Benarkah Pernikahan adalah Perwujudan Kasih yang Paling Ideal?

Oleh: Christopher Yuan dan Rosaria Butterfield
Tanggapan terhadap Keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat tentang pernikahan sesama jenis. Artikel asli dalam Bahasa Inggris: Is Marriage The Pinnacle of Love?

Is-Marriage-the-Pinnacle-of-Love

Mahkamah Agung Amerika Serikat (The Supreme Court of the United States of America) yang merupakan badan hukum tertinggi di negeri itu, telah melegalkan pernikahan sesama jenis di 50 negara bagiannya, dan keputusan itu dirayakan oleh sebagian besar warganya. Inilah dunia yang kita tinggali hari ini, dunia dengan banyak bendera pelangi yang dilambaikan dengan penuh rasa bangga. Kita berangkulan dengan rekan-rekan dan sahabat LGBT kita yang terkasih, percaya bahwa mereka adalah bagian yang penting dari komunitas kita.

Kami, Christopher dan Rosaria, mengakui bahwa kami telah turut andil membangun dunia yang demikian—dunia yang memperjuangkan kesamaan derajat dan hak bagi setiap manusia. Jika keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat untuk mengubah definisi pernikahan (dan dengan begitu berarti mengubah juga definisi manusia sebagai seorang pribadi) telah dibuat beberapa waktu yang lalu, mungkin sekali kami juga ada di antara orang-orang yang merayakannya.

Pada tahun 1999, ketika Yesus Kristus menyingkapkan kasih dan anugerah-Nya yang menyelamatkan kepada kami masing-masing, kami menyadari bahwa ketidakpercayaan kami, dan nafsu seksual yang menguasai hidup kami karena ketidakpercayaan itu, bukan lagi sesuatu yang bisa kami pilih. Kami menyadari bahwa mengikut Yesus berarti menyerahkan segala aspek hidup kami. Kami mengerti bahwa pertobatan berarti lari menjauhi segala bentuk godaan yang sangat akrab dan menyenangkan bagi kami.

Namun, Allah juga telah mengasihi kami sebelum kami bertobat mengikut Kristus. Dia telah menyediakan kasih dan perhatian dari umat-Nya, orang-orang yang kini telah menjadi keluarga kami yang baru, saudara-saudara kami yang baru, orangtua kami yang baru di dalam Kristus. Kami melihat bagaimana orang-orang Kristen hidup menurut teladan yang diberikan oleh Tuhan sendiri: mereka mengasihi, menerima, menjadikan kami bagian dari komunitas mereka, memenuhi hidup kami dengan kebenaran-kebenaran Alkitab, ketika kami masih berdosa. Sebab itu, ketika Roh Kudus mengubahkan hati kami, kami memahami satu hal: Injil itu sangat berharga dan sudah seharusnya kami hargai dengan segenap hidup kami.

Kami yakin bahwa sebelum maupun sesudah Mahkamah Agung mengeluarkan kebijakan itu, Allah duduk di atas takhta-Nya dalam kuasa dan kemuliaan—dan suatu hari kelak, semua lutut akan bertelut dan semua lidah akan mengakui-Nya.

Kami percaya bahwa Allah telah menetapkan pernikahan sebagai persatuan antara seorang laki-laki dan perempuan sebagai suami-istri, sebagaimana yang ditegaskan kembali oleh Yesus dalam Markus 10:6-8 and Matius 19:4-5. Namun, kami tidak sependapat dengan pendapat sebagian orang atau tulisan Justice Kennedy yang menganggap bahwa pernikahan “adalah perwujudan kasih yang paling ideal”. Pernikahan di dunia ini tidak selalu bisa menyatakan kasih secara penuh. Allah adalah kasih (1 Yohanes 4:7-19). Puncak kasih Allah dinyatakan bagi kita di dalam Kristus. Tidak ada kasih yang lebih besar dari itu.

Sebuah Misteri Sekaligus Cerminan

Dalam kenyataannya, pernikahan adalah sebuah misteri sekaligus cerminan dari suatu realitas yang lebih besar. Sesungguhnya, perwujudan kasih yang paling ideal dapat kita temukan dalam kasih Kristus kepada pengantin-Nya, yaitu Gereja. Dalam Efesus 5 dan Wahyu 21, pernikahan merupakan analogi dari penebusan Kristus: pernikahan pengantin perempuan (orang-orang berdosa yang sudah ditebus) dengan Sang Suami (Kristus) menggambarkan bagaimana semua orang yang sudah ditebus, baik menikah maupun tidak menikah, adalah mempelai Kristus. Hanya di dalam Kristus, setiap kita dapat mengalami kasih dan penerimaan secara utuh. Betapa pun pentingnya pernikahan dan keluarga di dunia ini, semua itu tidak akan bertahan selamanya, sedangkan Kristus dan keluarga Allah (Gereja) akan terus ada dalam keabadian.

Sayangnya, kita telah gagal menunjukkan kepada komunitas LGBT adanya sebuah opsi selain menikah—yaitu hidup melajang—sebuah pilihan yang dapat dijalani dengan penuh produktivitas dan kepuasan di dalam komunitas keluarga Allah. Orang yang tidak menikah dapat memiliki hubungan-hubungan bermakna yang penuh kasih di dalam keluarga Allah, sangat berbeda dengan pendapat Justice Kennedy yang menulis bahwa para lajang “divonis untuk selalu hidup dalam kesepian”. Ini bukan sekadar gagasan untuk menghibur diri. Para lajang bisa memiliki kehidupan yang sama indahnya dan sama memuaskannya dengan orang-orang yang menikah.

Salah satu hal yang membuat pernikahan antara laki-laki dan perempuan tampak tidak adil bagi komunitas LGBT adalah karena hidup melajang dipandang sebagai hidup dengan kesepian yang sangat mengenaskan. Mungkinkah kita di gereja tanpa sadar juga ikut memperkuat kebohongan ini dengan mengagung-agungkan pernikahan dan merendahkan atau tidak memberi komentar apa-apa tentang hidup melajang? Jika tidak menikah adalah sebuah bentuk ketidakadilan, wajar saja bila pernikahan dianggap sebagai suatu hak yang harus dituntut. Sama seperti komunitas LGBT yang meminta seisi dunia untuk menghormati dan menghargai harkat dan martabat mereka, inilah saatnya gereja juga memperjuangkan harkat dan martabat dari para lajang, baik perempuan maupun laki-laki.

Momen yang Menentukan

Sebagian orang saat ini membandingkan keputusan Mahkamah Agung Amerika Serikat tentang pernikahan sesama jenis dengan kasus Roe melawan Wade di tahun 1973 yang melahirkan keputusan untuk melegalkan praktik aborsi. Ada satu pelajaran penting yang bisa kita petik dari gerakan pro-kehidupan yang menentang praktik aborsi. Hari ini, jumlah orang muda yang pro-kehidupan jauh lebih banyak dibandingkan generasi sebelumnya. Perubahan penting mulai terjadi ketika orang-orang pro-kehidupan (yang berasal dari berbagai latar belakang, tidak hanya kelompok Kristen Injili) mulai menggeser fokus mereka. Tidak sekadar menentang praktik aborsi, tetapi menunjukkan kepedulian yang nyata dengan menolong bayi-bayi yang belum lahir dan para perempuan yang kehamilannya tidak direncanakan. Pertanyaan bagi kita hari ini: Akankah kita mulai menunjukkan kepedulian yang nyata bagi komunitas LGBT?

Inilah momen yang sangat menentukan dalam sejarah. Kita memiliki kesempatan emas untuk bersinar bagi Injil. Akankah kita mengarahkan orang kepada pernikahan sebagai “perwujudan kasih yang paling ideal”? Ataukah kita akan mengarahkan orang—baik yang menikah atau tidak menikah—kepada hidup yang sangat berharga sebagai murid Kristus, mengejar pengenalan akan Yesus Kristus, Pribadi yang adalah kasih sejati itu? Keputusannya ada di tangan kita.


Catatan Editor: Artikel ini ditulis pertama kali pada tanggal 28 Juni 2005 dan telah dimuat dalam The Gospel Coalition, Ethics & Religious Liberty Commission, dan The Christian Post. Diterjemahkan dengan izin dari Christopher Yuan.

 
Tentang Christopher Yuan
Dr. Christopher Yuan mengajar Alkitab di Moody Bible Institute, dan telah melayani sebagai pembicara dalam topik iman dan seksualitas di lima benua. Beliau menjadi pembicara di berbagai konferensi (misalnya: The Gospel Coalition, Ethics & Religious Liberty Commission, InterVarsity’s Urbana, Moody Pastors’ Conferences dan Men’s Conference), juga di berbagai kampus dan gereja (misalnya: gereja Saddleback dan Willow Creek Community). Out-of-a-far-country Kisahnya menjadi bagian dari film dokumenter HOPE Positive: Surviving the Sentence of AIDS yang meraih penghargaan. Bersama ibunya, beliau juga menuliskan perjalanan hidupnya dalam sebuah buku berjudul Out of a Far Country: A Gay Son’s Journey to God, A Broken Mother’s Search for Hope. Christopher menyelesaikan pendidikannya di Moody Bible Institute pada tahun 2005, meraih gelar Master of Arts in Biblical Exegesis di Wheaton College Graduate School pada tahun 2007, dan menerima gelar Doctor of Ministry pada tahun 2014 dari Bethel Seminary.

 
Tentang Rosaria Butterfield
Rosaria Butterfield adalah seorang profesor Bahasa Inggris yang berpengalaman. Beliau pernah menyatakan diri sebagai seorang lesbian dan ikut memperjuangkan kesamaan hak bagi kaum LGBT. Setelah pertobatannya kepada Kristus pada tahun 1999, beliau menyadari betapa berdosanya bila ia menetapkan sendiri identitasnya di luar yang dikehendaki Sang Pencipta. Rosaria menikah dengan Kent Butterfield, pendeta dari First Reformed Presbyterian Church di Durham, dan kini berprofesi sebagai seorang ibu yang mendidik sendiri anak-anaknya di rumah (home-school), istri pendeta, penulis, dan pembicara. Beliau menolong orang-orang Kristen untuk lebih bisa memahami sesama dan kerabat yang memiliki kecenderungan LGBT, agar dapat mengasihi mereka tanpa melihat label identitas seksual mereka dan dapat membagikan kabar baik secara efektif kepada mereka. Pada tahun 2012, beliau menerbitkan buku tentang kisah pertobatannya yang berjudul The Secret Thoughts of an Unlikely Convert: An English Professor’s Journey To Christian Faith. Bukunya yang kedua: Openness Unhindered: Further Thoughts of an Unlikely Convert on Sexual Identity and Union with Christ, diterbitkan pada bulan Juli 2015. Rosaria menulis tentang seksualitas, identitas, komunitas Kristen, dan rindu menyemangati sesamanya untuk setia dalam kehidupan dan pelayanan kepada Kristus.

Bagikan Konten Ini
0 replies

Bagikan Komentar Kamu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *