Posts

Lihat yang Telah Yesus Lakukan

Minggu, 12 Februari 2017

Lihat yang Telah Yesus Lakukan

Baca: Lukas 8:1-8

8:1 Tidak lama sesudah itu Yesus berjalan berkeliling dari kota ke kota dan dari desa ke desa memberitakan Injil Kerajaan Allah. Kedua belas murid-Nya bersama-sama dengan Dia,

8:2 dan juga beberapa orang perempuan yang telah disembuhkan dari roh-roh jahat atau berbagai penyakit, yaitu Maria yang disebut Magdalena, yang telah dibebaskan dari tujuh roh jahat,

8:3 Yohana isteri Khuza bendahara Herodes, Susana dan banyak perempuan lain. Perempuan-perempuan ini melayani rombongan itu dengan kekayaan mereka.

8:4 Ketika orang banyak berbondong-bondong datang, yaitu orang-orang yang dari kota ke kota menggabungkan diri pada Yesus, berkatalah Ia dalam suatu perumpamaan:

8:5 “Adalah seorang penabur keluar untuk menaburkan benihnya. Pada waktu ia menabur, sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu diinjak orang dan burung-burung di udara memakannya sampai habis.

8:6 Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, dan setelah tumbuh ia menjadi kering karena tidak mendapat air.

8:7 Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, dan semak itu tumbuh bersama-sama dan menghimpitnya sampai mati.

8:8 Dan sebagian jatuh di tanah yang baik, dan setelah tumbuh berbuah seratus kali lipat.”* Setelah berkata demikian Yesus berseru: /”Siapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!”

Demikianlah juga hendaknya kamu kaya dalam pelayanan kasih ini. —2 Korintus 8:7

Lihat yang Telah Yesus Lakukan

Ketika baru berumur delapan tahun, seorang anak pernah mengatakan kepada Wally, seorang sahabat dari orangtuanya, “Aku mengasihi Yesus dan aku mau melayani Tuhan di luar negeri suatu saat nanti.” Sepanjang kurang lebih sepuluh tahun, Wally mendoakan anak itu sambil melihatnya bertambah dewasa. Ketika pemuda itu kemudian memberikan diri untuk pergi bermisi ke negara Mali, Wally pun mengatakan kepadanya, “Sudah saatnya! Ketika dahulu aku mendengar apa yang ingin kamu lakukan, aku menginvestasikan sejumlah uang dan menabungnya untukmu, sambil menunggu kabar gembira ini.” Wally memiliki hati yang mengasihi orang lain dan senang mendukung upaya pemberitaan Injil pada dunia.

Yesus dan murid-murid-Nya membutuhkan dukungan dana dalam perjalanan mereka keluar masuk kota dan desa untuk mengabarkan Injil Kerajaan Allah (Luk. 8:1-3). Sekelompok perempuan yang telah dilepaskan dari roh jahat dan penyakit mendukung rombongan itu “dengan kekayaan mereka” (ay.3). Salah seorang dari perempuan itu adalah Maria Magdalena yang telah dibebaskan dari tujuh roh jahat. Ada juga Yohana, istri dari bendahara Herodes. Kita tidak tahu apa-apa tentang Susana dan “banyak perempuan lain” (ay.3), tetapi kita tahu bahwa Yesus telah menjawab kebutuhan rohani mereka. Sekarang mereka melayani Tuhan Yesus dan murid-murid-Nya dengan memberikan dukungan dana.

Ketika kita menyadari apa yang telah Yesus lakukan untuk kita, maka kerinduan hati-Nya bagi sesama menjadi kerinduan kita juga. Mari tanyakan kepada Allah bagaimana Dia mau memakai kita dalam pelayanan-Nya. —Anne Cetas

Bagaimana kamu mengambil bagian dalam pemberitaan Injil kepada orang-orang di sekitarmu dan di dunia? Ceritakanlah kepada seseorang apa yang telah Yesus lakukan untukmu. Tulislah pesan yang dapat menyemangati seseorang. Berbagilah berkat dengan seorang misionaris. Berdoalah.

Yesus telah menyerahkan semua milik-Nya; Dia layak mendapatkan seluruh milik kita.

Bacaan Alkitab Setahun: Imamat 13; Matius 26:26-50

Artikel Terkait:

Tak Kusangka, Pelayanan Kecil yang Kulakukan Ternyata Begitu Berarti

“Beberapa waktu lalu, aku disibukkan dengan sebuah kegiatan penggalangan dana. Lewat penjualan gelang denim, aku dan kawan-kawan pemuda gerejaku rindu memberikan donasi sebagai sebuah bentuk dukungan bagi sebuah komunitas yang melayani anak-anak punk. Dana terkumpul, dan aku kira cerita telah usai. Ternyata tidak.”

Baca artikel Claudya selengkapnya di dalam artikel berikut.

Apa yang Kamu Berikan di Hari Natal?

apa-yang-kamu-berikan-di-hari-natal

Oleh Aryanto Wijaya

Dua hari menjelang malam Natal, hujan turun dengan derasnya sepanjang malam. Padahal, kami berniat pergi caroling ke rumah-rumah jemaat gereja kami. Kami sempat ragu untuk berangkat, namun kami berpikir bahwa hujan yang turun seharusnya tidak memudarkan semangat kami untuk membagikan kasih Natal. Kami pun bertolak dari gereja dengan semangat.

Rumah jemaat yang kami tuju waktu itu adalah jemaat-jemaat yang sudah berusia lanjut. Kami sengaja tidak memberitahukan kedatangan kami terlebih dahulu supaya memberi kesan kejutan. Tak lupa kami membawa lilin-lilin kecil, gitar, juga paket sembako sebagai tanda kasih kepada mereka.

Jam telah menunjukkan pukul sembilan malam, hujan pun tak kunjung reda. Kami sempat tersesat dan terhambat karena jalanan banjir. Akhirnya dengan menggunakan payung dan melipat celana, kami berjalan kaki ke rumah seorang nenek yang tinggal seorang diri. Kami mengetuk pintunya perlahan, namun tak ada jawaban dan juga lampu di rumah nenek itu tidak menyala. Kami pikir tidak ada orang dan kami pun memutuskan untuk kembali.

“Krek,” suara pintu dibuka, ternyata nenek itu tidak sedang pergi dan kebetulan lampu di rumahnya sedang mati. Kami segera berbalik dan menyalami sang nenek. Satu teman kami menceritakan padanya maksud kedatangan kami. Petikan gitar mulai mengalun, kami mulai bernyanyi untuk sang nenek di pintu depan rumahnya. Ketika lagu “Malam Kudus” mulai mengalun, lilin-lilin kecil dinyalakan dan tanpa sadar air mata sang nenek ikut terjatuh, demikian juga dengan kami.

Alunan lagu Natal di malam yang dingin itu membawa kami larut dalam kedamaian kasih Allah yang dicurahkan bagi dunia ribuan tahun silam. Kehadiran kami di rumah nenek itu ternyata membawa sukacita besar tak hanya bagi sang nenek, tapi juga bagi kami. Di akhir caroling, nenek tadi bercerita tentang perasaannya yang begitu senang karena dikunjungi sekelompok anak muda.

Peristiwa Natal yang pertama kali bukanlah suatu peristiwa yang penuh kemeriahan. Maria yang tengah mengandung harus menempuh perjalanan jauh hingga tibalah saatnya untuk bersalin. Tak ada tempat untuknya hingga sebuah kandang harus menjadi tempat bagi sang Juruselamat dilahirkan. Dari sebuah kandang itu sukacita besar dicurahkan bagi seluruh umat manusia (Lukas 2:1-7).

Yesus lahir dan dunia beroleh kesukaan besar bagi seluruh bangsa. Kelahiran-Nya disambut dengan kehadiran para gembala sederhana yang mendengar kabar bahwa ada Juruselamat yang baru saja dilahirkan (Lukas 2:8-18).

Di hari Natal ini, maukah kita memberikan sesuatu untuk teman-teman kita, keluarga kita, atau orang lain yang tidak kita kenal? Bukankah Yesus datang untuk memberikan hidup-Nya bagi kita? Lantas apa yang hendak kita berikan sebagai wujud syukur dari kelahiran-Nya?

Kita bisa membagikan sukacita Natal dalam berbagai cara. Jika saat ini ada yang sedang bekerja dan tak memungkinkan untuk pulang, kita bisa menelepon keluarga di rumah dan mengucapkan selamat Natal. Jika ada rekan yang terbaring sakit di rumah sakit, kita bisa datang menjenguknya, atau bisa juga berbagi kasih dengan menyapa dan berkenalan dengan orang-orang baru yang hadir saat kebaktian Natal di gereja.

Sejatinya, Natal adalah tentang memberi. Allah telah memberikan Anak-Nya yang tunggal sebagai jalan keselamatan bagi kita (Yohanes 3:16). Lalu, sebagai anak-anak-Nya yang telah ditebus oleh-Nya, apa yang sudah kita berikan bagi Yesus?

Kita bisa memberikan kasih kita bagi sesama kita.

Baca Juga:

Damai Natal di Media Sosial

Selama bertahun-tahun umat Kristiani di Indonesia merayakan Natal dengan berbagai semaraknya, namun di penghujung tahun ini kita cukup diguncang. Menjelang Natal, sempat terjadi pengeboman sebuah gereja di Samarinda, yang kemudian disusul kasus pembubaran ibadah Natal di Sabuga. Wacana pelarangan ucapan Natal beserta pembatasan ornamen khas Natal juga menyebar di mana-mana.

Kisah Orang Majus Keempat

kisah-orang-majus-keempat

Oleh Abyasat Tandirura, Makassar

Natal adalah sebuah momen yang sangat istimewa yang aku nanti-nantikan setiap tahun. Bagiku, itu adalah sebuah momen yang mengingatkanku bahwa ada Pribadi yang mengasihiku tanpa syarat, menerimaku apa adanya, bahkan menyelamatkanku, agar kelak aku beroleh kehidupan yang kekal dan dapat tinggal bersama-Nya selamanya.

Meski Natal dirayakan dengan tradisi yang berbeda di setiap penjuru dunia, sebagai orang percaya, kita percaya bahwa Natal adalah tentang kelahiran Yesus Kristus, Sang Juruselamat dunia.

Apa yang menarik perhatianmu tentang Natal? Apakah tentang perayaannya? Liturginya? Khotbahnya? Ataukah banyaknya kado-kado Natal? Atau baju baru dan sepatu baru?

Sejujurnya, dahulu ketika aku masih mengikuti Sekolah Minggu, aku tertarik pada semuanya. Apalagi mendapatkan kado Natal, itu sangat menyenangkan! Namun, kini Natal menjadi titik balik dalam hidupku untuk merenungkan kasih Bapa yang begitu besar bagiku dan memikirkan bagaimana aku meneruskan kasih itu kepada sesamaku. Ketika aku sulit mengasihi orang lain, aku bercermin pada sebuah kasih-Nya yang tidak pernah bersyarat, kasih yang menerimaku apa adanya.

Ketika aku merenungkan kembali tentang Natal, aku teringat akan sebuah kisah fiksi yang pernah aku baca beberapa tahun lalu tentang kisah orang Majus keempat, yang bernama Artaban. Kisah ini dimuat pada sebuah majalah rohani yang tergeletak di ruangan kelasku di SMA. Aku membacanya beberapa kali dan kemudian menulisnya kembali dalam secarik kertas dan kusimpan baik-baik. Kisah ini mengingatkanku untuk belajar dari teladan yang diberikan oleh Artaban.

Berikut adalah kisahnya (yang aku ceritakan kembali):

Artaban adalah orang Majus keempat yang tidak mendapat kesempatan untuk bisa bertemu dengan Tuhan Yesus, ketika Dia dilahirkan di Betlehem. Padahal sebelumnya Artaban telah menjual sejumlah harta kekayaannya agar dia bisa mempersembahkannya untuk Sang Raja yang akan dilahirkan. Dari hasil tersebut, dia membeli tiga buah batu permata yang sangat berharga antara lain batu permata saphir baru, rubi merah, dan mutiara putih.

Dia telah berjanji untuk bertemu di suatu tempat khusus dengan ketiga orang Majus lainnya, yaitu Caspar, Mekhior, dan Balthasar. Karena waktu sangat mendesak, Artaban akan ditinggal oleh mereka jika terlambat datang.

Dalam perjalanan, Artaban melihat ada orang yang terbaring di tengah jalan. Rupanya orang tersebut sedang menderita sakit berat dan sangat membutuhkan pertolongan. Jika dia tidak menolong orang tersebut, orang itu akan meninggal dunia, sebab dia berada di suatu tempat yang sunyi dan jauh dari tempat penduduk. Tetapi, jika dia menolongnya, dia pasti akan terlambat dan akan ditinggal pergi oleh kawan-kawannya yang lain.

Walaupun demikian, dia meyakini bahwa menolong jiwa orang lain adalah lebih penting. Dia rela ditinggalkan oleh kawan-kawannya. Akibatnya, tidak hanya dia ditinggal teman-temannya, dia juga harus menjual batu permata saphir yang awalnya dia siapkan untuk diberikan kepada Yesus, Sang Raja, sebab dia harus membiayai seluruh biaya karavan mulai dari unta-unta, makanan, minuman, dan pemandu jalan untuk melewati padang pasir. Dia pun merasa sedih karena Sang Raja tidak akan mendapatkan batu saphir itu.

Walaupun dia berusaha mengejar kawan-kawannya secepat mungkin, ternyata setibanya di Betlehem dia terlambat lagi karena Yusuf, Maria, dan bayi Yesus sudah tidak ada di sana lagi.

Pada saat Artaban tiba di Betlehem, prajurit-prajurit raja Herodes sedang dengan ganasnya menjalankan perintah Herodes untuk membunuh para bayi. Di tempat dia menginap, bayi putra pemilik penginapannya hendak dibunuh pula oleh seorang komandan dari pihak Herodes. Artaban melihat dan mendengar ratapan tangis ibu bayi tersebut dan dia merasa tidak tega dan merasa terpanggil untuk menolongnya. Oleh sebab itu, dia memutuskan untuk menukar bayi tersebut dengan batu rubi yang dibawanya. Hal ini membuat Artaban bertambah sedih, karena batu permatanya untuk Sang Raja semakin berkurang bahkan hanya tinggal satu saja.

Sebelum dia tiba di Yerusalem, tiga puluh tahun lebih dia mencari Sang Raja di mana-mana dan dia merasa tercengang ketika mendengar bahwa Sang Raja yang dicarinya selama bertahun-tahun akan disalib di Golgota.

Walaupun demikian, dia masih terhibur, sebab dia masih memiliki batu permata terakhir, yaitu batu mutiara putih yang dia pikir dapat dia gunakan untuk menebus hidup Sang Raja agar Dia tidak disalib, seperti halnya ketika dia menebus hidup sang bayi, pada saat berada di Betlehem.

Dalam perjalanan menuju ke Golgota, dia melihat seorang anak perempuan menangis dan meratap minta tolong kepadanya. “Tuan tolonglah saya, para prajurit akan menjual diri saya sebagai budak karena ayah saya mempunyai banyak utang dan tidak mampu melunasinya. Oleh sebab itulah sebagai gantinya dia mengambil diri saya untuk dijual. Tolonglah saya, Tuan!”

Walaupun Artaban sedang terburu-buru, dia melihat keadaan sangat mendesak. Sebelum anak ini dijual dan dijadikan budak untuk seumur hidupnya, maka lebih baik dia menukar batu mutiaranya untuk menebus anak itu.

Setelah itu, langit menjadi gelap gulita dan terjadi gempa bumi. Artaban jatuh tertimpa puing yang jatuh dari atap, dan terluka. Tiba-tiba dia menggerakkan bibirnya dan berkata, “Tuhan, kapan aku melihat Tuhan lapar dan aku memberi Tuhan makan? Atau ketika Tuhan haus lalu aku memberi Tuhan minum? Kapan aku melihat Tuhan sakit atau di dalam penjara, dan aku mengunjungi Tuhan? Tiga puluh tiga tahun aku mencari Engkau, dan tidak sekali pun aku dapat bertemu dengan Engkau dan melayani Engkau, Rajaku.”

Dan dari jauh terdengar suara sayup-sayup yang sangat lembut menjawab, “Sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.”

Setelah itu meninggallah Artaban. Dia meninggal dengan mulut penuh senyuman, karena dia mengetahui bahwa semua jerih payahnya dan semua hadiah untuk Sang Raja telah diterima oleh-Nya dengan baik.

Kisah Artaban mengajarkanku untuk tidak hanya memperhatikan kebutuhan diriku sendiri saja, tetapi juga memperhatikan kebutuhan orang lain. Seringkali, kita hanya berfokus kepada kebutuhan kita, dan kurang peka melihat kebutuhan orang lain. Begitu pula denganku. Aku melihat diriku masih susah untuk peka pada kebutuhan orang lain. Kalau aku melihat sekitarku, sesungguhnya banyak orang yang perlu ditolong. Namun, aku lebih sering menutup mata terhadap mereka. Aku seolah-olah menganggap dirikulah yang perlu ditolong. Aku berpikir, aku tidak punya harta benda atau uang yang cukup untuk menolong mereka.

Namun, kisah Artaban di atas telah menolongku untuk mengubah cara pandangku tentang kepedulianku kepada orang lain. Sekalipun aku tidak punya banyak harta atau uang untuk menolong mereka, aku juga dapat menolong mereka dengan hadir bagi mereka, mendengarkan keluhan, mendoakan, dan menguatkan mereka. Yang terpenting adalah kita melakukannya dengan penuh kasih. Ketika kita memberi dalam kasih, aku yakin ada rasa bahagia yang terpancar di hati kita.

Peristiwa Natal telah menunjukkan kepedulian dan kasih Allah bagi dunia ini. Dia memberikan Anak-Nya yang tunggal sebagai pemberian istimewa yang akan membawa manusia berdosa kepada jalan keselamatan. Yesus, semasa hidup-Nya, juga memberi diri-Nya untuk taat kepada kehendak Bapa-Nya, bahkan taat sampai Dia mati di kayu salib. Itu sebabnya, di momen Natal, kita punya kesempatan yang terbuka untuk menyatakan kasih Allah lewat tindakan kasih kita kepada orang-orang di sekeliling kita. Apa saja yang sanggup kita berikan, berikanlah dengan senang hati, tanpa paksaan, dan dengan motivasi yang benar.

Aku belajar memberi sesuatu kepada temanku beberapa tahun lalu, sebagai kado ulang tahun. Aku memberikan beberapa buku rohani yang aku pikir bisa bermanfaat untuknya dalam mendukung pertumbuhan rohaninya. Meskipun aku juga sangat menyukai buku itu, namun aku juga tahu bahwa temanku membutuhkannya. Di sinilah aku belajar menanggalkan keegoisanku, belajar peka pada kebutuhan orang lain, dan belajar membangun kehidupan orang lain.

Seperti Yesus yang telah lahir ke dalam dunia, memberikan kehidupan dan keselamatan kepada siapa saja yang mau menerima-Nya, bersediakah kita memberikan hidup kita kepada-Nya, melalui perbuatan kasih kita kepada sesama kita? Kisah Artaban mendorongku melakukannya. Terlebih karena Yesus telah lahir bagiku, dan telah menyempurnakan kasih-Nya di dalamku. Bagaimana denganmu?

Selamat Natal, selamat berbagi kasih, Imanuel!

Baca Juga:

Tak Kusangka, Pelayanan Kecil yang Kulakukan Ternyata Begitu Berarti

Beberapa waktu lalu, aku disibukkan dengan sebuah kegiatan penggalangan dana. Lewat penjualan gelang denim, aku dan kawan-kawan pemuda gerejaku rindu memberikan donasi sebagai sebuah bentuk dukungan bagi sebuah komunitas yang melayani anak-anak punk. Dana terkumpul, dan aku kira cerita telah usai. Ternyata tidak.

Tak Kusangka, Pelayanan Kecil yang Kulakukan Ternyata Begitu Berarti

pelayanan-kecil-yang-berarti

Oleh Claudya Elleossa, Surabaya

Beberapa waktu lalu, aku disibukkan dengan sebuah kegiatan penggalangan dana. Lewat penjualan gelang denim, aku dan kawan-kawan pemuda gerejaku rindu memberikan donasi sebagai sebuah bentuk dukungan bagi sebuah komunitas yang melayani anak-anak punk. Dana terkumpul, dan aku kira cerita telah usai. Ternyata tidak.

Dengan badan kekar, ripped jeans dan tato gambar Yesus di lengannya, pemimpin komunitas itu naik ke panggung. Suasana langsung berubah, suaranya mulai bergetar menahan tangis. Saat itu, dia menyatakan syukur karena ada sebuah komunitas yang mengadakan penggalangan dana untuk mendukung pelayanan mereka. Dengan nada yang makin lirih, dia berkata bahwa ini adalah pertama kalinya hal demikian dilakukan bagi mereka. Tanpa diminta.

Seketika aku menangis. Ternyata perkara menjualkan beberapa gelang seharga Rp. 15.000 telah menjadi berkat yang besar bagi komunitas ini. Aku merasa mendapatkan sebuah kepuasan yang sejati.

Setiap orang mungkin memiliki standar kepuasan yang beragam. Ada yang menomorsatukan keseimbangan relasi, ada yang mengutamakan jenjang karir, ada pula yang menjadikan deretan Rupiah sebagai indikator kebahagiaan, dan tak sedikit yang menjadikan pemenuhan hobi sebagai definisi utama kepuasan. Namun, sesaat setelah lelaki kekar itu mengucapkan terima kasih dengan penuh ketulusan pada kami, aku memahami sebuah kebenaran yang dapat membawa kita kepada sebuah kepuasan yang sejati: Hidup ini bukan hanya untuk diri kita sendiri.

Apapun yang kita kejar, entah itu uang, hobi, atau karir, akan membuat kita jenuh pada satu titik jika semua itu kita kejar hanya untuk diri kita sendiri. Menjadikan diri kita sebagai pusat segala sesuatu juga tidak sesuai dengan teladan yang diberikan Yesus. Hidup Yesus adalah hidup yang melayani orang lain. Itulah alasan Dia—Pencipta alam semesta dan segala isinya—membasuh kaki murid-murid-Nya (Yohanes 13:1-15). Dia ingin memberikan teladan bagi kita agar kita bisa saling melayani (ayat 14-15).

Kepuasan yang sejati didapat ketika kita melayani Tuhan, ketika kita yang jauh dari sempurna ini dapat dipakai Tuhan untuk menjadi berkat bagi sesama. Kebahagiaan yang kita dapatkan dalam berbagi berkat sungguh setimpal dengan pilihan kita untuk mengorbankan kenyamanan diri kita semata.

Tidak semua orang mau mengorbankan dirinya untuk melayani Tuhan dan sesama. Bagi sebagian orang, menjadi orang baik saja sudah cukup. Bagi sebagian yang lain, yang terpenting adalah hidup yang mapan dan cukuplah dengan tidak menjadi beban bagi orang lain. Namun, ada pula orang-orang yang melakukan hal-hal yang lebih. Ada yang mengurangi waktu bersantai demi melayani orang-orang di sekitarnya. Ada pula yang memberi hidupnya untuk menolong banyak orang. Ada yang memilih untuk mengurangi gaya hidup mereka demi dapat berbagi. Mereka melayani sesama mereka dengan penuh kerendahan hati.

Beberapa orang mungkin berpikir, apa untungnya mereka melakukan hal-hal yang lebih tersebut? Bukankah kenyamanan mereka berkurang? Waktu santai menipis, dompet juga kembang kempis. Lagipula, tidak semua orang mengapresiasi apa yang mereka lakukan. Jadi, apa untungnya bagi mereka? Izinkan aku menjawab pertanyaan ini.

Bagiku, adalah sebuah kebahagiaan ketika aku mengetahui bahwa Tuhan telah memakai diriku yang super cemar untuk dapat menjadi berkat bagi orang lain. Selain itu, ketika aku melayani Tuhan, fokusku terpaut pada Tuhan, misi-Nya bagi dunia ini, dan jiwa-jiwa yang kulayani. Aku dapat melihat betapa kerennya Tuhan berkarya dalam dunia ini, dan itu membukakan begitu banyak hal lain yang dapat aku syukuri selain tentang hidupku sendiri. Itulah bedanya orang yang melayani dan yang tidak melayani. Ketika orang yang tidak melayani hanya mensyukuri apa yang dia miliki, orang yang melayani dapat mensyukuri apa yang Tuhan kerjakan bagi dunia ini.

Tidak ada kepuasan sejati yang lahir dari sebuah keegoisan mengutamakan kenyamanan. Jika Dia yang adalah Pencipta alam semesta mau melawan kenyamanan surga demi menyelamatkan kita, masakan kita terlampau jijik merangkul mereka yang dianggap hina?

Aku ingin menutup tulisanku ini dengan sebuah kutipan dari Ezra Taft Benson berikut ini: Jika kamu benar-benar ingin mendapatkan sukacita dan kebahagiaan, layanilah orang lain dengan segenap hatimu. Angkatlah beban mereka, dan bebanmu akan menjadi lebih ringan.

Baca Juga:

5 Alasan Lebih Berbahagia Memberi daripada Menerima

Ayat ini mungkin terdengar tidak asing bagi kita, “Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima.” (Kisah Para Rasul 20:35). Namun, pernahkah kita memikirkannya? Bukankah kalimat itu terdengar kurang masuk akal?

5 Alasan Lebih Berbahagia Memberi daripada Menerima

5-alasan-lebih-berbahagia-memberi-daripada-menerima

Oleh Raphael Zhang, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: What Really Happens When You Give More Than You Receive

Ayat ini mungkin terdengar tidak asing bagi kita, “Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima.” (Kisah Para Rasul 20:35).

Namun, pernahkah kita memikirkannya? Bukankah kalimat itu terdengar kurang masuk akal? Bagaimanapun, ketika kamu memberi, kamu mengurangi apa yang kamu miliki—entah itu berupa benda fisik, uang, atau tenaga. Bukankah jauh lebih baik jika kita menerima daripada memberi? Siapa yang tidak suka menerima sesuatu seperti hadiah, perhatian, atau penerimaan?

Kalau kita membaca secara sekilas perkataan Yesus itu, kita mungkin berpikir bahwa memberi adalah sesuatu yang baik dan menerima adalah sesuatu yang buruk. Namun bukan itu yang Yesus maksud. Yang Yesus maksud adalah meskipun kita berbahagia ketika menerima, kita akan lebih berbahagia ketika memberi.

Yang menerima lebih banyak akan memberi lebih banyak

Sebenarnya, secara pribadi aku tidak selalu setuju dengan pemikiran ini. Ada saat-saat ketika aku merasa sulit memberikan uangku, tenagaku, atau waktuku kepada Tuhan atau orang lain, terutama ketika aku merasa untuk memenuhi kebutuhanku sendiri saja sudah pas-pasan.

Tentu, aku tidak sedang mengatakan bahwa kita perlu memberi semua yang kita miliki tanpa memperhatikan keadaan kita. Ada kalanya kita perlu memperhatikan diri kita sendiri dan menyimpan apa yang kita miliki. Ada “waktu untuk mengumpulkan” dan “waktu untuk menyimpan” (Pengkhotbah 3:5-6). Tidak salah jika kita menabung untuk masa-masa yang sulit atau untuk memperhatikan diri kita sendiri.

Namun, aku juga menyadari bahwa kesulitanku untuk memberi kadang menunjukkan masalah yang lebih dalam di dalam hatiku: Aku gagal menyadari betapa banyak aku telah menerima dan aku tidak merasa cukup dengan apa yang aku miliki.

Ketika seorang perempuan yang berdosa datang ke rumah di mana Yesus sedang makan untuk meminyaki kaki-Nya (Lukas 7:36-50), Yesus berkata bahwa perempuan itu telah banyak berbuat kasih karena dosanya yang banyak itu telah diampuni. Yesus kemudian berkata, “Tetapi orang yang sedikit diampuni, sedikit juga ia berbuat kasih.” (Lukas 7:47).

Ketika aku merasa sulit untuk memberi dalam kasih, apakah itu karena aku telah lupa betapa banyak yang telah aku menerima dari Tuhan? Jika demikian, aku harus mencari tahu dan menelaah apa yang telah membuatku melupakan anugerah, kasih, dan pengampunan yang sedemikian besar yang Tuhan telah berikan kepadaku.

Aku menyadari bahwa ketika aku sadar betapa banyak Tuhan telah memberi kepadaku, aku menjadi lebih ingin memberi kepada-Nya dan kepada orang lain, dalam kasih. Hanya ketika aku benar-benar mengerti bahwa Allah dalam kekayaan-Nya telah memberikan kepadaku segala sesuatu untuk aku nikmati (1 Timotius 6:17), aku dapat “memberi dengan sukacita” dan menyenangkan hati Tuhan (2 Korintus 9:7).

Berikut adalah beberapa hal yang aku pelajari ketika aku memilih untuk memberi.

1. Ketika semua orang memberi, semua orang menerima

Ini adalah logika sederhana. Jika semua orang mau menerima tapi tidak mau memberi, siapa yang akan memberi kepada mereka? Namun jika semua orang memilih untuk memberi satu sama lain, semua orang akan menerima. Bukankah itu adalah solusi yang terbaik?

2. Memberi menolong kita untuk belajar merasa cukup

“Apakah aku benar-benar memerlukan uang ini?” Itu adalah pertanyaan yang sering aku tanyakan kepada diriku setiap kali aku merasa sulit untuk memberi. Beberapa tahun lalu, aku membuat sebuah komitmen dengan Tuhan untuk tidak membeli baju, celana, atau sepatu baru kecuali aku benar-benar memerlukannya. Sekilas pandang ke dalam lemari bajuku sudah cukup untuk memberitahuku bahwa aku sudah punya cukup pakaian. Keinginanku untuk mempunyai lebih banyak pakaian seringkali muncul dari keinginanku untuk tampil cantik supaya mendapatkan pujian dari orang lain—sebuah keinginan yang aku harus matikan dalam diriku (Kolose 3:5). Jika aku ingin belajar menjadi seorang pengelola uang yang bijak untuk kerajaan Allah dan belajar bahwa “ibadah, yang disertai rasa cukup, memberi keuntungan besar” (1 Timotius 6:6), aku harus mematikan keinginanku itu.

Seiring waktu, aku dapat menggunakan uangku untuk hal-hal yang memang benar-benar dibutuhkan. Aku mengenal seorang wanita tua yang berjualan tissue di pinggir jalan untuk bertahan hidup. Secara ekonomi, mungkin dia lebih miskin dariku. Namun dalam kesehariannya, dia memberi dengan murah hati dan sukacita kepada orang-orang yang membutuhkan, meskipun dia juga tidak memiliki banyak. Jika dilihat dari sisi tersebut, dia adalah seorang yang kaya, dan contoh yang dia berikan menginsiprasiku untuk memberi lebih banyak.

Kadang, aku dapat memberinya sejumlah uang tanpa perlu berpikir panjang. Namun ada saat-saat yang lain ketika aku enggan untuk memberi karena aku merasa aku tidak punya cukup uang. Dalam momen-momen tersebut, aku bertanya kepada diriku sendiri, “Apakah aku benar-benar membutuhkan uang ini?” Itulah ketika aku menyadari bahwa wanita itu lebih memerlukan uang itu daripada aku. Bagaimanapun, apa yang harus aku korbankan? Mungkin, aku perlu menyisihkan sedikit anggaran makananku bulan itu untuk kuberikan kepadanya. Namun setiap kali aku memberi, aku mengalami rasa sukacita karena memberi.

3. Memberi membuat kita percaya pemeliharaan Tuhan

Setiap kali aku takut bahwa aku akan kekurangan setelah aku memberi, Tuhan akan datang memeliharaku dengan cara-Nya yang indah di waktu yang tepat. Cara dan waktu Tuhan bekerja mungkin tidak selalu persis seperti yang aku harapkan, namun aku telah melihat kesetiaan-Nya dalam memeliharaku lagi dan lagi.

Aku merasakan apa yang Tuhan janjikan dalam Maleakhi 3:10, “Bawalah seluruh persembahan persepuluhan itu ke dalam rumah perbendaharaan, supaya ada persediaan makanan di rumah-Ku dan ujilah Aku, firman TUHAN semesta alam, apakah Aku tidak membukakan bagimu tingkap-tingkap langit dan mencurahkan berkat kepadamu sampai berkelimpahan.”

Bapaku di surga adalah TUHAN yang memelihara (Jehovah-Jireh); Dia tahu apa yang aku butuhkan, dan Dia setia dalam menyediakan bagiku apa yang aku butuhkan. Jadi, aku dapat “[mencari] dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya,” dan percaya bahwa “semuanya itu akan ditambahkan [kepadaku]” (Matius 6:8,32-33).

4. Memberi membuat kita lebih mengenal Tuhan

Aku percaya Tuhan memanggil kita untuk memberi karena memberi membuat kita lebih mengenal Dia. Allah Bapa memberikan Anak-Nya bagi kita (Yohanes 3:16); Dia memberikan kita kepada Yesus (Yohanes 6:37); dan Dia memberikan Roh Kudus bagi kita (Lukas 11:13; Yohanes 14:26). Allah Anak memberikan kita pengenalan akan Allah Bapa (Yohanes 14:6-9; Matius 11:27) dan Dia memberikan pendamaian dan jalan masuk bagi kita kepada Bapa (Efesus 2:13-18). Roh Kudus memberikan peringatan akan semua yang telah Yesus katakan kepada kita (Yohanes 14:26), memberitakan kepada kita apa yang diterimanya dari pada-Nya (Yohanes 16:14); dan Dia memberikan kepada kita berbagai karunia rohani untuk berbagai macam pelayanan bagi Tuhan (1 Korintus 12:4-11).

Ketika kita memberi, itu menolong kita untuk mengenal hati Tuhan lebih dalam, sama seperti ketika kita mengikuti aktivitas yang disukai oleh orang yang kita kasihi akan membuat kita lebih mengenal tentang dia. Firman Tuhan juga mengatakan kepada kita bahwa kerinduan utama yang perlu kita miliki dalam hidup ini adalah untuk memahami dan mengenal Tuhan (Yeremia 9:23-24), dan untuk mengenal Dia dan kuasa kebangkitan-Nya dan persekutuan dalam penderitaan-Nya, di mana kita menjadi serupa dengan Dia dalam kematian-Nya (Filipi 3:10).

5. Memberi adalah anugerah Tuhan

Pernahkah kamu menyembah Tuhan dalam pujian dengan penghayatan dan keyakinan bahwa inilah alasan mengapa kamu diciptakan—untuk memuji Dia? Aku pernah. Dalam momen-momen tersebut, aku merasa seperti telah memenuhi tujuan hidupku dan dipenuhi oleh rasa syukur yang berlimpah kepada Tuhan karena Dia telah menciptakanku sehingga aku dapat menikmati karunia indah yang diberikan-Nya ini yang memampukanku untuk menyembah Dia dengan sukacita.

Bayangkan jika kamu begitu dikasihi oleh seseorang namun kamu tidak dapat membalas kebaikannya. Betapa menyedihkan! Jika kita menerima kasih dan kebaikan seseorang, tentunya kita ingin mampu membalas kasih dan kebaikan yang begitu besar yang telah diberikannya kepada kita. Aku sangat bersyukur kepada Tuhan karena Dia menciptakan diriku dengan kemampuan untuk memberi balik sebagian kecil dari anugerah yang begitu besar yang telah Dia berikan kepadaku, dengan berbagai cara—entah dengan puji-pujian atau dengan memberikan waktu, uang, perhatian, atau tenagaku.

Aku akhirnya mengerti bahwa memberi tidak hanya memuliakan Tuhan, tapi juga merupakan anugerah Tuhan bagi kita. Tuhan tidak memerlukan kita untuk memberi kepada-Nya, tapi kita mengalami sukacita ketika kita memberi kepada-Nya—dan itu menyenangkan-Nya ketika kita memberi kepada-Nya sebagai ungkapan syukur kita atas anugerah-Nya. Itu seperti sukacita yang kita rasakan ketika kita dapat memberi balik kepada orangtua kita atas segala hal yang telah mereka berikan kepada kita—meskipun mereka tidak mengharuskan kita untuk memberi balik kepada mereka.

* * *

Karena semua alasan di atas, aku mengerti mengapa Yesus berkata, “Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima.” Tentu, ada waktu untuk memberi dan melayani, dan ada waktu untuk menerima dan beristirahat. Kita perlu menggunakan hikmat yang Tuhan telah berikan kepada kita untuk mengelola segala hal yang kita miliki dengan bijak.

Memberi adalah hak istimewa yang diberikan Tuhan kepada kita. Jadi, memberilah dengan sukacita, dan bukan dengan sedih hati atau karena paksaan.

Baca Juga:

Berbagi Takjil di Perempatan Lampu Merah

Langit senja begitu indah sore itu ketika aku tengah berada dalam perjalanan menuju rumah. Di tengah-tengah perjalanan, suara azan magrib berkumandang bersama dengan suara sirine yang cukup panjang. Ya, saat itu adalah bulan puasa bagi umat Muslim. Terbersit dalam benakku, apa yang bisa aku lakukan untuk menunjukkan kasih kepada mereka?

Tangan yang Terbuka

Minggu, 17 Juli 2016

Tangan yang Terbuka

Baca: Kisah Para Rasul 20:22-35

20:22 Tetapi sekarang sebagai tawanan Roh aku pergi ke Yerusalem dan aku tidak tahu apa yang akan terjadi atas diriku di situ

20:23 selain dari pada yang dinyatakan Roh Kudus dari kota ke kota kepadaku, bahwa penjara dan sengsara menunggu aku.

20:24 Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun, asal saja aku dapat mencapai garis akhir dan menyelesaikan pelayanan yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus kepadaku untuk memberi kesaksian tentang Injil kasih karunia Allah.

20:25 Dan sekarang aku tahu, bahwa kamu tidak akan melihat mukaku lagi, kamu sekalian yang telah kukunjungi untuk memberitakan Kerajaan Allah.

20:26 Sebab itu pada hari ini aku bersaksi kepadamu, bahwa aku bersih, tidak bersalah terhadap siapapun yang akan binasa.

20:27 Sebab aku tidak lalai memberitakan seluruh maksud Allah kepadamu.

20:28 Karena itu jagalah dirimu dan jagalah seluruh kawanan, karena kamulah yang ditetapkan Roh Kudus menjadi penilik untuk menggembalakan jemaat Allah yang diperoleh-Nya dengan darah Anak-Nya sendiri.

20:29 Aku tahu, bahwa sesudah aku pergi, serigala-serigala yang ganas akan masuk ke tengah-tengah kamu dan tidak akan menyayangkan kawanan itu.

20:30 Bahkan dari antara kamu sendiri akan muncul beberapa orang, yang dengan ajaran palsu mereka berusaha menarik murid-murid dari jalan yang benar dan supaya mengikut mereka.

20:31 Sebab itu berjaga-jagalah dan ingatlah, bahwa aku tiga tahun lamanya, siang malam, dengan tiada berhenti-hentinya menasihati kamu masing-masing dengan mencucurkan air mata.

20:32 Dan sekarang aku menyerahkan kamu kepada Tuhan dan kepada firman kasih karunia-Nya, yang berkuasa membangun kamu dan menganugerahkan kepada kamu bagian yang ditentukan bagi semua orang yang telah dikuduskan-Nya.

20:33 Perak atau emas atau pakaian tidak pernah aku ingini dari siapapun juga.

20:34 Kamu sendiri tahu, bahwa dengan tanganku sendiri aku telah bekerja untuk memenuhi keperluanku dan keperluan kawan-kawan seperjalananku.

20:35 Dalam segala sesuatu telah kuberikan contoh kepada kamu, bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang lemah dan harus mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia sendiri telah mengatakan: Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima.”

Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima. —Kisah Para Rasul 20:35

Tangan yang Terbuka

Pada tahun 1891, Biddy Mason dikebumikan dalam makam tanpa nisan di Los Angeles. Hal itu memang lazim bagi wanita yang lahir sebagai budak, tetapi agak janggal bagi seseorang yang sukses seperti Biddy. Setelah memperoleh kebebasannya lewat keputusan pengadilan pada tahun 1856, ia menjadi kaya dengan memadukan keahliannya sebagai perawat dan kecakapan dalam berbisnis. Setelah melihat masalah yang dihadapi para imigran dan narapidana, Biddy pun menolong mereka dengan melibatkan diri dalam banyak kegiatan amal sehingga orangorang sering mengantre di depan rumahnya untuk meminta bantuan. Tahun 1872, hanya enam belas tahun setelah merdeka dari perbudakan, ia dan menantu laki-lakinya mendanai pendirian Gereja Episkopal Metodis Afrika Pertama di Los Angeles.

Hidup Biddy mencerminkan kata-kata Rasul Paulus: “Telah kuberikan contoh kepada kamu, bahwa dengan bekerja demikian kita harus membantu orang-orang yang lemah dan harus mengingat perkataan Tuhan Yesus, sebab Ia sendiri telah mengatakan: Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima” (Kis. 20:35). Memang Paulus datang dari latar belakang yang terhormat dan bukan dari perbudakan, tetapi ia memilih jalan hidup yang kemudian membuatnya dipenjara dan mati martir demi melayani Kristus dan sesamanya.

Pada tahun 1988, para dermawan meresmikan batu nisan untuk Biddy Mason dalam acara yang dihadiri walikota Los Angeles dan hampir 3.000 jemaat dari gereja kecil yang dirintis di rumah Biddy seabad sebelumnya. Biddy pernah berkata, “Tangan yang terbuka akan diberkati, karena ia memberi dengan limpah pada saat ia menerima kelimpahan.” Tangan yang telah memberi dengan murah hati itu menerima warisan yang begitu berlimpah. —Tim Gustafson

Siapakah orang di hidup kamu yang sedang bergumul dan butuh pertolonganmu? Bagaimana kamu dapat menolong orang atau keluarga itu hari ini?

Tangan yang terbuka akan diberkati, karena ia memberi dengan limpah pada saat ia menerima kelimpahan. —Biddy Mason

Bacaan Alkitab Setahun: Mazmur 18-19; Kisah Para Rasul 20:17-38

Artikel Terkait:

Belajar Memberi = Belajar Taat

Ketika aku akhirnya belajar memberi, … ketakutan dan kekhawatiran yang tadinya memenuhi pikiranku perlahan sirna. Ketakutan itu ternyata hanya ada di kepalaku, siasat iblis yang hendak meruntuhkan niatku untuk taat memberi.Yuk baca kesaksian selengkapnya dari Radius di dalam artikel ini.

Meneruskan dan Melepaskan

Senin, 28 September 2015

Meneruskan dan Melepaskan

Baca: Filipi 2:19-30

2:19 Tetapi dalam Tuhan Yesus kuharap segera mengirimkan Timotius kepadamu, supaya tenang juga hatiku oleh kabar tentang hal ihwalmu.

2:20 Karena tak ada seorang padaku, yang sehati dan sepikir dengan dia dan yang begitu bersungguh-sungguh memperhatikan kepentinganmu;

2:21 sebab semuanya mencari kepentingannya sendiri, bukan kepentingan Kristus Yesus.

2:22 Kamu tahu bahwa kesetiaannya telah teruji dan bahwa ia telah menolong aku dalam pelayanan Injil sama seperti seorang anak menolong bapanya.

2:23 Dialah yang kuharap untuk kukirimkan dengan segera, sesudah jelas bagiku bagaimana jalannya perkaraku;

2:24 tetapi dalam Tuhan aku percaya, bahwa aku sendiripun akan segera datang.

2:25 Sementara itu kuanggap perlu mengirimkan Epafroditus kepadamu, yaitu saudaraku dan teman sekerja serta teman seperjuanganku, yang kamu utus untuk melayani aku dalam keperluanku.

2:26 Karena ia sangat rindu kepada kamu sekalian dan susah juga hatinya, sebab kamu mendengar bahwa ia sakit.

2:27 Memang benar ia sakit dan nyaris mati, tetapi Allah mengasihani dia, dan bukan hanya dia saja, melainkan aku juga, supaya dukacitaku jangan bertambah-tambah.

2:28 Itulah sebabnya aku lebih cepat mengirimkan dia, supaya bila kamu melihat dia, kamu dapat bersukacita pula dan berkurang dukacitaku.

2:29 Jadi sambutlah dia dalam Tuhan dengan segala sukacita dan hormatilah orang-orang seperti dia.

2:30 Sebab oleh karena pekerjaan Kristus ia nyaris mati dan ia mempertaruhkan jiwanya untuk memenuhi apa yang masih kurang dalam pelayananmu kepadaku.

Kuanggap perlu mengirimkan Epafroditus kepadamu, . . . yang kamu utus untuk melayani aku dalam keperluanku. —Filipi 2:25

Meneruskan dan Melepaskan

Banyak badan amal yang membantu orang-orang yang membutuhkan bergantung pada sumbangan pakaian dan barang rumah tangga yang sudah tak terpakai dari pihak-pihak yang berkecukupan. Memang tidak salah kita meneruskan kepada orang lain barang-barang yang tidak lagi kita perlukan agar dapat bermanfaat bagi mereka. Namun kita sering merasa berat hati untuk melepaskan hal-hal berharga yang masih kita pakai setiap hari.

Ketika Paulus dipenjara di Roma, ia membutuhkan kehadiran sahabat-sahabatnya yang tepercaya untuk menguatkan dan menemani dirinya. Namun demikian, ia mengutus dua sahabat terdekatnya untuk membantu jemaat Tuhan di Filipi (Flp. 2:19-30). “Dalam Tuhan Yesus kuharap segera mengirimkan Timotius kepadamu, . . . Karena tak ada seorang padaku, yang sehati dan sepikir dengan dia dan yang begitu bersungguh-sungguh memperhatikan kepentinganmu” (ay. 19-20). Selain itu, “Kuanggap perlu mengirimkan Epafroditus kepadamu, yaitu saudaraku dan teman sekerja serta teman seperjuanganku, yang kamu utus untuk melayani aku dalam keperluanku” (ay.25). Paulus dengan sukarela melepaskan kepada orang lain apa yang sebenarnya sangat ia butuhkan.

Apa pun yang kita anggap sebagai yang “paling berharga” dalam hidup kita hari ini bisa jadi mempunyai manfaat yang besar bagi seseorang yang kita kenal. Mungkin hal itu berupa waktu, persahabatan, dorongan semangat, telinga yang mendengarkan, atau uluran tangan kita. Ketika meneruskan apa yang telah Tuhan berikan kepada kita, Dia dimuliakan, orang lain terbantu, dan kita diberkati. —David McCasland

Ya Tuhan, sadarkanlah aku akan apa saja yang sedang kugenggam erat. Jika ada yang membutuhkannya, bukakanlah hati dan tanganku, dan tolonglah aku untuk meneruskannya kepada orang itu hari ini.

Memberi dengan sukacita akan memuliakan Tuhan, menolong orang lain, dan memberkati kita sendiri.

Bacaan Alkitab Setahun: Yesaya 5-6; Efesus 1

Belajar Memberi = Belajar Taat

Oleh: Radius Siburian

A gift for you

Kertas yang ditempel di mading dekat pintu masuk gereja itu menarik perhatianku. Isinya tentang daftar pemberi perpuluhan. Jumlahnya jauh lebih besar dari jumlah perpuluhan yang dikumpulkan di gerejaku sendiri. Mmmmm….mungkin bagi banyak orang perpuluhan adalah sebuah beban. Ada semacam kewajiban bagi jemaat untuk memberi ke gereja layaknya membayar uang sekolah. Aku pun dulu berpikir begitu. Dan, jujur saja aku tidak suka dengan aturan demikian. Menurutku, seharusnya pihak gereja memperhatikan pendapatan atau keuangan sebuah keluarga baru menuntut iuran itu. Demikianlah pemikiranku hingga beranjak kuliah. Seingatku, tidak ada yang meluruskan pandanganku saat itu. Aku pun tak pernah terpikir untuk bertanya.

Hingga akhirnya melalui kelompok PA di kampus, aku dibekali dengan kebenaran Firman Tuhan tentang “Harta Benda, Waktu, dan Bakat”. Banyak pemahaman baru sekaligus teguran yang aku dapat, terutama berkaitan dengan cara aku menggunakan uang. Segala yang diberikan Tuhan ternyata adalah milik-Nya. Padahal sering aku merasa berat memberikan persembahan atau perpuluhan bagi pekerjaan-Nya.

Namun, memahami kebenaran itu tidak lantas membuatku mudah memberi. Memang, yang paling sulit adalah menerapkan Firman Tuhan. “Aku ‘kan masih mahasiswa. Uang masih minta orang tua, mana bisa memberi? Nanti kalau sudah punya penghasilan sendiri, baru aku bisa memberi..” alasanku saat itu.

Ketika aku akhirnya belajar memberi, rasanya susah setengah mati. Khawatir uang bulananku yang tak seberapa habis sebelum akhir bulan. Aku pun jadi belajar berhemat. Memangkas biaya hidup sehari-hari. Namun, Tuhan baik. Dia tidak saja mengajarku menjadi lebih bijak dalam mengelola uang, tetapi juga mencukupi segala kebutuhanku. Ketakutan dan kekhawatiran yang tadinya memenuhi pikiranku perlahan sirna. Ketakutan itu ternyata hanya ada di kepalaku, siasat iblis yang hendak meruntuhkan niatku untuk taat memberi. Kini aku sudah bekerja. Memberikan perpuluhan menjadi disiplin rohani yang melatihku untuk mengutamakan Tuhan.

Perpuluhan jelas dicatat dalam Alkitab bukan karena Tuhan kekurangan sesuatu dan memerlukan pemberian kita. Tuhan memiliki segala sesuatu. Terlepas dari nominal pemberian kita, yang lebih penting adalah hati yang mau taat, hati yang mau mengasihi dan mengandalkan Tuhan. Lihat saja kisah janda yang memberi dua keping uang perak dalam 1 Korintus 9:7. Jumlah pemberiannya sangat kecil di mata orang. Namun, Tuhan yang melihat kedalaman hati tahu siapa yang benar-benar mau mencintai dan mengandalkan Tuhan dengan segenap hidup mereka.

Belajar memberi telah menolongku belajar prinsip-prinsip berikut dalam mengelola uang. Semoga menolongmu juga.
1. Bersyukur – Membiasakan diri mengucap syukur menolong kita agar tidak lupa bahwa Pemilik segala sesuatunya adalah Tuhan. Sudah sepatutnya kita mengutamakan Dia dalam hidup kita. Dialah yang akan mencukupkan segala kebutuhan kita.
2. Berhemat – Berhemat bukan berarti menyiksa diri, tetapi melatih diri menggunakan uang secukupnya, bahkan menabung untuk mengantisipasi kebutuhan yang tidak terduga.
3. Berencana – Berencana berarti melatih diri untuk berpikir panjang, tidak gegabah, mendaftarkan mana kebutuhan yang mendasar, dan mana keinginan yang bisa ditunda. Perencanaan menolong kita mengoptimalkan penggunaan uang kita untuk hal-hal yang penting dan memuliakan Tuhan.

Kiranya Tuhan menolong kita untuk memiliki hati yang sungguh mencintai dan mengandalkan Dia. Kiranya pemberian-pemberian kita mengalir dari hati yang memercayai dan mau menaati Firman-Nya dengan penuh sukacita.

Berkat Dari Memberi

Jumat, 8 November 2013

Berkat Dari Memberi

Baca: Markus 12:38-44

Adalah lebih berbahagia memberi dari pada menerima. —Kisah Para Rasul 20:35

Rasanya tidak masuk akal bagi seorang janda untuk mempersembahkan kepingan uang terakhirnya kepada suatu lembaga korup di Yerusalem, dimana para ahli Taurat yang menerimanya “merampas rumah [janda]” (Mrk. 12:40 BIS). Namun lewat tindakan janda itu, Yesus melihat teladan hidup dari sikap yang benar terhadap uang (ay.41-44).

Ketika melayani sebagai gembala Church of the Saviour di Washington, DC, Gordon Cosby bercerita tentang seorang janda yang pendapatannya hampir-hampir tidak cukup untuk menyediakan makanan dan pakaian bagi keenam anaknya. Namun setiap minggu, janda itu dengan setia memberikan persembahan sebesar $4 (hampir Rp. 40.000). Seorang diaken mengusulkan kepada Cosby agar menasihati janda itu untuk memakai uangnya guna memenuhi kebutuhan keluarga.

Cosby mengikuti usul itu, tetapi kemudian menyesalinya. “Engkau berusaha merampas hal terakhir yang memberi martabat dan makna hidup bagiku,” kata si janda. Janda itu memahami kunci dari memberi: Si pemberi bisa lebih mendapatkan manfaat daripada si penerima. Memang, orang yang berkekurangan perlu bantuan keuangan. Namun kebutuhannya untuk memberi bisa jadi sama penting dengan kebutuhannya untuk menerima.

Sikap memberi mengingatkan kita bahwa kita hidup oleh kasih karunia Allah, sama seperti burung dan bunga. Makhluk-makhluk itu tidak khawatir tentang masa depannya; begitu pula seharusnya kita. Dengan memberi, kita mendapat kesempatan untuk menyatakan keyakinan kita bahwa Allah akan memelihara kita sebagaimana Dia memelihara burung pipit dan bunga bakung (Mat. 6:25-34). —PDY

Pemberian kami selamanya
Dari tangan-Mu asalnya;
Yang Kauterima itulah
Yang Kauberi. —Wordsworth
(Kidung Jemaat, No. 289)

Uang tak lagi berkuasa atas kita ketika kita tak lagi enggan untuk memberi.