Posts

Sudah Matikah Iman Kita?

Hari ke-14 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Sudah Matikah Iman Kita?

Baca: Yakobus 2:14-17

2:14 Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?

2:15 Jika seorang saudara atau saudari tidak mempunyai pakaian dan kekurangan makanan sehari-hari,

2:16 dan seorang dari antara kamu berkata: “Selamat jalan, kenakanlah kain panas dan makanlah sampai kenyang!”, tetapi ia tidak memberikan kepadanya apa yang perlu bagi tubuhnya, apakah gunanya itu?

2:17 Demikian juga halnya dengan iman: Jika iman itu tidak disertai perbuatan, maka iman itu pada hakekatnya adalah mati.

Sudah Matikah Iman Kita?

Beberapa tahun yang lalu, aku membaca sebuah cerita di media sosial tentang seorang pendeta yang menyamar sebagai seorang tunawisma pada kunjungan pertamanya ke gereja yang akan ia pimpin. Dikisahkan bahwa hanya tiga orang dari 10.000 jemaat yang hadir menyapanya. Tidak ada yang menggubrisnya saat ia minta sedikit uang untuk membeli makanan. Saat ia hendak duduk di bangku barisan depan, para petugas penyambut tamu segera menyuruhnya pindah ke belakang.

Tibalah waktunya para majelis hendak memperkenalkan sang pendeta baru itu. Jemaat bertepuk tangan dan saling melihat kiri kanan, mereka sangat bersemangat ingin melihat pendeta baru mereka. Sang “tunawisma” pun maju ke depan dan memperkenalkan siapa ia sebenarnya. Ia mengambil pengeras suara lalu membacakan Matius 25:34-45. Dalam bagian itu, Yesus mengakhiri perumpamaan-Nya tentang domba dan kambing dengan berkata, “sesungguhnya segala sesuatu yang tidak kamu lakukan untuk salah seorang dari yang paling hina ini, kamu tidak melakukannya juga untuk Aku.”

Kisah itu kemudian dikabarkan sebagai kisah rekaan semata, tetapi prinsip-prinsip yang bisa dipelajari dari kisah tersebut masih relevan hingga sekarang: iman yang sejati harus disertai dengan belas kasihan dan tindakan nyata.

Bisa jadi sebagian kisah tersebut diinspirasi oleh bacaan Alkitab kita hari ini. Dalam suratnya, setelah membahas isu memandang muka di dalam gereja, rasul Yakobus bertanya, “Apakah gunanya, saudara-saudaraku, jika seseorang mengatakan, bahwa ia mempunyai iman, padahal ia tidak mempunyai perbuatan? Dapatkah iman itu menyelamatkan dia?” (ayat 14).

Di sini kita melihat Yakobus menarik hubungan yang tidak terpisahkan antara iman dan perbuatan. Ia menggambarkan skenario yang menggelikan tentang seseorang yang berkata kepada saudaranya yang kekurangan makanan dan tidak punya pakaian, “Selamat jalan, pakailah baju hangat dan makanlah sampai kenyang ya!” Namun, orang itu tidak berbuat apa-apa untuk membantu saudaranya memiliki baju hangat dan makanan yang cukup. Gambaran ini memperjelas prinsip yang hendak diajarkan Yakobus: iman, tanpa tindakan nyata itu mati (ayat 17). Mati—tidak bernyawa, tidak efektif, tidak berguna.

Dalam zaman media sosial sekarang, kita bisa melihat prinsip utama yang diajarkan Yakobus ini begitu nyata dalam berbagai situasi. Misalnya, kita mungkin mengetik #berdoauntukSuriah, tetapi mengabaikan keluarga pengungsi miskin yang baru saja pindah di dekat tempat tinggal kita. Mungkin saja kita mengetik #diberkati di bawah foto diri atau makanan yang kita santap, tetapi pada saat yang sama gagal meneruskan berkat itu kepada orang-orang yang membutuhkan. Mungkin pula kita membagikan video inspirasional yang mengisahkan pergumulan gereja yang dianiaya, tetapi kita sendiri tidak memberikan bantuan sama sekali kepada saudara-saudari seiman kita yang sedang dianiaya itu.

Aku percaya tantangan yang diberikan Yakobus kepada kita untuk hidup sebagai para murid Kristus yang sejati adalah tantangan untuk memastikan bahwa iman yang kita miliki di dalam pesan Injil melimpah keluar dalam perbuatan-perbuatan yang baik. Kita melakukannya bukan untuk mendapatkan perkenan Tuhan, melainkan karena kita begitu bersyukur atas pengorbanan Yesus dan terkagum-kagum atas kasih-Nya yang tak bersyarat kepada kita, sehingga kita tidak bisa tidak menyatakan keyakinan kita itu dalam tindakan-tindakan yang positif di tengah komunitas masyarakat tempat kita berada. —Caleb Young, Australia

Handlettering oleh Novia Jonatan

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Bagaimana kita dapat memahami bacaan hari ini dalam terang bagian Alkitab lainnya seperti Efesus 2:8-9 yang mengatakan bahwa kita dibenarkan hanya oleh iman?

2. Bagaimana bacaan hari ini menolong kita untuk memahami dengan lebih baik iman sejati di dalam Yesus?

3. Adakah ketidakselarasan yang bisa terdeteksi antara iman dan perbuatan dalam hidup kita?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Caleb Young, Australia | Caleb adalah seorang pecinta film, makanan, dan juga hiburan. Caleb lahir di Selandia Baru, dibesarkan di Kepulauan fiji, dan sekarang tinggal di Australia. Dia punya tiga buah paspor! Caleb suka bercerita, dia menuangkan ceritanya dalam bentuk video yang berkisah tentang pekerjaan Tuhan dalam kehidupan seseorang, ataupun menuliskannya dalam sebuah artikel. Terlebih dari segalanya, Caleb adalah seorang dewasa muda yang berjuang untuk menjadi serupa dengan Kristus, dan amat bersyukur memiliki Juruselamat yang begitu mengasihinya meskipun dia memiliki banyak kelemahan.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Menerima dan Menunjukkan Belas Kasih

Hari ke-13 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Menerima dan Menunjukkan Belas Kasih

Baca: Yakobus 2:12-13

2:12 Berkatalah dan berlakulah seperti orang-orang yang akan dihakimi oleh hukum yang memerdekakan orang.

2:13 Sebab penghakiman yang tak berbelas kasihan akan berlaku atas orang yang tidak berbelas kasihan. Tetapi belas kasihan akan menang atas penghakiman.

Menerima dan Menunjukkan Belas Kasih

Aku suka membaca dan menulis.

Karena kata-kata sangat mempengaruhiku, aku tahu betapa kuat pengaruh kata-kata untuk menyembuhkan atau menyakiti. Sebab itu, aku biasanya sangat tidak suka kepada orang-orang yang sembarangan bicara dan menyakiti orang lain dengan kata-kata mereka.

Hal ini berubah saat Tuhan membawaku menyadari bahwa keterampilan berbahasa adalah kekuatan yang dikaruniakan Tuhan kepadaku. Tidak semua orang dikaruniai keterampilan yang sama. Pada saat bersamaan, Tuhan menunjukkan bahwa ada bidang-bidang kelemahan dalam hidupku yang merupakan kekuatan dalam hidup orang lain.

Kemampuan tepat waktu, misalnya, adalah masalah bagiku. Tuhan menunjukkan bahwa sama seperti aku berharap orang lain memahami situasiku saat aku datang terlambat, demikian juga aku perlu menunjukkan anugerah yang sama kepada orang lain yang bergumul dalam hal bahasa.

Kita semua punya kecenderungan untuk menghakimi orang lain, bukan hanya pada saat mereka lemah. Tetapi juga pada saat mereka tidak berhasil menjalankan perintah Tuhan. Perlakuan kita bertambah buruk ketika kita juga menilai orang berdasarkan status sosial mereka (Yakobus 2:8-11). Namun, Yakobus mengajar kita untuk “berkata-kata dan berlaku” dengan penuh belas kasihan kepada orang lain (ayat 12), karena kita semua “akan dihakimi oleh hukum” (ayat 12)—hukum Kristus yang memerdekakan orang dari dosa melalui Injil (disebut juga dalam Yakobus 1:25).

Meski sebagai orang percaya kita tahu bahwa tidak ada lagi penghukuman bagi kita karena apa yang telah dilakukan Yesus untuk kita (Roma 8:1-2), tidak berarti bahwa kita akan luput dari hari penghakiman. Dengan kata lain, suatu hari kelak kita semua tetap akan diminta mempertanggungjawabkan perbuatan dan perkataan kita di hadapan Tuhan (2 Korintus 5:10).

Bila kita berharap Tuhan akan berbelas kasihan dalam penghakiman-Nya, sudah seharusnya kita juga memperlakukan sesama kita dengan penuh belas kasihan, “Karena dengan penghakiman yang kamu pakai untuk menghakimi, kamu akan dihakimi dan ukuran yang kamu pakai untuk mengukur, akan diukurkan kepadamu” (Matius 7:2).

Yesus mengajarkan, “Berbahagialah orang yang mengasihani orang lain, Allah akan mengasihani mereka juga!” (Matius 5:7 BIS). Dalam perumpamaan tentang seorang hamba yang tidak bersedia mengampuni (Matius 18:21-35), Yesus memperingatkan kita bahwa bila kita tidak mau berbelas kasihan kepada sesama kita, Tuhan juga akan memperlakukan kita demikian. Yakobus mengulangi peringatan ini di ayat 13.

Yakobus selanjutnya mengatakan bahwa “belas kasihan akan menang atas penghakiman” (ayat 13) karena belas kasihan itu menyukakan hati Tuhan (Mikha 7:18). Allah Bapa kita begitu kaya dengan rahmat atau belas kasihan (Efesus 2:4); kita sedang melakukan apa yang menjadi kerinduan hati-Nya saat kita menunjukkan belas kasihan kepada orang lain dengan bijak dan dengan sukacita (Roma 12:8).

Kita adalah anak-anak dari Sang Bapa ketika kita senang melakukan hal-hal yang disenangi-Nya, memperlakukan orang lain dengan cara yang sama seperti cara-Nya memperlakukan mereka. —Raphael Zhang, Singapura

Handlettering oleh Priska Sitepu

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Dalam area apa kamu cenderung paling keras dalam menghakimi orang lain? Apa yang dapat menolongmu untuk bisa lebih berbelas kasihan kepada orang lain di area tersebut?

2. Apakah kamu melihat hukum Kristus sebagai hukum yang memerdekakanmu? Apa yang dapat menolongmu untuk bertumbuh makin menyukai hukum-hukum Tuhan, sebagaimana yang dikehendaki Tuhan untuk kamu dalam kasih-Nya?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Raphael Zhang, Singapura | Raphael suka membaca dan menulis, dan dua aktivitas ini dia gunakan sebagai sarana untuk terhubung dengan firman Tuhan. Sejak Raphael dipulihkan oleh Tuhan dari kehancurannya, Raphael bersemangat untuk menolong orang lain agar dapat dipulihkan juga oleh Tuhan yang begitu mengasihi manusia. Raphael juga tergila-gila pada keju, tetapi cinta terbesarnya tetaplah Yesus.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Pilihan Kasih yang Berbahaya

Hari ke-12 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Pilihan Kasih yang Berbahaya

Baca: Yakobus 2:8-11

2:8 Akan tetapi, jikalau kamu menjalankan hukum utama yang tertulis dalam Kitab Suci: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”, kamu berbuat baik.

2:9 Tetapi, jikalau kamu memandang muka, kamu berbuat dosa, dan oleh hukum itu menjadi nyata, bahwa kamu melakukan pelanggaran.

2:10 Sebab barangsiapa menuruti seluruh hukum itu, tetapi mengabaikan satu bagian dari padanya, ia bersalah terhadap seluruhnya.

2:11 Sebab Ia yang mengatakan: “Jangan berzinah”, Ia mengatakan juga: “Jangan membunuh”. Jadi jika kamu tidak berzinah tetapi membunuh, maka kamu menjadi pelanggar hukum juga.

Pilihan Kasih yang Berbahaya

Tumbuh sebagai anak tengah, aku selalu merasa orang tuaku pilih kasih, mereka lebih sayang kepada kakak dan adik laki-lakiku. Aku tidak sebaik mereka dalam pelajaran dan dalam olahraga renang. Aku merasa sangat cemburu setiap kali orang tuaku memuji prestasi mereka dan memperbolehkan mereka memilih lebih dahulu makanan dan hadiah. Aku juga merasa diperlakukan tidak adil karena paling sering dimarahi dan paling jarang dimaafkan saat kami bertiga sama-sama melakukan kesalahan.

Meskipun mungkin aku telah salah menilai orangtuaku saat aku masih kecil, persepsi bahwa aku telah diperlakukan dengan tidak adil itu berdampak negatif terhadap kesehatan emosiku—rasa percaya diriku berkurang, aku sering merasa diri lebih rendah dibanding saudara-saudaraku dan tidak dicintai. Baru setelah mengenal Kristus sebagai seorang pemuda, perlahan aku mulai kembali percaya diri. Kebenaran Alkitab mengubah cara pandangku. Aku tahu bahwa Tuhan mencintaiku tanpa syarat.

Harus diakui, aku sendiri juga pernah bersikap pilih kasih. Di sekolah dan di tempat kerja, aku pernah memperlakukan teman-teman tertentu dengan lebih baik karena aku menyukai kepribadian mereka lebih dibandingkan teman lainnya. Pada saat itu, aku tidak memikirkan dampak tindakanku. Saat kita menjadi orang yang lebih dikasihi atau orang yang bersikap pilih kasih, kemungkinan besar kita merasa tidak ada yang salah dengan hal itu.

Namun, Yakobus mengingatkan kita bahwa sikap pilih kasih atau memandang muka itu bertentangan dengan hukum kerajaan Allah yang diajarkan Yesus untuk mengasihi sesama seperti diri kita sendiri. Ia bahkan menyebut sikap itu sebagai dosa, sama seperti membunuh atau berzinah yang merupakan pelanggaran terhadap seluruh hukum Allah (ayat 10).

Saat merenungkan kembali pengalaman-pengalamanku di masa lalu, aku menyadari bahwa sikap memandang muka itu berakar pada kurangnya kasih kita kepada sesama. Bukankah kurangnya kasih itu pada dasarnya merupakan akar dari segala macam dosa? Galatia 5:14 memberitahu kita, “Sebab seluruh hukum Taurat tercakup dalam satu firman ini, yaitu: ‘Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri!’”

Ketika memandang muka, kita tidak mempertimbangkan perasaan dari orang yang bersangkutan dan bagaimana dampak dari sikap kita itu kepadanya. Bukannya mengasihi, kita justru menyakiti mereka.

Selain merendahkan harga dirinya dan meninggalkan bekas luka di hatinya, sikap yang demikian itu juga menyangkali identitasnya sebagai anak yang sangat dikasihi Tuhan, serta membentuk karakter dan perilakunya secara negatif.

Dalam Alkitab, kita membaca kisah tentang sikap pilih kasih yang menimbulkan kemarahan dan pada akhirnya hasil yang tidak diharapkan. Sikap pilih kasih Sarah terhadap Ishak dan perlakuan buruknya terhadap Hagar dan puteranya, Ismael, mengakibatkan perpecahan dalam keluarga Abraham. Perlakuan Ishak yang membeda-bedakan kedua anaknya, Esau dan Yakub, membuat keduanya terpisah. Sikap pilih kasih Yakub terhadap Yusuf membuat kakak-kakak Yusuf marah dan menjual Yusuf sebagai budak.

Apakah kita juga memandang remeh dosa memandang muka atau pilih kasih ini? Apakah saat melakukannya, kita berpura-pura buta terhadap dosa tersembunyi ini, tidak menyadari konsekuensinya yang sangat merusak?

Mari memeriksa diri kita dan datang kepada Tuhan dengan segala kerendahan hati. Mari minta Dia menolong kita untuk memahami hukum-hukumnya dan untuk mengenali dosa yang tak kentara ini dalam kehidupan pribadi kita, supaya kita dapat menjalani hidup dengan iman yang autentik dengan kasih Kristus yang tulus bagi sesama kita. —Melvin Ho, Singapura

Handlettering oleh Tora Tobing

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Di rumah, tempat kerja, gereja, atau lingkar sosial lainnya, apakah aku pernah menunjukkan sikap memandang muka dan memandang remeh dampak menyedihkan dari dosa ini?

2. Bagaimana aku bisa mengasihi orang yang lebih miskin dan bahkan musuh-musuhku—memberi mereka perlakuan yang sama tanpa memandang muka?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Melvin Ho, Singapura | Meskipun bukan penulis ataupun pembaca yang rajin, Melvin suka menjelajahi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang tentang iman Kristen dan Alkitab, dan berusaha yang terbaik untuk menjawabnya. Namun, dia menyadari bahwa terkadang dia banyak berpikir hanya untuk kebaikan dirinya sendiri, dan dia perlu meluangkan waktu lebih banyak untuk mempraktikkan firman Tuhan. Di antara banyak target yang ingin dicapainya, dia sedang belajar untuk hidup saleh, merasa cukup, mengasihi orang lain tanpa pilih kasih, dan menempatkan kebutuhan mereka di atas kebutuhannya sendiri. Di waktu luangnya, Melvin suka berlari dan menonton film-film inspiratif. Dia juga berharap suatu hari nanti dia bisa melayani Tuhan sebagai seorang misionaris.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Berpihak pada Kaum Berduit?

Hari ke-11 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Berpihak pada Kaum Berduit?

Baca: Yakobus 2:5-7

2:5 Dengarkanlah, hai saudara-saudara yang kukasihi! Bukankah Allah memilih orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia ini untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan yang telah dijanjikan-Nya kepada barangsiapa yang mengasihi Dia?

2:6 Tetapi kamu telah menghinakan orang-orang miskin. Bukankah justru orang-orang kaya yang menindas kamu dan yang menyeret kamu ke pengadilan?

2:7 Bukankah mereka yang menghujat Nama yang mulia, yang oleh-Nya kamu menjadi milik Allah?

Berpihak pada Kaum Berduit?

Dalam industri keuangan tempatku bekerja, impian kebanyakan orang adalah menjadi kaya-raya. Sebab itu, para klien yang lebih kaya pasti mendapatkan layanan prioritas. Mereka dianggap memiliki lebih banyak aset untuk diinvestasikan dan dapat mendatangkan lebih banyak pemasukan bagi perusahaan. Melayani kaum berduit adalah strategi bisnis yang sangat baik. Sebaliknya, melayani para klien yang asetnya pas-pasan dan mungkin memiliki banyak kebutuhan tetapi tidak dapat mendatangkan banyak untung bagi kita, dianggap hanya akan memboroskan waktu.

Dalam dunia sekuler, uang menjadi faktor yang menentukan sikap seseorang.

Ini adalah masalah yang penting untuk dipikirkan, terlebih bagi kita sebagai orang percaya, karena kita harus menerapkan prinsip firman Tuhan tidak hanya dalam urusan bisnis, tetapi juga dalam kehidupan kita sehari-hari. Berapa banyak di antara kita yang cenderung memperlakukan orang kaya dengan lebih baik karena status ekonomi mereka? Mengapa kita berbuat demikian? Mungkinkah kita mengandalkan kekayaan dunia ini lebih daripada Tuhan? Matius 6:21 berkata, “Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.”

Memperhatikan fenomena ini di antara jemaat mula-mula, Yakobus menyampaikan dua alasan mengapa mengutamakan orang kaya sebenarnya adalah tindakan yang tidak rasional. Pertama, Tuhan secara khusus peduli dengan orang-orang yang dianggap miskin oleh dunia untuk menjadi kaya dalam iman dan menjadi ahli waris Kerajaan-Nya (ayat 5). Mengutamakan orang yang lebih kaya adalah tindakan yang salah karena itu bertentangan dengan sikap Tuhan. Kedua, Yakobus menunjukkan kepada para pembaca suratnya bagaimana orang-orang kaya itu justru adalah pihak yang menindas mereka (ayat 6)—menindas gereja, menyeret umat percaya ke pengadilan, dan menghujat Yesus.

Hari ini, tidak banyak yang berubah.

Salah satu faktor penyebab masalah kemiskinan yang kita lihat di sekitar kita adalah keserakahan kaum berduit yang mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya bagi diri sendiri. Yang banyak menyeret orang lain ke pengadilan kemungkinan besar adalah mereka yang punya kekuasaan dan banyak harta, karena merekalah yang sanggup membayar tinggi para pengacara. Di beberapa negara berkembang, kaum yang kaya dan berkuasa secara terbuka melecehkan gereja dan Kristus.

Mengapa kita kemudian lebih menghormati mereka yang dengan sengaja menempatkan diri melawan Tuhan?

Bagian Alkitab ini tidak mengatakan bahwa semua orang kaya itu jahat dan kita harus memperlakukan mereka dengan buruk. Menurutku, Yakobus di sini sedang mengajarkan bahwa memandang rendah sesama umat percaya yang miskin dan menghormati orang tidak percaya yang kaya raya, merupakan tindakan yang tidak konsisten dan bodoh.

Saat kita mulai mendapati diri kita lebih berpihak kepada kaum yang kaya, kita perlu dengan jujur bertanya kepada diri kita sendiri: Mengapa aku bersikap lebih baik kepada orang yang kaya? Bukankah orang-orang miskin yang menderita karena penindasan kaum berduit juga pantas mendapatkan perlakuan yang sama? —Melvin Ho, Singapura

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Apakah kamu cenderung berpihak pada kaum berduit dengan mengorbankan kepentingan saudara-saudara seimanmu di dalam Kristus?

2. Bagaimana bagian Alkitab yang saya baca hari ini mengubah cara pandang saya terhadap orang-orang yang miskin dan yang kaya?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Melvin Ho, Singapura | Meskipun bukan penulis ataupun pembaca yang rajin, Melvin suka menjelajahi pertanyaan-pertanyaan yang diajukan orang tentang iman Kristen dan Alkitab, dan berusaha yang terbaik untuk menjawabnya. Namun, dia menyadari bahwa terkadang dia banyak berpikir hanya untuk kebaikan dirinya sendiri, dan dia perlu meluangkan waktu lebih banyak untuk mempraktikkan firman Tuhan. Di antara banyak target yang ingin dicapainya, dia sedang belajar untuk hidup saleh, merasa cukup, mengasihi orang lain tanpa pilih kasih, dan menempatkan kebutuhan mereka di atas kebutuhannya sendiri. Di waktu luangnya, Melvin suka berlari dan menonton film-film inspiratif. Dia juga berharap suatu hari nanti dia bisa melayani Tuhan sebagai seorang misionaris.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Apakah Kita Memandang Muka?

Hari ke-10 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Berbahagia dalam Pencobaan

Baca: Yakobus 2:1-4

2:1 Saudara-saudaraku, sebagai orang yang beriman kepada Yesus Kristus, Tuhan kita yang mulia, janganlah iman itu kamu amalkan dengan memandang muka.

2:2 Sebab, jika ada seorang masuk ke dalam kumpulanmu dengan memakai cincin emas dan pakaian indah dan datang juga seorang miskin ke situ dengan memakai pakaian buruk,

2:3 dan kamu menghormati orang yang berpakaian indah itu dan berkata kepadanya: “Silakan tuan duduk di tempat yang baik ini!”, sedang kepada orang yang miskin itu kamu berkata: “Berdirilah di sana!” atau: “Duduklah di lantai ini dekat tumpuan kakiku!”,

2:4 bukankah kamu telah membuat pembedaan di dalam hatimu dan bertindak sebagai hakim dengan pikiran yang jahat?

Apakah Kita Memandang Muka?

Meskipun sekitar 2.000 tahun sudah berlalu sejak Yakobus menulis surat ini kepada sesama umat percaya dari bangsa Yahudi, kebenaran pesannya masih relevan bagi kita yang hidup pada zaman ini. Kita kerap menilai orang lain dari tampilan luar dan memandang muka atau pilih-pilih dalam bergaul lebih dari yang kita sadari.

Bekerja paruh waktu di sebuah toko roti Prancis, aku berjumpa dengan berbagai macam pelanggan—mereka berbeda-beda dalam penampilan fisik, cara berperilaku, pekerjaan, status sosial, latar belakang keluarga, nilai-nilai, dan banyak hal lainnya. Tidak ada dua orang yang persis sama. Kalau aku mulai membedakan perlakuanku terhadap pelanggan yang fasih berbahasa Prancis dan pelanggan lain yang kesulitan menyebutkan nama-nama roti Prancis yang ada, aku sedang melakukan apa yang ditentang keras oleh Yakobus: memandang muka.

Dalam istilah yang lebih umum, memandang muka berarti memberi perhatian atau kehormatan kepada seseorang dengan mengorbankan orang lainnya. Memandang muka mengandung elemen diskriminasi, asumsi, dan bias. Mungkin kita akan terkejut menyadari betapa interaksi kita sehari-hari banyak dibentuk oleh bias dan asumsi yang tersembunyi di dalam diri kita—kebanyakan karena kita dibesarkan dalam budaya tertentu, dididik dengan cara tertentu, dan tumbuh di tengah lingkungan tertentu.

Disadari atau tidak, kita memiliki standar kita sendiri untuk menilai apakah seseorang pantas untuk mendapatkan kasih, perhatian, dan kekaguman kita, lebih daripada orang lainnya. Bukannya berpegang pada standar kasih Tuhan yang sempurna, kita memakai kriteria kita sendiri yang penuh dengan kelemahan.

Tidak seperti kita, Tuhan melihat melampaui tampilan luar seseorang dan yang paling Dia perhatikan adalah kondisi hati kita. Yang terpenting bagi Tuhan bukanlah penampilan fisik, talenta, pencapaian, atau reputasi kita, melainkan siapa diri kita yang sebenarnya (1 Samuel 16:7).

Kebenarannya: di mata Tuhan, kita semua sama-sama orang berdosa yang membutuhkan anugerah dan pengampunan Tuhan. Kebenaran ini perlu tertanam dalam hati kita agar kita berhenti memandang muka. Seorang pengkhotbah Skotlandia, Sinclair Ferguson, dalam uraiannya tentang surat Yakobus, mengatakan bahwa yang perlu kita lakukan pertama-tama adalah melihat kondisi hati kita sendiri: “Jika aku tidak memahami hatiku dan kebutuhanku sendiri, aku tidak akan pernah bisa memahami hati dan kebutuhan orang lain.”

Hanya pada saat kita mengizinkan Tuhan menolong kita untuk secara bertahap mengalami transformasi hati dan mengikuti jalan-Nya, barulah kita dapat melihat orang lain dengan perspektif anugerah dan kasih, sebagaimana Tuhan melihat kita.

Tuhan tidak memandang muka, dan Dia memanggil kita untuk melakukan hal yang sama.
Ingatlah, respons kita mencerminkan kondisi hati kita yang sebenarnya. —Lydia Tan, Singapura

Handlettering oleh Priska Sitepu

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Bagaimana kita pernah memandang muka di sekolah, di gereja, di tempat kerja, atau di antara teman-teman dan keluarga kita?

2. Adakah kelompok orang tertentu yang lebih kita sukai, misalnya mereka yang kaya (atau sebaliknya mereka yang tak punya), mereka yang pintar, atau yang memiliki kedudukan? Apakah cara pandang kita itu sesuai dengan cara Tuhan memandang mereka?

3. Bagaimana kita dapat menjaga hati kita agar tidak memandang muka, memperlakukan kelompok tertentu lebih dari yang lain?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Lydia Tan, Singapura | Lydia adalah seorang yang optimis. Sepertinya tidak ada suatu hal yang bisa membuatnya pesimis, kecuali pikiran tentang sayuran dan jarum. Dia sangat senang ketika dia ada bersama-sama dengan orang, anak anjing, atau anak kecil. Dari mereka, dia dapat belajar pelajaran hidup. Lydia punya kelemahan, dia tidak bisa menahan diri untuk cokelat hitam dan pernak-pernik yang cantik (terutama jika itu buatan tangan). Lydia adalah seorang pempimpi, dia bersemangat untuk menjadi terang Tuhan bagi bangsa-bangsa dan dia suka banyak petualangan. Ketika tidak sedang sibuk, Lydia suka berjalan-jalan santai dan menikmati Tuhan di alam.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Perkataan dan Perbuatan

Hari ke-9 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Berbahagia dalam Pencobaan

Baca: Yakobus 1:26-27

1:26 Jikalau ada seorang menganggap dirinya beribadah, tetapi tidak mengekang lidahnya, ia menipu dirinya sendiri, maka sia-sialah ibadahnya.

1:27 Ibadah yang murni dan yang tak bercacat di hadapan Allah, Bapa kita, ialah mengunjungi yatim piatu dan janda-janda dalam kesusahan mereka, dan menjaga supaya dirinya sendiri tidak dicemarkan oleh dunia.

Perkataan dan Perbuatan

Kita semua tentu pernah mengucapkan sesuatu yang kemudian kita sesali. Mungkin kita pernah keliru bicara di depan banyak orang, atau mengucapkan sesuatu yang menyakiti seorang teman atau orang yang kita kasihi. Mungkin kita pernah melontarkan guyonan kasar, ungkapan kemarahan, atau komentar tanpa pikir panjang di akun media sosial kita.

Dalam lingkungan yang makin hari makin kurang bersahabat dengan kekristenan, instruksi yang diberikan Yakobus kepada umat percaya untuk mengekang lidah mereka (ayat 26) menjadi kian relevan dan diperlukan. Sangat penting bagi kita untuk menyatakan kasih Kristus dalam cara kita berbicara kepada orang lain—termasuk dalam media sosial.

Tidak berhenti di sana, Yakobus berkata lebih lanjut bahwa jika kita menganggap diri kita beribadah—mungkin kita rajin ke gereja, berdoa, berpuasa, melayani—tetapi gagal mengendalikan perkataan kita, sebenarnya kita sedang menipu diri sendiri dan ibadah kita “sia-sia” (ayat 26).

Ibadah yang dianggap Tuhan murni dan tak bercacat melibatkan baik perkataan maupun perbuatan kita. Dalam ayat 27, Yakobus memberitahu kita—selain untuk mengekang lidah—kita juga harus memperhatikan para “yatim piatu dan janda-janda”, serta menjaga agar diri kita sendiri tidak dicemarkan oleh dunia.

Para yatim piatu dan janda-janda di zaman Yakobus adalah kelompok yang paling rendah statusnya dalam masyarakat. Jika instruksi itu diberikan pada zaman sekarang, Yakobus mungkin akan menyebutkan kelompok-kelompok yang terpinggirkan dalam masyarakat seperti para tuna wisma, para penyandang cacat mental, dan orang-orang miskin. Kita dipanggil untuk memperhatikan dan melayani orang-orang yang membutuhkan, tidak hanya kerabat dan teman-teman kita semata. Poin ini berkaitan dengan tema yang terus berulang dalam kitab Yakobus, yaitu bagaimana iman dan perbuatan harus seiring sejalan dalam kehidupan seorang Kristen.

Di akhir pesannya, Yakobus menambahkan sebuah instruksi lagi: jaga agar perilaku dunia yang berdosa tidak merusak perilaku kita (ayat 27). Dalam kehidupan sehari-hari, terutama saat kita berusaha berbuat baik dalam nama Tuhan Yesus, kita harus secara konsisten menjaga diri kita dari berbagai godaan dan pengaruh. Bila kita membiarkan dosa menyelinap dalam perbuatan baik kita (misalnya ketidakjujuran atau motivasi yang tidak murni), kita merusak perbuatan baik kita sendiri dan menodai nama baik Tuhan Yesus.

Perintah ini tidak mudah dilakukan. Namun, ketika kita mengendalikan lidah kita, memperhatikan kaum yang terpinggirkan, menjaga sikap dan perilaku kita dari kecemaran, dunia akan melihatnya dan terheran-heran mengapa orang-orang Kristen hidup demikian. Kita pun akan mendapat kesempatan untuk membagikan kebaikan kasih Kristus yang sudah kita alami dan mengundang mereka untuk menjadi bagian dari keluarga Allah. —Caleb Young, Australia

Handlettering oleh Catherine Tedjasaputra
Background image oleh Aryanto Wijaya

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Dalam hal-hal apa kamu gagal “mengekang” lidah?

2. Langkah-langkah nyata apa saja yang bisa kamu ambil untuk mulai menolong mereka yang tak berdaya di lingkungan sekitarmu?

3. Bagaimana kamu dapat menjaga diri agar tidak “dicemarkan oleh dunia” (ayat 27), terutama dalam perbuatan baikmu?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Caleb Young, Australia | Caleb adalah seorang pecinta film, makanan, dan juga hiburan. Caleb lahir di Selandia Baru, dibesarkan di Kepulauan fiji, dan sekarang tinggal di Australia. Dia punya tiga buah paspor! Caleb suka bercerita, dia menuangkan ceritanya dalam bentuk video yang berkisah tentang pekerjaan Tuhan dalam kehidupan seseorang, ataupun menuliskannya dalam sebuah artikel. Terlebih dari segalanya, Caleb adalah seorang dewasa muda yang berjuang untuk menjadi serupa dengan Kristus, dan amat bersyukur memiliki Juruselamat yang begitu mengasihinya meskipun dia memiliki banyak kelemahan.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Mengetahui dan Melakukan

Hari ke-8 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Mengetahui dan Melakukan

Baca: Yakobus 1:22-25

1:22 Tetapi hendaklah kamu menjadi pelaku firman dan bukan hanya pendengar saja; sebab jika tidak demikian kamu menipu diri sendiri.

1:23 Sebab jika seorang hanya mendengar firman saja dan tidak melakukannya, ia adalah seumpama seorang yang sedang mengamat-amati mukanya yang sebenarnya di depan cermin.

1:24 Baru saja ia memandang dirinya, ia sudah pergi atau ia segera lupa bagaimana rupanya.

1:25 Tetapi barangsiapa meneliti hukum yang sempurna, yaitu hukum yang memerdekakan orang, dan ia bertekun di dalamnya, jadi bukan hanya mendengar untuk melupakannya, tetapi sungguh-sungguh melakukannya, ia akan berbahagia oleh perbuatannya.

Mengetahui dan Melakukan

Kita sering berkata (atau mendengar) bahwa kita ingin mengetahui kehendak Tuhan untuk hidup kita. Namun, seberapa sering kita berpikir tentang melakukan kehendak Tuhan? Apakah mengetahui itu sama dengan melakukan? Kita menipu diri sendiri jika kita berpikir keduanya sama. Ada sebuah jembatan yang harus diseberangi di antara dua poin ini, yaitu yang kita sebut sebagai: ketaatan.

Tuhan tidak menyembunyikan kehendak-Nya dari kita. Hukum-Nya yang sempurna telah dinyatakan di dalam Alkitab yang hari ini dimiliki jutaan orang dan bisa diakses dari seluruh belahan dunia. Tuhan berbicara kepada kita dan mendesak kita untuk memperhatikan hukum tersebut. Namun, seberapa sering kita pergi menjauh dari firman Tuhan? Seberapa sering kita merasa puas diri dengan wawasan baru yang kita dapatkan dari pendalaman Alkitab kita, tetapi gagal membuat perubahan yang nyata dalam hidup kita?

Aku pernah sekali menjalin hubungan dengan seorang pemuda yang berbeda keyakinan. Ada jurang yang dalam di antara pandangan kami berdua, yang awalnya tidak kuanggap sebagai masalah serius. Seiring berjalannya waktu, Tuhan mengirimkan sejumlah orang untuk memberiku teguran. Tuhan juga berbicara kepadaku secara pribadi dari 2 Korintus 6:14 dalam beberapa peristiwa: “Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?”

Sekalipun firman Tuhan jelas mengatakan bahwa hubunganku itu dapat membahayakan hubungaku dengan Yesus, aku tidak mau mendengarkannya. Aku mempertanyakan kebijaksanaan Tuhan dan menolak untuk taat.

Responsku sama seperti orang yang digambarkan Yakobus dalam ayat 23: ia mengamat-amati dirinya di depan cermin dan melihat segala ketidaksempurnaannya, tetapi kemudian pergi tanpa melakukan upaya perubahan sedikitpun.

Pada akhirnya, aku harus menanggung konsekuensi karena memaksakan diri melakukan apa yang aku mau. Aku jadi tidak bisa berdoa, membaca Alkitab, pergi ke gereja, atau berbicara tentang Tuhan kepada pacarku itu. Selalu ada tarik-menarik setiap kali kami harus memutuskan ke mana kami akan mengisi kebutuhan rohani kami. Pada akhirnya kami bertengkar tentang Tuhan dan juga tentang panggilanku ke ladang misi. Sekalipun akhirnya aku mengakhiri hubungan tersebut, aku masih menyimpan luka akibat hubungan itu.

Firman Tuhan menjadi seperti sebuah cermin bagi diri kita yang sesungguhnya. Firman Tuhan memantulkan rupa kita dari dalam batin kita. Firman Tuhan menyingkapkan kondisi hati kita yang sebenarnya, dan memberitahu kita apa yang perlu kita lakukan untuk menyelaraskan hati kita dengan hati Tuhan. Yang penting bukanlah seberapa banyak yang sudah kita dengar atau pahami, melainkan apakah kita menaati yang sudah kita dengar itu.

Orang kedua yang digambarkan Yakobus dalam ayat ke-25 tidak hanya mendengar dan memahami firman Tuhan, tetapi juga melakukannya. Orang ini melihat ketidaksempurnaannya dalam terang firman Tuhan, dan ia pun mengambil langkah-langkah nyata untuk menaati firman Tuhan. Orang ini mendengar dan melakukan firman Tuhan secara terus-menerus. Perbuatannya itu membuat ia berbahagia.

Yakobus berkata bahwa kita harus menjadi para pelaku firman dan bukan hanya pendengar. Mari kita memeriksa diri kita masing-masing dan mempraktikkan kebenaran yang kita dengar (ay.22-25). —Kezia Lewis, Filipina

Handlettering oleh Agnes Paulina

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Apa yang firman Tuhan minta untuk kamu lakukan? Apakah kamu melakukannya?

2. Apa yang menghalangimu untuk melakukan firman Tuhan?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Kezia Lewis, Filipina | Kezia tinggal bersama suaminya, Jason, di Krabi, Thailand. Mereka berdua melayani bersama di yayasan Sowers International. Mereka mengajar bahasa Inggris di sekolah lokal. Kezia dan saudarinya diberi nama oleh ibunya (yang kala itu belum membaca Alkitab) sebuah nama yang berasal dari Alkitab, yaitu nama anak-anak Ayub (Ayub 42:14). Kezia suka memanggil Tuhan sebagai “Bapa” dan dia merasa tenang saat cuaca hujan.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Cepat, Lambat, Lambat

Hari ke-7 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Berbahagia dalam Pencobaan

Baca: Yakobus 1:19-21

1:19 Hai saudara-saudara yang kukasihi, ingatlah hal ini: setiap orang hendaklah cepat untuk mendengar, tetapi lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah;

1:20 sebab amarah manusia tidak mengerjakan kebenaran di hadapan Allah.

1:21 Sebab itu buanglah segala sesuatu yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan jiwamu.

Cepat, Lambat, Lambat

Sebagai seorang jurnalis, aku bekerja di sebuah lingkungan yang super sibuk, super cepat, dan penuh tekanan. Belakangan, aku menemukan diriku mulai mudah marah dalam pekerjaanku, sering mengeluh kepada orang lain tentang betapa melelahkannya pekerjaanku, dan membenci beban kerjaku yang berat.

Saat menghadapi situasi dan orang-orang yang sulit, kecenderungan alami kita adalah marah dan menggerutu. Namun melalui suratnya, Yakobus mendesak kita untuk tetap tenang dan mendengarkan firman Tuhan daripada membiarkan emosi kita meledak.

Saat Yakobus memberitahu kita agar “cepat untuk mendengar”, itu berarti berdiam diri dan menundukkan diri kepada firman Tuhan. Pesan ini juga dapat berarti mencari nasihat yang baik dari orang lain yang punya pengalaman dan saran yang mengarahkan kita kepada firman Tuhan.

Sebaliknya, Yakobus juga memberitahu kita agar “lambat untuk berkata-kata, dan juga lambat untuk marah”. Dalam situasi yang menekan, kita bisa menjadi tuli terhadap firman Tuhan dan lebih mudah melakukan dosa yang melawan Tuhan dengan respons kita yang terburu-buru dan penuh kemarahan (ayat 20). Mungkin inilah alasan mengapa Yakobus memberitahu kita di awal suratnya untuk berbahagia dan terus bertahan dalam ketekunan—karena Tuhan memakai semua itu untuk menguduskan kita dan menghasilkan buah yang dikehendaki-Nya di dalam hidup kita.

Meski mungkin sulit untuk mengerti dan taat ketika kita sedang melewati waktu-waktu yang menantang, Tuhan melimpahkan hikmat-Nya kepada kita saat kita sungguh-sungguh mencari-Nya dan firman-Nya (ayat 5). Dengan merenungkan firman Tuhan—tentang tujuan pencobaan yang kita hadapi, janji-janji yang kita miliki di dalam Tuhan saat kita memilih untuk taat, dan kuasa-Nya untuk mewujudkan semua janji itu—kita dapat merespons dengan cara yang menghasilkan karakter yang benar, karakter yang Tuhan mau ada dalam diri kita; dan tidak lagi sibuk mengkritik atau mengeluh.

Sekarang, setiap kali aku tergoda untuk marah atau melakukan dosa dalam kemarahan, aku kembali mengingat pesan Yakobus agar cepat untuk mendengar, lambat untuk berbicara, dan lambat untuk marah. Dengan mencari dahulu firman Tuhan dan menyimpannya dalam hati, aku belajar bahwa firman Tuhan itu sungguh menuntun, menjaga, dan berbicara kepadaku saat aku membutuhkannya, memampukanku untuk melakukan apa yang benar di hadapan-Nya (Mazmur 119:11; Amsal 6:20-22).

Dalam prosesnya, Tuhan mengajarku bagaimana menemukan kebahagiaan di dalam masa-masa sulit yang aku alami sebagai seorang jurnalis, agar pada akhirnya, aku dapat menjadi seorang yang dewasa dan utuh dalam imanku kepada-Nya. —Wendy Wong, Singapura

Handlettering oleh Novia Jonatan
Photo credit: Ian Tan

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Situasi-situasi apa yang cenderung menyebabkan kemarahanmu meledak?

2. Bagaimana kamu dapat berespons dengan cara yang menyenangkan Tuhan?

3. Kebenaran-kebenaran apa yang bisa kamu ingat kembali saat kamu menghadapi lagi masa-masa yang penuh tantangan?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Wendy Wong, Singapura | Wendy adalah seorang penulis yang bercita-cita tinggi, seorang jurnalis televisi, dan juga seorang murid Kristus. Dia berharap agar Tuhan dapat menggunakan apa yang sudah Dia berikan dalam dirinya untuk memuliakan-Nya melalui kata-kata dan pekerjaan yang Wendy tekuni. Wendy merasa harinya sempurna ketika dia bisa meluangkan waktu berkualitas bersama Tuhan, membaca novel, dan mengagumi ciptaan Tuhan dengan mendaki gunung atau bersepeda.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Apakah Pencobaan Datang dari Allah?

Hari ke-6 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Berbahagia dalam Pencobaan

Baca: Yakobus 1:16-18

1:16 Saudara-saudara yang kukasihi, janganlah sesat!

1:17 Setiap pemberian yang baik dan setiap anugerah yang sempurna, datangnya dari atas, diturunkan dari Bapa segala terang; pada-Nya tidak ada perubahan atau bayangan karena pertukaran.

1:18 Atas kehendak-Nya sendiri Ia telah menjadikan kita oleh firman kebenaran, supaya kita pada tingkat yang tertentu menjadi anak sulung di antara semua ciptaan-Nya.

Apakah Pencobaan Datang dari Allah?

Dua minggu setelah Natal, dengan penuh semangat aku membuka sepucuk surat dari ibuku dan tertawa geli saat menemukan di dalamnya sebuah ucapan terima kasih yang ditulis rapi dengan tangan. Ibuku selalu mengingatkanku tentang pentingnya perilaku yang baik, dan ucapan terima kasihnya yang tulus itu menjadi pesan pengingat juga bagiku untuk mengirimkan beberapa ucapan terima kasih menjelang perayaan Natal. Belajar dari teladan ibu, aku lalu menyimpan suratnya, kemudian duduk dan mulai menulis beberapa ucapan terima kasih.

Ucapan terima kasih ibuku adalah sebuah pengingat yang baik untuk merayakan pemberian-pemberian yang baik. Yakobus memberitahu kita bahwa setiap pemberian yang baik dan anugerah yang sempurna datang dari Tuhan (ayat 17).

Mengakui berkat-berkat yang kita terima dan menyatakan rasa terima kasih sangatlah penting saat kita berada di tengah ujian dan pencobaan atau dengan kata lain berada di tengah situasi yang paling sulit. Umat Kristen Yahudi pada zaman Yakobus tampaknya juga sedang menghadapi situasi yang sangat sulit. Adakalanya, mereka mungkin mempertanyakan kebaikan Tuhan. Apakah ujian dan pencobaan ini datang dari tangan-Nya?

Namun, Yakobus dengan lembut mengingatkan kita bahwa bukan hanya Tuhan tidak pernah mencobai kita untuk melakukan apa yang salah (ayat 13), Dia juga tidak pernah memberi kita hadiah yang jelek atau jahat. Pencobaan di dunia ini adalah hasil dari keberdosaan kita, dari dunia yang tidak sempurna, dan dari Setan, si penipu.

Tuhan adalah sumber dari segala sesuatu yang baik. Dia tidak seperti bayangan yang bisa berubah-ubah; Dia konsisten dan setia (ayat 17). Jangan biarkan apapun juga menggoyahkan keyakinan kita akan hal ini.

Seakan-akan masih ada orang yang perlu diyakinkan, Yakobus melanjutkan suratnya dengan mengingatkan pembaca akan contoh terbesar dari anugerah Tuhan yang baik, yaitu anugerah keselamatan yang memerdekakan kita dari dosa (ayat 18). Inilah anugerah terbesar Tuhan bagi kita.

“Dalam dunia kamu menderita,” kata Yesus. Namun, tahukah kamu apa yang dikatakan Yesus selanjutnya? “… tetapi kuatkanlah hatimu. Aku telah mengalahkan dunia.” (Yohanes 16:33). Ini juga anugerah Tuhan yang tak kalah baiknya—jaminan bahwa Juruselamat kita telah menaklukkan dunia.

Hari ini, mari mulai mencermati setiap pemberian Tuhan yang baik dan anugerah-Nya yang sempurna di dalam hidup kita.

Mungkin, tidak ada salahnya kita menulis sebuah ucapan terima kasih untuk Tuhan.—Karen Pimpo, Amerika Serikat

Handlettering oleh Septianto Nugroho

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Kapan kamu paling tergoda untuk meragukan kebaikan Tuhan?

2. Harapan seperti apa yang diberikan Yakobus pasal 1 ini kepada mereka yang menghadapi ujian dan pencobaan?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Karen Pimpo, Amerika Serikat | Karen tinggal di Michigan, Amerika Serikat, tempat di mana banyak orang mengeluh tentang cuacanya, tapi suka dengan lingkungannya. Ketika masih kecil, Karen ingin menjadi seorang pustakawan. Sekarang, tidak banyak yang berubah. Di samping buku-buku, dia juga suka mendengarkan dan bermain musik. Dia bernyanyi dan menulis untuk membantu mengurai simpul di kepalanya, dan dengan bercerita, itu menolong kita menyadari bahwa kita tidak sendirian.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus