Posts

Plot Twist Paling Manis

Oleh Grace Angelique Natanael, Jakarta

Sebagai anak muda yang mengikuti kelas katekisasi, aku diberi PR untuk menulis 15 jurnal bebas. Untuk menuntaskannya, aku terpikir untuk mengeluarkan tulisan-tulisan di notes HP-ku. Kumulai dari yang satu ini: jurnal pertama yang kutulis pada 1 September 2023. Kuberi judul sweetest plot twist alias alur cerita yang tidak tertebak, tapi paling manis.

Meskipun masih remaja, tapi aku telah mengalami momen-momen ketika apa yang kumau tidak terwujud. “Kenapa ya?” pertanyaan ini selalu muncul. “Apa aku kurang? Padahal kan aku selalu mencoba jadi yang terbaik,” lanjutku. Aku benci sekali dengan perasaan bahwa aku tidak qualified seperti ini. Namun, ketika aku tertolak dari jalan yang aku dambakan, justru di situlah Tuhan mengulurkan tangan-Nya.

Di gereja, aku tidak ingin masuk ke komisi remaja. Aku takut tidak memenuhi syarat. Aku merasa kurang dibandingkan semua orang di sini, aku rasa aku tidak akan bisa membaur dengan teman-teman yang lain. Namun, kucoba menahan semua perasaan itu dengan fokus melihat ke depan. Suatu kali, ketika aku ikut ibadah remaja, sebuah kalimat terdengar dari sisi kananku. “Halo,” seorang gadis berambut panjang menyapaku sambil menundukkan sedikit kepalanya. Senyumnya terlihat dari balik maskernya. Kami memperkenalkan diri masing-masing lalu menjadi mutual di Instagram. Sejak pertemuan itu, kami suka mengobrol dan menghabiskan waktu bersama sepulang gereja dan katekisasi. Kalau saja waktu itu ketakutanku menang atasku sehingga aku melarikan diri dari ibadah pada hari itu, tentunya aku tidak akan bisa menerima sekotak hadiah manis darinya hari ini.

Beberapa bulan setelah pertemuan dengannya, kuhadapi persaingan sengit untuk merebutkan kursi memasuki sekolah idamanku. “Tuhan, hatiku ada di pilihan pertamaku, aku ga bisa membayangkan terlempar ke pilihan ke dua ini,” doaku sungguh memohon. Namun, meski aku telah berdoa seperti itu, Tuhan tidak menghindarkanku dari tangisan setelah melihat pengumuman di website sekolah itu.

Aku terlempar, tidak terkualifikasi untuk menjadi siswa di pilihan pertamaku. Dengan hati yang masih sedih, kuuruslah dokumen-dokumen yang diperlukan, mendaftar di pilihan ke duaku dengan berat hati. Yang aku lakukan hanyalah mencoba—mencoba merelakan pilihan pertamaku gugur.

Satu bulan berlalu, rupanya aku berkawan erat dengan teman-teman di kelasku, di sebuah sekolah yang bukan pilihan pertamaku. Betapa manisnya sikap mereka padaku—bagaimana mereka memujiku karena hal-hal kecil, bagaimana mereka menggunakan kata “aku-kamu” saat berbicara denganku, bagaimana mereka menyimak pengumumanku, hingga hal yang paling sulit diterima; bagaimana mereka memelukku saat aku menangis.

Dua peristiwa yang kualami ini mungkin terkesan remeh dalam dunia orang dewasa yang tentunya telah mengalami lebih banyak asam dan garam kehidupan, tapi tetaplah suatu bukti nyata bahwa Tuhan hadir dalam tiap cerita hidup anak-anak-Nya. Entah kamu masih remaja, sudah kuliah, bekerja, hingga lanjut usia pun Tuhan tetap menyayangi kita. Kasih-Nya tidak diukur berdasarkan siapa kita, tetapi karena Dia adalah kasih itu sendiri.

Rencana Tuhan yang kurasakan amat luar biasa. Biasanya ketika ketemukan ayat dari Yeremia 29:11 di ibadah-ibadah gereja atau teks-teks yang kubaca, kupikir aku tidak akan pernah merasakan janji Tuhan itu bahwa Dia akan memberikan rancangan damai sejahtera dan hari depan yang penuh harapan. Namun, plot twist tak terduga yang Tuhan tuliskan dalam kisah hidupku telah membuktikan bahwa Dialah sutradara terkeren yang pernah ada di sepanjang zaman!

Bagaimana denganmu? Plot-twist apa yang sedang kamu alami?

*Grace Angelique adalah siswa kelas X, salah satu peserta workshop menulis WarungSaTeKaMu pada 1 September 2023.

Kamu diberkati oleh artikel ini? Yuk dukung pelayanan WarungSaTeKaMu ♥

Kulihat Betapa Baiknya Tuhan Melalui Sakitnya Papaku

Oleh Agustinus Ryanto

Tahun 2022 tak pernah kubayangkan akan semengerikan ini. Setelah serangkaian kejadian yang memahitkan hati, di akhir Maret kudapati telepon mendadak di tengah malam yang mengabariku kalau papaku yang bertubuh prima tanpa ada riwayat sakit apa pun kini tergolek tak berdaya, di batas antara hidup dan maut. Dia dilarikan ke ICU setelah kecelakaan tiga hari sebelumnya. Nyawanya ditopang oleh deru ventilator dan alat monitor jantung.

Telepon itu kuterima jam sebelas malam. Sudah tak ada lagi kendaraan antarkota yang bisa membawaku pulang ke. Sembari menunggu bus pertama yang akan berangkat jam lima subuh, pikiranku kacau. Tak menyangka apabila peristiwa yang musababnya terdengar konyol bisa menghancurkan hidup papaku. Kisah nahas ini bermula saat papaku beserta istri dan anaknya yang lain tengah berjalan-jalan di kompleks perumahan. Karena melihat ular, dia melompat dan terperosok ke selokan sedalam kira-kira tiga meter. Bonggol sendi yang menghubungkan tulang paha dan pinggangnya patah. Setelah serangkaian pengobatan non-medis yang dilakukan, keadaannya terus memburuk sehingga dia pun dilarikan ke ICU. Patah tulang itu turut membangkitkan penyakit lain dalam tubuhnya. Dia didiagnosis Pneumonia dan PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronis), komplikasi pada paru-paru yang diakibatkan paparan asap rokok dan polusi, juga infeksi pada ususnya.

Dua belas malam kuhabiskan menemaninya di tepi ranjang. Banyak orang datang memberiku penghiburan dan dukungan, tetapi itu tak menghilangkan rasa heran dalam benakku.

Papaku bukanlah orang yang dekat dengan Tuhan. Di balik tubuh tegapnya, dia memang seorang perokok berat yang bisa menghabiskan tiga bungkus rokok dalam sehari. Keluarga kami pun retak setelah keputusan papa untuk meninggalkan kami dan membangun hidup barunya bersama orang lain. Beberapa orang yang dulu pernah disakiti olehnya menyebut bahwa sakit ini adalah karma atas tindakan papa, tetapi hatiku menolak konsep itu.

Sungguhkah Tuhan menghukum papa dengan intensi untuk membalaskan dendam?

Cara pemulihan yang tak terbayangkan

Hingga hari ini, papaku masih tergolek lemah tak berdaya. Kondisi fisiknya yang telah membaik, kembali memburuk. Namun, pengalamanku selama 12 hari berada di sisinya memberiku sebuah pemahaman baru tentang apa itu pemulihan yang sejati, yang datangnya dari Sang Ilahi.

Dunia memaknai konsep pulih berdasarkan ekspektasi manusia. Yang rusak menjadi utuh. Yang hilang menjadi ditemukan. Yang sakit menjadi sembuh. Pemulihan yang setiap kita harapkan adalah sebuah keadaan yang secara kasat mata berbalik 180 derajat. Tetapi, tak selalu pemulihan itu memberikan hasil yang demikian. Alkitab mencatat akan kisah Lazarus yang sakit hingga ia pun meninggal.

Kabar sakitnya Lazarus telah disampaikan oleh Maria dan Marta. Mereka berseru, “Tuhan, dia yang Engkau kasihi, sakit.” (Yohanes 11:3). Kita bisa menerka bagaimana perasaan kedua wanita tersebut menghadapi saudara mereka yang kesakitan. Mungkin mereka panik, gusar, dan berharap agar mukjizat kesembuhan segera dinyatakan oleh Yesus. Ketika mendengar kabar itu, Yesus pun merespons. Kata-Nya, “Penyakit itu tidak akan membawa kematian, tetapi akan menyatakan kemuliaan Allah, sebab oleh penyakit itu Anak Allah akan dimuliakan” (ayat 4). Alih-alih segera berangkat, Yesus malah sengaja tinggal dua hari lebih lama, dan ketika Dia tiba, Lazarus telah terbaring empat hari lamanya dalam kubur. Maria dan Marta mengungkapkan rasa sedih dan kecewanya pada Yesus dengan berkata, “Tuhan sekiranya Engkau ada di sini, saudaraku pasti tidak mati” (ayat 21&32).

Yesus mengerti dukacita yang Maria dan Marta alami sehingga Dia pun turut menangis (ayat 35). Syahdan, mukjizat pun terjadi. Oleh kuasa-Nya, Yesus membangkitkan Lazarus dari kematian. Kita tidak tahu bagaimana respons Maria dan Marta terhadap kebangkitan saudaranya itu sebab Alkitab tidak mencatat lebih detail. Tetapi, kebenaran yang kupetik dari kisah Lazarus ini begitu menguatkan hatiku.

Betapa Tuhan bekerja dengan cara-Nya sendiri yang tak mampu kita jelaskan dengan jalan pikiran kita. Pemulihan yang sejati, yang datang dari Tuhan bukanlah membalikkan keadaan agar sesuai dengan harapan dan kehendak kita, tetapi agar Allah dimuliakan dan kemuliaan-Nya itulah yang akan membawa orang-orang percaya kepada Dia yang diutus Bapa (ayat 42). Ada kalanya cara pemulihan-Nya membuat kita tak percaya. Mungkin Tuhan mengizinkan sakit berat, kehilangan, atau dukacita terjadi, tetapi jika itu adalah kehendak-Nya, maka biarlah itu terjadi, sebab kita tahu bahwa Allah adalah kasih (1 Yoh 4:16) dan segala jalan-jalan-Nya sempurna (Mzm 18:31). Bukan untuk membawa kecelakaan bagi kita, tetapi untuk mendatangkan kebaikan. Bukan sebagai karma dan hukuman agar kita menderita tak berdaya, tetapi sebagai dekapan kasih-Nya agar kita tahu bahwa di tengah dunia yang telah jatuh dalam dosa, segala hal buruk bisa menimpa, tetapi orang yang percaya dan dikasihi-Nya dipelihara-Nya selalu dalam segala musim kehidupan.

Di tengah malam, kala kuusap rambut papaku, kuajak dia berdoa dan bernyanyi. Dengan suara lemah dan tetesan air mata, dia mengikuti ucapan doaku. Dia yang menghilang jauh dari keluarga dan Tuhan Yesus, kembali mengucap lewat mulutnya bahwa Kristus adalah Juruselamat dan dia pun bersemangat untuk pulih, untuk kelak dalam tubuhnya memuliakan Tuhan.

Hingga hari ini papaku masih tergolek lemas di rumah sakit. Operasi telah dilakukan, bahkan sudah dibolehkan pulang, tetapi ada penyakit lain yang menggerogoti tubuhnya yang membuatnya kembali lagi dilarikan ke bangsal perawatan, dengan selang oksigen dan sonde yang masuk ke dalam tubuhnya.

Masa-masa ini sungguh tidak mudah, tidak hanya untuk papaku, bahkan untuk aku cerna juga. Rasanya seperti masuk ke dalam terowongan yang gelap dan aku belum bisa melihat cahaya di ujung sana. Namun satu yang aku percaya, apabila Tuhan berkenan memberikan kesembuhan saat ini juga, maka mudah bagi-Nya seperti membalikkan telapak tangan. Namun, apabila Dia mengizinkan papaku melewati proses yang lebih berat dan lama, maka aku percaya tentunya Tuhan punya maksud, dan maksud-Nya selalu baik. Jadilah kehendak-Nya di bumi seperti di surga. Hanya, kumohonkan dalam hati agar dalam segala keadaan, kami tak pernah melepaskan iman percaya kami kepada-Nya. Sebab iman itulah yang menjadikan kami hidup, dan iman itu jugalah yang kelak akan membawa kami menyaksikan kemuliaan-Nya dinyatakan bagi kami maupun semua orang yang percaya kepada-Nya.

Penderitaan yang Tak Akan Menjatuhkanmu

Oleh Toar Luwuk, Minahasa

Aku adalah seorang mahasiswa semester akhir, yang juga terlibat dalam pelayanan mahasiswa. Aku bersyukur karena terlibat dalam pelayanan ini mengajariku banyak hal yang menolongku bertumbuh bersama-sama dengan mahasiswa lain. Wadah pelayanan ini pun menjadi tempat perjumpaanku dengan Kristus. Aku menerima-Nya sebagai Tuhan dan Juruselamat secara pribadi.

Suatu saat, tim pelayanan kami sedang mempersiapkan suatu kegiatan dan membutuhkan dana. Kami memutuskan untuk mencari dana dengan menawarkan paket kue ke rumah-rumah warga. Selain melakukan pencarian dana, kami juga melakukan pelayanan doa bagi keluarga yang rumahnya kami sambangi. Di satu rumah, terjadi perbincangan.

“Jadi, selain kami melakukan pencarian dana, kami melakukan pelayanan doa bagi setiap keluarga yang telah dikunjungi. Jika ibu tidak sibuk, mari sama-sama berdoa”, kataku.

“Oh iya bisa, dek. Kebetulan baru selesai memasak”, jawab si ibu dengan penuh senyuman.

“Jadi, sebelum berdoa, apakah dari keluarga ada hal-hal khusus yang bisa didoakan?” tanyaku.

“Doakan saja semoga sehat-sehat dan semoga tidak mengalami masalah atau kesusahan”, jawab si ibu.

Setelah berdoa kami mengucapkan terima kasih dan melanjutkan kegiatan pencarian dana

Dan setelah beberapa rumah kami melakukan hal yang sama, terjadi obrolan yang serupa.

“Apakah dari keluarga ada hal-hal khusus yang bisa didoakan?” tanyaku.

“Doakan diberikan kesehatan dan diberikan kekuatan menghadapi pergumulan”, kata bapak dan ibu. Dari sharing singkat rupanya keluarga itu sedang mengalami pergumulan finansial.

Dari kedua jawaban di atas terdapat perbedaan sikap:

1. Yang pertama meminta untuk dijauhkan dari masalah/kesusahan
2. Yang Kedua meminta untuk dikuatkan dalam menghadapi pergumulan

Dari kedua jawaban tersebut, timbul kejanggalan dalam benak pikiranku dan memutuskan untuk merenungkan hal ini untuk mengetahui apa sebenarnya yang Tuhan ingin sampaikan kepadaku lewat kejadian hari itu.

Masalah selalu datang dalam bentuk penderitaan atau kesusahan. Oleh karena itu, semua orang tidak menyukainya. Banyak juga orang Kristen mengharapkan hidupnya selalu mulus tanpa mengalami masalah atau penderitaan. Bahkan ada yang melibatkan diri dalam pelayanan hanya karena meyakini hidupnya akan selalu diberkati hingga berlimpah-limpah dan enak-enak saja.

Aku pikir pemahaman seperti itu keliru dan itu bertentangan dengan Lukas 9:23 yang tertulis, “Kata-Nya kepada mereka semua: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku.”

Penderitaan atau masalah bisa menjadi sarana kasih Allah kepada kita. Ibarat sebuah permainan yang untuk naik level kita perlu menghadapi tantangan, dalam hidup pun kadang rumus tersebut berlaku.

“Sebab kamu tahu, bahwa ujian terhadap imanmu itu menghasilkan ketekunan. Dan biarkanlah ketekunan itu memperoleh buah yang matang, supaya kamu menjadi sempurna dan utuh dan tak kekurangan suatu apa pun” (Yakobus 1:3-4).

Alih-alih membuat kita jatuh tak berdaya, tujuan dari penderitaan adalah supaya naik level. Untuk bisa naik tingkat, caranya adalah dengan taat dan berserah kepada Dia yang berdaulat atas hidup kita. Ujian-ujian hidup juga menjadi sarana agar kita terus dimurnikan dan dibentuk, supaya makin serupa dengan Dia. Kedagingan kita perlahan akan terkikis ketika kita tekun menghadapi penderitaan.

Sebagai orang Kristen, bagaimana sikap kita merespon masalah yang terjadi?

Tak mudah untuk menghadapi penderitaan. Aku pun sering emosi duluan jika ada masalah yang datang dan mungkin orang lain pun seperti itu. Seperti yang tertulis dalam kitab Yakobus 1:5-7, “Tetapi apabila di antara kamu ada yang kekurangan hikmat, hendaklah ia memintakannya kepada Allah, – yang memberikan kepada semua orang dengan murah hati dan dengan tidak membangkit-bangkit –, maka hal itu akan diberikan kepadanya. Hendaklah ia memintanya dalam iman, dan sama sekali jangan bimbang, sebab orang yang bimbang sama dengan gelombang laut, yang diombang-ambingkan kian kemari oleh angin.”

Ketika penderitaan datang, kita dapat berdoa minta hikmat dengan penuh kesungguhan hati dan jangan goyah. Seperti cerita di awal tulisan tadi, alangkah lebih baik jika kita berdoa bukan untuk menjauhkan masalah, tetapi meminta hikmat dan kekuatan menghadapi penderitaan. Kita tidak berjalan sendiri. Ada Tuhan yang setia menyertai kita, dan bersukacitalah jika kita berada dalam masalah. Dengan iman kita mengetahui bahwa penderitaan sementara ini adalah cara Tuhan membentuk kita makin serupa dengan Dia.

Ujian Piano Bersama Tuhan

Oleh Aretha Nathania, Surabaya

Sudah jam enam pagi, aku masih tertidur pulas di bantalku yang empuk dan merasa malas untuk bangun dari tempat tidur. Papaku membangunkanku dengan melepas sprei dan menutupinya di seluruh badanku seperti aku sedang dikubur. Namun, aku masih juga belum berniat bangun. Papa pun berteriak, “Ayoo bangun, udah jam berapa ini, Tatataaa”. Suara papa membuatku sungguh jengkel dan terganggu.

“Apa sih… masih ngantuk jangan teriak-teriak, dong!” kataku dengan kesal.

“Udah jam berapa ini! Mau les piano, tidak?” Papa balik bertanya.

“Iya…iya… sabarrr,” jawabku sambil memaksa diri untuk bangun.
Sebelum beranjak dari kasur, aku tidak lupa untuk berdoa kepada Tuhan karena telah memberikanku perlindungan semalaman aku tidur.

Dengan rambut yang kusut dan wajah yang masih malas, aku bergegas lari ke bawah untuk sarapan sebentar kemudian mengambil tas untuk les piano. Aku masuk ke dalam mobil dan papaku mengantarku ke tempat les. Di sela-sela perjalanan, aku selalu meminta papa untuk memutarkan satu atau dua lagu. Terkadang, aku tidak bisa mendengarkan musik karena radio di mobilku rusak dan mengeluarkan bunyi bising. Jika aku bosan di mobil, maka aku memandang pemandangan di luar. Tempat lesku adalah tempat tinggal guruku. Lokasinya berada tidak jauh dari rumahku sekitar 5,3 km perjalanan.

Sesampainya di tempat les, aku disambut oleh guruku. Dia bertanya, “Tadi sudah latihan belum di rumah?”

“Hehe…uhh belum sih, miss, soalnya sibuk ada banyak tugas sekolah jadi tidak sempat”, kataku sambil tertawa kecil.

Guruku sambil tertawa menjawab, “Ya udah, ayo latihan coba dulu, miss mau dengar.”

Aku memberikan usahaku sepenuhnya untuk memainkan lagu yang akan diujikan di ujian piano beberapa minggu lagi, judul lagunya adalah Swan Lake. Lagu ini cukup panjang, sekitar dua lembar. Untungnya, aku sudah menguasai lagu tersebut sejak awal persiapan sehingga penampilanku bisa lebih matang.

Guruku merespons, “Sudah bagus, cuma coba kamu mainkan temponya dari kecil ke keras gitu ya.”

”Haruskah temponya diperbaiki miss? Toh ya, tempo yang kumainkan sudah betul,” kataku dengan yakin.

“Mau menang apa tidak nanti ujiannya? Nicho loh udah bisa, jangan mau kalah.” Nicho adalah saudaraku yang satu les denganku.

Aku berkata, “Huhh…baiklah, miss.”

Selang beberapa menit ke depan, aku memainkan lagu tersebut berulang-ulang sampai aku mahir. Seiring waktu, aku menunjukkan kemajuan dalam lagu yang kumainkan.

Sudah satu jam aku latihan dan sudah waktunya papa menjemputku. Selama menunggu, aku duduk di sofa depan pintu rumah guruku dan berbincang dengannya.

“Miss?” tanyaku.

“Apa, Ta?”

“Kenapa sih setiap aku latihan tetap tidak bisa mahir sedangkan orang lain bisa memainkannya dengan mahir dengan hanya latihan beberapa hari saja?” tanyaku heran.

“Ya, gapapa. Semua orang kan punya kelebihan dan kekurangan masing-masing. Jangan disamakan, Ta. Kamu kan juga pintar dan sudah lebih bisa mainnya”, jawab guruku.

Hampir, aku tidak percaya dengan kata-kata guruku yang berkata “kamu kan juga pintar”. Aku merasa kenyataannya tidaklah begitu.

Beberapa hari di rumah, aku latihan berkali-kali. Karena latihanku yang sangat keras, aku sampai tidak berselera untuk makan dan aku sering melamun meragukan kemampuan musikku. Aku tidak bisa tidur beberapa malam dan kadang aku bermimpi buruk. Bahkan, saat tidurku aku berusaha menghafal lagi lagu yang kumainkan.

Setiap latihan, aku sering menangis karena tidak bisa memainkannya tanpa ada kesalahan sedangkan saudaraku bisa bermain dengan baik dengan hanya latihan beberapa minggu. Hal tersebut membuat aku tambah depresi sampai suatu saat aku mendobrak pintu kamar dan melempar beberapa barang karena tidak bisa memberikan penampilan terbaikku kepada orang tuaku.

“Mengapa aku tidak bisa bermain dengan sempurna untuk satu hari saja?!”, teriakku dengan nada tinggi.

Aku jatuh di lantai dan menangis sekeras-kerasnya tapi orangtuaku tidak mengetahui jika aku menangis. Mereka memang tidak suka kalau melihat aku bersikap cengeng dan menangisi hal kecil. Namun, bagiku ini bukan hal kecil, ini adalah hal besar yang benar-benar harus aku hadapi. Waktu sudah berjalan, tidak lama lagi ujian online piano akan dimulai. Aku harus benar-benar siap. Aku menguatkan diriku dan segera bangkit dari lantai dan mengulangi latihanku. Tiap hari, aku mendapatkan komentar dari guru pianoku tentang nada yang terlalu tinggi atau rendah, tempo yang kurang pelan atau cepat, dan sebagainya. Namun, aku mengambil komentar itu sebagai motivasi dan pelajaran sehingga dapat meningkatkan penampilanku saat ujian piano nanti.

Ketika hari ujian online piano tiba, banyak tantangan yang aku temui seperti menyempurnakan tempo, penampilan, nada, irama, gestur badan yang harus tegak saat bermain, dan emosi yang dituangkan saat bermain, serta yang menurutku paling penting adalah fokus. Tapi, puji Tuhan! Aku berhasil menaklukkan itu semua. Dengan pertolongan Tuhan yang memampukanku untuk bekerja keras dan latihan yang tak kenal lelah, aku berhasil mendapatkan juara 3 (DISTINCTION) dalam ujian piano.

Orang tua dan guruku sangat bangga kepadaku dengan pencapaian yang kuraih. Saat aku menaruh piala musikku di dalam lemari kamarku, aku berkata kepada diri sendiri “You made it, thank you for not giving up on yourself.”

Hal yang aku pelajari dari pencapaianku adalah aku selalu mempunyai harapan di dalam Tuhan, dan Tuhan selalu menyatakan kasih dan anugerah-Nya padaku. Mungkin Dia tidak memberiku talenta sebanyak orang lain atau kemampuan untuk bisa melakukan sesuatu secara otodidak, tapi Dia mengajarkanku arti dari kerja keras dan ketekunan.

Aku ingat saat renungan di kelas, guruku membaca sebuah ayat Alkitab yang diambil dalam Amsal 6:6-8 yang berkata demikian, “Hai pemalas, pergilah kepada semut, perhatikanlah lakunya dan jadilah bijak: biarpun tidak ada pemimpinnya, pengaturnya atau penguasanya, ia menyediakan rotinya di musim panas, dan mengumpulkan makanannya pada waktu panen.”

Ayat Alkitab ini mengajarkan bahwa kemalasan tidak akan membuahkan hasil apapun, tetapi ketekunan akan membawa keberuntungan bagi kita.

*Aretha Nathania merupakan siswi SMP di salah satu sekolah di Surabaya. Ini adalah tulisan pertamanya.

Berhasil atau Gagal, Ingatlah Bahwa Tuhanlah yang Menulis Cerita Hidupmu

Oleh Aryanto Wijaya

Kemarin (14/6), ungkapan bahagia muncul di beberapa Instagram story teman-temanku. Mereka lolos seleksi masuk perguruan tinggi. Tak ketinggalan, sekolah yang menjadi almamaterku juga membuat postingan yang berisi ucapan selamat atas siswa-siswinya yang berhasil menembus seleksi akbar tersebut.

Tatkala teman-teman yang berhasil menumpahkan haru bahagianya, ada pula teman-teman yang gagal dalam seleksi tersebut. Beberapa sanggup berlapang dada, tapi beberapa lainnya kecewa dan memilih untuk menyembunyikan diri untuk sejenak.

Euforia yang bercampur aduk dalam seleksi masuk perguruan tinggi negeri—was-was, takut, kecewa, senang, atau sedih—juga pernah kualami ketika aku jadi siswa SMA. Aku yang belajar di sekolah swasta pernah punya semangat membara untuk masuk ke perguruan tinggi negeri favorit. Semangat itu mewujud dalam upaya belajar pantang lelah, ikut bimbel yang konon katanya menambah peluang bisa diterima, dan lain-lainnya. Tapi, jalan hidupku pada akhirnya tidak mengantarku studi ke kampus negeri yang kudambakan. Aku kuliah di kampus swasta dan bekerja pula di sektor swasta sampai detik ini.

Namun, hal yang menarik dari impian yang gagal terwujud itu ialah, jalan hidup kita terlalu panjang untuk didefinisikan hanya oleh satu pertandingan. Bayangkanlah kamu diberi Tuhan usia selama 70 tahun. Apakah perjalanan hidup di seluruh usia tersebut suram hanya karena kegagalan di satu babak pada usia 18 tahun? Jika 70 dikurangi 18, maka ada sisa waktu sepanjang 52 tahun, waktu yang panjang untuk kita isi dengan banyak hal yang berarti.

Ada satu kisah menarik dari Alkitab yang pesannya tetap bergema dan relevan bagi kita di masa kini, meskipun memang kisah ini tidak bicara spesifik tentang gagal ujian masuk kuliah karena toh pada zaman Alkitab belum ada institusi perguruan tinggi.

Kita ingat dengan kisah Yusuf yang hidupnya dipenuhi kemalangan karena rasa iri hati saudara-saudaranya. Yusuf dilemparkan ke dalam sumur dan dijual kepada orang Mesir. Seorang anak yang paling disayang oleh ayahnya dipisahkan secara paksa. Jika kita membayangkan ada di posisi Yusuf, sangatlah pedih tentu hati ini. Bertahun-tahun setelah terusir dari keluarganya sendiri, Yusuf bekerja di rumah Potifar lalu dijebloskan ke penjara karena menolak ajakan bersetubuh dari istri sang tuan rumah. Dari kacamata manusia, kita melihat ini sebagai kemalangan yang bertubi-tubi bagi Yusuf.

Namun, ada hal yang menarik yang bisa kita cermati. Kejadian 39:21 menulis demikian:

“Tetapi TUHAN menyertai Yusuf dan melimpahkan kasih setia-Nya kepadanya…”

Kalimat “Tuhan menyertai” ini muncul di tengah kemalangan berat yang Yusuf hadapi. Tak hanya tertulis satu kali, pada ayat-ayat lainnya (Kej 39 ayat 2, 21, 23) juga tertulis demikian.

Hidup di dunia ini menawarkan kejutan demi kejutan, termasuk kegagalan, jadi anggaplah sebagai keindahan hidup yang harus kita nikmati ketika kita menghadapi kegagalan. Dengan begitu hidup menjadi tidak membosankan, kita tidak harus seperti robot yang harus selalu sesuai dengan rencana yang ditetapkan.

Bukankah hanya orang mati yang tidak akan pernah gagal? Karena ia tidak mencoba untuk melakukan apapun dan tidak menjadi apapun. Jadi kalau kita berkeinginan untuk tidak pernah gagal, kita sama saja dengan orang mati. Oleh karena itu, kegagalan yang kita alami hari ini sesederhana menunjukkan bahwa kita sedang berproses dalam hidup.

Ketika kegagalan menghadang, kita mungkin berpikir bahwa itu dihadirkan Allah sebagai hukuman atas perbuatan kita. Tetapi, bukan soal hukuman atau tidak yang seharusnya kita pusingkan, karena kita tahu bahwa Allah adalah kasih (1 Yoh 4:8), dan segala sesuatu diizinkan Tuhan untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yang terpanggil sesuai dengan rencana-Nya (Roma 8:28).

Tidak masalah apabila ada di antara kita yang ingin meluangkan waktu-waktunya sejenak untuk meratap dan kecewa atas kegagalan masuk di perguruan tinggi negeri, tetapi kembalilah tenang dan ingat bahwa dalam gagal atau berhasil, Tuhanlah yang menulis cerita hidup kita.

Gagal dalam masuk perguruan tinggi tidak mutlak karena kita kurang berusaha atau bodoh, karena perguruan tinggi negeri diminati oleh ratusan ribu hingga jutaan siswa, sedangkan kuota yang tersedia tidak sepadan dengan tingginya peminat. Alhasil, tentu ada orang-orang yang harus tersingkir dari kompetisi ini.

Janganlah kiranya kamu berkecil hati dan padam semangatmu. Kegagalan adalah bagian yang tak terelakkan dalam kehidupan. Cepat atau lambat, sengaja atau tidak, hidup akan mengantar kita untuk menjumpai kegagalan dalam aneka bentuk yang lain. Tetapi, sekali lagi, ingatlah bahwa dalam berhasil atau gagal, Tuhanlah yang menulis cerita hidup kita.

Teruntuk teman-teman yang gagal, damai dan ketenangan dari Tuhan kiranya mendekapmu dengan hangat agar esok kamu bisa bangkit kembali dan menikmati perjalananmu bersama Tuhan, sang penulis hidup.

Baca Juga:

Lebar atau Sempit: Mana yang Kau Pilih?

Jalan lebar dan sempit sering dianalogikan sebagai dua sikap dalam mengikut Yesus. Ketika kita harus memilih salah satu dari dua jalan ini, apa sih yang seharusnya kita ketahui dari keduanya?

Berkat di Balik Pilihan yang Tampaknya Salah

Oleh Vina Agustina Gultom, Taiwan

Diperhadapkan dengan dua pilihan biasanya jadi momen yang memusingkan, namun bisa juga menyenangkan. Memusingkan karena mau tidak mau harus pilih salah satu, tapi satu sisi bisa jadi menyenangkan karena kita masih punya pilihan. Contoh, pilih beasiswa A atau B? Pergi ke Raja Ampat atau Perth? Abang ini atau si mas itu?

23 Mei 2019 menjadi momen memusingkan untukku karena aku diperhadapkan pada dua pilihan: ikut ujian seleksi dosen atau ujian seleksi di industri otomotif? Dua bidang pekerjaan yang berbeda, tapi sama-sama di tempat yang bergengsi.

Kalau kulihat jalinan benang merah hidupku, aku punya passion dalam mengajar. Tapi, aku tak bisa hanya melihat dari satu sisi saja. Aku berpikir, kira-kira di ujian yang mana aku paling berpeluang lolos? Jika memang aku ikut ujian dosen dan lolos, apakah ini benar-benar kehendak Allah? Bagaimana jika ikut ujian di industri otomotif yang ternyata jadi kehendak-Nya? Atau, bagaimana kalau malah bukan keduanya?

Aku pun berdoa, memohon agar Tuhan membuatku peka akan pilihan mana yang paling baik untuk kuambil. Aku juga berdiskusi dengan orang tua, kakak, dan sahabatku. Aku yakin mereka dapat dipakai Tuhan untuk memberiku jawaban. Mereka menyarankan supaya aku ikut ujian seleksi dosen, tapi tetap mencoba bernegosiasi dengan industri otomotif apakah memungkinkan jika jadwal ujianku di sana diundur.

Waktu terus berjalan, pesan dalam bentuk posel (email)tak kunjung dibalas. Dengan iman, kuserahkan pilihan ini pada Tuhan. Kusiapkan diriku sebaik-baiknya sampai akhirnya pada hari pengumuman, ternyata aku dinyatakan gagal.

Sedih. Sangat sedih. Pikiran liar pun mulai menggerogoti, “Kenapa kemarin gak pilih ujian di industri otomotif aja!” Kalimat penyesalan dan kekecewaan yang sulit untuk tidak kupikirkan dan kuucapkan.

Berkat di balik pilihan yang tampaknya salah

Di tengah rasa sedihku, aku coba mengingat perkataan sahabatku, “Jangan lihat berkat Tuhan itu hanya dari ketika kamu mendapatkan sesuatu yang kamu inginkan, tapi lebih dari itu, berkat Tuhan sama indahnya di tengah kegagalanmu sekalipun. Walau kadang kamu baru menyadarinya setahun, dua tahun, atau bahkan 10 tahun setelah kegagalan itu terjadi.”

Perkataan sahabatku itu benar. Berbulan-bulan setelahnya, tepatnya pada tanggal 25 April 2020 aku merasa takjub. Meski aku tidak lolos ujian dan menjadi dosen di universitas itu, aku tetap diajak untuk mengikuti Pendalaman Alkitab (PA) dengan komunitas pasca sarjana yang berasal dari kampus tersebut. Ceritanya, pada tanggal 28 Mei 2019, waktu sebelum aku mengikuti ujian seleksi, seniorku mengenalkanku dengan alumni pengurus persekutuan mahasiswa Kristen pasca sarjana. Alumni itu rupanya ikut ujian seleksi bersamaku. Beliau bertanya, apakah aku orang Kristen atau bukan? Aku kaget, menanyakan tentang iman seseorang agaknya jarang jadi pembuka obrolan. “Ya, aku Kristen,” jawabku. Dia lalu mengajakku ikut kelompok PA di daerah Dago. Karena aku butuh oase pasca ujian, aku mengiyakan ajakan itu.

Ketika PA berlangsung, kami saling berkenalan, membahas materi, berdoa, dan foto bersama. Kegiatan-kegiatan ini sudah biasa terjadi saat ber-PA dalam kelompok. Namun, yang jarang terjadi adalah aku diundang untuk langsung masuk ke dalam grup WhatsApp mereka. Pikirku, “Untuk apa? Aku hanya ikut kelompok PA ini sekali. Aku tidak bisa ikut pendalaman Alkitab lagi dengan kalian, karena terpaut oleh jarak. Aku di Bekasi dan kalian di Bandung”. Tapi sebagai bentuk penghormatanku, aku mengiyakan undangan itu.

Meski telah berbeda kota, aku tetap berkomunikasi dengan mereka. Sampai akhirnya pada tangggal 25 April 2020, aku kembali bisa ikut PA bersama mereka walau secara virtual dari tempat kami masing-masing akibat dampak dari pandemi. Bersyukur dengan pandemi ini juga, aku diajarkan bahwasanya jarak itu bukan penghalang kita untuk melakukan PA bersama.

Dari pengalaman sederhanaku ini, aku jadi mempunyai slogan, “Gagal ujiannya, dapatin komunitasnya.” Ya bagiku ini penting, karena setidaknya walau kita gagal untuk berkarya di tempat yang kita tuju, namun kita mendapatkan komunitas yang berlatar belakang sama, yang akhirnya dapat memahami dan mengerti keadaan kita, bahkan memberikan solusi dengan saling berbagi informasi mengenai lowongan mengajar lainnya.

Mengutip sebuah kalimat dari saat teduhku tanggal 27 Juli 2019, tertulis begini:

“If you’re discouraged by some failure today, remember that Jesus may use it to teach you and lead you forward in your service for Him”

“Jika kamu kecewa karena kegagalan hari ini, ingatlah bahwa Yesus dapat memakainya untuk mengajar dan memimpin kamu melangkah maju dalam pelayananmu kepada-Nya”

Ketika pilihan yang kita ambil mengantar kita pada kegagalan, cobalah untuk melihat dari sudut pandang Allah. Segala hal dapat dipakai-Nya untuk membawa kebaikan bagi kita, selama kita bersedia untuk percaya. Jadi, kalau kamu jadi aku, kamu pilih yang mana? Larut dalam kegagalan atau dapatin komunitasnya?

Selamat memilih untukmu yang sedang di rumah aja.

Baca Juga:

Kelulusan yang Tertunda: Momen untuk Memahami Kehendak Tuhan

Ketika studi S-3ku hampir selesai, dosen pembimbing memberiku opsi untuk menunda kelulusan. Opsi ini sulit, sungguhkah ini kehendak Tuhan? Tapi, dari momen inilah aku jadi belajar bagaimana dan seperti apakah itu kehendak Tuhan.

Aku Gagal Masuk SMA Favorit, Tapi Aku Belajar untuk Tidak Larut dalam Kekecewaan

Oleh Anatasya Patricia, Bontang

Saat aku naik ke kelas 9 SMP, aku mulai menyiapkan banyak hal yang bisa mendukung pembelajaranku supaya nanti aku mendapat nilai yang memuaskan di Ujian Nasional dan bisa diterima di SMA favorit yang kudambakan. Aku belajar mati-matian. Aku ikut bimbingan belajar di sekolah, dan juga les privat di rumah. Pun, aku selalu berdoa supaya Tuhan mengabulkan permintaanku.

Setelah Ujian Nasional usai, aku menunggu pengumuman hasilnya. Aku memikirkan kembali perjuangan-perjuangan yang sudah kulakukan sampai maksimal dan juga doa-doa yang kumohon pada Tuhan. Meski aku ingin mendapatkan nilai yang memuaskan, dalam hatiku aku berpikir: “Tidak perlu dapat nilai sempurna. Yang penting nilainya cukup untuk masuk ke sekolah yang aku inginkan. Itu sudah cukup memuaskan buatku.”

Tapi, hasil ujian yang kuterima menyentakku. Nilai yang kuperoleh ternyata lebih kecil dari yang kuharapkan. Dari total empat mata pelajaran diujikan, aku hanya mendapat nilai 20,15 dari nilai sempurna 40,0 sedangkan untuk bisa diterima di sekolah itu nilai yang kudapat seharusnya lebih dari 24,00. Aku tidak dapat diterima di SMA favorit itu.

Aku kecewa.

Untuk sesaat pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Mengapa Tuhan tidak mengabulkan permintaanku untuk aku mendapatkan nilai Ujian Nasional yang baik? Mengapa Tuhan memberikan temanku nilai yang bagus hingga bisa diterima di sekolah itu tetapi aku tidak? Aku sedih. Tak terbayangkan olehku ketika segala perjuanganku untuk menggapai nilai maksimal berbuah dengan hasil yang tak kuharapkan. Aku pun sempat marah kepada Tuhan karena terus memikirkan mengapa Dia tidak sepemikiran denganku.

Tapi, dalam keadaan itu aku coba untuk menenangkan diriku. Aku tidak ingin kecewa ini berlarut-larut. Aku berdoa dan menyerahkan kembali diriku pada Tuhan dengan cara membaca Alkitab dan artikel-artikel rohani.

Hingga tibalah waktunya untukku mendaftar ke SMA. Dengan berat hati aku pun masuk ke SMA yang menurutku biasa-biasa saja. Aku merasa terpaksa masuk di SMA itu. Tapi, aku harus berbesar hati karena kalau aku tidak mau sekolah di sini, orang tuaku akan memindahkanku ke kota lain. Jadi, aku berusaha menyesuaikan diriku dengan sekolah ini.

Saat awal-awal masuk, beberapa guru ternyata adalah alumni dari SMA itu. Mereka bercerita kepadaku kalau mereka juga pernah mengalami hal yang sama denganku. Mereka ingin masuk ke sekolah impian mereka, tapi mereka gagal. Akhirnya mereka pun bersekolah di sekolah yang bukan prioritas mereka waktu itu. Namun, mereka tidak mau dicap sebagai murid yang buruk hanya karena tidak masuk di sekolah favorit. Kualitas murid tidak diukur hanya berdasarkan dia sekolah di mana, juga keberhasilan tidak selalu bisa diukur berdasarkan lingkungan tempat dia dibesarkan. Mereka belajar dengan giat dan mengandalkan Tuhan hingga mereka menjadi siswa yang bisa dibilang berprestasi sangat baik dan tidak kalah dengan lulusan dari sekolah-sekolah favorit lainnya. Setelah menyelesaikan studi di perguruan tinggi, mereka pun memutuskan kembali mengajar di SMA yang dulu mereka pernah belajar di dalamnya.

Sejujurnya, kisah yang dituturkan guruku itu tidak begitu membuatku bersemangat buat rajin belajar. Namun, seiring waktu aku merasa tidak mau diperbudak terus-terusan oleh rasa pesimis, kecil hati, dan malas. Saat aku merenung, aku pun teringat firman Tuhan dari Amsal 1:7 yang berkata: “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan, tetapi orang bodoh menghina hikmat dan didikan.” Firman itu menegurku. Aku belajar untuk mempraktikkan firman itu dalam kehidupanku. Hingga akhirnya, aku bisa mengikuti proses belajar mengajar di sekolah itu. Aku merasa nyaman dengan lingkungan sekolahku yang bersahabat, bersama guru-guruku yang tak hentinya menasihati kami para murid untuk mengerti dan mempraktikkan firman Tuhan.

Sekarang aku sudah duduk di kelas XI SMA dan aku bisa mengatakan bahwa aku betah dengan sekolahku. Teman-temanku di sini sangat baik, juga guru-gurunya. Mereka menyenangkan dan tulus berteman denganku. Kupikir kelas seperti ini hanya aku dapatkan jika aku sekolah di sini.

Puji Tuhan, saat hasil ujian dibagikan, aku mendapatkan hasil yang memuaskan. Aku bersyukur dan tak lagi merasa kecewa. Aku sadar bahwa apa yang kuinginkan belum tentu menjadi kehendak Tuhan. Tapi, semua hal yang Tuhan kehendaki adalah yang terbaik buat hidupku.

Aku percaya bahwa hal ini terjadi bukan secara kebetulan, tapi Tuhan sudah rencanakan supaya aku belajar bagaimana percaya kepada-Nya dalam setiap kejadian yang Dia izinkan terjadi dan juga tentang bagaimana aku bisa bersyukur meskipun aku mendapatkan sesuatu yang tidak sesuai keinginanku. Dan, yang terpenting adalah aku belajar bahwa di balik setiap peristiwa yang terjadi atas diriku, Tuhan punya rencana besar.

Sobatku, setiap kita pasti punya keinginan untuk masa depan kita. Tapi, ingatlah satu hal bahwa keinginan kita belum tentu sesuai dengan kehendak Tuhan tetapi kehendak-Nya sudah pasti yang terbaik untuk kita. Karena Tuhan memberi apa yang kita benar-benar butuhkan, bukan apa yang kita inginkan semata.

Tuhan memiliki rencana untuk setiap pribadi kita di masa yang akan datang. Oleh karena itu, janganlah kita khawatir akan hari esok karena Tuhan yang menyiapkan semuanya, seperti yang tertulis dalam Yeremia 29:11, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada pada-Ku mengenai kamu, demikianlah firman Tuhan, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.”

Allah berdaulat penuh atas kehidupan kita, jadi percayalah pada-Nya dengan segenap hati.

Baca Juga:

Tuhan Tidak Pernah Ingkar Janji, Dia Memelihara Keluargaku

Delapan tahun lalu keluargaku mengalami kesulitan ekonomi. Masalah demi masalah datang menghampiri kami, dan kami merasa berada di titik terendah dalam hidup, tapi Tuhan tidak pernah sedetik pun meninggalkan kami.

Satu Hal yang Kupelajari dari Kegagalanku di SNMPTN

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

Aku masih ingat bagaimana campur aduknya perasaanku saat hasil seleksi masuk perguruan tinggi negeri diumumkan. Kecewa, sedih, juga takut bercampur menjadi satu di dalam diriku saat aku dinyatakan tidak lolos.

Peristiwa itu terjadi beberapa tahun lalu. Waktu itu aku bersama saudari kembarku mendaftar lewat jalur SNMPTN Bidikmisi. Tidak ada tes tertulis untuk jalur ini, kami hanya perlu menyiapkan segala berkas yang menjadi prasyarat, mengirimkannya, dan menunggu hasil. Salah satu alasan kami mendaftar ke jalur Bidikmisi adalah karena keluarga kami mengalami kesulitan finansial. Jika kami bisa kuliah dengan beasiswa, tentu itu akan meringankan beban finansial keluarga. Saudariku diterima, sedangkan aku tidak. Ini membuat nyaliku ciut. Aku takut apabila aku tidak bisa kuliah di tahun itu.

Ayahku berusaha menenangkanku. Dia menyarankanku untuk mengikuti SNMPTN jalur tertulis yang akan diselenggarakan dalam empat minggu ke depan. Hari-hari yang kulalui terasa menegangkan. Aku tidak mengikut les persiapan ujian seperti yang dilakukan teman-temanku. Kendala biaya membuatku hanya belajar lewat buku latihan soal. Kata Ayah kalau aku tidak lolos di jalur ini maka aku harus bekerja. Mendaftar di jalur mandiri akan sangat mahal biayanya. Aku mengerti maksud ayahku dan tidak bisa menyalahkannya apabila nantinya aku gagal dan harus bekerja.

Selama masa persiapan itu, aku dipenuhi keraguan. Aku merasa tidak cukup pintar karena aku tidak bisa mempertahankan nilai untuk masuk peringkat 5 di kelas. Aku sangat ingin kuliah, tapi ragu jika aku bisa lolos seleksi SBMPTN. Pernah suatu ketika, saking stresnya aku sampai menangis hingga Ayah memelukku untuk menenangkanku. Ayah mendukungku bahwa apapun hasilnya nanti, dia akan menerimanya.

Di saat-saat penuh keraguan itu, satu hal lainnya yang menguatkanku adalah doa. Ketika aku berdoa, aku belajar untuk mengandalkan Tuhan dan menyerahkan semua proses ini kepada-Nya.

Hari ujian tiba. Dari sekian banyak soal, hanya sedikit yang mampu kujawab dengan yakin. Soal-soal IPS di ujian itu berstandar SMA, dan sebagai siswi SMK aku merasa soal itu terlalu luas cakupannya dibandingkan dengan apa yang kupelajari. Aku ragu, tapi aku belajar untuk tenang. Di halaman terakhir buku soal latihan, aku menuliskan “Noni Elina Kristiani S.S, Universitas Negeri Jember 2015” sebagai ungkapan harapanku. Kemudian aku berdoa dan menyerahkan hasil akhirnya kepada Tuhan. Yang penting aku telah berusaha semaksimal mungkin dan berlaku jujur.

Selang beberapa waktu, hasil ujian diumumkan. Waktu itu aku sedang retret di luar kota dan tidak bisa mengakses internet. Temanku membantuku untuk melihat hasil ujian itu. Hasilnya mengejutkanku, aku dinyatakan lolos dan siap menjadi mahasiswa di jurusan Televisi dan Film di Universitas Negeri Jember, universitas pilihan pertamaku.

Aku tidak henti-hentinya bersyukur kepada Tuhan. Jika diingat-ingat lagi, apa yang menjadi harapanku yang kutulis di halaman terakhir buku soal latihan SBMPTN itu telah Tuhan wujudkan. Di tahun 2015, aku menyelesaikan studiku, diwisuda, dan memperoleh gelar sarjana di belakang namaku. Apa yang dulu aku ragukan dijawab Tuhan dengan kepastian. Semuanya ini terjadi semata-mata karena kemurahan Tuhan.

Karena kemurahan-Nya pula, aku belajar memahami bahwa setiap proses yang terjadi dalam kehidupan ini bukanlah suatu kebetulan. Tuhan ingin supaya di dalam setiap proses itu kita boleh merasakan pengalaman bersama-Nya, sehingga kita mengenal-Nya tidak cuma berdasarkan apa kata orang, tapi benar-benar dari pengalaman kita sendiri, seperti Mazmur yang berkata: Kecaplah dan lihatlah betapa baiknya TUHAN itu! Berbahagialah orang yang berlindung pada-Nya (Mazmur 34:9). Pahit manis kehidupan boleh terjadi supaya kita sendiri dapat mengecap kebaikan Tuhan.

Tuhan itu sungguh baik dan Maha Pemurah. Tuhan baik bukan hanya karena Dia memberikan kesuksesan, tetapi juga melalui kegagalan yang dulu pernah kualami, Tuhan menggunakannya sebagai kesempatan untukku belajar mengenal karakter-Nya lebih dalam. Aku belajar untuk mengerti bahwa rancangan-Nya terkadang tidak dapat kuselami, tetapi dapat kuimani bahwa itulah yang terbaik.

Mungkin saat ini kita tidak menerima apa yang kita inginkan, tetapi Tuhan tahu apa yang sedang Dia lakukan. Tuhan ingin membentuk karakter kita dan Dia ingin kita tahu betapa kasih-Nya melimpah bagi kita semua.

TUHAN adalah baik bagi orang yang berharap kepada-Nya, bagi jiwa yang mencari Dia (Ratapan 3:25).

Baca Juga:

Doa yang Sulit

Kawan, sepanjang perjalananmu menjadi orang Kristen, adakah doa yang mudah kamu ucapkan tapi sulit untuk kamu lakukan?

Aku Tidak Lolos Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri, Haruskah Aku Kecewa?

aku-tidak-lolos-seleksi-masuk-perguruan-tinggi-negeri-haruskah-aku-kecewa

Oleh Louise Angelita Kemur, Jakarta

Jika aku mengingat kembali masa-masa ketika aku mulai kuliah, semua yang kudapatkan saat ini hanyalah anugerah. Aku pernah berharap bisa kuliah ke luar negeri untuk mendalami dunia seni dan desain, atau setidaknya masuk di perguruan tinggi negeri. Untuk mewujudkan impianku itu, sejak SMA aku berusaha keras untuk mendapatkan nilai yang bagus. Tapi, ternyata Tuhan berkata lain. Setelah lulus SMA, aku tidak berhasil mendapatkan beasiswa studi ke luar negeri ataupun masuk ke perguruan tinggi negeri yang aku inginkan.

Dulu tidak pernah terbayang dalam pikiranku kalau jurusan kuliah yang kuambil sekarang ternyata bertolak belakang dengan jurusan yang kuambil di SMA. Sekarang aku belajar tentang Bisnis, sedangkan di SMA aku masuk jurusan IPA. Ibuku adalah seorang dokter sehingga awalnya aku sempat mengira kalau aku akan kuliah di kedokteran nantinya.

Orangtuaku ingin salah satu anaknya meneruskan karier sebagai dokter. Lalu, guru-guru dan teman-temanku di SMA juga mendorongku untuk masuk ke jurusan kedokteran karena mereka beralasan kalau nilai-nilaiku yang baik itu akan memudahkanku untuk diterima di jurusan kedokteran. Akhirnya aku mencoba mendaftarkan diriku ke Jurusan Kedokteran di salah satu perguruan tinggi negeri melalui jalur tanpa tes seraya berharap supaya prestasiku selama SMA bisa menolongku untuk diterima di sana.

Ketika aku harus kecewa

Tapi, ternyata Tuhan tidak membukakan jalan untukku berkuliah di perguruan tinggi negeri itu. Ketika mendaftar lewat jalur undangan (non-tes), aku gagal, lalu aku juga mencoba kembali di jalur tes namun hasilnya tetap sama.

Tidak berhenti sampai di situ, aku juga mencoba mendaftar di perguruan tinggi swasta. Aku coba untuk mendaftar di Jurusan Kedokteran, Arsitektur, dan Desain Interior di beberapa perguruan tinggi. Setelah mengikuti rangkaian seleksi, aku diterima di Jurusan Kedokteran di salah satu kampus di Jakarta. Tapi, ayahku tidak setuju karena takut apabila aku tidak menikmati kuliahku di sana, selain itu beliau juga kurang percaya dengan kualitas pendidikan di sana. Aku juga diterima di Jurusan Desain Interior di salah satu kampus di Tangerang, tapi setelah aku melakukan survei ke kampus itu, aku merasa kalau lingkungannya tidak nyaman untukku.

Waktu itu aku hanya bisa berserah kepada Tuhan. Jika Dia mengizinkanku untuk bisa kuliah di tahun itu, aku sungguh bersyukur. Tapi, jika tidak pun aku mau tetap percaya kepada-Nya. Aku telah beberapa kali gagal masuk ke perguruan tinggi yang kuingini, dan juga aku sendiri masih ragu dengan perguruan tinggi mana yang sebenarnya aku inginkan. Walaupun aku sudah mempersiapkan yang terbaik untuk mengikuti tes itu, tapi selalu saja ada pertanyaan yang menggantung di benakku, “Apakah ini yang benar-benar kamu inginkan?”

Ayahku mendorong anak-anaknya untuk kelak dapat berwirausaha dengan membuka bisnis sendiri. Kemudian aku berpikir mengapa tidak mencoba saja untuk belajar tentang kewirausahaan itu? Akhirnya aku mencoba mendaftar ke Jurusan Bisnis di perguruan tinggi tempat kakakku belajar.

Awalnya ayahku sempat meragukan keputusanku itu. Tapi, menurutku, perguruan tinggi tempat kakakku belajar itu sangat baik dan aku pernah mengikuti kompetisi di sana. Aku sempat pesimis karena aku mendaftar di gelombang kedua sebelum terakhir dan ternyata tes masuknya sangat sulit. Namun, syukur kepada Tuhan karena aku dinyatakan lolos untuk masuk ke Jurusan Bisnis dan keluargaku masih memiliki tabungan yang cukup untuk melunasi semua biaya masuknya.

Kekecewaan yang perlahan berbuah manis

Dulu aku pernah merasa khawatir kalau sehabis lulus SMA aku tidak bisa langsung kuliah di tahun itu. Aku juga khawatir tentang apa yang orang lain pikirkan terhadapku, sampai-sampai aku juga menjadi ragu apakah Jurusan Bisnis yang kuambil ini adalah yang paling tepat buatku atau bukan. Pilihanku untuk kuliah di jurusan Bisnis membuat beberapa teman dan guru-guruku di SMA kecewa. Mereka berharap kalau aku seharusnya berusaha lebih untuk mendapatkan kuliah di Jurusan Kedokteran. Selama tahun pertama kuliahku aku merasa dihantui oleh pandangan mereka.

Tapi, ternyata setelah aku menjalani kuliah ini selama dua tahun, perlahan aku mulai menikmatinya. Tuhan memberiku berbagai kesempatan untuk berkarya di kampus, salah satunya dengan terlibat aktif dalam lembaga Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM). Dari lembaga itu aku belajar tentang kepemimpinan. Salah satu anugerah Tuhan yang awalnya tak pernah aku pikirkan adalah aku mendapatkan kepercayaan untuk menjadi wakil ketua di kegiatan orientasi mahasiswa baru untuk angkatan 2016. Selain di BEM, aku juga aktif terlibat dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) orkestra sebagai seorang violist. Aku bersyukur karena aku bisa memaksimalkan talenta dan hobiku dalam kegiatan ini.

1 Korintus 2:9 mengatakan “Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia: semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia.” Ayat ini benar adanya. Apa yang dipikirkan oleh manusia ternyata berbeda dengan apa yang dirancangkan oleh Yang Mahakuasa. Pikiran-Nya jauh lebih rumit dan tinggi. Rencana-Nya jauh lebih besar dan indah.

Dari kampusku sekarang inilah aku belajar tentang kepemimpinan dalam organisasi yang kuikuti. Pengalaman yang aku dapatkan itu bisa kuterapkan dalam pelayananku sebagai ketua remaja di gereja. Aku belajar mengatur jadwal pelayanan dengan efektif, mendistribusikan tanggung jawab secara adil kepada masing-masing panita.

Dari pengalaman ini, aku belajar bahwa memilih perguruan tinggi bukanlah semata-mata karena gengsi. Kita tidak boleh lupa cita-cita dan talenta apa yang kita miliki. Pilihlah jurusan yang membuat kita menikmati setiap prosesnya. Namun, jangan lupa juga untuk selalu libatkan Tuhan dan orangtua kita dalam membuat keputusan ini.

Sebuah anugerah dalam jawaban tidak

Aku belajar bahwa ketika Tuhan menjawabku dengan jawaban “tidak”, itu pun merupakan sebuah anugerah. Jawaban tidak itu memberi kita kesempatan untuk percaya kepada-Nya senantiasa dan percaya bahwa Dia memberikan sesuatu yang indah tepat pada waktu-Nya asalkan kita berani untuk mempercayai-Nya, mendengarkan-Nya, dan melakukan perintah-Nya.

Aku juga belajar bahwa apapun jawaban Tuhan untuk kita, yang wajib kita lakukan adalah percaya sepenuhnya dan berserah kepada Tuhan. Kita juga harus berani melakukan yang terbaik dalam kesempatan itu. Aku bersyukur Tuhan menyediakan orang-orang yang melengkapi setiap kebutuhanku.

“Sebab rancangan-Ku bukanlah rancanganmu, dan jalanmu bukanlah jalan-Ku, demikianlah firman TUHAN” (Yesaya 55:8).

Baca Juga:

Surat Kepada Diriku yang Dulu adalah Seorang Gay

Aku tahu kalau saat ini kamu tidak merasa kalau Tuhan benar-benar mengasihimu karena Dia memintamu untuk berhenti menjalin hubungan sebagai seorang gay. Kamu merasa bahwa satu-satunya kebahagiaanmu telah dihancurkan. Hatimu terasa sakit dan kamu pun mengeluh, “Bagaimana mungkin sesuatu yang kuanggap wajar ternyata salah?”