Pergumulanku sebagai Seorang Kristen-Generasi-Kedua

pergumulanku-sebagai-seorang-kristen-generasi-kedua

Oleh Ellen, China
Artikel asli dalam bahasa Traditional Chinese: 二代基督徒的苦惱

Aku adalah seorang “Kristen-generasi-kedua” (terlahir dalam keluarga Kristen —red). Sepanjang sebagian besar hidupku, aku merasa terjebak dengan label ini. Aku percaya orang-orang Kristen-generasi-kedua lainnya tahu apa yang akan aku bagikan berikut ini.

Sejak muda, aku sudah pergi ke gereja bersama orangtuaku. Gereja seperti rumah kedua buatku. Itu adalah sebuah tempat aku bermain dengan teman-teman dan menyanyikan lagu-lagu Kristen. Itu juga menjadi tempat di mana aku belajar menjadi seorang anak yang dikagumi oleh semua orang. Saat itu, aku adalah seorang anak dengan mata yang berbinar yang akan mendengarkan pelajaran di Sekolah Minggu dengan penuh perhatian dan berpartisipasi secara aktif ketika sang guru Sekolah Minggu melemparkan pertanyaan. Aku juga mengambil bagian dalam acara Natal tahunan yang gerejaku selenggarakan, memakai kostum yang cantik dan menyanyi sepenuh hati dan dengan bangganya di pinggir panggung.

Mengikuti acara-acara seperti itu sudah sangat biasa untukku, aku tidak pernah berpikir mengapa aku melakukan semua itu. Di dalam pikiranku, aku tahu ada Tuhan yang menciptakan alam semesta dan memberikan Anak-Nya yang tunggal untuk mati untuk manusia yang terhilang. Tapi aku tidak bisa menjelaskan apa hubungan itu semua dengan diriku secara pribadi.

Jadi aku hanya terlihat Kristen dari luarnya saja. Meskipun aku melayani di gereja, aku jauh dari Tuhan. Aku tinggal dalam keyakinan yang dipinjamkan oleh guru Sekolah Minggu dan orangtuaku, seringkali aku hanya mengulangi mengatakan apa yang mereka ajarkan padaku tanpa pernah meyakininya secara pribadi. Setiap kali orang-orang yang baru percaya mengekspresikan kekaguman mereka akan anugerah luar biasa yang diberikan oleh Yesus Kristus, sang Tuhan dan Juruselamat, aku tetap tidak bergeming—aku sudah terlalu biasa mendengar tentang anugerah Tuhan, dan menjadi mati rasa dengan apa yang menjadi arti dari itu semua. Namun pada saat yang sama, aku juga merasa sedikit iri dengan mereka yang begitu berapi-api akan iman mereka kepada Allah—sedangkan aku tidak merasakan apa-apa.

Namun seiring waktu aku mulai merasa terganggu dengan rasa apatisku terhadap imanku; aku tahu aku harus berubah. Saat itu aku kelas 3 SMA dan aku terbebani oleh tekanan untuk masuk ke sebuah universitas yang bagus. Aku ingat aku masuk ke gereja di sebuah hari Natal, merasa begitu khawatir dan tidak pasti tentang masa depanku. Meskipun pendetaku dan orangtuaku mendoakanku secara rutin, aku berada di ambang keputusasaan.

Malam itu, aku memutuskan untuk berdoa kepada Tuhan—tapi aku bingung. Aku tidak tahu harus berkata apa atau harus memulai dari mana, jadi aku memejamkan mata, berharap bahwa Tuhan akan mengungkapkan sesuatu kepadaku. Pada saat itu, kata-kata dari lirik sebuah lagu muncul di pikiranku. “Banyak hal tak kupahami dalam masa menjelang. Tapi terang bagiku ini, tangan Tuhan yang pegang.” Setelah mendengar kata-kata ini, air mata mulai mengalir dari mataku. Saat itulah aku menyadari bahwa Tuhan tahu persis apa yang aku alami, meskipun aku sulit mengekspresikannya.

Sampai saat itu, aku pikir aku berjuang sendirian. Tetapi kenyataannya, Tuhan selalu bersamaku; Dia menggunakan lagu itu untuk mengingatkanku bahwa meskipun masa depan tampak tidak jelas, itu semua ada di dalam tangan-Nya. Itu juga saat di mana akhirnya aku mengerti bahwa hubunganku dengan Tuhan adalah suatu hal yang pribadi, bukan sesuatu yang diajarkan oleh orangtuaku atau guru Sekolah Mingguku. Allah mengasihiku karena aku adalah anak-Nya. Dia ingin membimbing dan menghiburku secara pribadi. Dia tahu setiap hal yang aku pikirkan, dan Dia memiliki rencana yang sempurna bagiku.

Sebagai orang Kristen-generasi-kedua, kita memiliki hak istimewa untuk mengenal Tuhan kita yang luar biasa sejak kita lahir. Kita tidak perlu menghadapi banyak penghalang atau perlawanan sengit untuk mengenal-Nya. Kita mungkin tidak sadar betapa kita telah begitu diberkati! Bahkan, kita mungkin menyepelekan hak istimewa ini, dan kehilangan rasa kagum dan rasa syukur kita kepada-Nya.

Aku belajar untuk bersyukur kepada Tuhan untuk hak istimewa yang kudapatkan untuk mengenal Dia sejak masa mudaku. Namun sementara orangtuaku telah menjalankan peran mereka yang penting untuk memperkenalkanku dengan Tuhan, aku belajar bahwa itu adalah tanggung jawab pribadiku untuk membangun hubungan dengan-Nya. Aku sadar bahwa satu-satunya cara kita dapat mematahkan stereotip tentang orang “Kristen-generasi-kedua” adalah dengan menemukan Tuhan secara pribadi, dan mengalami kasih-Nya yang luar biasa bagi kita.

Artikel Lain:

Hal Penting yang Kulupakan Ketika Aku Melayani Tuhan

Aku senang dan sangat aktif melayani Tuhan sejak muda. Bisa dibilang hari Minggu adalah hari yang sangat sibuk buatku. Hingga suatu hari firman Tuhan menegurku di sebuah ibadah remaja. Ada satu hal penting yang selama ini aku lupakan ketika melayani Tuhan. Baca kesaksian Maleakhi selengkapnya di dalam artikel ini.

Bagikan Konten Ini
10 replies
  1. moren
    moren says:

    Menemukan Tuhan dan mengalami Tuhan sampai benar-benar merasakan Betapa indahNya bersama denganNya ^_^

  2. Thomas Crawford
    Thomas Crawford says:

    Tulisan ini suatu peringatan bahwa tidak ada keluarga Kristen cuma kepribadian Kristen. Terlalu sering orang yang lahir di lingkunan Kristen dianggap seorang Kristen dan tidak diajar untuk menjadi seorang Kristen mesti percaya secara pribadi kepada Tuhan Yesus. Kelahiran kembali syarat mutlak agar ada hubungan pribadi dengan Tuhan Yesus dan sungguh jadi seorang Kristen.
    Contoh Petrus yang menjelas kepentingan kepercayaan pribadi disidang di Yerusalem.
    Kisah Para Rasul 15:11
    Sebaliknya, kita percaya, bahwa oleh kasih karunia Tuhan Yesus Kristus kita akan beroleh keselamatan sama seperti mereka juga.”

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *