Posts

Pekerjaan Impian Tak Selalu Datang di Awal

Oleh Chia Poh Fang

Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Things I Learned When I Couldn’t Find a Job

Setelah lulus kuliah, aku memutuskan untuk mendedikasikan satu tahunku melayani di organisasi nirlaba yang menjangkau anak-anak muda. Kupikir, Hei! Aku kan masih muda. Aku punya gelar dari universitas yang bagus. Pastinya aku gak akan susah buat dapetin kerja.” 

Tapi, aku salah.

Setahun kemudian, krisis ekonomi melanda kawasan Asia pada tahun 1997. Atau di Indonesia dikenal dengan sebutan “krismon”. Jumlah pencari kerja jauh lebih banyak dibandingkan lapangan kerjanya sendiri. Butuh waktu sembilan bulan sampai akhirnya aku mendapatkan pekerjaan full-time. 

Meski tahun perjuangan kita berbeda, mungkin ada salah satu di antara kita yang pernah mengalami hal yang sama sepertiku—merasa muda, yakin akan masa depan cerah, tapi kemudian ketika dihadapkan pada keadaan yang sulit, kamu merasa ingin menyerah saja. Tapi, kuharap apa yang kubagikan dalam tulisan ini dapat menolongmu melewati masa-masa sulitmu. 

Tak peduli seoptimis apa pun kamu, akan ada saatnya ketika kamu meragukan dirimu sendiri… dan itu wajar

Waktu kamu mengirimkan lamaran yang jumlahnya mungkin tak terhitung, ikut wawancara, lalu menunggu hasilnya, mungkin kamu berharap banyak pada momen itu, tapi kemudian malah kecewa. Ketika perjuanganmu seperti jalan di tempat, mungkin kamu akan jadi sepertiku yang meragukan kemampuan sendiri. Apakah aku tidak cukup baik? 

Aku telah melewati dua masa berbeda. Jika dulu aku yang diwawancara, sekarang akulah yang mewawancarai orang. Izinkan aku meyakinkanmu bahwa kalau kamu sudah masuk ke tahapan wawancara, artinya kamu punya keterampilan yang diperlukan. Tapi, proses rekrutmen kerja itu sangat subjektif dan bergantung pada banyak faktor. Jadi, kalau kamu gagal mendapat pekerjaan setelah proses yang panjang, itu bukan berarti kamu gagal.

Selama berbulan-bulan menganggur, Mazmur 139:14-18 jadi ayat yang menyemangatiku. “Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya… Mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam Alkitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya. Dan bagiku, betapa sulitnya pikiran-Mu, ya Allah! Betapa besar jumlahnya! Jika aku mau menghitungnya, itu lebih banyak dari pada pasir. Apabila aku berhenti, masih saja aku bersama-sama Engkau.”

Ketika aku meragukan diri sendiri, aku diingatkan bahwa Tuhan menciptakanku dengan begitu indah, dan hidupku ada dalam kendali-Nya. Aku senantiasa ada dalam pikiran-Nya dan Dia selalu bersamaku. Tuhan tahu apa yang aku dan kamu alami. Dia peduli pada segala ketakutan dan kekhawatiranmu. Karena Dialah yang menciptakan dan memegang tangan kita, Dia jugalah yang akan memimpinmu pada pekerjaan yang tepat untukmu, pada waktu yang tepat juga.

Kamu pun mungkin akan meragukan Tuhan…

Selama masa menanti pekerjaan tetap, aku membuat jurnal dan menulis dalam satu catatan: “Apakah aku menjadi batu sandungan bagi orang tuaku? Ayahku membuang-buang waktu setelah lulus dengan bekerja di organisasi nirlaba. Aku tidak ingin jadi beban bagi siapa pun, tapi aku merasa kalau sekarang akulah beban itu. Alih-alih bisa memberi gajiku buat orang tuaku, aku malah masih menerima uang dari mereka.”

Waktu itu aku bertanya-tanya tentang janji Tuhan di Matius 6:33, “Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya.” Apakah janji ini benar? Aku sudah melakukan perintah ini dengan melayani di lembagai nirlaba, tapi sepertinya Tuhan tidak memenuhi janji-Nya untuk memberikanku “semua yang kuingini.” 

Bisakah aku benar-benar mempercayai firman-Nya? Bahkan, apakah mengikut Tuhan itu memberi manfaat buatku? Saat itu, sebuah buklet dari Our Daily Bread Ministries yang berjudul “Mengapa Orang Kristen Ragu?” memberiku banyak dorongan. Buku itu meyakinkanku bahwa aku dapat menyampaikan keraguanku kepada Tuhan dengan jujur, dan Dia bersedia membantu kita mempercayai-Nya.

Kehidupan nabi Habakuk menggemakan kebenaran ini karena dia sulit memahami karakter Tuhan dengan perbuatan-Nya. Habakuk meratap (Habakuk 1:1), dan Tuhan tidak menolaknya. Dengan sabar Tuhan menjelaskan rencana-Nya, sehingga di akhir kitab, Habakuk dapat mengumandangkan dengan yakin, “Sekalipun pohon ara tidak berbunga… aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.” (3:17-19).

Saat aku bergumul dengan Tuhan melalui keraguanku, Dia membawaku ke tingkatan iman dan pengenalan yang lebih dalam akan Pribadi-Nya. Semua ini kudapatkan lewat berdoa dan mempelajari firman-Nya. Aku belajar melihat sifat Allah yang tetap, alih-alih membiarkan keadaanku sendiri yang berubah-ubah untuk menentukan penilaianku akan karakter-Nya. 

Selanjutnya, aku menulis ini di jurnalku: “Hidup oleh iman, bukan karena melihat” mengharuskan kita untuk melepas kecenderungan kita menebak-nebak masa depan kita sendiri. Kita harus percaya dan patuh sepenuhnya pada firman Tuhan sekalipun jalan di depan kita terasa suram.

Tuhan mengundang kita untuk percaya, yaitu dengan bersandar kepada-Nya. Tuhan dapat kita andalkan sepenuhnya. Saat kamu menyiapkan berkas lamaran, bersiap ikut tes seleksi, dan menghadiri wawancara, percayakanlah prosesnya kepada Tuhan. Proses ini ada dalam kedaulatan Tuhan. Lolos atau tidaknya kita, Tuhan selalu menyertai dan memberikan jalan keluar. 

Hidupmu seperti naik roller-coaster, tapi kamu tidak naik sendirian. Ada Tuhan menemanimu. 

Masa-masa mencari kerja bisa jadi masa yang menyenangkan untuk kita mengalami perjalanan iman, tapi bisa juga jadi seperti naik roller-coaster yang menguji adrenalinmu. Ada hari ketika kamu penuh iman dan harapan, tapi ada juga hari ketika kamu ragu dan putus asa. Aku ingat bagaimana antusiasnya aku menanti panggilan wawancara, tapi pernah juga aku putus asa saat tak ada jawaban pasti. Namun dalam segalanya, Tuhan tetap beserta. 

Mungkin kamu khawatir tabunganmu akan habis atau kamu tidak punya cukup uang untuk membiayai diri sendiri kalau belum juga dapat kerja. Naluri kita sebagai manusia lebih suka jika Tuhan seketika memberi dengan berlimpah, alih-alih memberi kita “jatah” hari demi hari. Tetapi, Bapa kita yang pengasih berbisik, Percayalah kepada-Ku. Sama seperti Dia menggunakan gagak dan janda untuk memelihara Elia (1 Raja-raja 17:1-9), tidak ada yang mustahil bagi-Nya. Kita dapat mengandalkan kasih dan kuasa-Nya untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari.

Kembali pada pengalamanku dulu, setelah sembilan bulan mencari pekerjaan, akhirnya aku diterima sebagai staf marketing. Sejujurnya, posisi itu tidak persis seperti yang kucari, dan itu bukanlah karier yang kuimpikan. Tapi aku menerimanya karena aku mengikuti saran penulis Kristen, Elizabeth Elliot, untuk Do the next thing yang bagiku saat itu adalah mencari penghasilan.

Tetapi, Tuhan tidak membuat kesalahan, dan rencana-Nya sempurna. Kalau melihat ke belakang, aku menyadari bahwa itu adalah pekerjaan yang tepat untukku karena aku mempelajari keterampilan penting, seperti etika berkirim email dan bagaimana bekerjasama dengan berbagai departemen dalam organisasi besar untuk mencapai suatu tujuan, yang pada gilirannya mempersiapkanku pada pekerjaan impianku yang sebenarnya—peranku saat ini, sebagai redaktur pelaksana di Our Daily Bread Ministries.

Jadi, jika kamu sedang mencari pekerjaan, inilah pesanku untukmu: Tetaplah dekat pada Tuhan dan Firman-Nya, Dia akan memimpinmu. Di akhir perjalanan, kamu tidak hanya akan menemukan pekerjaan, tetapi juga keintiman yang lebih dalam dengan Tuhan. Percayalah kepada-Nya!

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Kehilangannya, tapi Menemukan-Mu

Sebuah cerpen oleh Desy Dina Vianney, Medan

Rintik hujan sore itu mengingatkanku akan kejadian tepat satu minggu lalu. Rasanya seakan baru kemarin kejadian itu berlangsung. Sangat cepat, dan tanpa basa-basi. Aku duduk di bingkai jendela kamar kosku. Titik-titik hujan di kaca jendela terasa menenangkan. Di luar hujan deras dan orang-orang tampak berlarian di jalanan meskipun mereka memegang payung di tangan.

Aku menghembuskan napas. Menyisakan kabut tipis di kaca jendela.

Seminggu lalu, aku berhenti bekerja. Maksudku, aku diberhentikan dari pekerjaanku. Yahh, aku sekarang pengangguran.

Aku bekerja di salah satu perusahaan swasta yang cukup besar di kota ini. Aku belum terlalu lama bekerja di tempat ini namun aku bersyukur mendapat posisi yang cukup baik di tim audit perusahaan ini. Aku mendapat rekan kerja yang ramah dan dapat diandalkan, serta gaji yang cukup besar. Namun setelah beberapa waktu, aku kemudian mulai mengerti banyak hal yang seharusnya tidak begitu.

Kali pertama—setelah beberapa waktu, aku bertugas menyusun laporan keuangan. Aku menyadari terdapat perbedaan nominal pada laporan keuangan yang aku susun dengan laporan keuangan yang kami bahas dalam rapat akhir bulan, tapi aku mengira aku yang mungkin salah dalam membuatnya dan Kepala Tim berbaik hati memperbaikinya.

Kali berikutnya kami diminta menambahkan sesuatu ke dalam daftar uang keluar, yang sebenarnya kami semua tahu kami tidak pernah mengeluarkan dana untuk sesuatu itu.

Hal itu terjadi berulang kali hingga suatu waktu aku merasa perlu untuk mengonfirmasinya pada ketua tim.

Dan, tebak apa yang dikatakan padaku?

“Andini, kinerja kamu selama ini saya perhatikan cukup bagus, kamu tidak begitu banyak bicara tapi laporan yang kamu buat teliti dan akurat. Jadi tugas kamu adalah tetap melakukan apa yang sudah kamu lakukan selama ini. Setiap laporan yang telah saya terima adalah tanggung jawab saya untuk mengelolanya. Saya senang memiliki kamu di tim ini, mungkin tahun depan kamu sudah bisa mendapat promosi.” Katanya dengan lembut dan senyuman yang manis. Hatiku mencelos, lalu dengan kikuk keluar dari ruangannya.

Itu bukan kali pertama aku melakukannya. Beberapa waktu kemudian aku melakukannya lagi dan mulutku langsung ditutup dengan beberapa kalimat yang menyuruhku untuk segera keluar.

Suatu waktu ketika makan siang bersama dengan rekan kerja yang lain, aku menyampaikan hal itu kepada mereka. Dan apa yang kudengar dari mereka tidak begitu berbeda.

“Itu hal yang lumrahlah di lingkungan kerja seperti kita ini, Din! Kita tahu sama tahu saja. Yang penting kan tidak merugikan kita, gaji kita lancar, kerjaan kelar, bonus besar. Simple kan?”

Aku terdiam mendengarnya. Sementara yang lain mengangguk-angguk setuju.

Aku menghembuskan napas berat. Tampaknya aku sendirian.

Beberapa waktu aku membiarkan hal itu terus terjadi dan aku mulai mengikuti arus yang ada. Aku lelah berkoar-koar tentang hal itu sementara yang lain tampak tidak terusik sama sekali. Aku berusaha menjalani hari-hari kerja dengan menutup mata dan telingaku akan hal-hal seperti itu. Aku hampir nyaman menjalaninya dan memang menyenangkan ketika hidup ini berjalan dengan mulus.

Malam hari di hari Rabu minggu lalu, aku pulang dengan perasaan tidak nyaman. Aku benar-benar gelisah. Aku tahu sesuatu sedang tidak beres dalam caraku menjalani pekerjaanku dalam beberapa waktu terakhir ini tapi aku berpura-pura dan mengabaikannya. Aku tahu Tuhan memerintahkan aku menyatakan kebenaran tapi aku terlalu takut. Besok akan ada rapat akhir bulan seperti biasa dan harusnya ini kesempatan yang baik untukku mencoba menyampaikannya. Aku mulai menyusun skenario-skenario di kepalaku, beserta kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi.

Aku menghembuskan napas, lalu mengambil suatu keputusan.

Keesokan paginya, aku pun mengangkat tangan dan mengutarakan semuanya. Dan, cepat saja. Tidak perlu waktu lama dan basa-basi semuanya terjadi.

Aku pulang siang itu dan aku terduduk di ujung tempat tidur, tertegun, dan aku mulai menangis.

Mengapa aku harus berada di lingkungan kerja yang seperti ini? Megapa aku harus menyatakan kebenaran sementara orang lain tampak menikmatinya? Selama ini aku tidak pernah membayangkan akan kehilangan pekerjaan ini dan aku memang takut kehilangannya. Aku takut tidak akan mendapatkan pekerjaan seperti ini lagi. Aku ragu untuk menjalani hidup tanpa kepastian akan pekerjaan dan penghasilan yang baik. Aku menginginkan hidup aman dan mulus. Sekarang bagaimana aku akan menjalani hidup? Aku.. tampaknya aku ragu akan pemeliharaan-Mu.

Tapi malam itu aku mulai tersadar.

Kalau hidup selalu berjalan mulus, kapan aku belajar bergantung pada-Mu?

Kalau aku selalu berada di lingkungan yang baik-baik saja, kapan aku punya kesempatan untuk menyaksikan-Mu?

Kapan aku punya kesempatan untuk mengakui eksistensi-Mu dalam setiap musim hidupku?

Kapan lagi aku belajar untuk tetap berpengharapan sekalipun rasanya tidak ada lagi harapan?

Aku akhirnya tersenyum dan merasa lega. Kehilangan pekerjaan memang menyakitkan, tapi tidak sebanding dengan sukacita karena menemukan wajah-Nya yang penuh kasih.

Dan, di sinilah aku. Yahh satu minggu ini di cukup menyenangkan juga, satu minggu untuk melakukan hal-hal yang disukai, mencoba hal-hal baru, beristirahat. Sebelum esok harus mulai berburu lowongan pekerjaan lagi.

“Beritakanlah firman, siap sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah dan nasihatila dengan segala kesabaran dan pengajaran” (2 Timotius 4:2).

Hidup Kekristenan Itu Seperti Lari Estafet, Bukan Lari Cepat

Oleh Philip Roa

Artikel asli dalam bahasa Inggris: The Christian Life is a Marathon not a Sprint

Gerejaku selalu mengawali setiap tahun dengan berdoa dan berpuasa. Inilah momen yang dinantikan oleh sebagian besar jemaat. Kami saling bertanya tentang apa pokok doa yang ingin didoakan. Salah satu topik yang paling sering kudengar adalah keinginan untuk punya relasi yang lebih intim dengan Tuhan. 

Tapi, bagaimana caranya kita lebih mendekat pada Tuhan dengan cara yang lebih konsisten? Bukan sekadar konsep “new year, new me” yang biasanya menguap setelah sebulan atau bahkan seminggu.

Jawabannya adalah bagaimana kita membangun suatu kebiasaan. Ketika kita menetapkan tujuan, kita sering membayangkan hasil akhirnya tanpa berpikir bagaimana membangun langkah-langkah kecil dan pondasi supaya bisa mencapai ke sana. Kadang tanpa kita sadari, kita mencari jalan pintas yang lebih cepat. Namun, jika tujuan kita adalah ingin mendekat pada Tuhan, maka ini bukanlah tentang hasil akhir semata. Ini adalah tentang relasi, perjalanan sepanjang hidup yang harus kita jalani dengan tekun setiap harinya. 

Ada satu kutipan yang cukup terkenal, “Kehidupan rohani itu seperti lari estafet, bukan lari cepat.” 

Inilah beberapa pondasi dasar yang telah kudapat selama bertahun-tahun yang selalu kuingat setiap kali aku berpikir tentang bagaimana mendekat pada Tuhan:

Usahakan untuk selalu meluangkan waktu

Di zaman ketika orang-orang ingin kepuasan instan, cara kita mengharapkan pelayanan yang cepat dari restoran fast-food atau kedai kopi bisa saja mempengaruhi cara kita berelasi dengan Tuhan. Kita mungkin mendekati-Nya seperti kita meminta seorang barista menyajikan kopi kita dengan sempurna. 

Di awal perjalanan imanku, aku diajari bahwa Tuhan adalah kawan dan sumber berkat, yang membuatku berfokus pada apa yang bisa kudapat dari-Nya. Pola pikir ini mempengaruhi juga bagaimana aku bersaat teduh. Aku akan membaca ayat dan renungan secara cepat, lalu berdoa dengan kalimat pembuka “Tuhan terima kasih buat hari ini” dilanjutkan dengan daftar permintaan. 

Singkatnya, Tuhan bukanlah sosok yang aku rindukan untuk meluangkan waktu bersama. Dia hanya kuhampiri untuk memenuhi kebutuhanku. 

Dengan pertolongan pembimbing rohani beberapa tahun setelahnya, aku pun punya pemahaman yang lebih baik tentang relasi bersama Tuhan dan betapa pentingnya meluangkan waktu bersama-Nya. Seperti relasi dengan manusia yang kita upayakan, relasi dengan Tuhan pun perlu dipelihara secara sadar dengan berusaha dan meluangkan waktu. 

Dalam Yohanes 1:1-3, Yesus yang adalah Allah pun meluangkan waktu bersama Bapa Surgawi. Injil mencatat banyak peristiwa ketika Yesus secara sengaja menarik diri dari kerumunan untuk menyendiri bersama Allah (Matius 14:23, Markus 1:35, Lukas 6:12). 

Lebih dari sekadar meluangkan waktu, Yesus menunjukkan pada kita bagaimana Dia meluangkan waktu lewat doa (Matius 6:9-13; 26:36-44). Apa yang menjadikan doa Yesus berbeda adalah Dia memprioritaskan kehendak Bapa di atas segalanya. 

Seperti Yesus, kita pun harus meluangkan waktu bersama Bapa supaya kita dapat mengenal hati-Nya, supaya kita memprioritaskan agenda-Nya (Yohanes 4:34). 

Aku selalu ingat apa yang pembimbing rohaniku bagikan beberapa tahun lalu: “Jika sesuatu penting buatmu, kamu tidak mencari waktu, tapi kamu menciptakan waktu buatnya.” Pemahaman ini mengubah pandanganku tentang saat teduh bersama Tuhan dan menolongku untuk memutuskannya menjadi aktivitas pertamaku di pagi hari. Tuhan layak kita utamakan, dan aku tak dapat memberi-Nya perhatian, penyembahan, dan pengabdian, jika yang kupersembahkan hanyalah sisa-sisa waktuku saja. 

Seiring aku mempelajari Alkitab, aku belajar untuk berusaha lebih mengerti konteks dari suatu ayat dan mengerti bagaimana orang-orang dalam Alkitab memahami Allah. Dari sinilah aku melihat bahwa Tuhan itu adil dan kudus, juga murah hati dan berbelas kasih. Semakin aku mengerti siapa Tuhan, semakin aku termotivasi untuk memprioritaskan Dia di hidupku. 

Merenungkan ayat atau bacaan

Yosua 1:8 memberitahu kita untuk merenungkan firman Tuhan supaya kita bertindak hati-hati dan mengalami berkat dari ketaatan. Untuk merenungkan, membutuhkan waktu yang disiapkan secara khusus dan kesiapan mental supaya kita bisa berpikir lebih dalam tentang apa yang kita baca.

Merenungkan firman Tuhan mungkin tak masuk prioritas ketika segala sesuatu telah menyita perhatian kita. Hal yang bisa menolong adalah menciptakan waktu-waktu luang dari waktu-waktu jeda atau kosong di dalam keseharian. Semisal, saat aku sedang naik angkutan umum ke tempat kerja atau saat jam istirahat aku merenungkan apa yang kubaca di pagi harinya. Aku juga mencoba menemukan tempat heningku sendiri. Aku mematikan notifikasi HP, atau kadang aku membawa Alkitab untuk membaca ulang perikop dan menelaah kembali kata-kata kunci yang kutemukan menarik. 

Tapi, bagaimana jika kamu adalah orang yang tidak bisa diam dan pikiranmu suka melayang ke mana-mana? Aku tahu beberapa orang yang seketika saja melamun saat badannya menempel di kasur. 

Sejauh ini aku merasakan bahwa berseru pada Allah (tentu di tempat yang tersembunyi) menolongku untuk berfokus. Ketika kusadari pikiranku mulai melantur, aku akan berseru pada Tuhan. Aku akan menceritakan bagaimana hari-hariku, atau apa yang membebaniku, yang sedang aku gumulkan, atau apa pun yang melayang di pikiranku. Hal yang sama juga kulakukan saat membaca Alkitab. Membaca dengan bersuara menolongku lebih konsentrasi. 

Satu bacaan yang kurenungkan terambil dari Matius 28:18-20 yang juga jadi perikop kunci buat gerejaku. Aku melihat bagaimana Yesus memberikan otoritas pada ayat 18 sebelum Dia memberikan perintah di ayat 19 dan 20. Penting buat para murid-Nya untuk mengerti bahwa otoritas untuk mengajar datang dari Kristus supaya mereka sadar bahwa inilah perintah, bukan sekadar saran. 

Seiring aku merenungkan implikasi dari perintah ini, aku memahami bahwa sebagai orang Kristen tugasku bukan sekadar datang ibadah di gereja. Tapi sebagai murid Kristus yang aktif, tugasku adalah membawa orang-orang datang pada-Nya. Dan, jika aku harus mengajar orang lain untuk taat, maka aku perlu memahami sendiri apa artinya menjadi taat. 

Pada akhirnya, Yesuslah yang memberikan misi kepada para murid sebagai sebuah kelompok di mana mereka melakukan misi ini bersama-sama. Aku pun dipanggil untuk melakukaan ini bersama dengan saudara saudariku dalam Kristus. 

Apa yang Alkitab katakan

Jikalau kamu mengasihi Aku, kamu akan menuruti segala perintah-Ku”

Mudah untuk menggambarkan keintiman bersama Tuhan sebagai sekadar meluangkan waktu bersama-Nya dan merenungkan firman-Nya, padahal ada yang kita lupakan: ketaatan. Alkitab mengatakan bahwa menjadi kawan sekerja Allah (tentunya ini relasi yang akrab) berarti kita menaati dan mengikut Dia (Yohanes 15:13-15).

Kaitan antara ketaatan dengan keintiman selalu mengingatkanku akan kisah Abraham, Musa, dan Maria. Ketika Abraham menaati panggilan Allah untuk pergi dari kampung halamannya, dia melihat bagaimana Allah melindungi dan mencukupi dia. Allah memberkati Abraham dengan memberinya Ishak di usia senjanya. Setelah Musa menaati panggilan Allah untuk memimpin Israel keluar dari Mesir, dia menyaksikan pekerjaan Allah melalui tulah, laut Teberau terbelah, dan berkat-berkat lainnya selama masa pengembaraan. Maria pun menaati Allah ketika dia dipanggil untuk menjadi ibu dari Yesus. Melalui Maria, nubuatan Perjanjian Lama pun tergenapi. 

Dari ketaatan ketiga tokoh itu, mereka diberkati dan merasakan kebaikan Tuhan buat diri mereka sendiri dan orang-orang di sekitar mereka. 

Dalam kehidupan pribadiku, aku mengalami sendiri bagaimana keintiman dengan Tuhan melibatkan juga upayaku untuk melatih iman. Aku menaati Tuhan dengan mengambil langkah yang Dia tetapkan buatku dan mempercayai-Nya untuk mewujudkan segala sesuatu pada waktu-Nya. 

Dari perenunganku di Matius 18:18-20, aku bisa melihat bagaimana sulitnya memuridkan orang lain. Itu butuh pengorbanan besar. Aku perlu mengorbankan waktu-waktuku dalam setiap minggunya untuk menjangkau orang lain daripada cuma berdiam di kamar bermain gim atau membaca buku. 

Tapi, aku juga tahu bahwa membaca dan merenungkan firman Tuhan akan jadi sia-sia jika aku tidak taat. 

Jadi, aku pun menerima panggilan menjadi ketua komsel. Meskipun perjalananku tidak selalu lancar, 12 tahun ke belakang sungguh memuaskan, bagaimana aku, seorang lelaki muda mengenal dan mengasihi Allah. Menjadi seorang pemimpin juga menolongku untuk bertumbuh sebagai pengikut Kristus. Itu memotivasiku untuk bertanggung jawab atas kepemimpinanku dan anggota kelompokku. Aku telah melihat akan pentingnya tergabung dalam komunitas karena itulah yang akan menghibur, menegur, dan menguatkan satu sama lain. 

Menjadi intim dengan Tuhan bukanlah sekadar resolusi atau pokok doa ketika orang-orang bertanya apa yang jadi target rohaniku. Keintiman itu bisa diraih jika kita mengejarnya secara aktif. Meskipun terasa berat untuk keluar dari zona nyaman, mengenal Tuhan dengan dalam sungguhlah berkat dan hadiah yang indah.

Tentang Keinginan Kita dan Jawaban Tunggu

Oleh Hilary Charletsip
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Won’t God Give Me What I Want?

Lima menit.

Hanya dalam lima menit, aku bisa memesan segelas kopi, mendapatkannya, lalu mencium aromanya yang harum, dan menyeruput macchiato caramel yang enak itu.

Dalam lima menit juga, aku dapat mencari sebuah barang secara online, menambahkannya ke keranjang, membayarnya, dan menerimanya esok hari.

Kalau aku ingin menonton acara favoritku? Tinggal buka Netflix.

Kita tentunya punya banyak keinginan, tak cuma tentang barang fisik yang dapat dibeli. Keinginan kita juga berkaitan pada hal-hal yang tak berwujud yang kita capai dalam hidup— harapan, impian, dan permohonan doa kita kepada Bapa yang baik

Aku ingin menikah.
Aku ingin liburan.
Aku ingin…. Ini itu banyak sekali.

Kalau aku sendiri, sejujurnya aku hanya ingin satu hal karena ini yang terus menerus dikatakan orang buatku. Apakah aku siap duduk di belakang meja selama 40 jam seminggu sampai 30 tahun ke depan? Sama sekali tidak. Tapi, itulah yang akan dilakukan oleh seorang mahasiswa yang baru lulus.

Di tahun terakhir kuliahku, aku magang di sebuah perusahaan yang menawariku pekerjaan full-time, lengkap dengan fasilitas tunjangan. Aku bahkan tidak perlu wawancara. Tapi, lewat obrolan dengan orang-orang dewasa, doa, dan sedikit rasa ragu, aku tahu aku tidak akan cocok bekerja di situ seterusnya. Kutolak tawaran itu tanpa punya rencana cadangan, tapi aku percaya Tuhan akan menolongku.

Namun, berbulan-bulan setelah aku menolak tawaran kerja itu, hatiku merasa aku salah ambil keputusan. Semakin aku berdoa supaya dapat pekerjaan tetap, semakin aku tahu kalau usahaku belum akan membuahkan hasil dalam waktu dekat. Satu lamaran mengarahkanku ke lamaran lainnya tanpa proses wawancara, sementara perusahaan yang aku dambakan malah tidak pernah meresponsku.

Pergumulanku mencari pekerjaan tetap pun berlangsung selama empat setengah tahun. Ada banyak wawancara dan penolakan, air mata, dan saat-saat di mana aku menjadi sangat frustasi dengan setiap prosesnya. Terkadang aku mencoba bertindak sendiri, lelah mempercayai Tuhan. Setiap hari aku gelisah, kurang tidur, terburu-buru, dan cemas.

Melalui empat setengah tahun yang berat itu aku sadar bahwa terkadang Tuhan memakai tiap masa untuk menguatkan kita… untuk mempersiapkan kita menghadapi apa yang akan terjadi nantinya.

Kita ingin pekerjaan itu, tapi kita tidak punya keterampilan yang sesuai untuk mencapai apa yang Tuhan ingin kita lakukan di posisi itu. Jika memang posisi itu yang Tuhan kehendaki, Tuhan pasti akan mengizinkan kita diproses lebih dulu supaya kita memiliki kualitas dan keterampilan yang sesuai. Inilah yang terjadi selama empat setengah tahun bekerja secara kontrak. Tuhan membentukku, memperlengkapiku, dan mengenalkanku kepada orang-orang yang membawa pengaruh baik di hidupku, yang akhirnya membawaku pada posisiku sekarang ini. Tuhan tidak sedang meninggalkanku, tapi Dia sedang membawaku keluar dari zona nyaman untuk menjadikanku kompeten sesuai dengan rencana-Nya.

Masa-masa bekerja selama berjam-jam sembari dituntut juga untuk multi-tasking mengajariku tentang prioritas dan ketekunan—tetap melakukan apa yang jadi tugasku sampai selesai. Tugas untuk melakukan presentasi di grup networking—yang meskipun mengintimidasi—membantuku mengembangkan keterampilan berbicara di depan umum yang sekarang kulakukan setiap minggu dalam pekerjaanku.

Jika Tuhan seketika saja memberikan apa yang kita inginkan, mungkin kita tidak pernah menikmati proses yang menjadikan kita lebih unggul. Atau, mungkin juga kita tidak siap melaksanakan apa yang jadi kehendak-Nya.

Selama menjalani pekerjaan kontrak, Kolose 3:23 menjadi ayat yang kupegang teguh:

“Apa pun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia.”

Tidak masalah di mana aku berada atau apa yang kulakukan—entah aku menikmatinya atau tidak—aku tidak menganggap pekerjaanku hanya sebagai bekerja untuk orang-orang di sekitarku. Aku menganggapnya bekerja untuk Tuhan dan bersinar untuk-Nya. Pola pikir ini membantuku menumbuhkan kesabaran.

Ketika aku frustasi, aku ingat bahwa Tuhan selalu punya alasan tentang mengapa Dia mengizinkanku berada pada suatu waktu dan tempat. Entah apa yang kulakukan adalah untuk waktu singkat, atau waktu lama, aku akan berusaha bekerja dengan baik dan membayangkan Tuhan berada tepat di tempat kerja bersamaku. Kita mungkin tidak mengerti alasannya sekarang, tapi Mazmur 37:7-9 berkata: “Berdiam dirilah di hadapan TUHAN dan nantikanlah Dia;… jangan marah, itu hanya membawa kepada kejahatan. Sebab orang-orang yang berbuat jahat akan dilenyapkan, tetapi orang-orang yang menanti-nantikan TUHAN akan mewarisi negeri.”

Jika kamu sedang berdoa dan menanti, janganlah patah semangat. Tuhan akan mengubah masa gersang menjadi musim yang berbuah. Itu mungkin bukan masa depan yang kita impikan atau bayangkan, tetapi marilah kita beriman dan percaya pada waktu Tuhan dan rencana-Nya.

Jika kita belum mendapat kerja, belum menemukan pasangan, atau tidak bisa pergi liburan—apa pun itu, itu karena Tuhan sangat mengasihi kita. Dia terlalu mengasihi kita untuk memberikan sesuatu yang belum siap kita terima. Dia terlalu mencintai kita untuk memberikan sesuatu yang belum bisa kita tangani. Dia terlalu mengasihi kita untuk mengizinkan kita menetap, atau menyimpang dari jalan yang telah Dia tetapkan untuk kita masing-masing. Mungkin rasanya berbeda, mungkin tidak nyaman, tetapi bagaimana pun, apa yang Tuhan sediakan bagi kita itu adalah baik.

Menunggu akan yang terbaik dari Tuhan mungkin tidak sesingkat dan senyaman menunggu pesanan kopi kita disajikan dalam lima menit. Tapi, bukankah menunggu akan tetap jadi menyenangkan jika kita bisa sembari menghirup aromanya, dan mengamat-amati barista memproses kopinya sampai tersaji sempurna?

Eben Haezer: Sampai di Sini Tuhan Menolong Kita

Oleh Meliani Chandra

Ketika aku mengalami pergumulan, ketika aku dapat melewati fase-fase berat, aku selalu teringat kata yang tertulis di judul tulisan ini. Kali ini aku mau bercerita tentang penyertaan dan pertolongan Tuhan selama dua tahun pertamaku bekerja.

Saat itu aku adalah seorang fresh graduate dari jurusan kesehatan. Berawal dari penantian panjang dalam mendapatkan pekerjaan tetap, akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk bekerja di salah satu rumah sakit swasta di daerah Tangerang. Sebenarnya sangat banyak pertimbangan yang aku gumulkan apakah aku sebaiknya mengambil kesempatan ini atau tidak. Di satu sisi, aku merasa inilah jawaban dari doaku, kerinduanku untuk bekerja di bidang klinis. Namun di sisi lain, jika aku bekerja di sana, aku harus meninggalkan rumah dan tinggal di Tangerang (jam kerja shifting membuatku sulit untuk pulang pergi Jakarta-Tangerang setiap hari) dan meninggalkan banyak hal : 1) quality time bersama keluarga; 2) persekutuan di mana aku bertumbuh sejak kecil, serta pelayanan dan orang-orang di dalamnya; 3) pendapatan yang lebih besar dibanding yang sekarang (ya memang karena dulu kerja siang malam). Ditambah lagi, sistem kerja yang shifting; yang tidak mengenal weekend dan tanggal merah. Namun, setelah aku bercerita ke beberapa orang terdekat, menggumulkan, serta mendoakan, akhirnya aku memutuskan untuk mengambil kesempatan ini.

Pada saat awal masuk, rasanya super duper berat untuk dijalani. Mulai dari jobdesc pekerjaan yang kurang sesuai ekspektasi, pengalaman yang minim dengan tuntutan kerja yang tinggi, dituntut untuk cepat bisa, senioritas tinggi, waktu kerja yang shifting dan antimainstream (ketika aku libur, teman-temanku masuk, mereka libur, aku yang masuk), jadi anak rantau (walaupun cuma jarak Jakarta-Tangerang) yang tidak punya teman karena aku masih junior, dan lain-lainnya. Bisa dibilang, setiap hari aku ingin cepat-cepat libur supaya bisa pulang ke Jakarta.

Selain itu, dalam kehidupan spiritual aku pun harus beradaptasi. Sejak bekerja di tempat ini aku harus terbiasa bekerja di hari Minggu. Memang ada saat-saat tertentu aku bisa dapat libur di hari Minggu. Namun, di masa-masa awal, hal ini terasa begitu berat (sampai sekarang juga masih menjadi pergumulan tersendiri). Dinas di hari Minggu membuatku kejar-kejaran dengan waktu. Jangankan persekutuan. Jangankan pelayanan. Bisa ibadah saja sudah bersyukur.

Ya, begitulah kurang lebih pergumulanku di masa awal aku mulai bekerja. Untuk survive saja rasanya sulit dan mau menyerah. Seringkali aku bertanya, “Apa benar ini maunya Tuhan? Sepertinya ini hanya keinginanku saja. Sepertinya aku salah memilih jalan.”

Tapi … dalam dua tahun inilah aku mengalami apa yang namanya diproses Tuhan. Proses itu memang tidak enak, ibarat logam yang dipanasi, dilelehkan, dan ditempa. Aku percaya Tuhan memprosesku untuk menjadi lebih indah melalui masa-masa tidak enak dan menyakitkan yang kualami. Dia mengajarkan aku banyak hal. Dia mengizinkan aku untuk menikmati pengalaman-pengalaman berharga. Sangat jelas dan nyata penyertaan dan pertolongan-Nya di dalam kehidupanku (dan tentunya kita semua).

Inilah empat hal yang kupelajari yang aku ingin bagikan buatmu.

1. Di dalam kelemahanlah kuasa Tuhan sempurna

Ketika aku berada di titik terendah, stres dalam beradaptasi dengan pekerjaan, Tuhan menyediakan keluarga, teman-teman terdekat yang selalu mendukung dan mendoakan, yang tidak bosan-bosannya mendengarkan cerita dan keluh kesahku. Merekatidak mencibir aku payah karena mengeluh terus dan merasa tidak sanggup, tapi selalu membangkitkan semangat dan kepercayaan diri yang sudah hampir rusak. Di dalam kelemahan dan keterbatasanku, ketika aku merasa tidak bisa apa-apa, justru Tuhan yang memampukan aku untuk melewati satu demi satu rintangan, bukan dengan caraku, tapi dengan cara-Nya yang di luar akal manusia. Ia mengizinkan aku mengalami “kesengsaraan” untuk membentuk diriku menjadi tekun dan tahan uji, serta selalu berharap pada Tuhan.

2. Harta yang paling berharga adalah keluarga

Walaupun seminggu sekali aku selalu pulang setiap libur, tetap saja rasanya 1 hari dalam seminggu itu kurang untuk quality time bersama keluarga. Belum lagi, aku juga harus membagi waktu untuk bersosialisasi dan temu kangen dengan teman-teman. Walaupun jaraknya hanya Jakarta-Tangerang, aku menyadari bahwa tinggal bersama keluarga itu paling membuatku nyaman dan aman.

3. He makes all things beautiful in HIS time

Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya (Pengkhotbah 3:1). Yup. Ayat ini benar sekali. Ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap, ada waktu untuk menari (Pengkhotbah 3:4).

Tuhan tidak membiarkan aku berlarut-larut dalam kesedihan dan keputusasaan. Perlahan-lahan, badai pun mereda dan terbit pelangi yang indah.

Ketika kita dengan sungguh-sungguh belajar dan berusaha, tentu hasil tidak akan mengkhianati usaha. Ketika saat ini aku bisa memberikan konsultasi dan edukasi ke banyak orang, bahkan ketika mereka bisa pulang dengan sehat, di situ aku merasa “It’s only by HIS Grace!” Bahkan, Tuhan berikan aku bonus untuk mencicipi berkat yang tidak pernah aku harapkan sebelumnya, sebuah prestasi yang tidak pernah terpikirkan sedikit pun. Siapalah aku, kalau bukan Tuhan yang memanggil? Siapakah aku, kalau bukan Tuhan yang memampukan? Siapakah aku, kalau bukan Tuhan yang membentuk dan memproses? Layakkah seorang ciptaan dan alat untuk memegahkan diri? Tentu tidak! Yang keren dan hebat itu ya Penciptanya, Allah sendiri.

Dalam hal kebutuhan spiritual pun, perlahan-lahan aku lebih dapat mengatur jadwal hari Mingguku untuk dapat beribadah, bersekutu, dan melayani. Kuncinya tetap berdoa dan berusaha. Walaupun tidak sebebas dulu sebelum bekerja, tapi kondisi saat ini lebih baik dibanding waktu baru masuk bekerja. Terpujilah Tuhan!

4. Pelayanan adalah anugerah

Memang hidup ini adalah pelayanan. Pelayanan itu tidak terbatas pada konteks kehidupan bergereja. Aku setuju. Tapi bagiku, ikut kebaktian seminggu sekali saja tidaklah cukup. Aku butuh persekutuan, aku butuh pembinaan, aku butuh pelayanan. Persekutuan, pembinaan, maupun pelayanan membantuku semakin menikmati dan mengenal Allah. Dan, di sini aku kembali menegaskan bahwa pelayanan adalah anugerah. Tidak semua orang bisa melayani. Tidak semua orang mempunyai kesempatan untuk melayani. Tidak semua orang memiliki kesehatan untuk dapat melayani. Maka dari itu, ketika kita masih diberi waktu, masih diberi kesempatan, masih diberi kesehatan oleh Tuhan, mari kita beri diri untuk dipakai-Nya.

Kira-kira, inilah yang bisa kubagikan. Masih banyak berkat Tuhan yang tidak kuceritakan di sini, karena terlalu banyak berkat dan pertolongan Tuhan di dalam kehidupanku.

Satu hal kuyakini, Tuhan yang telah menolong kita sampai disini, Tuhan yang sama akan senantiasa menolong kita sampai kapanpun. Semoga bisa menjadi berkat bagi teman-teman yang membaca. GBU.

Demi Perubahan Hidup, Aku Berani Ambil Keputusan Besar

Oleh Sarah Callen
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How A Month With God Changed My Life

Beberapa bulan terakhir rasanya seperti penuh badai bagiku. Di bulan Agustus, aku merasa Tuhan memintaku untuk menjadikan bulan Septemberku sebagai momen Sabat–waktu khusus untuk berhenti dan beristirahat. Aku terpikir untuk berhenti kerja, berhenti menyusun planning, agar aku bisa meluangkan waktu berkualitas dengan Tuhan tanpa gangguan apa pun.

Di pekerjaanku, aku bisa bekerja sampai 14 jam sehari. Keputusan berhenti ini mengubah jam kerjaku menjadi 0 jam sehari. Buatku yang workaholic, perubahan drastis ini akan menyulitkan dan mengejutkanku. Aku terus meminta petunjuk supaya aku yakin, seperti ketika Allah meyakinkan Sarah.

Di dalam Alkitab, ada pola tentang bagaimana Tuhan memanggil orang-orang pilihan-Nya untuk “keluar” agar mereka fokus pada-Nya. Bangsa Israel berjalan di padang gurun selama 40 tahun, menjumpai Tuhan dan belajar menanggalkan kebiasaan-kebiasaan buruk yang bisa membahayakan mereka. Yesus pun secara teratur meluangkan waktunya dalam kesunyian dan berdoa bersama Bapa. Sepanjang waktu yang kutentukan sebagai Sabat, aku terpaku pada beberapa ayat di Yeremia 29, yang ditulis untuk umat Tuhan yang sedang ditawan.

“Dan apabila kamu berseru dan datang untuk berdoa kepada-Ku, maka Aku akan mendengarkan kamu; apabila kamu mencari Aku, kamu akan menemukan Aku; apabila kamu menanyakan Aku dengan segenap hati, Aku akan memberi kamu menemukan Aku, demikianlah firman TUHAN” (Yeremia 29:12-14a)

Ungkapan “dengan segenap hati” itu selalu menyentakku setiap kali aku membacanya. Aku sungguh ahli jika mencari Tuhan dengan ‘sebagian’ hatiku, tetapi jika seluruhnya kuserahkan, itu jadi cerita yang berbeda. Aku tahu Tuhan memanggilku ‘keluar’ dari rutinitasku supaya aku bisa mencari Dia sepenuh hati, dan aku tahu aku harus membuat beberapa perubahan.

Memangkas Kebisingan

Salah satu perubahan yang kulakukan adalah: aku memutuskan berhenti jadi subscribers sejumlah podcast. Aku perlu mengendalikan suara-suara manakah yang kuizinkan masuk ke dalam pikiranku dan membentuk hidupku.

Selama bertahun-tahun, aku mendengar berbagai podcast soal politik dan aku sangat menikmatinya, tapi di sisi lain aku pun merasa muak. Seiring waktu, podcast yang awalnya seru dan mendidik berubah menjadi ajang saling menuding dan menjatuhkan pihak lain, sehingga jika kudengarkan lebih lanjut bisa berdampak negatif buatku.

Meskipun aku tahu podcast itu memberiku dampak negatif, berhenti jadi subscribersnya ternyata sulit. Sebagian diriku masih ingin terikat pada rutinitasku. Aku juga tidak ingin kehilangan suara-suara yang sudah akrab kudengar. Loyalitasku pada acara podcast ini mungkin jadi penyebab, tapi kusadari ada yang lebih dari itu:

Aku tidak ingin melepaskan sesuatu yang sudah kugenggam erat. Aku tidak ingin berkorban. Aku ingin lebih mengenal Tuhan lebih erat dan akrab, mendengar-Nya lebih jelas daripada sebelumnya. Tapi, aku tidak mau menciptakan ruang untuk mendengar suara-Nya. Aku ingin Dia bekerja, sedangkan aku cuma menerima.

Menjumpai yang Lebih Baik

Di bulan September, aku melakukan yang terbaik untuk bulan yang kuanggap Sabat. Aku belajar lebih bijak menggunakan uangku, tidak lagi boros untuk sekadar jajan. Aku memilih untuk percaya pada pemeliharaan-Nya daripada mengkhawatirkan diriku sendiri.

Kutunda dulu pekerjaan-pekerjaan yang menyita waktuku supaya aku bisa bersandar pada firman-Nya. Aku belajar merasa cukup dengan kehadiran Tuhan saja, bukan semata mencari berkat-berkat-Nya. Aku harus menguji, apakah aku beriman dengan murni atau transaksional alias mengharapkan imbalan. Kusadari aku terlalu egois, yang kupikirkan cuma diriku sendiri.

Tuhan seperti memberiku cermin. Dia menunjukkanku area-area mana di hidupku di mana aku membiarkan rasa malu dan gila kerja menguasaiku, menaruh percayaku pada zona nyaman yang kubuat sendiri, yang kuyakini itulah yang berkenan buat Tuhan.

Sekarang, aku sadar bahwa tugasku adalah aku perlu percaya pada Tuhan melebihi aku percaya pada diriku sendiri. Aku memilih untuk berserah.

Bagi seorang workaholic yang terlalu berlebihan dalam bekerja, keputusan menikmati Sabat akhirnya menunjukkanku bahwa Tuhan jauh lebih hebat dari diriku sendiri. Segala upayaku dalam bekerja tidak memiliki makna jika aku tidak memiliki relasi dengan-Nya. Momen-momen ketika aku melepaskan diri dari apa yang menjeratku, jadi pembelajaran yang meneguhkanku bahwa identitasku datang dari apa yang Tuhan katakan tentangku, bukan dari apa yang aku lakukan. Tuhan telah menyingkap dan menyembuhkan bagian-bagian hatiku yang terluka, yang tidak percaya, yang keras. Aku telah mencari Dia, dan Dia pun selalu hadir.

Tuhan selalu bisa kita jumpai saat kita ingin berelasi dengan-Nya.

Apa yang Tuhan katakan padamu dalam situasimu yang sekarang? Apa yang telah Dia bisikkan ke hatimu? Aku berdoa agar kita bijak mengelola waktu kita, memangkas hal-hal apa yang membisingkan telinga dan hati kita, serta memberi ruang bagi-Nya untuk berbicara kepada kita.

Apa pun langkahmu selanjutnya, aku berdoa agar Dia memenuhimu dengan keteguhan hati dan kamu memutuskan untuk selalu mengikut dan taat pada rencana-Nya.

Imanku Bertumbuh dari Balik Kegagalan

Oleh Abyasat Tandirura, Toraja

Aku bersyukur terlahir sebagai seorang anak petani yang kerap merasakan pasang surut kehidupan yang tak mudah tetapi terus dilakoni agar tetap menjadi harapan demi keberlangsungan hidup itu sendiri. Ketika musim menanam padi hendak dimulai, aku menyaksikan langsung bagaimana proses yang dilakukan oleh para petani yang dimulai dari pesemaian bibit hingga memperoleh hasil akhir yakni tuaian padi.

Terlepas dari serangkaian proses sampai padi siap dituai, ada satu hal yang menarik perhatianku hingga menjadi sebuah perenungan bagiku ketika aku memaknai kegagalan dalam perspektif iman. Aku memperhatikan terkadang benih padi yang disemaikan ayahku serta para petani lainnya, ada yang bertumbuh dengan sempurna, bertumbuh sebagian, hingga ada pula yang gagal tumbuh sama sekali. Padahal, semua padi itu berasal dari benih yang sama dan melalui proses persemaian yang sama. Namun, ternyata tidak sedikit benih yang tidak layak dijadikan bibit padi siap tanam.

Seperti benih padi yang gagal tumbuh, kegagalan juga menghampiri hidupku. Akan tetapi, jika benih padi yang gagal tumbuh itu tidak ada lagi artinya sebab tidak akan pernah menghasilkan tuaian baru, maka lain halnya dengan kegagalanku. Kegagalanku justru sungguh berarti dan memberiku harapan baru.

Bagaimana aku memaknai kegagalanku, sehingga menjadi pondasi yang kuat untuk menjalani hari-hariku baik sekarang pun di masa menjelang? Iman seperti apa yang membuatku teguh di tengah kesukaran hidup untuk berjuang mendapatkan pekerjaan yang baru? Melalui tulisan ini, Aku berharap kiranya kita semua tetap teguh beriman dan tidak hilang harapan untuk setiap perjuangan yang sedang berlangsung.

Awal September kemarin, menjadi perjuangan pertamaku untuk mendapatkan pekerjaan baru pasca resign dari tempat kerja sebelumnya. Dengan semangat yang membara, aku membulatkan tekad untuk mengikuti serangkaian proses seleksi pegawai yayasan pada salah satu perguruan tinggi swasta yang cukup jauh dari tempat tinggalku. Aku sungguh bersemangat mempersiapkan sejumlah berkas. Demi pekerjaan ini, aku menempuh perjalanan lintas kabupaten agar bisa memenuhi persyaratan administratif.

Aku bersemangat dan melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan karena satu hal. Jika aku bisa mendapat pekerjaan ini, aku bisa tetap menunaikan tanggung jawab pelayananku di gereja tempatku berjemaat. Aku yakin motivasiku ini selaras dengan firman Tuhan, karena aku tahu bahwa bekerja juga adalah wujud pelayanan. Aku sungguh ingin melayani Tuhan di tempat kerjaku, juga di gereja, agar hidupku bisa berbuah seperti yang diserukan oleh rasul Paulus: “Tetapi jika aku harus hidup di dunia, itu berarti bagiku bekerja memberi buah” (Filipi 1:22b).

Akan tetapi, untung tak dapat diraih malang tak dapat ditolak.

Lagi, namaku tidak tertera dalam daftar pengumuman hasil akhir tes. Padahal, aku dan beberapa temanku berpendapat bahwa soal yang diujikan tidaklah sesulit soal-soal setingkat rekruitmen BUMN atau seleksi CPNS. Lagipula, beberapa materi yang telah kupelajari selama 2 minggu sangat membantuku dalam menjawab sejumlah soal yang diujikan. Bahkan, sesi wawancara pun berjalan dengan lancar.

Kuakui, perjuangan yang berawal dengan penuh semangat tetapi berujung pada kegagalan ini, membuatku berkecil hati. Aku telah kehilangan pekerjaan saat memutuskan untuk memilih resign karena SK kontrak kerjaku tak lagi diperpanjang, juga agar aku bisa mencari pekerjaan baru dengan upah kerja yang jauh lebih baik.

Perasaan khawatir juga melintas di benakku. Aku takut tidak punya penghasilan, sementara hidup menuntut banyak kebutuhan. Aku takut kesehatan mentalku terganggu, bila aku terlalu lama menganggur.

Aku teringat pada kisah kegagalan serupa yang telah menerpaku setahun lalu bahkan pada tahun-tahun sebelumnya. Sejujurnya, secara fisik aku lelah tak berdaya tatkala meratapi kegagalan-kegagalan tersebut. Aku berpikir, mungkinkah kegagalan kali ini adalah kesalahanku atau mungkin nasibku selalu sial? Kendati demikian, ada satu hal yang memampukanku berdiri teguh sejauh ini yakni iman.

Bagi Tuhan, tak ada yang mustahil. Hati kecilku menyerukan dengan lantang kata-kata ini. Seruan iman dan pengharapan ini seakan menyulap hatiku yang dingin menjadi hangat merekah. Seperti judul tulisanku “Imanku Bertumbuh dari Balik Kegagalan, aku bertanya pada diriku: andaikata iman itu bisa dihitung atau bisa berwujud benda, apakah imanku hanya sebiji benih padi saja? Tidak sebulir, apalagi segenggam? Jika benar ia hanya sebiji benih padi saja, apakah ia benar-benar bertumbuh dengan baik sehingga olehnya kelak terbit harapan baru yakni tuaian benih-benih padi bernas?

Kitab Ibrani 11:1 menuliskan dengan jelas bahwa: Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.

Aku belajar lebih dalam tentang iman dan kegagalan yang kualami ini. Aku yakin sepenuhnya bahwa saat kita hidup beriman, tidak berarti kita tidak lagi mengalami kegagalan dan bila kita mengalami kegagalan, bukan berarti kita tidak beriman. Iman menjadi dasar dari setiap pengharapan kita. Andaikata aku tahu sebelumnya bahwa aku tidak lolos, untuk apa aku rela berlelah-lelah mengikuti serangkaian seleksi itu? Aku menyadari bahwa meski hatiku gundah gulana karena gagal mendapatkan pekerjaan, Tuhan tetap mengasihiku dengan membangkitkan dan menyegarkan kembali imanku.

Kegagalan ini sungguh membuat imanku bertumbuh.

Betapa tidak, aku belajar bahwa bukan soal besar kecilnya iman yang kita miliki, tetapi bagaimana kita menghidupi iman itu; apakah kita tetap percaya dan taat. Aku percaya bahwa rancangan-Nya jauh lebih baik daripada keinginanku. Aku yakin bahwa Ia tetap setia pada janji-Nya tentang rancangan masa depan yang penuh damai sejahtera. Aku perlu taat sepenuhnya kepada-Nya ke mana saja Ia membawaku dan memberiku pekerjaan baru kelak.

Kini, dengan sukacita aku mau mengatakan bahwa bukan perkara lolos atau tidak melainkan bagaimana iman yang kumiliki itu—bahkan bila hanya sebiji benih padi—makin bertumbuh dengan baik, makin membawaku pada rancangan dan tujuan-Nya semata sehingga aku tidak harus meratapi kegagalanku dan tidak perlu berkecil hati. Senada dengan iman, aku teringat akan perkataan Yesus kepada murid-murid-Nya tentang Iman sebesar biji sesawi.

“…Sebab Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja kamu dapat berkata kepada gunung ini: Pindah dari tempat ini ke sana,-maka gunung ini akan pindah, dan takkan ada yang mustahil bagimu” (Matius 17:20).

Ketika gagal, aku bersyukur bahwa Tuhan tidak hanya membangkitkan dan menyegarkan kembali imanku, tetapi juga Ia menerbitkan harapan baru bagiku untuk terus berjuang dan tidak menyerah hingga suatu waktu aku mendapatkan pekerjaan baru. Harapan itu diteguhkan oleh firman-Nya: “Lihat, Aku telah melukiskan engkau di telapak tangan-Ku; tembok-tembokmu tetap di ruang mata-Ku” (Yesaya 49 : 16)

Sekarang, aku sungguh mengimani bahwa pengharapan dan iman percaya kita, pun ketaatan kita kepada-Nya, akan memandu dan membuat kita sampai pada tujuan, tidak hanya kesuksesan tetapi juga kemuliaan kekal. Aku pun mengerti bahwa kegagalan bukanlah kesalahan melainkan sebuah momen yang menolong kita untuk bersyukur dalam segala hal, sekaligus menumbuhkan iman dan pengharapan kita jauh melebihi dari semua hal yang kasat mata. Kiranya, hari demi hari iman kita terus bertumbuh dari Firman-Nya.

Kepada semua teman-temanku yang mengalami kegagalan sepertiku, aku mau berkata bahwa janganlah terlalu larut dalam kesedihan dan kekecewaan sebab ketika kita hidup di dunia, pencapaian kesuksesan bukanlah prioritas utama. Lebih daripada kesuksesan duniawi, sejatinya aku dan kamu sedang berjuang menghidupi iman di dalam Kristus untuk mencapai tujuan akhir yaitu hidup kekal bersama-Nya selamanya di sorga kelak.

Terpujilah Tuhan

Di Mana Tuhan Ketika Aku Terpuruk Karena Menganggur?

Oleh Mikaila Bisson
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Where Was God in My Job-Hunting Struggles?

Tahun pertama setelah lulus kuliah, aku pernah magang dan mengambil pekerjaan sementara di kampus almamaterku. Pekerjaan ini memang sesuai rencanaku. Kupikir sebelum aku benar-benar memasuki dunia kerja, aku perlu menyesuaikan diri. Setelah kontrakku berakhir, aku makin tertantang untuk menemukan pekerjaan tetap. Saat itulah aku mulai sungguh-sungguh berdoa agar Tuhan membantuku menemukan pekerjaan tetap yang tepat.

Namun, setelah berbulan-bulan, aku masih menganggur, dan akhirnya pulang ke rumah orang tuaku—sesuatu yang aku janjikan tidak akan pernah kulakukan. Setiap hari aku mengirim lamaran tak peduli apa pun posisinya. Ketika ada perusahaan yang mengundangku wawancara, kebanyakan prosesnya tidak berjalan baik. Ada yang lebih memilih kandidat lain, atau tiba-tiba malah posisi yang kulamar hilang.

Akhirnya, aku mengambil langkah besar. Kutarik tabunganku dan pindah ke kota lain yang kuyakin di sana kesempatanku untuk mendapat kerja lebih besar.

Bulan demi bulan berlalu, saldo rekeningku kian menyusut… dan tidak ada tawaran pekerjaan yang datang. Aku kehilangan harapan untuk percaya kalau Tuhan akan memberikan apa yang sangat kubutuhkan—pekerjaan. Akhirnya, ketika tabunganku makin menipis, aku tenggelam dalam depresi. Di mana Tuhanku sekarang? Tidak bisakah Dia melihat aku menderita dan memanggil-Nya setiap jam?

Sebisa mungkin aku ingin mengatakan bahwa titik terendah ini membawaku lebih dekat kepada Tuhan, namun yang terjadi adalah sebaliknya. Aku marah kepada Tuhan mulai dari aku bangun sampai kembali tidur. Aku berharap Dia menjagaku, atau setidaknya mendengarkanku… namun, setiap hari yang kudengar hanyalah jawaban “tidak”, atau keheningan yang lebih memekakkan telinga.

Berjalan dengan Tuhan dalam Kemarahan

Gereja dan imanku adalah satu-satunya yang tetap dalam hidupku. Sesulit apa pun kondisiku, terkadang dengan pergi ke gereja—terutama ketika khotbah tentang “panggilan” membuatku berjuang melawan air mata dan kekecewaan—aku masih dapat belajar sesuatu tentang Tuhan dan diriku sendiri di setiap ibadah Minggu.

Masa-masa prapaskah yang jatuh di bulan Februari (periode dalam kalender Kristen yang kusukai) secara istimewa sungguh membuka mataku. Momen-momen refleksi selama masa prapaskah memberiku ruang di tengah kemarahanku untuk berjalan bersama Tuhan. Aku menulis jurnal, mengikuti ibadah-ibadah, dan merenung. Aku mulai melihat betapa Tuhan telah memberkatiku. Mungkin aku memang belum mendapat pekerjaan, tapi Dia memeliharaku dengan memberiku support-system yang baik. Tuhan memberiku rumah untuk ditinggali, dan sebenarnya aku pun diberi-Nya rencana cadangan. Meski aku masih belum dapat kerja, orang tuaku tetap akan dengan senang hati menyambutku jika aku memutuskan untuk pulang.

Selama masa prapaskah ini aku terus memproses amarahku, hingga aku menemukan kisah Alkitab yang memberiku perspektif baru tentang pemeliharaan Tuhan.

Dalam Yohanes 11:1-16, Yesus tahu bahwa sahabat-Nya, Lazarus, sedang sakit parah. Dari interaksi mereka sebelumnya, kita tahu bahwa Yesus, Maria, Marta, dan Lazarus adalah teman. Tetapi ketika Maria dan Marta memanggil-Nya, Yesus malah menetap di tempat Dia berada dua hari lagi sebelum kembali ke Yudea. Dua hari lagi? Apa yang Yesus pikirkan? Teman baiknya sangat membutuhkan kuasa penyembuhan-Nya, namun Dia memilih untuk tinggal di Yudea sementara penyakit Lazarus berakhir fatal.

Melihat Kemuliaan Tuhan

Kisah itu selalu membuatku bingung. Mengapa Yesus tidak segera datang menemui sahabat-sahabat-Nya? Tetapi setelah membaca buku Waiting: A Bible Study on Patience, Hope, and Trust dari Sharla Fritz, aku mendapatkan perspektif yang lebih jelas tentang mengapa Yesus melakukan apa yang Dia lakukan.

Dalam Yohanes 11:5-6, kita membaca:

“Yesus memang mengasihi Marta dan kakaknya dan Lazarus. Namun setelah didengar-Nya, bahwa Lazarus sakit, Ia sengaja tinggal dua hari lagi di tempat, di mana Ia berada.”

Jadi, satu kata itu mengubah segalanya. Karena Yesus mengasihi orang-orang ini, Dia tinggal di tempat Dia berada.

Kemudian pada bagian berikutnya, kita membaca:

“Jawab Yesus: ”Bukankah sudah Kukatakan kepadamu: Jikalau engkau percaya engkau akan melihat kemuliaan Allah?” … berserulah Ia dengan suara keras: “Lazarus, marilah ke luar!” Orang yang telah mati itu datang ke luar, kaki dan tangannya masih terikat dengan kain kapan dan mukanya tertutup dengan kain peluh.” (Yohanes 11:40-44)

Mengapa Yesus tetap tinggal di tempat Dia berada? Untuk menunjukkan kebesaran kemuliaan-Nya dalam situasi ini, dengan membangkitkan Lazarus setelah empat hari dari kematiannya. Untuk menunjukkan bahwa meskipun semua tampak hilang, Dia dapat melakukan hal yang mustahil, dan Dia adalah pribadi yang layak kita percayai. Untuk mengingatkan kita bahwa Dia bertindak menurut gambaran besar yang tidak dapat kita lihat, atau bahkan bayangkan.

Bahkan Jika Kita Tidak Mengerti

Ketika aku terus memikirkan hal ini, aku menyadari bahwa Tuhan tidak berutang pekerjaan kepadaku. Alih-alih menuntut-Nya memberiku satu hal menurut rencana yang telah kubuat, aku bisa berbagi keinginan, frustrasi, dan doa-doa dengan-Nya, dan menyerahkan jawabannya pada rencana gambaran-Nya yang besar. Syukurlah, rencana besar-Nya buatku mencakup bagaimana dan di mana aku akan meraih pekerjaan tetap. Tuhan memberiku pekerjaan luar biasa pada sebuah lembaga pelayanan yang memberiku kesempatan untuk menumbuhkan skill profesional, juga imanku, lebih daripada apa yang kubayangkan.

Tuhan layak mendapatkan kepercayaan kita karena Dia selalu melakukan yang terbaik. Dalam situasi Maria dan Marta, yang terbaik yang Yesus lakukan adalah saudara laki-laki mereka dibangkitkan dari kematian dan tindakan ini menunjukkan dahsyatnya apa yang dapat Tuhan lakukan. Pada titik ini, aku belum mengerti mengapa menganggur dan susah payah mencari kerja adalah yang terbaik buatku. Meskipun pada akhirnya masa-masa penantian itu membangun imanku pada Tuhan dan rencana-Nya, aku masih tidak yakin bagaimana hal itu akan menunjukkan kemuliaan-Nya di masa depan. Tetapi meskipun aku tidak mengerti, aku tahu sekarang bahwa aku selalu dapat mempercayai Dia untuk memeliharaku—meskipun itu mungkin tidak terlihat seperti yang kuinginkan.

Meskipun aku masih merasa bahwa pengalamanku itu sedikit getir, aku tahu Yesus akan menyambutku. Dia akan merengkuhku, juga seluruh rasa bingung dan kecewaku, sebagaimana Dia menangis bersama Maria dan Marta karena kehilangan Lazarus, meskipun Dia tahu bahwa Lazarus kelak akan dibangkitkan-Nya.

Menjadi Produktif Tidak Berarti Mengabaikan Waktu-waktu Beristirahat

Oleh Sarah Tso
Artikel asli dalam bahasa Inggris: How To Rest Without Feeling Guilty

Teman-temanku mengenalku sebagai seorang yang sangat produktif. Aku tumbuh besar di keluarga yang selalu mengingatkan anggotanya untuk “jangan cuma diam saja.” Alhasil, beristirahat menjadi aktivitas yang tak kusuka karena kuanggap sebagai “nggak ngapa-ngapain”. Dalam kamus hidupku, setiap hari pasti ada sesuatu yang bisa kulakukan.

Terlepas dari budaya keluarga yang menghargai produktivitas setiap waktu, hal lain yang membuatku enggan menikmati momen-momen jeda atau istirahat adalah media sosial. Kita melihat teman kita memposting hobi atau prestasi (naik jabatan, menikah, punya anak), dan kita lantas membandingkan diri kita dengan mereka. Sebelum kita sadar, kita sudah terjebak dalam perangkap membanding-bandingkan.

Kita juga sulit mengendalikan diri kita sendiri. Kita merasa lebih berpengalaman dan bisa melakukan pekerjaan yang lebih baik. Akhirnya, alih-alih mendelegasikan tanggung jawab ke orang lain, kita malah menanggungnya sendirian.

Ketika hari yang kita jalani terasa kurang produktif menurut pandangan kita, kita pun merasa bersalah dan berpikir: “harusnya aku bisa melakukan lebih”, “duh, aku gak fokus lagi”. Belum cukup sampai di situ, kita lalu khawatir akan hari esok: “Mending aku kelarin semua sekarang, atau besok malah numpuk.” Jadi, bagaimana kita bisa menikmati momen istirahat yang tenang tanpa khawatir?

Allah menghendaki kita untuk beristirahat, dan pemahaman ini membawaku merenung tentang Yesus, tentang bagaimana Dia menjalani hidup-Nya semasa di bumi. Juruselamat kita tahu batasan-batasan dalam tubuh manusia. Dia berfokus pada misi-Nya, tapi Dia tahu Siapa yang sungguh memegang kendali. Itulah mengapa Yesus mengerti bagaimana cara beristirahat.

Inilah 3 poin yang kupelajari:

1. Fokuslah pada misi utama hidup dan karuniamu supaya kamu tidak mengiyakan segala sesuatu

Ketika Yesus melayani di bumi, Dia tidak memaksa diri-Nya untuk menyembuhkan semua orang sakit dan memberitakan Injil ke semua orang yang ada di wilayah-Nya. Yang Yesus lakukan adalah memperlengkapi para murid dan menunjukkan tanda-tanda mukjizat untuk menegaskan kebenaran Injil. Yesus tahu bagaimana membangun batasan dan mempercayakan Allah untuk meneruskan misi-Nya melalui para murid yang dimampukan oleh Roh Kudus (Kis 1:8).

Belajar dari teladan Yesus untuk menemukan apa misi Tuhan buat hidupku telah membebaskanku dari godaan untuk melakukan segala sesuatu sendirian.

Belakangan ini aku mengenali karunia rohani dan panggilan hidupku melalui sebuah kelas pelatihan yang kuambil (tentang The Significant Woman). Karuniaku adalah memberi dorongan semangat, mentoring, mengajar, dan menulis. Semua ini menolongku untuk sadar bahwa misi utamaku adalah untuk membimbing orang-orang dewasa muda dan menolong mereka menemukan tujuan hidup dalam Kristus.

Ketika misi utama itu tampak jelas bagiku, aku mulai berfokus dalam menulis dan mentoring. Hal-hal lain yang tak selaras dapat kukesampingkan lebih dulu. Saat aku mengerti bagaimana Tuhan membentukku untuk melayani-Nya, aku bisa dengan yakin berkata “tidak” tanpa merasa bersalah pada hal-hal yang memang tak bisa kulakukan. Hasilnya, aku punya waktu-waktu berharga untuk mengerjakan tugas kerajaan-Nya dan menikmati waktu istirahatku.

Kalau kamu belum menemukan apa yang jadi karunia rohani dan misi hidupmu, aku sangat mendorongmu untuk mencarinya dengan bimbingan seorang mentor atau kelompok komselmu.

2. Temukan aktivitas yang menolongmu recharge secara rohani dan fisik

Yesus tahu cara terbaik untuk menghindari rasa kewalahan dan beristirahat dengan benar. Caranya adalah dengan terhubung dan berserah kepada Allah secara teratur (Lukas 5:16). Yesus secara intensional mencari tempat-tempat tenang untuk berdoa dan meluangkan waktu dengan Bapa Surgawi. Dia juga mendorong para murid untuk melakukan yang sama (Markus 6:31).

Aku merasa recharge ketika aku merenungkan kebaikan Tuhan dan melihat ciptaan-Nya dari dekat. Aku suka bertemu para sahabat dan mengobrol deep-talk, berdoa bersama sebelum makan, jalan-jalan di alam, mempelajari lagu baru, atau menulis puisi tentang ciptaan-Nya. Sebagai seorang yang melakukan perencanaan, aku menjadwalkan waktu-waktu itu semua di kalenderku. Kalau tidak terjadwal, maka tidak akan kesampaian.

Beristirahat tidak selalu tentang tidak melakukan apa pun. Beristirahat bisa berupa memprioritaskan apa yang akan menolongmu untuk memulihkan kembali jiwa dan ragamu.

3. Ganti kritik atas dirimu sendiri dengan menerima karya-Nya di kayu salib

Dalam tahun-tahunku tumbuh besar, aku suka mengkritik. Aku menaruh ekspektasi tinggi buat diriku sendiri karena aku memegang prinsip “selalu ada ruang untuk meningkatkan kualitas diri” dan aku bisa melakukan yang lebih baik. Pelatih basketku juga pernah bilang, kalau aku tidak kerja keras hari ini, maka orang lainlah yang akan mendapat kesempatan.

Tanpa kusadari, pemikiran ini kuterapkan dalam caraku beriman. Aku melihat diriku dan orang lain sebagai sosok yang kurang berharga di mata Tuhan, dan Tuhan menjadi sosok yang susah disenangkan.

Barulah saat aku ikut konferensi Father Heart, cara pandangku berubah dan aku mengerti apa artinya menjadi anak Allah (Yohanes 1:12; 1 Yohanes 3:1). Allah bergirang karena aku (Zefanya 3:17), Dia menyediakan apa yang tak pernah kupikirkan (1 Korintus 2:9). Semuanya diberikan karena karya Kristus di kayu salib.

Kita cenderung mengukur diri kita dengan standar orang lain atau standar kita sendiri yang kita tetapkan lebih tinggi, lalu merasa bersalah ketika kita tidak sanggup mencapainya.

Untuk menjaga hati kita dari jebakan membanding-bandingkan diri yang tiada akhirnya, kita harus ingat bahwa yang paling penting dalam sejarah telah dituntaskan-Nya (Yohanes 19:30, Ibrani 9:12). Kita tidak perlu membuktikan diri berharga melalui kerja keras kita karena Allah telah membuat kita berharga lebih dulu (Roma 8:28-39). Kita dapat bersandar pada pekerjaan-Nya yang telah tuntas dan melayani dalam kasih setia-Nya yang berlimpah.

Artinya, kita dapat berdoa memohon hikmat untuk mengetahui kapan harus bersusah payah dan menuntaskan pekerjaan dan kapan harus membangun batasan serta mempercayakan pada Allah pekerjaan-pekerjaan kita yang belum dapat kita selesaikan. Dalam kedua situasi itu, kita mengakui Yesus adalah Tuan (Kolose 3:23) sehingga apa pun yang kita lakukan bukanlah supaya kita diterima atau menyenangkan orang lain, tapi sebagai persembahan bagi Tuan yang kita layani.

Teruntuk saudara dan saudariku, kalau kamu hari ini ingin beristirahat tapi dilanda rasa bersalah, kuingatkan kamu akan janji dari Yesaya 26:3, “Yang hatinya teguh Kaujagai dengan damai sejahtera, sebab kepada-Mulah ia percaya”.Fokuskan pikiranmu pada Tuhan hari ini, percaya sepenuhnya, supaya kamu mengalami damai dan momen istirahat yang sejati ketika kamu tahu bahwa Dia sungguh peduli.