Posts

Mengatasi Kegelisahan

Hari ke-23 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 4:6

4:6 Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur.

Bagiku, kedamaian adalah hal yang amat sulit dicerna pikiran. Aku mengerti konsepnya, tetapi aku belum pernah benar-benar merasakannya.

Lulus dari politeknik dengan nilai pas-pasan, aku takut tidak dapat diterima di universitas manapun. Aku menuliskan kata demi kata dalam esai sebagai syarat pendaftaran universitas dengan diiringi perasaan khawatir akan ketidakpastian. Air mata membasahi wajahku saat menyadari betapa kurangnya aku dibandingkan dengan teman-temanku yang berhasil meraih nilai memuaskan, ditambah lagi dengan pencapaian gemilang dalam ekstrakulikuler.

Aku tahu Tuhan itu baik dan setia. Namun tetap saja, rasanya tidak ada harapan bagi situasi yang sedang kualami. Jangankan menyerahkan semuanya kepada Tuhan, menenangkan diriku sendiri untuk berdoa saja aku tidak bisa.

Aku duduk di sofa hitam yang dingin, menunggu dipanggil untuk diwawancarai oleh pihak dari salah satu universitas yang kudaftarkan. Aku sangat takut. Aku merasa sulit bernapas. Sebuah ayat yang pernah kuhafalkan ketika masih anak-anak, Filipi 4:6-7, muncul di pikiranku. Kurenungkan ayat itu dan kuucapkan dalam hati. Lama kelamaan, pernapasanku menjadi lebih stabil dan aku pun berdoa. Saat aku menumpahkan semua perasaanku kepada Tuhan, damai sejahtera-Nya membasuhku. Ketenangan yang seperti itu belum pernah kurasakan lagi semenjak lima bulan yang lalu, ketika aku mulai mendaftarkan diri ke universitas.

Rasul Paulus menyatakan perintah yang absolut kepada jemaat Filipi, “Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga”. Tidak ada kata “tetapi”, “jikalau”, atau pengecualian apapun. Meskipun Paulus sempat dipenjara (Filipi 1:13) sampai jemaat Filipi diterpa ajaran-ajaran sesat (3:2), Paulus tetap mendorong mereka untuk tidak mengizinkan hal-hal tersebut mengalihkan atau menjauhkan mereka dari sukacita kekal di dalam Kristus.

Apakah yang memberikan Paulus keberanian untuk mengatakan hal itu dengan segenap keyakinan dan kepercayaan diri yang tinggi? Yesus sendiri yang memerintahkan kita tiga kali dalam Matius 6 untuk tidak menyerah pada kekhawatiran dan kegelisahan (ayat 25, 31, dan 34). Kita tidak perlu khawatir karena sebuah kebenaran: Tuhan memedulikan kita dan Ia akan memenuhi semua kebutuhan kita.

Memerangi kegelisahan jauh lebih mudah untuk dikatakan daripada dilakukan. Namun, Paulus memiliki satu anjuran yang sederhana untuk kita lakukan: berdoa. Apabila kita percaya sepenuhnya akan kedaulatan Tuhan dalam segala situasi, kita dapat menyerahkan keadaan kita kepada-Nya. Percayalah bahwa Ia akan “bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia” (Roma 8:28).

Paulus mendorong kita untuk berdoa dengan “ucapan syukur” bukan hanya ketika kita membutuhkan sesuatu dari Tuhan, tetapi “dalam segala hal”. Memiliki sikap bersyukur sangatlah penting. Dengan bersyukur, kita diingatkan bahwa Tuhan sudah mengaruniakan kepada kita hadiah terindah yang akan memberikan kita kepuasan sejati: Yesus, putra tunggal-Nya. Apapun selain daripada-Nya, tidak lagi kita butuhkan dan tidak layak kita dapatkan. Ungkapan syukur datang dari sebuah kesadaran bahwa semua yang kita miliki dari Tuhan murni karena kasih karunia-Nya. Kita pun akan dimampukan untuk melihat dengan penuh kerendahan hati bahwa Tuhan tidak berkewajiban untuk memberikan kita segala hal yang kita minta, Ia justru telah menyediakan semua yang kita butuhkan dalam kelimpahan. Dengan pemahaman itulah kita dapat benar-benar bersukacita (ayat 4).

Ketika aku menghadap Tuhan dengan sikap bersyukur dan menyatakan keinginanku kepada-Nya, aku merasa lebih mudah untuk melepaskan kegelisahan. Doa harus menggantikan posisi kekhawatiran dalam hidup kita. Doa meluruskan kembali pikiran dan perilaku kita, lalu mengembalikan hadiah berharga yaitu kedamaian sejati yang datangnya hanya dari Tuhan.

Pada akhirnya, aku tidak berhasil lolos seleksi di jurusan yang kuinginkan. Tetapi, aku menerima hal lain yang jauh lebih berharga dari hal yang sebelumnya kuinginkan. Aku memperoleh pembelajaran bahwa ketika aku menyerahkan segala ketakutanku kepada Tuhan, Ia akan menjaga hati dan pikiranku dengan damai yang memberi ketenteraman. Tuhan sungguh-sungguh memegang kendali. Ia menggenggam kita erat-erat dengan tangan-Nya, dan Ia takkan pernah meninggalkan kita. Bagiku, itu sudah lebih dari cukup. Aku harap kamu dapat merasakan hal yang sama.—Constance Goh, Singapura

Handlettering oleh Agnes Paulina

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Apa yang kamu lakukan ketika kamu sedang gelisah? Apakah kamu menyerahkan segala kekhawatiranmu kepada Tuhan, “dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur”?

2. Bagaimanakah sikap penuh syukur dapat mengubah perspektif kita terhadap situasi yang kita hadapi?

3. Catatlah hal-hal yang membuatmu gelisah belakangan ini. Dengan tuntutan dari Paulus dalam ayat hari ini, tuliskanlah dengan sepenuh hati doamu secara pribadi kepada Tuhan.

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Constance Goh, Singapura | Constance merasa amat senang ketika dia bisa bekerja bersama anak-anak dan menikmati segelas bubble tea. Firman Tuhan itu manis, menjadi pengingatnya setiap hari akan kasih setia Tuhan bagi anak-anak-Nya.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Mengapa Aku Sulit Merasakan Sukacita?

Hari ke-21 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 4:4

4:4 “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!”

Nick Vujicic adalah seorang penulis, motivator, dan evangelis asal Australia. Ia berselancar, bermain dengan anak-anaknya, dan berkeliling dunia. Terdengar biasa-biasa saja. Yang membuatnya menjadi inspirasi bagi banyak orang adalah kenyataan bahwa ia terlahir tanpa tangan dan kaki. Kondisi fisik Nick membuatnya menjadi bahan rundungan. Ia tidak hanya menghadapi tantangan secara fisik, tetapi juga turut menanggung luka batin.

Namun, Nick sadar bahwa Tuhan bisa menggunakan kecacatannya dengan cara yang luar biasa untuk membawa harapan dan kedamaian Yesus bagi mereka yang terluka. Dalam otobiografinya yang berjudul Life Without Limits (Hidup Tanpa Batasan), ia berkata, “Aku dan kamu sama sekali tidak berkuasa menentukan apa yang terjadi dalam kehidupan, kenyataan ini tidak terelakkan. Tetapi, kita dapat mengatur bagaimana kita merespon. Kamu dapat ditenggelamkan oleh ombak raksasa, atau kamu dapat berselancar di atasnya sampai ke pesisir.”

Dalam kisah awal kitab Filipi, Paulus melihat umat percaya di Filipi tengah menghadapi sejumlah pertentangan (1:28). Jika Paulus meminta mereka untuk meresponi Tuhan berdasarkan bagaimana mereka diperlakukan oleh orang lain, sudah pasti mereka akan putus asa. Sebaliknya, dari dalam jeruji besi Paulus menulis: “Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah!” (Filipi 4:4). Paulus tidak meminta jemaat Filipi untuk bersukacita sewaktu-waktu. Ia menasihati mereka untuk bersukacita senantiasa.

Iman kita kepada Kristus mungkin tidak sampai membuat kita dipenjara atau dianiaya, tetapi banyak dari kita berhadapan dengan berbagai kesulitan di luar kendali kita. Bersukacita di dalam Tuhan bisa jadi adalah hal terakhir yang ingin kita lakukan. Kabar baiknya adalah, kita tidak perlu mengumpulkan kekuatan kita sendiri sebab Tuhanlah yang akan memampukan kita untuk bersukacita! Kita hanya perlu memegang teguh janji-Nya bagi kita, yaitu kasih yang tidak terukur tinggi, panjang, dalam, dan lebarnya.

Meskipun di tengah-tengah penderitaan, Paulus mampu tetap bersukacita di dalam Tuhan karena ia dapat melihat tangan Tuhan yang membimbingnya saat suka maupun duka. Aku sempat mengalami hal ini tahun lalu ketika kedua teman baikku meninggal dunia secara berturutan hanya dalam kurun waktu beberapa bulan.

Aku diliputi kedukaan. Di samping rasa sedih yang menggenang, rasa kehilangan juga membangkitkan amarah dalam hatiku. Bagaimana bisa Tuhan mengizinkan hal ini terjadi padaku? Mengapa Ia mengambil kedua temanku di usia yang masih muda? Apa yang dapat kulakukan tanpa kehadiran dua teman yang membuatku bahagia?

Aku hancur, hingga terasa sulit bagiku untuk menyanyikan pujian penyembahan kepada Bapa Surgawi. Satu-satunya hal yang dapat kulakukan adalah berseru kepada-Nya, dan Ia menemuiku dalam rasa sakitku. Roh Kuduslah yang menjadi perantaraku dalam doa (Roma 8:26-27) dan memberiku kedamaian yang tidak bisa kuperoleh dengan kekuatanku sendiri. Tuhan telah mengubah cara pandangku. Daripada terus menangisi kehilangan, aku mulai bersukacita dengan sebuah pemahaman bahwa teman-temanku ada di tempat yang lebih indah.

Selama melewati musim kesedihan ini, aku diingatkan bahwa dengan menjadi pengikut Kristus bukan berarti jalan selalu lurus dan rata. Kesulitan akan tetap ada. Rasa sakit akan tetap dialami. Akan tiba saat di mana kita merasa kewalahan, dan menyerah nampaknya menjadi satu-satunya jalan keluar.

Tetapi, kehidupan Paulus dan Nick Vujicic mendorong kita untuk tetap menemukan sukacita besar di tengah kesukaran ketika kita berpengharapan di dalam Ia yang sanggup meredakan badai dan angin ribut kehidupan. Percayalah kepada Tuhan, dan pada waktu-Nya, Ia akan mengubah tangisan menjadi tarian dan kedukaan menjadi kesukaan (Mazmur 30:11-120)! Jangan biarkan dirimu ditenggelamkan ombak, belajarlah untuk berselancar di atasnya sampai ke pesisir. Bersukacitalah di dalam Tuhan senantiasa. Sekali lagi kukatakan, bersukacitalah!—Deborah Fox, Australia

Handlettering oleh Robby Kurniawan

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Bagimu, bagaimanakah bersukacita “di dalam Tuhan”? Bagaimanakah ayat ini mengubah caramu melihat keadaan sekitarmu?

2. Apakah saat ini kamu sedang mengalami situasi sulit? Berdoalah dan minta Tuhan menolongmu melihat situasi yang kamu hadapi dengan cara pandang-Nya.

3. Adakah temanmu yang sedang bergumul? Renungkan bagaimana kamu dapat menjadi berkat baginya minggu ini.

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Deborah Fox, Australia | Deborah adalah penyuka sejarah yang terobsesi dengan musik Jazz, pakaian-pakaian retro, berdansa, melukis, dan kopi. Dia diberkati dengan kesempatan-kesempatan untuk berbagi kisah tentang kehidupan yang diubahkan Injil.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Konflik Ada untuk Dihadapi dan Diatasi

Hari ke-20 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 4:2-3

4:2 Euodia kunasihati dan Sintikhe kunasihati, supaya sehati sepikir dalam Tuhan.

4:3 Bahkan, kuminta kepadamu juga, Sunsugos, temanku yang setia: tolonglah mereka. Karena mereka telah berjuang dengan aku dalam pekabaran Injil, bersama-sama dengan Klemens dan kawan-kawanku sekerja yang lain, yang nama-namanya tercantum dalam kitab kehidupan.

Aku pernah pergi jalan-jalan bersama beberapa teman baikku. Aku menganggap mereka punya pemikiran yang sama denganku. Tapi, tak butuh waktu lama, mereka yang kuanggap sepemikiran ini malah berdebat hal-hal yang kecil, mulai dari urusan selera, kebiasaan pribadi, sampai kepada masalah tentang keputusan apa yang terbaik buat kelompok kami.

Perdebatan ini melukai relasiku dengan seseorang dalam kelompok itu. Sebelumnya kami tak pernah bertengkar hebat, tapi semenjak itu, kami jadi merasa sensi satu sama lain dan tidak bahagia. Rasanya mustahil untuk meluangkan waktu 24 jam seminggu bersamanya dengan kondisi seperti ini.

Hingga akhirnya, temanku itu memberanikan diri untuk mengutarakan apa perasaannya terhadapku. Proses ini membutuhkan waktu dan tentunya melibatkan rasa sakit di hati kami berdua. Tetapi, setelah amarah kami mereda, aku mulai menyadari betapa konyolnya sikapku selama ini dalam menghadapi perbedaan pendapat yang ada. Kami pun berdamai. Melihat ke belakang, aku bisa mengatakan sejujurnya bahwa perselisihan itu berubah menjadi hal yang baik buat kami berdua: kami jadi lebih mengerti satu sama lain, bahkan pada akhirnya berteman lebih akrab.

Dalam bagian terakhir dari kitab Filipi, Paulus menggiring perhatian kita kepada sebuah situasi yang serupa ketika ia memohon dengan sangat pada dua orang wanita, Euodia dan Sintikhe, untuk menerima perbedaan yang ada di antara mereka.

Tidak banyak hal yang diketahui tentang kedua wanita ini. Tetapi dalam Filipi 4:3, Paulus berkata bahwa kedua wanita ini “berjuang dengan aku dalam pekabaran Injil” dan “yang nama-namanya tercantum dalam kitab kehidupan” bersama-sama dengan teman sekerja Paulus lainnya. Penjelasan Paulus mengindikasikan bahwa kedua wanita ini ada dalam satu pihak, bekerja untuk sebuah maksud yang sama, dan mengarah ke satu tujuan akhir yang sama—surga.

Ketika kita berada di tengah-tengah konflik, seringkali lebih mudah bagi kita untuk menonjolkan perbedaan. Tetapi, menyadari bahwa kita adalah anak-anak dari Tuhan yang sama, rekan sekerja untuk sebuah maksud yang sama, dan penduduk surga di masa depan akan membantu kita untuk tidak membesar-besarkan perbedaan-perbedaan yang sepele. Akan menjadi lebih baik bagi kita untuk memfokuskan diri pada hal yang benar-benar penting, yaitu apa yang mempersatukan kita di dalam Kristus.

Dalam ayatnya yang ketiga, Paulus meminta temannya yang setia, Sunsugos, untuk membantu proses perdamaian kedua wanita tersebut. Ayat ini menggarisbawahi peran penting yang dapat kita lakukan untuk mempertahankan kesatuan tubuh Kristus. Meskipun kita tidak terlibat secara langsung dalam konflik yang ada, sudah sepatutnya kita peduli terhadap saudara-saudara kita di dalam Kristus dengan berusaha untuk menguatkan mereka dan melakukan apa yang bisa kita lakukan untuk membantu mereka berdamai.

Paulus mendambakan perdamaian sejati untuk kedua wanita ini. Ia tidak ingin mereka hanya berdamai seadanya, tetapi lebih dari itu “supaya sehati sepikir dalam Tuhan” (ayat 2). Kata dalam bahasa Yunani yang digunakan di sini adalah “phroneo” yang bermakna “melatih pikiran” atau “untuk membuat seseorang tertarik”. Artinya, kita tidak dipanggil untuk sekadar mengucapkan permintaan maaf di bibir saja. Sebaliknya, kita harus meluangkan waktu dan tenaga untuk mengatasi perbedaan yang ada dengan berkomunikasi satu sama lain, bersedia untuk saling mendengarkan, serta mengimplementasikan pengampunan dan cinta kasih.

Konflik adalah hal yang tidak terhindarkan. Seringkali bahkan menimbulkan rasa tidak nyaman dan menyakitkan, dan untuk mengatasinya pun memakan waktu. Meskipun begitu, konflik itu diperlukan untuk membantu kita semakin bertumbuh dalam kasih yang lebih besar bagi satu sama lain. Kapan pun konflik menghadang, kiranya kita mengingat nasihat Paulus kepada jemaat Filipi. Dengan fokus pada identitas kita di dalam Kristus dan apa yang dapat kita bagikan sebagai saudara seiman, kita dimampukan untuk mengatasi konflik dan memperoleh kesatuan sejati di dalam-Nya.—Chong Shou En, Singapura

Handlettering oleh Novelia Damara

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Mengapa perdamaian dan kesatuan teramat penting dalam tubuh Kristus?

2. Apakah Roh Kudus tengah mendorongmu untuk berdamai dengan seseorang? Siapakah yang dapat membantu kalian untuk mengadakan perdamaian?

3. Apakah Tuhan sudah menunjukkan kepadamu orang yang perlu kamu bantu untuk berdamai dengan orang lain?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Chong Shou En, Singapura | Proyek besar Shou En selanjutnya adalah mengalahkan kebiasaan menunda-nunda. Shou juga menyukai musik, olahraga, dan menikmati waktu luangnya bersama keluarga dan teman-teman. Yang paling penting, dia rindu untuk menyenangkan hati Tuhan lebih lagi.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Pemimpin yang Mengambil Risiko

Hari ke-13 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 2:25-30

2:25 Sementara itu kuanggap perlu mengirimkan Epafroditus kepadamu, yaitu saudaraku dan teman sekerja serta teman seperjuanganku, yang kamu utus untuk melayani aku dalam keperluanku.

2:26 Karena ia sangat rindu kepada kamu sekalian dan susah juga hatinya, sebab kamu mendengar bahwa ia sakit.

2:27 Memang benar ia sakit dan nyaris mati, tetapi Allah mengasihani dia, dan bukan hanya dia saja, melainkan aku juga, supaya dukacitaku jangan bertambah-tambah.

2:28 Itulah sebabnya aku lebih cepat mengirimkan dia, supaya bila kamu melihat dia, kamu dapat bersukacita pula dan berkurang dukacitaku.

2:29 Jadi sambutlah dia dalam Tuhan dengan segala sukacita dan hormatilah orang-orang seperti dia.

2:30 Sebab oleh karena pekerjaan Kristus ia nyaris mati dan ia mempertaruhkan jiwanya untuk memenuhi apa yang masih kurang dalam pelayananmu kepadaku.

Aku tak pernah menyangka akan menemukan museum yang dibangun khusus untuk mengenang seorang misionaris di ujung paling utara Taiwan. Mackay Museum, namanya, didedikasikan kepada George Leslie Mackay atas pelayanannya kepada orang-orang Taiwan.

George Mackay tiba di pulau Formosa (sekarang Taiwan) pada 31 Desember 1871. Ia mendapati tidak ada misionaris di bagian utara pulau itu, lantas ia menjadikan Tamshui sebagai basis pelayanannya.

Penampilan Mackay berbeda dari penduduk lokal sehingga ia dibenci, tetapi hal itu tidak menghentikan misionaris berumur 27 tahun itu dari penjangkauannya terhadap mereka. Meskipun dianiaya secara fisik—kadang menggunakan telur mentah dan kotoran manusia—ia bertekad untuk menjadi saksi Tuhan. Penduduk lokal yang pertama dimenangkan akhirnya dinobatkan menjadi pendeta pertama di Formosa.

Perjalanan misi George adalah bukti kasihnya kepada Tuhan dan penduduk Formosa. Penduduk Formosa sangat tersentuh dengan sikap hati hamba dan kasih yang tulus yang George tunjukkan kepada mereka. Dengan berani ia menyatakan, “Demi melayani mereka dalam Injil, dengan senang hati aku mau mengorbankan hidupku seribu kali.”

Dalam surat Filipi dicatat pula karakter serupa—seseorang yang “mempertaruhkan nyawanya” (ayat 30) dan menjadi teladan hati hamba dalam pelayanannya bagi Kristus—yaitu Epafroditus.

Dalam Filipi 2:25-30, Paulus memuji Epafroditus atas dedikasi dan pekerjaannya untuk Tuhan. Lewat bacaan singkat ini, kita bisa melihat dua hal. Pertama, Paulus dan Epafroditus memiliki hubungan yang dekat (Paulus memanggilnya “saudaraku dan teman sekerja serta teman seperjuanganku,” ayat 25). Kedua, Epafroditus tidak takut mengorbankan nyawanya demi melayani Tuhan Yesus Kristus (ayat 30).

Ketika jemaat Filipi mendengar tentang penyakit Epafroditus, mereka sangat bersedih. Karena itu, Paulus mengirimkan Epafroditus kembali agar mereka “bersukacita” (ayat 28). Epafroditus sangat dikasihi, dan ia sendiri sangat menyayangi jemaat Filipi sehingga tidak ingin mereka bersusah hati karena kondisinya (ayat 26). Ia mengabaikan kepentingan diri sendiri! Epafroditus selalu mendahulukan orang lain.

Dari bacaan ini, tampak bahwa Paulus dan Epafroditus adalah orang-orang yang patut diteladani: mereka bersedia diutus ke mana saja, mau melayani siapa saja, dan rela mengorbankan apa saja. Mereka menghidupi hati seorang hamba, yakni memikirkan kepentingan orang lain terlebih dahulu dan bersedia menderita demi Kristus.

Hari ini, kita juga dipanggil untuk melakukan hal yang sama. Meski tak semua orang dipanggil untuk meninggalkan tempat tinggalnya dan menyeberangi lautan untuk melayani orang asing, tetapi teladan George Mackay, Paulus, dan Epafroditus mengingatkan kita untuk terus memandang Yesus sembari mengembangkan hati seorang hamba dan berusaha melayani orang-orang di sekitar kita dengan tulus.

Semua itu memang tak mudah dilakukan. Aku sudah melayani paduan suara gerejaku selama beberapa tahun ini. Setiap Kamis malam, aku harus pergi ke sana menempuh jarak yang sangat jauh. Memang melelahkan, tetapi aku dikuatkan oleh komitmen Epafroditus, juga cerita-cerita tentang bagaimana Tuhan telah memakai paduan suara ini untuk menyentuh dan memberkati orang lain.

Bersama suami, aku juga mulai membaca satu pasal Alkitab setiap malam sebelum tidur. Kami berdoa agar firman Allah senantiasa menjadi pengingat saat kami berusaha untuk mengesampingkan kekhawatiran, frustrasi, dan kepentingan diri sendiri di tengah masa sulit. Sama seperti orang-orang yang telah menempuh perjalanan iman Kristen sebelum kita, hendaknya kita juga tetap setia dan rela berkorban dalam melayani Kristus.—Tracy Phua, Singapura

Handlettering oleh Kent Nath

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Pikirkanlah seseorang yang mengambil risiko demi injil. Apa yang memberinya keberanian untuk menanggung risiko itu? Inspirasi seperti apa yang kamu dapatkan untuk diteladani?

2. Sudahkah kamu melayani Tuhan dengan sikap hati hamba akhir-akhir ini?

3. “Risiko” (pengorbanan) apa saja yang dapat kamu ambil untuk memberitakan Injil dan/atau melayani sesama dengan kasih?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Tracy Phua, Singapura | Tracy menikmati pemandangan gunung-gunung yang berdiri megah, juga momen-momen ketika putrinya tertidur. Keduanya mengingatkan Tracy akan karya Tuhan yang luar biasa yang dilakukan-Nya dalam hidupnya.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Kemuliaan setelah Penderitaan

Hari ke-9 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 2:9-11

2:9 Itulah sebabnya Allah sangat meninggikan Dia dan mengaruniakan kepada-Nya nama di atas segala nama,

2:10 supaya dalam nama Yesus bertekuk lutut segala yang ada di langit dan yang ada di atas bumi dan yang ada di bawah bumi,

2:11 dan segala lidah mengaku: “Yesus Kristus adalah Tuhan,” bagi kemuliaan Allah, Bapa!

Pernahkah kamu bekerja sangat keras dan berharap hasil kerjamu tersebut akan setimpal dengan upayamu?

Beberapa tahun lalu, otot ligamen di lututku sobek saat bermain sepak bola. Pada pemeriksaan pertama setelah dioperasi, aku hanya punya satu pertanyaan—apa yang perlu kulakukan agar aku bisa bermain sepak bola lagi sama seperti sebelum aku mengalami cedera?

Dokter memberitahuku bahwa aku perlu mengikuti program rehabilitasi yang intensif, menghabiskan waktu di gym dan di fisioterapi untuk memperkuat otot di sekitar lututku yang cedera. Jadi, itulah komitmenku untuk setahun ke depan—menghabiskan banyak waktu untuk memulihkan cedera lututku. Prosesnya sangat panjang dan sulit, tapi aku tahu aku harus berusaha keras agar bisa kembali ke lapangan bersama teman setimku.

Kita melihat prinsip yang sama di Filipi 2:9-11. Dalam ayat-ayat sebelumnya (ayat 5-8), kita melihat Paulus mendorong gereja Filipi untuk rendah hati seperti Kristus—kerendahan hati yang tetap ada bahkan di saat-saat sebelum Ia mati.

Dan, dalam bacaan ini (ayat 9-11), kita melihat kerendahan hati dan ketaatan akan memimpin kita kepada kemuliaan. Kata “itulah sebabnya” di awal ayat ke-9 adalah kunci; itu menunjukkan hubungan antara ayat kemarin dengan ayat hari ini. Kerendahan hati dan ketaatan Yesus membawa-Nya kepada hadiah yang Paulus telah tuliskan untuk kita di Filipi 2:9-11. Apakah sebenarnya hadiah ini? Hadiahnya adalah kemuliaan yang jauh melampaui akal manusia—Yesus dimuliakan di atas segalanya dan disembah oleh seluruh dunia.

Di sini, Paulus sedang menunjukkan kepada gereja Filipi tentang apa yang akan mereka dapatkan dari pengorbanan mereka. Sebelumnya, Paulus mendorong para jemaat Filipi untuk terus “bersama berjuang sebagai kesatuan dalam kepercayaan kepada Injil” (Filipi 1:27), dan kita lihat bahwa perjuangan mereka dapat membuat mereka menderita demi iman mereka (1:29).

Filipi 2:3-4 menunjukkan apa yang jemaat seharusnya lakukan, dan mengorbankan kenyamanan merupakan salah satunya. Tidak akan mudah bagi para jemaat Filipi untuk menghargai orang lain di atas diri mereka sendiri (2:3), dan untuk memperhatikan kepentingan orang lain dan bukan kepentingan mereka sendiri (2:4). Tapi di ayat 5, Paulus mendorong mereka untuk “memiliki pola pikir yang sama dengan Kristus Yesus”—kerendahan hati dan ketaatan kepada Tuhan, karena seperti Yesus, hal itu akan membawa mereka kepada hadiah yang Tuhan telah persiapkan dalam kekekalan.

Jemaat Filipi dapat yakin dengan janji ini karena mereka telah melihatnya dalam kehidupan, kematian, dan kenaikan Yesus; mereka bisa yakin bahwa ketekunan mereka sekarang akan membawa mereka kelak menikmati kemuliaan yang kekal bersama Tuhan. Dan lebih dari itu, mereka dapat yakin bahwa kemuliaan yang sedang menanti mereka akan jauh melampaui pengorbanan yang harus mereka lakukan sekarang.

Sama seperti harapan dapat bermain sepak bola lagi membantuku melewati masa-masa pemulihan yang sulit, Paulus mengingatkan kita untuk berharap pada janji mulia Tuhan, yaitu kekekalan. Ketika kita merasa kita tidak mau lagi mengasihi dan melayani orang lain seperti yang diminta Tuhan pada kita, mengingat hadiah yang kelak akan kita terima di akhir bisa membantu kita untuk terus taat.

Mungkin saat ini kita menderita, tetapi jika kita terus meneladani Yesus, segala penderitaan itu tak akan ada lagi artinya saat kita kelak bertemu dengan-Nya.

Ketika saat itu tiba—terkagum dengan kemuliaan dan kehadiran Allah yang kekal—tidak salah lagi bahwa semua penderitaan yang telah kita tanggung sepadan dengan apa yang kita dapatkan.—Andrew Koay, Australia

Handlettering oleh Novelia Damara

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Kristus telah ditinggikan di atas segala-Nya. Bagaimana pemahaman ini memengaruhi cara kita memuji dan bertindak bagi-Nya?

2. Apa yang memotivasimu untuk menjadi rendah hati dan memikirkan orang lain lebih dahulu daripada dirimu sendiri?

3. Bagaimana pengharapan akan kekekalan menyemangatimu hari ini?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Andrew Koay, Australia | Andrew meluangkan waktunya untuk menonton film dokumenter. Andrew juga suka mendengarkan suara Tuhan lewat firman-Nya dalam Alkitab.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Berjalan dalam Kerendahan Hati Kristus

Hari ke-8 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 2:5-8

2:5 Hendaklah kamu dalam hidupmu bersama, menaruh pikiran dan perasaan yang terdapat juga dalam Kristus Yesus,

2:6 yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,

2:7 melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia.

2:8 Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib.

Aku tidak akan pernah melupakan pengalaman ketika aku pindah di tahun pertama kuliahku. Gejolak emosiku memuncak saat aku menghadiri kebaktian khusus bersama rektor. Beliau adalah seorang guru dan teolog yang dihormati. Orang tuaku antusias untuk mendengar khotbahnya dan bahkan menyalaminya. Bagi mereka, beliau adalah seorang “raksasa iman”.

Di akhir pidatonya, beliau melakukan tindakan yang luar biasa untuk seseorang dengan status terhormat sepertinya. Beliau meminta semua mahasiswa tahun pertama untuk maju menghadap mimbar dan berlutut menerima berkat. Sang rektor, dalam usianya yang melampaui 70 tahun, mengenakan setelan resmi, turut berlutut hingga hampir terjatuh. Beliau kemudian menengadahkan tangannya ke atas para mahasiswa dan berdoa untuk kami.

Rasanya mengejutkan untuk melihat pemimpin senior dan dihormati ini berkenan memosisikan dirinya dalam postur yang tidak nyaman demi para mahasiswa muda. Sikap berlututnya menggambarkan kerendahan hatinya.

Dalam suratnya kepada gereja Filipi, Paulus menasihati para pengikut Kristus untuk selalu rendah hati dan “berpikir seperti Yesus Kristus” (Filipi 2:5). Kebanyakan dari kita akrab dengan gambaran Yesus sebagai seorang pelayan yang rendah hati—halus, lembut, baik hati. Tapi penting juga untuk tidak melupakan betapa kerendahan hati ini sangat berlawanan dengan dunia ini yang begitu menghargai prestasi, status sosial, dan kekayaan.

Paulus memberitahu para jemaat Filipi bahwa meskipun Yesus dalam naturnya adalah Tuhan, Dia tidak menganggap kesetaraan dengan Bapa sebagai sesuatu yang harus dipertahankan. Malahan, Yesus “membuat dirinya menjadi bukan siapa-siapa”—bukannya menggunakan hak istimewanya yang Ilahi untuk keuntungan-Nya sendiri, Yesus menanggalkan semuanya untuk menjadi sama seperti manusia (ayat 7). Dia juga “mengambil rupa seorang hamba” (ayat 7), bukan rupa sebagai raja, yang seharusnya bisa dipilih-Nya.

Yesus memilih untuk dilahirkan sebagai seorang manusia, menerima semua keterbatasan tubuh manusia yang terikat dengan tempat dan waktu dan dibalut dalam kulit yang tidak sempurna. Sampai akhirnya, Yesus “merendahkan diri-Nya sendiri dengan menundukkan diri kepada kematian—bahkan kematian di atas kayu salib!”. Ia menyerahkan diri kepada rancangan indah Allah meskipun itu membuat Ia sengsara dan terhina (ayat 8).

Ketika Paulus mendorong orang-orang Kristen untuk “memiliki pola pikir yang sama” seperti Yesus (ayat 5), hal itu bisa terasa susah dan tidak nyaman bagi kita. Tapi, itu juga memerdekakan kita. Ketika kita bersedia memiliki kerendahan hati, kita bisa keluar dari jerat perlombaan mengejar kekuasaan, kejayaan, dan kekayaan yang dunia agung-agungkan. Kita bisa mengaku bahwa kita memang terbatas, tapi ada Satu yang tidak terbatas. Kita dapat menundukkan diri kepada rencana Tuhan, meskipun itu tidak masuk akal bagi dunia sekitar kita. Pemahaman inilah yang mengubah cara kita berhubungan dengan anggota lain dalam keluarga Tuhan—gereja. Hidup dengan kerendahan hati memungkinkan kita untuk menjadi “sepemikiran, memiliki kasih yang sama, dan menjadi satu dalam roh dan satu dalam pikiran” (ayat 2).

Jadi, bagaimana cara kita mengikuti kerendahan hati Yesus dalam keseharian kita? Mungkin kita tidak dipanggil untuk memanggul salib dengan cara disiksa sampai berdarah-darah, tetapi kita bisa mencari cara untuk memakai hak istimewa kita untuk memberkati orang lain, bukan untuk keuntungan kita sendiri. Alih-alih mengejar posisi yang tinggi, kita bisa mulai melayani dari posisi bawah. Alih-alih berusaha tampil sempurna, kita bisa menerima dan menghargai keterbatasan kita. Dan, kita pun bisa dengan rendah hati menerima apa yang Tuhan telah berikan kepada kita sebagai bagian dari rancangan indah-Nya.— Karen Pimpo, Amerika Serikat.

Handlettering oleh Gerardine Eunike

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Bagaimana kamu dapat meniru kerendahan hati Kristus dalam keseharianmu?

2. Bagaimana kamu dapat “memiliki pola pikir yang sama seperti Kristus” dalam hubunganmu dengan sesama?

3. Adakah seseorang yang dapat kamu layani dengan rendah hati hari ini?

4. Hal-hal apa yang sulit kamu lepaskan? Bagaimana teladan Kristus dapat mendorongmu untuk melakukannya?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Karen Pimpo, Amerika Serikat | Karen menyukai musik, bertemu orang-orang, dan makan camilan sebanyak mungkin. Karen juga suka mencari dan menemukan kebenaran di dalam Alkitab.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Anugerah Menderita Bagi Kristus

Hari ke-6 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 1:29-30

1:29 Sebab kepada kamu dikaruniakan bukan saja untuk percaya kepada Kristus, melainkan juga untuk menderita untuk Dia,

1:30 dalam pergumulan yang sama seperti yang dahulu kamu lihat padaku, dan yang sekarang kamu dengar tentang aku.

Kisah Romo Damien selalu menjadi inspirasiku. Beliau berumur 24 tahun ketika berlayar dari kampung halamannya di Belgia untuk melayani orang-orang Hawaii.

Beberapa tahun kemudian di tahun 1873, ada sebuah panggilan bagi sukarelawan untuk melayani penderita kusta di Kalowao. Daerah itu lokasinya terpencil, tiap penduduk asli Hawaii yang menderita kusta akan dikirim ke sana, menghabiskan waktu, hingga akhirnya meninggal.

Tentunya tempat tersebut bukanlah tempat yang nyaman. Romo Damien akan selalu dikelilingi penyakit, dan juga oleh kesedihan dari orang-orang yang keluarganya telah direnggut dari mereka. Singkatnya, ia akan dikelilingi oleh penderitaan.

Meski demikian Romo Damien berkomitmen untuk melayani penduduk Kalowao hingga pada akhirnya, ia pun mengidap penyakit kusta dan meninggal di Hawaii pada usia 49 tahun.

Pelayanan Romo Damien untuk Tuhan di tengah penderitaan yang harus ia tanggung adalah contoh jelas bagi kita mengenai apa artinya menjadi seorang Kristen, dan mengarahkan orang-orang pada sang Juruselamat yang telah menderita bagi kita.

Seperti Romo Damien, kehidupan Rasul Paulus pun tidak asing dengan penderitaan. Ia telah menerima 39 cambukan lima kali, didera tiga kali, dilempari batu, mengalami karam kapal, dan mengalami begitu banyak bahaya dalam perjalanannya, terkadang bahkan dari sesama orang Yahudi (2 Korintus 11:24-29).

Namun tetap saja ia tidak pernah terlihat mengeluh. Bahkan, dalam surat Paulus untuk jemaat Filipi, ia berkata bahwa kita seharusnya menerima kenyataan bahwa setiap kita yang percaya pada Yesus juga akan menderita bagi-Nya—dan kita seharusnya menganggap itu sebuah “anugerah” (ayat 29, BIS). Paulus melanjutkan perkataannya untuk menunjukkan bahwa penderitaannya belum berakhir (ayat 30).

Pada awalnya, perkataan Paulus tidak terlihat menguatkan bagi jemaat Filipi maupun setiap kita yang sedang berada dalam penderitaan.

Ada baiknya bagi kita untuk berhenti sejenak dan menanyakan diri kita pertanyaan-pertanyaan berikut: Apa gunanya menderita? Mengapa percaya pada Kristus dan penderitaan sangat berkaitan erat?

Pada ayat 30, Paulus berempati dengan penderitaan jemaat Filipi dengan mengingatkan mereka bahwa ia pun menjalani hal yang serupa. Di tengah segala penderitaan yang dialami Paulus, ia mencontohkan pada jemaat Filipi—dan juga pada kita hari ini—kebaikan Allah di tengah semua itu.

Jemaat Filipi mengetahui penderitaan Paulus, dan dapat melihat bagaimana Tuhan memeliharanya di tengah segala pencobaan dan masa-masa sulit yang ia lewati (ayat 19). Mereka juga mengetahui bahwa Paulus menemukan kekuatan untuk menanggung penderitaannya karena ia melihatnya sebagai sebuah cara untuk berpartisipasi dalam penderitaan Yesus dan menjadi semakin serupa dengan-Nya (Filipi 3:10-11). Lalu mereka dapat memperoleh penghiburan bahwa Tuhan akan menopang mereka juga, dan pada akhirnya kesaksian mereka akan mendatangkan kemuliaan bagi Tuhan.

Sebagai orang Kristen, kita tahu bahwa pada suatu saat kita akan menderita. Bagaimana kita akan merespons penderitaan itu ketika saatnya tiba? Mungkin beberapa orang di antara kita telah mengalami penderitaan dalam bentuk tertentu—bagaimana ayat-ayat ini dapat menguatkan kita hari ini?

Harapanku adalah agar seperti Paulus, kita dapat menganggap penderitaan demi Kristus sebagai suatu anugerah. Mari kita menatap pada sumber kekuatan surgawi yang telah menopang Paulus dan jemaat Filipi—Bapa kita di surga. Seperti Paulus dan jemaat Filipi, mari kita berjuang bersama-sama untuk iman dan Injil, melanjutkan pekerjaan warisan kita untuk menuntun orang pada Yesus bahkan di tengah penderitaan.—Caleb Young, Selandia Baru

Handlettering oleh Marcella Leticia Salim

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Apakah kamu sedang mengalami penderitaan? Bagaimana pesan dari bacaan ini dapat menguatkan kamu?

2. Apakah kamu mengenal orang-orang yang pernah atau sedang menderita bagi Kristus? Bagaimana ketekunan mereka menguatkanmu untuk melakukan hal yang sama?

3. Apakah kamu mengenal orang yang sedang mengalami penderitaan? Bagaimana saat teduh hari ini mendorongmu untuk ikut masuk ke dalam penderitaan mereka dan menguatkan mereka?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Caleb Young, Selandia Baru | Caleb adalah penyuka film, makanan, hiburan, dan juga keluarga. Dia ingin semakin menjadi serupa dengan Kristus, dan bersyukur memiliki Juruselamat yang mengasihinya meskipun dia punya banyak kekurangan.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Apa yang Kau Kejar dalam Hidupmu?

Hari ke-4 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 1:19-26

1:19 karena aku tahu, bahwa kesudahan semuanya ini ialah keselamatanku oleh doamu dan pertolongan Roh Yesus Kristus.

1:20 Sebab yang sangat kurindukan dan kuharapkan ialah bahwa aku dalam segala hal tidak akan beroleh malu, melainkan seperti sediakala, demikianpun sekarang, Kristus dengan nyata dimuliakan di dalam tubuhku, baik oleh hidupku, maupun oleh matiku. 1:21 Karena bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.

1:22 Tetapi jika aku harus hidup di dunia ini, itu berarti bagiku bekerja memberi buah. Jadi mana yang harus kupilih, aku tidak tahu.

1:23 Aku didesak dari dua pihak: aku ingin pergi dan diam bersama-sama dengan Kristus–itu memang jauh lebih baik;

1:24 tetapi lebih perlu untuk tinggal di dunia ini karena kamu. 1:25 Dan dalam keyakinan ini tahulah aku: aku akan tinggal dan akan bersama-sama lagi dengan kamu sekalian supaya kamu makin maju dan bersukacita dalam iman,

1:26 sehingga kemegahanmu dalam Kristus Yesus makin bertambah karena aku, apabila aku kembali kepada kamu.

Berlari, aku sedang berlari

Untuk mendapatkan segalanya.

Cepat, ayo cepatlah,

Aku perlu meraih

Satu hal lagi

Aku menulis puisi ini lebih dari 10 tahun yang lalu. Beberapa tahun sebelumnya, aku hampir kehilangan ibuku karena kanker, tak lama setelah aku menjadi seorang Kristen. Kematian memiliki kesan baru bagiku: rasa sakit yang ditinggalkannya benar-benar nyata. Aku merasa kesal, takut, dan kebingungan. Aku mulai mengejar hal-hal seperti harta, pencapaian dan keluarga yang harmonis, untuk menghilangkan rasa sakit dan sedih.

Sementara itu, aku tetap melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukan orang Kristen: pergi ke gereja, memberi persembahan, berdoa, menyanyikan beberapa lagu, dan membaca Alkitab. Semua hal ini baik dan penting untuk perjalananku bersama Tuhan, namun aku kehilangan hati untuk berelasi dengan-Nya. Kekristenan hanyalah suatu hal yang kutambahkan ke dalam daftar hal-hal yang membuatku aman, sebuah jaminan untuk memperoleh puncak kebahagiaan—kehidupan abadi. Bagiku, hidup berarti bahagia, dan mati adalah sebuah tragedi.

Yang belum kumengerti adalah berelasi dengan Allah berarti menjadikan segalanya tentang Yesus. Termasuk menjadikan kerinduan dan misi-Nya—menjadikan segala bangsa murid-Nya (Matius 28:19)—menjadi kerinduan dan misiku. Inilah bagaimana Paulus menjalani hidupnya.

Surat Paulus kepada jemaat Filipi banyak berisi hasrat terdalam dan harapannya: bahwa Kristus dimuliakan di dalamnya baik dalam hidup maupun matinya. Cara pandang Paulus sangat bertentangan denganku—karena baginya, hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan (ayat 21).

Seluruh kehidupan Paulus adalah tentang Kristus. Ketika ia menuliskan deklarasinya yang indah mengenai kesetiaannya pada Kristus, ia sedang berada di dalam penjara yang dijaga oleh tentara Romawi. Deklarasi tersebut bukanlah kata-kata kosong belaka, namun sebuah pernyataan yang berasal dari kepercayaan diri. Paulus siap menanggung segala konsekuensi dari menjalani hidup bagi Kristus—bahkan kematian.

Kematian bukanlah tamu yang tidak diundang bagi Paulus, karena mati berarti pulang untuk bersama dengan Kristus, yang baginya adalah jauh lebih baik daripada hidup (ayat 23)—sebuah keuntungan terbesar bagi orang yang alasan keberadaannya dalam hidup adalah Kristus. Namun bahkan dalam pemikirannya mengenai apakah ia lebih memilih untuk hidup atau mati, Paulus memilih apa yang lebih mendatangkan kebaikan bagi orang lain dibanding bagi dirinya sendiri (ayat 24-25). Ia menuntun orang lain untuk semakin bersukacita di dalam Kristus (ayat 26).

Pilihan Paulus adalah sebuah contoh yang indah mengenai pengosongan diri demi orang lain dan demi Kristus. Pilihan itu adalah sebuah jenis pilihan yang dapat dengan mudah tersingkirkan ketika kita berfokus pada kebahagiaan dan keuntungan diri kita sendiri. Paulus tidak berpegang erat pada apapun, kecuali Kristus. Ia menyambut apapun yang terjadi demi Kristus.

Teladan Paulus mengubah tujuan pribadiku dalam hidup. Alih-alih mengejar hal-hal duniawi, kini kerinduanku adalah untuk mengenal Yesus lebih lagi dan mengarahkan orang-orang pada-Nya—meskipun itu berarti beranjak dari zona nyamanku dan membagikan Injil dengan orang-orang di sekitarku.

Aku berdoa untuk semua orang percaya di seluruh dunia, termasuk diriku, supaya memiliki visi yang sama yang dimiliki Paulus—sebuah kerinduan untuk menjalani hidup kita bagi Kristus di atas segalanya, dan sebuah sikap yang tidak takut pada kematian karena itu berarti kita akan “bersama-sama dengan Kristus” (ayat 23). Mari kita terus mengevaluasi apa yang kita kejar dalam hidup, mengarahkan kembali prioritas kita dengan prioritas Allah, dan membuat keputusan yang akan mengarahkan orang lain pada Kristus.

Aku berdoa agar seperti Paulus, mengenal, mengejar, dan hidup bagi Kristus adalah satu-satunya hal yang berarti bagi kita.—Kezia Lewis, Filipina

Handlettering oleh Elizabeth Rachel Soetopo

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Renungkan apa yang Paulus tulis dalam Filipi 1:19-26 dan minta Tuhan untuk menunjukkan isi hatimu. Apa tujuan hidupmu? Hal apa yang deminya kamu rela mati?

2. Dalam hal apa cara pandangmu mengenai kehidupan dan kematian sama atau berbeda dengan cara pandang Paulus?

3. Bagaimana teladan Paulus dapat mendorongmu untuk menjalani hidupmu dengan berbeda hari ini?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Kezia Lewis, Filipina | Tiada hal yang lebih menyenangkan bagi Kezia selain naik mobil selama dua jam bersama suaminya, sembari mendengarkan rekaman khotbah. Tapi, menikmati hujan ditemani secangkir kopi juga merupakan waktu yang berkualitas buatnya.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi

Apakah Kamu Takut Membagikan Injil?

Hari ke-3 | 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi
Baca Konteks Historis Kitab Filipi di sini

Baca: Filipi 1:12-18

1:12 Aku menghendaki, saudara-saudara, supaya kamu tahu, bahwa apa yang terjadi atasku ini justru telah menyebabkan kemajuan Injil,

1:13 sehingga telah jelas bagi seluruh istana dan semua orang lain, bahwa aku dipenjarakan karena Kristus.

1:14 Dan kebanyakan saudara dalam Tuhan telah beroleh kepercayaan karena pemenjaraanku untuk bertambah berani berkata-kata tentang firman Allah dengan tidak takut.

1:15 Ada orang yang memberitakan Kristus karena dengki dan perselisihan, tetapi ada pula yang memberitakan-Nya dengan maksud baik.

1:16 Mereka ini memberitakan Kristus karena kasih, sebab mereka tahu, bahwa aku ada di sini untuk membela Injil,

1:17 tetapi yang lain karena kepentingan sendiri dan dengan maksud yang tidak ikhlas, sangkanya dengan demikian mereka memperberat bebanku dalam penjara.

1:18 Tetapi tidak mengapa, sebab bagaimanapun juga, Kristus diberitakan, baik dengan maksud palsu maupun dengan jujur. Tentang hal itu aku bersukacita. Dan aku akan tetap bersukacita.

Seberapa besarkah rasa peduli kita terhadap kesempatan orang-orang mendengar Injil?

Aku mengingat kesempatan yang kudapat baru-baru ini untuk memberitahu seorang temanku tentang Yesus Kristus. John telah membagikan pergumulannya padaku tentang keluarganya dan perjuangannya melawan depresi.

Pada saat itu, aku tahu persis apa yang perlu kukatakan, namun entah mengapa kata-kata tersebut tersangkut di tenggorokanku, seperti sebuah gumpalan yang besar dan membuat tidak nyaman. Pada akhirnya, dalam pembicaraan tersebut untuk sebagian besarnya aku hanya mendengar dan menawarkan beberapa nasihat, sementara aku sadar bahwa yang seharusnya kulakukan adalah membagikan pengharapan Kristus padanya.

Mengapa aku tidak melakukannya? Dalam perenunganku, aku takut. Sejak kami berkenalan, John selalu berkata terus terang mengenai kepercayaan ateisnya dan kritikannya terhadap agama. Dan meskipun kami pernah membahas topik seputar Tuhan, aku selalu gagal membagikan Injil secara lengkap karena rasa takut akan bagaimana John merespons.

Bagaimana jika ia tersinggung akibat aku membagikan Injil? Tidakkah itu akan membuat pertemanan akrabku menjadi retak dan canggung? Lebih lagi, bagaimana jika ia kesal hingga ia memberitahu teman-teman kami yang lainnya mengenai usahaku yang dianggapnya ingin mendorongnya berubah kepercayaan? Tidakkah itu akan menghancurkan reputasiku, dan dengan efektif membuatku dikucilkan?

Teladan Paulus dalam Filipi 1:12-18 merupakan teguran yang keras buatku. Dalam ayat-ayat ini Paulus mencontohkan bagaimana seharusnya kita memiliki pola pikir. Ketika kita fokus menyebarkan Injil, maka mencari kenyamanan diri sendiri tidaklah menjadi suatu hal yang penting.

Dalam ayat-ayat ini, kita mendapati Paulus sedang berada di situasi yang tidak mudah. Tidak hanya menulis surat untuk jemaat Filipi di dalam penjara, namun sebagaimana ditulis di ayat 17, Paulus memiliki alasan untuk khawatir yang berasal dari ketidakhadirannya akibat pemenjaraannya. Nampaknya beberapa orang yang menggantikan Paulus untuk menyebarkan Injil memiliki motivasi yang buruk; sebagaimana Paulus menuliskan “sangkanya dengan demikian mereka memperberat bebanku dalam penjara.”

Namun, respon Pauluslah yang paling menguatkan kita. Alih-alih bersedih atas situasinya, ia justru bersukacita (ayat 18)! Yang terpenting bagi Paulus adalah pemenjaraannya telah terbukti menghasilkan buah bagi Injil. Pemenjaraannya memberikan kesempatan bagi Paulus untuk membagikan Injil pada penjaga penjara, dan telah membuat orang-orang Kristen lainnya memiliki keberanian untuk memberitakan Injil (ayat 13-14). Di tengah situasinya yang buruk dan motivasi jahat yang dimiliki orang-orang lain (ayat 17-18), yang paling Paulus pedulikan adalah tersebarnya Injil itu.

Jadi seberapa besarkah rasa peduli kita terhadap kesempatan orang-orang mendengar Injil?

Kegagalanku untuk membagikan Injil pada John membuktikan bahwa aku lebih memperhatikan kenyamanan dan reputasiku; aku tidak bersedia menanggung kemungkinan yang membuat tidak nyaman dan canggung. Aku perlu memiliki pola pikir yang Paulus tunjukkan di surat Filipi—pola pikir untuk mengasihi John, untukku memiliki keberanian membagikan kabar terbaik yang pernah kudengar apapun resikonya.

Hal itu tidak berarti aku harus menjadi orang yang kurang ajar dan menghancurkan setiap percakapan, namun contoh Paulus mendorongku untuk berpikir lebih jauh tentang bagaimana aku bisa membagikan Injil dengan teman-temanku. Kiranya kita menjadi seperti Paulus, tidak membiarkan ketakutan kita menghalangi tersebarnya Injil. Melihat lebih banyak orang menemukan pengetahuan tentang Kristus yang menyelamatkan merupakan hal yang jauh lebih penting.—Andrew Koay, Australia

Handlettering oleh Septianto Nugroho

Pertanyaan untuk direnungkan

1. Ketakutan apa yang menghalangimu dari memberitakan Yesus Kristus pada orang-orang di sekitarmu?

2. Kesulitan apa yang sedang kamu jalani saat ini? Bagaimana caranya kamu dapat mendoakan supaya kesulitan tersebut menjadi kesempatan untuk menyebarkan Injil?

3. Apa yang kamu rasakan ketika kamu melihat Injil dibagikan dengan motivasi yang tidak murni? Bagaimana sikap Paulus dapat menantangmu untuk memberikan respon yang berbeda?

Bagikan jawaban atas perenunganmu ini di kolom komentar. Kiranya jawaban sobat muda dapat menjadi inspirasi dan berkat bagi orang lain.

Tentang Penulis:

Andrew Koay, Australia | Andrew meluangkan waktunya untuk menonton film dokumenter. Andrew juga suka mendengarkan suara Tuhan lewat firman-Nya dalam Alkitab.

Baca 30 Hari Saat Teduh bersama Kitab Filipi