aku jarang membicarakan tentang imanku, kecuali kepada mereka yang bertanya. Pertanyaan-pertanyaan itu pun tak jarang muncul dalam kesempatan atau waktu yang sangat singkat, sehingga untuk menjawabnya pun tidak bisa berlama-lama.

Tulisan ini kubuat bagi para sahabat yang pernah bertanya tentang alasan mengapa aku percaya Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat, juga bagi kita yang ingin sedikit “me-refresh” ingatannya tentang sosok Yesus. Isi dari tulisan ini tidak ada yang baru. Aku hanya mengulangnya saja. Ada banyak buku dan artikel yang mengulas tentang Yesus dari berbagai tradisi, baik Katolik, Ortodoks, Protestan maupun Pentakosta/Karismatik. Semoga setelah tulisan ini dimuat, akan ada diskusi-diskusi lanjutan yang menarik dengan sahabat-sahabatku itu, seperti yang sudah-sudah.

Siapakah Yesus?

Pertanyaan tentang figur Yesus sudah muncul sejak 2000 tahun lalu. Banyak orang yang keliru menafsirkan identitas Yesus sesungguhnya. Ada yang mengira Dia Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan Dia nabi Elia, nabi Yeremia atau salah seorang dari para nabi (Matius 16:14). Di tengah simpang-siurnya anggapan orang tentang siapa Yesus sesungguhnya, Dia bertanya kepada para murid-Nya, “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” (Lukas 9:20; Matius 16:15). Yesus bertanya kepada pengikut-pengikut-Nya yang sudah sekian lama melihat karya dan mendengar pengajaran-Nya secara langsung.

Pada waktu Dia mengajukan pertanyaan itu, seolah-olah semua murid-Nya tidak mempunyai jawaban. Tetapi ada satu murid, yaitu Petrus, yang menjawab dengan tegas, “Engkaulah Mesias, Anak Allah yang hidup” (Matius 16:16). Petrus tahu bahwa Yesus bukanlah Yohanes Pembaptis atau Elia atau seorang nabi di masa lalu. Dia lebih dari sekadar seorang reformator spiritual, lebih dari seorang pembuat mukjizat, lebih dari seorang nabi. Yesus adalah Kristus, Mesias. Anak Allah yang hidup.

Mesias

Kata “Mesias” berasal dari bahasa Ibrani, “Mashiach,” artinya “yang diurapi” atau “yang terpilih.” Pada zaman Perjanjian Lama, nabi, imam, dan raja diurapi dengan minyak ketika mereka ditetapkan untuk posisi dengan tanggung jawab ini. Urapan adalah tanda bahwa Tuhan telah memilih mereka dan menguduskan mereka untuk pekerjaan yang Dia berikan kepada mereka. Christos (Kristus) adalah padanan Yunani dari istilah Ibrani, Mesias (Yohanes 1:41). Ketika Andreas berkenalan dengan Yesus, hal pertama yang ia lakukan adalah menemui saudaranya, Simon (Petrus) dan memberi tahu dia tentang pertemuannya dengan Yesus. Andreas memberi tahu saudaranya bahwa ia telah bertemu Mesias (Kristus), dan Andreas membawa Simon kepada Yesus (Yohanes 1:41).

Ketika dalam Yohanes 1:41 Andreas mengatakan, “Kami telah menemukan Mesias,” ia ingin mengatakan bahwa pengharapan orang-orang Yahudi agar Tuhan mengirim seorang Mesias kini sudah terjawab. Mesias itu adalah Yesus. Komunitas Yahudi telah membaca nubuatan Perjanjian Lama (Yesaya 42:1; 61: 1-3; Mazmur 16, 22; Daniel 9, Dsb) yang berjanji bahwa Tuhan akan mengirimkan seorang penyelamat bagi umat-Nya, dan Andreas ingin mengatakan kepada Simon bahwa Sang Mesias yang dijanjikan itu telah datang.

Namun sayangnya, orang-orang Yahudi salah paham tentang apa yang akan dilakukan Mesias ini. Mereka membaca nubuatan tentang bagaimana Mesias akan mengalahkan musuh-musuh Tuhan dan menganggap bahwa Yesus akan membebaskan mereka dari penjajahan Romawi. Mereka mengharapkan Mesias untuk mendirikan kerajaan di bumi, di mana mereka akan menjadi penguasanya, bukan yang dikuasai. Anggapan Mesianis politis dan militeristis ini menunjukkan bahwa orang-orang Yahudi mengabaikan peran spiritual Mesias sebagai pembebasan dari dosa dan Setan. Mereka tidak memahami bahwa kerajaan Sang Mesias bersifat spiritual, bukan politik. Hasilnya, hanya sedikit orang Yahudi yang bersedia menerima Yesus sebagai Mesias yang dijanjikan, sebab Dia tidak sesuai dengan pemikiran dan harapan mereka tentang apa yang akan dilakukan Mesias.

Injil berulang kali menyatakan bahwa Yesus adalah Mesias—Yang dipilih oleh Tuhan dan diurapi oleh-Nya untuk menyelamatkan umat-Nya dari dosa (Matius 16:16; Lukas 4: 17-21; Yohanes 1: 40-49; 4:25, 26). Setelah kebangkitan Yesus, Petrus mengingatkan orang-orang yang mendengarkan khotbahnya tentang “Allah mengurapi Dia dengan Roh Kudus dan kuat kuasa, Dia berkeliling sambil berkeliling baik-baik dan menyembuhkan semua orang yang dikuasai Iblis, karena Allah menyertai Dia” (Kisah Para Rasul 10:38, 39). Yesus sendiri mengaku sebagai Mesias yang dijanjikan. Ketika seorang wanita di sebuah sumur di Samaria berkata kepada Yesus, “Aku tahu bahwa Mesias akan datang, yang disebut juga Kristus; Ia datang, Ia akan memberitakan segala sesuatu kepada kami. Kata Yesus kepadanya: Akulah Dia, yang sedang berkata-kata dengan engkau” (Yohanes 4:25, 26).

Dari apa yang Injil laporkan tampak jelas, warta kepada para pembaca bahwa Yesus sebagai Mesias begitu kuat. Seperti kata Yohanes, “Tetapi semua yang tercantum di sini telah dicatat, supaya kamu percaya, bahwa Yesuslah Mesias, Anak Allah, dan supaya kamu oleh imanmu memperoleh hidup dalam nama-Nya” (Yohanes 20:31). Yesus sebagai Mesias berarti Dia adalah yang dipilih Tuhan, yang diurapi untuk datang membebaskan manusia dari dosa dan Setan. Sebagai Mesias, Dia menawarkan pengampunan atas dosa-dosa manusia. Dia menjanjikan keselamatan dan tempat di kerajaan-Nya yang akan datang. “Marilah kepada-Ku semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu,… dan jiwamu akan mendapat ketenangan” (Matius 11:28, 29).

Anak Allah

Istilah ini sering menimbulkan kesalahpahaman. “Anak Allah” merupakan istilah yang tidak bisa ditafsirkan tanpa kacamata teologi Kristiani. Yesus bukan Anak Allah dalam konteks hubungan antara ayah dan anak. Tentu, Allah tidak menikah kemudian memiliki seorang anak. Yesus sebagai Anak Allah perlu dipahami dalam konteks Dia sebagai Allah yang mengambil rupa manusia (Yohanes 1:1, 14). Yesus sebagai Anak Allah artinya, Ia dikandung oleh Roh Kudus, bukan hasil hubungan laki-laki dengan perempuan. Lukas 1:35 mengatakan, “Jawab malaikat itu kepadanya: ‘Roh Kudus akan turun atasmu dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaungi engkau; sebab itu anak yang akan kaulahirkan itu akan disebut kudus, Anak Allah.’”

Dalam konteks zaman itu, frasa ”anak manusia” digunakan untuk merujuk seorang manusia. Jadi, “anak manusia” berarti manusia, dan “Anak Allah” berarti Allah itu sendiri. Pada waktu Yesus dihakimi para pemimpin Yahudi, Imam Agung memerintahkan Yesus, “Demi Allah yang hidup, katakanlah kepada kami, apakah Engkau Mesias, Anak Allah, atau tidak” (Matius 26:63). “Engkau telah mengatakannya,” Yesus menjawabnya. “Akan tetapi, Aku berkata kepadamu, mulai sekarang kamu akan melihat Anak Manusia duduk di sebelah kanan Yang Mahakuasa dan datang di atas awan-awan di langit” (Matius 26:64). Para pemimpin Yahudi merespons dengan menuduh bahwa Yesus telah menghujat Allah (Matius 26:65-66). Kemudian, di hadapan Pontius Pilatus, “Jawab orang-orang Yahudi itu kepadanya: ‘Kami mempunyai hukum dan menurut hukum itu Ia harus mati, sebab Ia menganggap diri-Nya sebagai Anak Allah'” (Yohanes 19:7).

Mengapa mengklaim sebagai Anak Allah dianggap penghujatan dan layak dihukum mati? Para pemimpin Yahudi tentu mengerti apa yang dimaksud Yesus dengan ungkapan “Anak Allah.” Menjadi Anak Allah adalah sama dengan Allah. Klaim yang menyamai natur Allah adalah sama dengan menjadi Allah, dan itu dianggap penghujatan bagi para pemimpin Yahudi, sehingga mereka menuntut kematian Yesus sesuai dengan Imamat 24:15. Ibrani 1:3 mengungkapkan hal ini secara jelas, “Ia adalah cahaya kemuliaan Allah dan gambar wujud Allah.”

Mengapa Allah-Manusia?

Dari uraian di atas dapat kita pahami dwinatur Yesus, yaitu sepenuhnya Allah dan sepenuhnya manusia. Di dalam Yohanes 1:14, kita mengetahui bahwa melalui sabda, Allah menyingkapkan diri-Nya dengan berbagai-bagai cara sampai dengan puncaknya, yaitu inkarnasi-Nya menjadi manusia Yesus. Namun pertanyaannya, “Mengapa Allah-manusia?” Atau, “Mengapa Person ilahi dengan hakikat Allah (Sang Putra) harus menambahkan hakikat kemanusiaan menjadi hakikat-Nya juga?” Jika Dia Allah yang Mahakuasa, mengapa inkarnasi menjadi satu-satunya pilihan-Nya untuk menyatakan karya penyelamatan?

“Mengapa Allah-manusia?” Pertanyaan ini bukanlah pertanyaan umum. Tidak juga dialamatkan kepada pikiran umum. Mengapa Allah (mengambil rupa) manusia (Cur Deus Homo) adalah pergumulan khas komunitas Kristen, yaitu orang-orang yang mendapat sapaan intim dari Sang Pencipta. Ini pertanyaan untuk kita. Di dalam konteks inilah, Cur Deus Homo sejak awal memang tidak diarahkan kepada mereka yang tidak percaya, apa lagi sekadar untuk memuaskan dahaga intelektual mereka.

Secara doktrinal, banyak usaha telah dilakukan dalam konteks teologis dan filosofis untuk mencari jawaban dari pertanyaan ini. Solusi yang ditawarkan Anselmus (bahwa iman akan menuntun kepada pengertian) sudah lama berlalu dan tidak membuahkan hasil yang manis, bahkan masih menyisakan pertanyaan. Cur Deus Homo adalah suatu pertanyaan yang menuntut respons, ketimbang jawaban. “Mengapa Allah mengambil rupa manusia” bukanlah pertanyaan yang mengetuk pintu kognitif, melainkan menggedor-gedor gerbang hati yang berkarat.

Secara teologis, Cur Deus Homo dipahami sebagai pertanyaan batiniah manusia, yang merupakan respons terhadap panggilan dan tindakan Allah yang menantang, karena Ia telah mengutus Putra-Nya ke dalam dunia. Tindakan Allah ini menuntut suatu respons yang penting, sehingga inti dari permasalahannya bukan terletak pada pertanyaan “Bagaimana?” melainkan “Mengapa?” dalam keperluan ontologis dan apriori. Aku percaya, filsafat analitis menyediakan beberapa titik terang bagi kita untuk memahami kata “Mengapa” dalam pertanyaan ini.

Kata “Mengapa” biasanya mengandung dua aspek umum, yaitu kepedulian pragmatis dan keperluan ontologis (mencari hakikat). Menerapkan orientasi pemikiran yang terarah pada pertanyaan teologis tentang Cur Deus Homo, sadar atau tidak sadar, kita selalu memusatkan perhatian kepada orang yang bertanya. Dalam hal ini, pertanyaan teologis menjadi pertanyaan antropologis, sehingga doktrin Kristen hanya akan melayani minat para pemercaya dan pertanyaan-pertanyaan mereka.

Sang Putra menjadi manusia dan berdiam di antara manusia karena kemauan Bapa-Nya (Yohanes 20:21). Tuntutan Allah adalah menghukum manusia berdosa, karena upah dosa adalah maut (Roma. 6:23), tetapi Dia rela mengutus Putra-Nya menggantikan manusia untuk menerima hukuman. Singkatnya, dalam drama ini Yesus Kristus harus memenuhi dua persyaratan sebagai Pengganti (penebus manusia berdosa): Pertama, Ia adalah manusia; Kedua, Ia tidak berdosa. Dan Ia memenuhinya.

Penjelasan di atas cukup memadai, namun pertanyaan “Mengapa Allah-manusia?” tahun demi tahun akan terus mewarnai hati orang percaya. Orang Kristiani yang rata-rata tidak akan menanyakannya, hanya yang bergumul serius dengan imannya yang melakukannya. Orang Kristiani sejati berkomitmen penuh menerima kedatangan-Nya sebagai Mesias dan Anak Allah, Raja di atas segala raja, dan selalu mengingat “Kita hidup oleh iman kepada Putra Allah yang mengasihi kita dan memberikan diri-Nya bagi kita.” (Galatia 2:20).


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Lepaskan Khawatirmu Supaya Kamu Mendapat Kedamaian

Naluri alamiahku ketika menghadapi kabar buruk adalah khawatir, over-thinking, dan panik. Tidakkah aku berdoa? Ya, aku berdoa. Tapi, doa yang kunaikkan bukan berasal dari hati, itu doa yang didasari putus asa dan kesuraman.

Aku Lupa, Yesus Juga Kawanku

Oleh Caleb Daniel
Artikel asli dalam bahasa Inggris: I Forgot I Was Friends With Jesus

Tumbuh besar di gereja, aku sering mendengar Yesus disebut sebagai “kawan sejati”. Di sekolah Minggu, Yesus ditunjukkan sebagai seorang sahabat terbaik yang bisa kumiliki. Aku juga berulang-ulang kali mendengar bahwa Dia mengasihiku, Dia memberikan hidup-Nya buatku, dan seharusnya aku pun membagikan kasih-Nya kepada orang lain. “Seperti Bapa telah mengasihi Aku, demikianlah juga Aku telah mengasihi kamu; tinggallah di dalam kasih-Ku itu” (Yohanes 15:9). Aku yakin, kamu juga pernah mengalami yang sama sepertiku.

Namun, di satu titik dalam perjalanan hidup kita, banyak dari kita yang meragukan-Nya.

Di tahun ketiga kuliahku, aku baru sadar kalau selama ini aku sudah melupakan persahabatanku dengan Yesus. Aku merasa relasiku dengan-Nya hanyalah tentang kewajiban-kewajiban yang harus kuikuti. Aku juga baru ditunjuk menjadi ketua di pelayanan kampus. Hari-hariku di semester itu jadi amat sibuk. Baca Alkitab lebih terasa seperti tugas; berdoa pun terasa hambar. Juga saat ikut kebaktian, aku tidak merasakan ada hadirat Tuhan. Aku diberi sebuah misi untuk menyampaikan Kabar Baik kepada dunia, tapi misi yang seharusnya menjadi sukacita itu malah terasa memberatkan. Itulah mengapa momen ketika Yesus bersama murid-murid-Nya yang tertulis di pasal terakhir Injil Yohanes adalah favoritku.

Yesus telah bangkit dari maut dan hanya menunjukkan diri-Nya beberapa kali. Para murid kembali melaut, tapi mereka kesulitan menangkap ikan. Yesus berseru pada mereka dari tepi pantai dan menyuruh mereka menangkap ikan dari sisi perahu yang berbeda. Ketika mereka menyadari bahwa yang berseru itu Yesus, Petrus melompat keluar dari perahu dan bergegas menemui-Nya (Yohanes 21:7). Murid-murid lainnya pun ikut menjumpai Yesus, dan ternyata telah tersedia makanan bagi mereka di tepi pantai.

Aku beranggapan jika Yesus akan meluangkan waktu-waktu terakhir-Nya di bumi untuk menginjili, menyembuhkan yang sakit, atau membangkitkan orang mati. Bukankah itu lebih produktif? Namun, di sinilah kita melihat sisi “lebih santai” dari Yesus. Mungkin, waktu-waktu dengan murid-murid-Nya itu adalah momen terakhir untuk menegaskan pesan yang senantiasa Yesus sampaikan: “Tinggallah di dalam Aku.” Pesan ini bukanlah tentang apa yang murid-murid bisa lakukan buat Yesus. Pesan ini adalah tentang sebuah kasih yang dapat mengubah hidup mereka, bahkan dunia!

Cobalah luangkan waktu untuk membayangkan ini: udara pagi yang segar, aroma roti yang baru keluar dari oven, sukacita bersama teman-teman dekatmu. Momen saat murid-murid bertemu Yesus itu tentu adalah momen yang amat menyenangkan. Mereka dapat begitu akrab dengan Yesus tanpa dirisaukan oleh kumpulan orang yang berusaha mendekat Sang Mesias. Yesus, Juruselamat dunia, meluangkan waktu-waktu terakhir-Nya di dunia sebelum pergi ke surga dengan melayani murid-murid-Nya menikmati sarapan di tepi pantai.

Kita pun seringkali lupa bahwa dalam persahabatan dengan Yesus ada penghiburan dan sukacita. Yesus meminta kita agar selalu terhubung dengan-Nya, pokok anggur sejati, karena Dia tahu betapa mudahnya kita terjebak dalam kewajiban-kewajiban agamawi ketimbang dalam relasi (lihat Yohanes 15;1-17). Ketika kita menerima undangan-Nya untuk menjadi sahabat-Nya, kita dibebaskan! Kita dibebaskan dari ekspektasi bahwa kita harus senantiasa produktif melayani. Kita dibebaskan dari beban yang seharusnya kita tanggung sendirian. Kita juga dibebaskan dari perasaan malu atau tidak layak dalam melayani kerajaan-Nya.

Mengetahui kebenaran ini, hidupku disegarkan dan dibebaskan dari beban yang bahkan tak kusadari sedang kutanggung. Dalam sekejap, aku merasa 10 karung batu bata dilepaskan dari pundakku. Aku melihat firman-Nya lebih indah daripada sebelumnya. Aku tak lagi berfokus pada soal berapa lama durasi aku berdoa. Ibadahku menjadi respons syukur atas apa yang sudah Tuhan perbuat. Hal-hal yang dulu kulakukan seperti kewajiban kini kulakukan dengan perasaan akrab dalam persahabatan dengan-Nya. Aku beribadah bukan untuk memenuhi ritual belaka, tetapi mendapatkan kedamaian dari-Nya. Aku juga dapat merasakan kehadiran-Nya di mana-mana, tak peduli di mana aku berada atau bersama siapa. Hidupku bersama-Nya tak lagi terbatas pada tindakan yang aku cap sebagai rohani. Hadirat-Nya memenuhiku saat aku masak, makan, jalan ke kelas, bahkan saat aku menonton sekalipun. Aku sungguh merasa Yesus juga peduli pada kehidupan sehari-hariku yang biasa-biasa, tak cuma ketika aku melakukan disiplin rohani. Akhirnya aku terhubung kembali dengan Kawan lamaku yang terhilang, dan inilah yang aku butuhkan.

Teruntuk kamu yang berbeban berat, lelah, dan putus asa, temukanlah penghiburan di dalam-Nya hari ini. Lepaskan tarikan nafasmu dan ingatlah kebenaran ini:

Yesus ingin dekat denganmu. Dia menikmati waktu-waktu bersamamu. Dan, Dia tidak meminta 100 persen kesempurnaan darimu. Kamu dapat bersandar pada anugerah-Nya yang akan membebaskanmu dari beban.

Baca Juga:

Doa Minta Dikuatkan, Tapi Kok Semakin Banyak Masalah?

“Tuhan, kuatkan aku menghadapi pergumulan ini.” Pernahkah kamu berdoa seperti itu, tapi rasanya pergumulanmu malah tambah berat?

Kamu tidak sendiri. Teman kita, Paramytha juga pernah mengalaminya dan inilah sekelumit ceritanya yang ingin dia bagikan.

Perbedaan Apa yang Yesus Sanggup Lakukan dalam Hidupmu?

Oleh Paul Wong, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What Difference Does Jesus Make?

Malahan segala sesuatu kuanggap rugi, karena pengenalan akan Kristus Yesus, Tuhanku, lebih mulia dari pada semuanya. Oleh karena Dialah aku telah melepaskan semuanya itu dan menganggapnya sampah, supaya aku memperoleh Kristus, dan berada dalam Dia bukan dengan kebenaranku sendiri karena mentaati hukum Taurat, melainkan dengan kebenaran karena kepercayaan kepada Kristus, yaitu kebenaran yang Allah anugerahkan berdasarkan kepercayaan (Filipi 3:8-9).

Pria yang menulis kata-kata itu menulisnya di sebuah penjara yang dingin dan sepi sekitar tahun 60 masehi. Dia dibelenggu seorang tentara Romawi selama 24 jam penuh setiap harinya. Seiring dia menuliskan surat ini, reputasi dan nama baiknya sedang diruntuhkan oleh lawan-lawannya yang iri pada pengaruhnya terhadap gereja-gereja di Asia dan Makedonia. Dan, gereja-gereja yang telah dia bangun, termasuk jemaat Filipi yang menjadi penerima surat ini, sedang mengalami ancaman dari penganiayaan dan ajaran-ajaran sesat. Singkatnya, segala hal yang telah orang ini usahakan dan capai dalam hidupnya selama beberapa tahun terakhir sedang diserang dan menghadapi kemungkinan untuk dihancurkan.

Tahukah kamu siapa gerangan orang itu? Dia adalah Paulus. Alkitab mencatat kisah pertobatan Saulus yang kemudian berubah nama menjadi Paulus. Tapi, apakah dengan mengikut Yesus kisah hidup Paulus menjadi lebih baik? Dampak apa yang Paulus orang Tarsus rasakan melalui kepercayaannya pada Yesus? Mungkin pada satu sisi kita bisa berkata: Banyak, namun bukan dalam artian yang baik.

Ketika dalam suratnya Paulus menuliskan bahwa dia telah kehilangan segala sesuatunya, dia benar-benar merasakannya. Status, rasa aman—semua hilang.

Maka seharusnya pertanyaan besar kita adalah: Mengapa Paulus bisa menganggap bahwa “memperoleh Kristus” adalah hal yang lebih berharga dan mulia jika dibandingkan dengan kehilangan segala sesuatu secara harafiah? Mengapa dia menggambarkan kehidupan lamanya yang nyaman sebagai “sampah”, ketika dia sekarang tersiksa di penjara?

Pengampunan dan relasi

Ketika Yesus dilahirkan di Yudea, Dia datang dengan sebuah tujuan. Kejadian-kejadian yang terjadi pada kelahiran-Nya yang ajaib membuktikannya. Sebuah catatan saksi mata dari kehidupan-Nya mengatakan bahwa Dia dinamakan Yesus (yang berarti “Allah menyelamatkan”) “karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa” (Matius 1:21). Hal itu berarti tujuan-Nya di dunia adalah untuk menyelamatkan manusia dari hukuman yang pantas kita terima akibat penolakan kita terhadap Tuhan.

Aku ingin tahu pendapat kalian tentang hal itu. Mungkin kalian berpikir kalian sesungguhnya adalah orang yang baik—karena itu pemikiran tentang hukuman “dosa” adalah suatu hal yang konyol.

Namun, jujurlah pada diri kita sendiri: apakah kita benar-benar “orang baik”? Lagipula, siapa yang berhak menentukannya? Paulus mengatakan pada kita bahwa di mata semua orang dia adalah orang baik—tidak bercacat dalam pemahamannya tentang hukum Taurat (Filipi 3:4-6)—namun tetap sebuah kegagalan total di hadapan Allah yang kudus dan adil.

Ini alasannya: Allah tidak sekadar memandang “dosa” sebagai perbuatan buruk yang kamu dan aku lakukan setiap hari. Yang Allah artikan sebagai dosa adalah hal yang jauh lebih parah. Allah berkata bahwa kita hidup di dalam kegelapan, memberontak terhadap-Nya. Manusia sedang mendiami (bahkan menghancurkan) dunia-Nya, menggunakan benda-benda ciptaan-Nya dan menghirup udara-Nya, tanpa rasa hormat pada-Nya. Dan itu merupakan sebuah masalah karena jika Allah adalah kudus dan adil dan baik, dan jika kita menjalani hidup seakan-akan Dia tidak ada, maka sikap seperti itu pantas menerima penghakiman—tanya saja pada orang tua manapun.

Tetapi Allah, dalam kasih-Nya pada ciptaan-Nya dan kerinduan-Nya akan sebuah relasi dengan umat-Nya, berinisiatif memberikan obat penawarnya dengan mengutus Yesus. Dan caranya adalah dengan Yesus mati di kayu salib, menanggung segala hukuman tersebut sebagai ganti kita. Pengorbanan Yesus merupakan jaminan pengampunan bagi kita.

Meyakini pengorbanan itu berarti Allah sekarang memandang kita sebagaimana Allah memandang Yesus. Yang menakjubkan, Allah tidak lagi melihat dosa kita, melainkan kesempurnaan Anak-Nya. Dan hal yang paling krusial adalah, pertobatan (berbalik dari pemberontakan kita) dan iman (mempercayai Yesus) membawa kita pada relasi dengan Allah.

Inilah pemahaman yang mengubah segalanya.

Karena dia adalah seorang Kristen, Paulus dari Tarsus dapat yakin bahwa dia tidak perlu takut terhadap penghakiman Allah. Dia bisa saja mati dihukum sebagai seorang kriminal, namun sejatinya dia tahu bahwa dia telah didamaikan dengan Penciptanya.

Apa perbedaan dari hidup yang percaya pada Yesus? Ia menawarkan pengampunan atas penolakan kita terhadap Tuhan, dan sebuah relasi yang dimulai sejak sekarang dan akan bertahan selamanya. Dan itulah segala hal yang penting di dunia ini.

Jangka waktu yang berbeda

Meski begitu, bagi Paulus, semua itu tidak hanya sampai di sana.

Sebelum Yesus mati, Dia berjanji untuk datang kembali. Dan bagi mereka yang percaya pada-Nya, ada sebuah janji akan kehidupan yang kekal—namun bukan di dunia yang rusak ini, melainkan di sebuah tempat di mana kekecewaan dari hidup ini hanya akan menjadi sebuah kenangan. Sebuah surga yang sempurna, tanpa dosa, penderitaan, maupun rasa sakit.

Menjadi seorang Kristen tidak menjadikan hidupmu lebih baik sekarang juga. Justru dalam banyak hal menjadi seorang Kristen akan membuat hidupmu lebih sulit (tanyakan saja pada Paulus!). Tetapi dampak dari menjadi seorang Kristen adalah mengubah cara pandang kita terhadap kehidupan secara radikal. Menjadi seorang Kristen akan menggeser pemahaman kita tentang “hidup” dari 70-90 tahun di bumi menjadi hidup di kekekalan.

Yang terpenting dari apa yang Yesus janjikan adalah sebuah relasi dengan-Nya yang memuaskan jiwa karena relasi tersebut bukanlah sekadar relasi yang sementara, melainkan sebuah relasi dengan Allah penguasa semesta yang dimulai dari sekarang dan akan bertahan melampaui kematian kita. Itulah pemahaman yang mengubah segalanya.

Menjalani hidup sebagai seorang Kristen yang berkomitmen di dunia bukanlah hal yang mudah seperti berjalan-jalan di taman. Pertempuran terhadap dosa membawaku untuk berlutut dan berdoa.

Pekerjaanku sebagai youth pastor seringkali menyibukkan, dan terkadang juga membuat stres dan kecewa. Beberapa kerabatku yang bukan Kristen menganggap pekerjaanku sebagai sesuatu yang tidak berguna. Rasanya ada banyak tantangan dan kekecewaan di tiap hal yang kulakukan. Kadang aku membayangkan bagaimana hidupku akan lebih baik dan menyenangkan jika aku waktu itu tetap memilh menjadi seorang pengacara. Aku tahu suara dalam hatiku itu adalah keinginan manusiawiku.

Namun di tengah masa-masa yang membuatku goyah ini, aku diteguhkan di hadapan sebuah kebenaran yang mulia, yaitu bahwa aku telah diampuni, dan sedang berjalan menuju masa depan yang lebih baik, cerah dan kekal bersama Juruselamatku. Jika Alkitab benar, maka kesulitan akibat menjadi Kristen yang sesungguhnya jarang terjadi ini hanyalah sebuah kilat di dalam jangka waktu Allah (Roma 8:18).

Jadi, apa perbedaan dari hidup mempercayai Yesus bagi Paulus? Sederhananya kamu dapat bilang: Banyak, dan dalam makna yang paling positif. Ketika Paulus menulis bahwa pengenalan akan Kristus adalah jauh lebih mulia, dia benar-benar serius. Dia mendapatkan pengampunan dan relasi dengan Allah yang terjamin, dan sebuah sukacita abadi untuk dinantikan. Dan semua ini diperoleh dari keselamatan melalui kepercayaannya pada Kristus.

Apakah kamu mau mempertimbangkan untuk menaruh kepercayaanmu pada Yesus?

* * *

Tentang penulis:

Paul adalah seorang pastor kampus di Singapore Management University’s Christian Fellowship (SMUCF). Dalam waktu senggangnya dia menikmati fotografi, membaca sejarah yang terkenal, dan menghabiskan waktu dengan keluarganya.

Baca Juga:

Pengakuan Terjujur di Hidupku

Sahabat, aku pernah remuk oleh karena dosa yang kuperbuat. Berat bagiku untuk mengakui ini. Tapi, melalui tulisan ini, izinkanlah aku menuturkannya kepadamu.

Harapan di Tengah Dunia yang Penuh Teror

Oleh Aryanto Wijaya

Minggu, 13 Mei 2018. Tiga gereja di Surabaya mengalami serangan bom bunuh diri. Sebanyak 13 orang dilaporkan meninggal dunia dan 43 lainnya luka-luka.

Aku terkejut tatkala membuka ponsel dan menemukan pesan yang dikutip dari sebuah berita tersebut. Tak menyangka, juga tak terbayangkan olehku bagaimana hari Minggu pagi yang cerah berubah menjadi kelam. Orang-orang yang datang ke rumah Tuhan untuk memuji-Nya malah disambut dengan peristiwa pilu.

Serangan bom pagi itu menambah panjang daftar kekerasan, teror, dan duka di negeri kita. Sebelumnya, masih di tahun 2018, tragedi kekerasan terjadi di gereja St. Lidwina, di Sleman. Pelaku penyerangan melukai pastor dan jemaat dengan sebilah pedang. Lalu, di tahun 2017 serangan bom meledak di terminal bus Kampung Melayu di Jakarta, menewaskan setidaknya lima orang dan melukai 10 lainnya. Dua peristiwa ini hanyalah sekelumit dari riwayat kekerasan dan teror yang pernah terjadi.

Masihkah ada harapan di tengah dunia yang penuh teror? Mengetahui data dan fakta tersebut membuat pertanyaan ini kemudian muncul di benakku.

Tim Jackson, dalam bukunya yang berjudul When Tragedy Strikes, Finding Security in a Vulnerable World berkata bahwa tragedi menyerang kita hingga ke titik paling dalam saat kita tidak siap menghadapinya. Jika kita kembali pada Alkitab, sesungguhnya penderitaan dan aniaya bukanlah hal yang asing dalam kehidupan Kekristenan. Yesus sudah terlebih dahulu mengingatkan murid-murid-Nya akan bahaya yang akan mereka hadapi dan bagaimana seharusnya mereka meresponi bahaya tersebut.

“Semuanya itu Kukatakan kepadamu, supaya kamu beroleh damai sejahtera dalam Aku. Dalam dunia kamu menderita penganiayaan, tetapi kuatkanlah hatimu, Aku telah mengalahkan dunia” (Yohanes 16:33).

Aku tersentak. Pesan Yesus sungguh jelas. Yesus tidak mengatakan bahwa murid-murid-Nya, akan terbebas dari segala rupa penganiayaan sebab dunia ini memang telah jatuh dan rusak oleh dosa. Sepanjang sejarah Kekristenan bertumbuh, penganiayaan demi penganiayaan pernah terjadi dengan maksud untuk menggoyahkan iman orang-orang percaya. Namun, sejarah juga membuktikan bahwa ada orang-orang percaya yang imannya tidak goyah. Di mana ada penganiayaan, di situ ada rahmat berlimpah ruah.

Kitab Kisah Para Rasul memberikan kita gambaran bagaimana para rasul dan jemaat mula-mula menghadapi penganiayaan. Pada pasal ketujuh, diceritakan bahwa Stefanus mati dirajam batu karena imannya. Kematiannya bahkan disaksikan oleh Saulus, seorang yang sangat anti terhadap orang Kristen. Tapi, kisah itu tidak berhenti hanya di situ. Allah berkarya. Saulus yang tadinya menganiaya dan membunuhi orang-orang Kristen mendapatkan rahmat Allah dan berbalik menjadi murid Kristus, dari seorang pembunuh menjadi seorang yang diburu karena nama Kristus. Dan, melalui kegigihan para rasul dan jemaat mula-mula, Tuhan mengaruniakan mereka dengan lebih banyak orang-orang baru yang diselamatkan (Kisah Para Rasul 2:47).

Pesan yang Yesus berikan kepada murid-murid-Nya dalam Yohanes 16:33 adalah pesan yang juga Dia berikan kepada kita, murid-murid-Nya di masa sekarang. Inilah yang menjadi jawaban atas pertanyaan di pikiranku. Secara manusiawi keraguan yang timbul dalam pikiranku adalah respons yang wajar terhadap sesuatu yang memilukan. Namun, alih-alih takut dan meratap, kita bisa berharap sepenuhnya kepada Yesus, Pribadi yang tak pernah mengingkari janji.

Pasca peristiwa teror kemarin, kita dapat mengusir rasa takut dan menyalakan harapan dengan belajar untuk mempraktikkan teladan Yesus yang telah Dia ajarkan kepada kita: mengasihi dan mendoakan mereka yang telah menganiaya. Kita percaya bahwa Allah bekerja dalam cara-Nya yang tak terselami. Jika Saulus dapat Allah ubahkan menjadi Paulus, bukan tidak mungkin Allah sanggup melakukannya kembali di masa kini.

Peristiwa teror bukanlah alasan bagi kita untuk menjadi ciut hati, sebab harapan kita yang sejati terletak pada Kristus, yang telah menang dan berkuasa atas maut.

“Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia” (Filipi 1:29).

* * *

Teruntuk keluarga korban, kiranya Tuhan memberikan kekuatan dan penghiburan.

Teruntuk aparat-aparat penegak hukum, kiranya Tuhan menyertai kalian agar dapat mengambil keputusan yang bijak.

Teruntuk para pelaku, kiranya kalian beroleh kemurahan Tuhan untuk berbalik dari jalan yang jahat.

Dan, teruntuk rekan-rekan orang percaya, kiranya kita tidak gentar, tetap mengasihi sesama manusia, dan percaya kepada Tuhan.

Baca Juga:

Pertolongan Pertama Ketika Kita Jatuh dalam Dosa

Ketika dosa meninggalkan kita dalam perasaan tak berdaya dan hancur, apa yang seharusnya kita lakukan? Adakah pertolongan pertama untuk menyelamatkan diri saat kita terjatuh ke dalam jurang dosa?