Posts

Melajang di Usia 30+: Menyerah atau Bertahan dengan Pendirian?

Oleh Nelle Lim
Artikel asli dalam bahasa Inggris: 30+, Single, And Trying Not To Settle

Kencan online di usia 30-an sepertinya tidak cocok untuk orang yang hatinya lemah.

Aku pikir aku perlu mengulangi jawaban-jawaban yang sama selama berbulan-bulan, berpikir keras untuk menciptakan obrolan yang santai, dan berusaha untuk tidak melirik jam di pertemuan pertama kami yang terasa membosankan. Meski ketakutan itu mungkin terwujud, tapi tidak ada salahnya untuk tetap mencoba. Kepada seorang laki-laki, aku coba memberanikan diriku untuk memulai obrolan.

Setelah beberapa bulan, aku mulai melihat sifat aslinya. Laki-laki ini orang yang menyenangkan. Dia merespons pertanyaan-pertanyaanku dengan serius, dia mengajukan pertanyaan yang sopan, dan perilakunya juga santun. Meskipun dia termasuk orang yang cukup serius, tapi dia masih punya selera humor (dan senyumannya yang manis). Kami suka menonton acara komedi, jalan-jalan ke luar ruangan, dan belajar hal-hal baru. Di tiga jam pertama dari pertemuan pertama, kami mengobrol dengan lancar sampai-sampai aku lupa pulang.

Tapi, meskipun dia mencantumkan status ‘Kristen’ di profilnya, aku melihat kalau dia tidak punya relasi personal dengan Tuhan. “Tuhan” baginya adalah sosok dengan kuasa yang lebih besar, dan dia tidak yakin dengan konsep bagaimana Salib itu bekerja menyelamatkan manusia. Semakin banyak kami berbicara, semakin terlihat tanda-tanda kehidupan yang hampa darinya. Meskipun dia orang yang ambisius dan sedang berada pada jalannya untuk mencapai kesuksesan, kehampaan itu muncul dari perasaan insecure-nya. Dia mengakui kalau dia takut jadi orang yang tidak relevan dan diabaikan. Untuk mengalahkan kekhawatiran itu, dia tidak mengizinkan ada orang lain yang mengontrol hidupnya—termasuk Tuhan. Dia terus mendorong dirinya untuk jadi yang terdepan.

Godaan untuk menyerah

Setelah putus empat tahun lalu, aku tahu orang yang seharusnya menjadi calonku harus mengasihi dan takut akan Tuhan. Aku bisa menebak masalah apa yang akan datang jika aku berelasi dengan seseorang yang mengandalkan dirinya sendiri untuk menjalani hidup. Kehidupan telah menunjukkanku akan apa yang Yeremia katakan, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu, hatinya sudah membatu: siapakah yang dapat mengetahuinya?” (Yeremia 17:9).

Hatiku sendiri, meskipun aku sudah mencoba menyerahkannya pada Tuhan, sering membawaku pada kesulitan. Jadi, jika pasanganku jelas-jelas menolak menyerahkan hatinya pada Tuhan, bagaimana aku dapat percaya pada setiap keputusan atau kata-katanya? Aku akan selalu menebak-nebak apakah itu keputusan dia yang egois. Dan, kurasa dia pun tidak akan pernah bisa jadi pemimpin rohani bagi keluarga.

Dengan harapan untuk memiliki pasangan yang berfokus pada Kristus, kurasa itu sudah cukup buatku untuk mengakhiri relasiku dengan laki-laki itu. Tapi, ketika keputusan itu muncul di otak, aku teringat:

Kamu itu nggak lagi muda.
Kamu siap buat membangun lagi komunikasi dengan orang lain?
Kapan lagi kamu bisa dapet chemistry kayak begini?
Kalau kamu terlalu pemilih, ya terima aja kalau kamu sendirian
Duh, orang seperti dia sih masih gapapa; dia bukan ateis kok.

Melepaskan seseorang yang cukup layak dalam standar masyarakat zaman ini menjadi sangat susah saat berada di usiaku. Aku bisa merasakan pikiranku bergulat untuk menemukan semacam kompromi. Mungkin aku bisa berjuang keras untuk memuridkan dia. Mungkin menginginkan calon suami yang bisa jadi pemimpin rohani cuma angan-angan saja, bukan sesuatu yang wajib? Lagipula, beberapa temanku yang Kristen baik-baik saja kok relasinya selama mereka jadi istri yang kerohaniannya lebih kuat?

Naluriku (atau mungkin Roh Kudus) melihat semua upayaku merasionalkan pemikiran-pemikiranku ini adalah mengangkat alis sebagai tanda heran. Tapi, pikiranku yang dicengkeram rasa takut terus menekanku.

Rumah yang kuharap ingin kubangun

Aku tahu aku bisa berdoa memohon petunjuk dari Tuhan untukku melakukan apa yang perlu. Suatu malam, saat aku sedang mencuci piring, sebuah pertanyaan muncul di pikiranku, “Nilai apa yang paling penting, yang ingin kamu berikan kepada anak-anakmu?”

Hening tetapi menohok, kurasa pertanyaan itu datang dari Roh Kudus. “Ini sih gampang,” pikirku, “aku mau anak-anakku punya relasi yang nyata dengan Tuhan yang mengasihi mereka. Ketaatan mereka adalah sikap hormat bagi Allah yang kudus. Dan supaya mereka bisa melihat setiap orang diciptakan seturut gambar-Nya, yang dengan demikian layak mendapatkan martabat dan kehormatan.”

Bagiku, beberapa nilai yang ingin kuberikan itu akan menolong mereka menemukan versi kehidupan terbaik yang bisa mereka miliki. Aku pernah mencoba hidup tanpa Tuhan, menentang-Nya, tetapi kemudian aku sadar bahwa dikasihi oleh Tuhan akan membentuk hidup kita. Aku percaya penuh bahwa Tuhanlah satu-satunya jalan menuju keutuhan hidup.

Pertanyaan kedua segera datang, “Tapi, bagaimana jika pasanganmu tidak percaya dengan itu semua, atau menolak harapan-harapanmu itu sebagai sebuah prioritas?”

Dan tiba-tiba… pergumulan pikiran selama berminggu-minggu pun hilang. Jika aku tahu apa yang terbaik untuk anak-anakku kelak, bagaimana bisa kelak kami hidup dalam rumah yang tidak bersatu, yang mungkin akan menghalangi mereka untuk tumbuh mendapati kehidupan yang terbaik untuk mereka?

Mungkin Tuhan tahu karena aku tipe orang yang mudah berkompromi, Dia mengajakku untuk berpikir keras. Pikiran-pikiran itu menolongku melihat bahwa pilihan-pilihan yang kubuat terkait pasangan hidupku tidak cuma akan mempengaruhiku, tetapi juga bagi orang lain.

Aku menyadari sekali lagi, ini adalah ujian bagi hatiku. Apakah aku percaya bahwa ketika Tuhan menetapkan batasan yang jelas bagi pernikahan, Dia tahu apa yang terbaik bagi kita? Atau, aku sombong karena kupikir akulah yang lebih tahu? Kupikir aku cukup kuat untuk menanggung semua akibat dari tidak berpegang pada tuntunan Tuhan dan menciptakan pernikahan berdasarkan standarku sendiri?

Ketika aku mengobrol dengan teman-temanku yang menikah dengan bukan orang Kristen, atau menikahi orang-orang yang tidak dewasa secara rohani, semua ilusiku pun buyar. Mereka bercerita betapa kesepiannya mereka karena tidak bisa membagikan isi hati terdalam mereka—perjalanan mereka bersama Tuhan—dengan pasangan mereka. Atau, betapa melelahkannya untuk berjalan secara rohani sendirian. Karena mereka sudah terikat dalam pernikahan, mereka berkata perlu tetap berkomitmen untuk mempertahankannya. Sementara itu, aku masih punya pilihan.

Teman-temanku yang menikahi seorang yang saleh menemukan sukacita tak terduga dari kehidupan pasangannya yang mengasihi Tuhan dan gereja (Efesus 5:25-29), serta bertanggung jawab menjadi pemimpin spiritual dalam keluarga. Mereka juga punya pergumulan, tapi secara karakter mereka semakin bertumbuh. Tanpa mereka perlu berkata, aku bisa melihat sendiri alasan untukku tidak berpasrah diri asal saja menerima siapa pun untuk menjadi pasanganku.

Setelah beberapa minggu mengelola pikiranku, aku memberitahu laki-laki itu kalau aku tidak mampu membangun hubungan ini lebih lanjut dengannya.

Lajang untuk hari ini

Bertumbuh dalam kedewasaan rohani berarti keputusanku—bahkan tentang pernikahan—harus tidak berpusat pada diriku sendiri dan seharusnya lebih kepada apa yang dapat memuliakan Tuhan (1 Korintus 10:31).

Tetapi, menetapkan keputusan berdasarkan apakah keputusan ini mencerminkanku sebagai anak Tuhan terkadang terasa membebani. Di hari-hariku yang sunyi, memuliakan dan menaati Tuhan terasa seperti latihan untuk menekan egoku.

Di hari-hari yang terasa lebih baik, aku ingat janji ini: “Siapa yang menghormati Aku, akan Kuhormati” (1 Samuel 2:30). Janji ini mengingatkanku bahwa ketika Tuhan tidak ingin aku berpasangan dengan seseorang yang tidak mengasihi-Nya, itu tidak berarti Dia ingin aku hidup dalam penderitaan sebagai seorang yang melajang dan kesepian. Meskipun Tuhan tidak memenuhi kebutuhanku dengan cara yang aku inginkan, Dia akan membuatku bertumbuh.

Dalam masa-masa ini, aku melihat bagaimana Dia membawaku kepada relasi spiritual yang dalam, supaya aku bisa mengatasi kesepianku dan memberiku kesempatan untuk membangun kerajaan-Nya. Aku belajar percaya kebaikan-Nya—apa pun bentuknya—pasti akan memberiku kepuasan.

Sejujurnya aku masih belum berani jika Tuhan mengatakan kehendak-Nya bagiku adalah aku melajang seumur hidupku. Aku harus belajar percaya sepenuhnya pada-Nya. Pada tahap ini, akan lebih mudah bagiku untuk “melajang” pada hari ini, tanpa perlu terlalu mengkhawatirkan hari depan. Satu mazmur yang sering kuingat ketika aku menaikkan doa pagi, “Perdengarkanlah kasih setia-Mu kepadaku pada waktu pagi, sebab kepada-Mulah aku percaya! Beritahukanlah aku jalan yang harus kutempuh, sebab kepada-Mulah kuangkat jiwaku” (Mazmur 143:8).

Ini adalah tindakan imanku untuk hari-hari yang kujalani bahwa akan selalu tersedia anugerah yang cukup untuk hidup dan bertumbuh dalam masa-masa lajangku.

Baca Juga:

Cerpen: Ngobrol Dengan Tuhan Itu Asyik

Aku mendengar pintu depan terbuka.

“Lima…Empat…Tiga…Dua…Satu.”

“Dewi…Dewi…Kamu ada di mana?”

Cerpen: Kapan Nikah?

Oleh Meili Ainun, Jakarta

”Coba pegang kepalaku! Panas, kan? Lis, bayangin! Aku harus menghadiri 6 pernikahan tahun ini. Bayangkan minimal 6 kali. Sepertinya semua orang menikah. Dari teman kantor, teman gereja, sampai mantan pacar, menikah! Belum lagi kalau ada saudara yang married. Aku bisa gila!”

Lilis memegang kepala Ririn. ”Ya, memang panas. Sepertinya kamu memang sudah gila.”

Sebuah bantal melayang. ”Aduh, Lis. Aku lagi serius, nih. Kamu malah bercanda.”

”Rin, aku juga serius. Kamu memang bisa gila kalau kamu stres seperti itu.”

”Lis, bagaimana tidak stres? Kamu dengar, kan? Tadi aku cerita sama kamu kalau dalam waktu 2 minggu ini saja, aku sudah terima 6 undangan pernikahan. Enam, Lis!”

”Iya. Lalu, kenapa? Aku tidak mengerti mengapa kamu menjadi stres. Harusnya kamu senang. Kamu diundang berarti kamu masih diingat. Masih dihargai.”

”Aku akan senang terima undangan mereka kalau aku sendiri sudah married. Tetapi aku kan masih single. Pacar saja aku belum punya!”

Lilis mengerutkan dahinya jika sedang berpikir. ”Aku benar-benar tidak mengerti apa hubungan semua ini dengan status kamu.”

Muka Ririn cemberut. ”Jelas saja ada hubungannya. Aku belum punya pacar. Aku belum menikah. Sampai di sini, jelas?”

Lilis mengangguk kepalanya berkali-kali. ”Jelas sekali, bu. Bagian itu semua orang sudah tahu.”

Ririn melempar bantal kembali. ”Karena aku belum menikah, maka di setiap undangan pernikahan nanti, aku akan ditanya kapan aku menikah. Tahun ini ada 6 pernikahan. Minimal 6 kali aku akan ditanya. Itu pun kalau yang tanya hanya 1 orang. Tetapi aku yakin pasti lebih dari 1 orang. Misalnya saja ada 5 orang, berarti aku akan ditanya 30 kali dalam tahun ini. Makanya aku stresssssssssss!”

”Ha…ha…ha….”

Ririn memalingkan wajahnya dengan kesal.

Lilis memeluk sahabatnya dengan erat. ”Aku minta maaf. Sekarang tenang dulu. Kita akan coba membicarakan masalah ini.”

Perlahan-lahan tangis Ririn mereda. ”Lis, kamu tidak tahu bagaimana rasanya. Sedih sekali. Semua orang memandang kamu dengan aneh. Seakan-akan kamu berasal dari planet lain. Kamu kelihatan berbeda. Dianggap tidak laku. Perawan tua.”

Ririn kembali menangis.

”Sst…sst… tenang, Rin. Siapa yang menganggap kamu seperti itu?”

”Mereka semua, Lis. Pandangan orang-orang. Belum lagi jika orang tua tanya. Kapan kamu nikah? Si A sudah, si B juga sudah. Bahkan si C sudah punya anak. Mana pacar kamu? Kenapa tidak dikenalkan?”

Lilis terdiam memikirkan apa yang harus dia katakan.

Ririn kembali bicara. ”Lis, aku udah kepala 3. Sudah tidak muda lagi. Tetapi aku bisa apa? Aku memang belum punya pacar.”

Lilis memegang bahu Ririn. ”Kamu stres karena membayangkan kamu akan ditanya oleh orang-orang mengenai kapan kamu akan menikah, benar?”

Ririn mengangguk.

”OK, kamu tidak bisa mengubah status kamu. Paling tidak untuk saat ini. Kamu memang belum punya pacar, jadi memang belum bisa menikah dalam waktu dekat ini. Kita tidak bisa melakukan apa-apa untuk mencegah orang-orang bertanya tentang statusmu. Yang bisa kamu ubah adalah respons kamu terhadap pertanyaan orang-orang itu.”

Lilis melanjutkan setelah diam sejenak.

”Kamu pasti pernah dengar, kan? Kadang hidup kita menjadi berantakan karena kita salah meresponnya. Jadi yang harus kamu ubah adalah pandangan kamu. Pikiran kamu. Kita tidak bisa menyuruh mereka berhenti bertanya. Itu hak mereka. Tetapi… kamu bisa mengubah cara berpikir kamu. Kalau mereka bertanya begitu, itu memang wajar. Anggap mereka perhatian sama kamu. Jadi, jangan marah. Jawab saja yang sebenarnya. Kamu bisa bilang kalau kamu memang belum punya pacar. Minta mereka carikan saja. He…he…he… Atau kamu memang lagi sibuk bekerja, belum terpikir ke sana.”

Ririn tersenyum kecil. Mulai ada kelegaan di hatinya.

”Jadi, Ririn manis. Jangan stress. Kamu tidak bisa lari dari semua ini. Hadapi dengan tenang. Berdoa. Kalau memang Tuhan ingin kamu menikah, Dia pasti memberikan. Kalau tidak, pastilah ada rencana lain buat kamu. Benar, tidak?”

Ririn mengangguk. Dia teringat ayat Alkitab yang dibacanya tadi pagi. Percayalah kepada TUHAN dengan segenap hatimu, dan janganlah bersandar kepada pengertianmu sendiri (Amsal 3:5).

“Lis, kamu benar. Aku akan semakin mempercayai Tuhan dalam menjalani hidupku. Aku percaya Tuhan akan menolongku. Karena Dia mengasihiku dan tahu apa yang paling baik bagi hidupku.”

Lilis tersenyum dan memeluk Ririn dengan hangat.

Baca Juga:

Bagaimana Merespons Teman yang Mengakui Dosanya pada Kita

Bagaimana respons pertama kita ketika kita mendengar orang tersebut jatuh ke dalam dosa? Apakah kita segera memandang rendah dia, lalu buru-buru mengabari teman yang lain untuk menceritakan masalahnya?

Kamu Single? Fokuskan Dirimu pada 3 Hal Ini!

Artikel asli dalam bahasa Inggris: 3 Things To Focus On When You’re Single

Apakah kamu lelah ditanya-tanya tentang status hubunganmu? Atau, apakah hubungan yang kamu pikir akan langgeng, nyatanya malah berakhir? Apakah kamu menghabiskan liburanmu melihat orang-orang menikah, sehingga kamu bertanya pada Tuhan, “Mengapa aku masih single?”

Mungkin kamu sudah berdoa cukup lama untuk kehadiran pasangan hidup, dan kamu pun merasa masa-masa single ini terasa berat dan menyakitkan. Mungkin juga kamu baru saja menjadi single, atau bahkan belum berkeinginan untuk berpacaran. Bagaimanapun keadaannya, inilah sejumlah hal yang sebaiknya kamu lakukan di masa single:

1. Fokuskan dirimu membangun relasi dengan Tuhan

Dari firman Tuhan, kita tahu bahwa hal terpenting yang bisa kita lakukan dengan waktu yang kita miliki adalah mengenal Tuhan lebih dalam lagi. Tuhan Yesus memberi perintah “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu dan dengan segenap kekuatanmu. Kasihilah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu, dan dengan segenap pikiranmu, dan dengan segenap kekuatanmu” (Markus 12:30).

Ketika kita masih single, jadwal kegiatan kita tentunya lebih fleksibel. Kesempatan ini dapat kita gunakan untuk fokus mengasihi Tuhan dengan cara-cara yang kreatif, yang mungkin tidak dapat kita lakukan dengan leluasa di fase kehidupan yang lain.

Tanyakan pada dirimu, apakah ada cara-cara unik yang dapat dilakukan untuk meluangkan waktu bersama Tuhan? Mungkin kamu bisa mengosongkan waktumu dari kesibukan minggu ini untuk mencari Tuhan di tempat yang tenang. Coba evaluasi kembali jadwalmu, lalu luangkan waktu di satu hari untuk menghabiskan waktu bersama Tuhan meskipun kamu harus menunda pekerjaanmu. Lebih menarik lagi, kamu bahkan bisa mengambil kelas Alkitab online yang disediakan banyak lembaga Kristen!

Lihat ke sekelilingmu dan cobalah melakukan hal yang tidak biasa untuk meluangkan waktu bersama Tuhan.

2. Fokuskan dirimu mengulurkan bantuan kepada orang lain

KIta semua adalah anggota dari keluarga Allah, baik orang Yahudi atau Yunani, hamba ataupun orang merdeka, laki-laki ataupun perempuan, bahkan kita bisa menambahkan single maupun berpacaran! (Galatia 3:28). Apapun status kita saat ini, Tuhan sudah memanggil kita ke dalam keluarga-Nya.

Kebanyakan kita tidak kesulitan untuk bersosialisasi dengan teman sebaya. Tetapi, anggota keluarga Allah juga meliputi para lansia, keluarga muda, orang tua yang baru saja berpisah dengan anak-anaknya yang merantau untuk berkuliah, dan lain sebagainya. Bagaimana jika kita turut meluangkan waktu kita untuk menjadi perpanjangan tangan Tuhan bagi mereka (Galatia 6:10)?

Dapatkah kita membantu pasangan muda untuk menjaga anak mereka selama beberapa jam untuk memberi mereka waktu beristirahat? Atau mungkin membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga seorang lansia sambil mendengarkan kesaksiannya tentang pekerjaan Tuhan yang luar biasa?

Tidak hanya itu, kita juga bisa mengajak sepasang suami istri yang merindukan anaknya untuk makan malam bersama, sambil berbincang tentang tantangan-tantangan yang tengah kita alami di dunia pekerjaan kita. Mungkin juga masa single ini menjadi periode waktu yang baik untuk belajar dari pasangan lain, bahkan mendorong mereka untuk bertumbuh dalam hubungan yang mengejar keserupaan dengan Kristus.

Memang, butuh sedikit keberanian untuk mendekatkan diri pada seseorang yang tidak begitu akrab dengan kita di gereja. Bisa jadi, kita baru mendapatkan respon yang kita harapkan setelah undangan kedua atau ketiga. Tetapi, Tuhan sudah memberkati kita dengan keluarga besar yang beragam untuk suatu tujuan! Yuk, mulai menjangkau mereka!

3. Fokuskan dirimu menikmati musim kehidupan ini

Menjadi single dapat terasa memberatkan jika kita amat mendambakan kehadiran pasangan, dan tentunya, pernikahan. Tetapi, daripada memfokuskan diri pada hal-hal yang belum kita peroleh, ada baiknya kita memusatkan perhatian kita pada hal-hal yang membawa kebahagiaan di musim kehidupan yang tengah kita hadapi.

Kita dapat mengejar karier yang kita sukai. Mungkin ada kesempatan-kesempatan berhaga yang bisa kita lakukan sebagai persembahan di gereja. Mungkin kita terberkati dengan kehadiran sahabat-sahabat yang menemani kita menjalani kehidupan. Kita juga bisa mencoba melakukan hobi-hobi baru.

Penulis kitab Pengkhotbah mengingatkan kita, “Aku tahu bahwa untuk mereka tak ada yang lebih baik dari pada bersuka-suka dan menikmati kesenangan dalam hidup mereka. Dan bahwa setiap orang dapat makan, minum dan menikmati kesenangan dalam segala jerih payahnya, itu juga adalah pemberian Allah” (Pengkhotbah 3:12-13).

Dapatkah kamu menemukan tiga hal yang kamu nikmati dari hidupmu saat ini? Bersyukurlah kepada Tuhan untuk berkat yang sudah disediakan-Nya bagi kita. Tuliskan, dan lihat kembali di minggu-minggu, bulan-bulan, dan tahun-tahun mendatang!

Kita tidak tahu berapa lama musim ini akan berlangsung dan apa yang menanti kita di masa depan. Namun, kita dapat mencari cara untuk menikmati musim ini. Rayakanlah kebaikan Tuhan yang sudah kita alami dari dahulu sampai sekarang!

Baca Juga:

Mati dan Bangkit Setiap Hari

Kita mungkin tidak asing dengan istilah KKR yang biasanya menjadi acara besar suatu gereja. Tetapi, pernahkah kita berpikir, bagaimana caranya agar kita mengalami kebangkitan rohani setiap hari?

Mengevaluasi Kembali Masa Single

Oleh Shintya Tanggara, Surabaya

Usiaku 22 tahun. Aku masih single dan aku belum pernah berpacaran.

Menjadi wanita single ketika kamu berumur 17 tahun itu mudah. Kamu punya banyak teman single sepertimu dan yang kamu pedulikan mungkin hanya jurusan kuliah mana yang mau kamu pilih. Di usia awal-awal 20 tahun pun masih cukup mudah, namun rasanya sedikit lebih tidak nyaman dibandingkan saat usiamu 17 tahun, apalagi jika kamu belum pernah berpacaran sebelumnya. Aku hanya bisa membayangkan seperti apa rasanya menjadi seorang wanita single di usia 30 tahunan!

Orang-orang jadi lebih sering bertanya tentang status hubunganmu dan selalu kepo mencari tahu alasan mengapa kamu masih single. Keluarga dan saudaramu mulai memberimu nasihat secara langsung dan tidak langsung tentang bagaimana kamu bisa lebih bergaul dengan orang lain, atau bahkan supaya kamu menurunkan sedikit berat badanmu. Teman-temanmu mengatakan kalau standarmu terlalu tinggi dan kamu sebaiknya mempertimbangkan berpacaran dengan seseorang—siapapun—hanya untuk mendapatkan pengalaman. Adikmu cemas kalau-kalau kamu tidak akan pernah menikah dan hidup sendiri di sebuah apartemen kecil bersama seekor kucing dan anjing shitzu, dan pada akhirnya pindah ke panti jompo saat usiamu 72 tahun.

Satu nasihat yang seringkali muncul di setiap perbincangan tentang masa single adalah kamu tidak akan bahagia jika kamu tidak menikah. Aku tidak yakin bagaimana orang-orang bisa mendapatkan kesimpulan ini. Mungkin dari drama Korea atau dongeng-dongeng di mana “bahagia selamanya” hanya dapat terjadi ketika dua orang menikah, atau mungkin juga itu berasal dari nasihat bijak yang diturunkan dari generasi ke generasi. Tidak dipungkiri bahwa kita menyamakan pernikahan sebagai suatu hal yang selalu membawa kebahagiaan, bahwa kebahagiaan ditentukan dari kehadiran manusia lain yang bangun di sampingmu setiap pagi. Tidakkah kamu merasa hal ini tidak adil? Bagaimana dengan mereka yang tidak bisa menikah? Apakah itu berarti mereka tidak akan pernah bisa bahagia?

Ravi Zacharias berkata momen di mana kamu merasa paling kesepian adalah ketika kamu baru saja mengalami suatu hal yang awalnya kamu pikir dapat memberikanmu yang terbaik, namun nyatanya itu malah mengecewakanmu.

Kurasa salah satu alasan mengapa pernikahan bisa menjadi dingin dan perceraian seolah-olah jadi jalan keluar adalah karena kita mengharapkan sesuatu dari pernikahan yang bahkan tidak pernah ditawarkan oleh pernikahan itu sendiri. Kita membuat ekspektasi yang ilahi pada manusia biasa dan mengingkari perjanjian yang kita buat di depan altar sebagai respons atas kekecewaaan. Kurasa kita harusnya hanya mengharap sesuatu yang ilahi dari yang ilahi, dan mengharapkan hal-hal biasa dari manusia biasa.

Seseorang pernah memberitahuku bahwa semakin banyak kamu mencari uang, uang itu akan semakin menjauh darimu. Namun, jika kamu menekuni apa yang jadi kegemaranmu, uanglah yang akan mengikutimu. Kupikir hal ini mirip dengan kebahagiaan. Semakin kamu berusaha mencari kebahagiaan atau kesenangan, hal-hal itu akan menjauh darimu. Tapi, ketika kamu memfokuskan dirimu pada hal yang benar, kebahagiaan itu akan datang padamu. Kebahagiaanmu tidak boleh menjadi fokus hidupmu. Kebahagiaan seharusnya menjadi sesuatu yang mengikutimu ketika kamu memfokuskan diri pada hal yang benar. Itu sebabnya hidup yang paling menginspirasi adalah hidup yang didorong oleh tujuan, bukan kesenangan.
Satu hal yang telah kusadari—dan yang awalnya kusangkal—adalah pemikiran bahwa untuk mencapai tujuan itu kamu harus menyadari satu hal yang kini seringkali terabaikan dalam kehidupan bergereja: hidupmu bukanlah tentangmu. Ketika kita berdoa pada Tuhan untuk memberkati pekerjaan dan pernikahan kita, atau untuk menyembuhkan penyakit kita, atau ketika kita memberi persembahan dengan harapan mendapatkan berkat++ sebagai imbalan, kita sedang bekerja dengan pola pikir “Tuhan ada di hidupku untuk membuat hidupku lebih baik bagi diriku sendiri.”

Seringkali kita memperlakukan Tuhan sebagai pemain dalam tim kita untuk membantu kita memenangkan pertandingan kehidupan dibandingkan kita yang memposisikan diri sebagai pelayan-Nya. Hidupku seharusnya bukan tentang diriku atau kebahagiaanku. Injil bukanlah tentangku. Isi Injil adalah tentang Tuhan.

Pendetaku pernah mengatakan ini pada kebaktian Minggu kami, “Yesus tidak datang untuk membuat hidupmu lebih baik. Yesus datang untuk menunjukkan padamu bahwa Ia lebih baik dari hidup itu sendiri.”

Bagaimana aku bisa menggunakan hidup yang telah ditebus-Nya ini agar menjadi hidup yang tidak lagi berfokus tentangku? Bagaimana caranya aku bisa menggunakan hidupku untuk mengarahkan orang-orang lain pada-Nya? Tindakan apa yang akan paling memuliakan-Nya?

Tentang masa single-ku, jujur aku pernah tergoda pada tawaran untuk “mencoba berpacaran dengan seseorang hanya untuk setidaknya mendapatkan pengalaman”. Hal apa yang bisa merugikanku jika aku mencobanya? Jika aku membuat komitmen murahan yang aku tahu akan kuingkari hanya demi mendapatkan pengalaman tanpa mempertimbangkan perasaan dan komitmen pihak lainnya, hanya supaya aku tidak merasa tertinggal, supaya orang-orang tidak meremehkanku atau berpikir aku terlalu arogan untuk berpacaran, jika aku mengejar hubungan yang didasari oleh keuntunganku dibandingkan dengan memiliki hubungan Alkitabiah yang didasari oleh tujuan yang jelas. Jika aku melakukan semua ini, maka semuanya hanya akan menjadi usaha berpura-pura yang gagal. Berpura-pura merasa hidupku adalah tentang memuliakan Tuhan ketika pada kenyataannya aku sedang menggunakan Tuhan untuk menyenangkan diriku. Lalu kehidupanku hanya akan menjadi tentang diriku sendiri. Injil hanya akan menjadi tentang diriku.

Aku tidak ditebus supaya aku bisa berpacaran tanpa tujuan. Aku tidak ditebus supaya aku mendapatkan sekadar penerimaan dari orang-orang di sekitarku. Kristus mati untukku supaya di dalamku Ia bisa dimuliakan. Kristus mati untukku supaya aku bisa melihat bahwa Ia lebih baik daripada hidup itu sendiri. Itu adalah satu-satunya cara yang ingin kugunakan dalam kehidupanku, meskipun aku memiliki keterbatasan dan kekurangan.

Itulah alasan mengapa orang-orang yang tidak menikah pun bisa bahagia. Mereka bisa hidup sendiri di sebuah apartemen dengan seekor kucing dan anjing shitzmu dan merasa bahagia. Mereka bisa ke panti jompo pada usia 72 tahun dan merasa bahagia. Karena kebahagiaan tidak bergantung pada diri kita sendiri maupun orang lain. Kebahagiaan datang melalui pengetahuan bahwa kita telah menggunakan seluruh kehidupan kita, dengan segala keterbatasannya, untuk menunjukkan orang-orang pada kemuliaan Allah yang menyelamatkan kita.

Dan kita mengetahui bahwa suatu hari kita akan menerima penerimaan terbesar yang tidak dapat kita temukan di dunia. Kita akan menerimanya ketika waktu kita telah habis, dan kita kembali bertemu Pencipta kita muka dengan muka. Tuhan akan melihat kita dengan senyuman dan berkata, “Baik sekali perbuatanmu itu, hai hambaku yang baik dan setia; engkau telah setia dalam perkara kecil, aku akan memberikan kepadamu tanggung jawab dalam perkara yang besar. Masuklah dan turutlah dalam kebahagiaan tuanmu” (Matius 25:21).

On Christ the solid rock I stand,
All other ground is sinking sand.

Baca Juga:

5 Tips Menghadapi Komentar “Masih Single Aja Nih?”

“Kapan punya pacar? Masih jomblo aja nih?” Pertanyaan itu mungkin terdengar biasa, tapi bisa membuat kita risih jika terus menerus ditanyakan. Inilah 5 tips yang bisa kamu lakukan saat kamu mendapatkan pertanyaan seperti itu.

5 Tips Menghadapi Komentar “Masih Single Aja Nih?”

Oleh Noni Elina Kristiani, Banyuwangi

“Sudah tahun baru 2019 tapi masih jomblo aja nih?”

“Kapan punya pacar?”

“Eh, teman SMP kamu anaknya sudah dua loh. Kamu kapan nyusul?”

Demikian pertanyaan-pertanyaan yang sering aku terima ketika liburan panjang beberapa minggu lalu. Tahun yang baru masih dengan status yang sama, single. Bagi seorang wanita yang sudah lama hidup single, aku bisa ikut tertawa ketika teman-temanku bercanda tentang masa single-ku. Namun, tetap saja, terkadang aku merasa risih mendengarnya.

Beberapa waktu lalu, ada pesan masuk di akun Instagramku. Seorang gadis yang duduk di semester akhir di suatu universitas bercerita bahwa dia selalu sedih ketika orang-orang yang dia anggap sahabat menyindir kondisinya yang masih belum memiliki pacar. Katanya, ada rasa tidak nyaman ketika sahabat-sahabatnya mulai membicarakan tentang pacaran mereka. Ditambah dengan sindiran-sindiran, si gadis ini pun merasa bahwa mereka telah menyakiti hatinya.

Aku sepenuhnya setuju bahwa sukacita yang sejati tidak datang dari memiliki pasangan hidup, tetapi dari hubungan yang intim dengan Tuhan. Bahwa satu-satunya pribadi yang bisa membuat kita utuh adalah Tuhan saja. Tidak masalah bagiku menunggu waktunya Tuhan untuk mempertemukanku dengan seseorang yang akan menjadi pasangan hidupku kelak. Aku percaya Tuhan akan memenuhi segala kebutuhanku. Namun, pada kenyataannya, masa single tidak selalu mudah, bukan? Seperti kisah seorang gadis yang mengirimiku pesan di Instagram tadi, komentar dan pertanyaan orang-orang di sekitar dapat membuat kita yang masih single merasa tersisihkan.

Melalui pengalamanku, aku tergerak untuk membagikan tips bagaimana aku bisa menghadapi setiap komentar dan pertanyaan yang seringkali menyindir status hubunganku.

1. Jujurlah kepada Tuhan tentang apa yang kamu rasakan

Apa yang kita rasakan ketika ditanya: kenapa masih single? Mungkin ada beberapa dari kita yang tidak mengambil pusing pertanyaan tersebut dan dengan percaya diri menyampaikan kepada mereka alasannya. Tapi, mungkin ada pula sebagian dari kita yang merasa sedih, tertekan, atau bahkan marah. Namun, tidak masalah jika kita merasakan itu semua.

Aku ingat kisah tentang seorang yang sakit di dekat kolam Betesda (Yohanes 5:1-8). Ada seorang yang sakit selama 38 tahun dan mengharapkan kesembuhan. Namun, penyakitnya tak kunjung sembuh hingga suatu ketika ia dijumpai oleh Yesus. “Maukah engkau sembuh?” (ayat 6) tanya Yesus kepadanya. Orang sakit itu merespons dengan bercerita segala usahanya yang gagal untuk masuk ke dalam kolam itu. Alkitab mencatat akhir dari kisah ini adalah orang itu mengangkat tilamnya dan sembuh.

Sometimes it’s okay not to be okay. Ketika kita terluka karena perkataan atau sikap orang lain, aku percaya bahwa Tuhan pun bertanya pertanyaan yang sama kepada kita, “Maukah engkau sembuh?” Namun, menjadi persoalan di sini adalah apakah kita bersedia jujur pada Tuhan atau tidak? Seperti orang sakit di tepi kolam Betesda tadi yang berkata jujur hingga ia pun disembuhkan, kita pun dapat mengakui dengan jujur isi hati kita kepada Tuhan. Jujur terhadap apa yang kita rasakan menolong kita untuk menghadapi kesedihan.

Mengakui perasaanku kepada diriku sendiri dan Tuhan dalam doa menolongku untuk pulih dari rasa sedih dan kecewa ketika aku disakiti oleh perkataan orang lain.

2. Berkatilah mereka yang menyinggung perasaanmu

“Berkatilah siapa yang menganiaya kamu, berkatilah dan jangan mengutuk!” (Roma 12:14).

Bukannya sedang melebih-lebihkan, meskipun sindiran atau pertanyaan tentang masa single tidak melukai kita secara fisik, tetapi itu bisa membuat kita merasa tertekan dan melukai hati. Ketika hal ini terjadi, kita perlu mengingat teladan yang telah Yesus lakukan saat Ia dianiaya. “Ampunilah mereka, sebab mereka tidak tahu apa yang mereka perbuat” (Lukas 23:34).

Melepaskan pengampunan dan memberkati mereka yang menyakiti kita adalah cara yang baik untuk pulih dari rasa sakit hati. Kita pun dapat mendoakan apa yang menjadi pergumulan mereka. Ini memang tidak mudah, tetapi inilah teladan Yesus.

3. Bangunlah hubungan yang intim dengan Tuhan melalui firman-Nya

Kita bukanlah apa yang orang katakan tentang kita. Jika orang-orang menilai kita berdasarkan status hubungan kita, tidak demikian dengan Tuhan. Tuhan memandang kita berharga sebagaimana adanya kita. Allah mengasihi kita sebagai seorang pribadi.

“Oleh karena engkau berharga di mata-Ku dan mulia, dan Aku ini mengasihi engkau”

Itulah yang firman Tuhan katakan dalam Yesaya 43:4. Dari pembacaan firman Tuhan, kita mengetahui betapa besar kasih Allah bagi kita. Melalui pembacaan firman Tuhan jugalah kita diteguhkan oleh janji-Nya. Bahwa untuk segala sesuatu ada waktunya.

“Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir” (Pengkhotbah 3:11).

Ketika aku memiliki hubungan yang intim dengan Tuhan, aku dapat menghadapi segala tantangan hidup dengan bersukacita, karena aku tahu bahwa Tuhan beserta. Cinta Tuhan melalui firman-Nya membuatku mengerti bagaimana cinta sejati sebenarnya. Kita perlu mengubah standar cinta yang disuguhkan dunia menjadi standar yang Tuhan berikan melalui persekutuan dengan-Nya.

4. Isilah waktumu untuk mengembangkan diri

Daripada terlalu sibuk memikirkan komentar orang lain yang tak kunjung selesai tentang status hubungan kita, lebih baik kita mengisi waktu untuk mengembangkan diri. Bukan mengembangkan bada ke kanan dan ke kiri alias menggendut ya! Hehehe. Tapi kita mau mengembangkan apa yang menjadi bakat atau talenta kita. Meraih mimpi yang kita cita-citakan, kita bisa mulai menyusun rencana dan melakukannya setahap demi setahap. Dan, terlibat di dalam komunitas yang membangun juga menolong kita mengarahkan hidup ke arah yang lebih baik.

Aku menikmati masa single-ku dengan berfokus kepada impianku untuk melayani anak-anak muda dan melakukan multiplikasi di dalam pelayanan pemuridan. Aku juga bergabung di dalam komunitas menulis yang mengajarkanku banyak hal. Ketika kita memanfaatkan waktu yang ada dengan maksimal, masa single dapat kita lalui dengan menyenangkan.

5. Bersyukurlah!

Bersyukur ketika segala sesuatunya baik-baik saja itu perkara yang mudah. Tapi bagaimana jika beryukur ketika segala sesuatu berjalan tidak seperti yang kita harapkan? Sangat tidak mudah. Namun, Allah mengajarkan kita untuk selalu bersyukur dalam segala hal.

“Mengucap syukurlah dalam segala hal, sebab itulah yang dikehendaki Allah di dalam Kristus Yesus bagi kamu” (1 Tesalonika 5:18).

Aku bersyukur atas masa lajang yang Tuhan izinkan untuk kujalani selama delapan tahun terakhir. AKu bersyukur ketika teman-temanku mulai menemukan pasangan hidup mereka dan akhirnya menikah. Aku bersyukur untuk setiap pertanyaan dan komentar yang orang lain ajukan kepadaku terkait status hubunganku. Aku bersyukur karena aku yakin bahwa Tuhan tahu benar apa yang sedang Dia lakukan untukku.

Maka, alih-alih bertanya tentang siapa yang kelak jadi pasangan hidupku, aku lebih memilih bertanya demikian pada-Nya: “Tuhan, apa yang Engkau inginkan untuk aku pelajari selama masa single ini, Tuhan? Apa yang Engkau ingin aku lakukan?”

Tuhan menjawab pertanyaan itu dengan membukakan ladang pelayanan untuk kulakukan. Dan, ketika aku fokus melayani-Nya, pertanyaan dan sikap orang lain tidak begitu penting lagi buatku. Yang terpenting adalah aku tidak pernah sendirian di setiap musim hidupku, ada Allah yang menyertaiku.

Baca Juga:

4 Cara untuk Pulih dari Patah Hati yang Menyakitkan

Mengambil kembali serpihan-serpihan hati yang telah hancur berkeping-keping bisa jadi sesuatu yang sangat sulit. Move-on rasanya seperti kemustahilan. Namun, itu bukanlah akhir dari segalanya.

Pergumulanku Menanti Dia yang Tepat dari Tuhan

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Natal tahun lalu, keluarga besarku berkumpul untuk merayakan Natal bersama. Aku tidak menyangka jika acara itu akan terasa seperti ruang persidangan di mana aku akan diinterogasi dengan pertanyaan “kapan menikah?” ketika aku bahkan belum pernah memiliki pacar. Usiaku saat ini memasuki 25 tahun, usia yang bagi beberapa orang dianggap sudah pantas untuk berkeluarga. Aku tidak marah atau kesal dengan hujaman pertanyaan itu, sebaliknya, aku justru benar-benar berpikir serius mengenai pertanyaan itu.

The idea of having boyfriend

Sesungguhnya, pertanyaan yang diajukan oleh saudara-saudaraku adalah pertanyaan yang juga sering aku ajukan kepada Tuhan. Dua puluh lima tahun menjomblo bukanlah waktu yang singkat. Mustahil jika tidak pernah ada masa di mana aku mulai merasa geram dan kesepian dengan kesendirianku. Ketika aku berumur 23 tahun, aku bahkan pernah berdoa sambil menangis ketika bertanya kepada Tuhan mengapa hingga saat itu Tuhan belum menunjukkan kepadaku pasangan hidupku. Waktu itu aku baru lulus kuliah dan masuk dunia kerja, dan aku mulai merasakan kesepian karena kehilangan sosok sahabat-sahabatku di masa kuliah yang sebelumnya sering melewatkan waktu bersamaku. Aku juga mulai iri melihat teman-temanku yang datang ke acara persekutuan bersama pacarnya atau menghabiskan waktu bersama. Rasa kesepian itu begitu menguasaiku hingga aku berpikir bahwa memiliki pasangan adalah jawaban yang tepat untuk mengatasinya.

Sebenarnya dari masa kuliah, aku sudah belajar mengenai “teori-teori dalam menantikan pasangan hidup” (yang banyak dipengaruhi oleh buku “Lady in Waiting” yang ditulis oleh Jackie Kendall dan Debby Jones). Aku tahu bahwa selama masa menanti si dia yang dari Tuhan, seharusnya aku berfokus kepada Dia, yang akan memberikanku si dia. Aku juga merasa sudah paham kalau aku harus merasa puas (content) dengan kehadiran Tuhan, dan merasa cukup dengan Allah. Aku juga sudah belajar kalau masa-masa sendiri atau single haruslah aku isi dengan menikmati relasiku dengan Tuhan sebaik-baiknya dan giat melayani Dia, karena dalam masa inilah aku memiliki banyak kesempatan untuk melakukannya.

Namun, ketika rasa kesepian melandaku dengan hebat, aku seperti amnesia dengan “teori-teori” yang kurasa aku sudah kuasai. Rasa kesepian membuatku menjadi egois dan berpikir bagaimana caranya untuk memuaskan keinginan pribadiku, dan hal itu sangat self-centered. Rasa kesepian membuatku terjerembab dalam lubang self-centered-ness ketika seharusnya aku menjalani masa penantian pasangan hidup secara God-centered. Ketika aku berdiam dan merenung, aku menemukan kelemahanku dalam pergumulan pasangan hidup. Selama ini, yang aku idamkan bukanlah pasangan hidup yang memiliki citra Kristus, melainkan the idea of having a boyfriend. Yang aku idam-idamkan adalah bayangan kalau aku akan memiliki pasangan yang akan menemaniku datang ke acara persekutuan atau menungguiku pulang rapat atau sekadar teman jalan-jalan. Aku gagal melihat kedalaman alasan Allah menciptakan laki-laki dan perempuan, karena aku terlalu sibuk mencari perhatian untuk diriku sendiri. Memang tidak salah memiliki pasangan untuk datang ke acara persekutuan bersama, tapi Tuhan tidak memberikan kita pasangan hidup hanya untuk datang ke acara persekutuan bersama, kan?

Teman (berbagi) hidup

Dalam perenungan itu pula aku teringat cerita tentang Molly Kecil di bab 11 buku “Sacred Search” karya Gary Thomas. Gary menceritakan suatu keluarga yang sedang menantikan kelahiran anak pertama mereka. Namun, ternyata terdapat kelainan dalam tubuh bayi kecil itu (yang mereka panggil sebagai Molly Kecil), yang membuat Molly Kecil tidak bisa bertahan hidup lebih lama. Tapi, sungguh bersyukur, Molly Kecil punya orang tua yang sangat mengasihi Tuhan. Lebih lagi, Molly Kecil punya kakek dan nenek yang juga sangat mengasihi Tuhan. Di waktu-waktu terakhir hidup Molly Kecil, mereka berkumpul, menyanyikan lagu pujian, berdoa, dan menyampaikan pesan terakhir bagi Molly Kecil. Keteguhan hati kakek, nenek, dan orang tua Molly Kecil dalam cerita itu membuatku terkagum. Sungguh cerita yang sangat kuat untuk menunjukkan betapa pentingnya memilih pasangan hidup yang tepat, karena pilihan itu akan berdampak langsung kepada anak-anak, cucu-cucu, dan generasi di bawah kita. Ketika ayahku meninggal, beliau tidak meninggalkan harta kekayaan yang berlimpah, tapi warisan iman dan kisah ketaatan yang sangat aku syukuri dan teladani. Pilihan yang salah akan mewariskan hal yang tidak baik, tetapi sebaliknya pilihan yang tepat akan mewariskan kekayaan iman yang luar biasa.

Mencari pasangan hidup bukan sekadar mencari orang yang akan hidup bersama kita, berbagi biaya kebutuhan hidup, atau bersih-bersih rumah bersama. Kita sedang mencari partner membangun Kerajaan Allah, teman menangis bersama melihat kondisi dunia yang sedang menuju kesudahannya, dan sahabat berdoa selamanya. Dan, mencari “teman hidup” ini tentu bukanlah proses asal-asalan. Pencarian yang bijaksana pasti akan menghasilkan temuan yang lebih berharga.

Bukan kutukan

Pelajaran berharga lainya yang aku peroleh dalam pergumulan itu adalah kesendirian, atau singleness bukanlah kutukan. Tidak salah jika kita ingin memiliki pasangan, tapi tidak seharusnya kita melihat pacaran atau pernikahan sebagai solusi akan rasa kesepian. Di luar sana, banyak orang yang memiliki pasangan tapi tetap merasa kesepian. Mengapa? Karena bukan pasangan yang akan membuat kita tidak merasa kesepian. Hanya satu Pribadi yang dapat mengisi rasa sepi dan kosong dalam hati setiap manusia: Yesus Kristus.

Bahkan, justru kesendirian atau singleness adalah pemberian (gift) dari Allah bagi kita yang saat ini masih sendiri.

If you are single today, the portion assigned to you for today is singleness. It is God’s gift. Singleness ought not to be viewed as a problem, nor marriage as a right. God in his wisdom and love grants either as a gift.

Terjemahan bebas: “Jika saat ini kamu masih sendiri, bagian yang Tuhan berikan kepadamu hari ini adalah kesendirian. Hal ini merupakan pemberian dari Allah. Kesendirian tidak seharusnya dilihat sebagai masalah, atau pernikahan sebagai hak. Allah dalam kebijaksanaan dan kasih-Nya memberikan kedua-duanya sebagai pemberian.”

(dalam buku berjudul “Quest for Love” oleh Elisabeth Elliot sebagaimana dikutip oleh Stacy Reaoch dalam artikel berjudul “Singleness Is Not a Problem to Be Solved”).

Kebanyakan dari kita tumbuh dengan keyakinan bahwa kita pasti akan menikah. Mungkin kita berpikir, “aku ingin memiliki pasangan, jadi Tuhan harus memberikannya kepadaku”. Kita menganggap bahwa memilki pasangan hidup adalah keharusan, dan menjadi kewajiban Tuhan untuk memberikannya kepada kita. Memang benar dalam Kejadian 2:18, Allah sendiri berfirman bahwa tidak baik bahwa manusia seorang diri saja. Namun hal ini tidak menjadi dasar bahwa memiliki pasangan adalah sebuah keharusan dan Tuhan berkewajiban memberikan pasangan kepada kita semua. Bahkan dalam Matius 19:12, Tuhan Yesus sendiri berkata: “Ada orang yang tidak dapat kawin karena ia memang lahir demikian dari rahim ibunya, dan ada orang yang dijadikan demikian oleh orang lain, dan ada orang yang membuat dirinya demikian karena kemauannya sendiri oleh karena Kerajaan Sorga.” Selain itu, Rasul Paulus sendiri tidak menikah (1 Korintus 7:8). Jadi jelas bahwa kesendirian/singleness (baik karena belum menikah maupun karena tidak menikah) bukanlah kutukan. Sebaliknya, kesendirian/singleness adalah pemberian yang baik dari Allah karena: “TUHAN Allah adalah matahari dan perisai; kasih dan kemuliaan Ia berikan; Ia tidak menahan kebaikan dari orang yang hidup tidak bercela” (Mazmur 84:12).

Mungkin hal ini sulit untuk diterima dalam kebudayaan masyarakat Indonesia yang menjadikan pernikahan dan keluarga sebagai bukti “keberhasilan”. Namun aku, dan kita semua, juga harus belajar menerima bahwa kondisi apapun yang Allah berikan bagi kita adalah pemberian yang baik (Yakobus 1:17). Grace Rankin dalam artikel yang ditulisnya berjudul “Valentine’s Day for Single Christians”, menulis:

Think of this: even if we remain single for the rest of our lives here on earth, it is only a fraction of time compared to the eternity we will spend rejoicing in the presence of Christ, who we will know more fully through our pain and loneliness than we ever would have otherwise.

Terjemahan bebas: Coba bayangkan: bahkan jika kita tetap sendiri hingga akhir hidup kita di bumi, hal ini hanyalah bagian kecil dibandingkan dengan kekekalan yang akan kita lalui dengan bersukacita dalam hadirat Kristus, yang kita kenal lebih dalam melalui rasa sakit dan kesepian kita daripada yang pernah kita miliki sebelumnya.

Pada akhirnya, waktu kesendirian/singleness ini menjadi terasa terlalu kecil untuk kita permasalahkan dibandingkan dengan Cerita Besar Allah (God’s Great Story) yang sudah Dia persiapkan bagi setiap kita dengan begitu indahnya. Daripada kita menghabiskan masa kesendirian ini untuk meratapi kesepian, kita bisa menggunakannya untuk mengejar hadirat Sang Pencipta, menjalani hubungan pribadi dengan Tuhan yang lebih dalam, lebih memuaskan, dan lebih memuliakan Dia hari demi hari.

Kebahagiaan bukan diperoleh dengan menemukan pasangan hidup, melainkan menemukan kepuasan di dalam Juruselamat yang memanggil kita sebagai milik kepunyaan-Nya dan menjadikan kita anak Raja yang dikasihi.

“Ten thousand years from now, your marriage may be just a sweet, but short sticky notes in the massive filing cabinet of our happy marriage with Jesus. After centuries without any confusion or fear or sadness, how will you reflect on your days of heartache and loneliness here? The painful desires and waiting will still have been very real, but now small and insignificant compared with the perfect, seamless love and happiness we will enjoy forever.”

Terjemahan bebas: “Sepuluh ribu tahun dari sekarang, pernikahanmu mungkin terasa manis, namun hanyalah memo kecil dalam lemari arsip besar dari pernikahan bahagia kita dengan Yesus. Setelah berabad-abad tanpa kebingungan atau kekhawatiran atau kesedihan, bagaimana kita akan berkaca kembali pada masa-masa sakit hati dan kesepian kita saat ini? Rasa mengingini dan penantian yang menyakitkan akan tetap terasa begitu nyata, namun sekarang terasa begitu kecil dan tidak berarti dibandingkan dengan dengan cinta dan kebahagiaan yang sempurna dan tanpa batas yang akan kita nikmati selamanya.”

(Dalam Artikel “You Don’t Have to Get Married to Be Happy” oleh Marshall Segal)

Soli Deo Gloria.

Baca Juga:

Ketika Aku Bertobat dari Membicarakan Orang Lain di Belakangnya

Aku pernah tidak suka dengan rekan sepersekutuanku. Aku lalu membicarakannya ke temanku yang lain, hingga akhirnya aku sadar bahwa tindakan itu tidaklah sejalan dengan imanku.

3 Hal yang Kupelajari dari Masa Single yang Panjang

Oleh Sukma Sari, Jakarta

Udah punya pacar belum?” adalah pertanyaan umum yang sering kudengar saat pulang ke kampung halaman atau bertemu dengan saudara. Pertanyaan itu diajukan kepadaku sejak tahun 2007. Padahal, saat itu aku baru menginjak kelas 2 SMA dan usiaku pun belum 17 tahun. Artinya, sampai saat ini, pertanyaan itu sudah diajukan kepadaku selama lebih dari 10 tahun. Dan, pastinya aku akan terus mendengar pertanyaan itu kalau aku belum menemukan pasangan hidupku.

Pertanyaan seperti itu sepertinya bukanlah pertanyaan yang ada akhirnya. Jika seandainya aku sudah memiliki pacar pun, tentu akan ada pertanyaan lainnya yang akan diajukan. “Kapan nikah?” dan setelah menikah berganti lagi jadi “kapan punya anak?” kemudian “kapan nambah momongan?” dan berbagai pertanyaan lainnya yang akan datang. Kembali lagi ke pertanyaan sudah punya pacar atau belum, biasanya aku akan menjawab “belum”, sambil tersenyum lebar seakan tanpa beban. Tapi, apakah benar tanpa beban?

Seiring berjalannya waktu, tak bisa kupungkiri ada perasaan khawatir dan takut di dalam diriku. Aku takut kalau-kalau aku mendapat pasangan hidupku di usia yang tak lagi muda. Atau, takut apabila mamaku tidak bisa menyaksikanku berjalan menuju altar karena usianya yang semakin menua. Aku sudah tidak tahu berapa banyak pesta pernikahan yang aku hadiri selagi aku berstatus single dan sudah berapa banyak konsep yang kubuat untuk hari bahagiaku nanti. Harus kuakui, orang-orang yang sedang bergumul dengan pasangan hidup dan menghadapi pertanyaan-pertanyaan seperti di awal tulisan ini mungkin sudah hafal sekali dengan penggalan ayat pembuka dari Pengkhotbah 3.

“Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apa pun di bawah langit ada waktunya” (Pengkhotbah 3:1).

Ya, untuk segala sesuatu ada waktunya. Aku adalah salah satu dari sekian banyak orang yang juga mengimani ayat itu. Dalam perenunganku di masa single ini, aku belajar bahwa sesungguhnya ada banyak hal yang bisa dipelajari dalam hidup, temasuk dari masa single yang tengah kujalani. Tiga hal yang kupelajari inilah yang menolongku untuk tetap menikmati proses dan memperlengkapiku untuk kelak menjadi seorang penolong yang sepadan bagi pasanganku.

1. Masa single adalah masa untuk melayani Tuhan

Berbicara tentang melayani Tuhan itu bukan berarti mereka yang sudah berpacaran atau menikah tidak bisa melayani Tuhan lagi. Hanya saja, menurutku mereka yang telah berkeluarga memiliki fokus tambahan untuk mengurusi keluarganya. Seperti yang dimaksudkan Paulus dalam suratnya kepada jemaat di Korintus:

“…Dan anak-anak gadis memusatkan perhatian mereka pada perkara Tuhan, supaya tubuh dan jiwa mereka kudus. Tetapi perempuan yang bersuami memusatkan perhatiannya pada perkara duniawi, bagaimana ia dapat menyenangkan suaminya” (1 Korintus 7:34).

Ada beberapa orang yang kutemui, yang semasa single-nya aktif melayani, tapi ketika berkeluarga malah mandek melayani. Waktu mahasiswa rutin datang persekutuan, tapi setelah menikah ingat ada persekutuan untuk alumni saja sudah syukur. Alasannya karena sudah ada keluarga yang harus dilayani. Memang keluarga adalah prioritas, tetapi kupikir tentunya akan lebih baik lagi jika sekeluarga aktif melayani bersama-sama.

Kembali ke masa single, menurutku masa ini adalah masa yang tepat untuk melayani. Selain tidak terbagi fokus, tentunya masa-masa single memberi kita kesempatan untuk memiliki lebih banyak waktu melayani. Tapi, hal ini bukan berarti lantas kita yang single tidak berusaha mencari pasangan hidup. Kata orang, jodoh memang di tangan Tuhan, tapi kita juga harus mencarinya. Jika Tuhan berkenan, mungkin saja dia yang kamu cari selama ini adalah partner pelayananmu

Saat ini aku melayani sebagai pemimpin Kelompok Tumbuh Bersama (KTB) di kampus. Selain itu aku melayani di gereja sebagai lektor dalam ibadah Minggu. Jika di saat weekend aku tidak memiliki agenda, maka aku akan menyempatkan diri untuk mengikuti ibadah persekutuan alumni atau menghadiri kegiatan kaum muda di gereja. Tentunya tujuan utama aku datang ke acara ini adalah untuk mendengarkan firman Tuhan dan juga menikmati fellowship dengan orang-orang percaya lainnya. Bagiku, jika aku menemukan pasangan hidupku di sini, maka hal ini kuanggap sebagai bonus.

2. Masa single adalah masa untuk memperlengkapi diri

Apa yang menjadi kriteria pasangan hidupmu? Selain lawan jenis dan seiman tentunya, adakah kriteria lain seperti pandai bermain musik, takut akan Tuhan, dan seorang pemimpin rohani masuk ke dalam kriteria-kriteriamu? Adakah kriteria-kriteria lainnya?

Seorang pria yang seiman, takut akan Tuhan dan seorang yang mengenal pelayanan gereja adalah kriteriaku yang selalu kusebut dalam setiap doaku. Tapi, tanpa kusadari, di titik inilah aku jatuh. Aku lupa bahwa ketika Tuhan menciptakan Hawa bagi Adam, Tuhan tidak berkata:

“baiklah aku menciptakan seorang pendamping yang akan terus mengaguminya seumur hidupnya.”

Akan tetapi Tuhan berkata: “Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia” (Kejadian 2:18).

Lantas, aku berkaca pada diriku sendiri: sudahkah aku menjadi penolong yang baik, yang sepadan bagi pasanganku kelak? Banyak hal yang bisa dilakukan untuk memperlengkapi diri sendiri selagi menantikan pasangan hidup. Selain aktif melayani dan mengikuti pertemuan-pertemuan ibadah, ada banyak buku bacaan rohani yang baik dan berkualitas yang aku baca. Bagaimana Oswald Chambers mengajak kita merasakan perjalanannya selama setahun penuh bersama Tuhan dalam bukunya berjudul My Utmost For His Highest atau bagaimana Rick Warren dalam bukunya Purpose Driven Life menolong kita menemukan jawaban tentang siapa kita sesungguhnya.

Namun bagiku, tidak ada yang lebih dahsyat dan hebat membukakan arti hidup yang sesungguhnya selain daripada Alkitab yang kumiliki saat ini. Buku-buku yang kubaca mungkin amat berguna untuk menambah wawasanku. Akan tetapi, hanya firman Tuhan saja yang berkuasa untuk mengubahkan hidupku.

“Segala tulisan yang diilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk meperbaiki kelakukan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran” (2 Timotius 3:16).

3. Masa single adalah kesempatan untuk menikmati setiap hal-hal kecil

Sekali lagi, bukan berarti ketika sudah berpacaran atau menikah kita tidak bisa mensyukuri hal-hal kecil di dalam hidup. Salah satu hal kecil yang bisa kunikmati saat ini adalah kesempatan untuk melakukan hobi traveling-ku.

Meski aku takut ketinggian, aku lebih suka pergi ke pegunungan daripada ke daerah pantai. Mungkin karena cuaca di pegunungan lebih dingin daripada di pantai. Merasakan sensasi perjalanan menggunakan motor trail untuk menuju puncak dengan kemiringan 10-40 derajat, beberapa belokan tajam hingga tiba di ketinggian 2900 meter di atas permukaan laut untuk menikmati matahari pagi di negeri di atas awan. Selain menikmati keindahan alam, traveling juga memberiku kesempatan untuk berjumpa dengan penduduk lokal, belajar tentang budaya dan kebiasaannya, dan kupikir ini jugalah salah satu cara untuk mengenal keramahan Indonesia.

Kelak, kalau sudah menikah, tentunya kesukaanku traveling harus dipikirkan ulang. Mengingat ada kebutuhan-kebutuhan lainnya yang harus dipenuhi. Tapi, jikalaupun nanti aku tetap bisa melakukan traveling, yang paling membedakan adalah tentu aku tidak lagi pergi traveling sendirian.

Pada akhirnya, menjadi single bukanlah sebuah bencana seperti yang dikatakan oleh banyak orang. Aku memang single, tetapi aku bukanlah orang yang kesepian karena melalui relasi yang intim dengan Tuhan, aku mendapati kebenaran bahwa dengan ataupun tanpa pasangan, anugerah Allah selalu cukup buatku.

Aku percaya, bahwa relasiku yang intim dengan Allah itu dapat menolongku untuk berhikmat dalam mencari pasangan hidup yang sepadan buatku.

Baca Juga:

Menikah Bukanlah Satu-satunya Tujuan Hidup

Sementara aku turut berbahagia atas pasangan-pasangan muda yang akan segera menikah, aku mendapati bahwa saat ini pernikahan itu dipahami sebagai tujuan hidup yang ingin dicapai secepat mungkin oleh banyak orang.

Menikah Bukanlah Satu-satunya Tujuan Hidup



Oleh Michele Ong, New Zealand

Artikel asli dalam bahasa Inggris: Getting Married Need Not Be A #LifeGoal

Berbagai postingan tentang pernikahan dan pertunangan mendominasi timeline media sosialku, dan aku mulai merasa tertinggal dari teman-temanku.

Setiap postingan biasanya berisi penggalan kalimat yang kurang lebih berkata seperti ini: “Aku sangat bersyukur bisa menikah dengan sahabatku”, “Tak kusangka, dia berkata ya”. Lalu, kalimat-kalimat itu juga dilengkapi dengan foto-foto pasangan yang berbahagia di mana sang perempuan menunjukkan cincin lamarannya, juga dilengkapi hashtag #SoBlessed, #MarriedMyBestFriend, dan lain-lain.

Buletin gereja pun sama saja. Hampir setiap hari Minggu selalu ada saja pengumuman pernikahan dari anggota jemaat di gereja. Bila kulihat sepintas, foto-foto pasangan yang tercetak di buletin itu tampak penuh senyuman kebahagiaan, juga berlatar pemandangan yang begitu indah. Beberapa dari pasangan calon pengantin itu usianya masih sangat muda—mungkin berkisar baru setahun atau dua tahun setelah lulus SMA—dan, hal ini sempat membuatku berpikir: mengapa mereka lebih memilih untuk menikah daripada mengejar gelar dan pengalaman hidup di usia muda mereka.

Sementara aku turut berbahagia atas pasangan-pasangan muda yang akan segera menikah itu, aku mendapati bahwa saat ini pernikahan itu dipahami sebagai tujuan hidup yang ingin dicapai secepat mungkin oleh banyak orang.

Tapi jangan salah sangka dahulu: apabila diberikan pilihan, tentu aku pun ingin menikah, sama seperti orang-orang lainnya. Satu alasan sederhananya adalah karena aku takut mati dalam kesepian. Aku takut apabila nanti tidak ada orang lain yang mengetahui berita kematianku dan akhirnya jenazahku pun baru ditemukan dua tahun setelahnya (aku membaca cukup banyak berita tentang peristiwa semacam ini).

Namun demikian, sudah hampir satu dekade berlalu sejak terakhir kali aku memiliki relasi yang berjalan untuk kurun waktu yang cukup lama. Ketika mantan pacarku baru-baru ini menikah, aku belum juga menemukan seorang yang tepat untukku di mana pun di bumi ini.

Tidak kupungkiri, pencarianku akan seorang yang tepat itu cukup melelahkan dan rasanya seperti memeras otak. Tapi, satu hal yang pasti adalah, dia yang tepat untukku itu tidak akan kutemukan di dalam diskotik, juga aku belum menemukannya di situs kencan online. Selain itu, di tempat kerjaku juga tidak ada lagi pria single yang tersisa. Baru-baru ini, aku mendaftarkan diriku untuk bergabung sebagai penjaga pantai, dengan harapan aku akan berjumpa dengan seseorang yang tepat di sana (tapi, tentunya tujuan utamaku adalah untuk menjaga kesehatanku dan berkontribusi kepada komunitasku). Aku juga sudah bertanya kepada teman-temanku kalau saja mereka mengetahui atau punya kenalan beberapa pria yang masih single.

Katakanlah aku sudah mencoba berbagai macam cara dan belum juga membuahkan hasil. Jadi, aku pun berhenti untuk berusaha mencari.

Walaupun begitu, hidupku sebagai seorang perempuan single itu sama sekali tidak dapat dikatakan sebagai hidup yang menyedihkan ataupun tragis; justru kebalikannya. Dalam 10 tahun terakhir, aku menghabiskan waktu luangku untuk menjadi sukarelawan tim penerima tamu di gerejaku. Aku memenangkan beasiswa kesempatan magang di sebuah perusahaan media berbahasa Mandarin, China Daily yang berbasis di Beijing. Aku juga pindah dari Auckland, Selandia Baru untuk bekerja sebagai seorang reporter. Dan, saat ini aku juga menjadi seorang kontributor untuk menulis di YMI. Ketika nanti aku telah memenuhi syarat untuk diterima sebagai penjaga pantai, aku juga akan berpatroli di sekitar pantai selama akhir pekan di musim panas.

Masa single memberikanku kesempatan untuk berkontribusi bagi komunitasku melalui berbagai cara. Menurutku, hal-hal ini juga bisa jadi tujuan hidup yang sama baiknya dengan tujuan hidup yang lain.

Aku tidak merendahkan pernikahan, karena aku tahu itu merupakan suatu usaha dan kerja keras. Aku memuji mereka yang berkomitmen dalam pernikahan, tetapi aku pun percaya bahwa pernikahan bukanlah satu-satunya tujuan hidup yang Tuhan tetapkan bagi setiap manusia di dunia.

Sebagai contoh, cobalah lihat Rasul Paulus. Sebelum berbalik menjadi pengikut Kristus, Paulus dulunya adalah orang yang menganiaya orang-orang Kristen. Namun, pada akhirnya dia menjadi seorang yang sangat penting yang dipakai Tuhan untuk memberitakan pesan tentang Yesus ke berbagai daerah di Kerajaan Romawi. Paulus mengakui bahwa jika dia menikah, besar kemungkinan bahwa pernikahan itu akan menghambatnya dalam menjalankan tugasnya. Pada kenyataannya, Paulus juga mendukung keputusan untuk tetap single. Kata Paulus: seorang pria ataupun wanita yang menikah akan memerhatikan urusan dunia dan bagaimana mereka bisa menyenangkan pasangan mereka (1 Korintus 7:32-35). Tetapi, mereka yang hidup sebagai seorang yang single memusatkan pikiran pada perkara-perkara rohani, dengan tujuan untuk mempersembahkan diri kepada Allah “di dalam tubuh dan roh”.

Aku percaya, seandainya Paulus waktu itu menikah, mungkin dia takkan bisa bepergian dengan begitu bebasnya ke banyak daerah di Kerajaan Romawi untuk memberitakan Injil, mendirikan gereja-gereja, dan menyemangati orang Kristen mula-mula. Selain Paulus, Yohanes Pembaptis juga adalah seorang pria single (berdasarkan catatan sejarah yang ada), yang kehidupannya menjadi teladan. Yohanes Pembaptis tahu misi Tuhan bagi hidupnya adalah mempersiapkan orang-orang untuk menyambut kedatangan Mesias, dan selama hidupnya pun Yohanes Pembaptis memberitakan kabar tentang Yesus Kristus. Alkitab mengatakan bahwa dia memiliki kehidupan yang keras, dan fokus utamanya adalah mengerjakan pekerjaan Tuhan. Dari hidup Paulus dan Yohanes Pembaptis, kita dapat melihat dengan jelas suatu kebenaran: tidak perlu malu untuk menjadi seorang yang single.

Di tengah masyarakat yang menganggap hal-hal seperti pernikahan menjadi lebih penting, alangkah bahagianya apabila kita bisa menjalani hidup yang penuh arti, meskipun kita single.

Selanjutnya, aku percaya bahwa kita harus bertanya kepada Tuhan mengenai apakah yang menjadi tujuan-Nya bagi hidup kita. Aku pikir, tujuan hidup yang Tuhan inginkan atas kita itu tidaklah jauh dari mengasihi. Kita harus mengasihi satu sama salin (Yohanes 13:34), mengampuni sesama kita (Efesus 4:32), dan senantiasa mengucap syukur (1 Tesalonika 5:16-18).

Saat ini, aku belum sepenuhnya kehilangan harapan untuk menemukan seorang yang tepat buatku. Namun, aku belajar supaya pencarianku ini tidak menghentikanku untuk menikmati hidup.

Jika kamu berada dalam situasi di mana semua temanmu beranjak menikah dan pasangan hidup yang kamu cari semakin terasa seperti mitos yang jauh dari kenyataan, bolehkah aku mengajakmu untuk menikmati masa single-mu dan bertanya kepada Tuhan tentang talenta dan karunia apakah yang bisa kamu gunakan untuk pekerjaan-Nya?

Ada banyak hal lain yang berharga dalam hidup ini selain pernikahan.

Baca Juga:

4 Mitos Cinta yang Membuai

Tuhan menyediakan orang-orang yang berpotensi untuk menjadi pasangan yang tepat, dan kamu sendirilah yang bertanggung jawab untuk memilih atau menemukannya. Tapi, ada 4 hal yang seringkali disalahartikan ketika seseorang berusaha mendapatkan pasangan hidupnya.

Masa Single: Sebuah Garis yang (Sepertinya) Tidak Bisa Kulewati

Oleh Wu Yan Ping, Singapura
Artikel asli dalam bahasa Inggris: Singleness—The Line I Can’t Seem to Cross

Apa gunanya sebuah garis? Jawabannya adalah untuk memisahkan dua sisi. Dari sisi di mana aku berdiri, aku melihat orang-orang di sisi seberangku sudah memiliki pacar atau menikah. Dan, di sinilah aku, sedang berdiri menanti untuk menyeberangi garis ini.

Ya, aku masih single. Beberapa orang berkata kalau kamu telah mencapai usia tertentu, maka kamu akan sulit untuk mendapatkan pasangan. Sayangnya, aku telah melewati batasan usia itu. Kebanyakan lelaki yang seusia denganku sudah berpacaran ataupun menikah. Sepertinya tidak ada lagi yang masih single and available untukku.

Aku belum pernah berpacaran sebelumnya, dan setiap hari aku berdoa pada Tuhan supaya Dia membawaku ke sisi di seberangku, di mana aku bisa menjalin sebuah relasi yang kelak berlanjut ke pernikahan. Doaku hampir terjawab. Suatu ketika, para single di gerejaku yang seusia denganku mengikuti persekutuan gabungan dengan para single dari gereja lain. Acara ini diselenggarakan akhir tahun lalu dalam rangka meningkatkan ikatan kebersamaan antarjemaat gereja.

Di pertemuan itu aku bertemu dengan Xavier*, jemaat dari gereja yang berbeda denganku. Pertemuan kami berlangsung dengan hangat dan kami memiliki ketertarikan yang sama terhadap filsafat dan sejarah. Bersama-sama, kami juga mengikuti kelompok sel yang dikhususkan untuk kelompok usia dewasa muda. Di luar gereja, kami juga bertemu untuk pergi makan malam bersama-sama. Dia beberapa kali memberiku hadiah, padahal hari itu bukanlah momen yang istimewa. Dia juga sering berusaha untuk menolongku.

Selama lima bulan bersahabat baik, aku mulai mengembangkan perasaanku untuknya. Dia menjadi lebih dari sekadar teman buatku. Kupikir inilah saatnya untukku berpacaran dan menikah. Lagipula, Xavier bukanlah seorang lelaki yang buruk—dia seorang yang menggembirakan, dan selalu mengirimi aku pesan singkat untuk menghiburku. Dia juga seorang yang pintar, tapi juga punya selera humor. Aku merasa begitu nyaman bersamanya.

Sikapnya terhadapku seolah menunjukkan bahwa dia juga ingin menjalin hubungan yang lebih serius. Aku mau mengikuti kata hatiku dan memberitahu dia tentang perasaanku terhadapnya. Namun, aku mengurungkan niatku ketika Xavier mulai bercerita tentang mantan pacarnya yang memilih untuk menikahi lelaki lain. Aku teringat ekspresi sedihnya saat dia menunjukkanku foto mantan pacarnya sedang menunggangi gajah bersamanya. Kemudian, dia juga bercerita tentang temannya yang tega mengkhianatinya dengan merebut pacarnya.

Dari pembicaraan itu, aku dapat melihat dengan jelas bahwa Xavier belum mampu melupakan kenangannya dan masih menyimpan kepahitan akan mantan pacarnya. Dia kembali menuturkan kalau dia sedang tertarik dengan seorang perempuan lain dan dia mengakui sudah berkencan dengannya. Ketika dia bercerita tentang hal itu, aku berusaha sebaik mungkin untuk tetap tenang. Tapi sejujurnya, aku merasa patah hati.

Pada akhirnya, persekutuan gabungan yang digagas oleh gerejaku itu tidak berlanjut dan aku kembali ke gerejaku sendiri. Aku merasa bahwa peluangku kandas. Hanya aku sendiri yang masih single di usia 30-an dan kesempatan untuk bertemu dengan lelaki single lainnya pun kecil. Aku merasa kesepian dan tidak pasti akan masa depanku.

Aku merasa putus asa. Bahkan, aku berpikir untuk pindah ke gereja lain di mana aku bisa menemukan lebih banyak teman-teman yang seusia denganku. Aku juga mencoba aplikasi kencan online, tapi karena aku tidak bisa melihat orang-orang itu secara langsung, kupikir akan sulit memastikan bahwa orang-orang itu memang tulus ingin menjalin suatu hubungan. Aku malah sempat berpikir untuk mencoba mendekati Xavier lagi dan mengungkapkan perasaanku supaya aku bisa bersamanya. Tapi, aku menepis pikiran ini.

Dalam upayaku untuk melupakan Xavier, aku berseru berkali-kali pada Tuhan supaya Dia dapat menolongku untuk menghilangkan perasaan tertarikku pada Xavier. Aku ingin move on dan menemukan seorang lelaki yang lain.

Namun, Tuhan tidak mengabulkan dua permohonanku itu. Tuhan tidak memberiku seorang lelaki ataupun menghilangkan perasaanku pada Xavier. Tapi, Tuhan memberiku kesempatan untuk menemukan sesuatu di balik rasa sakit yang kualami. Aku mendapati bahwa aku memiliki talenta bermusik yang bagus sejak aku melayani sebagai pemain biola di gereja. Aku juga melayani sebagai operator multimedia. Selain itu, karena aku memiliki sedikit kemampuan berbahasa Indonesia, jadi aku juga belajar untuk menyanyikan lagu-lagu pujian dalam bahasa Indonesia untuk sebuah acara di mana aku tergabung sebagai relawan di sana.

Di tempat kerjaku, di mana aku bekerja sebagai perawat di Unit Kesehatan Siswa (UKS), aku merawat siswa-siswa yang terluka dan memberikan pertolongan pertama pada kecelakaan. Aku belajar untuk melakukan yang terbaik dalam pekerjaanku.

Tuhan menunjukkan kepadaku bahwa aku tetap bisa merasakan sukacita sekalipun aku tidak memiliki pasangan yang romantis. Contohnya, aku bisa bersukacita tatkala aku pergi bersama keluargaku dan merayakan hari kemerdekaan bersama-sama dengan mereka dan juga beberapa temanku.

Sampai di titik ini, aku masih belum tahu kebaikan apa yang akan dihasilkan dari situasi yang kualami. Namun, satu hal yang pasti yang aku ketahui adalah: Tuhan telah memberikanku sebuah kerinduan untuk menggunakan apa yang sudah Dia berikan kepadaku untuk memajukan kerajaan-Nya.

Tentunya mudah buatku apabila aku memilih untuk memelihara kepahitan dan mengasihani diri sendiri. Ketika aku berada dalam situasi seperti ini, secara manusiawi rasanya aku ingin melupakan Tuhan, aku ingin menyalahkan-Nya atas rasa sakit hati yang kualami, dan aku mau menjauh dari gereja.

Namun, dengan penuh kesadaran aku memilih untuk memuji Tuhan. Sekalipun aku masih merindukan sebuah hubungan yang bisa mengantarkanku kepada pernikahan, Tuhan telah memberikan nyanyian-nyanyian sukacita dalam hatiku, dan mengingatkanku untuk selalu memuji Dia. Setiap pagi aku bangun jam setengah enam pagi untuk menyanyikan lagu-lagu pujian yang menguatkanku. Lagu -lagu itu juga membangkitkan semangatku dan menolongku untuk menyembah Tuhan.

*Bukan nama sebenarnya.

Baca Juga:

Ketika Aku Menyadari Ada Motivasi Terselubung di Balik Pelayananku di Gereja

Aku bersyukur dipercaya oleh Tuhan untuk melayani-Nya sebagai pemain keyboard bersama dengan 3 orang pemusik lainnya. Mulanya kehidupan pelayananku berjalan seperti biasa hingga terjadi sebuah peristiwa di mana Tuhan menegurku bahwa ada sesuatu yang salah dari pelayanan yang kulakukan.