Posts

Podcast KaMu ep. 28: KENALAN SAMA PRISKILA & AKWILA YUKS! Sejoli yang Berperan Besar dalam Misi Paulus

Abraham, Musa, Daud, Paulus adalah tokoh-tokoh besar yang pasti dikenal banyak orang. Namun, tahukah kamu dengan tokoh Priskila dan Akwila?

Mereka adalah sepasang suami-istri yang hidup pada masa gereja mula-mula dan tercatat pada Alkitab Perjanjian Baru. Meski tidak banyak disebut, mereka memiliki peran penting dalam pelayanan Rasul Paulus.

Bagaimana kisah hidup mereka bisa kita teladani di zaman modern ini?

Yuk, tonton dan dengerin di Podcast KaMu!

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Hur: Figur Pendukung di Balik Nama Musa

Oleh Gabriella, Malang

Siapa saja tokoh yang berjasa dalam membawa bangsa Israel keluar dari Mesir? Aku rasa nama-nama yang pertama muncul di kepala kalian antara lain Musa, Harun, Yosua, Kaleb… mungkin Miryam. Adakah di antara kalian yang terpikir seseorang bernama Hur?

Hur muncul pada kisah saat Israel melawan bangsa Amalek di Keluaran 17:8-16. Pada saat itu, bangsa Israel berperang melawan bangsa Amalek di lembah Rafidim. Yosualah yang turun ke lapangan untuk memimpin pasukan perang Israel, sedangkan Musa naik ke puncak bukit dengan memegang tongkat Allah. Waktu Musa mengangkat tangannya yang memegang tongkat itu, Israel unggul dalam perang, tapi saat tangannya turun, Amalek menjadi lebih kuat. Musa yang sudah lelah mengangkat tangannya pun akhirnya mengandalkan bantuan Harun dan Hur yang masing-masing menopang sebelah tangan Musa sehingga tentara yang dipimpin Yosua akhirnya berhasil mengalahkan Amalek.

Melihat kisah ini, aku tersadar bahwa saat kita melayani, tidak semua orang juga akan mendapat “peran utama” seperti Musa dan Yosua. Pelayan Tuhan yang paling menonjol tentu saja mereka yang tampil di depan, seperti pengkhotbah, worship leader, singer, pemain musik. Mungkin ada juga yang mendapat “pemeran pendukung” seperti Harun, yang kemudian diangkat oleh Tuhan menjadi Imam Besar, dan perannya sangat penting dalam keberlangsungan ritual-ritual ibadah bangsa Israel, seperti mempersembahkan korban. Di gereja pun, ada banyak pelayan yang tidak tampil di depan umum tapi sangat diperlukan agar ibadah bisa berjalan lancar, seperti petugas multimedia, pengurus yang menjadwalkan petugas, dll.

Tapi, bagaimana bila peran kita dalam pelayanan seperti Hur yang hanya muncul sekilas sebagai cameo? Aku rasa bila disejajarkan dengan masa sekarang, peran Hur yang “hanya” menopang tangan Musa yang lelah mungkin mirip dengan saat kita mendukung pelayanan lembaga misi, organisasi Kristen, atau pengerja gereja melalui doa dan dana, atau mungkin mendukung pelayanan orang-orang terdekat kita dengan cara mau mengerti dan mengakomodasi kesibukan mereka serta memberi emotional support. Pernahkah kita berpikir bahwa hal-hal tersebut juga merupakan bentuk pelayanan kita pada Tuhan dan sesama? Tentu saja, bukan berarti kita bisa menjadikan hal ini alasan untuk menolak melayani karena merasa sudah cukup puas dengan sekedar mendukung pelayanan orang lain. Tapi, ini adalah pengingat bahwa dalam melayani kita perlu saling mendukung dan menopang.

Hur hanya muncul sekali lagi setelah kejadian ini, yaitu pada Keluaran 24:12, di mana Musa mengatakan pada tua-tua Israel untuk datang pada Harun dan Hur mengenai perkara mereka selama Musa pergi ke Gunung Sinai untuk menerima loh batu dari Tuhan.  Orang-orang Yahudi percaya bahwa menghilangnya Hur dari kisah keluarnya Israel dari Mesir adalah karena Hur dibunuh oleh bangsa Israel saat ia berusaha menghalangi mereka membuat patung lembu emas (sumber). Saat waktunya tiba, Hur tidak ragu untuk maju ke garis depan dan melayani Tuhan sekalipun nyawanya yang menjadi taruhan, dan ia tetap setia sampai akhir.

Ada masanya kita mendapatkan peran yang menonjol saat melayani Tuhan. Ada masanya kita bekerja di balik layar. Ada masanya kita mendukung dan menopang pelayanan orang lain. Mungkin ada masanya juga kita melakukan dua atau bahkan ketiganya pada saat yang bersamaan. Apa pun tugas yang sedang Tuhan berikan pada kita saat ini, mari kita kerjakan bagian kita dengan sepenuh hati, dan bersama-sama melayani Tuhan dengan setia.

Tuhan memberkati.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Melayani di Jalan Sunyi, Sebuah Pilihan yang Tidak Populer di Zaman Eksistensi Mengerubungi

Oleh Olive Bendon, Jakarta

Kamis minggu kedua adalah hari yang selalu aku nantikan dengan bersemangat karena hampir setahun ini, aku ikut tim pelayanan yang mengunjungi penjara. Walau hanya sebagai tim cadangan yang siap berangkat ketika tim yang dijadwalkan pelayanan berhalangan, tim inilah yang lebih sering mengunjungi salah satu lembaga pemasyarakatan (lapas) di Jakarta, seperti hari ini.

Seperti biasa, usai ibadah semua tim pelayanan diminta berdiri di depan untuk bersalaman dengan umat, warga binaan lapas sebelum mereka kembali ke selnya. Meski ibadah dimulai sedikit terlambat sehingga baru selesai di jelang sore, mereka tetap sabar mengantre untuk bersalaman. Hampir setengah umat yang memenuhi ruang ibadah telah bersalaman ketika aku menangkap sosok lelaki paruh baya yang melangkah dengan bantuan tongkatnya mendekat. Aku mengingat wajahnya. Juga rambut keritingnya yang sudah memutih semua, yang dibiarkan memanjang hingga bahu. Dia, lelaki yang pernah ikut duduk di ruang kantor tempat kami biasa menunggu pada pelayanan dua atau tiga bulan lalu, namun dia lebih banyak melemparkan senyum.

Ketika tiba gilirannya, lelaki paruh baya itu menatap mataku lekat-lekat sebelum menyambut tangan kanan yang sudah kusodorkan lebih dulu dan menggenggamnya erat-erat. Terima kasih untuk pelayanannya mbak, hati saya terberkati.” Kulihat matanya berkaca-kaca. Aku yang biasanya berucap Tuhan berkati bapak/abang/kokoh ketika bersalaman, tetiba berujar, “Tuhan Yesus sayang sama Bapak” dengan sepenuh hati sembari menyentuh dan menepuk bahunya dengan tangan kiri. Rasanya seperti melihat ayahku yang muncul di depanku saat itu. Sebut saja namanya Bapak Iwan. Usianya sudah 70 tahun. Mantan bankir di sebuah bank pemerintah. Ia juga pernah menjadi pengajar di sebuah perguruan tinggi, yang di masa pensiunnya aktif sebagai pendoa dan pelayan umat di paroki tempatnya beribadah sebelum dirinya menjadi warga binaan di lapas. Ia terjerat kasus korupsi yang dilakukannya sewaktu memegang posisi di bank itu.

Sebelum berlalu, Bapak Iwan juga menanyakan kesediaan Pak Pendeta yang berdiri tepat di samping kiriku, apakah dirinya bisa ngobrol sebentar sebelum kami pulang? Ketika kami telah duduk di ruang tempat biasa menunggu, pertanyaan itu meluncur pelan-pelan dari mulutnya. Pertanyaan sederhana dari seseorang yang pernah menjadi pendoa yang terdengar janggal jika kita sebatas membaca profil beliau di media. Tapi, itulah yang mengganjal di hatinya sejak di lapas hingga ia mendengar firman tentang kasih dan pengampunan Tuhan kepada setiap jiwa yang berharga di mata-Nya tanpa memandang status di ibadah tadi.

Apakah Tuhan mau mendengar doa orang dari penjara, jika ia berdoa untuk cucunya yang sedang sakit, juga berdoa untuk keluarganya yang ada di rumah?

Doa bukanlah rangkaian kata-kata indah yang bertele-tele agar enak didengar. Doa adalah obrolan intim dengan Tuhan yang dikemukakan dari hati. Komunikasi dengan Tuhan tidak dibatasi oleh terali sel ataupun tembok penjara yang tinggi. Apapun kerinduan Bapak saat ini, doakanlah. Minta sama Tuhan dengan sepenuh hati. Kalau hari ini hati Bapak tersentuh, itu pekerjaan Roh Kudus. Tuhan senang melihat hati yang mau berubah.” Suara Pak Pendeta terdengar pelan namun tegas ditujukan kepada Bapak Iwan yang duduk membelakangiku, tapi aku ikut tertempelak.

Aku teringat kegusaran hatiku yang bimbang oleh beberapa sebab sehingga merasa tak siap untuk melayani di Natal tahun ini. Juga kerinduan untuk mengambil pelayanan di sebuah komunitas dengan talenta yang Tuhan berikan namun harus meninggalkan komunitas yang satu agar bisa maksimal. Kegelisahan yang kuceritakan kepada seorang kawan yang dengannya aku berdoa semalam dan sehati meminta petunjuk Tuhan.

Walau secara fisik Bapak Iwan dan kawan-kawan harus menjalani keseharian di dalam sel, tinggal di balik tembok yang tinggi sebagai ganjaran atas perbuatan yang dilakukannya, bukan berarti kebebasan spiritualnya juga terpenjara. Setiap hari mereka bisa mengikuti ibadah yang dijadwalkan dua kali sehari. Pagi dan siang. Mereka pun membentuk tiga kelompok sel (komsel) tempat berbagi dan bertumbuh bersama di dalam Tuhan. Bahkan Dani, anak muda yang beberapa bulan lalu badannya kurus dan brewoknya berantakan tidak dicukur, hari ini terlihat segar dan wajahnya penuh sukacita. Dani menyaksikan pekerjaan Tuhan atas kawan komselnya yang memiliki masalah penglihatan yang memiliki kerinduan agar bisa terus membaca firman. Mereka saling mendoakan dan menguatkan temannya itu untuk terus berdoa. Puji Tuhan, kawan tersebut telah bebas beberapa waktu lalu dan doanya dijawab Tuhan. Ia akan menjalani operasi mata agar penglihatannya kembali baik.

Kapan kami pernah melihat Tuhan sakit atau dipenjarakan, lalu kami menolong Tuhan?  Raja itu akan menjawab, “Ketahuilah: waktu kalian melakukan hal itu, sekalipun kepada salah seorang dari saudara-saudara-Ku yang terhina, berarti kalian melakukannya kepada-Ku!” (Matius 25:39-40, BIMK).

Di perjalanan pulang, aku mengeluarkan secarik kertas dan menulis surat untuk diriku yang sebelumnya gusar. Tidak ada sesuatu yang terjadi kebetulan walau tampak seperti kebetulan. Bukan sebuah kebetulan kamu memilih ikut pelayanan penjara hari ini dan menampik ajakan pertemuan di mal yang sejuk dengan pemandangan yang menyegarkan mata. Bukan sebuah kebetulan jika koordinator persekutuan lapas “menodong” kamu untuk backup singer di saat ibadah sudah mau mulai. Bukan kebetulan jika puji-pujian yang dipilih Galang yang menjadi worship leader hari ini sangat menyentuh hatimu sehingga kamu menyanyikannya dengan sepenuh hati. Pun bukan kebetulan usai menyaksikan kebaikan Tuhan atas kawan komselnya itu, Dani menyanyikan pujian dengan suara merdunya yang membuatmu merenungkan panggilanmu. Bersyukurlah.

Yesus Kau telah memulai s’gala yang baik dalamku. Engkau menjadikanku serupa gambaran-Mu dan berharga di mata-Mu… S’karang kumenyembah-Mu Allah yang mulia, sempurnakan seg’nap hidupku agar indah bagi-Mu.

Kulipat kertas itu dan menyelipkannya ke dalam kotak pensil. Aku bersyukur atas setiap kesempatan yang Tuhan masih berikan untuk melayani-Nya di manapun Tuhan mau pakai. Bersyukur dipertemukan dengan Bapak Iwan, Galang, Dani, dan kawan-kawan lainnya di lapas yang membuat hatiku dekat dengan mereka. Bila dulu, di awal datang mereka menatap dengan nanar, di kedatangan kedua, ketiga, dan seterusnya, aku kadang suka mengajak ngobrol walau sekadar bertanya nama dan kabar usai beribadah. Mereka mungkin memandang aku dan teman-teman yang datang ke lapas untuk pelayanan, tapi sebenarnya akupun terberkati oleh kesaksian mereka. Sehingga membuatku memiliki kerinduan mendoakan nama-nama mereka yang Tuhan taruh di hati.

Perjalanan hari ini menyadarkanku akan besarnya kasih Tuhan dan arti sebuah pelayanan. Melayani di penjara adalah sebuah panggilan pelayanan di jalan sunyi. Pilihan yang tidak populer di tengah zaman eksistensi mengerubungi. Sekalipun peran kita tampak hanya cadangan di sebuah komunitas, jangan pernah berkecil hati. Karena untuk melayani yang dibutuhkan adalah ketulusan, kemurnian, dan kesungguhan hati yang mau mengasihi, telinga yang mau mendengar, dan mulut yang mau menyaksikan kebaikan Tuhan di dalam kehidupan kita. Seperti dua sisi uang yang saling melengkapi, di kehidupan ini kita perlu orang lain untuk saling membangun kehidupan rohani kita.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Kering, Namun Perlahan Disuburkan Kembali

Oleh Jesica Rundupadang, Toraja

Menjelang Natal tahun kemarin, aku ditunjuk menjadi salah satu tim kerja di persekutuan pemuda di gereja. Namun, pada saat yang sama aku kurang melibatkan diri dalam pelayanan, rasanya seperti ada sekat karena sebuah masalah yang pernah terjadi. Semakin hari aku semakin menjauh dari gereja. Saat diminta hadir dalam sebuah pertemuan atau ibadah, aku selalu mangkir dengan banyak alasan. Hal ini terjadi selama beberapa bulan dan tanpa kusadari mempengaruhi juga kehidupan rohaniku. Aku jadi jarang berdoa, atau hanya seperlunya saja. 

Hingga tibalah saat menjelang Paskah. Aku kembali diberi tanggung jawab. Aku mengatur siapa-siapa saja yang akan menjadi petugas ibadah. Ingin rasanya kutolak, tapi karena satu dan lain hal aku tidak bisa. Jadi, kuhubungi teman-teman yang kurasa bisa ambil bagian (liturgis, pemain musik, kantoria, dsb) di ibadah Paskah nanti. Ketika aku mulai mengajak teman-temanku, rupanya di sinilah Tuhan menegurku. 

“Sebenernya kan kalian bisa latihan tanpa saya. Lagipula kalian yang ambil bagian, masalah liturgi sudah beres. Jadi, untuk apa saya datang?” kalimat ini kuucapkan setelah dua hari para pelayan berlatih. 

“Cika,” jawab Chinjo, salah satu dari pelayan ibadah. “Tidak begitu. Ini tugasmu untuk terus pantau kami yang latihan. Ini seperti tugas Kak Ci di tahun-tahun yang lalu. Bukan sekadar mengingatkan, tapi kalau ada yang miss bisa diperhatikan. Jadi bukan karena liturginya beres, kamu menghilang. Btw, bisakah tiap latihan kita mulai dengan doa?” Teguran ini disampaikan Chinjo dengan muka bercanda, tetapi dia serius dengan pesannya.

Terus terang saja aku pun bergumul tentang doa. Seperti yang kukatakan sebelumnya, aku sangat jarang berdoa belakangan ini. Hari-hariku tak kuawali dan kuakhiri dengan doa. Aku terus berjalan dengan menganggap remeh doa itu, karena pikirku “aku doa dan tidak doa pun, Tuhan tetap kok nggak bakalan jawab doa sesuai keinginanku bahkan malah aku seperti ini karena Tuhan sendiri.”

Jika Paskah di gereja kemarin sempat ditegur dengan doa. Kembali lagi, saat akan dirayakan Paskah tingkat Klasis, yang kebetulan pemuda jemaat kami yang mengambil bagian lagi, beda lagi tegurannya. Di sini kami selalu pergi ke jemaat lain untuk latihan. Hari ganti hari kami semakin saling terbuka, apalagi setiba di lokasi di mana kami menginap serumah. Aku merasa terharu, ketika saat itu salah satu temanku memanggil “Cika, ayo saat teduh”. Hal yang tidak disangka-sangka keluar dari mulut orang yang sama sekali juga tidak kusangka-sangka. Dia adalah temanku, yang dulunya bahkan menyepelekan kegiatan ibadah pemuda. Lalu kenapa Tuhan memakainya menegurku? Ada pertanyaan yang menggelitik pikiranku, “Tuhan, kok Engkau pakai orang ini?”

Kehadiran teman-temanku rupaya menjadi cara Tuhan untuk menegurku. Ketika aku mulai tidak peduli dengan kehidupan spiritualitasku seperti sebelumnya, Tuhan menegurku melalui mereka. Ketika aku tidak peduli dengan kondisi di sekitarku, Tuhan tetap memakai temanku untuk mengingatkanku pentingnya saling berbagi, sharing.

Ada begitu banyak cara Tuhan untuk membawa anaknya kembali dalam dekapannya. Pengalamanku ini salah satunya. Bagaimana aku yang jadi malas berdoa atau berdoa seperlunya saja, tidak lagi ikut komunitas, dan berhenti saat teduh, bisa ditegur perlahan melalui orang di persekutuan gerejaku. Jujur saja, menyepelekan hal seperti ini kadang mengganggu perasaanku. Selalu ada kata, “Kapan aku bisa kembali seperti dulu? Kapan aku mau kembali lagi?” Tapi seketika itu pun kadang kujawab “Ah bisalah nanti, bisalah besok, kapan-kapan aja”.

Tapi, sejak aku dapat teguran dari kedua temanku itu aku kembali berpikir. “Kamu diberi waktu 24 jam. Ini 24 jam lho. Terbuangkah waktumu percuma hanya untuk bicara sama Tuhanmu? Tuhan bahkan tidak meminta kamu harus tiap bangun doa paling kurang sejam. Tuhan hanya mau mendengar doamu secara langsung lebih intim. 

Kusadari bahwa ketika aku meremehkan hubunganku dengan Tuhan, aku akan tiba pada satu titik di mana aku merasa hampa meskipun semua yang kita butuhkan tersedia. Bisa saja, mungkin ada di antara kita yang saat ini merasa kering dan tidak diperhatikan Tuhan. Bisa saja, kita juga mulai surut untuk mengikuti kegiatan rohani di gereja. Namun, satu hal yang dapat kupercaya yaitu Tuhan mampu. Tuhan punya kuasa untuk menarik kita kembali bahkan melalui orang-orang yang tidak kita sangka.

Sejenak aku berpikir, “Kok Tuhan tidak marah? Kenapa malah semakin membuatku untuk mendekat?” Jawabannya baru kudapatkan saat ibadah bersama rekan-rekan di tempat kerjaku. 

Jawabannya, Tuhan adalah kasih. Seberapa jauh pun kita melangkah menghindari hadirat Tuhan, kasih-Nya tetap besar. Tuhan masih ingin kita menikmati waktu bersama-Nya. Akan ada suatu waktu, Tuhan membuatmu tertegur, tertegun, dan terbentuk. Kita bisa menikmati hadirat Tuhan salah satunya dengan persekutuan. Tak sedikit ada bentrokan dalam persekutuan, namun bukan artinya kita meninggalkan. Tetap taat hingga kita semua berbuah.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Cara Menjaga Kesehatan di Tengah Sibuknya Pelayanan

Oleh Cynthia Sentosa, Surabaya

Habel adalah seorang anak remaja yang sangat aktif melayani di gereja. Hampir setiap harinya dia berada di gereja. Selalu saja ada alasannya, entah itu rapat pengurus komisi remaja, latihan untuk ibadah remaja, membantu membuatkan slide power point untuk ibadah umum hari Minggu, ataupun bermain badminton bersama teman-temannya di gereja. 

Kesibukan Habel di gereja membuat dia sering disambut omelan oleh ibunya ketika dia tiba di rumah. Bagaimana tidak, dia yang masih sekolah tapi sibuknya bukan main, sampai-sampai setiap hari baru sampai di rumah ketika langit sudah gelap. Tidak heran ibunya jadi sering mengomel, tapi meskipun dia sering diomeli, Habel tidak mengubah rutinitasnya itu karena menurutnya dia sedang mengisi waktunya dengan kegiatan yang positif. Hingga suatu hari rutinitas yang disukainya itu terpaksa harus berhenti. 

Akibat dari banyaknya tugas sekolah dan pelayanan yang ia lakukan, Habel pun kelelahan. Kondisi fisik yang tidak prima inilah yang menjadi gerbang dari sakit tifus. Alhasil karena sakit ini dia tidak bisa bersekolah dan tidak bisa juga mengambil pelayanan di gereja.

Beberapa hari setelah ia sakit, pembina remajanya datang untuk menanyakan kabar sekaligus mendoakannya. Ketika ditanya kabarnya, Habel dengan wajah mengerut menjawab sedih karena saat ini dia tidak bisa produktif melayani Tuhan. Habel juga merasa bersalah karena seperti tidak mengerjakan panggilannya sebagai orang Kristen yaitu melayani Tuhan dan sesama. 

Mendengar hal itu, pembina remajanya tersenyum geli lalu membuka Alkitab yang dibawanya dan membacakan kepada Habel. 1 Korintus 10:31 “Jika engkau makan atau jika engkau minum, atau jika engkau melakukan segala sesuatu yang lain, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah.” 

Ia kemudian memberi nasihat kepada Habel bahwa menjaga kesehatan penting dalam melayani Tuhan. Menjaga kesehatan juga merupakan bentuk pelayanan kepada Tuhan, karena memuliakan Allah tidak hanya dengan melayani Tuhan saja tetapi semua hal yang Habel lakukan termasuk menjaga kesehatannya semuanya itu juga untuk memuliakan Allah. Jadi, tidak harus selalu mengambil banyak pelayanan di gereja untuk bisa memuliakan nama Tuhan, melainkan dengan menjalani kehidupan sebagai seorang pengikut Kristus yang berani menolak godaan dosa itu juga merupakan bentuk memuliakan nama Tuhan. Tapi, nasihat itu terasa membingungkan buat Habel. 

“Jadi, aku harus gimana kak? Kan pelayanan itu perlu?” Pertanyaan ini dilontarkan Habel karena dia tidak ingin menolak tiap kesempatan pelayanan yang diberikan buatnya. Tapi, kalau diterima semuanya, ujung-ujungnya bisa sakit lagi seperti ini. 

“Mungkin kamu bisa delegasikan tugasmu buat orang lain, kan pelayanan itu bicara juga soal teamwork,” jawab kakak pembina.

Pelan-pelan Habel mencerna solusi ini. Memang rasanya tidak enak jika kita menolak kesempatan pelayanan dari orang yang mempercayai kita. Bagi sebagian orang menolak ini seperti merusak kepercayaan. Juga, mungkin ada rasa tidak enak kalau bukan kita sendiri yang mengerjakan pelayanan itu. Namun, sesekali kita perlu memberikan kesempatan kepada orang lain untuk juga melayani Tuhan karena setiap orang punya kesempatan yang sama, dan Bapa Surgawi juga berkenan menerima pelayanan dari orang lain. 

Solusi tersebut secara tidak langsung menegur Habel karena terkadang dia sebenarnya mengambil banyak pelayanan di gereja untuk mengisi waktu kosongnya dan bukan dengan sungguh-sungguh melayani Tuhan. Dia senang jika orang-orang mengandalkan dia. Habel juga terkadang merasa dirinya hebat sehingga tidak suka jika ada orang lain yang menawarkan bantuan kepadanya. Sekarang dia mengerti. Merasa diandalkan dan hebat membuat Habel tidak mempedulikan kesehatannya tetapi justru memuaskan keinginannya, sehingga hal itu membuat dia jatuh sakit.

Obrolan hangat antara Habel dan kakak pembinanya menuntun Habel pada sebuah pemahaman baru antara iman, pelayanan, dan tanggung jawabnya kepada Tuhan. Habel kemudian mengakui dosa dan kelemahannya itu kepada pembinanya. Mendengar pengakuan Habel, pembinanya kemudian tersenyum, menepuk pundaknya, dan kemudian mendoakan dia.

“Habel, dosa-dosa kita sudah diampuni Tuhan. Tapi, itu bukan berarti kita terus-terusan mengulangi kesalahan yang sama, ya,” sahut kakak pembina. 

Kalimat penutup ini disambut Habel dengan senyuman hangat dan semangat bahwa setelah sembuh dari tifus, dia akan memperbaiki prioritasnya.

***

Teman-teman, sebagai seorang Kristen yang sudah menerima keselamatan dari Kristus, pelayanan yang kita lakukan memang salah satu wujud syukur kita. Melayani Tuhan dan sesama tentunya berkenan bagi Allah. Akan tetapi, jika kita overload dalam mengambil pelayanan entah di gereja atau di organisasi Kristen, kecenderungannya adalah kita akan kehilangan sukacita karena energi kita terkuras habis. Belum lagi jika akhirnya pelayanan itu tercampur dengan motivasi pribadi, alih-alih menyenangkan Tuhan. 

Seperti cerita Habel di atas, mungkin ada di antara kita yang seperti itu. Kelelahan yang tidak diatasi akan membuat fisik kita pun ikut sakit. Maksud hati ingin jor-joran melayani, ujung-ujungnya malah tidak produktif. 

Teman-teman dalam surat 1 Korintus 10:31, Paulus mengatakan bahwa apa pun yang kita lakukan, lakukanlah semuanya itu untuk kemuliaan Allah. Oleh karena itu, mari kita ubah konsep berpikir kita. Berikanlah kesempatan pelayanan kepada teman atau adik tingkat kita yang kita rasa mampu dan bisa dipercaya, dan ambilah waktu istirahat sejenak dari kesibukan pelayanan dengan tidak merasa bersalah. Menjaga kesehatan secara fisik maupun secara rohani menolong kita untuk terus merasakan sukacita dalam melayani Tuhan maupun dalam berelasi dengan Tuhan. Kiranya nama Tuhan dimuliakan tidak hanya melalui pelayanan kita tetapi juga dalam seluruh hidup kita.

Kamu diberkati oleh ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu

Seperti Joy, Semua Orang Layak Mendapat Kesempatan

Sebuah cerpen karya Meili Ainun

“Maaf, permisi tanya. Apakah ibu melihat Joy?”

“Apakah Joy lagi sama kamu?”

“Maaf, apa kamu tahu Joy ada di mana?”

Hana berkeliling gedung gereja sambil bertanya kepada beberapa orang yang ditemuinya perihal Joy yang sudah 10 menit dicari-cari tapi tidak ketemu. Hari ini ibadah berlangsung agak lama sehingga selesainya pun terlambat. Hana bergegas menjemput Joy di ruang Komisi Remaja. Tetapi tidak ada seorang pun dalam ruangan itu.

“Aduh…Joy pasti tidak sabar menunggu lagi.” Hana semakin panik. Andai Joy sama dengan anak lain pada umumnya, Hana tentu tidak akan merasa segelisah ini. Tetapi Joy berbeda. Dia lahir dengan kondisi Down Syndrome. Meski Joy sudah berusia 18 tahun, namun pikiran dan tingkah lakunya masih seperti anak-anak berusia 10 tahun. Joy tidak mengerti bahaya, dan sifatnya yang cenderung ramah kepada semua orang, membuat dia tidak menaruh curiga pada siapa pun. Hana berusaha menenangkan dirinya. Dia menyesali suaminya, Hendra, tidak ada bersama dengannya karena sedang bertugas ke luar kota.

Ruang demi ruang ditelusuri dan diperiksanya dengan tergesa. “Tuhan, kumohon jagalah Joy.” Yang ada dalam pikiran Hana hanyalah Joy dapat ditemukan.

Akhirnya Hana menemukan Joy yang sedang berdiri di depan kaca ruangan latihan tari. Mata Joy terpaku pada apa pun yang sedang dilihatnya dan bibirnya tersenyum.

“Terima kasih, Tuhan.” Hana berlari sambil memeluk Joy yang tidak menyadari kehadiran Hana berada di dekatnya.

“Joy…Joy… Mama cemas mencarimu.”

Joy menoleh ketika mendengar suara Hana. Joy menunjuk ke depan kaca. “Mama. Aku ingin itu.”

Hana memperhatikan apa yang membuat Joy begitu tertarik. Di balik kaca, terlihat beberapa orang sedang memegang tamborin dan menari.

“Joy ingin menari?” tanya Hana.

Joy mengangguk. “Ya…ya…”

Hana tidak tahu harus menjawab apa. Meski Hana tahu sejak kecil Joy memang suka menari, tetapi Joy menari sesuka hatinya. Dia mendengarkan musik lalu menari begitu saja. Tidak ada gerakan khusus, dia hanya menari jika dia mau. Hana tidak yakin Joy mampu mengikuti arahan. Sifat Joy yang kadang tidak sabar akan menyulitkannya untuk mendengarkan perintah, dan hal itu tentu akan menyulitkan guru tari dan teman-teman lain.

“Joy, kita pulang dulu yuk. Kamu pasti lapar. Hari ini mama masak nasi goreng kesukaanmu,” bujuk Hana yang melihat Joy sepertinya tidak mau beranjak kemana-mana.

Joy menggelengkan kepalanya. “Aku mau itu.”

Hana masih memikirkan cara agar Joy mau pulang ketika dia melihat dan mendengar guru tari keluar dari pintu dan menyapanya. “Selamat siang. Apa ada yang bisa saya bantu?”

Hana menjawab, “Selamat siang, bu. Maaf bila kami mengganggu ibu. Ini…Joy sepertinya suka melihat teman-temannya menari.”

Guru tari itu tersenyum, “Iya. Sepertinya dia sudah lama berdiri di depan kaca. Tadi saya ajak dia masuk, tetapi dia tidak mau.”

Joy yang melihat guru tari itu sedang berbincang dengan Hana, memeluknya dengan spontan. Guru tari itu terlihat terkejut sesaat, tetapi dengan cepat dia membalas pelukan itu. “Joy suka menari?”

“Ya…ya…suka menari,” jawab Joy dengan cepat dan senang.

Sambil memegang tangan Joy, guru tari itu bertanya, “Joy mau ikut latihan?”

“Mau…Joy mau,” jawab Joy bertepuk tangan.

Guru tari mengalihkan pandangannya kepada Hana yang masih berdiri dengan wajah memerah karena melihat Joy langsung memeluk orang yang baru dikenalnya. “Bagaimana kalau Joy ikut latihan bersama dengan teman-teman lain?”

Hana mengajak guru tari itu ke samping sambil berkata kepada Joy, “Joy. Kamu tunggu di sini ya. Mama bicara sebentar dengan bu guru.”

Joy tidak menjawab. Dia kembali memperhatikan latihan tari yang berlangsung.

Hana mulai menerangkan kondisi Joy kepada guru tari. “Saya sangat berterima kasih untuk ajakan ibu. Tetapi seperti yang saya jelaskan tadi, Joy tidak mungkin bisa mengikuti latihan sama dengan teman-teman lain. Saya khawatir dia akan menyulitkan ibu dan yang lainnya.”

Guru tari itu terdiam sejenak lalu berkata,”Saya mengerti kekhawatiran ibu. Tetapi saya tetap ingin Joy diberikan kesempatan. Apalagi Joy sudah memiliki ketertarikan terhadap tarian, mengapa kita tidak mencoba dulu?”

Hana menatap wajah guru tari yang sedang tersenyum dan melihat wajah Joy yang berseri-seri.

Guru tari melanjutkan, “Mari kita coba dulu, bu. Tidak ada salahnya. Tentu saya tidak bisa menjanjikan Joy akan dapat tampil dalam pelayanan Minggu, namun saya ingin memberikan dia kesempatan untuk melakukan sesuatu yang disukainya.”

Meski ragu, Hana mengangguk dan tersenyum, “Terima kasih banyak, bu, untuk kesempatan ini.”

Hana memeluk Joy. “Joy, kamu akan ikut latihan minggu depan.”

Joy balas memeluk Hana. “Joy menari.” Dalam perjalanan pulang, Joy tidak henti-hentinya tersenyum.

 

***

Sore itu, saat Joy sedang tidur siang, Hana duduk di ruang makan. Percakapan dengan guru tari kembali teringat olehnya. Hana sama sekali tidak menyangka guru tari mau memberikan kesempatan kepada Joy untuk ikut latihan. Betapa dia sangat mengharapkan kebenaran kata itu. “Kesempatan,” ucap Hana dengan pelan. Sebuah kata yang bagi Hana begitu sulit terjadi dalam kehidupan Joy.

Hana masih teringat dengan jelas beberapa kejadian sekitar 10 tahun lalu saat Hana mencarikan sekolah yang kesekian kalinya untuk Joy. Karena daya tangkap Joy yang terbatas, kemampuan baca, tulis maupun hitung yang dimiliki Joy masih dibawah rata-rata anak-anak seusianya. Beberapa sekolah menolak Joy karena menganggap Joy tidak akan mampu mengikuti standar yang sudah ditetapkan. Ada sekolah inklusi yang mau menerima Joy tetapi uang sekolah yang ditetapkan di luar kemampuan Hana dan suaminya. Hana masih teringat apa yang dia ucapkan setiap kali dia bertemu dengan pimpinan sekolah. “Miss, saya dan suami sangat mengharapkan Joy bisa bersekolah. Kami tahu Joy memiliki kekurangan dan kami akan berusaha keras agar Joy tidak ketinggalan pelajaran. Joy juga butuh teman-teman agar dia tidak selalu sendirian.” Namun, kesempatan Joy untuk bersekolah seperti anak-anak lain, tidak pernah terjadi. Setelah lelah mencari, dan terus menerima penolakan, maka Hana dan suami memutuskan agar Joy belajar di rumah bersama Hana.

“Apakah ini adalah kesempatan untuk Joy? Sungguhkah guru tari itu akan memberikan kesempatan kepada Joy untuk berlatih?”

Hana masih tidak percaya bahwa kesempatan untuk latihan dapat datang kepada Joy. Sudah beberapa kali sebelumnya sejak Hana tahu Joy suka menari, Hana berusaha mencari tempat les tari untuk Joy. Sama seperti ketika Hana mencari sekolah untuk Joy, mendapatkan tempat les tari yang cocok untuk Joy adalah tantangan besar. Ada yang mau menerima Joy namun setelah beberapa kali latihan, guru tari menyerah karena tidak mengerti bagaimana mengajari Joy. Hana mencoba membujuk agar guru tari itu mau terus memberikan kesempatan latihan kepada Joy, dan mengusulkan beberapa cara agar Joy bisa mengikuti instruksi dengan lebih baik. Namun guru tari itu menolak.

“Saya minta maaf. Saya sudah berusaha semampu saya tetapi saya tidak sanggup mengajari anak-anak seperti Joy. Sebaiknya ibu mencari tempat les yang lain saja.” Beberapa waktu kemudian, Hana menemukan tempat les tari lain namun Joy yang tidak suka. Dia tidak mau pergi latihan meskipun sudah mendaftarkan diri. Pengalaman-pengalaman negatif ini membuat Hana sulit percaya jika Joy sungguh mendapatkan kesempatan.

 

***

Suara musik yang tiba-tiba terdengar membuyarkan lamunan Hana. Joy sudah bangun. Seperti kebiasaannya, setiap kali Joy bangun tidur, dia akan menyalakan musik dan mulai menari begitu mendengarnya. Hana bangkit berdiri dan menghampiri Joy yang sudah menari gembira.

Hana mengamati tubuh Joy yang menari. Dengan tinggi 157 cm dan berat badan 55 kg, Joy terlihat agak gemuk. Terselip kekhawatiran dalam hati Hana bahwa Joy akan ditertawakan ketika dia menari. Namun semangat Joy membuat Hana tahu dia tidak punya pilihan selain membiarkan Joy ikut latihan tari nanti.

Di sepanjang minggu itu, Joy terus bertanya kepada Hana mengenai latihan tari di gereja.

“Kapan mulai?”

Dengan sabar Hana menjawab, “Hari Minggu. Sebentar lagi. Beberapa hari lagi.”

Akhirnya hari Minggu pun tiba. Segera setelah Komisi Remaja selesai, Joy dijemput oleh guru tari di kelasnya. Dengan penuh semangat, Joy menggandeng tangan guru tari, lalu ibu guru pun memperkenalkan Joy kepada teman-teman yang sudah terlebih dahulu bergabung dalam kelompok tari tamborin.

Guru tari memulai latihannya dengan mengajak Joy pergi ke sudut ruangan. Awalnya Joy menolak. Dia ingin bersama dengan teman-temannya. Guru tari mencoba menjelaskan, “Hari ini Joy latihan sendirian dulu ya.” Baru setelah Hana memberikan sebuah tamborin, Joy mau diajak berlatih sendirian.

Guru tari mengajarkan cara memegang dan menepuk tamborin. Joy mencoba mengikutinya. Beberapa kali dengan sabar guru tari memperbaiki tangan Joy agar tamborin dapat dipegang dengan tepat. Hana sudah menjelaskan kepada ibu guru tentang sifat Joy yang kurang sabar, dan cepat bosan. Setelah berlatih selama 30 menit, maka guru tari mempersilakan Joy untuk beristirahat, dan memperbolehkan Joy untuk menikmati makanan ringan yang dibawa oleh Hana. Selesai beristirahat, Joy diminta untuk kembali mengulangi tepukan tamborin yang dipelajarinya tadi sambil sekali-kali menyemangati Joy. “Bagus, Joy. Agak pelan sedikit. Jangan terlalu keras. Iya, begitu sudah benar, Joy.”

Sesuai dengan kesepakatan yang dibuat Hana dan guru tari, latihan Joy lebih singkat dibanding dengan teman-teman lain sehingga Joy pulang lebih awal.

“Joy senang ikut latihan?” tanya Hana dalam perjalanan pulang.

“Senang.” Joy menjawab dengan tertawa.

Di rumah, Joy berlatih kembali seperti yang diajarkan oleh guru tari. Joy terlihat bersemangat untuk berlatih setiap hari. Dan terus bertanya kapan dia bisa bertemu dengan guru tari kembali. Minggu demi minggu Joy terus berlatih. Kemajuan Joy memang lebih pelan dibanding dengan teman-teman lain. Dan latihan tidak selalu berjalan mulus, adakalanya Joy merasa bosan dan tidak mau latihan lagi. Pada saat seperti itu, Hana akan mencoba membujuk Joy dengan sabar dan sekali-kali memberikan hadiah kecil berupa makanan kesukaan Joy atau buku cerita sehingga Joy tetap mau ikut latihan.

Setelah 6 bulan berlalu, dalam salah satu sesi latihan, guru tari menghampiri Hana yang sedang duduk menunggui Joy.

“Bu, saya ingin memberitahu bahwa minggu depan Joy akan ikut tampil dalam ibadah umum.”

Hana terdiam sesaat. “Benar, bu guru?”

Guru tari tersenyum. “Iya, saya merasa sudah saatnya Joy ikut dalam pelayanan.”

Hana mengulurkan tangan dan menjabat tangan guru tari. “Terima kasih banyak, bu. Joy tentu akan senang sekali.”

Guru tari tersenyum. “Kami juga senang, bu. Joy pantas mendapat kesempatan ini. Dia telah berlatih begitu keras.”

Air mata mengalir di pipi Hana. “Tanpa pertolongan ibu dan teman-teman lain, Joy tidak akan mendapat kesempatan ini. Bolehkah saya bertanya, mengapa ibu ingin memberikan kesempatan pada Joy? Dia tidak sama dengan anak-anak lain. Kadang dia bahkan menyulitkan latihan yang ada. Namun ibu begitu sabar, dan tetap mau melatihnya. Saya benar-benar tidak mengerti.”

Guru tari menjawab dengan perlahan. “Saya hanya ingin memberikan kesempatan kepada Joy untuk ikut melayani. Tuhan sendiri dengan sabar memberikan kepada kita semua berbagai kesempatan. Baik kesempatan bertobat maupun kesempatan melayani. Saya percaya setiap orang layak mendapatkan kesempatan, tidak terkecuali Joy, dia pun layak mendapat kesempatan untuk melayani. Apalagi Joy memiliki bakat menari. Jadi apa yang saya lakukan hanyalah memberikan kesempatan kepada Joy. Saya sendiri belajar banyak dari semangat Joy yang tidak mudah menyerah.”

Hana memeluk guru tari. “Terima kasih banyak, bu.”

Dalam perjalanan pulang, tidak henti-hentinya Hana mengucap syukur kepada Tuhan atas kesempatan yang diberikan kepada Joy. Hana berpikir apa yang dilakukan guru tari sama dengan apa yang Tuhan Yesus lakukan terhadap Matius, si pemungut cukai. Pekerjaan pemungut cukai adalah posisi yang sangat rendah bagi orang Yahudi. Mereka dianggap orang berdosa, dan biasanya dihindari jika bertemu di tengah jalan. Mereka dibenci karena dianggap mengambil untung dari cukai yang dipungut. Mereka seperti sampah masyarakat. Tetapi Tuhan Yesus memanggil Matius untuk menjadi pengikut-Nya. Matius yang tidak berharga di mata orang kebanyakan, namun berharga bagi Tuhan Yesus sampai Dia memberikan kesempatan bagi Matius untuk bertobat dan melayani Dia.

“Terima kasih Tuhan, untuk kesempatan yang sama yang telah Tuhan berikan kepada Joy. Kesempatan untuk melayani-Mu, dipakai oleh-Mu. Kiranya pelayanan Joy boleh menyenangkan hati-Mu.”

Jangan Berikan yang Minimal Pada Apa yang Bisa Kita Kerjakan dengan Maksimal

Oleh Fandri Entiman Nae, Kotamobagu

Pernah mendengar istilah ‘mental minimal’?

Istilah ini kubuat untuk sikap hati yang menerima segala sesuatu dengan ala kadarnya, tanpa niatan hati untuk berjuang lebih baik. Contoh sederhana yang mungkin sering kita jumpai adalah aku sering mendapati para orang tua yang melihat anaknya mendapatkan nilai jelek di sekolah merespons begini, “yang penting dia naik kelas deh..” Tentu tidak ada yang salah dengan ucapan tersebut, tetapi proses yang terjadi di baliknyalah yang perlu kita telaah.

Dalam hidup ini kita memang harus mensyukuri apa saja yang kita miliki dan apa pun yang sudah kita capai. Tetapi, bersyukur atas pencapaian kita sama sekali bukanlah dorongan untuk melakukan segala sesuatu dengan asal-asalan. Jika kita bisa mendapat nilai 1000 mengapa kita membuang kesempatan itu? Mengapa berpuas dengan nilai 600 lalu berupaya membenarkan kemalasan dan ketidakseriusan yang kita pupuk? Hal ini jugalah yang terjadi pada orang-orang Kristen dan kehidupan penyembahannya.

Sebagai pijakan awal, aku ingin menegaskan bahwa penyembahan bukan sekadar menyanyi. Beberapa dari kita mungkin sudah terbiasa dengan pembagian “lagu pujian” dan “lagu penyembahan”, lalu mematenkan definisi sempit yang bisa saja menyesatkan kita. Menyanyikan lagu rohani di altar gereja hanyalah salah satu dari sekian banyak bentuk penyembahan. Kita bisa saja menghabiskan waktu untuk membahas asal usul kata ini dalam bahasa kita dan bahasa asli Alkitab. Tetapi, dalam prinsip sederhananya, menyembah adalah memberikan segala yang terbaik yang ada pada kita untuk Allah dengan sukacita dan penuh rasa hormat untuk kemuliaan-Nya. Itu berarti kita dapat menyembah lewat cara lain selain menyanyi dan bahkan saat kita berada di sebuah tempat selain gereja. Itulah sebabnya Yesus berbicara tentang penyembahan yang tidak dibatasi oleh tempat, yaitu penyembahan dalam roh dan kebenaran (Yohanes 4:24).

Dari situ kita dapat melihat sebuah keindahan dan kemerdekaan yang ditawarkan dalam penyembahan kita. Tetapi, keindahan dan kemerdekaan semacam inilah yang sangat mudah diselewengkan.

Kita memang bisa menyembah Allah dengan banyak cara selain menyanyi. Kita bisa menyembah-Nya dengan cara berkhotbah, menginjili, dan mengajar anak sekolah minggu. Bahkan kita bisa menyembah dengan hal yang terlihat tidak rohani bagi sebagian orang, seperti memasak nasi, mencuci piring, menyapu halaman, dan mencari nafkah. Sekali lagi, jika kita melakukan semuanya itu sebagai pemberian terbaik kita untuk hormat kemulian Allah, maka itu adalah penyembahan. Tetapi, berhati-hatilah dengan apa yang kita sebut sebagai pekerjaan. Kita tentu harus mengeliminasi pekerjaan-pekerjaan yang tidak mungkin dibenarkan oleh Alkitab.

Selain itu, karena sebuah pekerjaan di luar gereja dapat menjadi bentuk penyembahan, bukan berarti kita boleh seenaknya menjauhkan diri dari pertemuan ibadah (Ibrani 10:25). Persekutuan orang percaya adalah keindahan yang tidak selalu bisa kita nikmati. Tengok saja apa yang terjadi di masa pandemi, ketika kita belum dimungkinkan untuk melaksanakan ibadah secara langsung, begitu banyak orang berteriak frustasi karena merindukan persekutuan. Kita memang bisa menyembah dari rumah kita. Dengan kecanggihan yang kita miliki, kita dapat dengan mudah melihat saudara kita yang sedang berkhotbah di Swiss dari Pulau Siau. Beberapa temanku bahkan mengikuti kelas daring Teologi yang dipimpin oleh seorang doktor dengan hanya mengenakan celana pendek sembari tidur-tiduran di sofanya. Teknologi telah menolong kita, namun jika kita bisa saling bertatap muka dengan jarak 1,5 meter, berjabat tangan, merangkul, dan saling berpelukan, mengapa kita tidak mengambil kesempatan berharga itu?

Memberikan yang minimal padahal kita bisa memberi lebih adalah sebuah penghinaan. Lakukanlah segala sesuatu seperti kita melakukannya untuk Tuhan Yesus, yang telah memberikan segala yang terbaik bagi kita. Dia tidak mengerjakan karya penyelamatan di Golgota dengan setengah-setengah. Bagi kita, Dia mengerjakannya dengan tuntas dan sempurna. Dia memikul apa yang seharusnya terikat di pundak kita, tanpa bersungut-sungut.

Jika kita memiliki tanggung jawab sebagai seorang pelajar lakukanlah dengan maksimal, jangan asal lulus, jadilah yang terbaik yang kita bisa, dan untuk hasilnya, biarlah Allah dimuliakan. Itulah penyembahanmu.

Jika kita adalah seorang pengkhotbah, setiap kali diberi kesempatan untuk berkhotbah, berilah dirimu waktu untuk mempersiapkan khotbah terbaik, bahkan jika pendengarnya hanya 2 orang anak kecil, biarkan mereka mendengar suara Tuhan dari khotbahmu. Itulah penyembahanmu.

Jika kita adalah chef, masaklah masakan terenak.

Jika kita adalah atlet lari, larilah sekencang-kencangnya.

Jika kita adalah pemimpin pujian, berikan suara paling merdu.

Jika kita adalah tukang Bangunan, buatlah rumah paling kokoh.

Jika kita adalah penulis, dunia sedang menunggu tulisan terindahmu.

Kita semua adalah anak-anak Allah. Jadilah maksimal untuk kemuliaan Bapa kita di sorga. Itulah penyembahan kita.

Berkat di Balik Tirai Kesuraman

Oleh Antonius Martono, Jakarta

Baru saja Ianuel pulang memimpin sebuah kelompok pendalaman Alkitab, Benu sudah menunggunya di taman tempat mereka biasa mengobrol. Benu bilang penting, ingin bicara. Segera Ian beranjak dari kamarnya menuju teras. Setelah berpamitan dengan Ibu, Ian menyalakan motornya.

“Baru pulang sudah pergi lagi. Mau ke mana kamu?”

“Hmm… pelayanan, Pah. Tadi sudah pamit Ibu,” kata Ian ragu.

“Pelayanan mulu. Waktu buat keluarga kapan? Ini, kan, weekend.”

“Sebentar, kok, Pah. Ke taman biasa,” Ianuel berusaha menenangkan ayahnya.

“Sebentar tapi, sampai malam. Pulang cepet. Kalau sudah pada tidur, tidak ada yang akan bukain pintu,” ayah Ian memunggunginya menuju ruang TV.

Telah satu tahun Ian tidak mendengar ayahnya berbicara seperti itu. Terakhir kali, pada hari Ian terkunci di luar rumah karena pulang hampir tengah malam. Sejak saat itu Ian mulai mengatur waktu kegiatannya dengan teliti. Dia tahu, jika ayahnya mengucapkannya lagi, berarti sang ayah benar-benar memaksudkannya. Mengganjal. Namun, Ian harus pergi.

Bagi Ian bertemu Benu adalah sebuah bagian dari panggilannya. Panggilan yang dimulai dari keputusan Ian satu setengah tahun lalu untuk bekerja di suatu lembaga Kristen yang melayani kaum muda. Lembaga ini baru saja membuka pos rintisan di kota kecil tempat Ian tinggal. Sedangkan pusat lembaganya berada 2 jam jauhnya dari kota ini. Capek, kehabisan ide, tertekan, sedih adalah teman pelayanan Ianuel, sebab belum ada orang yang bersedia menemani pelayanannya. Ian melayani seorang diri di pos kecil tersebut. Meskipun begitu, dia mengerti bahwa lewat pos pelayanan inilah dia mengabdi kepada Tuhan.

Ayahnya sendiri sebenarnya tidak setuju dengan keputusan Ian. Dia tidak bisa memahami pekerjaan Ian dan pertimbangannya. Ayahnya hanya tahu kalau anaknya suka kerja sebar-sebar ajaran Alkitab. Namun, menurut hemat ayahnya, pekerjaan tersebut sulit untuk membeli sebuah rumah untuk anak istri Ian kelak. Terang-terangan atau sindiran halus sudah dilakukannya tapi, Ian tetap tidak mengubah pilihan pekerjaanya.

Sesampainnya di taman, Ianuel menemui Benu di bangku taman. Dari bangku itulah Benu bercerita bahwa ia baru saja berkonflik hebat dengan ayahnya yang dominan lantaran ia kelupaan mematikan lampu kamar. Keduanya terlibat adu mulut dan saling merendahkan satu sama lain. Ketika konflik semakin menegang, Benu mengakhirinya dengan keluar rumah. Sambil menghisap rokoknya, Benu mengatakan bahwa ia tidak ingin lagi pulang ke rumah.

Hari itu malam Minggu dan matahari sudah semakin gelap. Taman semakin dipenuhi pengunjung dan para penjaja makanan mulai membuka lapaknya.

“Makan, yuk. Gue traktir,” ajak Ian.

Ian sudah biasa melakukan hal ini kepada para pemuda tanggung yang dilayaninya. Hanya ingin berbagi dan meringankan beban mereka yang dia layani. Mereka melipir ke tenda pecel ayam tak jauh dari taman itu. Percakapan terus mengalir tanpa ujung bersamaan dengan perut mereka yang semakin penuh. Waktu berlalu hingga pukul delapan lewat. Dalam hatinya Ian bertekad untuk pulang sebelum jam sembilan malam, sebab ia teringat pesan ayahnya. Percakapan masih berlanjut beberapa menit sebelum akhirnya Ian memberikan saran-saran praktis untuk masalah Benu dengan ayahnya.

“Memang sih, Ben, disalah mengerti oleh orang yang kita harapkan sebagai yang pertama kali memahami kita itu menyakitkan. Tapi, lari dari tanggung jawab untuk saling mencari pengertian justru akan melahirkan kesalahpahaman lainnya. Usahakan tidak mengoleksi luka sebab semua luka sudah ditanggung Yesus di atas kayu salib, Ben,” kata Ian.

“Jadi, kalau menurut Abang. Sebaiknya kamu pulang dan meminta maaf. Siapa tau dengan begitu terjadi rekonsiliasi. Abang yakin Tuhan akan bekerja. Soalnya Dia yang paling mau relasi kalian membaik. Jadi segera balik, yak, tidak perlu kelayapan lagi,” bujuk Ian sambil menepuk pundak Benu.

Benu merasa pita suaranya kusut. Dia tidak menjawab bujukan Ian yang telah pulang dengan motornya. Di taman itu Benu masih mempertimbangkan saran dari Ian sebelum akhirnya dia memutuskan pulang pada dini hari.

Di tengah perjalanan Ian terus bertanya mengapa ia perlu mengurusi anak orang lain jika relasinya sendiri dengan orang tuanya masih berjarak. Ian merasa jago bicara tapi, gagal dalam praktiknya. Dia juga ingin agar Tuhan memperbaiki relasinya dengan sang ayah. Itulah mengapa Ian memacu motornya secepat mungkin supaya sampai tepat sebelum jam 9. Dia berharap agar tidak terjadi lagi konflik pada hari ini. Namun, di jalan motornya malah menabrak sebuah roda truk.

Truk tersebut sedang menepi mengganti salah satu roda kanannya. Badan truk menghalangi lampu penerangan jalan sehingga Ian tak dapat melihat sebuah roda besar di sisi kanan truk. Ianl tak sempat lagi mengelak dan hantaman itu terjadi.

“Brakk!”

Setang motornya bengkok dan sebagian lampu depannya pecah. Ian sendiri terlempar dari motornya. Tulang tangan kirinya patah dan dahinya berdarah. Banyak orang langsung berkerumun dan segera melarikannya ke rumah sakit.

Tiga hari lamanya Ian berada di rumah sakit sebelum ia pulang diantarkan sang ibu. Keningnya dijahit dua kali dan tangannya telah dirawat dengan tepat. Untuk beberapa hari Ian perlu beristirahat menunggu luka-lukanya untuk pulih. Ayahnya tidak menyalahkan Ian atas kecelakaan tersebut. Dia hanya masih belum mengerti masa depan seperti apa yang sedang dibangun oleh anaknya. Dari ambang pintu kamar Ian sang ayah memperhatikan keadaan anaknya.

“Memang kamu kerja untuk apa, sih? Bukan apa-apa, papa cuma pikirin masa depan kamu. Kamu kan kelak jadi kepala keluarga.”

Di tempat tidur Ianuel hanya mendengarkan tegang.

“Nanti kalau sudah sembuh kamu kerja aja sama anak teman papa. Bilang ke bos kamu mau keluar. Mau cari pengalaman baru.”

Ian diam saja. Ian tahu komitmennya sedang diuji kembali. Hanya saja kali ini Ian tidak bisa menjawab. Kejadian ini membuat Ian merasa seperti kalah perang. Berkorban nyawa untuk sebuah negara yang kalah.

“Kamu keluar biaya berapa? Ditanggung sama tempat kerjamu?”

“Sekitar enam jutaan, Pah.”

Ian berhenti sampai situ dan tidak berniat menjawab pertanyaan kedua.

“Itu diganti semua?”

“Tidak tahu, Pah. Kantor juga masih kurang bulan ini.”

Ayah Ian menghela napas, semakin prihatin dengan masa depan anaknya.

“Ya, sudah kamu pikirin deh, nanti kalau kamu mau papa telepon temen papa, biar kamu kerja di tempat anaknya. Papa keluar dulu ketemu mama.”

Selonjoran di dipan, Ian masih memproses kata-kata ayahnya. Ada benarnya maksud sang ayah. Memang bujukan itu belum pernah berhasil membuat Ian mencari pekerjaan lain, tapi bukan berarti tidak pernah membuat dia ragu. Dari celah pintu, Ian dapat mengintip kedua orang tuanya sedang berdiskusi.

Tak lama kemudian ibunya melangkah menuju kamar. Nampaknya ayah Ianuel masih mencoba membujuknya kali ini lewat sang ibu. Ia lelah untuk berdiskusi tapi, sekali lagi dia harus berusaha menguatkan tekadnya kembali.

“Ian ini ada parsel. Tadi ada ojek online yang kirim.”

Ianuel tak menduga sama sekali ibunya datang hanya untuk mengantarkan parsel buah segar. Di atas keranjang anyaman bambu buah-buah tersebut disusun. Ian menerimanya. Wajahnya masih kaget tapi, hatinya tersenyum.

“Itu dari siapa ?”

“Gak tau, Mah. Tapi ini kayaknya ada suratnya deh.”

“Coba dibaca dulu.”

Ianuel membaca surat itu dan tahulah ia bahwa parsel itu berasal dari adik-adik pemuda yang selama ini dilayaninya.

“Semoga Tuhan memulihkan kondisi kak Ian seperti kami yang dipulihkan Tuhan lewat kak Ian. Kak, kami sudah urunan dan transfer. Tidak seberapa tapi semoga dapat meringankan beban Kak Ian.”

Kemudian dalam surat itu mereka mengutip penggalan ayat dari Mazmur 23. Ianuel tak tahu dari mana anak-anak itu mendapatkan dana yang jumlahnya cukup untuk mengganti biaya perawatannya dan perbaikan motornya, tapi ini menghibur hatinya. Memang perjalanan pelayanan Ian cukup terjal. Namun, dia semakin yakin bahwa dia tidak pernah ditinggal sendiri. Kekuatan dan penghiburan diberikan di saat perlu. Mengimbangi duka dengan suka. Di dalam pengabdian untuk nama Tuhan.

Baca Juga:

Mengerjakan Misi Allah melalui Pekerjaan Kita

Kita tidak dipanggil dalam kenyamanan dan kemudahan. Sebagai orang Kristen, kita dipanggil ke dalam dunia yang rusak karena dosa yang merajalela. Kita diutus seperti domba ke tengah-tengah serigala.

Ketika Bertahan Adalah Sebuah Pergumulan

Oleh Vika Vernanda, Bekasi

Saat sedang menggulir laman sosial media, aku melihat kiriman video dari suatu akun komunitas Kristen untuk publikasi sebuah ibadah. Impresi pertama ku adalah kagum karena desainnya sangat menarik, namun setelah selesai melihatnya, aku tertegun dan teringat sesuatu. Komunitas ini adalah tempatku melayani hingga sekarang. Tapi tepat satu tahun lalu, aku hampir meninggalkannya.

Pelayanan di tempat ini awalnya berjalan baik, relasiku dengan anggota komunitas lainnya pun sudah sangat dekat. Hingga suatu saat ada hal yang seakan memaksaku untuk meninggalkan komunitas ini.

Berat sekali rasanya. Sungguh sangat berat.

Hari demi hari berganti. Doaku terus terisi dengan pertanyaan “kenapa ini harus terjadi?”.

Aku menjadi takut. Takut untuk tetap hadir di komunitas ini. Takut memberi pengaruh buruk kepada anggota lainnya. Takut kalau jangan-jangan motivasiku berada di tengah mereka bukan karena kerinduan agar setiap mereka menikmati Allah, melainkan hanya karena aku menikmati penerimaan dari mereka. Perasaan dan pemikiran itu kemudian membuatku mengingat dan merenungkan kembali kerinduan awal aku melayani di komunitas ini.

Singkat cerita, dalam masa perenunganku, aku menemukan bahwa kerinduan awalku melayani komunitas ini adalah setiap anggota menikmati Tuhan yang sungguh mengasihi mereka melebihi apapun. Kerinduanku adalah setiap anggota komunitas akhirnya mempersembahkan setiap hal dalam kehidupan mereka kepada Tuhan.

Menemukan hal ini mulai membuatku untuk mau berjuang tetap bertahan.

Tepat di hari yang sama, aku menghadiri sebuah ibadah. Firman saat itu adalah dari Kisah Para Rasul 21:1-14, tentang keadaan yang seakan memaksa Paulus untuk tidak pergi ke Yerusalem karena penglihatan bahwa Paulus akan diikat oleh orang-orang Yahudi di Yerusalem dan diserahkan ke dalam tangan bangsa-bangsa lain (Kis 21:11). Jawaban Paulus tertulis pada ayat 13 bagian ini yang berkata “Mengapa kamu menangis dan dengan jalan demikian mau menghancurkan hatiku? Sebab aku ini rela bukan saja untuk diikat, tetapi juga untuk mati di Yerusalem oleh karena nama Tuhan Yesus.” Aku menangis. Ketika doa tutup firman aku berkomitmen untuk tetap bertahan melayani di komunitas ini.

Aku tahu ada sesuatu yang seakan memaksaku berhenti, tapi aku lebih tau ada Allah yang terus berjalan bersamaku.

Sungguh bersyukur kepada Allah, saat ini aku bisa menyaksikan bahwa Allah memberi pertumbuhan bagi komunitas ini. Meski masih terlibat melayani di komunitas ini, aku sudah tidak banyak ambil bagian dalam persiapan ibadah. Melihat video video publikasi tersebut, membuatku tidak bisa tidak bersyukur. Bersyukur karena pilihan untuk bertahan satu tahun yang lalu, ternyata membawaku menyaksikan pertumbuhan yang Allah anugerahkan.

Untukmu yang sedang bergumul untuk tetap bertahan di suatu kondisi tertentu; bertahan tetap melayani sesama meski harus terus memutar otak mencari cara yang efektif, bertahan untuk berjuang mengasihi anggota keluarga meski mungkin setiap hari ada saja cara mereka membuatmu kesal, atau bahkan bertahan menahan rindu berjumpa dengan teman-teman karena kebijakan PSBB saat ini; kiranya kita semua boleh menyadari bahwa mungkin saja keputusan yang paling baik dan paling bernilai adalah tetap bertahan, bahkan ketika berpaling atau berjalan menjauh akan menjadi keputusan yang lebih sederhana. Karena kesetiaan (faithfulness), yakni tetap bertahan di tempat kita berada, terkadang adalah tindakan terbesar dari iman (faith).


Kamu diberkati oleh artikel ini?

Yuk, jadi berkat dengan mendukung pelayanan WarungSateKaMu!


Baca Juga:

Catatanku Menjadi Pengurus: 3 Kendala Pelayanan Pemuda di Gerejaku Sulit Berkembang

Jumlah pemuda yang hadir di tiap persekutuan hanya tiga orang. Membangun pelayanan pemuda pun terasa sulit karena beberapa kendala.