Menikmati Allah di Segala Musim

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Aku sempat merasakan kekosongan di masa-masa menjelang Natal beberapa tahun terakhir ini. Aku terlibat di berbagai acara gereja, tetapi yang kurasa bukan sukacita. Aku bosan menjadi panitia, pemusik, mengiringi paduan suara dan segudang aktivitas lainnya. Momen Natal yang seharusnya menjadi saat-saat reflektif malah jadi terasa hambar.

Pada Natal tahun 2020 kemarin, ada hal lain yang juga menyita kesibukanku, yaitu pekerjaan. Saat ini aku bekerja di perusahaan start-up yang bergerak di bidang makanan dan minuman. Menapaki pekerjaan di bidang start-up tentu banyak tantangannya: belum ada sistem yang terbentuk, struktur sumber daya manusia (SDM) pun belum kokoh, dan kami yang bekerja di dalamnya masih seperti berjalan di hutan rimba; menerka-nerka apa yang baik untuk keberlangsungan bisnis ini juga untuk setiap pegawai yang bekerja di dalamnya. Bahkan masing-masing kami masih harus melakoni dua hingga tiga jabatan sekaligus untuk beberapa proyek pekerjaan.

Di Desember kemarin aku dan rekan-rekan kerjaku memiliki beberapa proyek pekerjaan besar, mulai dari pembukaan outlet kafe baru, hingga mengirim parsel Natal ke berbagai pihak yang mendukung keberlangsungan perusahaan ini. Di suatu pagi ketika aku sedang menempuh perjalanan ke kantor, aku mengeluh di dalam doaku pada Tuhan.

“Tuhan, aku capek banget! Masa Desember gini kerjanya abis-abisan sih? Aku ingin menikmati momen Natal tanpa diganggu pekerjaan-pekerjaan yang super banyak ini! Aku ingin liburan.”

Aku mengeluh. Di samping memang tubuh dan pikiranku sedang letih, aku merasa seperti menolak kondisi dan tidak menikmati pekerjaan yang tengah kujalani di kantor. Namun ketika aku mendoakan keluhan itu, aku teringat akan doaku di tahun 2019 yang lalu: bahwa aku ingin menikmati Natal dengan cara tidak sekadar ritual dan pelayanan. Aku lantas merenung: pekerjaan yang kulakukan sekarang sesungguhnya adalah pemberian dari Tuhan. Aku pernah menuliskan proses perjalanan berkarierku dan menemukan bahwa ini adalah tempat terbaik untukku bekerja, setidaknya hingga saat ini. Mengingat proses bagaimana Tuhan tempatkan aku di perusahaan start-up, aku pun kembali mengingat-ingat ternyata banyak sekali hal baik yang Tuhan lakukan buatku, tapi aku sering tidak menyadarinya. Dan parahnya, aku masih saja sering mengeluh, mengasihani diri, dan kurang bersyukur.

Menyadari keberdosaanku, aku meminta ampun pada Tuhan karena tidak sadar akan hadirnya Pribadi yang selalu memimpin langkahku—si manusia yang sesat seperti domba dan mengambil jalannya sendiri (Yesaya 53:6). Dalam anugerah Tuhan, aku akhirnya menyadari dan menemukan sebuah jawaban dari rasa bosanku mengerjakan kegiatan atau aktivitas Natal selama bertahun-tahun: aku fokus pada aktivitas dan kegiatannya, bukan pada Kristusnya. Aku fokus pada berbagai macam pelayanan, kegiatan, perayaan, ritual, tradisi, tapi lupa pada Satu Pribadi yang merupakan fokus utama dari keberadaan Natal sesungguhnya. Aku tidak menikmati berbagai kegiatan yang berlangsung di penghujung tahun karena aku sulit menyadari kehadiran Kristus yang senantiasa memimpin hari-hariku.

Menikmati Allah Ketika Sibuk dan Tidak Sibuk

Lalu apakah salah jika dalam momen Natal kemarin yang seharusnya dilalui dengan refleksi aku malah sibuk bekerja di kantor? Pertanyaan refleksi ini aku tanyakan pada diri sendiri, dan mungkin bisa berlaku juga untuk kita semua. Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Judah Smith dalam bukunya yang berjudul “How’s Your Soul? – Why Everything That Matters Starts with The Inside You” menuliskan ada empat lingkungan kondusif yang Tuhan sediakan bagi kesehatan jiwa kita, salah satunya adalah Responsibility atau tanggung jawab. Tuhan menciptakan manusia untuk bekerja bukan sebagai bentuk hukuman. Konsep bekerja bahkan sudah ada sejak zaman Adam di taman Eden (Kejadian 2:15). “God created humans to bear responsibility. (Tuhan menciptakan manusia untuk memikul tanggung jawab.)”—dan ini adalah kondisi yang sehat yang Tuhan ciptakan untuk kita.

Bagian dari buku yang tengah kubaca tersebut mengingatkanku kembali bahwa pekerjaan yang menjadi tanggung jawab kita juga merupakan pelayanan bagi Tuhan, meskipun kelihatannya sulit meluangkan waktu untuk melakukan refleksi Natal secara pribadi. Apalagi jika kembali mengingat bagaimana cara Tuhan menempatkanku di kantor ini, aku kembali mengingatkan diri sendiri untuk mengurangi keluhan yang menghambat ucapan syukur. Sambil terus belajar bahwa segala sesuatu yang dikerjakan harusnya kulakukan dengan sekuat tenaga dan dengan segenap hatiku seperti untuk Tuhan (Pengkhotbah 9:10; Kolose 3:23).

Sibuk bekerja dengan penuh tanggung jawab tentu bukan berarti tidak ada istirahat. Masih berasal dari buku yang sama, elemen berikutnya yang menyehatkan jiwa kita adalah Rest atau beristirahat. Terus menjaga dan menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan merupakan bentuk istirahat jiwa kita. Menikmati langit biru sambil diterpa angin sepoi-sepoi merupakan bentuk istirahat jiwa kita. Menikmati makanan, waktu bersama teman dan orang tersayang, dan hal-hal yang disediakan Tuhan untuk kita merupakan bentuk istirahat bagi jiwa kita. Fokus pada kesibukan seringkali malah membuat kita lelah luar dalam; lelah bagi tubuh, lelah bagi jiwa. Akhirnya, momen yang kupilih menjadi waktu terbaik untuk merefleksikan makna Natal secara pribadi adalah ketika aku tengah menempuh perjalanan pergi dan pulang kantor menggunakan ojek daring, sambil mendengarkan lagu-lagu Natal dan diterpa angin sepoi-sepoi yang menyegarkan.

“A restless soul is a soul that thinks it is in control and needs to take care of everything. If we do not rest, we are trying to be our own God. (Jiwa yang gelisah adalah jiwa yang berpikir bahwa dirinyalah yang mengatur dan perlu mengendalikan segalanya. Jika kita tidak beristirahat, kita sedang mencoba menjadi tuhan atas diri kita sendiri)”.–Judah Smith dalam buku “How’s Your Soul?”

Imanuel: Natal yang Sesungguhnya Setiap Hari

Dari perenungan pribadiku, aku belajar bahwa menikmati hadirat dan pimpinan Tuhan dalam segala aktivitas, kegiatan, dan kesibukan merupakan hal terbaik yang bisa kunikmati. Sebuah sukacita bagi jiwa ketika bisa menikmati dan merasakan pimpinan Tuhan baik ketika sedang bekerja, maupun ketika sedang beristirahat sambil menghirup wanginya air hujan yang jatuh ke tanah.

Natal tahun 2020 telah berlalu dan kini aku belajar bahwa makna Natal yang sesungguhnya tidak berfokus pada jenis kegiatan atau aktivitas yang kita lakukan pada bulan Desember, melainkan pada: “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai” (Yesaya 9:5). Dan Anak yang telah lahir itu ada bersama-sama dengan kita setiap hari, terlepas dari sibuk atau tidaknya kita. Mengapa? Karena Ia adalah Imanuel: Allah menyertai kita (Matius 1:23). Kelahiran-Nya ke dunia membawa kabar sukacita terbaik yang pernah ada, yaitu menyelamatkan umat manusia dari belenggu hukuman dosa dan memberikan kehidupan sejati karena kasih Allah yang begitu besar buat teman-teman dan juga aku; supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16). Natal selalu berbicara tentang tentang Tuhan Yesus Kristus yang lahir dan berkenan untuk dikenal (Yesaya 55:6). Dia menyertai kita di sepanjang tahun 2021 ini, dan kita bisa minta tolong pada-Nya supaya bisa menikmati Dia setiap hari, dalam setiap kegiatan apapun yang kita kerjakan.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Pahamilah Arti Kasih yang Sejati

Sedikit tindakan kasih yang kita lakukan tentulah tidak sebanding dengan apa yang Allah telah berikan pada kita, tetapi tindakan kasih itulah yang menunjukkan pada dunia bahwa kita telah dikasihi lebih dulu oleh Allah.

Bagikan Konten Ini
5 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *