Posts

Menikah Bukanlah Satu-satunya Tujuan Hidup



Oleh Michele Ong, New Zealand

Artikel asli dalam bahasa Inggris: Getting Married Need Not Be A #LifeGoal

Berbagai postingan tentang pernikahan dan pertunangan mendominasi timeline media sosialku, dan aku mulai merasa tertinggal dari teman-temanku.

Setiap postingan biasanya berisi penggalan kalimat yang kurang lebih berkata seperti ini: “Aku sangat bersyukur bisa menikah dengan sahabatku”, “Tak kusangka, dia berkata ya”. Lalu, kalimat-kalimat itu juga dilengkapi dengan foto-foto pasangan yang berbahagia di mana sang perempuan menunjukkan cincin lamarannya, juga dilengkapi hashtag #SoBlessed, #MarriedMyBestFriend, dan lain-lain.

Buletin gereja pun sama saja. Hampir setiap hari Minggu selalu ada saja pengumuman pernikahan dari anggota jemaat di gereja. Bila kulihat sepintas, foto-foto pasangan yang tercetak di buletin itu tampak penuh senyuman kebahagiaan, juga berlatar pemandangan yang begitu indah. Beberapa dari pasangan calon pengantin itu usianya masih sangat muda—mungkin berkisar baru setahun atau dua tahun setelah lulus SMA—dan, hal ini sempat membuatku berpikir: mengapa mereka lebih memilih untuk menikah daripada mengejar gelar dan pengalaman hidup di usia muda mereka.

Sementara aku turut berbahagia atas pasangan-pasangan muda yang akan segera menikah itu, aku mendapati bahwa saat ini pernikahan itu dipahami sebagai tujuan hidup yang ingin dicapai secepat mungkin oleh banyak orang.

Tapi jangan salah sangka dahulu: apabila diberikan pilihan, tentu aku pun ingin menikah, sama seperti orang-orang lainnya. Satu alasan sederhananya adalah karena aku takut mati dalam kesepian. Aku takut apabila nanti tidak ada orang lain yang mengetahui berita kematianku dan akhirnya jenazahku pun baru ditemukan dua tahun setelahnya (aku membaca cukup banyak berita tentang peristiwa semacam ini).

Namun demikian, sudah hampir satu dekade berlalu sejak terakhir kali aku memiliki relasi yang berjalan untuk kurun waktu yang cukup lama. Ketika mantan pacarku baru-baru ini menikah, aku belum juga menemukan seorang yang tepat untukku di mana pun di bumi ini.

Tidak kupungkiri, pencarianku akan seorang yang tepat itu cukup melelahkan dan rasanya seperti memeras otak. Tapi, satu hal yang pasti adalah, dia yang tepat untukku itu tidak akan kutemukan di dalam diskotik, juga aku belum menemukannya di situs kencan online. Selain itu, di tempat kerjaku juga tidak ada lagi pria single yang tersisa. Baru-baru ini, aku mendaftarkan diriku untuk bergabung sebagai penjaga pantai, dengan harapan aku akan berjumpa dengan seseorang yang tepat di sana (tapi, tentunya tujuan utamaku adalah untuk menjaga kesehatanku dan berkontribusi kepada komunitasku). Aku juga sudah bertanya kepada teman-temanku kalau saja mereka mengetahui atau punya kenalan beberapa pria yang masih single.

Katakanlah aku sudah mencoba berbagai macam cara dan belum juga membuahkan hasil. Jadi, aku pun berhenti untuk berusaha mencari.

Walaupun begitu, hidupku sebagai seorang perempuan single itu sama sekali tidak dapat dikatakan sebagai hidup yang menyedihkan ataupun tragis; justru kebalikannya. Dalam 10 tahun terakhir, aku menghabiskan waktu luangku untuk menjadi sukarelawan tim penerima tamu di gerejaku. Aku memenangkan beasiswa kesempatan magang di sebuah perusahaan media berbahasa Mandarin, China Daily yang berbasis di Beijing. Aku juga pindah dari Auckland, Selandia Baru untuk bekerja sebagai seorang reporter. Dan, saat ini aku juga menjadi seorang kontributor untuk menulis di YMI. Ketika nanti aku telah memenuhi syarat untuk diterima sebagai penjaga pantai, aku juga akan berpatroli di sekitar pantai selama akhir pekan di musim panas.

Masa single memberikanku kesempatan untuk berkontribusi bagi komunitasku melalui berbagai cara. Menurutku, hal-hal ini juga bisa jadi tujuan hidup yang sama baiknya dengan tujuan hidup yang lain.

Aku tidak merendahkan pernikahan, karena aku tahu itu merupakan suatu usaha dan kerja keras. Aku memuji mereka yang berkomitmen dalam pernikahan, tetapi aku pun percaya bahwa pernikahan bukanlah satu-satunya tujuan hidup yang Tuhan tetapkan bagi setiap manusia di dunia.

Sebagai contoh, cobalah lihat Rasul Paulus. Sebelum berbalik menjadi pengikut Kristus, Paulus dulunya adalah orang yang menganiaya orang-orang Kristen. Namun, pada akhirnya dia menjadi seorang yang sangat penting yang dipakai Tuhan untuk memberitakan pesan tentang Yesus ke berbagai daerah di Kerajaan Romawi. Paulus mengakui bahwa jika dia menikah, besar kemungkinan bahwa pernikahan itu akan menghambatnya dalam menjalankan tugasnya. Pada kenyataannya, Paulus juga mendukung keputusan untuk tetap single. Kata Paulus: seorang pria ataupun wanita yang menikah akan memerhatikan urusan dunia dan bagaimana mereka bisa menyenangkan pasangan mereka (1 Korintus 7:32-35). Tetapi, mereka yang hidup sebagai seorang yang single memusatkan pikiran pada perkara-perkara rohani, dengan tujuan untuk mempersembahkan diri kepada Allah “di dalam tubuh dan roh”.

Aku percaya, seandainya Paulus waktu itu menikah, mungkin dia takkan bisa bepergian dengan begitu bebasnya ke banyak daerah di Kerajaan Romawi untuk memberitakan Injil, mendirikan gereja-gereja, dan menyemangati orang Kristen mula-mula. Selain Paulus, Yohanes Pembaptis juga adalah seorang pria single (berdasarkan catatan sejarah yang ada), yang kehidupannya menjadi teladan. Yohanes Pembaptis tahu misi Tuhan bagi hidupnya adalah mempersiapkan orang-orang untuk menyambut kedatangan Mesias, dan selama hidupnya pun Yohanes Pembaptis memberitakan kabar tentang Yesus Kristus. Alkitab mengatakan bahwa dia memiliki kehidupan yang keras, dan fokus utamanya adalah mengerjakan pekerjaan Tuhan. Dari hidup Paulus dan Yohanes Pembaptis, kita dapat melihat dengan jelas suatu kebenaran: tidak perlu malu untuk menjadi seorang yang single.

Di tengah masyarakat yang menganggap hal-hal seperti pernikahan menjadi lebih penting, alangkah bahagianya apabila kita bisa menjalani hidup yang penuh arti, meskipun kita single.

Selanjutnya, aku percaya bahwa kita harus bertanya kepada Tuhan mengenai apakah yang menjadi tujuan-Nya bagi hidup kita. Aku pikir, tujuan hidup yang Tuhan inginkan atas kita itu tidaklah jauh dari mengasihi. Kita harus mengasihi satu sama salin (Yohanes 13:34), mengampuni sesama kita (Efesus 4:32), dan senantiasa mengucap syukur (1 Tesalonika 5:16-18).

Saat ini, aku belum sepenuhnya kehilangan harapan untuk menemukan seorang yang tepat buatku. Namun, aku belajar supaya pencarianku ini tidak menghentikanku untuk menikmati hidup.

Jika kamu berada dalam situasi di mana semua temanmu beranjak menikah dan pasangan hidup yang kamu cari semakin terasa seperti mitos yang jauh dari kenyataan, bolehkah aku mengajakmu untuk menikmati masa single-mu dan bertanya kepada Tuhan tentang talenta dan karunia apakah yang bisa kamu gunakan untuk pekerjaan-Nya?

Ada banyak hal lain yang berharga dalam hidup ini selain pernikahan.

Baca Juga:

4 Mitos Cinta yang Membuai

Tuhan menyediakan orang-orang yang berpotensi untuk menjadi pasangan yang tepat, dan kamu sendirilah yang bertanggung jawab untuk memilih atau menemukannya. Tapi, ada 4 hal yang seringkali disalahartikan ketika seseorang berusaha mendapatkan pasangan hidupnya.

Masa Single: Sebuah Garis yang (Sepertinya) Tidak Bisa Kulewati

Oleh Wu Yan Ping, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Singleness—The Line I Can’t Seem to Cross

Apa gunanya sebuah garis? Jawabannya adalah untuk memisahkan dua sisi. Dari sisi di mana aku berdiri, aku melihat orang-orang di sisi seberangku sudah memiliki pacar atau menikah. Dan, di sinilah aku, sedang berdiri menanti untuk menyeberangi garis ini.

Ya, aku masih single. Beberapa orang berkata kalau kamu telah mencapai usia tertentu, maka kamu akan sulit untuk mendapatkan pasangan. Sayangnya, aku telah melewati batasan usia itu. Kebanyakan lelaki yang seusia denganku sudah berpacaran ataupun menikah. Sepertinya tidak ada lagi yang masih single and available untukku.

Aku belum pernah berpacaran sebelumnya, dan setiap hari aku berdoa pada Tuhan supaya Dia membawaku ke sisi di seberangku, di mana aku bisa menjalin sebuah relasi yang kelak berlanjut ke pernikahan. Doaku hampir terjawab. Suatu ketika, para single di gerejaku yang seusia denganku mengikuti persekutuan gabungan dengan para single dari gereja lain. Acara ini diselenggarakan akhir tahun lalu dalam rangka meningkatkan ikatan kebersamaan antarjemaat gereja.

Di pertemuan itu aku bertemu dengan Xavier*, jemaat dari gereja yang berbeda denganku. Pertemuan kami berlangsung dengan hangat dan kami memiliki ketertarikan yang sama terhadap filsafat dan sejarah. Bersama-sama, kami juga mengikuti kelompok sel yang dikhususkan untuk kelompok usia dewasa muda. Di luar gereja, kami juga bertemu untuk pergi makan malam bersama-sama. Dia beberapa kali memberiku hadiah, padahal hari itu bukanlah momen yang istimewa. Dia juga sering berusaha untuk menolongku.

Selama lima bulan bersahabat baik, aku mulai mengembangkan perasaanku untuknya. Dia menjadi lebih dari sekadar teman buatku. Kupikir inilah saatnya untukku berpacaran dan menikah. Lagipula, Xavier bukanlah seorang lelaki yang buruk—dia seorang yang menggembirakan, dan selalu mengirimi aku pesan singkat untuk menghiburku. Dia juga seorang yang pintar, tapi juga punya selera humor. Aku merasa begitu nyaman bersamanya.

Sikapnya terhadapku seolah menunjukkan bahwa dia juga ingin menjalin hubungan yang lebih serius. Aku mau mengikuti kata hatiku dan memberitahu dia tentang perasaanku terhadapnya. Namun, aku mengurungkan niatku ketika Xavier mulai bercerita tentang mantan pacarnya yang memilih untuk menikahi lelaki lain. Aku teringat ekspresi sedihnya saat dia menunjukkanku foto mantan pacarnya sedang menunggangi gajah bersamanya. Kemudian, dia juga bercerita tentang temannya yang tega mengkhianatinya dengan merebut pacarnya.

Dari pembicaraan itu, aku dapat melihat dengan jelas bahwa Xavier belum mampu melupakan kenangannya dan masih menyimpan kepahitan akan mantan pacarnya. Dia kembali menuturkan kalau dia sedang tertarik dengan seorang perempuan lain dan dia mengakui sudah berkencan dengannya. Ketika dia bercerita tentang hal itu, aku berusaha sebaik mungkin untuk tetap tenang. Tapi sejujurnya, aku merasa patah hati.

Pada akhirnya, persekutuan gabungan yang digagas oleh gerejaku itu tidak berlanjut dan aku kembali ke gerejaku sendiri. Aku merasa bahwa peluangku kandas. Hanya aku sendiri yang masih single di usia 30-an dan kesempatan untuk bertemu dengan lelaki single lainnya pun kecil. Aku merasa kesepian dan tidak pasti akan masa depanku.

Aku merasa putus asa. Bahkan, aku berpikir untuk pindah ke gereja lain di mana aku bisa menemukan lebih banyak teman-teman yang seusia denganku. Aku juga mencoba aplikasi kencan online, tapi karena aku tidak bisa melihat orang-orang itu secara langsung, kupikir akan sulit memastikan bahwa orang-orang itu memang tulus ingin menjalin suatu hubungan. Aku malah sempat berpikir untuk mencoba mendekati Xavier lagi dan mengungkapkan perasaanku supaya aku bisa bersamanya. Tapi, aku menepis pikiran ini.

Dalam upayaku untuk melupakan Xavier, aku berseru berkali-kali pada Tuhan supaya Dia dapat menolongku untuk menghilangkan perasaan tertarikku pada Xavier. Aku ingin move on dan menemukan seorang lelaki yang lain.

Namun, Tuhan tidak mengabulkan dua permohonanku itu. Tuhan tidak memberiku seorang lelaki ataupun menghilangkan perasaanku pada Xavier. Tapi, Tuhan memberiku kesempatan untuk menemukan sesuatu di balik rasa sakit yang kualami. Aku mendapati bahwa aku memiliki talenta bermusik yang bagus sejak aku melayani sebagai pemain biola di gereja. Aku juga melayani sebagai operator multimedia. Selain itu, karena aku memiliki sedikit kemampuan berbahasa Indonesia, jadi aku juga belajar untuk menyanyikan lagu-lagu pujian dalam bahasa Indonesia untuk sebuah acara di mana aku tergabung sebagai relawan di sana.

Di tempat kerjaku, di mana aku bekerja sebagai perawat di Unit Kesehatan Siswa (UKS), aku merawat siswa-siswa yang terluka dan memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan. Aku belajar untuk melakukan yang terbaik dalam pekerjaanku.

Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa aku tetap bisa merasakan sukacita sekalipun aku tidak memiliki pasangan yang romantis. Contohnya, aku bisa bersukacita tatkala aku pergi bersama keluargaku dan merayakan hari kemerdekaan bersama-sama dengan mereka dan juga beberapa temanku.

Sampai di titik ini, aku masih belum tahu kebaikan apa yang akan dihasilkan dari situasi yang kualami. Namun, satu hal yang pasti yang aku ketahui adalah: Tuhan telah memberikanku sebuah kerinduan untuk menggunakan apa yang sudah Dia berikan kepadaku untuk memajukan kerajaan-Nya.

Tentunya mudah buatku apabila aku memilih untuk memelihara kepahitan dan mengasihani diri sendiri. Ketika aku berada dalam situasi seperti ini, secara manusiawi rasanya aku ingin melupakan Tuhan, aku ingin menyalahkan-Nya atas rasa sakit hati yang kualami, dan aku mau menjauh dari gereja.

Namun, dengan penuh kesadaran aku memilih untuk memuji Tuhan. Sekalipun aku masih merindukan sebuah hubungan yang bisa mengantarkanku kepada pernikahan, Tuhan telah memberikan nyanyian-nyanyian sukacita dalam hatiku, dan mengingatkanku untuk selalu memuji Dia. Setiap pagi aku bangun jam setengah enam pagi untuk menyanyikan lagu-lagu pujian yang menguatkanku. Lagu -lagu itu juga membangkitkan semangatku dan menolongku untuk menyembah Tuhan.

*Bukan nama sebenarnya.

Baca Juga:

Ketika Aku Menyadari Ada Motivasi Terselubung di Balik Pelayananku di Gereja

Aku bersyukur dipercaya oleh Tuhan untuk melayani-Nya sebagai pemain keyboard bersama dengan 3 orang pemusik lainnya. Mulanya kehidupan pelayananku berjalan seperti biasa hingga terjadi sebuah peristiwa di mana Tuhan menegurku bahwa ada sesuatu yang salah dari pelayanan yang kulakukan.

Manakah yang Lebih Baik, Menikah atau Tetap Single?

manakah-yang-lebih-baik-menikah-atau-tetap-single

Oleh Poh Fang Chia, Singapura

Artikel asli dalam bahasa Inggris: Is It Better To Be Married or To Stay Single?

Topik seputar pernikahan nampaknya menjadi sesuatu yang hangat dibicarakan di mana-mana. Sebagai seorang single, kadang itu membuatku jadi penasaran dan bertanya. Hal apakah yang bisa mendorongku melepas status singleku untuk terikat dalam pernikahan dengan seseorang?

Coba kita berpikir realistis sejenak. Kita asumsikan bahwa umumnya hubungan pacaran itu berlangsung selama tiga tahun. Di tengah kehidupan yang sangat sibuk ini, jika sepasang kekasih itu bisa meluangkan waktu bertemu seminggu sekali saja sepertinya sudah bagus. Tapi, jika memang berlaku demikian, berarti dalam tiga tahun pacaran, pasangan itu hanya bertemu tatap muka dan saling mengenal selama 156 hari! Padahal seumur hidupku sendiri, aku telah menjalani 13.870 hari sebagai single.

Selain itu, aku juga memikirkan tentang bagaimana caranya dua orang dengan latar belakang, budaya, dan kehidupan yang berbeda itu menjadi satu. Memikirkan bagaimana caranya berubah dan menyesuaikan diri saja sudah cukup membuat kepalaku pusing.

Mungkin aku seorang yang ragu terhadap sebuah komitmen. Atau, mungkin juga seperti yang temanku pernah katakan, yaitu aku memang belum menemukan sosok pria yang tepat. Tapi, apapun alasannya, aku tahu bahwa Tuhan akan mengubah diriku apabila menikah memang adalah bagian dari rencana-Nya dalam hidupku. Tapi, semakin aku berpikir, semakin pula aku merasa bahwa pernikahan itu berasal dari surga.

Pendapatku tentang pernikahan

Terkadang, aku merasa bahwa pernikahan malah membuat kita kehilangan lebih banyak daripada apa yang seharusnya kita dapat. Rasa-rasanya pernikahan itu malah membatasi dunia kita.

Hal inilah yang kurasakan ketika ada pria-pria yang menyukaiku. Aku merasa jika aku menjalin hubungan dengan mereka, hidupku yang semula bebas dan penuh banyak kesempatan akan menyempit dan terbatas.

Aku menyadari bahwa setiap orang memiliki sisi dalam dirinya yang tidak dapat diubah. Ada komitmen pribadi dan visi kehidupan yang tidak dapat diingkari. Oleh karena itu, dalam memilih pasangan hidup aku perlu berhati-hati. Aku tidak mau menghabiskan hidupku bersama pasangan yang tidak dapat menerima bagian dari diriku yang tidak bisa kuubah. Aku juga tidak mau terjebak dalam situasi di mana aku dan pasanganku tinggal bersama, namun hati dan impian kami masih terpisah. Aku tidak ingin kehidupan kami nanti terpisah walaupun sejatinya sudah menikah.

Pemahamanku tentang pernikahan

Namun, aku juga percaya bahwa ada keajaiban dalam sebuah pernikahan, itulah yang disebut sebagai sebuah transformasi atau perubahan.

Dalam pernikahan, dua kehidupan yang berbeda akan membaur bersama. Dua insan dengan latar belakang berbeda akan hidup dan mengarungi masa depan bersama. Mereka tetaplah dua pribadi yang berbeda, tapi mereka telah menjadi satu. Pernikahan bukan membuat hidup mereka menjadi sempit dan penuh batas, melainkan dari pernikahan lahir sebuah pengertian dan kesadaran untuk saling mengerti satu sama lain.

Hanya dalam sebuah pernikahan, komitmen dua menjadi satu itu akan membawa mereka menyelami kehidupan lebih dalam. Ibarat roti dan ragi, dua kehidupan yang berbeda itu akan menjadi khamir, atau menyatu sempurna. Komitmen dalam pernikahan juga membuat perjalanan hidup seseorang jadi lebih kaya dan bermakna lewat segala kerumitan-kerumitan yang terjadi setiap harinya. Mereka juga belajar untuk tidak menjadi egois. Tidak ada relasi apapun di dunia ini selain pernikahan yang dapat menguji kesetiaan dan kepuasan sejati antar pasangan.

Kadang, pernikahan seolah tampak bukan sesuatu yang logis. Dua pribadi menjadi satu, namun mereka dapat menghasilkan karya yang jauh lebih besar daripada ketika mereka seorang diri.

Karena itu, temanku pun mengucapkan sebuah kalimat:

Pernikahan adalah sebuah keajaiban.
Secara ajaib, dua insan yang adalah laki-laki dan perempuan, berubah dan dikuduskan menjadi satu dalam hubungan suami istri.

Pengertian Alkitab tentang pernikahan

Surat Paulus kepada jemaatnya di Korintus adalah dasar dari pendapatku mengenai pernikahan dan masa single.

Dalam 1 Korintus 7:8-9, Paulus menasihati kita bahwa lebih baik untuk tidak menikah karena kita bisa mempunyai kesempatan lebih untuk melayani Kristus tanpa diliputi banyak kekhawatiran (7:32-35). Tapi, walaupun pernikahan seolah dianggap sulit, memilih untuk menikah dengan tulus jauh lebih baik dibandingkan hidup di dalam hawa nafsu.

Paulus memberikan tiga alasan umum mengapa orang yang belum menikah lebih baik untuk tetap tidak menikah.

Pertama, orang yang tidak menikah memiliki masalah sehari-hari yang lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang sudah menikah (1 Korintus 7:25-28).

Kedua, di akhir zaman ini, orang Kristen tidak boleh membiarkan hidupnya dikuasai oleh pernikahan maupun hal-hal duniawi. Fokus utama orang Kristen adalah Kristus dan kekekalan (1 Korintus 7:29-31).

Ketiga, pernikahan menghasilkan tanggung jawab duniawi dan membuat fokus seseorang terbagi-bagi. Tapi, mereka yang memilih untuk tidak menikah dapat mengabdikan hidup mereka seutuhnya untuk melayani Kristus (1 Korintus 7:32-35).

Tiga alasan itu membuat aku bertanya pada diriku sendiri: Mengapa Tuhan merancangkan sebuah pernikahan jika memang sudah jelas bahwa pernikahan itu membawa kerugian?

Tapi, aku menyadari bahwa sesungguhnya 1 Korintus 7 sedang membahas mengenai dunia dan manusia yang jatuh ke dalam dosa. Oleh karena itu, aku menarik kesimpulan bahhwa pernikahan Kristen adalah pernikahan yang dirancang untuk jadi kesaksian yang kuat tentang Yesus Kristus, sebagai wujud demonstrasi kasih Allah kepada dunia ini.

Pernikahan Kristen yang sejati bukan terjadi secara otomatis karena dua orang Kristen memilih untuk menikah, ataupun karena pernikahan itu diberkati di gereja. Pernikahan Kristen adalah sesuatu yang lebih besar daripada sekadar mencari pasangan hidup yang sepadan.

Inilah pemahamanku yang baru tentang apa yang Paulus tuliskan dalam 1 Korintus 7.

Ya, orang yang tidak menikah memang memiliki masalah sehari-hari yang lebih sedikit dibandingkan dengan mereka yang menikah. Namun, fakta bahwa berdua lebih baik daripada seorang diri juga benar adanya. Pasangan yang hidup bersama dapat mengatasi masalah sehari-hari dengan lebih baik.

Ya, kita hidup di akhir zaman, orang Kristen tidak boleh membiarkan hal-hal duniawi menguasai hidupnya. Prioritas utama sebagai orang Kristen adalah Kristus dan kekekalan, dan kedua hal ini berlaku baik bagi orang yang menikah ataupun tidak.

Ya, pernikahan akan memberikan tanggung jawab duniawi dan membuat fokus seseorang terbagi-bagi. Mereka yang memilih untuk tidak menikah dapat membaktikan seluruh kehidupannya untuk melayani Kristus. Akan tetapi, adalah sesuatu yang juga benar apabila dua orang yang memutuskan menikah itu menghidupi misi ini bersama-bersama. Tentu hasil yang dihasilkan akan jadi lebih besar. Suami dan istri harus menghidupi hari-hari mereka untuk melayani Kristus. Pemahaman ini membawa kita pada pandangan yang lebih luas tentang ladang pelayanan. Sebagaimana dunia ini adalah ladang pelayanan, demikian juga rumah dan keluarga kita.

Kalimat penutup

Aku masih harus banyak belajar tentang pernikahan, masa single, dan juga tentang hubungan.

Baca Juga:

Pekerjaanku Bukanlah Passionku, Tapi Inilah Cara Tuhan Membentukku

Ketika aku diwisuda pada September 2015, kupikir itu adalah momen yang paling berbahagia dalam hidupku. Aku membayangkan akan masa depanku yang cerah setelah menyandang gelar sarjana. Aku bisa bekerja di perusahaan-perusahaan bonafide. Tapi, momen bahagia itu perlahan pudar menjadi hari-hari penuh perjuangan tatkala aku harus bergumul mencari pekerjaan selama hampir tujuh bulan.

Mengapa Aku Senang dengan Status Singleku

mengapa-aku-senang-dengan-status-singleku

Oleh Aryanto Wijaya

“Waktu aku masih kecil, aku lihat orang dewasa pacaran. Waktu aku dewasa, aku lihat anak kecil pacaran.”

Begitulah isi tulisan yang kutemukan dalam sebuah meme saat aku sedang asyik menjelajah timeline Instagram-ku. Apa yang baru saja kulihat itu membuatku tertawa. Ya, sampai hari ini aku belum pernah berpacaran sama sekali.

Ketika satu per satu teman-temanku mulai memiliki gandengan tangannya, aku masih setia dengan statusku sebagai lelaki single sejak masa sekolah, kuliah, bahkan hingga sekarang bekerja.

Dulu aku tidak percaya diri, selain karena aku dibesarkan di keluarga broken-home, aku juga tidak bisa bermain musik, pandai berolahraga, ataupun punya banyak uang. Aku hanyalah seorang lelaki biasa dan kupikir bukan tipe lelaki idaman para perempuan.

Sebetulnya aku pernah jatuh cinta beberapa kali kepada teman-teman perempuanku, tetapi aku tidak pernah menanggapi serius perasaan itu. Alih-alih segera “nembak”, aku lebih memilih menjadi sahabat dengan orang yang kusuka hingga akhirnya jarak dan waktu memisahkan kami. Tapi ada satu pengalaman jatuh cinta yang menurutku paling berkesan.

Saat kuliah dulu aku pernah jatuh cinta kepada sahabatku. Awalnya kami bertemu di sebuah persekutuan doa yang digelar seminggu sekali di kampus. Kami berdoa bersama, pergi jalan-jalan, dan begitu terbuka untuk menceritakan beban hidup masing-masing. Beberapa bulan sebelum aku lulus kuliah dan kembali pergi merantau, aku menyatakan perasaanku padanya. Tapi dia tidak ingin persahabatan ini berubah status menjadi pacaran dan aku menghargai keputusannya. Kami masih berteman hingga hari ini sekalipun jarak memisahkan kami.

Belum punya pacar itu bukan berarti hidupku menjadi kurang berarti. Sama pula jika aku memiliki pacar, bukan berarti hidupku jadi selalu lebih baik. Seringkali aku menjadi tempat curhat dari teman-temanku yang berpacaran seumur jagung lalu putus. Bahkan ada pula yang berpacaran bertahun-tahun tapi putus karena beragam alasan. Sekalipun aku belum pernah mengalami yang namanya pacaran, tapi mereka merasa nyaman dan cocok untuk menceritakan keluh kesah hubungan mereka kepadaku.

Aku senang dengan statusku sebagai seorang lelaki single. Ketika rasa kesepian itu datang, aku dapat mengalihkan rasa itu menjadi hal-hal positif yang membangun hidupku.

1. Aku bisa traveling dan menulis di blog

Selama empat tahun masa kuliahku di Yogyakarta, aku telah mengelilingi hampir setengah dari Indonesia, dari kota Sabang di paling barat, hingga kota Manado di Sulawesi Utara. Aku bergabung dengan teman-teman komunitas backpacker yang memungkinkanku untuk bertemu orang-orang dari banyak negara. Bahkan di tahun 2015, seorang temanku dari Jerman datang ke Indonesia dan mengajakku pergi menemaninya berkeliling Sumatera selama satu bulan penuh, dan dia membiayai seluruh akomodasi perjalananku!

Tak berhenti sampai di situ, pada tahun 2014 aku diterima bekerja sebagai staf bagian promosi di kampus tempatku belajar. Hampir setiap bulan aku pergi dikirim ke berbagai kota di Indonesia untuk mengenalkan kampusku kepada siswa-siswi SMA. Suatu pekerjaan yang sangat kucintai karena aku bisa traveling dan juga dibayar.

Kesempatan-kesempatan traveling yang Tuhan berikan itu membuatku mengenal banyak teman-teman baru. Dalam beberapa kesempatan, aku bisa menggunakan itu untuk bercerita kepada mereka tentang pengalaman imanku kepada Yesus.

Aku tidak ingin menikmati traveling itu sendirian, jadi aku membuat sebuah blog dan menuliskan setiap kesan dan pengalaman dari perjalanan-perjalanan yang kulakukan. Aku percaya bahwa Tuhan memberiku masa single yang panjang supaya aku bisa memperkaya hidupku dan menjadi berkat untuk orang lain. Bagaimana dengan kamu?

2. Aku memiliki waktu lebih banyak bersama keluarga dan teman-temanku

Ketika aku merasa cukup dengan apa yang Tuhan berikan padaku, aku percaya bahwa Dia akan memberiku tanggung jawab baru sesuai dengan waktu-Nya. Yesus sendiri mengatakan, “Barangsiapa setia dalam perkara-perkara kecil, ia setia juga dalam perkara-perkara besar. Dan barangsiapa tidak benar dalam perkara-perkara kecil, ia tidak benar juga dalam perkara-perkara besar” (Lukas 16:10).

Masa-masa single yang Tuhan berikan padaku saat ini adalah kesempatanku untuk mencintai keluarga dan teman-temanku. Aku senang mendengarkan cerita dari teman-temanku. Biasanya setelah jam kerja usai aku tidak akan langsung pulang menuju kost, tapi menemui teman-temanku terlebih dulu. Sekalipun kadang aku merasa lelah, tapi bertemu teman-temanku membuatku merasa bersyukur. Ketika mereka curhat kepadaku, kehadiranku menguatkan mereka bahwa mereka tidak sedang berjuang sendirian.

Satu kali dalam sebulan aku selalu menggunakan akhir pekan untuk pulang ke kampung halamanku dan bertemu dengan keluarga. Waktu terus berjalan dan itu berarti usia kedua orang tuaku akan semakin senja. Di masa-masa inilah aku ingin tetap ada untuk mereka, di tengah kesibukan pekerjaanku aku ingin memberikan kehadiranku di rumah sebagai ungkapan nyata bahwa mereka begitu berarti untukku.

Aku harus mengucap syukur dengan apa yang ada padaku, bukan apa yang tidak ada. Jika saat ini aku diizinkan untuk tetap single, itu tandanya Tuhan sedang memurnikan karakterku terlebih dahulu lewat proses mencintai keluarga dan teman-temanku.

Jika kamu juga sedang menjalani masa-masa single sepertiku, mungkin kamu juga bisa memaksimalkan waktumu sekarang untuk mengasihi keluarga dan teman-temanmu terlebih dahulu.

* * *

Sejatinya, aku tidak memiliki belahan jiwa karena Tuhan menciptakan jiwaku utuh. Jadi ketika Tuhan nanti berkata bahwa sudah saatnya aku melepas masa single-ku, maka di situ jugalah Dia sudah menyiapkan seorang perempuan yang juga jiwanya utuh untuk dilebur menjadi satu di dalam Yesus.

Kelengkapan hidup kita bukan ditentukan dari status single atau couple. Jadi, punya pacar ataupun tidak, Tuhan menciptakan jiwa kita itu utuh, tidak kurang setengah hanya karena kita belum memiliki pacar. Punya pacar atau tidak, Tuhan tetap memiliki rancangan yang terbaik untuk kita, dan Dia mau supaya lewat hidup kita rancangan itu dinyatakan.

Jadi, apapun status hubunganmu saat ini, maukah kamu mengisinya dengan memberkati orang lain?

Baca Juga:

Mengapa Aku Memutuskan untuk Tidak Berhubungan Seks Sebelum Menikah

Aku memiliki pendirian yang teguh untuk menolak hubungan seks di luar pernikahan, dan tentunya ada risiko atas pendirian itu. Aku sering dianggap aneh oleh teman-teman ketika mereka tahu tentang pendirianku itu. Mereka seringkali mengatakan padaku, “Tapi, kamu harus mencobanya supaya kamu tahu apakah kamu cocok dengan pasanganmu atau tidak.”

Mengapa Aku Masih Single?

mengapa-aku-masih-single

Oleh Krysti Wilkinson, Amerika Serikat
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Why Am I Still Single?

Aku sedang duduk di bangku gereja mendengarkan khotbah pendeta kami ketika pandanganku tertuju pada sepasang kekasih yang duduk beberapa baris di depanku. Tidak jelas apakah sang perempuan sedang bersandar di bahu sang lelaki, atau sang lelaki sedang mengecup kening sang perempuan, namun pemandangan itu mengalihkan perhatianku.

Aku mengenal perempuan itu. Setahuku, dia tidak sedang dalam situasi yang terbaik untuk memulai sebuah hubungan. Namun kini, dia ada di sini dan bermesraan dengan pacar barunya.

Aku menghela nafas, menggeser posisi dudukku, dan melirik barisan bangku tempatku duduk. Ada tujuh atau delapan orang gadis dengan buku catatan dan pulpen di tangan mereka. Beberapa dari kami bahkan membawa Alkitab (betapa rohaninya!). Kami Kristen, cantik-cantik, tapi sama-sama belum punya pacar.

Aku pernah berpikir, “Kami melakukan segala sesuatu dengan benar. Kami mematuhi setiap peraturan. Kami melakukan segala yang terbaik—mengapa kami belum punya pacar?”

Jawaban Tuhan seakan menampar wajahku, “Kapan Aku pernah menjanjikan kamu akan punya pacar kalau kamu melakukan semua itu?”

Hari itu aku menyadari kalau selama ini aku memiliki pemikiran yang salah. Sebelumnya, aku memandang hubungan yang kumiliki dengan lawan jenis adalah upah yang diberikan Tuhan kalau aku menjadi seorang Kristen yang baik. Aku pikir jika aku pergi ke gereja setiap minggu, mungkin akan ada seseorang yang mendekatiku. Jika aku ikut pendalaman Alkitab setiap minggu, mungkin aku akan mendapat pacar. Jika aku berhasil mencapai level kesucian tertentu, aku mendapat cukup banyak poin untuk dapat menikah. Jadi mungkin aku tidak cukup suci, karena itulah aku masih single.

Aku tahu betapa bodohnya pemikiranku itu. Tapi bertahun-tahun aku hidup mempercayai kebohongan-kebohongan ini. Ketika sebuah hubungan terasa seperti sesuatu yang perlu kamu kejar, kamu akan merasa gagal ketika kamu menemukan dirimu masih tetap single.

Ini pesan yang ingin kusampaikan: berpacaran bukanlah sebuah prestasi, dan pernikahan bukanlah sebuah hadiah juara. Tuhan tidak pernah berjanji untuk memberi kita seorang pasangan dan dua anak yang sempurna dan kehidupan yang bahagia selamanya di dalam rumah yang nyaman. Tuhan tidak pernah menjanjikan bahwa kesetiaan akan selalu menghasilkan kebahagiaan, kemakmuran, atau kehidupan yang menyenangkan (seringkali yang terjadi malah kebalikannya). Namun, ketika kita melihat teman-teman kita seolah memiliki hidup yang sempurna, kita mungkin bertanya: Mengapa bukan aku? Mengapa hidupku tidak seperti itu? Mengapa aku masih single?

Menanyakan pertanyaan-pertanyaan itu tidaklah salah. Menjadi jujur tidaklah salah. Merasakan apa pun yang kamu rasakan tidaklah salah. Yang menjadi salah adalah jika kita terus-menerus terjebak dalam pertanyaan-pertanyaan itu.

Ketika kamu bertanya “mengapa kamu masih single”, itu memang bisa membuatmu melakukan refleksi diri dan bertanya pertanyaan-pertanyaan lain yang baik, seperti: Apakah kamu sudah siap untuk memulai hubungan yang baru? Apakah kamu ada di lingkungan yang baik? Apakah ada kebiasaan-kebiasaan buruk yang mempengaruhi hubunganmu dengan sesama? Tapi, pertanyaan “mengapa kamu masih single” juga dapat membuatmu jatuh semakin dalam, terjebak dalam kesalahan-kesalahan yang pernah kamu buat dalam hubunganmu yang sebelumnya, menjadi terobsesi akan interaksi dengan lawan jenis, atau menghabiskan tenagamu untuk menarik perhatian seseorang.

Saranku, daripada terus bertanya kepada dirimu “mengapa kamu masih single”, bertanyalah kepada Tuhan apa yang Dia kehendaki untuk kamu kerjakan selagi kamu single.

Kamu tidak harus menyukai status single-mu—tetapi kamu bisa mengundang Tuhan untuk hadir dalam setiap detik hidupmu. Tanyakanlah Dia apa yang sedang Dia lakukan dalam hidupmu, ke mana Dia memimpinmu, dan apa yang Dia kehendaki bagimu selanjutnya. Bisa jadi Dia menghendakimu menjalin sebuah hubungan, atau malah sebaliknya. Aku tidak tahu apa kehendak-Nya bagimu, tapi aku tahu bahwa Tuhan itu baik, begitu pula rencana-Nya.

Hari itu, beberapa tahun yang lalu, Tuhan mengingatkanku akan pemikiranku yang salah tentang imanku. Ini menolongku untuk memeriksa apa yang menjadi motivasiku dalam melakukan segala kegiatan gereja—apakah aku melakukannya agar aku mendapat pacar, ataukah aku melakukannya karena kasihku bagi Bapaku?

Ketika aku juga bertanya kepada Tuhan tentang apa yang Dia ingin aku kerjakan selagi aku single, aku menjadi sadar akan banyak hal di sekitarku: kesempatan-kesempatan pelayanan, hal-hal yang dapat aku kembangkan, persahabatan-persahabatan yang perlu kubangun, dan bahkan beberapa laki-laki yang sebelumnya tak pernah terpikirkan untuk menjadi dekat denganku.

Tuhan selalu mempunyai cara untuk mengejutkan kita. Kadang yang perlu kita lakukan hanyalah bertanya kepada-Nya.

Baca Juga:

Jawaban Bijak Ayahku Ketika Aku Mengatakan Akan Menjadi Istri Hamba Tuhan

Keputusan sulit harus kuambil ketika suamiku menjadi seorang hamba Tuhan penuh waktu dan meninggalkan segala kariernya di dunia sekuler. Aku harus melepaskan karierku untuk mendukung suamiku sebagai istri hamba Tuhan. Dalam pergumulanku, aku ingin taat pada Tuhan, namun aku juga ingin memberkati ayahku secara finansial di masa tuanya.

Senandung Masa Lajang

senandung-masa-lajang

Oleh Noni Elina Kristiani, Surabaya

Teruntuk kekasih di masa depan
Kan kulalui malam kesekian tanpamu di sekitar
Meski tanya selalu mengusik pandangan
Aku percaya kita dipersiapkan untuk menjadi lebih bersinar

Seperti lilin berpendar di tengah kegelapan
Kita mengerjakan apa yang Allah telah perintahkan
Untuk mengambil bagian dalam rencana-Nya
Menjadi berkat bagi sesama

Ini malam kesekian tanpamu dalam pandangan
Langit telah banyak menampung rindu yang tak beralamatkan
Namun ada Satu Pribadi yang kutahu mengenalmu
Mendekapmu kala hidupmu kelu
Menguatkanmu ketika hari kelabu
Yang menulis kisah kita dan mendengar setiap doa
Membuat aku percaya bahwa cinta selalu membawa damai sejahtera

Semoga kita semakin dekat kepada-Nya
Karena meski tanpamu di sekitar
Aku akan selalu berbahagia
Asal kita mau terus berpendar
Memancarkan sinar di tengah kegelapan
Sampai kemudian bertemu di sebuah kesempatan
Hanya jika Allah mengizinkan

Baca Juga:

Ketika Aku Bertengkar dengan Pacarku

Aku sangat kesal dengan pacarku―sebutlah dia “T”. Ceritanya diawali ketika orangtuaku mengunjungiku di Kuala Lumpur, Malaysia, untuk menghadiri wisudaku.

5 Kiat Hidup Efektif untuk Para Lajang

Penulis: Andrea Chan
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: 5 Life Hacks for Singles

Ketika beberapa tahun lalu usiaku melewati angka 20, aku mulai merasa tertekan karena belum punya pacar. Salah satu video dalam kampanye SKII #ChangeDestiny dengan sangat baik menggambarkan pergumulan yang kami, para wanita lajang, hadapi setiap hari, terutama setelah batas usia 25 tahun terlampaui. Pada batas usia itu, kebanyakan wanita sudah menikah dan memiliki anak-anak.

Dalam masyarakat Asia, menikah itu sama pentingnya dengan memiliki gelar sarjana. Status tersebut menentukan nilai diri seorang wanita di tengah komunitasnya. Jika kamu tetap melajang, orang akan berasumsi bahwa masalahnya terletak pada dirimu—kamu terlalu keras kepala, terlalu tomboi, terlalu mandiri. Diberi label tertentu oleh orang-orang di sekitar kita itu menyakitkan, apalagi kebanyakan wanita lajang sebenarnya juga ingin berkeluarga dan hidup tenang.

Dalam pengamatanku, topik tentang status ini selalu saja muncul dalam percakapan dengan pola yang serupa. Begitu kamu mengaku sebagai seorang lajang, bisa dipastikan lawan bicaramu akan terdiam sejenak, lalu dengan penuh perasaan menepuk pundakmu sembari berusaha memberikan semangat, misalnya dengan berkata, “Jangan kuatir, kamu akan menemukan seorang yang istimewa itu.”

Adakalanya respons semacam itu justru membuat aku tidak tenang, khawatir bahwa aku tidak akan pernah menemukan pasangan untuk berkeluarga. Meski bisa memiliki kebebasan sebagai seorang lajang itu sangat menyenangkan, setiap kali aku melihat banyak pasangan yang bahagia, tak bisa dipungkiri aku mulai ragu apakah diriku ini benar-benar berarti.

Aku yakin, aku bukanlah satu-satunya wanita lajang yang bergumul dengan rasa percaya diri dan tidak pasti dengan masa depan. Dalam masa-masa mempertanyakan kembali arti hidup, aku menemukan beberapa hal yang sangat menolongku menjalani hidup melajang dengan optimal:

1) Daftarkan kualitas-kualitas utama yang kamu inginkan dalam diri calon pasanganmu

Akan sangat menolong bila sejak awal kita sudah punya gambaran tentang apa yang ingin kita lihat di dalam diri calon pasangan kita. Aku baru memahami pentingnya membuat daftar ini ketika tersadar bahwa aku telah mengompromikan semua kualitas yang aku anggap penting dalam hubunganku yang terdahulu.

Sebab itu, aku mendorongmu untuk tidak menunggu. Selagi masih lajang, daftarkanlah semua kualitas yang sesuai standar firman Tuhan. Dengan begitu, nanti kita tidak akan terjebak untuk mengambil keputusan penting menurut emosi kita belaka—sebuah kesalahan yang pernah aku lakukan. Daftar ini juga akan mengingatkan kita untuk sabar menantikan yang terbaik dari Tuhan, tidak mengompromikan nilai-nilai yang penting dalam hidup kita. Aku sendiri mendaftarkan tiga hal penting untuk calon pasanganku: mencintai Tuhan, mencintai anak-anak, dan bisa memimpin.

2) Bijaksanalah memilih apa yang kamu baca dan siapa yang kamu dengarkan

Masa lajang adalah waktu yang baik untuk mempersiapkan diri kita, termasuk cara kita berinteraksi dengan lawan jenis dan batasan-batasan yang ingin kita jaga. Pada zaman ini, orang tidak lagi begitu peduli tentang batasan fisik dan emosional dalam berpacaran, dan kita mungkin sering melihat gaya pacaran yang kemesraannya sudah seperti suami-istri.

Memilih bacaan, lagu, dan tontonan yang sejalan dengan apa yang diajarkan Alkitab akan melindungi kita dari pemikiran yang tidak realistis tentang hubungan, agar kita tidak mudah terluka. Adakalanya harapan-harapan yang tidak realistis itu dibentuk oleh potret hubungan yang tampak begitu ideal di sosial media. Daripada membaca artikel sekuler tentang berpacaran, akan jauh lebih baik untuk meminta nasihat dari pasangan Kristen yang dewasa rohani, mendapatkan wawasan dari artikel-artikel Kristen, dan yang paling penting: dari Alkitab sendiri!

Makin memahami ajaran Alkitab, makin kita akan tahu persis bagaimana menghormati Tuhan dalam persahabatan, juga nantinya dalam tahap hubungan yang lebih khusus.

3) Menganggap setiap orang sebagai teman dulu

Wajar saja bila kita melihat setiap teman lawan jenis kita sebagai calon pasangan yang potensial. Sebab itu, akan sangat menolong bila kita menganggap setiap orang sebagai teman dulu. Cara ini menolongku untuk bersikap natural saat berada di sekitar teman-temanku, tidak tergoda untuk pasang aksi demi mengesankan seseorang. Bila nanti persahabatan itu berlanjut ke hubungan yang lebih serius, aku yakin orang itu menyukai diriku apa adanya.

Aku pernah tergoda berusaha mengendalikan hubunganku dan menulis kisah cintaku sendiri. Namun, aku tidak ingin membiarkan diriku larut dalam fantasi yang muncul dalam pikiranku. Aku meminta Tuhan menolongku untuk bisa melihat setiap teman di sekitarku sebagai saudara di dalam Kristus, supaya aku tidak menjadi terobsesi dengan orang yang kupikir akan menjadi pasanganku.

4) Beri diri menjadi sukarelawan dalam kegiatan-kegiatan yang positif

Sebagai orang-orang yang telah diberkati dengan kelimpahan kasih Tuhan, kita dipanggil untuk menjangkau dan memberkati sesama kita. Hal ini bisa kita lakukan dengan melayani, menjadi sukarelawan, baik di dalam gereja maupun di tengah masyarakat. Ketika kita masih lajang, kita punya lebih banyak waktu, mengapa tidak menggunakannya untuk membagikan kasih Tuhan dengan orang lain?

Aku sendiri menjadi sukarelawan dalam organisasi yang melibatkan anak-anak, juga dalam distribusi makanan bagi orang-orang yang membutuhkan, misalnya melalui Food Bank, Soup Kitchens, kamp, atau di sekolah-sekolah.

Menjadi sukarelawan juga bisa sesederhana memasak makan malam atau mengurus cucian untuk semua orang di rumah kita sendiri. Sebuah tindakan yang sederhana, tetapi bisa berdampak besar. Tindakan itu akan mengekspresikan kasihmu kepada keluarga. Aku yakin ibumu tidak akan mengeluh.

5) Berdoalah, serahkan ketakutanmu kepada Tuhan

Aku telah mengalami bagaimana doa menjadi cara terbaik untuk mengatasi ketakutanku, kalau-kalau aku tidak akan memiliki keluarga sendiri.

Ketika rasa ragu dan khawatir menyerang, aku berdoa memohon:
– Hikmat, untuk mengenali pasangan yang Tuhan siapkan.
– Kejelasan, untuk tahu ke mana atau kepada siapa aku harus melayani selama aku masih lajang.
– Kesabaran, untuk menantikan waktu Tuhan.

Yang pasti, masa lajang adalah pemberian Tuhan dan merupakan kesempatan bagi kita untuk bertumbuh lebih kuat dalam hubungan kita dengan-Nya. Bersukacitalah setiap hari karena kita semua sudah menemukan Pribadi yang istimewa—Tuhan. Orang bilang bahwa cinta pertama itu adalah yang paling istimewa. Tuhan adalah dan akan selalu menjadi cinta pertama kita.

Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih Tuhan, kasih-Nya adalah satu-satunya kasih yang dapat melengkapi hidup kita. Tidak ada hal yang lebih menenangkan hati daripada mengetahui bahwa Pribadi yang menjadi cinta pertama kita juga mencintai kita.

Percayakan kisah cintamu kepada Tuhan, dalam pengaturan waktu-Nya yang sempurna. Sembari menantikan waktu itu, jalanilah hidup dengan optimal—pakailah waktu kita untuk melayani Tuhan, untuk membagikan sukacita kepada orang-orang yang Tuhan tempatkan di sekitar kita, juga untuk menikmati hobi kita.

Benarkah Pernikahan adalah Perwujudan Kasih yang Paling Ideal?

Oleh: Christopher Yuan dan Rosaria Butterfield
Tanggapan terhadap Keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat tentang pernikahan sesama jenis. Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Is Marriage The Pinnacle of Love?

Is-Marriage-the-Pinnacle-of-Love

Mahkamah Agung Amerika Serikat (The Supreme Court of the United States of America) yang merupakan badan hukum tertinggi di negeri itu, telah melegalkan pernikahan sesama jenis di 50 negara bagiannya, dan keputusan itu dirayakan oleh sebagian besar warganya. Inilah dunia yang kita tinggali hari ini, dunia dengan banyak bendera pelangi yang dilambaikan dengan penuh rasa bangga. Kita berangkulan dengan rekan-rekan dan sahabat LGBT kita yang terkasih, percaya bahwa mereka adalah bagian yang penting dari komunitas kita.

Kami, Christopher dan Rosaria, mengakui bahwa kami telah turut andil membangun dunia yang demikian—dunia yang memperjuangkan kesamaan derajat dan hak bagi setiap manusia. Jika keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat untuk mengubah definisi pernikahan (dan dengan begitu berarti mengubah juga definisi manusia sebagai seorang pribadi) telah dibuat beberapa waktu yang lalu, mungkin sekali kami juga ada di antara orang-orang yang merayakannya.

Pada tahun 1999, ketika Yesus Kristus menyingkapkan kasih dan anugerah-Nya yang menyelamatkan kepada kami masing-masing, kami menyadari bahwa ketidakpercayaan kami, dan nafsu seksual yang menguasai hidup kami karena ketidakpercayaan itu, bukan lagi sesuatu yang bisa kami pilih. Kami menyadari bahwa mengikut Yesus berarti menyerahkan segala aspek hidup kami. Kami mengerti bahwa pertobatan berarti lari menjauhi segala bentuk godaan yang sangat akrab dan menyenangkan bagi kami.

Namun, Allah juga telah mengasihi kami sebelum kami bertobat mengikut Kristus. Dia telah menyediakan kasih dan perhatian dari umat-Nya, orang-orang yang kini telah menjadi keluarga kami yang baru, saudara-saudara kami yang baru, orangtua kami yang baru di dalam Kristus. Kami melihat bagaimana orang-orang Kristen hidup menurut teladan yang diberikan oleh Tuhan sendiri: mereka mengasihi, menerima, menjadikan kami bagian dari komunitas mereka, memenuhi hidup kami dengan kebenaran-kebenaran Alkitab, ketika kami masih berdosa. Sebab itu, ketika Roh Kudus mengubahkan hati kami, kami memahami satu hal: Injil itu sangat berharga dan sudah seharusnya kami hargai dengan segenap hidup kami.

Kami yakin bahwa sebelum maupun sesudah Mahkamah Agung mengeluarkan kebijakan itu, Allah duduk di atas takhta-Nya dalam kuasa dan kemuliaan—dan suatu hari kelak, semua lutut akan bertelut dan semua lidah akan mengakui-Nya.

Kami percaya bahwa Allah telah menetapkan pernikahan sebagai persatuan antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri, sebagaimana yang ditegaskan kembali oleh Yesus dalam Markus 10:6-8 and Matius 19:4-5. Namun, kami tidak sependapat dengan pendapat sebagian orang atau tulisan Justice Kennedy yang menganggap bahwa pernikahan “adalah perwujudan kasih yang paling ideal”. Pernikahan di dunia ini tidak selalu bisa menyatakan kasih secara penuh. Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:7-19). Puncak kasih Allah dinyatakan bagi kita di dalam Kristus. Tidak ada kasih yang lebih besar dari itu.

Sebuah Misteri Sekaligus Cerminan

Dalam kenyataannya, pernikahan adalah sebuah misteri sekaligus cerminan dari suatu realitas yang lebih besar. Sesungguhnya, perwujudan kasih yang paling ideal dapat kita temukan dalam kasih Kristus kepada pengantin-Nya, yaitu Gereja. Dalam Efesus 5 dan Wahyu 21, pernikahan merupakan analogi dari penebusan Kristus: pernikahan pengantin perempuan (orang-orang berdosa yang sudah ditebus) dengan Sang Suami (Kristus) menggambarkan bagaimana semua orang yang sudah ditebus, baik menikah maupun tidak menikah, adalah mempelai Kristus. Hanya di dalam Kristus, setiap kita dapat mengalami kasih dan penerimaan secara utuh. Betapa pun pentingnya pernikahan dan keluarga di dunia ini, semua itu tidak akan bertahan selamanya, sedangkan Kristus dan keluarga Allah (Gereja) akan terus ada dalam keabadian.

Sayangnya, kita telah gagal menunjukkan kepada komunitas LGBT adanya sebuah opsi selain menikah—yaitu hidup melajang—sebuah pilihan yang dapat dijalani dengan penuh produktivitas dan kepuasan di dalam komunitas keluarga Allah. Orang yang tidak menikah dapat memiliki hubungan-hubungan bermakna yang penuh kasih di dalam keluarga Allah, sangat berbeda dengan pendapat Justice Kennedy yang menulis bahwa para lajang “divonis untuk selalu hidup dalam kesepian”. Ini bukan sekadar gagasan untuk menghibur diri. Para lajang bisa memiliki kehidupan yang sama indahnya dan sama memuaskannya dengan orang-orang yang menikah.

Salah satu hal yang membuat pernikahan antara laki-laki dan perempuan tampak tidak adil bagi komunitas LGBT adalah karena hidup melajang dipandang sebagai hidup dengan kesepian yang sangat mengenaskan. Mungkinkah kita di gereja tanpa sadar juga ikut memperkuat kebohongan ini dengan mengagung-agungkan pernikahan dan merendahkan atau tidak memberi komentar apa-apa tentang hidup melajang? Jika tidak menikah adalah sebuah bentuk ketidakadilan, wajar saja bila pernikahan dianggap sebagai suatu hak yang harus dituntut. Sama seperti komunitas LGBT yang meminta seisi dunia untuk menghormati dan menghargai harkat dan martabat mereka, inilah saatnya gereja juga memperjuangkan harkat dan martabat dari para lajang, baik perempuan maupun laki-laki.

Momen yang Menentukan

Sebagian orang saat ini membandingkan keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat tentang pernikahan sesama jenis dengan kasus Roe melawan Wade di tahun 1973 yang melahirkan keputusan untuk melegalkan praktik aborsi. Ada satu pelajaran penting yang bisa kita petik dari gerakan pro-kehidupan yang menentang praktik aborsi. Hari ini, jumlah orang muda yang pro-kehidupan jauh lebih banyak dibandingkan generasi sebelumnya. Perubahan penting mulai terjadi ketika orang-orang pro-kehidupan (yang berasal dari berbagai latar belakang, tidak hanya kelompok Kristen Injili) mulai menggeser fokus mereka. Tidak sekadar menentang praktik aborsi, tetapi menunjukkan kepedulian yang nyata dengan menolong bayi-bayi yang belum lahir dan para perempuan yang kehamilannya tidak direncanakan. Pertanyaan bagi kita hari ini: Akankah kita mulai menunjukkan kepedulian yang nyata bagi komunitas LGBT?

Inilah momen yang sangat menentukan dalam sejarah. Kita memiliki kesempatan emas untuk bersinar bagi Injil. Akankah kita mengarahkan orang kepada pernikahan sebagai “perwujudan kasih yang paling ideal”? Ataukah kita akan mengarahkan orang—baik yang menikah atau tidak menikah—kepada hidup yang sangat berharga sebagai murid Kristus, mengejar pengenalan akan Yesus Kristus, Pribadi yang adalah kasih sejati itu? Keputusannya ada di tangan kita.


Catatan Editor: Artikel ini ditulis pertama kali pada tanggal 28 Juni 2005 dan telah dimuat dalam The Gospel Coalition, Ethics & Religious Liberty Commission, dan The Christian Post. Diterjemahkan dengan izin dari Christopher Yuan.

 
Tentang Christopher Yuan
Dr. Christopher Yuan mengajar Alkitab di Moody Bible Institute, dan telah melayani sebagai pembicara dalam topik iman dan seksualitas di lima benua. Beliau menjadi pembicara di berbagai konferensi (misalnya: The Gospel Coalition, Ethics & Religious Liberty Commission, InterVarsity’s Urbana, Moody Pastors’ Conferences dan Men’s Conference), juga di berbagai kampus dan gereja (misalnya: gereja Saddleback dan Willow Creek Community). Out-of-a-far-country Kisahnya menjadi bagian dari film dokumenter HOPE Positive: Surviving the Sentence of AIDS yang meraih penghargaan. Bersama ibunya, beliau juga menuliskan perjalanan hidupnya dalam sebuah buku berjudul Out of a Far Country: A Gay Son’s Journey to God, A Broken Mother’s Search for Hope. Christopher menyelesaikan pendidikannya di Moody Bible Institute pada tahun 2005, meraih gelar Master of Arts in Biblical Exegesis di Wheaton College Graduate School pada tahun 2007, dan menerima gelar Doctor of Ministry pada tahun 2014 dari Bethel Seminary.

 
Tentang Rosaria Butterfield
Rosaria Butterfield adalah seorang profesor Bahasa Inggris yang berpengalaman. Beliau pernah menyatakan diri sebagai seorang lesbian dan ikut memperjuangkan kesamaan hak bagi kaum LGBT. Setelah pertobatannya kepada Kristus pada tahun 1999, beliau menyadari betapa berdosanya bila ia menetapkan sendiri identitasnya di luar yang dikehendaki Sang Pencipta. Rosaria menikah dengan Kent Butterfield, pendeta dari First Reformed Presbyterian Church di Durham, dan kini berprofesi sebagai seorang ibu yang mendidik sendiri anak-anaknya di rumah (home-school), istri pendeta, penulis, dan pembicara. Beliau menolong orang-orang Kristen untuk lebih bisa memahami sesama dan kerabat yang memiliki kecenderungan LGBT, agar dapat mengasihi mereka tanpa melihat label identitas seksual mereka dan dapat membagikan kabar baik secara efektif kepada mereka. Pada tahun 2012, beliau menerbitkan buku tentang kisah pertobatannya yang berjudul The Secret Thoughts of an Unlikely Convert: An English Professor’s Journey To Christian Faith. Bukunya yang kedua: Openness Unhindered: Further Thoughts of an Unlikely Convert on Sexual Identity and Union with Christ, diterbitkan pada bulan Juli 2015. Rosaria menulis tentang seksualitas, identitas, komunitas Kristen, dan rindu menyemangati sesamanya untuk setia dalam kehidupan dan pelayanan kepada Kristus.

Kepada Semua Pemudi Kristen yang Masih Lajang

Penulis: Emilani Nababan

To-all-Christian-Single-Girls

Sahabat-sahabatku terkasih,

Menuliskan surat ini membuka kembali semua cerita lama yang tak mungkin aku lupa, perjalanan panjangku sebagai seorang pemudi yang merasa tak lengkap tanpa sang belahan hati.

Kerap aku merasa kurang istimewa di mata Tuhan, meski aku sudah menjadi orang percaya. Pertanyaan “Apakah aku ini kurang istimewa di mata pria?” acap kali terlintas di kepala. Rasanya diri ini kurang berharga dan kelas dua.

Aku tahu dan percaya bahwa Allah Sang Pencipta telah menciptakanku istimewa dan sempurna, “dahsyat dan ajaib”, sebagaimana doa sang pemazmur dalam Mazmur 139. Namun, entah mengapa aku sering merasa tak seindah mereka di luar sana. Aku merasa tidak seberuntung mereka yang selalu menarik hati banyak pria. Aku bahkan pernah sampai hanyut dalam perasaan tidak berguna. Belum lagi saat harus menghadapi tekanan dari orang tua dan sanak saudara. Mungkin inilah pergumulan yang harus dihadapi setiap pemudi yang masih sendiri.

Namun, melalui perjalanan panjang inilah aku kemudian belajar apa artinya hidup sebagai orang percaya. Lewat persekutuan rutin bersama saudara seiman, disiplin membaca firman Tuhan dan berdoa, Allah mengubahkan cara pandangku sepenuhnya. Suatu hari Dia mengingatkan aku akan sebuah ayat yang sering dikutip orang, Yeremia 29:11, “Sebab Aku ini mengetahui rancangan-rancangan apa yang ada padaKu mengenai kamu, demikianlah firman TUHAN, yaitu rancangan damai sejahtera dan bukan rancangan kecelakaan, untuk memberikan kepadamu hari depan yang penuh harapan.” Meski tidak secara langsung berhubungan dengan situasi yang kualami, ayat ini terasa seperti teguran keras Tuhan atas ketidakpercayaan yang menguasai hatiku.

Aku diingatkan akan betapa seringnya aku bertanya, atau tepatnya mempertanyakan Tuhan: “Mengapa Engkau membiarkan aku masih terus sendiri?” Aku percaya Tuhan itu ada, tetapi aku meragukan bahwa Dia sungguh berkuasa. Ayat tersebut mengingatkan aku bahwa Tuhan tidak pernah melupakan rancangan indah yang telah Dia persiapkan bagi umat-Nya. Dia berjanji memberikan masa depan yang penuh harapan sembari merenda segala peristiwa menurut waktu dan hikmat-Nya.

Kebenaran sederhana yang luar biasa ini sontak memenuhi hatiku dengan damai sejahtera. Dengan tangis aku bersujud di hadapan Tuhan, memohon pengampunan-Nya. Dengan segenap hati, kuserahkan segala kekhawatiranku kepada-Nya, kupercayakan diriku seutuhnya kepada Dia, Sang Pemilik masa. Aku mulai menata kembali hatiku, hidupku, diriku, motivasi, dan tujuan hidupku. Bukankah Dia yang telah menenun aku dalam kandungan ibuku, menjadikan aku untuk tujuan-Nya yang mulia? Dia yang menciptakan aku menghendaki aku melakukan pekerjaan baik yang sudah dipersiapkan-Nya (Efesus 2:10). Dia mau aku hidup dalam kebenaran firman-Nya dan berkarya bagi kerajaan-Nya. Menjadi jelas bagiku, betapa hidup menjadi terlalu kerdil jika semata-mata hanya berpusat pada urusan menikah atau tidak menikah.

Kebenaran yang kutemukan dalam firman Tuhan itu membuat aku kemudian menjalani hidupku secara berbeda. Di antaranya:

1. Aku merawat tubuhku—bukan dengan tujuan menarik hati para pria, tetapi sebagai bagian dari tanggung jawabku memelihara anugerah Sang Pencipta.

2. Aku rajin datang beribadah dan terlibat dalam kehidupan bergereja—bukan dengan tujuan mencari cinta, tetapi sebagai ungkapan pengabdianku kepada Tuhanku.

3. Aku bersekutu dan melayani—bukan dengan tujuan mencari pasangan, tetapi sebagai luapan sukacita karena aku telah hidup dalam anugerah-Nya.

4. Aku melatih diriku untuk menjadi pribadi yang lebih baik dalam tutur kata, sikap, dan karakter—bukan dengan tujuan membuat para pria terkesan, tetapi karena aku rindu untuk memuliakan Tuhan.

Sahabatku, mencari pria yang tepat sebagai pasangan hidup kita bukanlah hal yang salah, juga bukan perkara yang mudah. Tetapi, janganlah sampai kita tenggelam dalam pencarian itu, sehingga kita tidak lagi bisa melihat tujuan besar Allah bagi hidup kita. Mari memakai hari-hari kita untuk memuliakan Dia, yakin bahwa Dia memegang kendali atas segala sesuatu yang ada dalam hidup ini. Percayalah bahwa Dia sedang bekerja di dalam dan melalui diri kita, merenda hidup kita menjadi sesuatu yang indah pada waktu-Nya.

 
Baca juga: Kepada Semua Pemuda Kristen yang Masih Lajang