Posts

Skripsi, Garis Akhir Perjuangan Kuliah yang Kulewati Bersama Tuhan

Oleh Yuanda Hemi, Tangerang

Aku adalah seorang mahasiswi dari sebuah perguruan tinggi di Kota Tangerang. Sebelum berkuliah, aku menjadi atlet bulutangkis selama enam tahun sehingga aku masuk sekolah hanya untuk mengikuti ujian.

Perjalananku sebagai atlet bulutangkis tidak berhasil membuatku menjadi atlet papan atas sehingga aku pun memutuskan untuk kembali ke jalur akademik. Sayangnya, aku belum benar-benar mengenal potensi diriku di luar dunia bulutangkis. Hal ini membuatku memilih jurusan yang disarankan keluarga dengan pertimbangan prospek kerja yang menjanjikan di era digital, yaitu Sistem Informasi.

Sejujurnya, aku sendiri tidak tahu apa yang akan kupelajari di jurusan tersebut. Beberapa orang mengatakan bahwa keputusanku merupakan langkah yang berani. Tetapi apa boleh buat, jurusan Psikologi yang lebih menarik minatku tidak mendapatkan persetujuan orang tua.

Di masa awal perkuliahan, aku optimis bahwa aku akan bertahan dalam jurusan ini seiring berjalannya waktu. Aku berprinsip kuat untuk memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik mungkin, agar dapat menyelesaikan kuliah tepat waktu. Dengan belajar sungguh-sungguh dan dengan bantuan dari teman-teman, aku mampu melewati semua mata kuliah yang ada hingga tiba waktunya bagiku untuk membuat skripsi.

Proses menentukan judul dan membuat proposal berlangsung sangat lancar. Perjuangan yang sebenarnya dimulai ketika aku mulai mengerjakan skripsi itu sendiri. Ada saat-saat di mana aku merasa yakin dapat menyelesaikan semuanya tepat pada waktunya, tetapi ada kalanya juga aku merasa tidak sanggup melewati rintangan-rintangan yang ada. Aku mengerjakan skripsiku setiap hari dan rutin mengikuti bimbingan di luar jam kelas delapan SKS mata kuliah yang mengulang. Karena stres berlebihan dan tidak nafsu makan, berat badanku turun sebanyak enam kilogram dalam dua minggu.

Di tengah-tengah masa sulit itu, aku menemukan vlog dari Acha Sinaga yang muncul di beranda YouTube. Acha dan Andy Ambarita, suaminya, mengajak kita untuk senantiasa mengandalkan Tuhan apapun yang terjadi. Menonton video tersebut membuatku merasa dikuatkan kembali.

Sampailah pada hari pra-sidang, aku menerima pengumuman yang tidak siap kudengar dari salah satu dosenku.

“Kalau saya boleh jujur, skripsimu tidak layak untuk maju sidang.”

Aku tertegun, terdiam, sedih, dan bingung. Apakah aku harus menunggu lagi? Ataukah lebih baik bagiku untuk tetap maju dan mencoba, tentunya dengan kemungkinan terburuk yaitu ‘dibantai’ saat sidang dan akhirnya gagal? Beberapa temanku menyarankanku untuk maju sidang, karena ada kemungkinan bahwa aku akan diuji oleh dosen lain. Hatiku bergejolak. Aku tidak siap menerima tekanan, apalagi menghadapi kegagalan.

Aku menceritakan semuanya kepada mamaku. Di tengah-tengah pergumulanku, aku membulatkan tekadku untuk tetap maju sidang.

“Ma, aku mau berjuang. Aku mau mencoba. Aku percaya aku pasti lulus kalau itu memang rencana Tuhan, dan tidak ada seorangpun yang bisa menggagalkan.”

“Percaya dan berdoa saja, Nak. Tugasmu adalah melakukan yang terbaik, biar Tuhan yang membantu dan melancarkan.”

Aku merevisi setiap bagian yang diminta oleh dosen pembimbingku serta melengkapi semua berkas yang diminta sehingga aku dapat mengumpulkan skripsiku tepat waktu. Dalam keadaan yang masih penuh tekanan, aku meminta Tuhan untuk menjauhkanku dari dosen-dosen killer yang menurutku dapat menghambat kelulusanku. Sekarang aku baru tersadar, seharusnya aku meminta kekuatan dan kesiapan dari Tuhan untuk menghadapi siapapun dosen pengujinya.

Puji Tuhan, aku dinyatakan layak sidang! Namun, saat sidang aku tidak dinyatakan lulus, tidak juga dinyatakan tidak lulus, dan tidak pula diminta untuk sidang ulang. Keputusannya menggantung, dan aku harus merevisi hampir satu buku. Inilah masa-masa terberat dalam perkuliahanku—bertahan saat aku merasa tidak sanggup lagi, nyaris menyerah namun tak ingin mengulang.

Yang membuat perjuanganku semakin berat adalah fokusku yang tidak terpusat pada skripsi. Aku harus membagi waktu antara menyelesaikan revisi, mencari tanda tangan dari dosen penguji, mengurus bisnis, dan mempersiapkan diri untuk menghadapi pertandingan bulutangkis yang diselenggarakan dua minggu setelah sidang. Aku bersyukur Tuhan memberikanku tanggal sidang lebih awal dari teman-temanku, sehingga aku banyak mendapatkan bantuan mereka baik dalam mengerjakan revisi maupun dalam hal mental support.

Setiap harinya, aku beroleh kekuatan dari Tuhan melalui doa. Aku percaya bahwa Tuhan punya rencana yang terbaik untukku. Tuhan sendiri yang akan menguatkanku dalam melewati semua proses kelulusanku, dan Ia juga yang akan menggerakkan hati para dosen penguji. Tiga belas hari kulalui dengan penuh tangis, dan Tuhan memberiku kejutan di hari ke-14: aku mendapatkan tanda tangan dari ketiga dosen pengujiku. Aku lulus!

Sungguh indah rancangan Tuhan dalam hidupku, dan tentunya dalam hidup teman-teman semua. Ya, aku sempat merasa takut dan tidak percaya diri ketika mendengar pernyataan dari dosenku. Tetapi, aku bersyukur Tuhan menyertaiku dalam melewati setiap proses penyusunan skripsi. Ketika keadaan di depanku terasa menakutkan, aku hanya bisa bersandar pada karakter Tuhan. Ia adalah Bapa yang baik, yang sudah merancangkan masa depanku dengan luar biasa, lebih daripada apa yang aku pikirkan. Dalam Pengkhotbah 3:11 dikatakan bahwa, “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.

Aku percaya, Tuhan memakai proses yang kualami dalam sidang skripsi untuk menguatkan teman-teman yang mengalami pergumulan yang sama. Puji Tuhan, aku sudah diwisuda pada 20 Juni 2019 yang lalu. Semua karena kasih karunia Tuhan semata, dan biarlah semua kemuliaan hanya bagi-Nya!

Baca Juga:

Yesus Kristus dan Celana Kolor

“Judul ini mungkin terasa aneh. Rasanya kok tidak sopan. Sepertinya kurang elok kalau menyandangkan Yesus Kristus dengan celana kolor.

Tetapi judul ini bukannya tanpa alasan. Inilah ceritanya:”

#GaliDasarIman: Apakah yang Tidak Tahu Tidak Berdosa?

Ilustrasi oleh Laura Roesyella

Pertanyaan di atas mencoba mengeksplorasi keterkaitan antara kesalahan dan pengetahuan. Maksudnya, apakah seseorang yang tidak mengetahui bahwa tindakannya salah dapat dipersalahkan karena tindakan tersebut? Jika jawabannya adalah tidak, apakah orang itu perlu diberi tahu bahwa tindakan itu adalah salah?

Terhadap pertanyaan ini Alkitab menyediakan jawaban yang cukup jelas dan konsisten. Ketidaktahuan tidak membebaskan seseorang dari dosa. Tindakan seseorang tetap diperhitungkan sebagai dosa walaupun orang itu tidak menyadarinya.

Poin ini diungkapkan dengan baik dalam sebuah perumpamaan Alkitab tentang hamba-hamba yang tidak taat (Lukas 12:37-48). Perumpamaan ini ditutup dengan sebuah kesimpulan: “Adapun hamba yang tahu akan kehendak tuannya, tetapi yang tidak mengadakan persiapan atau tidak melakukan apa yang dikehendaki tuannya, ia akan menerima banyak pukulan. Tetapi barangsiapa tidak tahu akan kehendak tuannya dan melakukan apa yang harus mendatangkan pukulan, ia akan menerima sedikit pukulan” (ayat 47-48a). Alasan di balik hal ini juga dijelaskan: “Setiap orang yang kepadanya banyak diberi, dari padanya akan banyak dituntut, dan kepada siapa yang banyak dipercayakan, dari padanya akan lebih banyak lagi dituntut” (ayat 48b). Ketidaktahuan hanya mengurangi, bukan meniadakan, hukuman.

Alkitab juga mengajarkan bahwa dalam taraf tertentu semua manusia sebenarnya sudah mengetahui kehendak Allah. Persoalan manusia bukanlah “tidak tahu,” melainkan “tidak mau tahu” atau “tidak mampu”. Dosa manusia adalah “menindas kebenaran dengan kelaliman” (Roma 1:18). Kepada mereka sudah dinyatakan kebenaran-kebenaran ilahi melalui wahyu umum, misalnya ciptaan yang dapat dinalar (Roma 1:19-20) atau hukum moral dalam hati mereka (Roma 2:14-15). Permasalahannya, mereka tidak mau dan/atau tidak mampu menaati pengetahuan tersebut.

Untuk memperjelas hal ini, ada baiknya kita mengenal dua istilah: dosa dan pelanggaran. Dosa merujuk pada segala sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Allah yang sempurna. Pelanggaran berarti ketidaksesuaian dengan aturan (perintah atau larangan) tertentu. Ada dua teks Alkitab yang perlu untuk disinggung di sini. Roma 4:15 mengajarkan: “Karena hukum Taurat membangkitkan murka, tetapi di mana tidak ada hukum Taurat, di situ tidak ada juga pelanggaran.” Selanjutnya dikatakan: “Sebab sebelum hukum Taurat ada, telah ada dosa di dunia. Tetapi dosa itu tidak diperhitungkan kalau tidak ada hukum Taurat” (Rm. 5:13). Dari teks ini terlihat bahwa semua kesalahan adalah dosa, walaupun tidak semua dosa itu pantas dikategorikan sebagai pelanggaran.

Ketidakmampuan untuk hidup seturut dengan wahyu Allah bersumber dari natur manusia yang berdosa. Hal yang sama bahkan menimpa mereka yang diberi wahyu khusus. Paulus dengan jujur mengungkapkan pengalamannya: “Sebab apa yang aku perbuat, aku tidak tahu. Karena bukan apa yang aku kehendaki yang aku perbuat, tetapi apa yang aku benci, itulah yang aku perbuat. Jadi jika aku perbuat apa yang tidak aku kehendaki, aku menyetujui, bahwa hukum Taurat itu baik. Kalau demikian bukan aku lagi yang memperbuatnya, tetapi dosa yang ada di dalam aku” (Roma 7:15-17). Jadi, persoalan terbesar manusia bukanlah ketidaktahuan, tetapi ketidakmampuan.

Sebuah ilustrasi mungkin bermanfaat untuk menerangkan kebenaran di atas. Banyak orang di pedalaman terbiasa mandi di sungai yang kotor. Mereka bahkan menyikat gigi mereka dengan air yang sama. Dari kacamata orang perkotaan yang sudah mengenal beragam informasi kesehatan, kebiasaan ini sangat berbahaya. Dari kacamata mereka sendiri yang sudah tinggal di sana berabad-abad, tidak ada yang perlu dirisaukan dalam kebiasaan tersebut. Mereka tidak tahu informasi kesehatan yang memadai. Kalaupun tahu, belum tentu mereka mempercayainya. Bahkan sekalipun mereka tahu dan mempercayainya, belum tentu mereka mau dan mampu hidup sesuai dengan pengetahuan dan keyakinan itu. Mereka sudah terlanjur merasa nyaman dan aman dengan apa yang mereka lakukan. Mereka belum tentu mampu mendapatkan air yang bersih dalam jumlah yang memadai.

Apakah ketidaktahuan penduduk setempat terhadap kesehatan menjadikan kebiasaan mereka dapat ditolerir? Apakah tindakan mereka dapat dianggap benar hanya gara-gara mereka tidak mengetahui apa yang ideal? Tentu saja tidak, bukan? Demikian pula dengan dosa dan pengetahuan kita. Apa saja yang tidak sesuai dengan kehendak Allah yang sempurna adalah dosa, walaupun tidak semua dosa itu disebut pelanggaran. Bagi mereka yang tahu, kesalahan mereka tergolong dosa sekaligus pelanggaran. Dalam keadilan Allah yang sempurna, Ia akan mempertimbangkan ketidaktahuan seseorang (yang tidak tahu akan menerima hukuman lebih ringan), tetapi tetap tidak meniadakan hukuman sama sekali (yang tidak tahu tetap dihukum).

* * *

⠀⠀⠀

Tentang penulis: ⠀
Artikel ini telah dipublikasikan sebagai seri #RenunganApologetikaMingguan dari Apologetika Indonesia (API).

Baca Juga:

4 Ciri Para Pendosa di Dalam Gereja

Banyak dari kita yang sulit menerima fakta bahwa gereja berisi orang-orang yang tidak sempurna. Aku mempunyai teman-teman yang meninggalkan gereja mereka karena kekecewaan mereka terhadap orang-orang di dalamnya. Ayah dari seorang temanku bahkan tidak mengizinkan anaknya untuk terlibat terlalu banyak di dalam gereja, karena dia telah mengetahui “sifat asli” dari orang-orang yang ada di dalam gereja.

Menurutnya, gereja hanya berisi orang-orang yang munafik. Bukankah itu menyedihkan?

⠀⠀⠀⠀

Pergumulanku sebagai Seorang Kristen-Generasi-Kedua

pergumulanku-sebagai-seorang-kristen-generasi-kedua

Oleh Ellen, China
Artikel asli dalam bahasa Traditional Chinese: 二代基督徒的苦惱

Aku adalah seorang “Kristen-generasi-kedua” (terlahir dalam keluarga Kristen —red). Sepanjang sebagian besar hidupku, aku merasa terjebak dengan label ini. Aku percaya orang-orang Kristen-generasi-kedua lainnya tahu apa yang akan aku bagikan berikut ini.

Sejak muda, aku sudah pergi ke gereja bersama orangtuaku. Gereja seperti rumah kedua buatku. Itu adalah sebuah tempat aku bermain dengan teman-teman dan menyanyikan lagu-lagu Kristen. Itu juga menjadi tempat di mana aku belajar menjadi seorang anak yang dikagumi oleh semua orang. Saat itu, aku adalah seorang anak dengan mata yang berbinar yang akan mendengarkan pelajaran di Sekolah Minggu dengan penuh perhatian dan berpartisipasi secara aktif ketika sang guru Sekolah Minggu melemparkan pertanyaan. Aku juga mengambil bagian dalam acara Natal tahunan yang gerejaku selenggarakan, memakai kostum yang cantik dan menyanyi sepenuh hati dan dengan bangganya di pinggir panggung.

Mengikuti acara-acara seperti itu sudah sangat biasa untukku, aku tidak pernah berpikir mengapa aku melakukan semua itu. Di dalam pikiranku, aku tahu ada Tuhan yang menciptakan alam semesta dan memberikan Anak-Nya yang tunggal untuk mati untuk manusia yang terhilang. Tapi aku tidak bisa menjelaskan apa hubungan itu semua dengan diriku secara pribadi.

Jadi aku hanya terlihat Kristen dari luarnya saja. Meskipun aku melayani di gereja, aku jauh dari Tuhan. Aku tinggal dalam keyakinan yang dipinjamkan oleh guru Sekolah Minggu dan orangtuaku, seringkali aku hanya mengulangi mengatakan apa yang mereka ajarkan padaku tanpa pernah meyakininya secara pribadi. Setiap kali orang-orang yang baru percaya mengekspresikan kekaguman mereka akan anugerah luar biasa yang diberikan oleh Yesus Kristus, sang Tuhan dan Juruselamat, aku tetap tidak bergeming—aku sudah terlalu biasa mendengar tentang anugerah Tuhan, dan menjadi mati rasa dengan apa yang menjadi arti dari itu semua. Namun pada saat yang sama, aku juga merasa sedikit iri dengan mereka yang begitu berapi-api akan iman mereka kepada Allah—sedangkan aku tidak merasakan apa-apa.

Namun seiring waktu aku mulai merasa terganggu dengan rasa apatisku terhadap imanku; aku tahu aku harus berubah. Saat itu aku kelas 3 SMA dan aku terbebani oleh tekanan untuk masuk ke sebuah universitas yang bagus. Aku ingat aku masuk ke gereja di sebuah hari Natal, merasa begitu khawatir dan tidak pasti tentang masa depanku. Meskipun pendetaku dan orangtuaku mendoakanku secara rutin, aku berada di ambang keputusasaan.

Malam itu, aku memutuskan untuk berdoa kepada Tuhan—tapi aku bingung. Aku tidak tahu harus berkata apa atau harus memulai dari mana, jadi aku memejamkan mata, berharap bahwa Tuhan akan mengungkapkan sesuatu kepadaku. Pada saat itu, kata-kata dari lirik sebuah lagu muncul di pikiranku. “Banyak hal tak kupahami dalam masa menjelang. Tapi terang bagiku ini, tangan Tuhan yang pegang.” Setelah mendengar kata-kata ini, air mata mulai mengalir dari mataku. Saat itulah aku menyadari bahwa Tuhan tahu persis apa yang aku alami, meskipun aku sulit mengekspresikannya.

Sampai saat itu, aku pikir aku berjuang sendirian. Tetapi kenyataannya, Tuhan selalu bersamaku; Dia menggunakan lagu itu untuk mengingatkanku bahwa meskipun masa depan tampak tidak jelas, itu semua ada di dalam tangan-Nya. Itu juga saat di mana akhirnya aku mengerti bahwa hubunganku dengan Tuhan adalah suatu hal yang pribadi, bukan sesuatu yang diajarkan oleh orangtuaku atau guru Sekolah Mingguku. Allah mengasihiku karena aku adalah anak-Nya. Dia ingin membimbing dan menghiburku secara pribadi. Dia tahu setiap hal yang aku pikirkan, dan Dia memiliki rencana yang sempurna bagiku.

Sebagai orang Kristen-generasi-kedua, kita memiliki hak istimewa untuk mengenal Tuhan kita yang luar biasa sejak kita lahir. Kita tidak perlu menghadapi banyak penghalang atau perlawanan sengit untuk mengenal-Nya. Kita mungkin tidak sadar betapa kita telah begitu diberkati! Bahkan, kita mungkin menyepelekan hak istimewa ini, dan kehilangan rasa kagum dan rasa syukur kita kepada-Nya.

Aku belajar untuk bersyukur kepada Tuhan untuk hak istimewa yang kudapatkan untuk mengenal Dia sejak masa mudaku. Namun sementara orangtuaku telah menjalankan peran mereka yang penting untuk memperkenalkanku dengan Tuhan, aku belajar bahwa itu adalah tanggung jawab pribadiku untuk membangun hubungan dengan-Nya. Aku sadar bahwa satu-satunya cara kita dapat mematahkan stereotip tentang orang “Kristen-generasi-kedua” adalah dengan menemukan Tuhan secara pribadi, dan mengalami kasih-Nya yang luar biasa bagi kita.

Artikel Lain:

Hal Penting yang Kulupakan Ketika Aku Melayani Tuhan

Aku senang dan sangat aktif melayani Tuhan sejak muda. Bisa dibilang hari Minggu adalah hari yang sangat sibuk buatku. Hingga suatu hari firman Tuhan menegurku di sebuah ibadah remaja. Ada satu hal penting yang selama ini aku lupakan ketika melayani Tuhan. Baca kesaksian Maleakhi selengkapnya di dalam artikel ini.

3 Alasan Orang Kristen Harus Mendalami Imannya dengan Serius

Penulis: Vincent Tanzil

Alasan-Orang-Kristen-Harus-Mendalami-Imannya-dengan-Serius

“Banyak yang mencari pengetahuan untuk mendapatkan pengetahuan, itu adalah keingintahuan.

Ada juga yang mencari pengetahuan untuk mencari nama, itu adalah keegoisan.

Ada yang mencari pengetahuan supaya bisa mencari keuntungan, itu tidak terpuji.

Tetapi, beberapa orang mencari pengetahuan untuk memperkaya hidup sesamanya: itulah kasih.”

Bernard dari Clairvaux

Dalam perjalanan hidup saya sebagai seorang Kristen, saya punya banyak pertanyaan tentang apa yang saya imani. Sebab itu, saya banyak membaca buku Kristen, ikut seminar-seminar pembinaan, sekolah teologi malam, bahkan belajar di seminari. Namun, tidak sedikit respons negatif yang datang dari orang-orang di sekitar saya.

“Jangan terlalu banyak belajar, nanti jadi orang Farisi!”
“Hati-hati makin pintar, nanti kamu malah jadi murtad!”

Siapakah orang Kristen serius yang tidak akan terhenyak ketika diberikan nasihat-nasihat seperti itu? Saya sempat berpikir, salahkah bila saya serius mendalami iman saya? Namun, makin dipikirkan, makin saya yakin bahwa sebagai orang Kristen, kita perlu untuk terus mempelajari iman kita dengan serius. Setidaknya ada tiga alasan untuk melakukannya:

1. Iman Kristen itu tidak sesederhana yang kita bayangkan.

“Minum air putih di pagi hari itu baik untuk kesehatan,” sebuah nasihat sederhana yang mungkin sering kita dengar. Kita mungkin mengikuti nasihat itu karena banyak orang yang mengatakannya, meski sebenarnya tidak tahu mengapa air putih itu menyehatkan, dan mengapa harus diminum di pagi hari.

Namun kemudian, kita sendiri menemukan dari sebuah sumber yang terpercaya bahwa air yang masuk ke dalam tubuh kita di pagi hari terbukti dapat membuang racun-racun yang sudah menumpuk di dalam tubuh. Selain itu, asupan air segar di pagi hari akan membuat otak yang terdiri dari sekitar 78% air akan mampu beraktivitas secara optimal.

Kita terkejut—nasihat yang tampaknya begitu sederhana ternyata memiliki penjelasan yang sangat dalam. Kita mulai melihat hubungan antara air putih dan kesehatan dengan cara yang berbeda. Kita jadi bersemangat minum air putih setiap pagi, bahkan terus melakukannya sekalipun orang lain berhenti melakukan hal itu.

Demikian juga dengan iman Kristen. Tampaknya sederhana. Kita diberitahu bahwa asal percaya kepada Yesus kita akan diselamatkan. Kita lahir dalam keluarga Kristen. Semua orang yang kita kenal percaya kepada Yesus. Jadi, kita pun menjadi orang Kristen, meski sebenarnya kita tidak tahu mengapa percaya kepada seseorang yang disalibkan itu bisa menghapus dosa.

Namun kemudian, kita belajar dan menemukan siapa sebenarnya pribadi Yesus. Kita jadi memahami apa yang membedakan-Nya dari tokoh-tokoh agama lain. Kita belajar mengapa seseorang yang mati di kayu salib 2000 tahun yang lalu bisa memiliki pengaruh terhadap keselamatan semua orang.

Kita mulai menyadari bahwa iman Kristen tidak sesederhana yang kita bayangkan. Iman Kristen bukan “asal percaya.” Kita mulai melihat Yesus secara berbeda. Cara pandang dan sikap hidup kita berubah, tidak lagi bergantung pada apa yang dikatakan orang lain, tetapi pada kebenaran-kebenaran yang kita temukan saat kita mau serius mendalami iman kita.

2. Tuhan memberikan kita kapasitas yang besar untuk belajar.

Pernah mendengar istilah esofagus, Homo Sapiens, metamorfosis, atau atom? Kapan pertama kali kita mempelajari istilah-istilah semacam itu? Mungkin sekali kebanyakan di antara kita sudah mempelajarinya sejak SD atau SMP. Mempelajari istilah-istilah biologi, ekonomi, politik, teknologi, dan berbagai bidang lainnya itu terasa wajar dan memperkaya pemahaman kita. Jadi, mengapa kita harus alergi mempelajari berbagai istilah-istilah atau konsep yang agak kompleks dalam teologi Kristen? Adanya beberapa terminologi yang tidak umum dalam teologi Kristen hanyalah pertanda bahwa kita belum terbiasa, bukan tidak bisa. Saya sendiri menemukan banyak hal yang sangat menyegarkan iman ketika mempelajari kekristenan lebih dalam. Saya bisa menjelaskan tentang kesatuan dua natur Yesus menurut Alkitab misalnya, ketika ada orang menanyakan tentang mengapa saya percaya Yesus sebagai manusia sekaligus Tuhan.

Tuhan telah memberikan kita kapasitas yang besar untuk belajar. Dia mengaruniakan kita akal budi, dan menghendaki kita mengasihi-Nya dengan segenap kapasitas itu (Matius 22:37). Saya pikir kita harus menggunakan kapasitas belajar yang Tuhan berikan tidak hanya untuk mendalami biologi, ekonomi, politik, atau teknologi, tetapi juga untuk mendalami firman Tuhan, memahami teologi Kristen dengan benar. Tidak hanya untuk memahami dunia dan kompleksitasnya, tetapi juga memahami karakter dan rencana Tuhan bagi dunia ini. Kesulitan memahami istilah-istilah tidak dapat dibandingkan dengan kedalaman pengertian yang didapatkan.

Sebagian orang mungkin punya pengalaman buruk, melihat orang yang belajar banyak tentang kekristenan berubah menjadi sombong dan tidak bersahabat. Ada yang mendalami teologi, tetapi malah jadi sesat atau berubah keyakinan. Tetapi, pengalaman buruk tidak perlu membuat kita jadi membatasi diri dalam belajar, bukan? Saya belum pernah bertemu dengan orang yang dengan sengaja tidak mau belajar matematika atau bahasa asing agar mereka tidak menjadi sombong.

Kesombongan adalah masalah hati, tidak berkaitan langsung dengan banyaknya pengetahuan seseorang. Ada banyak orang Kristen yang pandai, tetapi tetap bersahaja dan bijak dalam berkata-kata. Sebaliknya, banyak juga orang yang tidak punya pemahaman iman yang memadai, malah berseru-seru dengan penuh kesombongan. Begitu juga dengan kesesatan. Kita tidak bisa mengatakan orang yang terlalu banyak belajar pasti menjadi sesat dan berubah keyakinan. Banyak sekali orang yang justru makin percaya dan mendekat kepada Tuhan setelah mereka mempelajari kompleksitas dunia ini dan argumen intelektual iman Kristen, termasuk para profesor.


3. Pemahaman iman yang kuat akan menolong kita menjadi orang yang makin bijak dan berdampak.

Pemahaman yang makin baik tentang teologi Kristen sewajarnya membawa kita menjadi orang Kristen yang lebih baik, lebih bijak, lebih berdampak bagi komunitas kita. Ibarat dokter yang lebih bisa membantu banyak orang sakit ketika ia mendalami dan menerapkan ilmunya dengan baik. Ibarat petani yang bisa menuai panen lebih baik ketika ia belajar dan menerapkan pengetahuannya tentang pupuk, irigasi, dan teknologi pertanian terbaru.

Bila kehidupan kita sebagai orang Kristen hari ini sama saja dengan hidup kita lima-sepuluh tahun lalu, kita perlu waspada. Jangan-jangan kita sudah tidak bertumbuh lagi dalam pengenalan kita akan Tuhan. Paulus meminta kita untuk terus-menerus berubah melalui “pembaharuan budi” supaya kita dapat “membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna” (Roma 12:2b). Kita yang sudah menerima Kristus seharusnya menjadi ciptaan baru yang “terus-menerus diperbaharui untuk memperoleh pengetahuan yang benar menurut gambar Khaliknya” (Kolose 3:10b).

Orang Kristen sudah sepatutnya menjadi orang yang bersemangat secara intelektual di dunia ini, karena Allah mau kita mengasihi-Nya dengan segenap hati dan segenap akal budi kita. Jangan biarkan “rasa malas berpikir” menghalangi kita untuk memuliakan Tuhan dalam berbagai bidang kehidupan. Mari dengan serius mendalami iman kita!