Posts

Memaksimalkan Sukacita dengan Bersyukur

Oleh Ernest Martono, Jakarta

Karena sering menonton sebuah akun di Instagram mengenai mainan Transformer, aku pun mulai tertarik buat mengoleksi mainan. Padahal ini bukanlah hobiku sejak dulu. Namun, ketika memulai hobi baru ini, aku menemukan kesenangan di dalamnya. Awalnya dari satu mainan yang kubeli, sampai akhirnya aku mulai mempelajari lebih dalam tentang hobi ini. Aku jadi tahu brand yang mahal dan murah, ikut dalam event dan komunitasnya, hingga benar-benar mengatur tabungan untuk menambah koleksi mainan. Sekarang aku sudah membeli lebih dari 10 mainan yang didominasi oleh mainan bekas. Maklum, lebih ramah dompet. Selalu saja ada keinginan untuk menambah jumlah koleksi. Satu lagi tidak akan kenapa-kenapa.

Aku sadar akan jatuh dalam perencanaan keuangan yang buruk jika aku selalu menuruti keinginan untuk menambah jumlah koleksi. Namun, di sisi lain aku ingin menambah mainan baru. Bukan soal jumlahnya yang kurang, tapi aku sungguh suka dan mengapresiasi desain mainannya. Bukan juga karena aku tidak puas dengan mainan-mainan sebelumnya, hanya saja aku mau menambah dan memaksimalkan perasaan bahagia yang aku rasa. Selalu muncul mainan yang menggugah rasa kagum dan senangku.

Menyadari hal ini membuatku merenung. Aku yakin bukan aku saja yang mengalami hal seperti ini, orang lain juga pasti pernah mengalaminya. Keinginan untuk memaksimalkan kebahagiaan yang manusia alami tidak sesempit hanya sekedar menambah jumlah kepemilikan. Manusia juga berusaha mempertahankan rasa bahagia yang dia miliki. Sayangnya kebahagiaan di dunia ini bersifat sementara. Cepat layu dan ringan seperti debu tertiup.

Coba bayangkan jika kita pertama kali membeli barang yang begitu mahal dengan pendapatan sendiri. Setiap kali kita melihat benda itu ada perasaan bangga dan senang muncul dalam hati kita. Hanya saja, berapa lama perasaan itu akan bertahan? Apakah selalu ketika kita melihat barang itu hati kita akan bergembira? Lama kelamaan kita menjadi terbiasa dengan barang itu dan hati kita mulai merasa sepi. Kita mulai merindukan perasaan senang yang sama untuk terulang kembali dan prosesnya akan berputar di situ saja. Lantas, bagaimana kita bisa meresponi kesementaraan dunia ini dengan tepat?

Bagi sebagian orang, mereka tidak akan menyerah membiarkan rasa bahagia mengisi hatinya. Mereka akan bertualang mencari rangsangan agar hatinya terus bahagia. Melompat dari kesenangan yang satu ke kesenangan yang lain. Meskipun tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Tapi, menjadikan kesenangan sebagai tujuan hidup hanya membawa perasaan yang lebih kosong pada kita. Seolah-olah kita tiada kalau tidak merasa selalu senang. Tak jarang pula pengejaran akan kesenangan membawa hal-hal buruk terjadi pada kita. Dalam kasusku, tidak jarang seseorang jadi kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga karena membeli mainan sebagai hobi. Ada harga yang harus dibayar agar kita merasa bahagia. Kalau begitu, mungkin yang perlu kita renungkan adalah kebahagiaan mana yang menjadi prioritas kita?

Ada juga yang terlalu keras menggenggam perasaan bahagia tersebut. Mereka berharap dunia ini stabil. Situasi dapat mudah dikuasai sehingga perubahan selalu dapat diantisipasi. Namun, dunia dengan banyak faktor yang terlibat di dalamnya, selalu punya cara untuk memberikan kejutan pada manusia. Tidak selalu kejutan-kejutan tersebut bersifat manis, terkadang pahit dan ingin kita buang jauh-jauh. Aku mulai belajar cara menyimpan mainan-mainan yang kubeli. Aku juga mulai terpikir memodali hobiku dengan peniup debu elektrik untuk membersihkan mainan-mainan koleksiku. Semua kulakukan agar mereka dapat bertahan lama dan tidak rusak karena kelalaianku. Sekali lagi, aku rasa itu adalah hal yang wajar dan bertanggung jawab. Hanya saja, cukup naif jika aku mengharapkan mainan tersebut akan bertahan sepanjang masa. Lagipula itu hanya sebuah mainan, tidak perlu kutukar dengan seluruh nyawa.

Apa pun cara manusia untuk keluar dan mempertahankan kesenangan sementara di dunia ini akan gagal. Ironi sekali ada begitu banyak hal yang dapat membuat manusia senang, tapi sayang semuanya tidak bertahan lama. Kesementaraan ini bukan berarti manusia tidak boleh merasa senang dalam hidup. Namun, kita perlu senang dengan bijak.

“Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka. Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah” (Pengkhotbah 3:12–13).

Tuhan, lewat seorang pengkhotbah bijaksana, mengajarkan kepada kita untuk menikmati setiap pemberian dari-Nya. Kita tidak perlu menyiksa diri dengan menjauhi kesenangan. Nikmati setiap hal yang Tuhan izinkan untuk kita nikmati sekarang. Tidak perlu bersungut-sungut atau sampai kepahitan karena belum bisa menikmati hal-hal lain yang kita inginkan. Mungkin ke depan Tuhan akan izinkan kita untuk menikmatinya, tapi mungkin juga tidak. Bagian kita adalah menikmati setiap hal yang saat ini Tuhan beri. Kebahagiaan sementara yang kita rasakan dalam dunia ini hanya sebuah petunjuk jalan agar kita datang kepada Sang Pemberi Kebahagiaan. Petunjuk jalan bukanlah akhir destinasi, jadi kita tidak perlu berusaha mengumpulkan petunjuk jalan tapi lupa sampai pada tujuan.

Ada benarnya orang suka berkata kalau kita harus pintar-pintar bersyukur agar hidup terasa cukup. Dengan bersyukur atas setiap kesementaraan yang kita miliki, kita sedang melakukan hal yang tepat. Kita memakai kesementaraan dunia untuk sesuatu hal yang bersifat kekal. Menurutku itu adalah hal terbaik yang bisa kita lakukan untuk memaksimalkan rasa senang kita akan sesuatu, mengembalikan kembali rasa senang kita kepada Sang Pemberi. Tuhan bilang, kita perlu pintar-pintar berinvestasi. Di mana hartamu berada, di situ juga hatimu berada. Jika kita bersyukur dan memuji Tuhan atas setiap hal yang kita miliki, kita sedang menginvestasikan diri kita kepada sesuatu yang bersifat kekal. Relasi kita dengan Tuhan kekal adanya.

Sekarang setiap kali aku mengatur pose mainanku untuk dipajang, tidak bisa tidak bagiku untuk bersyukur. Aku mengagumi bentuk, warna, artikulasi gerak, dan gagasan desainer mainan tersebut. Aku benar-benar menikmatinya. Semua hal tersebut berasal dari Tuhan, Sang Pencipta. Namun, rasa bersyukur menolongku untuk berkata cukup, sehingga aku bisa menjadi cukup bijak untuk menguasai rasa kagumku agar tidak berlebihan dan membuat kantongku bolong.

Biarkan petunjuk jalan tetap jadi petunjuk jalan, dan berikan kepada Tuhan apa yang menjadi hak-Nya. Kekaguman kita akan kesenangan di dunia ini harus menolong kita untuk semakin kagum pada Tuhan.

Apa Pun Ucapan Syukur yang Bisa Kita Ucapkan, Ucapkanlah

Oleh Vina Agustina Gultom, Taiwan

Satu bulan yang lalu, saat aku benar-benar berada pada titik jenuh akibat script software pekerjaanku yang selalu menunjukkan kegagalan, aku mendapatkan pesan dari grup WhatsApp yang menginfokan bahwa bapak dari salah satu kakak seniorku dipanggil Tuhan. Rasa dukaku dengan sekejap mengalihkan rasa jenuhku. Aku mengalami pengalihan rasa ini, karena beberapa bulan terakhir, aku selalu melihat unggahan Instagram story beliau yang menampilkan betapa beliau mengasihi bapaknya. Mungkin beberapa orang menganggap perasaanku ini berlebihan, namun aku yakin bagi kamu yang sangat merasakan kasih dari sosok bapak, pasti kamu bisa merasakan apa yang aku rasakan.

Kakak seniorku ini sangatlah lemah lembut dan juga baik hati, bahkan kepadaku yang hanya sebatas juniornya. Pernah suatu ketika, Instagram story-nya menunjukkan betapa beliau merindukan kakak kandungnya yang telah dipanggil Tuhan tepat di hari ulang tahunnya yang lalu, 25 Juni 2019, dan saat ini 26 Mei 2020 Tuhan memanggil pula bapak yang dikasihinya.

Minggu-minggu sebelum kepergian bapaknya, beliau mengabadikan video saat beliau ke supermarket bersama almarhum. Hati ini pilu, bukan hanya karena melihat kedekatan kakak ini dengan almarhum, namun juga karena almarhum yang sangat romantis kepada beliau. Keromantisannya ini diwujudkan dalam bentuk kehadiran. Hal yang sepenglihatanku sangat jarang, ketika seorang bapak mau menemani anak perempuannya ke supermarket.

Selain itu, bentuk keromantisan almarhum lainnya yaitu ketika almarhum membantu kakak ini memasak dan juga menemani beliau kerja dari rumah alias work from home. Padahal, pada saat itu kondisi almarhum sudah dalam keadaan sakit, namun itu tidak mengurangi kasih sayang almarhum kepada putrinya.

Instagram story nan indah berubah menjadi story yang menyayat hati. Tepatnya 2 minggu lalu, story beliau menampilkan ruang ICU dengan tulisan “Cepat sembuh ya Pah”. Ruang ICU dan kata-kata cepat sembuh adalah hal yang sensitif untuk kulihat dan kudengar. Aku punya trauma tersendiri dengan dua hal ini. Dua tahun yang lalu, bapakku sakit berhari-hari karena salah satu telapak tangannya bengkak dan bernanah. Mama dan kakakku sudah mengantarkannya ke salah satu rumah sakit dan dokter berkata “tidak apa-apa, tidak ada penyakit yang berat”.

Namun, embusan kabar baik tersebut tidak sesuai dengan realita, bukannya semakin membaik, kondisi bapakku malah semakin memburuk. Sampai pada suatu hari, beliau yang adalah pria teraktif yang kukenal, berubah menjadi seseorang yang hanya bisa berbaring di tempat tidur. Tak tega melihatnya, akhirnya kakak dan mamaku bergegas kembali periksa ke rumah sakit lain dan dokter rumah sakit tersebut berkata bahwa bapakku mengidap penyakit gula dan harus segera dioperasi.

Melihatnya masuk ke ruang operasi hanya melalui sebuah layar gawai, studi yang berat untuk aku tinggalkan, dan jarak yang sulit untuk aku gapai adalah momen yang sangat menyayat hati. Namun pada akhirnya, aku sangat bersyukur kalau Tuhan masih memberi bapakku kesembuhan.

Alih-alih stres karena kejenuhanku mengedit script yang selalu gagal, aku mencoba mengucap syukur dari sisi yang lain, yaitu mengucap syukur ketika Tuhan masih mengizinkan bapakku untuk kembali sehat. Tidak sampai di situ, aku juga sangat bersyukur, keesokan harinya ketika hari masih begitu dini, ketika mungkin di saat para pelayat telah tiada, kakak seniorku masih sempat-sempatnya membagikan firman melalui Instagram story-nya dengan cara menangkap layar renungan harian yang beliau nikmati, walau memang judulnya tetap memilukan, “Mengapa aku? mengapa Tuhan memilihku?”

Ketika aku membaca judul ini, aku pun refleks bertanya kepada Tuhan “Iya ya Tuhan, mengapa beliau yang harus melalui ini? Mengapa harus orang baik yang merasakan penderitaan seberat ini? Adiknya yang memiliki penyakit jiwa, kakaknya yang belum 1 tahun tutup usia, dan sekarang bapaknya lagi yang Engkau panggil”.

Sambil bertanya-tanya, aku tetap mencoba membaca tangkapan layar renungan harian tersebut. Ternyata, Tuhan menguatkan beliau dari kisah Ayub. Ayub yang adalah hamba Allah yang setia dan sangat baik (Ayub 1:8), tetapi yang hidupnya juga amat sangat menderita. Kisah Ayub mengajarkan kalau hidup tidak selalu berdasarkan perumpamaan tabur tuai, menabur baik akan menuai baik, dan sebaliknya. Namun, Ayub mengajari kita bahwa “Iman itu jangan hanya dilihat dari yang terlihat, bukan juga dengan perasaan. Namun, iman adalah meyakini sepenuhnya bahwa tidak ada segala sesuatu pun di luar kendali-Nya, walau kadang tampak tidak adil sekalipun.” Membaca ini aku langsung membatalkan pertanyaanku kepada Tuhan dan mengimani kembali iman yang dimiliki Ayub dari kisah hidupnya.

Aku bersyukur tulisan ini diizinkan kakak seniorku untuk aku bagikan. Beliau sangat senang jikalau dukanya bisa menjadi berkat bagi banyak orang. Apalagi, jika kita semua mau menguatkan beliau dalam doa. Walau memang mungkin kisah hidup kita belum ada apa-apanya dibanding kisah Ayub dan kisah beliau, tetapi aku yakin setiap dari kita pasti pernah berada di posisi bertanya-tanya seperti itu, “Mengapa harus aku?”, baik itu di saat sedih atau di saat jenuh. Namun, lewat kisah Ayub dan juga kisah kakak seniorku, aku berharap ini bisa menjadi kekuatan bagi kita untuk sama-sama berjuang keluar dari rasa kesedihan atau kejenuhan, dengan cara terus beriman bahwa segala sesuatu tidak ada di luar kendali-Nya dan juga mengucap syukur dengan keberadaan orang-orang yang kita kasihi.

Apa pun ucapan syukur yang bisa kita ucapkan, ucapkanlah.

Baca Juga:

Lahirnya Kedamaian Karena Pengampunan

Aku dan temanku mengalami salah paham. Akibatnya, relasi kami sempat mendingin. Jujur, saat itu aku ingin menghindar saja, tapi Tuhan tak ingin aku merespons masalah ini dengan egois.

Gagal Naik Podium Tidak Menghentikan Rencana Tuhan dalam Hidupku

Oleh Janessa Moreno, Tangerang

Aku adalah seorang atlet bulutangkis. Namaku terdaftar sebagai penerima beasiswa di salah satu klub ternama di Indonesia, pencetak para juara dunia. Namun, aku bukanlah atlet yang banyak menorehkan prestasi. Aku bisa berada di tempat ini semata-mata karena kemurahan Tuhan.

Menjadi seorang atlet membuat hidupku tidak seperti anak sekolah pada umumnya. Aku tinggal di asrama, dengan rutinitas berupa latihan bulutangkis setiap pagi dan sore. Latihan-latihan yang dijalani tentunya memiliki satu tujuan—menorehkan prestasi bagi klub dan mengharumkan nama bangsa.

Klub-klub besar menerapkan sistem promosi degradasi yang diberlakukan per enam bulan, termasuk klub tempatku dilatih. Jika tidak berhasil menampilkan performa terbaik dan meraih prestasi, maka anggota tersebut harus dikeluarkan dari pusat pelatihan impian ini. Oleh karena itu, aku selalu melakukan latihan tambahan setiap subuh ketika yang lain masih tertidur dan pulang lebih akhir dibandingkan yang lain demi meraih juara dan bertahan di klub ini. Aku percaya bahwa proses tidak akan mengkhianati akhir. Hari demi hari kulalui dengan kekuatan dari Tuhan, yang kuperoleh melalui doa dan firman-Nya dalam renungan yang kubaca.

Namun, usaha kerasku tidak membuahkan hasil sesuai harapanku.

Tahun 2017 menjadi tahun yang berat, ketika aku tidak berhasil menyumbangkan prestasi apapun. Aku selalu terhenti di babak perempat final sehingga tidak berkesempatan untuk naik podium juara sama sekali. Padahal, aku merasa sudah memberikan yang terbaik.

Tidak hanya kecewa pada diri sendiri, aku juga kecewa pada Tuhan. Aku bingung dan bertanya-tanya kepada Tuhan, “Tuhan, mengapa teman-temanku yang lain dapat dengan mudahnya mendapatkan apa yang kuusahakan dengan mati-matian, sedangkan aku tidak?”

Hari pengumuman pun tiba. Ternyata, namaku masih tercantum dalam daftar anggota klub bulutangkis ini. Tidak berhenti sampai di situ, 6 bulan demi 6 bulan selanjutnya, aku masih bertahan sebagai anggota. Bahkan, Tuhan memberiku kejutan-kejutan seperti ketika aku mengalahkan sejumlah pemain terbaik, meskipun tidak berhasil meraih juara. Aku terheran-heran, apa yang membuatku masih bisa memenuhi syarat ketika aku tidak bisa menunjukkan prestasi yang diharapkan?

Suatu malam, aku bertanya kepada Tuhan di dalam doa: “Tuhan, apa yang Tuhan lihat dalam diriku sehingga Engkau terus memilihku sebagai atlet meskipun aku bukan atlet yang berprestasi?”

Dalam perenunganku, tiba-tiba ada suara dalam hatiku yang berkata, “Semangatmulah yang membuat semuanya tidak berhenti. Belas kasih-Ku turun di saat air matamu jatuh, ketika kamu merasa tidak dihargai. Percayalah, Nak, aku ada di saat kamu melakukan pekerjaan yang tidak dilihat orang lain. Aku yang menggandengmu setiap pagi, Aku yang mengangkatmu di saat jatuh. Rencana-Ku belum selesai di dalam kamu.”

Saat itu pula aku menangis. Ternyata, selama ini ada satu Pribadi memerhatikanku. Kedamaian melingkupi hatiku ketika menyadari bahwa Tuhan selalu menopangku.

Aku merasakan penyertaan Tuhan yang begitu nyata dalam perjalananku selama menjadi atlet bulutangkis. Jika hanya mengandalkan kekuatanku sendiri, aku rasa aku tidak akan sanggup bertahan setelah berkali-kali mengalami kegagalan dan kesakitan. Ketika aku hampir menyerah, Tuhan selalu membangkitkan semangatku kembali.

Memasuki tahun 2019, aku memiliki target untuk masuk ke Pelatihan Nasional Indonesia. Aku menyerahkan semua rencanaku pada Tuhan. Apapun yang akan terjadi, aku percaya bahwa rencana Tuhan selalu yang terbaik (Yeremia 29:11). Aku percaya bahwa proses yang kujalani dalam pelatihan ini adalah cara Tuhan mengajarkanku tentang kegigihan, serta mempersiapkanku untuk menjadi kesaksian hidup dan memberi seluruh kemuliaan untuk Tuhan ketika aku berhasil meraih juara.

Mungkin di antara kamu ada yang merasa tidak berharga, tidak hebat, atau putus asa karena apa yang kamu usahakan belum berhasil dicapai. Tetapi bertahanlah, Tuhan mendengar setiap seruan doamu dan melihat air matamu karena Ia dekat kepada orang-orang yang patah hati (Mazmur 34:18). Dia akan membuat segalanya indah pada waktu-Nya, dan tidak ada satu hal pun yang dapat menggagalkan rencana-Nya (Pengkhotbah 3:11). Bagian kita adalah hidup dengan penuh semangat, dan melakukan semua hal seperti untuk Tuhan dan bukan untuk manusia (Kolose 3:23).

Baca Juga:

Belajar dari Daud: Bukan Kekuatan Kita Sendiri yang Mampu Mengubah Kita

Aku berjuang keras untuk berubah, aku merenung dan menyusun langkah-langkah praktis untuk kulakukan. Tapi, tetap saja tiap kali ada distraksi muncul, aku gagal kembali. Kurasa semua yang kulakukan tidak banyak membuatku berubah. Hingga suatu ketika, aku pun ditegur melalui respons Daud.

Sebuah Perenungan: Hidup Ini Tidak Adil!

Oleh Charles, Jakarta

Ada 3 orang anak: Ani, Budi, dan Chandra. Ani mendapatkan 5 buah apel, Budi mendapatkan 10 buah apel, dan Chandra mendapatkan 15 buah apel. Apakah itu adil?

Mungkin kamu akan menjawab, “Tidak adil!” Seharusnya kalau mau adil, Ani, Budi, dan Chandra sama-sama mendapatkan 10 buah apel. Benar begitu?

Pertanyaannya, jika kamu adalah Chandra yang mendapatkan 15 buah apel, apakah kamu juga akan mengatakan hal yang sama?

Banyak orang mengeluh, “Hidup ini tidak adil!” Ketika ditanya, kenapa tidak adil?, jawaban mereka biasanya seperti ini:

Kenapa aku yang lebih rajin bekerja, tapi dia yang dapat gaji lebih banyak?

Kenapa dia bisa jalan-jalan keluar negeri, sementara aku cuma bisa jalan-jalan keliling kota?

Kenapa harus aku yang menderita penyakit ini?

Kenapa teman-temanku sudah pada menikah, sedangkan aku: pacar saja belum punya?

Kenapa rumahnya lebih bagus dari rumahku? Kenapa dia lebih cakep? Kenapa dia punya ini-itu, sedangkan aku tidak?

Kenapa Tuhan tidak juga menjawab doa-doaku?

Banyak orang merasa hidup ini tidak adil karena mereka membandingkan diri mereka dengan orang-orang yang “lebih” daripada mereka: lebih kaya, lebih tampan, lebih cantik, lebih pintar, lebih sehat, lebih harmonis, lebih kuat, lebih terkenal, dan lain sebagainya. Namun, kalau kita pikirkan lagi, bukankah itu tidak adil juga jika kita hanya membandingkan diri kita dengan yang “lebih”? Bagaimana dengan yang “kurang”? Pernahkah kita bertanya-tanya seperti ini:

Kenapa aku punya pekerjaan, sedangkan banyak orang yang menganggur?

Kenapa aku bisa berjalan, di saat ada orang yang hanya bisa terbaring di ranjang?

Kenapa aku masih bisa memilih makan apa hari ini, di saat ada orang yang begitu miskin sampai-sampai tidak bisa makan tiap hari?

Kenapa aku bisa mengenal Tuhan Sang Juruselamat, di saat banyak orang masih belum pernah mendengar tentang Dia?

Bukankah hidup ini memang tidak adil?

Kalau kita mau adil, mari buka mata dan hati kita untuk melihat tidak hanya orang-orang yang mempunyai “lebih” dari kita, tapi juga lihatlah mereka yang tidak mempunyai apa yang kita miliki. Kalau kita tidak suka ketidakadilan, bukankah hal yang bijak jika setidaknya kita sendiri berlaku adil?

Hidup ini memang tidak adil, tapi jika kita mampu melihat dari sudut pandang yang berbeda, kenyataan ini tidak seharusnya membuat kita iri hati. Sebaliknya, kita akan bersyukur atas apa yang Tuhan telah berikan kepada kita, dan tergerak untuk berbagi kepada orang lain, untuk setidaknya membuat hidup ini menjadi lebih adil bagi mereka. Marilah mulai dari diri kita sendiri.

Selain itu, ada satu aspek lain yang perlu kita renungkan.

Suatu hari, ketika Yesus melihat orang yang buta sejak lahirnya, murid-murid-Nya bertanya kepada Yesus, “Rabi, siapakah yang berbuat dosa, orang ini sendiri atau orang tuanya, sehingga ia dilahirkan buta?” (Yohanes 9:2).

Ketika ada hal yang kurang baik terjadi, kita cenderung mencari kambing hitam: salah siapakah ini? Apakah salah orang buta itu? Ataukah salah orang tuanya? Namun, jawaban Yesus membukakan sebuah aspek lain yang kadang mungkin kita lupakan:

Jawab Yesus: “Bukan dia dan bukan juga orang tuanya, tetapi karena pekerjaan-pekerjaan Allah harus dinyatakan di dalam dia” (Yohanes 9:3).

Kadang apa yang kita lihat sebagai penderitaan dan ketidakadilan, sesungguhnya itu adalah bagian dari rencana Tuhan yang indah, agar pekerjaan-pekerjaan Allah dapat dinyatakan melalui hidup kita.

Jadi, bagaimanapun keadaanmu saat ini, bersyukurlah atas segala hal yang Tuhan telah berikan kepadamu. Dan jadilah berkat bagi mereka yang tidak seberuntung dirimu, agar dunia ini bisa menjadi sedikit lebih adil.

Baca Juga:

4 Rumus untuk Menyampaikan Teguran

Sebagai seorang yang tidak suka terlibat konflik, menegur seseorang adalah hal yang cukup menakutkan buatku. Aku berusaha mencari posisi aman. Tapi, sebagai orang Kristen, kita dipanggil untuk menyuarakan kebenaran. Inilah empat rumus yang perlu kita perhatian ketika kita ingin menegur seseorang.

Bapamu Tahu yang Kamu Perlu

Oleh: Novi Kurniadi

bapamu-tahu-yang-kamu-perlu

Baca: Lukas 12:22-34

Sejak bekerja dan tinggal jauh dari keluarga, aku mulai mengalami yang namanya kuatir tentang berbagai kebutuhan hidup. Besok makan apa ya? Harus belanja apa saja ya di pasar? Uang segini cukup nggak ya sampai akhir bulan? Kekuatiran tersebut masih ditambah dengan kenyataan bahwa adikku juga membutuhkan biaya kuliah, sementara Papa sudah tiada dan Mama sudah tidak lagi bekerja. Dengan kata lain, aku adalah satu-satunya orang berpenghasilan tetap dalam keluarga. Memang adikku mengambil pekerjaan paruh waktu, tapi berapa sih penghasilan seorang mahasiswa? Paling banyak hanya cukup untuk mencukupi uang saku selama sebulan.

Tapi pada saat yang sama, aku juga mengalami pemeliharaan Tuhan yang luar biasa. Selama kurang lebih setahun setengah kami menjalani hidup tanpa Papa, dengan penghasilan yang pas-pasan untuk membayar kuliah adik, Bapa kami di surga senantiasa mencukupkan kebutuhan kami sekeluarga. Adakalanya kami gelisah karena uang di rekening bank sudah terkuras habis sementara biaya kuliah adikku belum lunas, dan bahkan sepertinya tak cukup lagi untuk makan kami sehari-hari. Tetapi, TIDAK PERNAH sekalipun Dia membiarkan kami sekeluarga kekurangan.

Beberapa minggu lalu, aku menghitung kembali apa yang kami punya dan menjadi sangat kuatir. Tapi bukan suatu kebetulan kalau pagi itu bahan Saat Teduh yang kubaca diambil dari Lukas 12. Pada ayat yang ke-22 hingga 34, Tuhan Yesus berbicara mengenai hal kekuatiran. Aku sungguh bersyukur karena kembali diingatkan bahwa hidupku dan keluargaku terjamin dalam tangan Sang Pencipta. Tuhan Yesus sendiri dengan jelas berkata agar kita jangan kuatir akan hidup. Burung-burung gagak diberi makan oleh Allah. Bunga bakung didandani lebih cantik daripada kemegahan pakaian Raja Salomo.

Jadi, janganlah kamu mempersoalkan apa yang akan kamu makan atau yang akan kamu minum dan janganlah cemas hatimu. Semua itu dicari bangsa-bangsa di dunia yang tidak mengenal Allah. Akan tetapi Bapamu tahu, bahwa kamu memang memerlukan semuanya itu. Tetapi carilah Kerajaan-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan juga kepadamu. (Lukas 12:29-31).

Seringkali sadar atau tidak, kita hidup dengan penuh kekuatiran, seakan-akan Bapa yang di surga tidak tahu apa yang kita perlukan. Lalu segala cara kita tempuh. Bisnis sampingan, bisnis online, bahkan money game. Segala yang memberi iming-iming penghasilan instan menarik minat kita. Entahkah itu caranya etis atau tidak, yang penting menghasilkan uang, kita terabas saja. Kita tak lagi berpikir panjang apakah pekerjaan yang kita lakukan itu menunjukkan kasih kepada Tuhan dan sesama atau tidak. Yang kita pikirkan hanyalah apakah itu menguntungkan kita atau tidak. Benarkah itu yang Tuhan mau kita lakukan?

Tuhan tahu setiap kesulitan dan kekuatiran kita akan hidup, makanan, pakaian, pendidikan, dan lain-lain. Dia bahkan sudah menjamin bahwa kita ada di dalam pemeliharaan-Nya. Betapa kita perlu terus belajar bersandar kepada-Nya. Belajar untuk tidak kuatir. Tidak takut. Pada Lukas 12:32, Tuhan Yesus bahkan berkata bahwa “Bapamu telah berkenan memberikan kamu Kerajaan itu”. Kalau sebuah Kerajaan saja bisa Dia berikan, bukankah mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari adalah perkara kecil bagi-Nya?

Memasuki tahun yang baru ini, kiranya hati kita boleh senantiasa bersyukur dan penuh damai mengetahui Bapa yang di surga tahu apa yang kita perlukan. Tanpa kuatir dan takut, kita dapat bekerja dengan jujur, menunjukkan kasih dan kemurahan kepada sesama, hidup dengan penuh rasa syukur dan rasa cukup, karena kita tahu inilah cara hidup yang memperkenankan hati Sang Raja yang telah menebus dan menjamin hidup kita.

Belajar Untuk Bersyukur

Oleh Hadya Hexa Larytta

Beberapa hari yang lalu, aku melihat timeline Facebook, dan menemukan papaku telah men-tag sebuah foto yang diambil beberapa tahun lalu sebelum aku lulus kuliah. Itu adalah foto saat aku bersama dengan jemaat dari GBKP Yogyakarta melakukan kunjungan ke sebuah panti di Kaliurang yang memelihara anak-anak berkebutuhan khusus.

Kunjungan tersebut kami lakukan sebagai bentuk pelayanan kasih. Kami hendak mengadakan kebaktian bersama dengan anak-anak yang tinggal di tempat itu.

Saat melihat foto itu, tiba-tiba aku merasa rindu untuk ke sana lagi. Ada perasaan yang berbeda saat aku berada dengan mereka di sana.

Perasaan itu tidak datang begitu saja. Jujur saja, pertama kali ke sana, aku merasa agak tidak nyaman. Aku melihat anak-anak itu sepertinya tidak bisa diatur dan ada bau tak sedap yang tercium saat berada di dekat mereka. Rasanya aku mau pulang saja. Akan tetapi, ketika kebaktian dimulai, aku terkejut karena mereka sangat antusias untuk mengikuti kebaktian. Mereka berani untuk ikut memuji Tuhan, menyanyi di depan, menari, bahkan memimpin doa. Bahkan ada dari mereka yang berseru kalau Tuhan Yesus itu luar biasa! WOW!

Karena itu saat untuk kedua kalinya aku mengunjungi mereka, aku merasa antusias sekali. Aku rindu bertemu dengan anak-anak itu, untuk ngobrol, menyuapi makan, bernyanyi dan menari bersama mereka lagi. Ada perasaan senang tersendiri yang bisa kurasakan. Mungkin untuk sebagian orang, mereka berbeda. Dengan kata lain, bukan seperti orang normal pada umumnya. Namun saat melihat mereka memuji Tuhan, aku tahu dan percaya, Tuhan melihat mereka dan tersenyum lebar untuk mereka. Aku yakin, di mata Tuhan, mereka sangat berharga.

“Bukan yang dilihat manusia yang dilihat Allah; manusia melihat apa yang di depan mata, tetapi TUHAN melihat hati.” 1 Samuel 16:7

Mungkin mereka tidak bisa memuji dan menyembah Tuhan dengan lafal yang baik, tetapi bukan itu yang Tuhan lihat, kan? Yang Tuhan lihat adalah hati mereka. Apa yang ada di dalam, bahkan paling terdalam dari diri kita, itulah yang Dia lihat. Seperti bunyi lirik sebuah lagu yang kuingat, “Walau dunia melihat rupa, namun Kau memandangku, sampai kedalaman hatiku.”

Tuhan melihat anak-anak itu sebagai anak-anak Kerajaan-Nya. Mungkin ada dari kita yang menganggap mereka yang “tidak normal” secara fisik atau kurang dalam kemampuan sebagai orang-orang yang tidak perlu dipandang, mengganggu, atau tidak butuh perhatian. Namun di lain pihak, tanpa terlihat oleh mata duniawi kita, Tuhan yang adalah Raja di atas segala raja sedang memeluk dan melimpahi mereka semua dengan kasih-Nya yang takkan pernah berkesudahan.

Dari merekalah, aku belajar untuk bisa menghargai orang lain, terutama mereka yang “berbeda”. Kita semua sama-sama diciptakan oleh Sang Pencipta yang sama. Dan dari merekalah, aku belajar untuk mencintai diriku sendiri juga sebagai ciptaan Bapa.

Aku belajar bersyukur dan menghargai setiap hal yang ada di hidupku. Aku belajar untuk tidak memikirkan diriku sendiri terus, tapi apa yang bisa kuberi buat orang lain. Dan aku belajar untuk tidak menghakimi orang lain karena kekurangannya, atau bahkan menghakimi diriku sendiri karena kekurangan diriku. Aku belajar bertanya pada diri sendiri, adakah hal baik yang bisa kulakukan untuk orang lain maupun diriku sendiri? Aku yakin ada, dan pada hari itu aku belajar memberi diriku.

Sebab Tuhan Baik

Oleh Priscila Stevanni

Beberapa waktu lalu, saya dan teman saya mendapat tugas mencari dana untuk sebuah kegiatan kampus. Kami memutuskan untuk berjualan nasi uduk. Sehari sebelum berjualan, kami mendatangi sepasang suami istri penjual nasi uduk untuk memesan delapan puluh bungkus nasi uduk mereka. Karena dimaksudkan untuk dijual kembali, maka saya dan teman saya menawar harga jauh di bawah harga normal. Awalnya, ibu penjual nasi uduk itu tidak setuju, namun setelah kami bujuk dan ia berbicara dengan suaminya, ia pun mengiyakan permintaan kami. Akhirnya, kami mendapat harga yang bagus dan mendapat keuntungan tiga ribu rupiah untuk satu bungkus nasi uduk. Tentu saja, saya dan teman saya sangat senang.

Namun, tanpa disangka-sangka, setelah menawar harga yang jauh lebih murah dibanding harga standar mereka, pasangan suami istri itu memberikan kami seporsi nasi uduk untuk dicicipi. “Ini gratis, Nak,” begitu kata mereka. Saya dan teman saya saling berpandangan, lalu terbersit rasa tidak enak dalam hati kami. Yang kami pikirkan hanya mencari keuntungan, tetapi justru kami mendapat kebaikan dari mereka. Dalam keadaan mereka yang sederhana, sepasang suami istri ini masih mau berbagi dengan orang yang jauh lebih mampu.

Melalui kejadian ini saya seakan diingatkan betapa seringnya manusia bersikap serakah dan tidak bersyukur. Terkadang kita meminta lebih kepada Tuhan tanpa menyadari bahwa Dia sudah terlebih dahulu menyediakan begitu banyak bagi kita. Kita sering menuntut tanpa mau memikirkan kepentingan orang lain. Tidak hanya itu, kebaikan sepasang suami istri tersebut juga mengingatkan saya pada kebaikan Tuhan yang tidak pernah putus di dalam hidup kita. Kita sering kali tidak taat dan mengeluh pada-Nya, namun Dia tetap memberikan yang terbaik bagi kita. Berkat-Nya selalu tersedia dan tidak pernah habis. Jadi, sudahkah kita bersyukur pada-Nya hari ini? “Syukur kepada Allah karena karunia-Nya yang tak terkatakan itu!” (2 Kor. 9:15).