Posts

Ketika kulihat hidupku penuh cela dan noda…

Benar adanya firman Tuhan ini: “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.” ( Yohanes 15:13).

Kasih-Nya pada kita adalah kasih yang besar dan tulus. Dia yang suci telah merelakan nyawanya untuk menghapuskan dosa-dosa kita.

Yuk, bersyukur selalu atas cinta kasih Yesus dengan tetap hidup di dalam-Nya 🤗

Artspace ini ditulis oleh @nonielina, dibuat oleh @meilimu, dan diterjemahkan juga dalam bahasa Inggris @ymi.today.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Arti Cukupmu = Cara Pandang Kepada Tuhan

Sebuah cerpen oleh Cristal Pagit Tarigan, NTT

“Del, kamu punya uang kecil gak, itu ojek onlineku sudah nunggu didepan, bapaknya gak punya uang kembalian…”

Terdengar suara dari luar kamar kosku yang bukan lain adalah suara Ningsi, sahabatku yang paling sosialita. Sambil membukakan pintu, aku menjawabnya, “Itu dompetku, di atas meja. Kamu cek aja, lihat yang tulisannya uang jajan,” lalu kembali fokus dengan laporan di laptopku.

Setelah membayarkan uang ojol-nya, dia masuk dengan mata dan wajahnya yang menatapku keheranan.

“Del, aku baru tau dompetmu sampai ada rincian penggunaan uangnya, udah kayak ibu-ibu yang mau mikirin kredit KPR aja deh. Heran, masih ada ya zaman sekarang orang sedetail itu. Sejak kapan?”

Aku hanya tersenyum kecil, menatap kembali laporan yang belum selesai. Tapi wajahnya yang masih menatapku dengan penuh keheranan itu, membuatku berhenti sejenak.

“Nit, memangnya hanya ibu-ibu saja yang mesti memikirkan pentingnya penggunaan uang? Kita juga kali. Aku masih baru memulai sih, tapi aku rasa itu work di aku. Pengeluaranku bulan lalu benar-benar terkendali, sampai aku bisa nabung lebih dari bulan biasanya,” jawabku.

Kulihat wajahnya mulai menyiratkan sesuatu, pasti kali ini dia mau curhat kalo sudah begitu.

“Aku kalau udah bahas soal keuangan, kamu tau lah, aku pasti akan berujung dengan penyesalan saja. Pengen banget sih aku berubah, tapi kok sulit banget ya rasanya…” Suaranya mulai mengecil.

Ningsi adalah sahabatku selama aku menjadi mahasiswa. Dia baik, loyal, enak diajak cerita,  setia dan juga stylish banget. Secara strata ekonomi dia berasal dari keluarga menengah. Selama kuliah, orang tuanya tidak pernah memberikan uang bulanannya lewat dari batas seharusnya. Tapi dulu dia sering mengeluh merasa itu kurang, dan rupanya setelah bekerja dan mendapat upah yang menurutku lumayan, dia masih juga mengeluhkan hal yang sama.

“Kan yang mahal sebenarnya bukan biaya hidup, bestie. Tapi gaya hidup” kataku sambil duduk di sebelahnya. “Belum ada yang terlambat kok, justru kalo kamu sadar dan masih merasa menyesal, artinya kamu masih aware sama kondisimu, apalagi dengan berbagi begini. Aku rasa kita bisa belajar sama-sama lagi menata keuangan kita, kan masih banyak mimpi yang belum kita raih, ya gak?” Sambil memperkatakan itu, aku sadar betul itu kuperkatakan kepada diriku sendiri juga.

Bercerita begini, memang sering kali membuat kami nangis bareng-bareng, rangkul-rangkulan. Benar saja, wajahnya mulai seperti ingin meneteskan air mata.

“Kenapa ya Del, aku susah banget buat belajar taat dan berkomitmen sama apa yang udah aku janjikan ke diriku sendiri? Setiap bulan, aku pengen banget menabung, tapi aku selalu kalap dengan discount di aplikasi orange itu, apalagi kalo udah ketemu sama temen-temenku di tongkrongan, aku sering lupa diri udah menghabiskan uangku untuk makan-makan, atau sekedar melihat mode baru apa yang mereka gunakan agar bisa aku ikuti.”

Sambil merangkulnya, kukatakan, “Kamu tau kan Ning, pergaulan buruk merusak kebiasaan baik. Kita gak salah kok nongkrong dan punya banyak teman, tapi perlu juga lho sesekali mengevaluasi diri kita sendiri, bagaimana kualitas pertumbuhan diri kita dalam circle itu. Atau mungkin begini, kita akan selalu merasa tidak puas, kalau kita sendiri belum menetapkan standar puas dan cukup untuk diri kita sendiri.”

Kali ini dia bertanya sangat serius. “Kamu sendiri, apa standar puasmu menghadapi dunia zaman sekarang ini?”

“Hmm, sebenarnya aku benar-benar masih belajar sih ya, aku juga bukan tidak pernah seperti kamu, tapi sekarang aku benar-benar mulai mem-push diriku untuk selalu mau mencukupkan diri dengan apa yang ada dan itu sangat erat kaitannya dengan bagaimana hubunganku sama Tuhan, caraku memandang Tuhanlah yang mempengaruhi cara berpikirku, termasuk soal uang dan rasa cukup,” jawabku.

Ya, dulu juga aku pernah di posisi Ningsi, tapi aku bersyukur aku cepat ditangkap Tuhan untuk sadar. Awalnya mulai untuk menaati firman yang aku dengar, itu susah sekali. Keinginan daging untuk selalu ingin tampil sama dengan dunia ini sangat menarik, sampai sampai perihal mengelola keuangan ketika masih muda itu kurang penting. Perasaan “YOLO”, You Only Live Once itu sangat mempengaruhiku. Tapi rupanya itu salah, dan kita hanya akan tahu itu salah ketika mulai belajar mendengar dan merenungkan firman Tuhan dengan taat. Karena saat mengetahui Firman, kita kembali ke landasan kebenaran. Arti cukup yang sesungguhnya itu bukan soal kepuasaan kita terpenuhi ketika memiliki materi atau fisik yang sesuai standar dunia. Identitas diri kita ditentukan hanya oleh Tuhan saja.

“Gimana kalau kita buat plan mengelola keuangan kita bareng-bareng aja?” balasku lagi kemudian.

Yap, sambil sharing- sharing kami mulai mau saling mengingatkan, dan beberapa yang kami mau kerjakan adalah:

1. Mulai buat rincian pengeluaran setiap bulan

2. Mengurangi belanja dan nongkrong yang berlebihan

3. Belajar konsisten menabung walau sedikit

4. Bergaya sesuai keadaan

5. SALING MENGINGATKAN SATU SAMA LAIN

“Del, kayaknya selain aku belajar taat, yang kelima tugas berat kamu deh,” katanya sambil tertawa, menunjukkan kelegaan yang juga aku rasakan setelah sharing kami hari ini.

“Aku sih yes, kamu juga ya ke aku, jangan pikir aku selalu bisa konsisten dan udah pasti gak jatuh di area ini…” Begitulah percakapan dua orang generasi Z yang sering jatuh ini.

Hari ini aku sendiri sadar, Tuhan tidak pernah kehilangan cara mengingatkan kita melalui siapa saja. Sadar juga punya teman yang bisa diajak mau belajar itu penting. Jadi penting banget mengevaluasi circle pertemanan kita, dan yang paling utama HUBUNGAN DENGAN TUHAN YANG MEMBUAT KITA MENGERTI ARTI CUKUP YANG SEBENARNYA.

IBRANI 13:5: “Janganlah kamu menjadi hamba uang dan cukupkanlah dirimu dengan apa yang ada padamu. Karena Allah telah berfirman : “Aku sekali-kali tidak akan membiarkan engkau dan Aku sekali-kali tidak akan meninggalkan engkau.”

Julid vs Peduli (?)

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

“Oke, latihan hari ini kita selesaikan di sini ya!” seru kak Ary, pelatih koor kami.

Hampir semua dari kami berseru kegirangan, jarang-jarang jadwal latihan koor kami singkat begini. Biasanya malam Sabtu kami benar-benar kami habiskan di gereja, belum lagi kalau kedapatan jadwal jadi pemandu lagu di ibadah Minggunya. 

Jadi tentu saja kami senang, walau sedikit bertanya-tanya juga.

“Tumben banget ya, bisa selesai jam segini.” Keyla berjalan mendekat ke arahku, melirik jam dinding yang tergantung di atas pintu gereja. Belum tepat pukul 8.

Aku mengedikkan bahu, “Iya ya, padahal Kak Ary si paling ketat soal jadwal latihan, hujan badai latihan tetap jalan.” Kami berjalan menuju pintu keluar.

“Hei, langsung pulang?” seseorang tiba-tiba menghampiri kami. “Makan es krim dulu yuk di depan.” Lanjutnya, lalu menyeret kami ke gerai es krim yang malam itu cukup sepi.

“Eh, pada tahu nggak, kenapa hari ini kita latihannya cuma sebentar?” tanya Eva ketika kami duduk menunggu pesanan. Dia memang selalu si paling tahu soal isu-isu yang berkembang. Aku dan Keyla hanya mengangkat bahu.

“Itu karena kak Ary harus buru-buru pulang, soalnya di rumahnya lagi ada keluarga dari calon istrinya.” Katanya memulai.

“Ooh, pernikahannya 2 minggu lagi kan ya!” sahutku.

“Iya, tapi kayaknya ada masalah deh,” kata Eva dengan yakin. Aku dan Keyla sontak menoleh.

Eva mengangguk lagi dengan yakin.

“Aku dengar-dengar, kayaknya orangtuanya kak Ary itu nggak setuju. Soalnya belakangan baru tahu kalo calon istrinya itu pernah punya masa lalu yang nggak baik gitu. Makanya keluarganya bertemu lagi untuk membicarakan soal ini.”

“Masa sih gitu, kayaknya orangtuanya kak Ary bukan tipe yang gitu deh.” Kata Keyla menanggapi, aku mengangguk menyetujui. 

“Lha kita manatahu. Orangtua kalo menyangkut anak bisa berubah kali, demi kebaikan anak sendiri.” Pesanan kami datang, tapi Eva tampak lebih bersemangat melanjutkan ceritanya daripada menikmati es krim kacang merah di hadapannya.

“Aku bukan julid nih ya, tapi aku juga kurang setuju sih sama calon istrinya kak Ary itu. Ingat nggak waktu pertama kali kak Ary kenalin dia di ibadah bulan lalu, cuek banget, nggak mau berbaur. Padahal kita udah ajakin foto juga. Tapi dia tetap aja cuma duduk di sebelah Kak Ary.” 

“Namanya juga masih baru kenal, ya wajarlah kalo dia masih segan. Justru aneh kali kalo baru pertama ketemu udah heboh foto-foto sama kita,” jawabku menanggapi.

“Ah kamu aja yang terlalu berpikir positif, Rib. Aku udah paham nih ya, kalo cewek kayak gitu nanti pasti posesif banget sama suaminya, entah nanti setelah menikah kak Ary nggak akan jadi pelatih kita lagi. Sekali lagi, aku bukan mau julid, aku ngomongin fakta,” lanjut Eva masih dengan berapi-api.

“Kamu ini udah kayak netizen di kolom komentar akun gosip tau nggak, Va!” kata Keyla sambil tertawa kecil. “Atau peramal. Nggak kenal, tapi bisa tau gimana orangnya hanya dengan sekali melihat.” Aku ikut tertawa kecil.

Eva menghembuskan napas keras. Lalu beberapa detik kemudian melanjutkan.

“Aku itu cuma peduli aja sama kak Ary, aku udah anggap dia kayak kakak aku banget, aku nggak mau kak Ary menikahi orang yang salah! Aku nggak mau kak Ary menikah dengan orang yang akan membuat dia jauh dari pelayanannya saat ini, jauh dari kita,” katanya dengan nada yang bercampur antara kesal, sedih, kecewa dan.. cemburu? Entahlah.

Aku dan Keyla bertatapan, saling mengerti. Kami memang cukup dekat dengan kak Ary, dia pelatih koor kami sejak lima tahun lalu, saat kami masih di awal masa kuliah. Aku akui banyak yang kagum dengan sosok kak Ary yang bukan hanya pelatih yang kompeten, tapi juga seorang yang peduli, pendengar yang baik, juga solutif. Yahh… Walaupun dia sangat strict soal jadwal latihan. Aku yakin di antara anggota koor, banyak yang menyukainya, sebagai laki-laki.

Dia tidak pernah terlihat dekat dengan wanita manapun, sehingga kami cukup shock ketika di suatu waktu latihan dia bilang akan menikah. Dan di ibadah minggu itu, kak Ary membawa calonnya itu dan mengenalkannya pada kami. Mungkin saja memang ada sedikit rasa kecewa di antara kami, karena kak Ary—yang sudah kami anggap seperti kakak sendiri itu—akan menikah dengan seseorang yang kami tidak kenal. Tapi, secara pribadi aku tidak terlalu mempermasalahkannya sih. Mungkin itu yang dialami Eva.

Jadi aku mendekat, memegang bahu Eva dan berusaha memahaminya.

“Va, tapi itu bukan peduli namanya. Itu sudah mengarah ke membicarakan sesuatu yang buruk tentang orang lain, yang bahkan kita tidak kenal dan tidak tahu kebenarannya. Bahkan sekalipun itu benar, kayaknya nggak tepat deh kalo kita menjadikannya sebagai bahan omongan,” kataku berusaha dengan suara selembut yang aku bisa. 

Eva terdiam sejenak, muncul kerutan kecil di keningnya.

“Lha, aku nggak ada maksud kayak gitu. Aku beneran cuma menunjukkan rasa peduli aja. Masa aku nggak boleh peduli sama kakak sendiri!” jawabnya defensif, sedikit tersinggung juga tampaknya.

“Iya, kita ngerti kok kalo kamu peduli. Tapi kayaknya ada cara lain yang lebih baik deh, Va, tanpa berpikiran negatif begitu,” tanggapku lembut.

“Aku bukan berpikiran negatif, aku hanya mengutarakan sesuai dengan apa yang aku lihat sendiri. Apa yang aku rasakan,” katanya lagi, tampak belum menerima sikapku dan Keyla.

“Va, tapi Ribka benar. Kayaknya itu bukan kepedulian kalau justru menimbulkan buruk sangka. Apalagi kita hanya berasumsi. Lagian kalo kita memang se-peduli itu sama kak Ary, justru kita akan doakan yang terbaik untuk pilihan yang ia sudah buat kan, bukannya membangun prasangka yang tidak baik tentang mereka. Walaupun mungkin saja memang ada perasaan kehilangan sosok kakak di hati kita.” Keyla ikut menambahkan.

Eva terdiam lagi. Tampak merenung. Semoga dia memang merenungi apa yang aku dan Keyla sampaikan, tanpa berpikir kalau kami sedang menyudutkannya.

Kami bertiga terdiam beberapa saat, aku dan Keyla menunggu responnya. Lalu kemudian Eva tersenyum, senyum mengerti. “Iya ya, itu bukan peduli ya namanya. Padahal aku memang benar-benar mempedulikannya.” 

Respons Eva di luar dugaan kami, tetapi kami percaya Roh Kudus ikut berperan melembutkan hatinya untuk bisa mencerna masukan kami tanpa berprasangka kalau kami sedang melawannya. 

Kali ini giliran Keyla yang menepuk pundaknya pelan, “Iya Va, kita paham kok perasaan kamu. Kadang-kadang perasaan tertentu memang bisa membuat kita memikirkan hal yang tidak seharusnya kita pikirkan, bersikap yang tidak seharusnya, pun mengatakan yang tidak seharusnya dikatakan.”

Eva tersenyum lagi, kali ini tampaknya ia benar sudah menyadari dan memahaminya.

“Ternyata aku sudah salah memahami situasi ini ya. Padahal aktif melayani, rajin ikut persekutuan, tapi malah bisa punya pemikiran seperti itu. Julid sama kakak sendiri,” katanya pelan. Aku kembali mengusap bahunya lembut. 

“Udah udah… Kita belajar lagi supaya lebih bijak dalam berpikir dan berkata-kata ya, kan!” kata Keyla sambil tersenyum. Eva Kembali tersenyum.

“Sekarang habisin tuh es krim kamu yang udah jadi bubur kacang merah.” Kami pun tertawa menyadarinya.

“Janganlah ada perkataan kotor keluar dari mulutmu, tetapi pakailah perkataan yang baik untuk membangun, di mana perlu, supaya mereka yang mendengarnya, beroleh kasih karunia.” (Efesus 4:29).

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Membuka “Tabir” Bernama Gosip demi Bersamamu

Sebuah cerpen oleh Tabita Davinia Utomo

Cerpen ini merupakan sekuel dari kisah “Sebuah Pelajaran dari Galon Air”.
Kamu bisa membaca kisahnya di sini.

“Dan terjadi lagi…”

Cukilan lirik dari lagu band Peterpan itu sudah cukup menggambarkan kisah cintaku yang kandas bahkan sebelum dimulai. Bagaimana tidak? Baru saja aku membulatkan tekad untuk membuka hatiku pada seseorang, yang bersangkutan justru digosipkan sudah punya orang lain yang tertambat di hatinya.

“Masa’, sih, Alex udah ada pacar!?” tanya Deanna tak percaya.

“Sumpah, aku lihat sendiri dia lagi ngobrol sama cewek di telepon!” Jennifer mengeraskan suaranya sambil mengangkat kedua jarinya membentuk huruf “V”.

“Ah, paling-paling itu adiknya, kalii,” sanggah Deanna.

Jennifer malah menggeleng. “Dia enggak punya saudara perempuan, De. Siapa lagi coba, cewek yang bisa diajak ngobrol dengan nada lembut kalau bukan ibu, saudara perempuan, atau pacarnya sendiri? Aih, kecewa lah aku ini…”

“Duh, diam-diam menghanyutkan, ya, ternyata… Sekali ada kabar, malah bikin heboh,” Deanna mendesah. “Apa dia jadian sama sesama anak asrama, ya? Gimana, nih, Bi? Kamu suka sama dia, kan?”

“Eh?” aku gelagapan untuk memilih kata, tetapi kemudian menjawab, “Enggak lah. Ya kali suka sama sahabat sendiri…”

Padahal dalam hati, aku mencoba mati-matian untuk menekan kekecewaanku. Aku kira, bersahabat dengan Alex akan menolong kami punya satu batu pijakan untuk relasi yang lebih serius. Plus, pengalaman dan nilai hidup kami juga sebanding: Sama-sama merantau pertama kali, punya pengalaman 11:12 dengan keluarga, nilai kehidupan yang sejalan, ngobrol juga nyambung. Kukira, itu cukup untuk mengenal Alex dan melihatnya sebagai salah satu orang yang potensial menjadi (calon) pasanganku, sekaligus berharap dia juga punya pikiran yang sama.

Ternyata ekspektasiku terlalu tinggi, dan aku kecewa berat.

“Yang bener? Mukamu kek kecewa gitu abisnya,” kata Jennifer sambil mengerutkan dahi.

“Sumpah, aku enggak suka dia, Jen.” Aku tersenyum masam, berharap momen menyakitkan ini cepat berlalu agar bisa membenamkan diri di kasur.

“Yah, ya sudahlah. Semoga dia pun jadian sama orang yang bener, ya.” Jennifer menghembuskan napas dengan keras. “Soalnya aku temen dari zaman SMA-nya, jadi tahu gimana pergumulannya buat cari jodoh.”

“Wah, apa kamu berharap kamu yang jadian sama Alex, ya?” goda Deanna.

“Ishh. Ya kalii… Aku udah punya pacar, jangan ditambah-tambah. Hahahaha…” Tawa Jennifer pun sedikit menular padaku, meskipun aku belum bisa menghilangkan kegelisahanku sepenuhnya.

***

Kata orang, cinta butuh perasaan dan logika. Namun, bagaimana kalau cinta justru jadi terbutakan oleh perasaan, hingga mau berpikir pun tak berdaya?

“Hahhh…” aku mendesah keras di lab komputer, lalu mengerucutkan bibir. “Kenapa, sih, mau jadian sama orang yang disukai ada aja dramanya? Udah move on, siap buka hati, eh malah luput. Maunya Tuhan apa, sih?” keluhku seorang diri. Oh, ya. Aku batal ke kamarku karena ada renovasi di sana.

“Eh, Bianca!”

Jantungku hampir lepas saat melihat Alex sedang nyengir di sampingku. Sambil setengah membungkukkan badannya, dia bertanya, “Boleh ngobrol sebentar, enggak?”

“Uhmm…” Aku menggigit bibir sesaat, tetapi segera tersenyum untuk menutupi kegelisahanku.

“Boleh. Satu menitnya lima ribu, ya. Hehehe…” jawabku.

“Yeeee… pejuang cuan emang, ya. Eh, di luar aja, deh, biar enggak ganggu yang lagi kerjain tugas,” ajak Alex di sela-sela tawanya.

Kami menuju ruang makan dan duduk berhadapan di salah satu meja yang ada di dekat taman kampus. Duh, badanku langsung panas-dingin karena ini pertama kalinya kami bisa ngobrol seperti ini setelah sekian lama. Hatiku senang, sekaligus bingung. Kalau Alex sudah punya pacar, kenapa dia masih mengajakku mengobrol, sih? Atau ini karena dia ingin minta pendapat dariku sebagai wanita? Hehe. Sok ide, dah.

“Bi, kamu enggak apa-apa, kan?” tanya Alex dengan suara cemas.

Jawab kalau kamu kenapa-napa, Bi! Enak kali dia bisa nanya gitu setelah Jennifer bikin kamu hampir pingsan!

Iya, perasaanku jahat kalau aku sudah overthinking, tetapi untunglah otakku masih bisa berpikir sedikit lebih logis. “Aman, amann… Kenapa, nih?” balasku sambil tersenyum paksa.

“Aku mau konsultasi soal cewek, nih.”

DUAR!

“Oh… jadi udah jadian sama siapa, Lex?”

Detik berikutnya, aku langsung menutup mulut, sementara Alex mengerutkan dahi lalu terdiam cukup lama. Duh, mulutku kenapa, sih!? batinku heran sekaligus kesal pada diri sendiri karena sudah mengiyakan ajakan Alex untuk mengobrol.

“Gosip dari mana kalau aku jadian?” akhirnya Alex kembali bersuara, tetapi nadanya terdengar kesal. “Aku enggak ngerti… Orang-orang di sini kenapa, sih, kalau ada sedikit gosip langsung cepat menyebar? Kayak enggak ada kerjaan lain aja.”

“Sorry…” kataku pelan.

Mendengarku meminta maaf, Alex tersentak. “Eh, aku yang minta maaf karena bikin kamu kaget, Bi. Jujur, aku kesal sama gosip yang bilang kalau aku udah punya pacar. Gimana mau pacaran, kalau nembak aja belum?”

“HAH?” Aku terperangah tak percaya.

“Makanya aku konsultasi dulu sama kamu, Bi. Kamu, kan, anak psikologi. Bisa, dong, tolongin aku biar enggak salah pilih… Apalagi… tahu lah, ya, aku kadang-kadang suka minder.”

“Oh… aku tolongin sebisaku aja, ya,” balasku, sementara mempersiapkan hati untuk mendengar nama orang yang berhasil memikat hati Alex.

“Thank you, Bi.” Alex tersenyum, lalu bertanya, “Menurutmu, apa, ya, yang bikin cewek sulit buat jujur sama perasaannya sendiri?”

“Waduh, langsung ke inti permasalahan, ya, Lex? Hahahahaha…”

“Iya, karena kalau dari cerita temen-temenku, cowok, tuh, enggak berani maju kalau ceweknya enggak kasih sinyal kalau juga suka sama dia. Nah, aku mau tahu dari sisi cewek, nih.”

“Hmmm… ini dari pengalamanku aja kali, ya, Lex,” kataku, dan disetujui Alex melalui anggukannya. Yah, kalau bukan dari pengalaman sendiri, mau cerita dari mana lagi? Hehe…

“Dulu kalau aku suka sama cowok, dianya enggak suka balik. Udah berkali-kali abisnya kayak gitu, jadi malas kalau polanya keulang lagi. Kayak buang-buang waktu aja mikirin cowok yang perasaannya enggak berbalas sama aku. Tapi kalau ada cowok yang suka sama aku, akunya yang enggak suka karena bukan tipeku. Sedih banget, ya, jadi orang. Hahahaha…” aku bercerita sambil menertawakan “penderitaan” diri sendiri.

“Ah, iya… Itu menyakitkan, sih,” Alex menanggapi ceritaku. “Kalau boleh tahu, akhir-akhir ini kamu udah coba mulai buka hati lagikah?”

“Udah, tapi kayaknya kunci buat ke hatiku udah beku.” Aku nyengir.

“Kenapa gitu?”

“Yah, malas aja kalau kejadiannya sama lagi kayak sebelum-sebelumnya. Apalagi kalau udah jadian lalu ternyata ceritanya enggak seindah ekspektasiku. Aih, malas.”

“Hmmm… Oh, ya. Emang tipemu yang kayak gimana, sih, Bi?”

Yang kayak kamu, batinku, tetapi mulutku berkata, “Yang cinta Tuhan, seiman, cinta aku…”

Di luar dugaan, Alex tertawa. “Iyaa, itu mah udah harus, ya. Tapi maksudku kriteria spesifiknya. Ada enggak, nih?” tanyanya lagi.

“Hmmm… kalau aku bilang “satu frekuensi sama aku”, nanti kamu bilang itu juga harus.” Aku tersenyum masam, lalu melanjutkan, “Jadi… dia harus adalah orang—yang kalau aku sama dia—yang bisa merasa nyaman dan aman dalam relasi kami. Ngobrol juga nyambung. Bukan berarti harus saling nyambung kalau bahas tentang filsafat atau apa aja yang biasa bikin overthinking, tapi bisa aja hal-hal yang receh kayak video meme dan kegiatan sehari-hari. Kalau ada pergumulan di tempat kerja nanti, aku dan dia bisa saling bercerita tanpa takut dihakimi.”

I see… Lalu, kamu ada preferensi khusus enggak buat latar belakang pendidikan dan suku? Atau preferensi keluargamu?”

“Minimal dia lulus sarjana, sih, dan paham sama apa yang dia pelajari. Asal sukunya—kalau bisa—yang sama kayak aku. Tahu sendiri, kan, keluargaku cukup tegas soal itu.”

“Oke, paham.” Alex mengangguk.

Aku mengerutkan dahi. “Emangnya kenapa, Lex? Kamu mau bantuin aku cari cowoknyakah? Hahahaha…”

“Yahh… Cuma memastikan aja, sih, Bi.”

“Memastikan apanya?”

“Siapa tahu yang di depanmu ini bisa “fit in” sama kriteriamu.”

“HAH!?”

Kali ini aku benar-benar kehilangan kata-kata. Ini Alex mau nembak aku atau cuma main-main aja!? Tapi karena tidak berani berharap banyak, aku memilih diam dan mendengarkan penjelasan Alex.

“Ehm, aku mau berelasi lebih serius denganmu. Tapi…” Suara Alex mulai terdengar grogi.

Kemudian, dia melanjutkan, “Bi, aku tadi enggak sengaja lihat kamu lagi ngobrol sama Jennifer dan Deanna. Aku kesal waktu tahu ada gosip yang bilang kalau aku udah pacaran karena telepon dari adik sepupuku itu…”

“Beneran adik sepupu?” selidikku curiga.

Alex mengangguk. “Dia telepon aku karena orang tuanya bertengkar dan dia butuh teman cerita yang bisa dipercaya. Akhirnya dia meneleponku. Ternyata itu yang dilihat beberapa orang di sini, dan mereka mengira aku sudah punya pacar karena—eh, jangan ketawa, ya—nada bicaraku yang lebih lembut daripada biasanya. Kamu tahulah, aku kalau ngomong kadang-kadang suka ceplas-ceplos.”

“Oh…” Tanpa sadar, aku menghela napas lega.

“Sejujurnya, Bi…” Tiba-tiba Alex kembali berbicara, “aku kaget waktu kamu bersumpah kayak tadi, padahal kalau dari gelagatmu, aku bisa lihat kalau kamu ada perasaan sama sepertiku. Ah, tapi mungkin aku salah karena banyak berharap. Hehe…”

Lagi-lagi aku terdiam. Berarti Alex melihatku menyangkali perasaan di depan Jennifer dan Deanna. Duh, apakah setelah ini Alex membatalkan perasaannya terhadapku? Kok, konyol.

“Aku bingung,” akhirnya aku membalas, “tapi aku juga butuh waktu buat mikirin ini kalau kamu memang benar-benar suka padaku.”

“Aku mengerti.” Alex tersenyum. “Dengan ceritamu tadi, aku bisa maklum kalau kamu butuh waktu memikirkan ini, Bi. Terima kasih udah mau jujur, ya…”

“Maaf, ya, kalau tadi aku kelepasan bersumpah konyol tanpa aku sadari,” kataku.

“Enggak masalah.” Dia tertawa kecil. “Malu, ya, kalau ketahuan suka sama sahabat sendiri yang dikira udah punya pacar?”

“Iyaaaa. Apalagi kalau jadi canggung.” Aku mengangguk. “Terima kasih, ya, Lex, karena kamu juga udah klarifikasi gosip tadi. Kayaknya PR banget kalau di sini semuanya tahunya kamu udah punya pacar dari tempat lain, lalu ada yang lihat kamu ngobrol sama aku.”

“Wah, iya. Gosipnya berlipat ganda itu.” Alex menggaruk-garuk kepalanya dengan salah tingkah. “Tapi tolong jangan sangkali perasaanmu sendiri, ya, Bi. Apa pun itu yang jadi keputusanmu, tetaplah selaraskan hati dan pikiranmu. Kalau iya, katakan iya. Kalau enggak, katakan enggak. Apa yang lebih dari itu…”

“… asalnya dari si jahat,” sambungku.

“Berarti sumpah konyol gitu juga dari si jahat, dong?” Alex nyengir.

Kami tertawa karena sama-sama teringat Matius 5:37. Namun, di dalam tawa, aku bersyukur karena mungkin ini akan jadi pembuka cerita yang baru untuk kami. Sebuah cerita yang di dalamnya kami akan belajar bersama untuk jujur pada perasaan sendiri di hadapan satu sama lain, dan berani mengakuinya walaupun risikonya tidak mudah untuk ditanggung.

Eh, yah, semoga demikian. Kiranya Tuhan, Sang “Ya dan Amin”, memampukan kami.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

4 Mitos yang Kita Percayai dalam Relasi Sehari-hari

Berelasi dengan sesama pastilah ada jatuh-bangunnya, alias gak selalu mulus-mulus. Baik itu relasi dengan keluarga, sahabat, rekan kerja, atau lainnya. Namun, apapun relasi yang kita jalani, jadikanlah Tuhan Yesus sebagai pondasi utama kita dalam berelasi dengan sesama dan mintalah hikmat dari-Nya.

Artspace ini diterjemahkan dari YMI @ymi_today

3 Fakta Indah tentang Imperfect Relationships

Kita tahu tak ada satupun relasi yang sempurna. Tapi, melalui ketidaksempurnaan itu, kita belajar tentang kasih dan bagaimana kita harus memelihara relasi itu.

Seperti Tuhan yang selalu mengasihi dan memelihara kita bagaimanapun diri kita, maukah kita juga mengasihi dan memelihara relasi dengan orang lain—siapapun itu?

Sobat Muda, yuk kasihi sesama seperti kasih Tuhan 🤗❤

Artspace ini ditulis oleh Raphael Zhang dan diterjemahkan dari @ymi_today.

4 Cara Sederhana Membagikan Injil di Zaman Now

Oleh Madeline Kalu
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Am I Responsible For My Friend Salvation?

Rasanya baru kemarin aku memulai hidup baru bersama Tuhan Yesus.

Perubahan hidup itu terjadi tepatnya 10 tahun lalu, pada suatu malam yang dingin di bulan Januari. Temanku yang bernama Hannah memimpinku berdoa dan mengakui dosa. Kami melakukan itu di dalam mobil yang kami parkir di luar supermarket. Dalam pernyataan imanku, aku menerima Tuhan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatku.

Perubahan hidupku pun terjadi dengan cepat. Aku merasa hidupku bersih dan enteng, seolah-olah semua kesalahan dan keputusan burukku di masa lalu terhapus. Yang lebih penting, aku merasa dicintai dan diterima apa adanya terlepas kegagalan dan kekurangan. Cinta ini kuyakin hanya bisa datang dari Tuhan saja.

Bulan demi bulan pun berlalu. Aku menjalani hidup yang baru bersama Tuhan dengan rasa syukur dan hati membara untuk semakin mengenal Juruselamatku. Hannah tetap membimbingku. Dia mengajarkanku tentang Amanat Agung dari Matius 28:19-20.

Pikiranku langsung tertuju pada teman-teman dekatku yang tidak mengenal Yesus. Aku sadar bahwa pergumulan dan kepedihan yang mereka alami seringkali diakibatkan dari pencarian mereka akan tujuan hidup, akan sebuah identitas. Aku merasa terbeban kepada mereka.

Aku ingin menolong mereka agar mereka mengenal kebebasan, kedamaian, dan kasih dari Bapa seperti yang juga kualami. Aku juga khawatir akan kehidupan kekal mereka jika mereka tidak mengenal Tuhan. Oleh karena itu, aku memutuskan untuk “membantu” teman-temanku mengenal keselamatan, yang rupanya malah menyebabkan situasi canggung antara aku dan mereka.

Ini kisahnya. Kami pergi ke suatu kota di malam Minggu. Beberapa temanku ingin mengunjungi kawasan “red district” atau kita kenal dengan istilah lokalisasi. Di sana para turis bisa melihat para pekerja seks komersial yang ‘dipajang’ di balik pintu kaca yang diberi lampu berwarna merah. Aku sulit menerima usulan mereka, sementara teman-temanku yang lain berpikir tidak ada yang salah dengan sekadar berjalan-jalan ke sana. Bagiku, menjadi PSK bukanlah dambaan bagi para wanita di sana. Aku bersimpati pada perjuangan mereka.

Aku bilang pada teman-temanku bahwa Tuhan menghendaki tubuh kita kudus dan berkenan bagi-Nya (Roma 12:1). Sebagai orang Kristen, aku tidak mau mengejar hal-hal duniawi, sehingga seharusnya orang lain pun begitu. Teman-temanku menyanggahku. Mereka bilang bahwa bukan bagianku untuk mendikte mereka tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, dan yang terutama, apa yang mereka harus percayai.

Aku ingin teman-temanku mengenal kasih Yesus, tetapi pengalaman canggung itu kemudian mengajariku bahwa keselamatan masing-masing individu bukanlah tanggung jawabku. Setiap orang bertanggung jawab atas keselamatan mereka sendiri. Tuhan ingin setiap orang dengan sukarela berelasi dengan-Nya, dan bukan bagianku untuk memaksa seseorang percaya sesuai dengan metodeku. Namun, aku tetap punya kewajiban untuk membagikan Injil. Sejak kejadian canggung itu, aku telah belajar untuk melayani teman-temanku dengan cara yang berbeda dengan harapan itu akan menolong mereka melihat terang Kristus.

Dari pengalamanku, izinkan aku membagikan 4 cara untuk menjangkau teman-teman kita yang belum percaya.

1. Biarlah iman kita bersinar melalui kehidupan kita

Aku bisa menjadi juru bicara yang baik untuk Kristus ketika teman-temanku melihat bagaimana aku hidup sebagai orang Kristen. Aku suka firman dari Matius 5:16, “Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu yang di sorga.”

Satu perubahan besar yang terjadi setelah aku mengikut Yesus adalah aku tidak lagi menggunakan kata-kata sumpahan atau umpatan. Teman-temanku tidak hanya memperhatikan perubahan ini, tetapi mereka juga benar-benar minta maaf jika mereka mengumpat di hadapanku.

Daripada berbicara hal negatif, sekarang aku mencoba untuk menggunakan kata-kata yang dapat membangun orang sekitarku (1 Tesalonika 5:11). Aku coba menunjukkan kasih Tuhan pada teman-temanku dengan menjadi seorang yang sabar, baik hati, dan berempati, seperti yang Yesus lakukan pada kita.

2. Tetaplah bagikan kesaksian kita

Tuhan terus bekerja dalam hidup kita, dan kita bisa membagikannya dengan teman-teman kita. Ketika suamiku dan aku bergumul dalam masalah finansial, Tuhan datang dan menyediakan kami sejumlah uang yang diberikan oleh teman, ada uang yang masuk di rekening kami dari orang yang tidak kami kenal, bahkan beasiswa untuk suamiku. Teman-temanku tidak hanya menyaksikan bagaimana Tuhan telah mengubah hidupku, tetapi mereka juga lebih banyak tentang Tuhan melalui apa yang terjadi dalam hidupku.

Aku memperhatikan bahwa teman-temanku lebih menerima mendengar tentang Tuhan ketika mereka dapat melihat pekerjaan nyata melalui peran-Nya sebagai Tuhan yang hidup dan Bapa yang pengasih. Beberapa temanku bahkan mulai menghubungkan hal-hal baik dalam hidup mereka karena berkat Tuhan, bukan karena hasil kerja keras, keberuntungan, atau nasib mereka.

3. Kita bisa menciptakan ruang yang aman dan saling menghargai

Aku dan teman-temanku telah menciptakan ruang yang aman dalam hubungan kami, di mana kami saling menghargai satu sama lain, dan setiap orang bebas untuk menjadi diri sendiri. Kami menerima kelemahan satu sama lain, juga memaafkan kesalahan yang dilakukan.

Aku memang berbicara tentang Tuhan dengan teman-temanku, tapi sekarang aku lebih bijaksana dan menimbang setiap situasi dengan hati-hati sebelum membagikan pendapatku, daripada membombardir mereka dengan ayat-ayat Alkitab.

Karena ruang aman yang sudah tercipta itu, teman-temanku merasa nyaman untuk mendekatiku ketika mereka memiliki pertanyaan tentang Tuhan, karena mereka tahu aku tidak akan menghakimi dan menghujat mereka.

4. Tetaplah berdoa untuk keselamatan teman-temanmu

Pernahkah kamu menonton film War Room? Wanita tua dalam film itu memiliki lemari khusus—yang dia sebut sebagai “ruang perang”—yang disediakannya untuk doa teratur, doa penuh semangat, dan doa khusus untuk mendoakan orang-orang sekitarnya.

Aku banyak berdoa untuk keselamatan teman-temanku. Aku telah menulis daftar nama orang-orang yang kuharap suatu hari nanti akan memiliki hubungan yang sesungguhnya dengan Tuhan, dan menggantung daftar nama ini di ruanganku–”war room” milikku sendiri.

***

Teman-temanku mungkin suatu hari akan memilih Kristus, atau mungkin tidak. Namun, aku akan terus berteman dengan mereka dan mengasihi mereka dengan kasih yang telah Tuhan tunjukkan padaku.

Karena itu, aku tidak akan putus asa bahwa, suatu hari, teman-temanku akan menerima Yesus untuk masuk dalam hati mereka. Sampai hari itu datang, aku akan terus beriman, percaya atas kasih Tuhan, dan berdoa.

Hati-hati dengan Hal-hal yang Merusak Pertemanan

Teman itu bukan sekadar status. Bersama mereka, kita berbagi berbagai hal dan rasa. Kita butuh teman untuk curhat, makan bareng, bikin project, juga berbagi suka dan duka.

Namun, tak semua pertemanan berjalan mulus dan langgeng. Ada hal-hal yang jika tidak kita sadari dan atasi akan berpotensi merusak pertemanan kita.

Bagaimana relasimu dengan teman-temanmu? Hal-hal apa saja yang menurutmu penting dilakukan untuk menjadikan pertemananmu sehat dan bertumbuh?

Artspace ini dibuat oleh @clara_draws18 dan diterjemahkan dari @ymi_today

Dilema Circle Pertemanan: Antara yang Menyenangkan dan yang Membangun

Oleh Desy Dina Vianney, Medan

“Hei!” Elva berteriak pelan sambil menepuk kedua tangannya di depan wajahku. Aku yang sedang terkantuk-kantuk langsung terkejut setengah mati.

“Udah ngantuk aja, neng, pagi-pagi gini! Tadi datang hampir telat pula.”

Aku hanya menguap menanggapinya, kemudian kembali berusaha konsentrasi dengan layar laptopku.

Elva geleng-geleng lalu berjalan melewati meja kerjaku. Beberapa saat kemudian dia kembali membawa dua gelas kopi dan meletakkan salah satunya di sebelah laptopku. Ia pun duduk di bangkunya. Tidak perlu waktu lama, aku langsung meraih gelas kopi itu.

“Aku cuma tidur dua jam tadi,” kataku dengan nada malas.

“Kok bisa? Emang semalam ngapain?”

“Ngerjain deadline.”

“Emang weekend ngapain? Kenapa baru kerjain tadi malam?”

Aku menghela napas. Enggan memberitahu, karena aku sudah tahu apa respons Elva nanti, namun akhirnya kujawab juga pertanyaannya.

“Sabtu kemarin aku staycation sama teman-teman. Baru pulang tadi malam.” Kujawab dengan nada yang kuusahakan santai.

“Sama circle-mu itu? Bukannya minggu lalu juga habis glamping bareng mereka?”

Aku tidak mengangguk atau menggeleng karena Elva pasti sudah tahu jelas jawabannya. Ya, aku memang pergi dengan mereka minggu lalu, dan minggu lalunya lagi. Namun aku memilih diam, enggan menjawab pertanyaannya.

“Bukannya kamu bilang ada jadwal pelayanan hari Minggu?” Elva menembakku pertanyaan lagi.

“Aku minta tolong tukeran sama yang lain.”

Elva diam mengamatiku yang menjawab pertanyaannya dengan santai. Sebenarnya, aku hanya berusaha untuk terlihat tidak terlalu merasa bersalah, sih. Namun, jawabanku itu malah membuat Elva tak berhenti menatapku. Lama-lama tak tahan juga aku dengan tatapannya.

Akhirnya kuhadapkan tubuhku ke depannya. “Ya gimana.. Kamu tahu aku segan banget buat nolak.” Elva masih dalam mode diamnya mengamatiku. “Mereka selalu pesan tempat duluan untuk aku, jadi nggak mungkin kan aku nggak ikutan?”

“Nad, seriously! Kamu benar-benar merasa tepat ada di circle itu?” Lagi-lagi pertanyaan itu yang keluar dari Elva. Pertanyaan yang entah sudah berapa kali kudengar darinya. Huft..

“Udahlah, Va. Kita udah berulang kali membahas hal ini.”

Absolutely! Kita udah berulang kali membahas hal ini, tapi kamu tidak pernah menjawab pertanyaanku itu kan?”

Aku hanya diam. Entah harus menjawab apa.

“Nad, aku memang bukan orang yang punya hak untuk melarangmu bergaul dengan siapa atau melakukan apapun.” Sekarang Elva sudah terlihat lebih tenang. Dia mulai menasihatiku dengan nada lembut. “Tapi, sebagai orang yang bertemu kamu setiap hari selama 5 tahun ini, dan yang menganggapmu sebagai sahabat, aku cuma pengen kamu pikirin ulang circle pertemananmu itu. Tanpa sama sekali bermaksud negatif, aku melihat sendiri apa saja hal yang selama ini sudah kamu abaikan dan kamu kesampingkan untuk menghabiskan waktu bersama mereka. Kita berdua tahu ini bukan soal pergi staycation atau pergi healing setiap Minggu atau bahkan setiap hari… Tapi Nad, kalau circle pertemananmu seperti itu dan malah membuatmu mengabaikan hal-hal penting lainnya, bahkan perasaanmu sendiri, bukankah seharusnya kita perlu memikirkan ulang tentang hal itu?”

Aku tercenung mencerna ucapan Elva. Samar-samar, kudengar seseorang memanggil Elva. Sebelum ia beranjak, ia menyempatkan diri berkata, “Aku tahu hal ini sudah sangat sering aku katakan, tapi tolong kamu pikirkan ulang ya..” Lalu Elva menyentuk bahuku dengan pelan dan memberi ucapan terakhir yang semakin menjadi perenunganku. “Apakah circle pertemananmu itu membuatmu merasa menjadi pribadi yang lebih baik, atau sebaliknya?”

Setelah kepergiannya, aku menghembuskan napas kasar. Pandanganku masih lurus ke layar laptop, tapi pikiranku bekerja keras. Ucapan Elva benar-benar membuatku tak bisa berkutik.

Sejujurnya, walau aku sering mengingkari ucapan Elva, aku tahu ucapannya benar. Elva berkali-kali memintaku untuk memikirkan ulang gaya pertemanan dalam circle itu, tapi aku selalu berusaha mencari pembenaran atau pembelaan karena aku suka berada di antara mereka. Menghabiskan waktu bersama mereka terasa menyenangkan, seolah hanya ada tawa dan kesenangan saat bersama mereka. Kami melakukan banyak hal seru, bahkan sampai sering menghabiskan uang dalam jumlah banyak. Ya, kami tidak memikirkan apa-apa, seolah-olah kami hidup hanya untuk hari ini.

Namun tidak kupungkiri, bersama mereka rasanya aku tidak melangkah kemana-mana. Aku sudah menyadari hal ini sejak beberapa waktu lalu, tapi rasanya sulit untuk keluar. Aku seperti terjebak dalam hubungan pertemanan kami yang terasa menyenangkan.

Kami saling menerima satu sama lain, namun kami tidak saling mendorong untuk maju. Kami saling mengabaikan kesalahan masing-masing, sehingga tidak berusaha memperbaiki kesalahan atau mengubah kebiasaan buruk kami. Kami juga jarang membicarakan masalah yang sedang dialami, sehingga kami tidak belajar untuk mencari jalan keluar.

Intinya, kami hanya fokus pada pertemuan dan obrolan yang menyenangkan, dan berusaha menjaga keutuhan kelompok ini dengan menghindari kemungkinan adanya konflik. Padahal aku tahu, konflik dalam hubungan pertemanan merupakan salah satu aspek yang dapat membangun satu dengan lainnya. Namun selama ini, aku dan circle pertemananku itu tidak pernah menyelesaikan konflik, justru cenderung menghindarinya. Dan aku sadar, selama 6 tahun berteman dengan mereka, ternyata kami tidak melangkah kemana-mana.

Sekali lagi aku menghela napas kasar. Kali ini sambil kupijat keningku.

“Keras amat helaan napasnya, kayak mau dipaksa nikah buat lunasin hutang aja.” Elva meledekku sambil terkekeh. Sejak kapan dia kembali ke mejanya?

Aku pura-pura melotot, namun hal itu membuat Elva semakin tertawa. Lalu kupasang wajah serius dan kutatap matanya, seolah dari sana aku bisa mendapatkan kepercayaan diri untuk mengambil keputusan yang sekarang ada di benakku.

“Va, kamu bantu aku ya…” Aku memulai dengan penuh harap. Elva mulai memfokuskan dirinya padaku dengan serius. “Aku rasa ucapanmu benar. Aku tidak merasa menjadi lebih baik dalam circle pertemananku itu, justru aku merasa apa yang sudah baik dalam diriku menjadi kendor… Aku mau coba untuk menjaga batas pertemanan dengan mereka. Aku mau belajar lebih tegas terhadap diriku sendiri. Kamu mau kan bantu dan ingetin aku?”

Setelah beberapa detik hanya menatapku, Elva tersenyum. “Tentu, Nadya. Tentu. Pelan-pelan aja.. Toh kamu bukan menghilang dan memutuskan hubungan dengan mereka, kan.. Kamu tetap berteman, hanya saja kali ini kamu akan belajar tegas dalam hubungan itu.” Lalu Elva menepuk bahuku dengan lembut. “Aku bangga sama keputusanmu. Apa yang pengen kamu lakuin itu pasti nggak akan mudah, Nad. Tapi, aku akan mendukungmu.”

Aku tersenyum tulus. Sungguh bersyukur memiliki Elva sebagai teman yang peduli akan kebaikanku dan berani menegurku dengan kasih. Dan sekarang aku sadar, betapa besarnya pengaruh seorang teman dalam menentukan akan melangkah kemana aku nanti.

“Siapa bergaul dengan orang bijak menjadi bijak, tetapi siapa berteman dengan orang bebal menjadi malang” (Amsal 13:20).