Posts

Cara Menjaga Kesehatan di Tengah Sibuknya Pelayanan

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Habel adalah seorang anak remaja yang sangat aktif melayani di gereja. Hampir setiap harinya dia berada di gereja. Selalu saja ada alasannya, entah itu rapat pengurus komisi remaja, latihan untuk ibadah remaja, membantu membuatkan slide power point untuk ibadah umum hari Minggu, ataupun bermain badminton bersama teman-temannya di gereja. 

Kesibukan Habel di gereja membuat dia sering disambut omelan oleh ibunya ketika dia tiba di rumah. Bagaimana tidak, dia yang masih sekolah tapi sibuknya bukan main, sampai-sampai setiap hari baru sampai di rumah ketika langit sudah gelap. Tidak heran ibunya jadi sering mengomel, tapi meskipun dia sering diomeli, Habel tidak mengubah rutinitasnya itu karena menurutnya dia sedang mengisi waktunya dengan kegiatan yang positif. Hingga suatu hari rutinitas yang disukainya itu terpaksa harus berhenti. 

Akibat dari banyaknya tugas sekolah dan pelayanan yang ia lakukan, Habel pun kelelahan. Kondisi fisik yang tidak prima inilah yang menjadi gerbang dari sakit tifus. Alhasil karena sakit ini dia tidak bisa bersekolah dan tidak bisa juga mengambil pelayanan di gereja.

Beberapa hari setelah ia sakit, pembina remajanya datang untuk menanyakan kabar sekaligus mendoakannya. Ketika ditanya kabarnya, Habel dengan wajah mengerut menjawab sedih karena saat ini dia tidak bisa produktif melayani Tuhan. Habel juga merasa bersalah karena seperti tidak mengerjakan panggilannya sebagai orang Kristen yaitu melayani Tuhan dan sesama. 

Mendengar hal itu, pembina remajanya tersenyum geli lalu membuka Alkitab yang dibawanya dan membacakan kepada Habel. 1 Korintus 10:31 “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan segala sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” 

Ia kemudian memberi nasihat kepada Habel bahwa menjaga kesehatan penting dalam melayani Tuhan. Menjaga kesehatan juga merupakan bentuk pelayanan kepada Tuhan, karena memuliakan Allah tidak hanya dengan melayani Tuhan saja tetapi semua hal yang Habel lakukan termasuk menjaga kesehatannya semuanya itu juga untuk memuliakan Allah. Jadi, tidak harus selalu mengambil banyak pelayanan di gereja untuk bisa memuliakan nama Tuhan, melainkan dengan menjalani kehidupan sebagai seorang pengikut Kristus yang berani menolak godaan dosa itu juga merupakan bentuk memuliakan nama Tuhan. Tapi, nasihat itu terasa membingungkan buat Habel. 

“Jadi, aku harus gimana kak? Kan pelayanan itu perlu?” Pertanyaan ini dilontarkan Habel karena dia tidak ingin menolak tiap kesempatan pelayanan yang diberikan buatnya. Tapi, kalau diterima semuanya, ujung-ujungnya bisa sakit lagi seperti ini. 

“Mungkin kamu bisa delegasikan tugasmu buat orang lain, kan pelayanan itu bicara juga soal teamwork,” jawab kakak pembina.

Pelan-pelan Habel mencerna solusi ini. Memang rasanya tidak enak jika kita menolak kesempatan pelayanan dari orang yang mempercayai kita. Bagi sebagian orang menolak ini seperti merusak kepercayaan. Juga, mungkin ada rasa tidak enak kalau bukan kita sendiri yang mengerjakan pelayanan itu. Namun, sesekali kita perlu memberikan kesempatan kepada orang lain untuk juga melayani Tuhan karena setiap orang punya kesempatan yang sama, dan Bapa Surgawi juga berkenan menerima pelayanan dari orang lain. 

Solusi tersebut secara tidak langsung menegur Habel karena terkadang dia sebenarnya mengambil banyak pelayanan di gereja untuk mengisi waktu kosongnya dan bukan dengan sungguh-sungguh melayani Tuhan. Dia senang jika orang-orang mengandalkan dia. Habel juga terkadang merasa dirinya hebat sehingga tidak suka jika ada orang lain yang menawarkan bantuan kepadanya. Sekarang dia mengerti. Merasa diandalkan dan hebat membuat Habel tidak mempedulikan kesehatannya tetapi justru memuaskan keinginannya, sehingga hal itu membuat dia jatuh sakit.

Obrolan hangat antara Habel dan kakak pembinanya menuntun Habel pada sebuah pemahaman baru antara iman, pelayanan, dan tanggung jawabnya kepada Tuhan. Habel kemudian mengakui dosa dan kelemahannya itu kepada pembinanya. Mendengar pengakuan Habel, pembinanya kemudian tersenyum, menepuk pundaknya, dan kemudian mendoakan dia.

“Habel, dosa-dosa kita sudah diampuni Tuhan. Tapi, itu bukan berarti kita terus-terusan mengulangi kesalahan yang sama, ya,” sahut kakak pembina. 

Kalimat penutup ini disambut Habel dengan senyuman hangat dan semangat bahwa setelah sembuh dari tifus, dia akan memperbaiki prioritasnya.

***

Teman-teman, sebagai seorang Kristen yang sudah menerima keselamatan dari Kristus, pelayanan yang kita lakukan memang salah satu wujud syukur kita. Melayani Tuhan dan sesama tentunya berkenan bagi Allah. Akan tetapi, jika kita overload dalam mengambil pelayanan entah di gereja atau di organisasi Kristen, kecenderungannya adalah kita akan kehilangan sukacita karena energi kita terkuras habis. Belum lagi jika akhirnya pelayanan itu tercampur dengan motivasi pribadi, alih-alih menyenangkan Tuhan. 

Seperti cerita Habel di atas, mungkin ada di antara kita yang seperti itu. Kelelahan yang tidak diatasi akan membuat fisik kita pun ikut sakit. Maksud hati ingin jor-joran melayani, ujung-ujungnya malah tidak produktif. 

Teman-teman dalam surat 1 Korintus 10:31, Paulus mengatakan bahwa apa pun yang kita lakukan, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah. Oleh karena itu, mari kita ubah konsep berpikir kita. Berikanlah kesempatan pelayanan kepada teman atau adik tingkat kita yang kita rasa mampu dan bisa dipercaya, dan ambilah waktu istirahat sejenak dari kesibukan pelayanan dengan tidak merasa bersalah. Menjaga kesehatan secara fisik maupun secara rohani menolong kita untuk terus merasakan sukacita dalam melayani Tuhan maupun dalam berelasi dengan Tuhan. Kiranya nama Tuhan dimuliakan tidak hanya melalui pelayanan kita tetapi juga dalam seluruh hidup kita.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Tuhan Peduli dan Menyertai, Tak Peduli Sesibuk Apa Pun Jadwalmu

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Hai, bagaimana hari-harimu?

Entah kamu seorang murid sekolah, mahasiswa, atau pejuang pencari nafkah, mungkin kamu merasakan hari-hari yang melelahkan dengan segudang aktivitas. Aku sendiri sebagai mahasiswa semester 5 merasakan hari-hari ini tidaklah mudah.

Ketika awal semester aku merasa cukup percaya diri dan mampu untuk melewati perkuliahanku dengan baik. Aku bisa menata prioritas, antara studi dan aktivitas lainnya. Namun, memasuki bulan September rasa percaya diriku menyusut. Aku kewalahan karena tugas-tugas kuliahku semakin banyak, ditambah lagi dengan jadwal pelayanan yang semakin padat karena aku tergabung dalam paduan suara yang akan menjadi pengisi acara kampus. Bahkan untuk pekerjaan remeh seperti mencuci baju pun aku jadi kewalahan, padahal aku termasuk tipe orang yang terstruktur, bukan tipe deadliner.

Di tengah kewalahan itu, aku sempat mengikuti pertemuan cell group bersama salah satu dosen tutor kami. Rupanya bukan aku saja yang kewalahan, sebagian besar temanku juga merasakannya. Ketika aku mendengarkan sharing mereka dan juga merenungkan kesibukanku, kudapati bahwa tak sedikit dari kami yang terlalu sibuk dengan jadwal kesibukan sehingga kami kurang memperhatikan kesehatan spiritual.

Tanpa menghakimi, dosen tutor kami mendengarkan sharing kami dengan seksama dan tidak menghakimi kami. Dia lalu menanggapi semua cerita kami dengan membagikan ayat dari Efesus 3:20 yang berkata: “Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih banyak dari pada yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari kuasa yang bekerja di dalam kita.”

Dalam terjemahan versi bahasa Inggris NIV, ada bagian yang menarik: “Now to him who is able to do immeasurably more than all we ask or imagine, according to his power that is at work within us.”

Kata immeasurably menarik untuk kita selidiki. Kata ini berarti “tidak terukur”. Konteks ayat tersebut adalah Paulus sedang menuliskan doanya kepada jemaat di Efesus. Paulus rindu agar mereka memiliki iman yang berakar dalam kasih Kristus dan yakin bahwa Kristus yang mereka percayai adalah Tuhan yang jauh lebih besar daripada yang pernah mereka pikirkan, bahkan kebesaran-Nya tak bisa diukur oleh alat pengukur apa pun.

Melalui ayat ini, dosen tutorku menyampaikan bahwa di tengah padatnya jadwal harian atau rutinitas kita, ada Tuhan yang mengerti apa yang kita rasakan. Bahkan, Dia juga sanggup menolong kita untuk menghadapi setiap tugas dan tanggung jawab yang kita terima. Meskipun kita lelah dan seakan tidak sanggup lagi menjalani hari-hari, selalu ada harapan di dalam Tuhan dan Dia akan memberikan kita sukacita-sukacita tersendiri di tengah kelelahan kita.

Sharing dari dosen tutorku menguatkanku. Aku merasa kembali bersemangat menjalani hari-hariku, meskipun memang jadwalnya semakin sibuk, namun sungguh ada sukacita yang hadir di tengah kelelahanku. Aku bisa menikmati makanan yang kumakan, menikmati taman di kampusku, memandangi langit dengan rasa syukur, dan sebagainya. Pikiran dan perasaan merasa kewalahan memang tidak hilang begitu saja, namun ketika aku menjalani hari yang sibuk itu ada kekuatan dari Tuhan yang memampukanku untuk menjalaninya dengan baik.

Aku rindu kebenaran firman Tuhan juga dapat menguatkan teman-teman sekalian yang saat ini sedang bergumul atau kewalahan dengan semua hal yang terjadi dalam hidup kalian. Entah itu tugas-tugas yang menumpuk, atau kalian merasa lelah dengan relasi bersama teman, keluarga. Tuhan akan memberikan sukacita bagi kita semua.

Namun, kita perlu mengingat juga bahwa di tengah kesibukan yang amat menyita waktu, kita pun perlu bersikap bijaksana. Ada prioritas yang harus kita tetapkan. Mana hal yang dapat dan perlu kita tuntaskan, mana yang harus kita tunda atau lepaskan. Ini beberapa tips singkat dariku yang mungkin bisa menolong kita menghadapi hari yang super sibuk dengan baik:

1. Kita perlu memulai hari bersama Tuhan dengan membaca Alkitab dan berdoa. Katakanlah pada Tuhan bahwa kita membutuhkan Dia sepanjang hari.

2. Kita perlu tetap memperhatikan kesehatan tubuh. Jangan sampai melewatkan waktu makan. Sakit di tengah kesibukan tidaklah enak karena akan menghambat pekerjaan kita.

3. Sempatkanlah beristirahat meskipun hanya sebentar. Istirahat berupa tidur akan menolong tubuh kita tetap bugar. Selain itu, kita juga bisa mengistirahatkan pikiran dengan main, jumpa teman, atau nonton agar pikiran dan suasana hati kita baik.

4. Cari dan bergabunglah dengan komunitas Kristen yang baik. Kehadiran rekan-rekan seiman akan menguatkan, menghibur, dan bersama mereka kita dapat saling mendoakan.

5. Akhiri hari dengan berdoa. Tuhan tidak meminta kita berdoa dengan panjang. Tuhan berkenan atas ucapan syukur kita, yang kita naikkan dari hati sebagai wujud syukur atas penyertaan-Nya sepanjang hari.

Tetap semangat, teman-teman! Tuhan Yesus memberkati.

3 Teladan Produktivitas dari Tokoh Alkitab

Oleh Philip Roa
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Productivity Tips From 3 Bible Characters

Dunia digital membuat pekerjaan kita seolah tiada habisnya. Artikel dari American Psychological Association tahun 2022 mencatat statistik yang menyoroti tingkat kelelahan dan stres yang tinggi di semua industri.

Dari 1.500 orang yang disurvey, hasilnya:

  • Sekitar 19% mencatat kurangnya usaha dalam pekerjaan mereka.
  • Sekitar 26% merasa kurang berenergi.
  • Hampir 40% merasa kelelahan kognitif (lelah berpikir).
  • Lebih dari 30% berjuang dalam kelelahan emosional.
  • 44% merasa lelah secara fisik–meningkat hampir 40% dibandingkan tahun 2019.

Produktivitas, kelelahan, dan kejenuhan menjadi kata-kata yang tak asing dalam perbendaharaan bahasa di otak kita. Aku pun berpikir, inilah saatnya untuk menilai cara dan prinsip kerja kita berdasarkan kebenaran Alkitab. Kutemukan tiga tokoh yang menyelesaikan tugasnya sembari tetap mengupayakan kewarasan di dalam proses kerja yang berat.

1. Musa: Belajar untuk mendelegasikan tugas/meminta pertolongan

Kalau kamu merasa habis tenaga setelah ikut Zoom berjam-jam (meskipun pesertanya kurang dari 10 orang), coba bayangkan bagaimana Musa setiap hari berbicara kepada ribuan orang. Konteksnya, saat itu populasi bangsa Israel diperkirakan mencapai 2 juta jiwa, dan Musa menangani semua persilisihan mereka sendirian.

Mertua Musa, Yitro, melihat bahwa Musa pasti akan kewalahan (ayat 17-18), maka dia mengusulkan agar Musa memilih para pemimpin yang kepada mereka Musa dapat mendelegasikan tugas-tugasnya. Tujuan utamanya agar Musa dapat fokus pada perannya sebagai nabi dan pemimpin Israel.

Aku mengelola kelompok PA kecil yang terdiri dari delapan orang dan menurutku nasihat Yitro amat menolong. Dulu aku selalu memimpin setiap sesi dan mengoordinasikan segalanya sendirian, tapi aku telah belajar untuk membagi tugasku kepada mereka yang kulatih untuk menjadi pemimpin selanjutnya. Ketika aku memiliki orang lain yang mendukungku, itu tak hanya mengurangi stres, tapi juga melengkapi timku untuk bertumbuh. Sekarang aku punya dua murid yang juga memimpin kelompok komsel mereka sendiri, dan dua lainnya sedang belajar untuk mulai merintis.

Nasihat Yitro tidak cuma berlaku bagi para manajer atau kelompok komsel, tapi kepada setiap kita! Kalau kamu merasa kewalahan, bolehkah aku menyarankan beberapa tips di bawah ini?

  •  Jika kamu sudah bekerja, bicarakan pada atasanmu tentang beban kerjamu. Kamu bisa berikan usulan pribadimu tentang bagaimana kamu dapat bekerja lebih baik, atau mengatur ulang prioritas kerjamu. Cara ini lebih baik daripada kamu bersungut-sungut setiap hari tanpa mengomunikasikan permasalahan utamanya pada atasanmu.
  • Kalau kamu dapat kesempatan atau tanggung jawab baru, pertimbangkan juga untuk bertanya pada atasan/pemimpinmu apakah mungkin untuk berbagi tugas dengan anggota tim yang lain.
  • Kalau kamu merasa terjebak/stagnan dalam pekerjaanmu, mintalah nasihat dari anggotamu tentang bagaimana mengerjakan suatu tanggung jawab… terkhusus dari mereka yang sudah pernah menyelesaikannya.

Ingatlah, meminta tolong bukanlah tanda kelemahan (Pengkhotbah 4:9-10).

2. Paulus: Mengatasi kecemasan dengan menyerahkannya pada Yesus

Kamu butuh pola pikir yang benar untuk mengalahkan kebiasaan buruk yang mengarahkanmu pada bekerja berlebihan… atau sebaliknya: kurang berusaha! Riset-riset menunjukkan bahwa kecemasan bisa menurunkan performa kerja, tapi bisa juga mendorong seseorang untuk bekerja secara over. Kamu mungkin bekerja mati-matian, tapi tetap saja tidak maksimal kalau kamu mengerjakannya dengan cemas.

Kecemasan bicara tentang ketidaktahuan akan masa depan—di mana kita akan kerja dan apakah penghasilannya cukup, dan sebagainya. Alkitab mendorong kita untuk tidak khawatir akan apa pun juga, tetapi menyerahkannya dalam doa dan permohonan pada Allah (Filipi 4:6-7).

Selama beberapa waktu aku mendoakan Tuhan mencukupi kebutuhan finansialku agar aku dan pacarku bisa menikah. Kami tidak ingin meminta bantuan uang dari keluarga. Di masa ketika inflasi dan biaya hidup meningkat, aku butuh Tuhan untuk mengatasi kekhawatiranku akan tak punya cukup uang untuk biaya menikah nanti (juga untuk kehidupan berkeluarga kelak).

Syukurlah, doaku dijawab Tuhan. Aku naik jabatan setelah disahkan menjadi karyawan tetap. Ini meneguhkanku bahwa Tuhan selalu menjawab doa kita ketika kita sungguh menyerahkan beban dan kekhawatiran kita pada-Nya.

Mudah bagi kita untuk menganggap klise apa yang tertulis di Filipi 4:6-7, tetapi coba membacanya dengan seksama dan perlahan. Ayat itu bicara tentang damai sejahtera Allah memelihara “hati dan pikiran” (ayat 7).

Damai-Nya melindungi kita dari pikiran-pikiran yang penuh kekhawatiran. Ketika kita tahu kita memiliki Bapa yang mengasihi, yang peduli dan mengasihi, kekhawatiran kita akan berkurang. Kita pun akan terbebas dari kecenderungan untuk bekerja terlalu keras dalam upaya untuk menjaga diri kita sendiri.

3. Yesus: Ketahui kapan harus beristirahat atau berhenti

Tahukah kamu bahwa Tuhan Yesus sendiri mempraktikkan kebiasaan kerja yang sehat dengan menolak orang di akhir hari kerja-Nya yang panjang? (Matius 14:22-23). Yesus memberi waktu agar diri-Nya dan murid-Nya beristirahat. Dalam keilahian-Nya, Yesus juga manusia seratus persen sehingga tubuh-Nya masih merasakan lelah, lapar, dan haus seperti kita.

Tanpa beristirahat, kita takkan bisa sungguh produktif. Artinya, istirahat berupa mengesampingkan sejenak tugas dan tanggung jawab untuk kegiatan yang sehat seperti tidur, rekreasi, dan waktu bersama Tuhan adalah bagian dari produktivitas juga.

Kita perlu mengatur batasan waktu kerja, terlebih bagi kita yang bekerja secara remote. Sudahi pekerjaanmu setelah jam kerja berakhir. Bagi mereka yang ada di posisi pimpinan juga dapat menginisiasi budaya kerja yang sehat dengan meneladankan jam masuk dan pulang yang tepat, agar tim kita pun mengikutinya. Bahkan untuk kelompok komsel, kita juga bisa menerapkannya.

Hal lain yang kupelajari ialah, jika sesuatu tidak sangat-sangat mendesak, aku bisa mengerjakannya di besok paginya. Selama bertahun-tahun aku kerja, aku juga belajar untuk mengatur waktu-waktuku dengan bijak, tidak mengerjakan tugas dengan sistem kebut semalam.

Saat kita bekerja untuk Tuhan, kita harus produktif dalam cara yang menunjukkan kesetiaan pada apa yang kita punya seperti talenta dan waktu. Tunjukkan juga bahwa dalam upaya kita, kita tidak melupakan istirahat dan menikmati buah dari usaha tersebut. Pengkotbah 3:13 berkata, adalah baik untuk makan, minum, dan menemukan kepuasan dalam pekerjaan kita—tak sekadar menghabiskan seluruh waktu kita buat kerja. Kepuasan adalah karunia Tuhan, dan marilah kita dengan senang hati menerimanya supaya hadir sukacita yang mendorong kita hidup lebih produktif.

Menikmati Allah di Segala Musim

Oleh Meista Yuki Crisinta, Tangerang

Aku sempat merasakan kekosongan di masa-masa menjelang Natal beberapa tahun terakhir ini. Aku terlibat di berbagai acara gereja, tetapi yang kurasa bukan sukacita. Aku bosan menjadi panitia, pemusik, mengiringi paduan suara dan segudang aktivitas lainnya. Momen Natal yang seharusnya menjadi saat-saat reflektif malah jadi terasa hambar.

Pada Natal tahun 2020 kemarin, ada hal lain yang juga menyita kesibukanku, yaitu pekerjaan. Saat ini aku bekerja di perusahaan start-up yang bergerak di bidang makanan dan minuman. Menapaki pekerjaan di bidang start-up tentu banyak tantangannya: belum ada sistem yang terbentuk, struktur sumber daya manusia (SDM) pun belum kokoh, dan kami yang bekerja di dalamnya masih seperti berjalan di hutan rimba; menerka-nerka apa yang baik untuk keberlangsungan bisnis ini juga untuk setiap pegawai yang bekerja di dalamnya. Bahkan masing-masing kami masih harus melakoni dua hingga tiga jabatan sekaligus untuk beberapa proyek pekerjaan.

Di Desember kemarin aku dan rekan-rekan kerjaku memiliki beberapa proyek pekerjaan besar, mulai dari pembukaan outlet kafe baru, hingga mengirim parsel Natal ke berbagai pihak yang mendukung keberlangsungan perusahaan ini. Di suatu pagi ketika aku sedang menempuh perjalanan ke kantor, aku mengeluh di dalam doaku pada Tuhan.

“Tuhan, aku capek banget! Masa Desember gini kerjanya abis-abisan sih? Aku ingin menikmati momen Natal tanpa diganggu pekerjaan-pekerjaan yang super banyak ini! Aku ingin liburan.”

Aku mengeluh. Di samping memang tubuh dan pikiranku sedang letih, aku merasa seperti menolak kondisi dan tidak menikmati pekerjaan yang tengah kujalani di kantor. Namun ketika aku mendoakan keluhan itu, aku teringat akan doaku di tahun 2019 yang lalu: bahwa aku ingin menikmati Natal dengan cara tidak sekadar ritual dan pelayanan. Aku lantas merenung: pekerjaan yang kulakukan sekarang sesungguhnya adalah pemberian dari Tuhan. Aku pernah menuliskan proses perjalanan berkarierku dan menemukan bahwa ini adalah tempat terbaik untukku bekerja, setidaknya hingga saat ini. Mengingat proses bagaimana Tuhan tempatkan aku di perusahaan start-up, aku pun kembali mengingat-ingat ternyata banyak sekali hal baik yang Tuhan lakukan buatku, tapi aku sering tidak menyadarinya. Dan parahnya, aku masih saja sering mengeluh, mengasihani diri, dan kurang bersyukur.

Menyadari keberdosaanku, aku meminta ampun pada Tuhan karena tidak sadar akan hadirnya Pribadi yang selalu memimpin langkahku—si manusia yang sesat seperti domba dan mengambil jalannya sendiri (Yesaya 53:6). Dalam anugerah Tuhan, aku akhirnya menyadari dan menemukan sebuah jawaban dari rasa bosanku mengerjakan kegiatan atau aktivitas Natal selama bertahun-tahun: aku fokus pada aktivitas dan kegiatannya, bukan pada Kristusnya. Aku fokus pada berbagai macam pelayanan, kegiatan, perayaan, ritual, tradisi, tapi lupa pada Satu Pribadi yang merupakan fokus utama dari keberadaan Natal sesungguhnya. Aku tidak menikmati berbagai kegiatan yang berlangsung di penghujung tahun karena aku sulit menyadari kehadiran Kristus yang senantiasa memimpin hari-hariku.

Menikmati Allah Ketika Sibuk dan Tidak Sibuk

Lalu apakah salah jika dalam momen Natal kemarin yang seharusnya dilalui dengan refleksi aku malah sibuk bekerja di kantor? Pertanyaan refleksi ini aku tanyakan pada diri sendiri, dan mungkin bisa berlaku juga untuk kita semua. Jawabannya bisa ya, bisa juga tidak. Judah Smith dalam bukunya yang berjudul “How’s Your Soul? – Why Everything That Matters Starts with The Inside You” menuliskan ada empat lingkungan kondusif yang Tuhan sediakan bagi kesehatan jiwa kita, salah satunya adalah Responsibility atau tanggung jawab. Tuhan menciptakan manusia untuk bekerja bukan sebagai bentuk hukuman. Konsep bekerja bahkan sudah ada sejak zaman Adam di taman Eden (Kejadian 2:15). “God created humans to bear responsibility. (Tuhan menciptakan manusia untuk memikul tanggung jawab.)”—dan ini adalah kondisi yang sehat yang Tuhan ciptakan untuk kita.

Bagian dari buku yang tengah kubaca tersebut mengingatkanku kembali bahwa pekerjaan yang menjadi tanggung jawab kita juga merupakan pelayanan bagi Tuhan, meskipun kelihatannya sulit meluangkan waktu untuk melakukan refleksi Natal secara pribadi. Apalagi jika kembali mengingat bagaimana cara Tuhan menempatkanku di kantor ini, aku kembali mengingatkan diri sendiri untuk mengurangi keluhan yang menghambat ucapan syukur. Sambil terus belajar bahwa segala sesuatu yang dikerjakan harusnya kulakukan dengan sekuat tenaga dan dengan segenap hatiku seperti untuk Tuhan (Pengkhotbah 9:10; Kolose 3:23).

Sibuk bekerja dengan penuh tanggung jawab tentu bukan berarti tidak ada istirahat. Masih berasal dari buku yang sama, elemen berikutnya yang menyehatkan jiwa kita adalah Rest atau beristirahat. Terus menjaga dan menjalin hubungan pribadi dengan Tuhan merupakan bentuk istirahat jiwa kita. Menikmati langit biru sambil diterpa angin sepoi-sepoi merupakan bentuk istirahat jiwa kita. Menikmati makanan, waktu bersama teman dan orang tersayang, dan hal-hal yang disediakan Tuhan untuk kita merupakan bentuk istirahat bagi jiwa kita. Fokus pada kesibukan seringkali malah membuat kita lelah luar dalam; lelah bagi tubuh, lelah bagi jiwa. Akhirnya, momen yang kupilih menjadi waktu terbaik untuk merefleksikan makna Natal secara pribadi adalah ketika aku tengah menempuh perjalanan pergi dan pulang kantor menggunakan ojek daring, sambil mendengarkan lagu-lagu Natal dan diterpa angin sepoi-sepoi yang menyegarkan.

“A restless soul is a soul that thinks it is in control and needs to take care of everything. If we do not rest, we are trying to be our own God. (Jiwa yang gelisah adalah jiwa yang berpikir bahwa dirinyalah yang mengatur dan perlu mengendalikan segalanya. Jika kita tidak beristirahat, kita sedang mencoba menjadi tuhan atas diri kita sendiri)”.–Judah Smith dalam buku “How’s Your Soul?”

Imanuel: Natal yang Sesungguhnya Setiap Hari

Dari perenungan pribadiku, aku belajar bahwa menikmati hadirat dan pimpinan Tuhan dalam segala aktivitas, kegiatan, dan kesibukan merupakan hal terbaik yang bisa kunikmati. Sebuah sukacita bagi jiwa ketika bisa menikmati dan merasakan pimpinan Tuhan baik ketika sedang bekerja, maupun ketika sedang beristirahat sambil menghirup wanginya air hujan yang jatuh ke tanah.

Natal tahun 2020 telah berlalu dan kini aku belajar bahwa makna Natal yang sesungguhnya tidak berfokus pada jenis kegiatan atau aktivitas yang kita lakukan pada bulan Desember, melainkan pada: “Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai” (Yesaya 9:5). Dan Anak yang telah lahir itu ada bersama-sama dengan kita setiap hari, terlepas dari sibuk atau tidaknya kita. Mengapa? Karena Ia adalah Imanuel: Allah menyertai kita (Matius 1:23). Kelahiran-Nya ke dunia membawa kabar sukacita terbaik yang pernah ada, yaitu menyelamatkan umat manusia dari belenggu hukuman dosa dan memberikan kehidupan sejati karena kasih Allah yang begitu besar buat teman-teman dan juga aku; supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal (Yohanes 3:16). Natal selalu berbicara tentang tentang Tuhan Yesus Kristus yang lahir dan berkenan untuk dikenal (Yesaya 55:6). Dia menyertai kita di sepanjang tahun 2021 ini, dan kita bisa minta tolong pada-Nya supaya bisa menikmati Dia setiap hari, dalam setiap kegiatan apapun yang kita kerjakan.


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Pahamilah Arti Kasih yang Sejati

Sedikit tindakan kasih yang kita lakukan tentulah tidak sebanding dengan apa yang Allah telah berikan pada kita, tetapi tindakan kasih itulah yang menunjukkan pada dunia bahwa kita telah dikasihi lebih dulu oleh Allah.

Belajar dari Marta: Yang Kita Anggap Terbaik, Kadang Bukanlah yang Terbaik

Oleh Yuki Deli Azzolla Malau, Jakarta

Suatu ketika sahabat doaku mengabariku bahwa dia sedang berkunjung ke kota tempat tinggalku. Setelah pekerjaan dinas dari perusahaannya selesai, dia akan menghadiri ibadah Natal di kampusku. Dia ingin meluangkan waktu untuk berjumpa denganku sebelum ibadah dimulai.

Kabar itu membuatku bahagia dan antusias karena kami sudah lama tidak bertemu. Sepulang kerja, aku memutuskan bersiap-siap dulu, supaya bisa menyambut sahabatku. Aku pulang dulu ke rumah, kemudian membeli sesuatu untuk kuberikan padanya, dan mencari-cari tempat yang nyaman untuk mengobrol nanti. Kupikir kalau tidak sempat mengobrol sebelum ibadah, kami bisa melakukannya setelah ibadah usai. Aku ingin memberikan yang terbaik untuk sahabatku.

Namun, karena persiapan yang kulakukan itu memakan waktu lama, aku jadi sangat terlambat datang ke kampus. Ibadah telah dimulai. Aku dan sahabatku duduk terpisah dan belum sempat bertegur sapa. Ketika ibadah selesai, ternyata sahabatku harus segera kembali ke tempatnya menginap. Hari sudah larut malam dan rencana awal kami untuk duduk santai sambil mengobrol pun hilang.

Aku menyesal. Seandainya saja tadi aku tidak pulang dulu dan repot-repot mencari sesuatu untuk kuberi padanya, pasti kami bisa meluangkan waktu untuk berbagi cerita. Semua persiapan yang kupikir akan menyenangkan sahabatku menjadi tidak berguna karena tujuan semula sahabatku tidak terwujud.

Dalam perjalanan pulangku, aku teringat akan kisah Marta yang menyambut Tuhan Yesus dan murid-muridnya. Kisah ini tercatat di Kitab Lukas 10:38-42. Ketika Yesus tiba di rumahnya, Marta sangat sibuk melayani. Mungkin sebagai tuan rumah, Marta ingin memberi pelayanan yang terbaik untuk Yesus. Tapi, keputusannya ini membuat dia menjadi sangat sibuk, apalagi kalau waktu itu kedatangan Yesus dan murid-murid-Nya bersifat mendadak.

Berbanding terbalik dengan Marta, Maria saudarinya justru memilih duduk dekat kaki Yesus dan terus mendengarkan perkataan-Nya (ayat 39). Melihat Maria yang tidak membantunya, Marta jadi kesal. Saking kesalnya, dia sampai berani menegur dan mengoreksi Yesus, katanya: “Tuhan, tidakkah Engkau peduli, bahwa saudaraku membiarkan aku melayani seorang diri? Suruhlah dia membantu aku” (ayat 40).

Mendengar keluhan Marta, Yesus tidak menanggapinya dengan membela Marta dan menyuruh Maria untuk ikutan sibuk. Yesus berkata: “Marta, Marta, engkau kuatir dan menyusahkan diri dengan banyak perkara, tetapi hanya satu saja yang perlu: Maria telah memilih bagian yang terbaik, yang tidak akan diambil dari padanya” (ayat 41-42).

Tuhan Yesus tidak menyalahkan Marta karena kesibukannya. Kata Yesus, Marta khawatir dan menyusahkan dirinya hingga dia kehilangan yang terbaik, yaitu waktu yang berkualitas bersama Tuhan. Marta kehilangan komunikasi dan keintiman relasi dengan Tuhan ketika dia menyusahkan dirinya dengan segala usaha yang dia pikir akan menyenangkan hati Tuhan.

Aku merasa tertegur. Seringkali aku bersikap seperti Marta. Aku suka menyibukkan diri supaya bisa memberikan yang terbaik, tapi kenyataannya, itu tidak selalu jadi sesuatu yang terbaik. Seperti aku yang kehilangan waktu berharga dengan sahabatku, aku pun kehilangan waktu yang berharga untuk berelasi dengan Tuhan.

Aku pernah sangat sibuk dengan pelayanan, pekerjaan, studi, atau kegiatan lainnya yang kupikir akan menyenangkan Tuhan. Tapi, lama-lama aku merasa lelah sendiri dan tidak lagi menikmati kegiatan-kegiatan itu. Aku menganggap waktu untuk berdiam diri dan berdoa itu tidak berguna dan tidak penting, hingga aku pun mengeluh dan kehilangan damai sejahtera. Sesuatu yang awalnya kulakukan sebagai wujud persembahan terbaikku untuk Tuhan malah jadi sesuatu yang membuatku merasa jauh dari-Nya.

Dari kisah Marta, aku mengerti bahwa Tuhan tidak ingin kita kehilangan yang terbaik dalam upaya kita untuk memberi-Nya yang terbaik. Aku memang perlu berupaya sepenuh hati untuk menyenangkan hati-Nya, namun aku pun perlu mengingat bahwa apa yang Tuhan inginkan dariku adalah relasi dan pengenalan akan Dia.

Seperti lirik sebuah lagu yang berkata “satu hal yang kurindu, berdiam di dalam rumah-Mu”, aku berkomitmen untuk meluangkan waktu di tengah kesibukanku untuk berelasi dengan-Nya.

Satu hal yang kurindu
Berdiam di dalam rumah-Mu
Satu hal yang kupinta
Menikmati bait-Mu Tuhan

Lebih baik satu hari di pelataran-Mu
Daripada s’ribu hari di tempat lain
Memuji-Mu, menyembah-Mu, Kau Allah yang hidup
Dan menikmati s’mua kemurahan-Mu

Baca Juga:

Seandainya Tuhan Membuat Parasku Cantik

Aku tidak puas dengan tubuhku yang pendek, gemuk, dan terlihat biasa-biasa saja. Dalam beberapa kesempatan, aku berusaha mengubah bentuk tubuhku supaya diterima dengan baik oleh orang lain. Hingga suatu ketika, Tuhan menegurku dan inilah yang menjadi titik balik hidupku.