Posts

Menghidupi Sisi Terang Pelayanan dalam Anugerah Tuhan

Oleh Jefferson

Dalam tulisanku sebelumnya, aku membagikan pengalamanku bergumul dengan depresi selama melayani belakangan ini. Kunamakan pergumulan tersebut “sisi gelap pelayanan” karena kebanyakan dari kita menyembunyikan perjuangan kita melawan depresi dari orang lain. Depresi bagaikan kegelapan di pojok ruangan yang lama-lama semakin pekat dan menguasai hati kita tanpa kita sadari sama sekali. Maka sangatlah penting untuk kita terus “bertahan dan berjalan dengan teguh dalam terang Tuhan di tengah bayang-bayang sisi gelap pelayanan, mengingatkan diri dan sesama dari waktu ke waktu bahwa kita telah menerima kuasa dari Kristus untuk menjadi anak-anak Allah (Yoh. 1:12).”

Kukira kontribusiku untuk tema bulan ini telah kukerjakan dengan baik lewat tulisan di atas. Namun, ketika membaca kembali tulisanku setelah ia diterbitkan, aku menyadari ada pertanyaan penting yang tidak kujawab: Mengapa aku terus melayani meskipun ada sisi gelap yang begitu menakutkannya? Beranjak dari pemikiran itu, aku sekali lagi merasakan dorongan yang kuat dari Tuhan untuk memberikan pertanggungjawaban atas pengharapan ilahi (1 Pet. 3:15) yang memampukanku terus memberi diri melayani.

Tuhan telah memberikanku kasih karunia-Nya dan menjadikanku sebagaimana aku ada sekarang, maka aku memberikan diri melayani untuk menikmati dan memuliakan-Nya.

Untuk memahami kalimat di atas, kita akan merenungkan dua ayat dari surat rasul yang mendasari pemikiran tersebut. Bisakah kamu menerka ayat mana saja yang kumaksud?

“Tuhan telah memberikanku kasih karunia-Nya dan menjadikanku sebagaimana aku ada sekarang, …”

Untuk memahami landasan dari sisi terang pelayanan, kita perlu mempelajari 1 Korintus 15:10 yang merupakan puncak dari perikop ayat 1-11. Di bagian pertama perikop (ay. 1-7), Paulus mengingatkan jemaat Korintus kepada pesan Injil yang ia beritakan dan sekarang mereka imani (ay. 1) melalui sebuah pengakuan iman terawal yang dicatat dalam Alkitab (ay. 3-7). Paulus kemudian memberikan kesaksian pribadi atas dampak kebenaran Injil Kristus ini dalam kehidupannya di ayat 8-11. Sangat mungkin Paulus menulis bagian ini sambil mengenang perjumpaannya dengan Yesus dalam perjalanan ke Damsyik (Kis. 9:3-9). Pertemuan itu, yang menjadi titik balik kehidupannya, begitu berdampak pada diri Paulus. Di tengah kebutaan fisiknya (Kis. 9:9), anugerah Allah membukakan mata rohaninya untuk melihat dengan jelas keberdosaan dirinya sebagai penganiaya jemaat Allah. Paulus lalu bahkan menyebut dirinya sebagai “yang paling hina dari semua rasul, bahkan tidak layak disebut rasul” (ay. 9). Kasih karunia Allah kemudian menuntun Paulus untuk melihat dan mensyukuri betapa berharganya anugerah keselamatan dalam Kristus (bdk. Rm. 7:24-25) sehingga ia dengan tegas menambahkan dirinya adalah sebagaimana adanya sekarang oleh karena kasih karunia Allah (ay. 10a).

Kesaksian Paulus bisa saja berakhir di sana dan meninggalkan kesan yang bertentangan dengan Injil. Kita dapat salah mengira kalau pelayanan Paulus yang begitu berdampak dan luas adalah hasil usahanya sendiri untuk membayar kembali pengorbanan Yesus di atas kayu salib. Puji Tuhan, Paulus melanjutkan dengan mengatakan bahwa ia bekerja lebih keras dari rasul-rasul lainnya, bukan untuk membuktikan dirinya sendiri atau untuk membayar kembali kemurahan Tuhan, tetapi supaya karunia Allah dalam dirinya tidak sia-sia (ay. 10b). Jadi, siapa yang sesungguhnya bekerja dalam pelayanan Paulus sebagai seorang rasul? Allah Tritunggal, yang dalam kasih karunia-Nya terus menyertai Paulus lewat pribadi Roh Kudus (Flp. 4:13). Pemahaman inilah yang membuat Paulus terus memberi diri melayani Tuhan, bahkan ketika menghadapi berbagai rintangan (2 Kor. 6:3-10), bahkan ketika dalam segala hal ia dapat bermegah dalam dirinya sendiri (Flp. 3:4-6).

Apa yang bisa kita pelajari dari tulisan Paulus ini? Pertama-tama, yang terutama dalam pelayanan bukanlah pelayanan, tetapi identitas Allah dan siapa kita di dalam-Nya. Seperti Paulus, ketika kita memahami dengan jelas realita keberdosaan dan ketidaklayakan diri kita, dan betapa berharganya anugerah keselamatan Allah dalam Kristus, kita dapat mensyukuri siapa diri kita sebagaimana adanya sekarang. Seperti yang diingatkan Pdt. Jeffrey Siauw dalam artikel terbarunya, kita dipanggil terutama bukan untuk melayani Tuhan, tetapi untuk kembali kepada-Nya sebagai anak-anak-Nya (Yoh. 1:12) dan berelasi dengan-Nya.

Rasa syukur ini semakin meluap-luap ketika melihat bahwa dalam usaha terkeras kita sekalipun untuk melayani, bukan kita yang bekerja, melainkan “kasih karunia Allah yang menyertai [kita]” (ay. 10b). Konsekuensinya, kita tidak dapat bermegah sama sekali atas pelayanan kita, karena pada dasarnya bukan kita yang melayani. Natur dosa tidak dapat memampukan manusia untuk melayani Allah; hanya kasih karunia Allah yang dapat menaklukkan hati manusia untuk taat kepada Kristus (2 Kor. 10:5b). Gagasan ini seperti menyiratkan bahwa Tuhan akan “memaksa” kita untuk melayani, tapi kenyataannya Ia ingin agar kita memberi diri melayani berdasarkan kehendak bebas kita. Itulah mengapa Paulus dapat mengklaim bahwa “kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepada[nya] tidak sia-sia”, sebab dalam kehendak bebasnya, ia memilih untuk meresponi kasih Allah dengan memberi diri melayani (ay. 10a), bahkan ketika ia merasa dirinya sebagai yang paling tidak layak untuk menerima anugerah Tuhan (ay. 9; bdk. Rm. 7:24-25 dan 2 Kor. 12:1-10).

Bagaimana kita mengaplikasikan kebenaran ini dalam kehidupan? Aku melakukannya dengan merenungkan kembali perjalanan pelayananku yang sangat jauh dari layak dan sempurna, tapi Allah dalam kasih karunia-Nya tetap bekerja dalam semuanya itu. Kamu mungkin mengira aku sudah cukup lama berkecimpung dalam pelayanan, tapi sebenarnya aku baru mulai melayani sejak sekitar 6 tahun yang lalu. Salah satu pelayanan pertamaku adalah di kepanitiaan retret komisi remaja, di mana pada suatu kesempatan aku tidak mematuhi perintah pembinaku dengan egois. Ketidakdewasaan, kesombongan, dan kepercayaan diri yang berlebihan mewarnai pelayananku hingga saat ini dan menjadi salah satu alasan mengapa aku terlibat dalam banyak pelayanan. Pada mulanya, aku menerjunkan diri dalam berbagai pelayanan karena ingin tahu di bidang pelayanan mana aku dapat paling menikmati dan memuliakan Tuhan, sehingga menurutku adalah wajar untuk mengerjakan dan belajar dari sebanyak mungkin pelayanan yang bisa kutangani. Tapi, seiring berjalannya waktu, aku menyadari bahwa aku menjadi buta terhadap kebenaran dalam 1 Korintus 15:10. Aku bergantung pada diriku sendiri hingga kurang istirahat dan menjadi lebih rentan terhadap serangan depresi. Anugerah Tuhan pasti selalu cukup, tapi manusia lemah dan terbatas (2 Kor. 12:9). Oleh karena itu, kita perlu menyadari sampai di mana batas kita dapat melayani sebagaimana adanya kita sekarang (1 Kor. 15:10).

Sekarang kita beralih kepada satu tujuan yang memberi kekuatan kepada sisi terang pelayanan.

“… maka aku memberikan diri melayani untuk menikmati dan memuliakan-Nya.”

Dalam satu kata, tujuan dari pelayanan adalah “sukacita”. Dua ayat pertama dalam Ibrani 12 menantang kita untuk mengerjakan dengan tekun setiap pekerjaan baik yang telah Allah persiapkan untuk kita (ay. 1, bdk. Ef. 2:10) dengan mengikuti (“melakukannya dengan mata yang tertuju kepada”; ay. 2) cara Tuhan Yesus melayani: untuk sukacita “yang telah ditetapkan bagi-Nya” (Ibr. 12:2 AYT). Demi sukacita yang akan Ia dapatkan, Tuhan Yesus rela mati di atas kayu salib untuk memulihkan kembali relasi yang rusak antara Allah yang adalah Kasih dengan manusia berdosa.

Aku hampir dapat mendengar helaan napas kebingunganmu setelah membaca paragraf di atas. “Jadi Yesus melayani dan mati untuk sebuah alasan yang hedonistik?”

Ada kekeliruan cara pandang dalam pertanyaan tersebut. Kalau kita percaya bahwa Yesus benar-benar mati dan bangkit hanya untuk keselamatan kita, betapa besarnya ego kita! Hanya Allah yang berhak menjadi tujuan terutama dari segala hal (Rm. 9:23); di luar itu adalah dosa (Rm. 1:25). Di sisi lain, sukacita Kristus bukanlah kebahagiaan egois manusiawi, melainkan sebuah sukacita karena telah mentaati kehendak Bapa-Nya di surga (Yoh. 4:34; ada bentuk-bentuk lain dari sukacita Kristus yang tidak dibahas di sini, seperti kemenangan atas dosa [Ibr. 1:3] dan pertobatan manusia [Lk 15:7]) dan memuliakan-Nya (Yoh. 13:32). Yang menakjubkan di sini adalah sukacita-Nya dalam Ibrani 12:2 ini adalah milik kita juga, sebab sukacita Kristus ada di dalam kita dan akan menjadi penuh (Yoh. 15:11).

Apa implikasinya bagi pelayanan? Dalam poin sebelumnya, kita mempelajari bahwa pelayanan adalah bentuk luapan rasa syukur atas kasih karunia yang Allah anugerahkan kepada kita yang menjadikan kita sebagaimana adanya sekarang. Setiap pelayanan yang kita lakukan adalah sebuah pengalaman merasakan kasih karunia-Nya bekerja dalam dan lewat diri kita, bahkan dalam kelemahan. Di bagian ini, kita diberitahukan tujuan dari pada pelayanan kita: agar sukacita kita dalam Kristus menjadi penuh (Yoh. 15:11). Bagaimana caranya? Dengan meniru cara Kristus melayani, menaati kehendak Allah (Yoh. 4:34) dan mengembalikan segala kemuliaan kepada Ia (Yoh. 13:32) yang memberikan kita kasih karunia demi kasih karunia untuk melayani (Yoh. 1:16). Maka kita melayani untuk menikmati dan memuliakan Allah Tritunggal.

Kamu mungkin sepakat dengan gagasanku tentang pentingnya mengarahkan pelayanan kepada Allah serta sukacita dan kemuliaan-Nya, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa itu adalah ide yang abstrak. Bagaimana kita dapat mengaplikasikannya dalam pelayanan kita? Jika diminta membahas tentang kemuliaan Allah, beberapa penulis mungkin akan menggunakan dan menekankan pada perikop-perikop yang relevan dari lima kitab Musa dan kitab Wahyu. Aku pun merasa mereka adalah sarana yang baik untuk menggambarkan sukacita dan kemuliaan Allah, tetapi harus diakui bagian-bagian itu kadang terlalu berbeda secara budaya sehingga dipahami. Oleh karena itu, berdasarkan perkataan Kristus bahwa kehidupan kekal adalah mengenal Allah Tritunggal (Yoh. 17:3), berikut adalah beberapa cuplikan sukacita yang kudapat dari pelayanan yang kukerjakan:

Jemaat datang tepat waktu untuk menikmati hadirat Tuhan dalam ibadah Minggu; anak-anak belajar tentang identitas Tuhan yang mereka sembah serta bermain dengan guru-guru dan teman-teman dengan riang gembira; para remaja melihat dan mengagumi keindahan Injil Kristus yang kuajarkan; saudara/i seiman yang kumuridkan mengikut Kristus dan bersaksi bagi Dia dalam bidang pekerjaan masing-masing; antusiasme jemaat dalam dimuridkan untuk mencapai kedewasaan rohani dan keserupaan dengan Kristus; bibirku yang najis menjadi perantara Firman Allah yang kudus; orang-orang yang lemah bermegah dalam kasih karunia Allah; jemaat berpartisipasi lewat doa, dana, dan daya untuk menyelesaikan misi kerajaan Allah; setiap pribadi semakin mengenal dan mengasihi Allah hingga mencapai kedewasaan rohani dan tingkat pertumbuhan yang sesuai dengan kepenuhan Kristus (Ef. 4:13).

Untuk sukacita dan kemuliaan Allah yang kurasakan melalui hal-hal kecil itulah aku melayani. Setiap langkah pelayanan membawaku satu langkah lebih dekat kepada kepenuhan Allah yang sempurna dalam pribadi Kristus, yang terus bekerja dalam diri setiap orang percaya untuk memberitakan Injil-Nya kepada dan memuridkan segala suku bangsa. “Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!” (Rm. 11:36).

Hidup dalam realita pelayanan sebagaimana kita adanya

Kamu mungkin dapat menebak bahwa aku meminjam istilah “sisi gelap” dan “sisi terang” dari serial film Star Wars. Awalnya aku hanya ingin mencari judul yang tepat untuk tulisan tentang depresi dan pelayanan. Namun, ketika datang ilham untuk menuliskan alasanku melayani, aku memutuskan untuk meminjam juga istilah yang satunya lagi.

Serial Star Wars hingga saat ini terdiri atas tiga trilogi utama: episode IV–VI dengan Luke Skywalker sebagai tokoh utama, episode I–III yang menceritakan transformasi Anakin Skywalker menjadi Darth Vader, dan episode VII–IX yang berpusat pada Rey sebagai pengguna utama dari sisi terang The Force. Kalau kamu perhatikan dengan saksama, semua tokoh ini menghadapi dilema yang sama: Apakah mereka akan terus hidup dalam sisi terang The Force, atau malahan jatuh ke dalam sisi gelap? Kamu mungkin mengetahui pilihan yang (pada akhirnya) diambil oleh Anakin dan Luke, yaitu untuk berdiam dalam sisi terang The Force. (Sayangnya kita baru bisa mengetahui keputusan Rey dua bulan lagi saat episode IX dirilis.)

Apa yang ingin kusampaikan dari ilustrasi ini? Seperti para ksatria Jedi, dalam melayani, kita akan selalu diperhadapkan dengan pilihan untuk terus hidup melayani dalam terang dan anugerah Tuhan, atau menyerah saja kepada sisi gelap pelayanan. Dari waktu ke waktu pilihan pertama akan terasa sangat sulit, sementara pilihan kedua akan terdengar begitu mudah dan menggoda. Ketiga tokoh utama kita berkali-kali menghadapi godaan untuk bergabung dengan sisi gelap The Force, namun mereka (termasuk mungkin Rey) pada akhirnya selalu berhasil menguasai diri. Kita bukan tokoh utama Star Wars, karena dalam dosa kita akan cenderung memilih untuk mengikuti sisi gelap pelayanan. Tapi syukur kepada Allah, Ia bukanlah kuasa ilahi impersonal seperti The Force! Ia adalah Allah yang berpribadi, salah satunya Roh Kudus yang tinggal di dalam kita untuk mengajarkan dan mengingatkan semua yang telah dikatakan Tuhan Yesus kepada kita (Yoh. 14:26). Kita pun dimampukan untuk terus hidup dalam sisi terang pelayanan sehingga kita dapat berjalan dengan yakin di dalam Kristus melewati lembah sisi gelap pelayanan untuk mencapai rumah Tuhan, di mana pada akhirnya kita akan menikmati sukacita dan kemuliaan Allah selama-lamanya (Mzm. 23).

Marilah kita melayani dalam kesadaran penuh akan realita ini dan terus bergantung kepada Tuhan, dari satu kasih karunia menuju kasih karunia lain dari-Nya (Yoh. 1:16).

Tuhan Yesus memberkati, soli Deo gloria.

Baca Juga:

Ketika Pelayanan Tidak Selaras

Ketika melayani Tuhan, kadang kita mendapati orang-orang yang rasanya kurang pas untuk melayani bersama kita. Lantas, apakah yang harus kita perbuat?

Ketika Pelayanan Tidak Selaras

Oleh Deastri Pritasari, Surabaya

Setiap hari Jumat, tempat kerjaku mengadakan doa dan sharing bersama. Biasanya acara diawali dengan menyanyikan satu lagu, kemudian berdoa, dan diakhiri dengan sharing. Yang menarik perhatian kami adalah saat sesi menyanyi. Kami punya kelebihan dan kekurangan masing-masing dalam hal olah suara dan bermusik.

Seorang teman kami, sebut saja namanya Lukas, dia menggenjreng gitar dengan penuh percaya diri. Sebenarnya, dia tidak begitu pandai bermain gitar, pun suaranya saat menyanyi biasa saja. Andrew, dia tidak tahu persis tangga nada. Sedangkan Dita, dia punya suara merdu yang akhirnya mendominasi nyanyian dan menuntun kami yang bersuara fals.

Mungkin kamu bisa membayangkan bagaimana suasana ketika kami bernyanyi dan bersekutu. Aku tidak ingin menunjukkanmu bahwa kami adalah kelompok kerja yang ‘rohani’. Tidak, sama sekali bukan itu.

Aku melihat ada ketidakselarasan dalam hal selera dan kemampuan kami bermusik. Kami tidak selaras dalam suara, juga irama dan nada. Aku bisa menyanyi, tapi aku tak begitu paham dengan tangga nada. Jika dilihat sekilas, agaknya ketidakselarasan bisa mengacaukan suasana. Tapi, dalam kelompok kerjaku yang terjadi malah sebaliknya. Ketidakselarasan membuat sesi menyanyi kami menjadi lucu dan mengundang tawa.

Bicara tentang kata “selaras”, jika melihat definisinya di KBBI adalah sebuah kesesuaian atau kesamaan. Kata “selaras” juga sering dikaitkan dengan nada atau lantunan lagu.

Kembali ke ceritaku di awal, ketika lagu-lagu yang kami nyanyikan di persekutuan kami tidak selaras dengan kecakapan kami bermusik, aku pun terbersit dua pertanyaan.

Apakah ketidakselarasan itu berdosa dan tidak berkenan di hadapan Tuhan?

Apakah ketidakselarasan itu tidak menyenangkan hati Tuhan?

Jika aku melihat dari sudut pandangku sebagai manusia, mungkin ketidakselarasan adalah sesuatu yang menganggu. Bahkan, mungkin bagi sebagian orang yang terbiasa dengan segalal sesuatu yang sesuai, ketidakselarasan dianggap dapat menimbulkan kekacauan atau kerusakan. Tapi, mungkin pula ada orang yang menganggap ketidakselarasan sebagai hal biasa, lalu memakluminya dan menerima apa adanya.

Tuhan kita adalah Tuhan yang sempurna (Matius 5:48). Tetapi, aku bersyukur karena dalam kesempurnaan-Nya, Tuhan menerima kita apa adanya. Tuhan menganggap kita berharga dan memberi diri-Nya untuk menebus kita dari dosa (Yohanes 3:16).

Dalam pelayanan kita, mungkin kita mendapati ada orang-orang yang kita anggap tidak selaras. Apa yang mereka lakukan agaknya membuat kita memandang sebelah mata. Tetapi, alih-alih menghakimi mereka, kita bisa mendorong dan mengajak mereka untuk mengembangkan diri. Bersama teman-temanku, kami berlatih vokal dan mendengarkan nada, irama, dan sebagainya. Dengan lembut, kami saling mengignatkan dan menguatkan, serta menopang satu sama lain dalam doa. Ketidakselarasan kami dalam persekutuan adalah sarana untuk kami bersukacita dalam Tuhan dan saling mengasah diri. Tuhan dalam kesempurnaan-Nya menerima kita apa adanya, memberikan kasih-Nya, dan mengampuni kita. Kita pun melayani Tuhan sebagai ungkapan syukur atas kasih-Nya tersebut.

Apapun yang menjadi pelayananmu hari ini, lakukanlah itu untuk Tuhan. Berikan yang terbaik untuk-Nya.

God doesn’t call the qualified
He qualifies the called

Tuhan tidak memanggil orang-orang yang sempurna
Dia menyempurnakan orang-orang yang dipanggil-Nya

Baca Juga:

Jadilah Tuhan, Kehendak-Mu

Ketika mendapat kabar kalau aku harus segera dioperasi, duniaku terasa berhenti sejenak. Jujur, aku takut. Tapi, Tuhan menuntunku agar aku kuat melalui semuanya.

5 Hal yang Bertumbuh Ketika Aku Memberi Diri Melayani

Oleh Abyasat Tandirura, Toraja

Aku pernah merasa tidak layak untuk melayani Tuhan karena dosa-dosaku. Namun, aku bersyukur karena Yesus telah mati untuk menebus dosa-dosaku dan bangkit untuk memberiku jaminan akan hidup kekal. Ketika segala dosaku telah diampuni-Nya, aku rindu untuk memberikan yang terbaik sebagai ungkapan syukurku.

Salah satu pemberian terbaik yang bisa kulakukan adalah dengan memberi diriku melayani di gereja. Aku melayani sebagai pengiring nyanyian jemaat atau pemain musik. Sambil terus melayani dan belajar firman-Nya, ada lima hal dalam diriku yang bertumbuh:

1. Aku bertumbuh di dalam sukacita

Awalnya sulit bagiku untuk duduk di hadapan jemaat sambil mengiringi sejumlah nyanyian. Aku merasa kemampuanku tidaklah sehebat teman-teman pengiring lainnya. Akan tetapi, lewat seorang temanku, Tuhan menegurku bahwa yang dicari oleh-Nya bukanlah performa, melainkan sikap hati yang mau sungguh-sungguh melayani.

Lambat laun, saat aku menyadari hal itu, aku bisa merasakan sukacita dalam pelayananku. Aku melayani bukan untuk mendapatkan pengakuan dari manusia, melainkan untuk menyenangkan hati Tuhan. Dan, Tuhan mau aku melayani dengan bersukacita, sebab Dia sendirilah yang melayakkanku dengan sukacita.

“Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan. Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” (Filipi 4:4).

2. Aku bertumbuh dalam kerendahan hati

Para murid pernah bertengkar tentang siapa yang terbesar di antara mereka. Dalam pelayanan, pertengkaran seperti itu seringkali tidak terelakkan. Kita merasa telah melakukan sesuatu hingga kita pun berpikir kita layak untuk memperoleh imbalan.

Aku belajar untuk merendahkan hatiku dalam melayani. Kuakui itu sulit. Saat jemaat melihat pelayananku baik, iringan musikku disukai, terkadang aku tergoda untuk merasa bangga dan menganggap semuanya itu layak kudapatkan karena usahaku sendiri. Aku lupa bahwa segala pujian dan kemuliaan hanyalah bagi Tuhan.

Yakobus 4:6 berkata, “Tetapi kasih karunia, yang dianugerahkan-Nya kepada kita, lebih besar dari pada itu. Karena itu Ia katakan: “Allah menentang orang yang congkak, tetapi mengasihani orang yang rendah hati.”

Sekarang aku berfokus kepada Sang Raja yan kulayani. Tuhan Yesus telah menjadi teladan yang sempurna dalam melayani. Dia mengosongkan diri-Nya dan menjadi hamba yang taat sampai mati di kayu salib. Seorang pelayan yang rendah hati disukai Tuhan.

3. Aku bertumbuh dalam ketulusan

Memberi diri melayani adalah sesuatu yang mulia. Tapi, kadang di balik pelayanan kita ada motivasi lain yang menyertainya.

Melayani Tuhan sejatinya memberikan yang terbaik bagi Tuhan, entah kita mendapatkan upah atau tidak. Namun, satu hal yang pasti adalah dalam melayani-Nya, Tuhan selalu mencukupkan segala kebutuhan kita. Bukan banyak sedikit pelayanan yang kita lakukan yang Tuhan lihat, tetapi Tuhan melihat ketulusan hati kita.

Di awal pelayananku di gereja, aku mendapatkan upah sebagai apresiasi dari jemaat. Namun kemudian aku bertekad untuk tidak menerimanya. Dengan sukacita aku mengembalikan upah itu sebagai ungkapan syukurku. Setiap kali aku mengingat pengorbanan Kristus dan memandang pada salib, aku merasa tidak pantas untuk diupah dalam pelayanan.

4. Aku bertumbuh dalam kesabaran

Aku pernah dikritik oleh seorang anggota jemaat. Katanya iringan musik yang kumainkan tidak bagus. Selain itu tata ibadah atau liturgi yang kuatur untuk kebaktian hari Minggu juga tak luput dari kritikan. Jujur, aku sempat berkecil hati dan patah semangat. Aku merasa pelayananku tidak dihargai, padahal aku sudah latihan berkali-kali dan melakukan persiapan yang maksimal.

Tapi, apa yang kualami itu benar-benar membentuk karakterku untuk bersabar dalam pelayanan. Aku butuh waktu yang lama untuk belajar memahami kritikan-kritikan dari anggota jemaat. Aku merenungkan setiap kata yang kuterima, hingga suatu hari aku ingat akan kisah pelayanan Yesus yang pernah ditolak di tempat asalnya, di Nazaret di saat Dia mengajar dalam rumah ibadat (Matius 13:53-58; Markus 6:1-6; Lukas 4:16-30).

Yesus pernah ditolak dan tidak dihargai, tetapi Yesus tetap bersemangat melanjutkn pelayanan-Nya. Aku pun harus tetap bersemangat dan bersukacita melanjutkan pelayananku. Aku tidak perlu sakit hati ketika ada orang yang mengkritikku, sebab tujuan pelayananku adalah untuk Tuhan. Kritik itu menjadi pendorongku untuk mengintrospeksi diri dan meningkatkan kemampuan bermain musikku. Aku berlatih lebih tekun lagi dan belajar kepada pemusik lain yang lebih berpengalaman.

“Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan” (Amsal 14:29).

5. Aku bertumbuh dalam kesetiaan

Kadang masih sulit buatku untuk membagi waktu antara persiapan melayani dan pekerjaanku. Tapi, aku selalu berjuang untuk melakukan pelayananku secara maksimal.

Pernah suatu ketika aku dikecewakan oleh teman sepelayananku. Namun, aku belajar untuk mengampuni mereka dan tetap bertahan dalam pelayananku. Melayani tidaklah mudah, tetapi ketika kita memberi diri melayani-Nya, Tuhan sendiri yang akan menguatkan dan menyertai kita.

AKu bersyukur sebab dalam keterbatasanku, Tuhan menyambutku sebagai pekerja dalam bait-Nya. Melewati beragam proses, Tuhan membuatku bertumbuh. Tuhan mengajarkanku, memprosesku lewat tangan kasih-Nya. Sembari menjalankan dan menikmati pelayananku, aku juga terus bersemangat menjalankan disiplin rohani setiap hari.

Aku berdoa, kiranya siapapun yang memberi diri untuk melayani dalam pekerjaan Tuhan siap diproses.

Terpujilah nama Tuhan.

Baca Juga:

Menghadapi Sisi Gelap Pelayanan dalam Terang Tuhan

Melayani Tuhan bukan jaminan bebas dari depresi, pun bukan pelarian darinya. Ada momen-momen penuh pergumulan dan gelap. Melalui tulisan ini, kuharap pengalamanku menolongmu untuk melihat terang-Nya.

Menghadapi Sisi Gelap Pelayanan dalam Terang Tuhan

Oleh Jefferson

“Sampai kapan aku bisa dibilang ‘cukup’ melayani supaya aku bisa berhenti dari pelayanan?”

Pertanyaan di atas terngiang-ngiang dalam benakku sepanjang bulan lalu. Kala itu, aku mengalami serangan depresi bertubi-tubi setelah mengerjakan berbagai pelayanan untuk beberapa minggu berturut-turut. Sebagai contoh, di periode yang tersibuk, aku pernah mengajar di Sekolah Minggu dan ibadah remaja berselang-seling selama empat minggu berurutan. Di sela-selanya juga ada persekutuan kelompok kecil dan berbagai rapat kepengurusan pelayanan lainnya.

Seharusnya aku sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini. Waktu istirahatku sudah cukup. Aku bersaat teduh, berdoa, dan membaca Alkitab dengan rutin setiap hari. Setiap minggu, aku merasakan dan menikmati hadirat Tuhan dalam persekutuan doa bersama teman sekos dan dalam ibadah bersama di gereja. Aku juga tidak lalai dalam bersekutu dengan saudara/i seiman lainnya.

Jadi, mengapa rasanya aku sedang mengalami kekalahan terhadap depresi, apalagi ketika memikirkan akan kembali melayani untuk beberapa minggu berturut-turut? Di malam hari sepulangnya aku dari kantor, bukannya melakukan persiapan pelayanan, aku malah lebih sering bersantai sambil browsing, membaca komik, atau menonton serial TV dan video hingga waktunya tidur. Aku jadi lebih rentan terhadap godaan sehingga belakangan ini aku sering jatuh dalam dosa, terutama kemalasan dan hawa nafsu.

Penunjukan ilahi (divine appointment) di tengah pergumulan

Ajaibnya, di tengah-tengah kesibukanku melayani, bekerja, dan bergumul dengan depresi, Tuhan dalam kasih kemurahan-Nya masih memberikanku waktu rehat yang berharga untuk merenungkan topik ini serta membagikannya dalam tulisan. Kehendak-Nya terlihat sangat jelas bagiku, karena ketika aku memulai tulisan ini pada suatu hari Sabtu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Tuhan benar-benar “mengisolasi”-ku dari dunia luar untuk mendengarkan dan bergumul dengan-Nya.

Divine appointment ini tidak dapat terlihat lebih jelas lagi, terutama dengan datangnya kabar duka dari AS tentang seorang pendeta bernama Jarrid Wilson yang mengambil nyawanya sendiri. Usut punya usut, beliau memang bergumul dengan depresi, dan pada malam ia mengakhiri hidupnya, beliau baru saja memimpin upacara pemakaman seseorang yang meninggal karena bunuh diri. Kita tidak tahu persis mengapa beliau bertindak demikian, tapi kita dapat mencurigai depresi sebagai salah satu faktor penyebab utama tindakannya.

Didorong oleh kehendak Tuhan yang sangat jelas, berikut adalah pelajaran-pelajaran yang kudapat hingga kini dari pergumulanku dengan depresi. Tulisan kali ini mengulas lebih banyak poin dari biasanya karena aku ingin merangkum sebanyak mungkin kebenaran dan aplikasi praktis yang kuharap dapat berguna untukmu. Dengan kata lain, fokusku adalah lebaran cakupan pembahasan dengan harapan dan keyakinan bahwa Tuhan akan memakai pengalamanku untuk menguatkanmu menghadapi sisi gelap pelayanan dalam terang-Nya.

#1. Depresi tidak pandang bulu

Walaupun ini terdengar sepele, ironisnya kebenaran inilah yang paling sering kita lupakan. Ketika mendengar berita duka di atas, mungkin reaksi pertama dari kebanyakan kita adalah, “Kok bisa, padahal dia pendeta?” Kita lupa bahwa depresi dapat menyerang siapapun, termasuk dan terutama para pemimpin di gereja. Tekanan pelayanan yang mereka hadapi dan ketiadaan orang yang dapat mereka curhati (mengingat natur panggilan mereka yang unik) dapat membuat para pendeta lebih rentan terhadap serangan depresi.

#2. Depresi adalah sebuah realita kehidupan yang biasa

Di satu sisi, karena depresi dapat menyerang siapapun, depresi adalah hal yang normal dalam kehidupan. Adalah lumrah bagi kita untuk mengalami depresi ketika kita sedang mengalami kesibukan di kantor, hambatan pelayanan di gereja, konflik dengan anggota keluarga, dlsb. Kalau kamu diserang depresi, jangan merasa aneh seolah-olah depresi bukan hal yang biasa kita hadapi (1 Kor. 10:13a). Meskipun begitu, di sisi yang lain…

#3. Depresi harus dihadapi dengan serius

…kita juga harus memahami kalau depresi adalah hal serius yang harus dihadapi dengan serius pula. Tidak sedikit orang yang meninggal karena depresi. Menurut data World Health Organisation tahun 2018, serangan depresi dialami >300 juta penduduk dunia dan dikaitkan dengan tingginya jumlah kasus bunuh diri tahunan secara global (~800.000). Ketika mengetahui rumah kita sedang terbakar, siapa dari kita yang tidak akan langsung menghubungi pemadam kebakaran untuk memadamkan api?

#4. Depresi adalah salah satu panah api favorit si Musuh

Pelayanan adalah sebuah peperangan rohani di mana Tuhan meruntuhkan segala bentuk keangkuhan manusia dan menyatakan kemuliaan-Nya sehingga makin banyak orang dapat mengenal dan menikmati Dia (2 Kor. 10:5). Mengetahui tujuan pelayanan ini, Iblis tidak tinggal diam dan terus menghujani kita dengan panah-panah apinya (Ef. 6:16). Dan, kalau kamu perhatikan dengan seksama, biasanya jajaran pemimpin yang disasar duluan.

Pernahkah kamu memikirkan kenapa banyak orang tidak mau melayani, terutama sebagai pemimpin? Karena kepemimpinan identik dengan tanggung jawab yang besar, rasa stres, dan depresi. Semakin banyak pemimpin yang terkena depresi dan akhirnya meninggalkan pelayanan, semakin senang si Musuh. Seperti menjatuhkan dua burung dengan satu batu, pekerjaan Tuhan terhenti karena ketiadaan pemimpin yang meninggalkan pelayanan karena depresi, sementara pekerja Tuhan yang lain dibuat ragu/takut untuk melayani.

Tuhan Yesus sangat memahami natur medan peperangan ini dan memberikan kita satu alasan yang kutemukan cukup untuk membantuku bangkit dari depresi serta terus maju melayani di garis depan.

#5. Kristus menjanjikan penyertaan dalam pelayanan dan depresi, bukan kebebasan dari mereka

Matius 11:28-30 sering dikutip karena penekanannya akan ketenteraman dan kedamaian yang hanya dapat kita temukan dalam Tuhan Yesus. Menurutku penekanan ini tidak salah, tapi juga tidak lengkap. Maksud sesungguhnya dari bagian ini adalah sebuah panggilan, bukan untuk beristirahat, tetapi untuk bekerja bersama Kristus di ladang Tuhan.

“Jadi, ujung-ujungnya pelayanan?” Ya, tapi bukan pelayanan yang kita lakukan sendiri, tetapi bersama Kristus sambil belajar pada-Nya. Dalam panggilan-Nya ini, kita mengikuti Yesus yang lemah lembut dan rendah hati mengerjakan berbagai macam tanah, dari yang lembut sampai yang keras dan tandus. Tuhan Yesus tidak pernah berjanji kita tidak akan menghadapi kesulitan sama sekali dalam mengikuti-Nya, tetapi Dia berjanji untuk terus menyertai dan memimpin kita melewati semuanya itu (11:29). Dan karena mengetahui Yesus yang menuntun dan mengajar kita untuk memikul kuk yang Ia pasang, Ia yang telah mati dan bangkit karena kasih-Nya untuk kita, kita dapat memikul kuk itu dengan tenang dan yakin. Itulah “istirahat” yang sesungguhnya Tuhan janjikan: bukan dari ketiadaan pelayanan, melainkan dari ketergantungan pada diri sendiri untuk memikul beban pelayanan.

#6. Disiplin rohani pribadi sangat penting dalam menghadapi depresi…

Bersaat teduh, berdoa, dan membaca Alkitab adalah beberapa sarana pribadi yang Tuhan berikan agar kita dapat terus menjaga hubungan pribadi dengan-Nya, sehingga ketika depresi menyerang, kita tidak menjadi tawar hati (2 Kor. 4:1). Bahkan setelah jatuh dan terus bergumul dalam depresi pun, disiplin rohani pribadi membantu kita untuk terus bertahan dalam Tuhan. Kamu dapat membaca pembahasanku lebih lengkap tentang poin ini di sini.

#7. …dan begitu juga komunitas orang percaya

Aku bersyukur beberapa minggu terakhir ini dapat berdiskusi dengan rekan-rekan dari berbagai pelayanan yang kukerjakan. Menariknya, semua diskusi itu membahas satu topik yang sama: kami, terutama yang berperan sebagai pemimpin, membutuhkan suatu wadah untuk bersekutu, membagikan suka duka pelayanan, dan “saling mendorong dalam kasih dan pekerjaan baik” (Ibr. 10:24). Ketiadaan wadah tersebut dapat membuat setiap pelayan merasa berjuang sendiri-sendiri sehingga jadi lebih rentan terhadap serangan depresi. Puji Tuhan, ke depannya kami berkomitmen untuk lebih sering memperhatikan satu sama lain. Apakah kamu juga sudah memiliki komunitas yang demikian?

#8. Utamakan istirahat dan Sabat di tengah-tengah pelayanan

Kalau memang kita sudah merasa sangat jenuh karena terus-terusan melayani, tidak ada salahnya mengistirahatkan diri dari pelayanan untuk beberapa saat. Kalaupun kita merasa tidak ada lagi waktu, kamu bisa berdoa kepada Tuhan untuk meminta waktu jeda dari pelayanan. Di sini kita harus sadar kalau Tuhan selalu menjawab doa sesuai dengan kehendak-Nya yang berdaulat. Meskipun doa kita mungkin dijawab-Nya dengan “tidak”, kita dapat beriman bahwa Tuhan sedang mengerjakan suatu kebaikan untuk kita (Rm. 8:28).

Ada kalanya ketika kita tidak mendoakan hal ini tetapi sedang dilemahkan oleh depresi, Tuhan sendiri yang mengosongkan jadwal kita agar kita dapat berdiam diri serta mengingat lagi siapa diri-Nya dan diri kita. Itulah yang terjadi padaku. Aku menulis sebagian besar isi tulisan ini ketika jadwalku dikosongkan Tuhan dari segala acara, rapat, pelayanan, dan persekutuan. Bahkan Ia menyibukkan semua teman kosku dengan acara mereka masing-masing sehingga aku benar-benar berdua dengan-Nya sepanjang malam. Kalau Ia tidak mengintervensi sejauh itu, aku yakin aku tidak akan bisa memproses pergumulanku sebagaimana mestinya dan membagikannya denganmu.

#9. Bandingkan alasanmu melayani dengan realita pelayananmu, kemudian kalibrasi ulang dengan kehendak Allah dari waktu ke waktu

Kita membicarakan depresi sejauh ini kebanyakan dari konteks eksternal. Melalui poin ini, aku ingin mengingatkan kalau depresi juga mungkin datang dari diri kita sendiri. Depresi bisa menyerang karena adanya ketidakselarasan antara alasan kita melayani dengan realita bagaimana kita melayani. Kita bisa mengklaim bahwa kita melayani karena Tuhan telah terlebih dahulu memberikan diri-Nya untuk melayani kita (Mrk. 10:45), tetapi sesungguhnya selama ini pelayanan kita hanyalah untuk memuaskan ego dan harga diri kita. Apa daya, semurni dan se-Alkitabiah apapun alasan kita melayani, natur dosa akan membuat kita melenceng dari tujuan yang seharusnya dari waktu ke waktu (Yer. 17:9). Oleh karena itu, penting bagi kita untuk terus mengkalibrasi ulang alasan kita melayani seturut dengan kehendak Tuhan. Kita pun berdoa mengikuti Daud, “Selidikilah aku, ya Allah, dan kenallah hatiku, ujilah aku dan kenallah pikiran-pikiranku; lihatlah, apakah jalanku serong, dan tuntunlah aku di jalan yang kekal!” (Mzm. 139:23-24).

#10. Teruslah beriman pada Tuhan, bahkan ketika kamu dibiarkan-Nya tetap bergumul dengan depresi

Mengenai panah-panah api yang dibahas di poin ke-4, Efesus 6:16 juga memperkenalkan kita kepada satu-satunya senjata yang dapat memadamkan semua panah itu, yaitu perisai iman. Perlu kita perhatikan bahwa di zaman Paulus, sekuat apapun sebuah perisai, pasti ada beberapa anak panah yang akan tetap tertancap di sana. Meskipun begitu, perisai iman disebut dapat “memadamkan semua panah api dari si jahat”. Walaupun ada anak panah yang tertancap di sana sini, api semuanya telah dipadamkan. Perisai itu telah menjalankan tugasnya untuk menjaga kita, maka kita terus maju tanpa gentar di medan peperangan rohani seperti Captain America yang maju melawan Thanos. Sebab kita hidup berdasarkan iman, bukan apa yang kita lihat (2 Kor. 5:7).

Satu perbedaan mencolok dari perisai iman kita dengan perisai Captain America adalah daya tahannya. Sekuat apapun vibranium, pada akhirnya pedang Thanos dapat membelah perisai tersebut. Hal itu tidak berlaku bagi perisai iman, karena ia terbuat dari anugrah Tuhan yang selalu tersedia dengan cukup bagi setiap orang percaya (Yoh. 1:16), bahkan di tengah kelemahan manusia (2 Kor. 12:9). Ketika kita memahami kebenaran ini, kita dimampukan untuk terus berserah kepada dan bertahan di dalam Yesus, bahkan ketika depresi terus menyerang kita tanpa ampun.

#11. Jadilah apa adanya di hadapan Tuhan dan sesama

Dalam realita kehidupan, aku pun sering melupakan kesepuluh poin di atas. Ya, aku bisa menulis tentang depresi dan pelayanan sejauh ini, tapi ketika depresi menyerang, aku akan langsung mundur ke zona nyamanku. Sebisa mungkin aku akan menghindari Alkitab dan materi pelayanan sepanjang minggu. Dan ketika pada akhirnya aku merasakan kesia-siaan dari upaya diriku sendiri untuk mengalahkan depresi, aku akan datang kepada Tuhan dan menceritakan keadaanku apa adanya. Perasaan depresi tidak langsung kemudian hilang, namun aku seperti mendapat energi baru untuk mempersiapkan pelayanan sedikit demi sedikit. Mengapa aku tetap datang kepada Tuhan walaupun sedang depresi? Karena aku tahu kasih-Nya kepadaku tak bersyarat, tidak peduli seberapa hancurnya aku oleh depresi dan buruknya aku dalam melayani (Rm. 5:5-11).

Keterbukaan ini juga harus kita jaga dengan saudara/i seiman yang mengenal kita dekat, karena kehadiran mereka dapat Tuhan pakai untuk memulihkan kita sedikit demi sedikit. Dalam kasusku, dalam persekutuan doa mingguan bersama teman-teman sekos, aku dapat membagikan pergumulanku dengan apa adanya dan dipulihkan oleh Tuhan di sana. Contoh lainnya adalah tulisan ini sendiri. Dalam mendeskripsikan keadaan dan dosa-dosaku ketika depresi menyerang, aku tidak menyembunyikan apapun, Tuhan sebagai saksiku. Bukannya aku ingin menyombongkan diri, tetapi aku ingin supaya kasih kemurahan Tuhan dinyatakan dalam aku yang lemah ini (2 Kor. 12:9b).

Menyelesaikan perlombaan sampai akhir

Depresi adalah salah satu pencobaan yang akan terus kita hadapi dalam melayani Tuhan, memberitakan Kabar Baik keselamatan dalam Yesus Kristus kepada mereka yang belum percaya. Sering kali Tuhan membiarkan depresi menjadi duri dalam daging kita supaya kita belajar untuk selalu bergantung pada-Nya (2 Kor. 12:9). Melayani berarti memberi diri terus dituntun Yesus dalam mengikuti-Nya dan mengerjakan pekerjaan-Nya yang agung dan ajaib, yang Ia persiapkan untuk kita sebelumnya (Ef. 2:10).

Akhir kata, marilah kita bertahan dan berjalan dengan teguh dalam terang Tuhan di tengah bayang-bayang sisi gelap pelayanan, mengingatkan diri dan sesama dari waktu ke waktu bahwa kita telah menerima kuasa dari Kristus untuk menjadi anak-anak Allah (Yoh. 1:12). Itulah bentuk nyata kita melatih tubuh kita dan menguasainya seluruhnya (1 Kor. 9:27) dalam mengikuti pertandingan untuk memperoleh mahkota yang abadi (1 Kor. 9:26).

Tuhan Yesus memberkati, soli Deo gloria.

Baca Juga:

Panggilan

Ada dua macam panggilan dalam hidup orang Kristen. Apakah itu?

Panggilan

Oleh Jeffrey Siauw, Jakarta

Di dalam bukunya yang terkenal, “The Call”, Os Guinness membedakan dua macam panggilan di dalam hidup orang Kristen.

Panggilan yang pertama dan terutama adalah panggilan untuk mengikut Kristus. Panggilan ini adalah yang menyangkut seluruh keberadaan kita sebagai manusia. Hidup kita, hati kita, jiwa dan raga kita, seluruhnya adalah untuk menyembah Dia. Tidak ada apapun yang boleh menyaingi panggilan yang terutama ini. Oswald Chambers pernah berkata, “Waspadalah atas segala sesuatu yang menyaingi kesetiaan kepada Yesus Kristus” dan “pesaing terbesar kesetiaan kepada Yesus adalah pelayanan bagi Dia”. Bagaimana bisa begitu? Karena, “tujuan panggilan Tuhan adalah kepuasan Tuhan, bukan untuk mengerjakan sesuatu bagi Dia.”

Kalimat Oswald Chambers itu perlu diperdengarkan lagi di telinga kita. “Mengikut Yesus-setia pada Yesus-memuaskan Tuhan” seringkali menjadi konsep yang abstrak bagi kita. Jauh lebih mudah untuk membayangkan bentuk konkret yang harus dilakukan dalam rangka “mengikut Yesus-setia pada Yesus-memuaskan Tuhan”, atau dikenal juga dengan “pelayanan” (baik di gereja maupun melalui profesi). Tetapi, di dalam prosesnya, akhirnya kita mempersamakan keduanya. Maka perlahan-lahan, “pelayanan” menjadi sama dengan “penyembahan”. Kita merasa sudah “mengikut Yesus-setia pada Yesus-memuaskan Tuhan” dengan melakukan “pelayanan”. Bisakah kita melihat masalahnya di sini?

Mengikut Yesus-setia pada Yesus-memuaskan Tuhan” adalah soal hati, arah, tujuan, motivasi, yang mengarahkan apa yang kita lakukan. Sementara “apa yang kita lakukan”, arahnya, tujuannya, motivasinya, bisa untuk memuaskan Tuhan atau membesarkan diri. Ketika kita mempersamakan keduanya, pasti muncul masalah besar. Kita bisa berdalih bahwa “kita tidak mencari untung”, “kita sedang berusaha menggunakan karunia yang Tuhan berikan”, atau “kita ingin memberi yang terbaik untuk Tuhan” melalui apa yang kita lakukan. Tetapi, pertanyaan yang terus menggantung adalah, apakah sungguh di dalam hati kita hanya-dan-hanya ingin mengikut Yesus? Apakah kita hanya-dan-hanya memuaskan Tuhan?

Panggilan yang kedua, menurut Os Guinnes, barulah yang lebih konkret, yaitu “dalam segala hal kita harus berpikir, berbicara, hidup, dan bertindak sepenuhnya bagi Dia”. Mungkin itu berarti pekerjaan, profesi, atau kehidupan sehari-hari, yang kita jalani sebagai respons atas arahan dan panggilan Tuhan. Tetapi, jangan menjadikan panggilan kedua ini sebagai yang pertama dan terutama.

Aku tertegur membaca kalimat Os Guinness di bawah ini:

Do we enjoy our work, love our work, virtually worship our work so that our devotion to Jesus is off-center? Do we put emphasis on service or usefulness, or being productive in working for God–at his expense? Do we strive to prove our own significance? To make difference in the world? To carve our names in marble in the monuments of time?

Apakah kita menikmati pekerjaan kita, mencintai pekerjaan kita, secara virtual menyembah pekerjaan kita sehingga kesetiaan kita kepada Yesus tergeser? Apakah kita menaruh penekanan pada pelayanan atau kegunaan, atau menjadi produktif dalam bekerja untuk Allah – dengan mengorbankan Dia? Apakah kita berjuang untuk membuktikan signifikansi diri kita? Untuk membuat perbedaan di dalam dunia? Untuk mengukir nama kita pada monumen-monumen waktu?

Siapa sih yang tidak ingin hidupnya berguna dan produktif? Siapa sih yang tidak senang berhasil membuat perbedaan di dalam dunia? Di dalam kelemahan, siapa sih yang tidak bangga membayangkan hidupnya signifikan dan dikenang? Tidak ada yang salah dengan hidup berguna, produktif, membuat perbedaan, signifikan dan dikenang. Tetapi, menjadi masalah dan salah besar ketika kita mengejar semua itu seakan-akan itulah pangilan kita yang pertama dan terutama.

Os Guinnes mengingatkan, panggilan kita yang pertama dan terutama bukanlah to do something tetapi we are called to Someone. Kunci untuk menjawab panggilan itu adalah untuk setia tidak kepada siapapun (termasuk diri kita) dan apapun selain kepada Allah.

Baca Juga:

Pergumulanku Melawan Pikiran-pikiran Negatif

Aku pernah berada di suatu masa ketika emosiku seperti roller coaster. Emosiku bisa naik begitu tinggi dan terjatuh begitu kelam hanya dalam satu hari.

Pelayanan, Sarana Aku Bertumbuh di dalam Tuhan

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Di awal bulan September lalu, aku menerima pesan WhatsApp dari salah satu kakak yang aku belum pernah bertemu dan mengobrol dengannya. “Hai Novita, aku Maria. Apakah ada free time untuk aku izin sharing pelayanan samamu?”, begitulah isi pesan WhatsApp darinya.

Pesan tersebut aku balas keesokan harinya dan singkat cerita tibalah kami di topik pembicaraan sharing pelayanan apa yang dimaksud oleh kakak tersebut. Dia mengajakku berdoa untuk ambil bagian dalam pelayanan perayaan Natal sebagai sekretaris-bendahara. Pelayanan ini adalah pelayanan yang sudah kunikmati sejak aku berada di kampus.

“Aku doakan terlebih dahulu ya, kak”, jawabku.

“Apakah Senin ini boleh kutanyakan konfirmasinya dek?” tanyanya lagi.

Empat hari kemudian, tepat di hari Senin setelah aku mendoakannya, aku menjawab bersedia untuk menjadi sekretaris-bendahara dalam kepanitiaan Natal tersebut.

Akan tetapi, dua hari setelah aku menjawab bersedia menjadi sekretaris-bendahara, kakak tersebut menghubungiku kembali dan menyampaikan ingin mensharingkan sesuatu hal lagi. Pikirku pasti kakak itu ingin sharing hal-hal terkait dalam jobdesc-ku sebagai sekretaris-bendahara. Tetapi apa yang aku pikirkan tidak tepat, ternyata kakak tersebut ingin mengajakku berdoa kembali. Dia menawariku untuk menjadi ketua. Hal tersebut dikarenakan orang yang sudah disharingkan sebelumnya menjadi ketua belum bersedia karena beberapa hal. Akan tetapi walaupun begitu, dia tetap ambil bagian dalam kepanitiaan tetapi tidak sebagai ketua.

“Ha, kok aku sih kak? Aku baru loh disini, belum paham sepenuhnya”, jawabanku via telepon sambil refleks memukuli bantalku saat itu karena terkejut.

Setelah menjelaskan dan berbagi alasan mengapa kakak itu mengajakku mendoakan sebagai ketua serta meyakinkanku untuk ambil waktu dahulu sebelum memberi jawaban, akhirnya aku menjawab “Yaudah kak, kudoakanlah dulu ya”.

Aku teringat sebuah pesan dari seorang alumni. Ketika mendoakan pelayanan, bukan lagi mendoakan apakah pelayanan ini aku terima atau sebaliknya, melainkan memohon peneguhan dari-Nya untuk dimampukan mengerjakan pelayanan tersebut. Hal yang sama pulalah yang aku lakukan saat berdoa kepada Tuhan. Jika memang pelayanan ini harus kukerjakan, kiranya Dia meneguhkan aku dan memampukan untuk mengerjakannya. Tidak banyak waktuku saat itu untuk berdoa, karena aku harus segera memberi jawaban agar kami bisa memulai rapat perdana mengingat waktu yang tidak banyak lagi. Sewaktu bergumul dalam dua hari tersebut aku banyak diingatkan oleh Tuhan.

Pertama, aku mengingat kisah empat tahun yang lalu, aku juga diajak untuk berdoa sebagai koordinator pelayanan di kampusku. Jujur saja waktu itu aku mendoakan untuk ambil bagian dalam salah satu komisi yang sudah lama aku ingin ambil bagian di dalamnya, bahkan sejak periode awal aku menjadi pengurus di kampus. Tidak pernah aku berdoa bahkan berpikiran untuk menjadi koordinator, karena bagiku itu sangat berat. Tetapi setelah sharing dengan kakak kelompokku, teman-teman pelayanan dan alumni yang mendampingi saat itu, aku mencoba untuk mendoakannya dan saat itu meyakini Tuhan memanggilku untuk menjadi gembala di dalam kepengurusan pelayanan di kampus. Sebagai orang yang tidak terbiasa berbicara di depan orang banyak aku takut menghadapi karakter teman-teman pengurus lainnya, aku juga takut jika studiku nanti terkendala. Namun, oleh anugerah-Nya aku dimampukan untuk melewati itu semua dan menyelesaikan kepengurusan dengan banyak pembentukan yang Dia berikan yang membuat aku bertumbuh dalam banyak hal, terutama karakter.

Dan yang kedua, aku beserta adik-adik kelompok kecilku sedang membahas tentang topik “melayani” dari bahan PA yang kami gunakan. Kami sama-sama belajar, bahwa melayani merupakan hak istimewa yang dianugerahkan Allah kepada kita anak-ana-kNya, bahkan melayani merupakan salah satu bentuk ungkapan syukur atas kasih Allah kepada kita. (Memulai Hidup Baru, hal 40).

Aku sungguh bersyukur ketika diingatkan akan kedua hal tersebut. Aku ditajamkan kembali bahwa ketika aku diberi kesempatan untuk melayani-Nya itu adalah hak yang sangat istimewa. Sebagaimana Dia telah menolongku empat tahun yang lalu, pastilah Dia yang kulayani yang akan kembali memampukanku. Tuhan tentu memampukanku untuk bayar harga di dalam banyak hal, misalnya waktu. Sebagai alumni yang bekerja dan kadangkala sesampainya di kos sudah lelah, weekend adalah momen yang tepat untuk istirahat tetapi mungkin ketika melayani weekend tersebut akan digunakan untuk mengerjakan pelayanan ini.

Setelah berdoa, aku kembali menghubungi kakak itu dan menyampaikan bahwa aku bersedia menerima pelayanan sebagai ketua. Sampai saat ini, aku masih takut dan tidak tahu pembentukan seperti apa yang akan terjadi dalam hidupku lewat kepanitiaan ini. Tetapi setiap mendoakannya, aku selalu diingatkan ketika aku bergantung dan menyerahkan semuanya kepada Tuhan bahkan dalam hal sekecil apapun dalam kepanitiaan tersebut, Tuhan menyertai dan memampukan.

Persiapan Natal yang akan aku kerjakan bersama teman-temanku adalah persiapan menyambut Yesus, Sang Bayi Natal yang hadir ke dunia untuk melayaniku, melayani teman-teman panitia, melayanimu, dan melayani kita semua umat manusia. Haruskah kita masih sulit memberi diri dalam melayani Sang Juruselamat Dunia?.

Tuhan memberikan kita bermacam-macam sarana untuk bertumbuh salah satunya adalah Pelayanan (Eugene Peterson)

Baca Juga:

Kamu Single? Fokuskan Dirimu pada 3 Hal Ini!

Apakah kamu lelah ditanya-tanya tentang status hubunganmu? Atau, apakah hubungan yang kamu pikir akan langgeng, nyatanya malah berakhir? Apakah kamu menghabiskan liburanmu melihat orang-orang menikah, sehingga kamu bertanya pada Tuhan, “Mengapa aku masih single?”

Menghidupi Kepemimpinan dalam “Tubuh Kristus”

Oleh Ari Setiawan, Yogyakarta

Buat kita yang mungkin pernah melihat atau mengikuti akun satire seperti @gerejapalsu @pastorinstyle atau @jemaat_gerejapalsu, kita akan merasa geregetan dengan pembahasan para mimin tentang para pastor atau pendeta masa kini. Salah satu pembahasan yang heboh ialah petisi yang dibuat oleh Hanzel Samuel, dengan tudingan bahwa persembahan dan perpuluhan di tempat ia beribadah dipakai untuk keperluan sang pendeta. Dalam petisi tersebut, ia menuntut adanya audit keuangan gereja-gereja besar di Indonesia. Hal ini bahkan dibahas dalam berita online.

Di luar kepentingan untuk mengadili apakah sosok pastor atau pendeta yang diangkat oleh akun-akun satire tersebut benar atau salah dalam melaksanakan kepemimpinan gereja, sebenarnya model kepemimpinan seperti apa sih yang sesuai dengan teladan Yesus?

Aku menemukan satu uraian yang menarik dari Pdt. Joas Adi Prasetya* tentang model kepemimpinan yang bisa kita terapkan dalam kehidupan kita sebagai umat Kristen, juga dalam kehidupan bergereja.

Kita yang saat ini sedang aktif pelayanan di gereja, memimpin kelompok tumbuh bersama, ataupun memimpin organisasi kerohanian di sekolah atau kampus juga perlu memahami hal ini.

* * *

Aku rasa banyak dari kita yang pernah berada dalam suatu kelompok dengan pemimpin yang otoriter, semena-mena, selalu menyalahkan anggota kelompok, dan hanya ingin menang sendiri. Apakah yang kita rasakan? Tentu kita sebal, bahkan mungkin benci terhadap sifat negatif tersebut. Tidak hanya dalam kelompok, kita juga mungkin merasakan kekesalan yang sama ketika berada di organisasi besar seperti gereja. Sifat “tangan besi” dari pemimpin gereja tidaklah disukai. Perlu digarisbawahi bahwa kita mungkin membenci sifatnya, tetapi harus tetap mengasihi orangnya.

Sifat “tangan besi” yang hadir dalam gereja dikenal sebagai model kepemimpinan-tuan (bahasa Yunani: kyriarki). Model ini menggambarkan sifat dari pemimpin yang ingin berada di puncak piramida organisasi gereja, berkuasa atas jemaat maupun aktivis dan pengurus gereja lain. Hal ini pun pernah terjadi ketika Yakobus dan Yohanes meminta posisi khusus di sebelah kanan dan kiri Yesus kelak saat Yesus dipermuliakan (Markus 10:35-41). Tentu sifat ini menggambarkan bahwa Yakobus dan Yohanes ingin berada di posisi yang lebih tinggi dibandingkan murid-murid Yesus lain.

Narasi pun bergulir dengan jawaban Yesus dalam ayat 43, “Tidaklah demikian di antara kamu. Barangsiapa ingin menjadi besar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu, dan barangsiapa ingin menjadi yang terkemuka di antara kamu, hendaklah ia menjadi hamba untuk semuanya.”

Pernyataan Yesus tersebut menentang model kepemimpinan-tuan dengan sebuah usulan tandingan, yaitu model kepemimpinan-hamba (bahasa Yunani: doularki). Model ini berangkat dengan harapan bahwa pemimpin seharusnya melayani dan mengayomi orang lain, bukan mencari kuasa.

Model kepemimpinan-hamba ini kerap diperdengarkan dalam gereja, dan status “pelayan” Tuhan dan gereja tersebut ditampilkan terus menerus. Namun, pada praktiknya, sang “pelayan” justru minta diperlakukan khusus karena telah melayani. Sikap seperti ini dapat ditemui pada diri segelintir pastor maupun pendeta yang menyatakan dirinya telah melayani Tuhan dan gereja, sehingga mereka pun meminta hak istimewa, seperti barang-barang branded, mobil mewah, rumah megah, dll. Mungkin kita juga pernah seperti itu, mengaku diri kita telah “melayani” dalam gereja ataupun persekutuan, dengan syarat harus ada konsumsi ataupun uang bensin.

Dalam ketegangan antara model kepemimpinan-tuan dan kepemimpinan-hamba di kehidupan bergereja, tentu kita perlu berefleksi kembali pada Yesus. Memang benar bahwa secara organisasi, beberapa gereja dipimpin oleh pastor ataupun pendeta. Namun, sebagai orang Kristen, Yesus merupakan Kepala Jemaat, pemimpin hidup kita. Sebagai pemimpin, Yesus juga menyatakan dirinya sebagai pemimpin yang bersahabat seperti tertulis dalam Yohanes 15:15, “Aku tidak lagi menyebut kamu hamba karena hamba tidak tahu apa yang dilakukan oleh tuannya. Akan tetapi, Aku menyebut kamu sahabat karena semua yang Aku dengar dari Bapa, telah Aku beritahukan kepadamu.”

Model ideal ini menggambarkan kepemimpinan sahabat (bahasa Yunani: filiarki), sebuah kepemimpinan yang setara. Tidak ada yang lebih rendah atau lebih tinggi di antara pemimpin dan yang dipimpin. Yesus meneladankan model kepimpinan ini dengan menebus kita dari dosa. Setelah ditebus, status kita bukan sekedar hamba, pengikut, ataupun murid dari Sang Penebus. Lebih dari itu, Yesus mengangkat derajat kita menjadi sahabat-Nya.

* * *

Model kepemimpinan-sahabat bukan sekadar wacana yang dilontarkan Tuhan Yesus secara sembarangan. Sebagai tubuh Kristus, tentu saja kita bisa menerapkannya dalam kehidupan di organisasi apapun. Model kepemimpinan bisa dilakukan oleh kita semua, tanpa harus menjabat sebagai pemimpin organisasi. Justru, model ini menjadi efektif apabila dipahami bersama-sama oleh seluruh anggota komunitas. Ada tiga hal yang perlu dimaknai untuk menghidupi kepemimpinan dalam tubuh Kristus.

1. Kesetaraan

Setiap pribadi berbeda mengemban tugas dan fungsi yang berbeda, tetapi semuanya setara dan sama pentingnya. Anggap saja dalam suatu peribadatan, terdapat berbagai individu dengan perannya masing-masing. Ada pendeta, liturgos/worship leader, pemandu pujian, pemusik, petugas multimedia, pemimpin liturgi, dll. Bayangkan jika dalam menjalankan perannya, seseorang merasa dirinya harus lebih besar dari yang lain: pemusik merasa dentuman musiknya harus nampak keras yang berakibat suara pemandu pujian terdengar lebih sayup, liturgos/worship leader merasa keinginannya harus dituruti untuk mengulang bagian lagu secara mendadak sehingga pujian menjadi kacau, ataupun pendeta yang tiba-tiba mengubah tema sebelum ibadah dimulai dan memaksa lagu yang sudah disiapkan harus diubah. Kacau balau, bukan? Dari ilustrasi tersebut kita dapat menarik kesimpulan bahwa dalam setiap kepelbagaian tugas dan fungsi yang diemban, setiap bagian dari organisasi perlu memaknai kesetaraan dengan bijak.

2. Keterbukaan

Setiap komunitas tentunya memiliki identitas yang berbeda-beda. Yang membedakan kita yang telah menerima rangkulan persahabatan Kristus dengan komunitas lain adalah keterbukaan, yang mengundang seluruh ciptaan masuk ke dalam komunitas ilahi tersebut. Hal ini pun ditunjukkan oleh Yesus yang dalam kehidupan pelayanannya. Komunitas murid Yesus tidak terbatas pada 12 orang saja! Dalam kitab Lukas tercatat bahwa Ia memiliki 70 murid, dan kitab Matius menyatakan bahwa Yesus merupakan sahabat dari pemungut cukai dan orang berdosa.

Menjadi komunitas Kristiani yang terbuka merupakan wujud penerapan model kepemimpinan-sahabat Kristus. Kita memiliki peluang besar untuk menerapkan keterbukaan dalam “tubuh Kristus” di tengah-tengah bangsa kita yang beragam. Ketika bertemu orang-orang baru dengan karakter yang berbeda, stigma negatif harus kita buang jauh-jauh. Sebaliknya, kita harus menunjukkan keramahtamahan sebagai sambutan hangat.

3. Menarik dan Memberi Kehidupan

Seperti yang Yesus katakan dalam Yohanes 12:32 “Dan, jika Aku ditinggikan dari dunia ini, Aku akan menarik semua orang kepada-Ku,” Yesus ingin setiap insan mengenal kasih-Nya. Keinginan tersebut bukanlah sekadar omong kosong, Ia mewujudnyatakan keinginan-Nya dengan mengasihi. Tertulis pada Yohanes 15:13, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seseorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya.”

Mungkin sebagian komunitas Kristiani bermimpi agar komunitas atau gerejanya memiliki jumlah anggota yang banyak, hingga mencapai ribuan bahkan jutaan jiwa. Namun, Yesus bukan sekadar menginginkan kuantitas anggota dari komunitas, melainkan kualitas pengenalan akan kasih-Nya yang semakin mendalam. Lebih dari sekadar sibuk di dalam komunitas, Yesus ingin kita menerapkan kepemimpinan-sahabat di luar komunitas kita. Ia rindu melihat kita menyatakan kasih persahabatan kepada lingkungan sosial kita, dengan segala ragam konflik yang terjadi.

* * *

Kita semua adalah bagian dari “tubuh Kristus”. Lebih dari sekadar pemegang jabatan dalam komunitas Kristiani, kita adalah sahabat Kristus yang diajak menerapkan model kepemimpinan-sahabat. Kristus sebagai pemimpin hidup kita telah menunjukkan kasih-Nya dan mengangkat kita sebagai sahabatnya, maka sudah seharusnya kita juga menghidupi kasih-Nya—kepada orang-orang yang ada dalam komunitas kita serta kepada seluruh ciptaan.

*Joas Adiprasetya adalah pendeta jemaat GKI Pondok Indah, Jakarta, yang ditugasi secara khusus menjadi dosen penuh waktu di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta untuk bidang Teologi Konstruktif. Tulisan ini mengulas makalah “Memimpikan Sebuah Gereja Persahabatan” yang disampaikan dalam Pembinaan Penatua GKI Klasis Jakarta Satu, di GKI Kelapa Cengkir, Jakarta, 6 April 2019.

Baca Juga:

Memandang Salib Yesus, Aku Belajar Mengampuni

“Jangan menyimpan kesalahan orang dalam hati,” agaknya kata-kata ini mudah diucapkan tapi sulit dipraktikkan. Pernahkah kamu bergumul akan hal ini juga, sobat muda?

Memandang Salib Yesus, Aku Belajar Mengampuni

Oleh Veronica*, Jakarta

Dalam kehidupan orang percaya, tiap kita punya pergumulan yang berbeda-beda. Ada yang bergumul dengan dosa seksual, masalah keluarga, keuangan, dan lain-lain. Aku sendiri bergumul dengan proses memaafkan, yang awalnya begitu sulit kulakukan, tetapi puji Tuhan aku dimampukan-Nya untuk melakukannya.

Beginilah kisahku.

Aku melayani di sekolah Minggu di gerejaku. Namun, studi S-2 dan bekerja penuh waktu (pukul 8-5 sore) membuat aku kewalahan mengatur jadwalku. Belum lagi untuk menyiapkan sekolah Minggu aku membutuhkan waktu yang cukup banyak: mulai dari kelas persiapan sebulan sekali, kunjungan ke anak-anak pada periode tertentu, games, pemberian hadiah, juga persiapan lainnya untuk acara besar seperti Paskah dan Natal. Itu belum ditambah dengan persiapan membuat cerita tentang firman Tuhan dan membuat aktivitas lanjutannya. Kalau aku mendapat tugas sebagai pemimpin pujian di minggu itu, persiapannya akan lebih banyak lagi.

Suatu ketika, akan diselenggarakan acara tahunan sekolah Minggu. Kelas kecil sampai besar akan digabung untuk bermain games. Untuk bisa mengikuti games ini, tiap anak harus mengumpulkan kupon dalam satu tahun. Banyak yang harus disiapkan, mulai dari jenis games yang akan diadakan sampai hadiah apa yang harus disediakan. Pula kupon yang harus didesain untuk diberikan ke anak-anak dan guru-guru lain. Singkat cerita, persiapannya akan cukup rumit.

Aku pun ditunjuk untuk menjadi ketua. Aku mengelak. Setiap hari Senin sampai Jumat, aku bekerja di kantor pukul 8 pagi sampai 5 sore dan sorenya aku kuliah pukul setengah 7 malam hingga pulang jam 21:30 dari kampus, belum ditambah dengan kemacetan di jalan raya yang menyita waktu. Dengan jadwalku yang sangat padat itu aku tentu tidak akan mampu mengurusi setiap detail persiapan acara. Hari Sabtu kugunakan untuk mengerjakan tugas kuliah dan menyiapkan aktivitas sekolah Minggu. Tetapi, tetap saja aku yang ditunjuk untuk menjadi ketua.

Setiap Minggu, aku ditagih progress yang sudah dibuat. Aku benar-benar kewalahan. Hampir tiap hari, sepulang kuliah aku menyiapkan benda-benda yang perlu dibuat dan baru selesai hampir jam 1 pagi. Aku lelah dan menangis, mengapa beban ini dilimpahkan kepadaku. Aku berkata pada Tuhan kalau aku rasanya tidak sanggup, tapi aku memohon kekuatan dari-Nya.

Ketika rapat persiapan acara berlangsung, ketua sekolah Minggu tidak puas dengan apa yang kusiapkan. Dia berkata kalau aku tidak prepare dan menyindirku atas proses yang lambat. Katanya, aku belum memiliki anak tetapi kok tidak bisa mengatur waktu dengan baik. Kucoba jelaskan tentang padatnya jadwalku dan aku telah melakukan yang terbaik. Tapi, tetap saja, kurasa rekan-rekanku di panitia itu pun menyalahkanku. Aku merasa terpukul.

Tapi, aku bersyukur karena saat itu ada hamba Tuhan yang menenangkanku. Dia menolongku untuk menyiapkan dan merapikan apa yang perlu kubuat.

Singkat cerita, acara berlangsung. Puji Tuhan bisa terselenggara dengan baik meskipun ada kekurangan di sana sininya. Selepas acara ini selesai, aku pun bergumul untuk mengampuni.

“Jangan menyimpan kesalahan orang dalam hati,” agaknya kata-kata ini mudah diucapkan tapi sulit dipraktikkan.

Aku berdoa, meminta kekuatan daripada-Nya untuk memaafkan dan tidak menyimpan hal-hal yang membuat sakit hati. Secara manusia, kurasa aku tidak bisa dan sulit sekali untuk tidak sakit hati. Tapi, Tuhan memberiku hikmat melalui Matius 5:43-47:

“Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar. Apabila kamu mengasihi orang yang mengasihi kamu, apakah upahmu? Bukankah pemungut cukai juga berbuat demikian? Dan apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allahpun berbuat demikian?”

Aku diingatkan sekaligus ditegur, bahwa sebagai manusia berdosa, aku tidak boleh menghakimi orang lain. Aku belajar untuk tidak menyimpan kesalahan orang lain dalam hatiku, dan menyerahkan hidupku ke tangan Tuhan. Pun aku berdoa meminta kekuatan dari Tuhan supaya aku diberikan hati seperti hati Yesus yang mengampuni orang-orang yang menyalibkan Dia.

Untuk bisa mengampuni adalah proses yang cukup panjang. Aku tidak ingat berapa lama persisnya. Tapi, sejak aku berdoa memohon kekuatan untuk mengampuni, aku diteguhkan bahwa pelayananku adalah untuk Tuhan, bukan manusia. Mentor rohaniku juga memberitahuku bahwa pertanggungjawaban kita kelak adalah pada Tuhan, dalam hal apapun di setiap aspek kehidupan kita. Ketika aku bertemu dengan mereka yang telah menyakitiku, aku berusaha tidak lagi mengingat-ngingat keburukannya. Aku belajar untuk menumbuhkan dan menunjukkan kasihku dengan cara yang sederhana, menyapa dan senyum pada mereka.

Melayani di gereja bukan berarti akan terbebas dari konflik, karena pada dasarnya kita semua adalah manusia berdosa. Alih-alih menghakimi, aku harus melihat kepada pengorbanan Yesus, Dia mau mengampuniku meskipun sesungguhnya aku tidak pantas mendapatkannya.

Kawan-kawan, mungkin ada di antara kalian ang bergumul untuk mengampuni orang lain. Siapapun itu, entah orang terdekat, atau mungkin orang yang jauh, marilah kita sama-sama belajar menyerahkan apa yang kita rasakan kepada Tuhan. Mintalah Tuhan memperbaharui hati kita, supaya semakin hari kita semakin dibentuk-Nya. Meski secara manusia rasanya sangat sulit, tetapi kekuatan yang melampaui akal pikiran dan hikmat manusia diberikan Tuhan bagi anak-anak-Nya yang mau berserah dan mengandalkan Dia dalam segala hal.

*Bukan nama sebenarnya

Baca Juga:

Andrew Hui: Usiaku 32 Tahun dan Aku Menanti Ajalku

Di usia 32 tahun, Andrew hanya memiliki waktu dua hingga tiga bulan untuk hidup. “Aku mau mendorong orang-orang untuk percaya kepada Tuhan di momen-momen tergelap hidup mereka,” ucap Andrew.

Mengasihi Tuhan dengan Melakukan yang Terbaik dalam Pekerjaanku

Oleh Novita Sari Hutasoit, Tangerang

Setiap orang tentu menginginkan kehidupan yang berdampak bagi banyak orang. Tapi, pertanyaan yang muncul di benakku adalah: “apakah yang aku kerjakan sudah memberi dampak ya?”

Setelah masuk ke dunia kerja selama lebih kurang tiga tahun, pertanyaan itu tidak asing buatku. Kadang aku merasa kalau aku seharusnya bisa mengerjakan sesuatu yang lebih besar daripada yang aku kerjakan saat ini. Ketika aku menceritakan pemikiran ini kepada temanku, rupanya mereka juga memikirkan hal yang sama.

Aku pernah berpikir kalau aku baru bisa berdampak, atau melakukan hal-hal besar jika aku sudah memiliki posisi atau jabatan yang tinggi, entah itu aku menjadi kepala divisi, manajer, atau direktur.

Tetapi, apakah benar selalu begitu?

Sebagai seorang yang mengurusi sumber daya manusia di tempat kerjaku, kadang aku merasa belum melakukan hal-hal yang berarti. Tidak heroik, pun dramatis. Tetapi, setelah kurenungkan dengan detail, apa yang kukerjakan sejatinya menolong orang lain. Semisal ketika aku mengerjakan perihal surat menyurat, aktivitas ini tampaknya sederhana, tetapi ketika surat-surat itu tidak ada yang membuat, teman-temanku yang lain bisa-bisa tidak dapat melakukan pekerjaannya. Kadang aku berpikir pekerjaan itu hanya tentang diriku, aku lupa bahwa di balik aktivitasku, aku sedang menolong orang lain.

Saat menulis artikel ini, aku jadi teringat senyuman dari mereka yang menyampaikan terima kasih dengan sukacita. Pengalamanku, mungkin juga pengalamanmu di dunia kerja mungkin belum banyak. Tetapi, itu bukanlah alasan untuk kita berkecil hati. Aku merasakan pimpinan Tuhan dalam tiap perkara, dari yang kecil hingga Dia menambahkan perkara-perkara yang lebih besar untuk kita kerjakan kelak. Mungkin buah dari pekerjaan yang kita lakukan sekarang ini belum terlihat, tetapi jika kita dengan setia mengerjakannya, Tuhan tentu akan menyatakan hal-hal yang membuat kita bersyukur kepada-Nya.

Mungkin saat ini pertanyaan yang harus kita ajukan setiap hari usai bekerja adalah apakah aku sudah melakukan yang terbaik hari ini dengan posisi yang dipercayakan kepadaku?

Sehingga kita juga bisa belajar tidak hanya mengasihi pekerjaan kita tetapi menghargai orang-orang yang ada di pekerjaan kita apapun posisi mereka, terutama mengasihi Tuhan yang telah memercayakan pekerjaan itu kepada kita.

Arie Saptaji dalam tulisannya yang berjudul “Di Balik yang Biasa-biasa Saja” menulis: “Tidak banyak dari kita yang berkesempatan untuk berkhotbah di depan ribuan orang. Tidak banyak yang menjadi misionaris secara intensif melayani daa mengubah suatu suku bangsa. Tidak banyak yang duduk dalam pemerintahan, yang bisa mengambil keputusan yang memengaruhi banyak orang. Tidak banyak yang menjadi selebritas yang dielu-elukan penggemar. Kehidupan kita begitu biasa. Tidak banyak ledakan dramatis. Tidak heroik. Dan, kalau mau lebih jujur, membosankan.”

Lalu, apakah dengan kehidupan yang sedang kita kerjakan, yang kelihatannya sepele kita tidak sedang melakukan apa-apa? Kita tidak sedang mendatangkan Kerajaan Allah di dunia ini, di pekerjaan kita? Sejatinya tidak ada yang terlihat sepele di hadapan Tuhan, dengan hal-hal kecil yang kita lakukan setiap hari, dengan hal-hal rutinitas kita di pekerjaan, Tuhan melihat dan mengapresiasi hal tersebut.

Apapun yang kamu kerjakan saat ini, kamu punya peran yang sangat besar. Lakukanlah yang terbaik.

Kalimat di atas sering kurenungkan dan kutempel di komputerku, membuatku terus ditegur ketika aku mulai meragukan pekerjaanku.

Apapun juga yang kamu perbuat, perbuatlah dengan segenap hatimu seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia. Kamu tahu, bahwa dari Tuhanlah kamu akan menerima bagian yang ditentukan bagimu sebagai upah. Kristus adalah tuan dan kamu hamba-Nya (Kolose 3:23-24).

Baca Juga:

Menegur dengan Maksud Baik

Menegur ataupun mengatakan kebenaran seringkali menjadi dilema bagi tiap orang, termasuk orang percaya. Lalu, apa yang seharusnya kita lakukan?