Posts

Ketika Saudaramu Berbuat Dosa

Hari ke-30 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Ketika Saudaramu Berbuat Dosa

Baca: Yakobus 5:19-20

5:19 Saudara-saudaraku, jika ada di antara kamu yang menyimpang dari kebenaran dan ada seorang yang membuat dia berbalik,

5:20 ketahuilah, bahwa barangsiapa membuat orang berdosa berbalik dari jalannya yang sesat, ia akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut dan menutupi banyak dosa.

Ketika Saudaramu Berbuat Dosa

Pertama kali aku bertemu dengan temanku, ia mengaku sudah menerima Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat saat ia berusia 6 tahun. Namun, saat aku mendorongnya untuk datang ke gereja secara teratur, ia mencoba mengalihkan pembicaraan dengan agak malu. Ia mengatakan bahwa ia sebenarnya bergumul dengan kecanduan dan ingin membereskan hidupnya dulu sebelum datang kembali kepada Tuhan.

Kami masih terus saling kontak. Tiga tahun kemudian, ia masih bergumul dengan kecanduan dan juga beberapa keputusan yang buruk dalam hidupnya. Setiap kali kami berbicara, ia berusaha meyakinkanku bahwa ia sedang berusaha berubah. Namun, setiap kali, aku melihat ia makin menderita (secara fisik dan emosional) akibat pilihan-pilihan yang dibuatnya.

Apakah kamu mengenal seseorang yang, dalam bahasa Yakobus, “menyimpang dari kebenaran”? Ada orang yang menyimpang dalam hal doktrin tentang Tuhan dan tentang Injil. Ada pula orang yang doktrinnya benar, tetapi tidak lagi hidup menurut apa yang diketahuinya itu.

Temanku adalah contohnya. Ia mengakui Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamatnya—tetapi pengakuan itu tidak pernah bisa dilihat dari cara ia hidup.

Seperti yang ditekankan Yakobus dalam suratnya, Tuhan tidak menghendaki pengakuan superfisial kita akan Dia. Tuhan mau kita mewujudnyatakan Injil dalam cara kita hidup.

Tidak berhenti di sana, Tuhan juga mau kita peduli dengan saudara-saudara seiman kita di dalam Kristus. Saat kita melihat sesama pengikut Kristus mulai menyimpang dari kebenaran, baik itu dalam pemikiran atau perbuatannya, Yakobus berkata bahwa harus ada “seseorang yang membuat dia berbalik” (ayat 19).

Untuk mendorong kita memperhatikan jiwa-jiwa yang terhilang, Yakobus mengingatkan bahwa “barangsiapa membuat orang berdosa berbalik dari jalannya yang sesat, ia akan menyelamatkan jiwa orang itu dari maut dan menutupi banyak dosa” (ayat 20).

“Menutupi banyak dosa” berarti bahwa Tuhan akan mengampuni dosa-dosa itu (Roma 4:7). Tidak ada dosa yang terlalu besar untuk ditebus oleh pengorbanan Kristus. Saat kita menolong seorang saudara seiman untuk kembali pada Tuhan, apapun dosa yang sudah ia perbuat, pengampunan Tuhan tersedia untuk menyelamatkan mereka dari kematian rohani. Apa yang lebih luar biasa daripada sebuah kehidupan yang diperbarui dalam Kristus? Sungguh luar biasa kalau Tuhan mengizinkan kita ikut ambil bagian dalam karya pemulihan-Nya yang mengagumkan itu!

Namun, bagaimana caranya kita bisa menolong orang yang sudah menyimpang untuk kembali kepada Tuhan?

Kita dapat mengasihi mereka. Kita mengasihi mereka sama seperti Kristus mengasihi kita, dan itulah alasan kita mau peduli dan berusaha membawa mereka kembali kepada Tuhan (Yohanes 15:12). Mengasihi saudara-saudara seiman mencegah kita jatuh ke dalam dosa menghakimi atau bergosip. Saat kita mengasihi, kita akan berusaha menjaga hubungan baik dengan orang tersebut, dan hubungan yang baik itu dapat saja dipakai Tuhan untuk menyatakan karya-Nya.

Kita juga dapat berdoa—secara teratur dan dengan penuh keyakinan. Pada akhirnya, bukan argumen pintar atau perkataan tulus kita yang bisa mengubah pikiran seseorang. Roh Kudus yang bekerja di kedalaman hati orang tersebut, Dialah yang berkuasa membawa orang itu kembali. Dengan berdoa, kita membawa permohonan kita langsung kepada Tuhan, yang mengasihi orang itu jauh lebih daripada kita mengasihi mereka.

Kita juga dapat dengan kasih menegur orang yang sudah menyimpang dari Tuhan. Kasih melarang kita untuk sekadar menjadi seorang pengamat di pinggir lapangan, hanya diam menonton, sementara seseorang sedang kehilangan jiwanya. Saat berbicara dengan seseorang yang tindakannya melawan Tuhan, ”jangan anggap dia sebagai musuh, tetapi tegorlah dia sebagai seorang saudara” (2 Tesalonika 3:15), dengan kasih dan doa.

Tuhan menghendaki kita mewujudnyatakan Injil dalam hidup kita sehari-hari, Dia berduka saat salah satu dari kita menyimpang. Sebagai saudara seiman dalam Kristus, mari kita berkomitmen untuk saling menjaga satu sama lain karena kasih kita kepada Tuhan dan kasih kita kepada sesama saudara.

Dalam segala sesuatu yang kita lakukan, kiranya kita menyatakan kasih dalam tindakan dan bergantung sepenuhnya pada anugerah dan pimpinan Tuhan, percaya bahwa Dia akan terus bekerja dalam kehidupan semua orang yang adalah milik kepunyaan-Nya. —Christine Emmert, Amerika Serikat

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Apakah kamu mengenal seseorang yang sudah menyimpang dari Tuhan? Tanda-tanda apa saja yang bisa mengindikasikan seseorang mulai menyimpang dari kebenaran?

2. Satu langkah apa yang bisa kamu ambil untuk menolong saudara seiman yang menyimpang untuk dapat kembali lagi kepada Tuhan?

3. Satu kebenaran apa dari firman Tuhan yang dapat kamu pegang dalam proses membawa saudara seimanmu kembali ke jalan yang benar?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Christine Emmert, Amerika Serikat | Christine adalah seorang pengikut Kristus, pecinta buku dan makanan. Hidup ini indah, katanya, dan setiap hembusan nafas adalah pengingat bahwa di dalam segala keadaan Tuhan itu selalu baik. Dia dan suaminya sedang membangun sebuah keluarga yang mencari Kristus dan menjadi terang dan garam di antara bangsa-bangsa. Ezra 7:10 adalah ayat favoritnya.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Rangkuman Singkat Yakobus 4:13-5:20

Di dalam kata-kata penutup dari Kitab Yakobus, kita diingatkan untuk menyelaraskan tujuan kita dengan Allah, bertekun, dan mengasihi orang lain.

Tak terasa, perjalanan kita bersaat teduh bersama Kitab Yakobus telah tiba di akhirnya.

Pelajaran apakah yang paling berkesan buatmu selama satu bulan ini?

Yuk kita simak infografik ini dan ingat kembali pelajaran yang sudah kita pelajari satu minggu ke belakang.

Bagikan Gambar ini melalui Facebook

Bagikan apa yang kamu dapat dari #WSKSaTeYakobus di Instagram Story kamu! Klik di sini untuk download template.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Seberapa Serius Perkataanmu?

Hari ke-28 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Seberapa Serius Perkataanmu?

Baca: Yakobus 5:12

5:12 Tetapi yang terutama, saudara-saudara, janganlah kamu bersumpah demi sorga maupun demi bumi atau demi sesuatu yang lain. Jika ya, hendaklah kamu katakan ya, jika tidak hendaklah kamu katakan tidak, supaya kamu jangan kena hukuman.

Seberapa Serius Perkataanmu?

Beberapa tahun lalu, aku ikut melayani di Sekolah Minggu. Suatu hari, koordinator guru bertanya apakah aku bisa membantunya menuliskan lirik lagu anak-anak di karton manila untuk digunakan beberapa waktu mendatang. Aku segera mengiyakan tugas itu dan berjanji menyelesaikannya dalam beberapa minggu. Namun, aku tidak melakukannya.

Berbulan-bulan kemudian, guru itu menanyakan hasilnya. Aku benar-benar sudah lupa dengan pembicaraan kami (sampai-sampai aku menyangkal bahwa guru itu pernah memintaku melakukannya). Selama berhari-hari aku bersikeras bahwa guru itu keliru …. Hingga kemudian aku menemukan bahwa CD lagu, karton-karton manila, dan spidol-spidol yang tidak pernah digunakan ada di sudut kamarku.

Dengan malu aku mengembalikan semua barangnya, tugas itu tidak selesai, dan kredibilitasku tercoreng. Saat aku berkata “ya”, aku sungguh berniat mengerjakannya. Namun, kenyataan bahwa aku kemudian melupakannya, menunjukkan bahwa sebenarnya aku tidak memandang perkataanku itu sebagai sesuatu yang serius.

Aku yakin banyak di antara kita yang pernah asal bicara. Mungkin kamu setuju untuk mendoakan seorang teman, tetapi kemudian kamu melupakannya sama sekali.

Atau, kamu mungkin ada di pihak yang menerima janji, temanmu setuju menolongmu di sebuah acara gereja, tetapi mereka tidak muncul di menit-menit terakhir. Apakah kita sungguh-sungguh memikirkan apa yang kita ucapkan? Mungkinkah sebenarnya kita tidak berniat melakukan apa yang kita ucapkan?

Dalam bagian ini Yakobus mendesak para pembaca suratnya untuk selalu jujur dengan perkataan mereka. Ini adalah sebuah panggilan bagi setiap orang Kristen untuk hidup benar secara radikal. Kita harus jujur karena kita diciptakan dalam rupa dan gambar Tuhan. Tuhan selalu bersungguh-sungguh dengan apa yang dikatakan-Nya. Tidak ada perkataan kosong yang pernah Dia ucapkan, semua janji-Nya benar dan pasti ditepati (2 Korintus 1:20; Yesaya 55:11). Sebagai para saksi Tuhan, apakah kita mencerminkan Dia dalam hal ini?

Ataukah kita mendapati diri kita suka asal mengumbar janji, misalnya dengan berkata, “Sumpah, aku akan melakukannya!” supaya kita bisa mendapatkan kepercayaan orang? Di zaman Yakobus, sumpah kerap diucapkan untuk memastikan ucapan atau janji seseorang dapat dipercaya. Namun di sini, Yakobus menentang praktik yang demikian dan menyarankan bahwa hal tersebut hanya boleh dilakukan bila kita akan selalu menepati apa yang kita ucapkan.

Saat kita selalu menepati janji, orang akan memperhatikan dan mengakui integritas kita; mereka tahu bahwa mereka bisa memegang ucapan kita. Kepercayaan ini berharga dalam segala situasi, baik itu dalam bekerja, studi, atau dalam hubungan-hubungan kita. Sebagian orang juga bisa terkesan dengan sikap kita yang demikian jujur dan saat mereka bertanya mengapa kita bersikap demikian, dengan senang hati kita bisa mengarahkan mereka kepada Tuhan dan kebenaran Injil.

Sebagai para pengikut Kristus, mari kita memilih untuk hidup jujur. Baik itu dalam menjaga janji-janji kita atau memilih untuk mengatakan apa yang benar dalam segala situasi. Mari menghormati Tuhan setiap hari dengan berkata “ya” jika ya dan “tidak” jika tidak. —Charmain Sim, Malaysia

Handlettering oleh Mesulam Esther

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Pernahkah kamu tidak mempercayai perkataan seseorang karena kamu tahu orang itu tidak pernah serius dengan perkataannya. Bagaimana sikapnya mempengaruhi pandanganmu tentang orang itu dan apa yang ia imani?

2. Apa yang kamu pelajari dari ayat ini tentang perkataanmu sendiri? Apa saja yang bisa kamu lakukan untuk menghormati Tuhan dengan perkataanmu?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Charmain Sim, Malaysia | Charmain sekarang tinggal di Singapura, dan dia sedang belajar bahwa pemuridan yang sejati itu ditandai dengan kesetiaan dan ketaatan. Dia suka menulis karena inilah yang menolongnya menikmati pengalamannya, dan juga karena Tuhan telah memanggilnya untuk melakukan ini. Jika tidak sedang bermimpi kala malam, Charmain suka menyantap semangkuk es krim, menonton televisi, dan membaca buku.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Sia-Siakah Kita Bersabar?

Hari ke-27 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Sia-Siakah Kita Bersabar?

Baca: Yakobus 5:7-11

5:7 Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi.

5:8 Kamu juga harus bersabar dan harus meneguhkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat!

5:9 Saudara-saudara, janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, supaya kamu jangan dihukum. Sesungguhnya Hakim telah berdiri di ambang pintu.

5:10 Saudara-saudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan.

5:11 Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan.

Sia-Siakah Kita Bersabar?

Aku merasa cukup sudah. Hatiku sangat berat memikirkan hal-hal yang menyakitkan ini. Untuk apa terus membawa rasa sakitku dalam doa jika tidak ada yang akan segera berubah?

Tuhan telah memintaku membawa rasa sakitku kepada-Nya daripada menekannya atau berusaha mengatasinya sendiri dengan cara yang tidak sehat. Saat aku melakukannya, kehadiran Tuhan yang memberi ketenangan terkadang bisa kurasakan begitu nyata. Adakalanya Tuhan juga menunjukkan cara pandang atau pemikiran baru terhadap situasi yang aku hadapi.

Namun malam itu, tidak ada yang terjadi. Aku merasa diliputi oleh kesia-siaan. Rasa sakit itu masih di sana. Aku masih merasa terluka.

Di tengah rasa putus asa dan frustrasi, Tuhan mengingatkanku pada Yakobus 5:7-8 yang berkata, “Karena itu, saudara-saudara, bersabarlah sampai kepada kedatangan Tuhan! Sesungguhnya petani menantikan hasil yang berharga dari tanahnya dan ia sabar sampai telah turun hujan musim gugur dan hujan musim semi. Kamu juga harus bersabar dan harus meneguhkan hatimu, karena kedatangan Tuhan sudah dekat!

Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa ketika para petani menabur, hujan tidak langsung datang. Si petani harus menanti turunnya hujan untuk menyirami tanah itu. Hujan musim gugur dan hujan musim semi hanya akan datang pada waktu tertentu, tidak setiap saat.

Pada intinya, kesabaran adalah salah satu karakter yang dibentuk dalam proses menantikan Tuhan dan mempercayai waktu-Nya. Kita belajar untuk tidak menjadi gelisah karena hasil yang tidak segera terlihat.

Yakobus mengingatkan bahwa kita tidak perlu menanti dalam ketidakpastian. Titik akhirnya jelas adalah “kedatangan Tuhan” (ayat 7-8) yang “sudah dekat” (ayat 8). Ada dua pengertian yang aku dapatkan dari ayat ini. Pertama, dalam kedaulatan-Nya, Tuhan berkuasa untuk datang melakukan sesuatu dalam situasi yang sedang kita hadapi di dunia ini. Kedua, bila Tuhan memilih tidak melakukannya, sudah pasti, di akhir sejarah dunia ini Dia akan “menghapus segala air mata” dari mata kita (Wahyu 21:4a). Sebagai orang-orang Kristen, kita semua sangat menantikan waktunya “tidak akan ada lagi perkabungan, atau ratap tangis, atau dukacita, sebab segala sesuatu yang lama itu telah berlalu” (Wahyu 21:4b).

Apa yang kita tabur sekarang dengan air mata itu ibarat benih-benih kecil, tidak ada artinya dibandingkan dengan panen sukacita yang melimpah—karena “hasil yang berharga” dari tanah yang ditabur (ayat 7) Tuhan akan membuat kita menuai hasilnya. Karena di dalam Kristus, Dia akan membawa kita menuai hasil. Di dalam Kristus, “penderitaan ringan yang sekarang ini, mengerjakan bagi kami kemuliaan kekal yang melebihi segala-galanya, jauh lebih besar dari pada penderitaan kami. Sebab kami tidak memperhatikan yang kelihatan, melainkan yang tak kelihatan, karena yang kelihatan adalah sementara, sedangkan yang tak kelihatan adalah kekal” (2 Korintus 4:17-18).

Bagian Alkitab ini mengakui bahwa menanti-nantikan Tuhan untuk menyembuhkan rasa sakit kita dapat membuat kita gelisah dan tidak bahagia. Namun, bagian ini juga mengingatkan kita: “Saudara-saudara, janganlah kamu bersungut-sungut dan saling mempersalahkan, supaya kamu jangan dihukum. Sesungguhnya Hakim telah berdiri di ambang pintu” (ayat 9).

Ketika diri kita merasa gelisah, takut, atau bergumul dengan cara lain saat menghadapi masalah yang sulit untuk waktu yang lama, kita bisa saja melampiaskan rasa sakit kita dan meluapkan rasa frustrasi kita kepada orang lain. Perasaan itu bisa keluar sebagai rasa iri atau cemburu kepada orang-orang yang menurut kita memiliki hidup lebih baik dari kita. Mungkin juga kita akan tergoda untuk menjadi tidak sabaran atau mudah tersinggung oleh orang lain saat kita berusaha mengatasi perasaan dalam batin kita.

Kita harus menjaga agar cara kita menghadapi situasi sulit tidak menyebabkan kita menaburkan pertikaian dalam hubungan-hubungan kita. Sikap yang “bersungut-sungut” dan menyalahkan saudara-saudara kita, tidaklah menyenangkan Tuhan.

Sebaliknya, kita harus bertekun dalam perjalanan kita sama seperti para nabi Perjanjian Lama. Yakobus mengajar kita, “Saudara-saudara, turutilah teladan penderitaan dan kesabaran para nabi yang telah berbicara demi nama Tuhan. Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun” (ayat 10-11a). Bisa bertekun melewati penderitaan adalah sebuah berkat, karena pada akhirnya ketekunan itu akan menghasilkan pengharapan yang tahan uji dalam kasih Tuhan kepada kita (Roma 5:3-5).

Terakhir, Yakobus juga memberitahu kita betapa pentingnya mengingat kehadiran Tuhan yang menyertai kita saat kita bertekun. Ia mengingatkan bagaimana Tuhan datang untuk Ayub, dan bahwa Tuhan itu ada di pihak kita: “Sesungguhnya kami menyebut mereka berbahagia, yaitu mereka yang telah bertekun; kamu telah mendengar tentang ketekunan Ayub dan kamu telah tahu apa yang pada akhirnya disediakan Tuhan baginya, karena Tuhan maha penyayang dan penuh belas kasihan” (ayat 11).

Karena Tuhan itu penuh belas kasihan dan rahmat, kita dapat sepenuhnya percaya bahwa Dia berkuasa untuk campur tangan dalam kesulitan yang harus kita hadapi dengan cara yang akan membawa kita menuai sukacita.

Yang perlu kita lakukan adalah bertekun mempercayai hati-Nya untuk kita, dan menantikan Dia menolong kita. —Raphael Zhang, Singapura

Handlettering oleh Robby Kurniawan
Photo credit: Ian Tan

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Dalam bidang kehidupan mana saja kamu mengalami kesulitan? Apa yang telah menolongmu untuk lebih sabar menantikan Tuhan dalam bidang-bidang kehidupan tersebut?

2. Apakah cara kamu menantikan Tuhan memunculkan ketegangan atau gesekan dalam hubunganmu dengan orang lain? Jika ya, apa saja yang bisa kamu lakukan secara berbeda?

3. Dalam menghadapi penderitaan, apakah kamu percaya bahwa Tuhan itu ada di pihakmu dan Dia akan datang untuk menolong, sama seperti yang dilakukan-Nya untuk Ayub? Jika kamu ragu, apa yang menurutmu dapat menolongmu untuk memahami karakter Tuhan sebagaimana yang diajarkan Kitab Suci?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Raphael Zhang, Singapura | Raphael suka membaca dan menulis, dan dua aktivitas ini dia gunakan sebagai sarana untuk terhubung dengan firman Tuhan. Sejak Raphael dipulihkan oleh Tuhan dari kehancurannya, Raphael bersemangat untuk menolong orang lain agar dapat dipulihkan juga oleh Tuhan yang begitu mengasihi manusia. Raphael juga tergila-gila pada keju, tetapi cinta terbesarnya tetaplah Yesus.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Apakah Kamu Mengandalkan Kekayaanmu?

Hari ke-26 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Apakah Kamu Mengandalkan Kekayaanmu?

Baca: Yakobus 5:1-6

5:1 Jadi sekarang hai kamu orang-orang kaya, menangislah dan merataplah atas sengsara yang akan menimpa kamu!

5:2 Kekayaanmu sudah busuk, dan pakaianmu telah dimakan ngengat!

5:3 Emas dan perakmu sudah berkarat, dan karatnya akan menjadi kesaksian terhadap kamu dan akan memakan dagingmu seperti api. Kamu telah mengumpulkan harta pada hari-hari yang sedang berakhir.

5:4 Sesungguhnya telah terdengar teriakan besar, karena upah yang kamu tahan dari buruh yang telah menuai hasil ladangmu, dan telah sampai ke telinga Tuhan semesta alam keluhan mereka yang menyabit panenmu.

5:5 Dalam kemewahan kamu telah hidup dan berfoya-foya di bumi, kamu telah memuaskan hatimu sama seperti pada hari penyembelihan.

5:6 Kamu telah menghukum, bahkan membunuh orang yang benar dan ia tidak dapat melawan kamu.

Apakah Kamu Mengandalkan Kekayaanmu?

Sejak zaman pacaran, aku dan suamiku sudah berpikir untuk pindah kembali ke negara asalku. Kami sangat menyukai masyarakat dan budayanya, tetapi yang lebih penting lagi, kami melihat kesempatan untuk memberitakan Injil di sana—banyak orang mulai lebih terbuka untuk menerima Injil karena perubahan iklim politik yang ada.

Atas pemeliharaan Tuhan, tabungan kami perlahan terus bertambah. Akhirnya, kami punya cadangan dana untuk kebutuhan hidup selama beberapa bulan. Tampaknya sudah tiba waktunya untuk pindah. Namun, entah bagaimana kami mulai berpikir ulang. Apakah tabungan kami ini benar sudah cukup? Haruskah kami menunggu sebentar lagi? Kami mulai tergoda untuk tetap tinggal dan terus menambah kekayaan kami. Pekerjaan yang sudah mapan menjanjikan kestabilan finansial bagi keluarga kami. Sudah tentu kami dapat memberitakan Injil tanpa pindah negara, kami mencoba membenarkan pikiran kami. Jika harus meninggalkan semuanya dan pindah ke belahan dunia yang lain, bagaimana hidup kami nanti? Mungkin butuh bertahun-tahun lamanya untuk kami bisa menabung lagi sebanyak ini.

Alkitab berbicara sangat jelas tentang bagaimana kekayaan dapat menghalangi kita mendekat kepada Tuhan. Yesus berkata, “Lebih mudah seekor unta melewati lobang jarum dari pada seorang kaya masuk ke dalam Kerajaan Allah” (Markus 10:25). Aku dan suami bukanlah orang yang benar-benar kaya-raya, tetapi kami tahu bagaimana rasanya tergoda untuk mengandalkan kekayaan materi lebih dari Tuhan.

Dalam suratnya, Yakobus memberikan peringatan keras terkait dosa-dosa yang secara spesifik mudah menjatuhkan orang yang kaya. Nada kemarahan Yakobus menunjukkan betapa seriusnya dosa-dosa tersebut. Kita diingatkan untuk tidak menoleransi dosa keserakahan (mengumpulkan kekayaan demi memuaskan hasrat diri sendiri) dan dosa ketidakadilan (memakai kekayaan untuk menekan orang lain) di dalam diri kita.

Dalam ayat 2, 3, dan 5, Yakobus menegur mereka yang “telah mengumpulkan harta pada hari-hari yang sedang berakhir” dan memperingatkan pembacanya untuk tidak hidup “berfoya-foya di bumi”. Dengan ilustrasi yang kuat seperti, “kekayaanmu sudah busuk”, “pakaianmu telah dimakan ngengat” (ayat 2), Yakobus memperingatkan bahwa kekayaan tidak akan bertahan selamanya, dan kita akan dihakimi menurut cara kita hidup.

Perkataan Yakobus menggemakan perkataan Yesus yang mengajar kita, “…kumpulkanlah bagimu harta di sorga; di sorga ngengat dan karat tidak merusakkannya dan pencuri tidak membongkar serta mencurinya. Karena di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada.” (Matius 6:20-21).

Meskipun kita harus bekerja dengan rajin (Kolose 3:23), tujuan kita seharusnya bukan untuk menimbun kenyamanan dan kesenangan diri sendiri. Aku dan suamiku terus diingatkan bahwa tak peduli berapa banyak uang yang kami tabung—pada akhirnya tidak berarti sama sekali dibandingkan dengan kekekalan. Namun, bila kami bisa memakainya untuk memberitakan Injil, kekayaan itu dapat menghasilkan buah-buah yang kekal.

Teguran kedua Yakobus ditujukan kepada mereka yang mengambil keuntungan dari orang-orang miskin. Yakobus mengecam mereka yang menahan upah para pekerja dan juga mereka yang membunuh sesamanya (ayat 4-6). Menurut banyak penafsir Alkitab, kata “membunuh” di sini kemungkinan menunjukkan tindakan para tuan tanah kaya yang memakai pengadilan untuk merampas rumah orang-orang miskin—mereka yang tidak berdaya untuk melawan hukum.

Di zaman sekarang ini orang pun mudah memanfaatkan sesamanya yang tidak mampu demi keuntungan pribadi. Adakalanya para pekerja terlalu dituntut bekerja lebih atau dibayar terlalu rendah. Yakobus mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam mata pencaharian kita, pastikan kita tidak mengambil hak sesama dalam prosesnya.

Di Perjanjian Lama, Tuhan memerintahkan orang Israel memperhatikan kebutuhan orang-orang miskin dan tidak hanya sibuk dengan kepentingan pribadi (Ulangan 24:19-22). Hukum itu diberikan Tuhan sendiri: “Haruslah kauingat, bahwa engkaupun dahulu budak di Mesir dan engkau ditebus TUHAN, Allahmu, dari sana; itulah sebabnya aku memerintahkan engkau melakukan hal ini” (Ulangan 24:18).

Sama seperti Tuhan menyelamatkan bangsa Israel dari perbudakan Mesir, Tuhan juga telah menyelamatkan kita dari perbudakan dosa. Bagaimana bisa kita terus memperbudak orang lain dengan mengambil keuntungan dari mereka? Marilah kita menyatakan kasih kepada sesama melalui penggunaan harta milik kita—karena Tuhan sudah lebih dahulu mengasihi kita. —Christine Emmert, Amerika Serikat

Handlettering oleh Oei Kristina

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Pernahkah kamu terlalu mengandalkan kekayaanmu?

2. Pernahkah kamu mengambil keuntungan dari seseorang yang lebih kurang beruntung darimu, dalam cara kamu mendapatkan atau menggunakan uang?

3. Bagaimana cara kamu bisa memakai harta milikmu untuk tujuan-tujuan Tuhan?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Christine Emmert | Christine adalah seorang pengikut Kristus, pecinta buku dan makanan. Hidup ini indah, katanya, dan setiap hembusan nafas adalah pengingat bahwa di dalam segala keadaan Tuhan itu selalu baik. Dia dan suaminya sedang membangun sebuah keluarga yang mencari Kristus dan menjadi terang dan garam di antara bangsa-bangsa. Ezra 7:10 adalah ayat favoritnya.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Siapa yang Memegang Kendali?

Hari ke-25 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Siapa yang Memegang Kendali?

Baca: Yakobus 4:13-17

4:13 Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: “Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung”,

4:14 sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap.

4:15 Sebenarnya kamu harus berkata: “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.”

4:16 Tetapi sekarang kamu memegahkan diri dalam congkakmu, dan semua kemegahan yang demikian adalah salah.

4:17 Jadi jika seorang tahu bagaimana ia harus berbuat baik, tetapi ia tidak melakukannya, ia berdosa.

Siapa yang Memegang Kendali?

Beberapa tahun lalu, aku merencanakan perjalanan besar ke Amerika Utara yang agenda utamanya menelusuri beberapa jalur pendakian terkenal di wilayah itu. Aku membeli semua perlengkapan yang dibutuhkan—sebuah ransel yang kokoh, sebuah tenda yang bagus, dan juga buku-buku panduan untuk setiap jalur pendakian yang akan kutempuh. Menjelang perjalanan itu, pikiranku dipenuhi bayangan indah tentang alam bebas yang akan aku jumpai. Pada saat kuliah, fokusku tertuju pada layar komputer, mencari-cari perlengkapan terbaru untuk berkemah di situs web Amazon, atau membaca pengalaman para pendaki lain saat menempuh jalur pendakian yang sama.

Namun, dua bulan sebelum berangkat, sebuah kecelakaan saat berolahraga membuat rencanaku porak-poranda. Jaringan pengikat sendi lututku robek, memupuskan semua harapanku untuk menaklukkan rimba pendakian Amerika Utara. Semua imajinasi dan rencana yang sudah aku persiapkan selama enam bulan terakhir menjadi sia-sia. Aku benar-benar kecewa. Waktu yang aku lewatkan di Amerika Utara diwarnai kegetiran karena apa yang seharusnya bisa terjadi selama aku di sana tidak bisa terwujud.

Yakobus berbicara terus terang tentang betapa rapuhnya rencana dan kehidupan manusia di dunia ini. Sebuah kenyataan yang bertentangan dengan naluri kita. Seperti contoh yang diberikan Yakobus, kita kerap begitu sibuk membuat rencana-rencana untuk hidup kita sehingga kita bisa lupa melakukan perbuatan baik yang seharusnya kita lakukan (ayat 17). Parahnya lagi, kita bisa merasa rencana kita begitu hebatnya, seolah-olah kita adalah pengendali kehidupan ini. Sebaliknya, Yakobus menggambarkan hidup ini sama seperti uap—sebentar saja kelihatan lalu lenyap (ayat 14).

Gambaran ini mengingatkan bahwa kita sebenarnya tidak punya kendali atas hidup kita sebanyak yang kita bayangkan. Kita boleh membuat banyak rencana dan menata hidup kita menurut ambisi dan asumsi kita tentang kesuksesan, tetapi tak satu manusia pun yang bisa menjamin semua itu akan terwujud. Rencana yang paling pasti pun rentan buyar karena hidup ini memang rapuh. Lebih jauh, Yakobus mengingatkan kita bahwa Tuhan sendirilah yang memegang kendali penuh atas hidup kita. Kehendak-Nya atas hidup kita, itulah yang paling menentukan, lebih dari rencana apa pun yang kita pikirkan.

Menganggap diri bisa memegang kendali hidup bisa menggembungkan ego kita, membuat kita merasa tidak lagi membutuhkan apa-apa di luar diri kita. Yakobus menyebutnya congkak. Orang yang congkak tidak lagi memperhatikan kehendak Tuhan, tetapi hidup menurut apa yang menyenangkan hatinya.

Jelas, menurut Yakobus, ini bertentangan dengan cara hidup seorang pengikut Kristus. Iman yang sejati menghormati kehendak Tuhan yang berdaulat. Artinya, pertama-tama kita harus mengakui bahwa keberadaan kita ini bergantung pada Tuhan dan masa depan kita terutama ditentukan oleh kehendak-Nya. Ayat 15 juga menunjukkan bahwa itu berarti menempatkan rencana-rencana kita di kursi penumpang, dan membiarkan Tuhan yang mengarahkan kehidupan kita untuk melakukan apa yang Dia mau.

Ini tidak berarti kita harus berhenti membuat rencana. Yakobus memanggil kita untuk membuat rencana dengan dipandu oleh firman Tuhan. Menengok ke belakang, aku sendiri menyadari betapa aku sangat sedikit melibatkan Tuhan dalam merencanakan perjalananku. Bukannya hidup tunduk pada firman-Nya, aku menempatkan kehendakku di atas kehendak-Nya. Pengalaman ini menunjukkan kepadaku bahwa meski sudah dipersiapkan sebaik mungkin, rencana-rencana kita itu bisa gagal. Sebab itu, kita harus berupaya sungguh-sungguh untuk menjadikan Tuhan sebagai pusat dari semua rencana yang kita buat. —Andrew Koay, Australia

Handlettering oleh Robby Kurniawan
Photo Credit: Blake Wisz

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Seberapa banyak kamu melibatkan Tuhan dalam rencana-rencanamu? Apakah kamu membuat rencana dengan mengingat hal-hal yang dikehendaki Tuhan?

2. Apa yang kita ketahui tentang panggilan Tuhan bagi para pengikut Kristus di dalam firman-Nya? Akankah kamu menjawab, “Ya Tuhan, aku bersedia”?

3. Jika tidak, apa yang menghalangimu untuk menjawab panggilan-Nya?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Andrew Koay, Australia | Andrew meluangkan empat tahun waktunya untuk belajar Ilmu Sosial Politik dan Sosiologi dan segera setelah lulus dia berharap bekerja di McDonald’s. Namun, dia tahu bahwa pekerjaan yang sejati adalah bekerja demi Injil.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Rangkuman Singkat Yakobus 3:17-4:12

Minggu ini, kita diingatkan untuk mengejar hikmat dari Tuhan, bukan dunia.

Bagaimana caramu menerapkannya di dalam kehidupanmu?

Yuk kita simak infografik ini untuk menyegarkan kembali ingatan kita akan pelajaran dari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus yang sudah kita pelajari selama seminggu ini.

Bagikan Gambar ini melalui Facebook

Bagikan apa yang kamu dapat dari #WSKSaTeYakobus di Instagram Story kamu! Klik di sini untuk download template.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Pernah Memfitnah?

Hari ke-24 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Pernah Memfitnah?

Baca: Yakobus 4:11-12

4:11 Saudara-saudaraku, janganlah kamu saling memfitnah! Barangsiapa memfitnah saudaranya atau menghakiminya, ia mencela hukum dan menghakiminya; dan jika engkau menghakimi hukum, maka engkau bukanlah penurut hukum, tetapi hakimnya.

4:12 Hanya ada satu Pembuat hukum dan Hakim, yaitu Dia yang berkuasa menyelamatkan dan membinasakan. Tetapi siapakah engkau, sehingga engkau mau menghakimi sesamamu manusia?

Pernah Memfitnah?

Apakah kamu ingat dengan film komedi remaja berjudul Mean Girls di tahun 2004 yang dibintangi oleh Lindsay Lohan dan Rachel McAdams? Dalam film itu, ada satu benda penting dalam alur cerita, yaitu sebuah buku yang disebut “the Burn Book”. Buku tersebut adalah catatan berbagai rumor, gosip, rahasia, dan nama ejekan yang diberikan kepada semua murid perempuan dan beberapa guru di sekolah itu. Isi buku tersebut pada akhirnya terungkap, dan segala fitnah, pernyataan yang tidak benar dan merusak pribadi tiap-tiap orang itu membawa dampak yang serius. Banyak pertengkaran muncul dan ada hukuman yang harus ditanggung.

Mungkin kita terheran-heran bagaimana bisa ada orang yang begitu kejam menuliskan hal-hal yang demikian buruk tentang orang lain. Namun, saat aku memikirkan lagi hal ini, aku menyadari satu hal: Apakah kita memiliki Burn Book kita sendiri? Mungkin kita memang tidak menuliskan dalam sebuah buku atau menyuarakan semua yang kita pikirkan. Namun, bila kita harus mendaftarkan semua pendapat kita tentang orang lain, kemungkinan besar pemikiran itu tidaklah semurni dan sebaik yang kita sangka.

Salah satu hal yang disebutkan Yakobus saat membicarakan konflik dalam suratnya, adalah soal menghakimi. Mengatakan hal yang tidak benar dan menghakimi orang lain dengan sembarangan adalah penyebab umum munculnya berbagai konflik.

Sangatlah mudah untuk memfitnah atau menghakimi orang lain, terutama dalam komunitas Kristen. Mungkin salah satu jemaat tidak bisa ke gereja karena ada masalah mendesak dalam keluarganya. Bukannya menyatakan kepedulian dan menghubungi orang tersebut, kita segera menyimpulkan bahwa orang itu sudah kehilangan imannya. Mungkin salah satu jemaat didiagnosa kanker, dan kita curiga penyebabnya adalah sebuah dosa yang disembunyikan. Di Facebook, kita melihat foto salah satu jemaat di sebuah bar, dan mulai menduga-duga berapa banyak alkohol yang ia minum.

Terkadang, ada juga rumor atau rahasia yang memang terbukti benar. Namun, ini bukan soal benar atau salah. Inti masalahnya terletak pada bagaimana cara kita memakai informasi yang kita ketahui. Jika tidak hati-hati, kita bisa memakai informasi itu untuk menghakimi orang Kristen lainnya sehingga muncul konflik. Padahal, bila kita mengasihi orang tersebut, kita seharusnya datang untuk memberitahukan apa yang benar, dengan cara yang bijak dan penuh kasih.

Menegur orang yang suka menghakimi tidak berarti mengatakan hukum tidak lagi perlu diterapkan. Kita tetap harus hidup menurut hukum Tuhan dan menegur dosa. Yang tidak boleh kita lakukan adalah menempatkan diri kita di atas hukum. Saat kita mencela orang lain dengan sikap yang demikian, kita sebenarnya bertindak atas dasar kesombongan—karena kita pikir kita ini lebih baik. Kita menyatakan diri kita sebagai pembuat hukum, padahal satu-satunya yang memegang kendali adalah Tuhan, sebagaimana yang ditegaskan Yakobus dalam ayat 12.

Di akhir film Mean Girls, para murid yang terlibat dalam kasus fitnah itu berhadapan satu dengan yang lain, saling mengakui kesalahan mereka, saling memaafkan dan saling berdamai. Tidak mudah, tetapi itu adalah langkah yang memerdekakan mereka semua untuk bisa hidup dalam damai. Sebagai sesama saudara seiman, kiranya kita juga hidup dengan semangat untuk berdamai. Mari selalu menjaga pikiran dan niat hati kita, jangan sampai kita membuat Burn Books di dalamnya. Mari selalu berusaha memperbaiki dan memulihkan hubungan-hubungan yang kita punya, bukan merusaknya. —Charmain Sim, Malaysia

Handlettering oleh Mesulam Esther
Photo Credit: Blake Wisz

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Dalam hal apa kita bisa menghakimi orang lain meski kita sebenarnya tidak bermaksud untuk itu?

2. Apa perbedaan antara menghakimi dan cepat mengenali apa yang tidak beres? Bagaimana kita bisa cepat mengenali dan menyingkapkan keberadaan dosa tanpa menghakimi orangnya?

3. Jika kamu menemukan kebenaran tentang dosa seseorang yang perlu ditegur, bagaimana cara yang tepat untuk menyampaikannya?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Charmain Sim, Malaysia | Charmain sekarang tinggal di Singapura, dan dia sedang belajar bahwa pemuridan yang sejati itu ditandai dengan kesetiaan dan ketaatan. Dia suka menulis karena inilah yang menolongnya menikmati pengalamannya, dan juga karena Tuhan telah memanggilnya untuk melakukan ini. Jika tidak sedang bermimpi kala malam, Charmain suka menyantap semangkuk es krim, menonton televisi, dan membaca buku.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus

Waktunya Tunduk kepada Allah

Hari ke-23 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus
Baca Pengantar Kitab Yakobus di sini

Waktunya Tunduk kepada Allah

Baca: Yakobus 4:7-10

4:7 Karena itu tunduklah kepada Allah, dan lawanlah Iblis, maka ia akan lari dari padamu!

4:8 Mendekatlah kepada Allah, dan Ia akan mendekat kepadamu. Tahirkanlah tanganmu, hai kamu orang-orang berdosa! dan sucikanlah hatimu, hai kamu yang mendua hati!

4:9 Sadarilah kemalanganmu, berdukacita dan merataplah; hendaklah tertawamu kamu ganti dengan ratap dan sukacitamu dengan dukacita.

4:10 Rendahkanlah dirimu di hadapan Tuhan, dan Ia akan meninggikan kamu.

Waktunya Tunduk kepada Allah

Aku ingat sewaktu kecil aku senang mewarnai ayat-ayat dan perintah yang aku suka, bagian Alkitab yang enak didengar dan mudah untuk ditaati. Alkitabku bisa dibilang cukup bersih, karena ada banyak kebenaran yang tidak mudah aku terima dan terapkan, dan karenanya, aku memilih untuk mengabaikannya.

Lagipula, mengapa aku harus mengasihi sesamaku seperti diriku sendiri (Markus 12:31) jika aku bisa saja berfokus untuk mengasihi diriku sendiri? Mengapa aku harus lebih dahulu mengampuni (Matius 18:22) orang-orang di sekitarku saat orang-orang itu bersikap kejam kepadaku? Mengapa aku harus hidup dalam damai (Roma 12:18) jika aku bisa berdiri sendiri dan memilih siapa yang harus aku singkirkan?

Pergumulan yang sungguh tidak mudah.

Terus terang saja, tunduk kepada Allah—baik kepada firman-Nya atau pribadi-Nya—lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Dibutuhkan komitmen yang besar untuk menyingkirkan keegoan kita dan hak-hak yang menurut kita sudah selayaknya kita dapatkan, demikian pula untuk taat kepada Tuhan dengan kerendahan hati. Mengakui kedaulatan Tuhan dan percaya bahwa Dia tak pernah gagal, bukan sesuatu yang gampang diterapkan. Kita bisa merasa takut, apalagi saat menyadari bahwa mempercayai Tuhan itu berarti melepaskan kendali atas situasi yang sedang kita hadapi. Dunia dan daging kita secara konsisten terus menggoda kita dengan dusta, mengatakan bahwa akan lebih baik dan menyenangkan bila kita tetap mengendalikan situasi dan membuat keputusan-keputusan yang memuaskan keinginan dan harga diri kita yang egois.

Meski demikian, Yakobus mengajar kita untuk tunduk kepada Tuhan dengan kerendahan hati (ayat 7). Aku bersyukur bahwa Yakobus tidak sekadar meninggalkan kita dengan sebuah perintah tanpa banyak penjelasan tentang bagaimana menaati perintah itu. Yakobus di sini menyediakan kita langkah demi langkah prosesnya dan menyimpulkan semuanya dengan tema yang sama tentang ketaatan yang rendah hati dalam ayat 10.

Sebelumnya, Yakobus sudah menyoroti tentang konsekuensi persahabatan kita dengan dunia (Yakobus 4:4). Sekarang, ia mengingatkan kita bahwa penundukan diri yang ditunjukkan melalui ketaatan kita kepada Tuhan itu harus dilakukan dengan sengaja. Dibutuhkan perubahan total dalam hati—sebuah resolusi untuk mencintai Tuhan daripada dunia. Yakobus menantang kita untuk mengesampingkan keinginan kita, mempertimbangkan dan melakukan apa yang Tuhan mau kita lakukan.

Kita diberitahu untuk tunduk dengan dua pendekatan—dengan melawan iblis (ayat 7b), dan mendekat kepada Allah (ayat 8a). Melawan berarti menolak dengan kesadaran penuh, aktif dan terus-menerus. Kita seperti sedang berperang melawan iblis, menangkis setiap tuduhan dan dusta yang ia lemparkan, dan pada akhirnya menang melawan godaan.

Menjauh dari iblis, kita berbalik arah dan mendekat kepada Allah. Ini dapat dilakukan melalui doa dan membaca firman-Nya. Datang mendekat kepada Tuhan mengharuskan kita untuk menahirkan tangan kita dan menyucikan hati kita (ayat 8b). Kita harus melakukannya dengan fokus yang jelas dan tekad yang kuat—kita tidak lagi mengizinkan hati kita goyah dan kembali pada kondisi lama kita yang berdosa.

Semua tindakan ini menyimbolkan usaha luar dalam yang kita lakukan demi berdamai dengan Allah. Sebuah instruksi untuk membersihkan apa yang tidak tampak (pikiran kita) dan juga apa yang tampak (perbuatan) kita. Bahkan faktanya, diri kita yang berdosa itu begitu kotor dan menjijikkan di hadapan Tuhan sehingga kita diperintahkan untuk “Sadari kemalanganmu, berdukacita dan merataplah” (ayat 9). Sebab itu, memilih untuk datang kepada Tuhan dalam pengakuan dan pertobatan adalah tindakan yang berharga. Pada saat itulah pengudusan mulai terjadi.

Melakukan semua hal di atas mungkin terdengar sulit dan melelahkan, tetapi Yakobus melanjutkan suratnya untuk meyakinkan kita tentang hadiah yang akan kita terima. Saat kita mendekati Tuhan dengan tangan yang bersih dan hati yang sudah disucikan, kita tidak sekadar menerima pujian. Kita menerima hadiah terbesar—Tuhan sendiri—saat Dia datang mendekat kepada kita (ayat 8).

Secara pribadi, selalu mengarahkan mataku pada upah yang luar biasa ini menyemangatiku untuk datang kepada Tuhan setiap hari dalam ketaatan dan pertobatan saat aku memilih untuk menyerahkan kehidupanku kepada-Nya.

Kiranya hadiah terbesar itu menyemangati kamu juga. —Constance Goh, Singapura

Handlettering oleh Claudia Rachel
Photo Credit: Blake Wisz

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Adakah dosa atau kebiasaan tertentu yang sulit kamu hilangkan untuk menaati Tuhan?

2. Langkah-langkah nyata apa yang dapat kamu ambil untuk mendekat kepada Allah?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Constance Goh, Singapura | Constance adalah pembaca yang rajin dan juga seorang pecandu Milo. Jika dia tidak sedang membaca buku, dia mungkin sedang menonton drama Korea atau bermain gitar. Dia suka menemani anak-anak dan berharap bisa bekerja di bidang itu di masa depan. Sebagai seseorang yang percaya bahwa segala kesulitan di dunia ini tidak sebanding dengan kemuliaan yang kelak didapat di surga, dia bangga dapat berjuang keras untuk Tuhan.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Yakobus