Posts

3 Alasan Mengapa Orang Kristen Harus Terlibat Memperjuangkan Keadilan Sosial

Oleh Lidya Corry Tampubolon, Jakarta

Beberapa pekan lalu, jagat Twitter diramaikan oleh kicauan seorang figur publik yang menyatakan bahwa seorang SJW (Social Justice Warrior atau Pejuang Keadilan Sosial) adalah “tipe orang di kelas yang saat ulangan mengumpulkan jawabannya duluan agar tidak ditanya-tanya (dicontek) oleh temannya, melaporkan ke guru apabila ada teman yang mengerjakan pekerjaan rumah (PR) di kelas, atau mengingatkan guru tentang ulangan atau kuis.”

Kicauan ini pun direspons hangat oleh banyak orang, baik yang mendukung atau menentang.

Sebenarnya, apa sih SJW itu? Oxford Dictionaries memberikan definisi SJW sebagai “a person who expresses or promotes socially progressive views”. Meski definisi dan tujuan SJW ini baik, istilah ini kemudian mengalami makna peyoratif. Istilah yang tadinya dipandang positif menjadi sangat negatif sekitar tahun 2011 ketika dilontarkan sebagai celaan untuk pertama kalinya di Twitter.

Tulisanku ini tidak akan membahas lebih lanjut tentang kontroversi itu, tetapi melalui topik ini aku ingin mengajakmu untuk melihat bahwa memperjuangkan keadilan sejatinya adalah tugas kita sebagai orang Kristen. Mengapa?

Menurutku, setidaknya ada tiga alasan:

Pertama, keadilan adalah sifat Allah dan Allah menghendaki keadilan ditegakan di dunia.

“Raja yang kuat, yang mencintai hukum, Engkaulah yang menegakkan kebenaran; hukum dan keadilan di antara keturunan Yakub, Engkaulah yang melakukannya” (Mazmur 99:4).

“Tetapi biarlah keadilan bergulung-gulung seperti air dan kebenaran seperti sungai yang selalu mengalir” (Amos 5:24).

Dalam beberapa kitab di dalam Alkitab, Allah melalui perantaraan para nabi secara tegas menyatakan ketidaksukaannya kepada ibadah umat yang tidak disertai perbuatan baik dan kebajikan kepada orang-orang miskin dan tertindas. Misalnya melalui Nabi Yesaya, Allah menyatakan bahwa Ia jijik dengan persembahan umat dan tidak menyukai perayaan dilakukan bangsa Israel. Allah kemudian berfirman:

“Basuhlah, bersihkanlah dirimu, jauhkanlah perbuatan-perbuatanmu yang jahat dari depan mata-Ku. Berhentilah berbuat jahat, belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda!” (Yesaya 1:16-17)

Keadilan adalah sifat Allah, dan oleh karena itu Ia menghendaki agar kita umat-Nya hidup dalam keadilan dan senantiasa berbuat adil. Sebagai umat Allah, sudah sepatutnya kita ikut terlibat dalam memperjuangkan keadilan sosial dan melawan penindasan di dalam dunia yang sudah jatuh ke dalam dosa.

Kedua
, orang Kristen adalah terang dan garam dunia.

“Kamu adalah garam dunia. Jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang” (Matius 5:13).

Pada zaman dahulu, ketika bahan pengawet buatan belum ditemukan, garam adalah bahan alami untuk mengawetkan makanan agar tidak cepat busuk. Itulah fungsi garam: mencegah kebusukan. Garam juga digunakan untuk memberikan rasa yang enak; dan meskipun kehadirannya dalam sebuah masakan tidak terlihat, keberadaannya bisa dirasakan.

Sebagai orang Kristen, kita hadir di tengah dunia untuk mencegah kebusukan oleh karena dosa serta memberikan pengaruh yang baik bagi lingkungan di sekitar kita, termasuk dalam memperjuangkan keadilan sosial. Perlu diingat bahwa Matius 5:13-16 bukan menyatakan bahwa “kamu harus menjadi garam dan terang dunia”, melainkan “kamu adalah garam dan terang dunia”. Artinya, orang Kristen sudah merupakan garam dan terang dunia. Menjadi orang Kristen berarti harus menjalankan fungsi kita sebagai garam dan terang karena “jika garam itu menjadi tawar, dengan apakah ia diasinkan? Tidak ada lagi gunanya selain dibuang dan diinjak orang.”

Terakhir, Tuhan Yesus sendiri menjadi teladan yang sempurna untuk memperjuangkan keadilan.

“Dalam pengajaran-Nya Yesus berkata: “Hati-hatilah terhadap ahli-ahli Taurat yang suka berjalan-jalan memakai jubah panjang dan suka menerima penghormatan di pasar, yang suka duduk di tempat terdepan di rumah ibadat dan di tempat terhormat dalam perjamuan, yang menelan rumah janda-janda, sedang mereka mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Mereka ini pasti akan menerima hukuman yang lebih berat” (Markus 12:38-40).

Selama pelayanannya di dunia, Tuhan Yesus sendiri menjadi sosok yang kontroversial dengan tindakan dan pengajaran-Nya yang seolah-olah mengobrak-abrik tatanan kehidupan masyarakat yang pada saat itu diterima sebagai “tradisi yang harus dipatuhi”. Tuhan Yesus duduk bergaul dengan para pemungut cukai, perempuan sundal, dan orang-orang dianggap berdosa oleh masyarakat serta dikucilkan dari pergaulan. Dia melawan kemunafikan para ahli Taurat dan orang Farisi serta menentang ketidakadilan atau praktik kejahatan yang dilakukan para pemuka agama pada saat itu. Tuhan Yesus melayani setiap orang tanpa memandang wajah serta latar belakang sosial ekonomi, serta memberikan berbagai jawaban/keputusan yang adil atas pertanyaan orang-orang (bahkan pertanyaan yang bersifat menjebak, seperti kisah perempuan yang kedapatan berbuat zinah dalam Yohanes 7:53-8:11). Tuhan Yesus adalah teladan yang sempurna mengenai memperjuangkan keadilan (sosial).

Bahkan Tuhan Yesus menggenapi perjuangan-Nya melawan ketidakadilan dengan menjadi korban yang sejati dari ketidakadilan kosmis ketika Ia rela mati untuk menanggung dosa kita semua di atas kayu salib.

“Dia yang tidak mengenal dosa telah dibuat-Nya menjadi dosa karena kita, supaya dalam Dia kita dibenarkan oleh Allah” (2 Korintus 5:21).

Ketidakadilan adalah produk kejatuhan manusia ke dalam dosa, ketika dosa menghancurkan dan merusak relasi manusia dengan Allah, dengan dirinya sendiri, dengan alam ciptaan, dan dengan sesama; membuat manusia dapat bersikap tidak adil bahkan menindas sesamanya manusia.

Karya keselamatan yang Kristus bawa melalui kematian dan kebangkitan-Nya telah menghancurkan dosa dan ketidakadilan sekali untuk selama-lamanya. Karya Agung ini telah memberikan kepada kita harapan bahwa meski dunia ini begitu tidak adil dengan berbagai penindasan dan kejahatan; akan tiba saatnya Tuhan Yesus datang kembali sebagai Raja, dan Ia akan memerintah dengan penuh keadilan di langit dan bumi yang baru (Wahyu 21:3-4).

Tetaplah berpengharapan dan terlibat!

Lighten our darkness, breathe on this flame
Until your justice burns brightly again
Until the nations learn of your ways
Seek your salvation and bring you their praise
God of the poor, friend of the weak
Give us compassion we pray
Melt our cold hearts, let tears fall like rain
Come, change our love from a spark to a flame

Lirik lagu God of the Poor (Beauty for Brokennes) oleh Graham Kendrick

Soli Deo Gloria!

Baca Juga:

Catatan Kecil Anak Seorang Dokter

Papa kelelahan bukan main. Hampir seluruh waktunya habis untuk mengurusi orang-orang lain. Rasanya aku ingin marah pada dunia, kenapa ada pandemi? Kenapa papa harus jadi dokter?

Gak Adil! Memangnya Aku Penjaga Adikku?

Oleh Jessica Tanoesoedibjo, Jakarta

Aku dilahirkan sebagai anak tengah dari lima bersaudara, pada tengah minggu, di tengah bulan, dan tengah tahun. Banyak orang berkata “wah anak tengah tulen, middle child syndrome pastinya.” Karena, anak pertama biasa lebih dominan dan anak terakhir sering dimanja, sedangkan kebanyakan dari anak tengah merasa terabaikan, akibat urut kelahirannya.

Tambahan pula, dengan sifatku yang cukup penurut, sejak masa remajaku, aku sering diberi tanggung jawab oleh kedua orang tua, untuk turut menjaga adik-adikku. Dan sesungguhnya, sempat terlintas di benakku, “apakah aku penting?

Salah satu buku cerita favoritku berjudul, My Sister’s Keeper, yang ditulis oleh Jodi Picoult. Novel tersebut menceritakan tentang dinamika kakak-beradik yang saling mengasihi. Namun, sang adik bergumul dengan kepahitan yang ia rasakan, terhadap kedua orang tua dan sang kakak, yang adalah penderita kanker darah. Pusat perhatian kedua orang tua tentu ada pada sang kakak yang sakit, sedangkan ada ekspektasi tak terucapkan bagi sang adik untuk menjadi donor berkelanjutan bagi kakaknya sendiri.

Ketika membaca buku tersebut, aku merasa dimengerti. Bahwa perasaan sakit hati terhadap seseorang, bukan berarti kita tidak mengasihi mereka. Karena aku sangat mengasihi keluargaku. Namun, dalam hati kecil, ternyata ada sebuah luka yang mengiang dan melontarkan pemberontakan, “apakah aku sekadar penjaga adik-adikku?”

Kain, Penjaga Habel

Kuingat suatu hari ketika aku sedang saat teduh, dan membaca Kejadian 4. Cerita tentang sepasang kakak-beradik, Kain dan Habel. Dalam keirian hati seorang Kain, ia membunuh Habel, adiknya sendiri—ini adalah kali pertama Firman menyatakan seorang manusia membunuh dengan darah dingin. Dan ketika Tuhan menghampiri Kain dan menanyakan keberadaan Habel, ia berkata, “aku tidak tahu! Apakah aku penjaga adikku?” (ayat 9).

Ketika membaca kata-kata itu, hatiku tertegur. Bukankah ini pernyataan yang selama ini telah kuucapkan kepada Tuhan? Betapa miripnya keluhanku, dengan tanggapan Kain—dan pada saat itu juga, peringatan Tuhan kepada seorang Kain, menjadi peringatan bagiku: “dosa sudah mengintip di depan pintu; ia sangat menggoda engkau, tetapi engkau harus berkuasa atasnya,” (ayat 7).

Seketika, aku memutuskan untuk segera menyelesaikan kekesalan yang selama ini kusimpan di hati kecilku ini.

Keadilan Tidak Berarti Sama

Setiap orang yang memiliki saudara, pasti pernah merasakan ketidakadilan. Sebuah contoh sederhana adalah ketika kedua anak berebutan mainan, dan orang tua harus melerai dan memihak. Bahkan ketika orang tua mengambil mainan tersebut, dan tidak ada satu dari mereka yang mendapatkannya, mudah bagi seorang anak, terutama yang merasa memiliki mainan tersebut, untuk berkata, “tidak adil! Itu punyaku!”

Dalam sebuah keluarga yang memiliki banyak anak, tentu sebagai orang tua tidak bisa memberlakukan anak-anaknya dengan seragam. Setiap anak memiliki karakteristik yang berbeda, dan sebagai orang tua, perlu kebijaksanaan untuk menanggapi seorang anak dengan cara yang sesuai dengan kepribadian dan kebutuhan anak tersebut. Ada anak yang bawaannya penurut, dan ada yang bersifat lebih pemberontak. Setiap orang juga merasakan kasih dengan cara yang berbeda. Ada yang merasa dikasihi ketika diperhatikan, ada yang lebih membutuhkan pelukan, dan ada yang memerlukan perkataan pujian.

Hal ini baru kusadari ketika aku beranjak dewasa. Ternyata, selama ini, ketika orang tuaku mendidik aku dan saudara-saudaraku dengan cara yang berbeda, mereka bukan sedang memperlakukanku dengan tidak adil. Bukan karena mereka menganggapku tidak penting, atau karena mereka kurang mengasihiku. Sebagai orang tua, mereka terus berusaha untuk mengasihiku sebagaimana aku perlu dikasihi.

Alkitab Penuh Keluarga Disfungsional

Namun, harus kita akui, tidak ada orang tua yang sempurna di dunia ini. Karena memang, tidak ada orang yang sempurna (Roma 3:23). Firman Tuhan pun penuh dengan cerita tentang keluarga-keluarga disfungsional. Seperti kisah Abraham, Sarah dan Hagar (Kejadian 16), yang menyebabkan permusuhan bebuyutan antara Ishak dan Ismael. Persekongkolan Yakub dengan ibunya, Ribka, untuk menipu Ishak, ayahnya yang sudah rabun, untuk mencuri hak sulung Esau (Kejadian 27)—Alkitab mengajarkan betapa bobroknya manusia, sehingga sulit bagi kita untuk mengasihi orang-orang terdekat kita!

Namun, kita tidak boleh putus asa. Karena walaupun Firman mengungkapkan dengan sangat eksplisit kebobrokan kita, kita melihat bahwa Tuhan dapat menebus kesalahan-kesalahan kita, dan tetap bekerja melalui orang-orang yang tidak sempurna. Oleh salib Kristus, Tuhan telah “mempersatukan kedua pihak…merubuhkan tembok pemisah, yaitu perseteruan, [agar kita dapat menjadi] kawan sewarga…dan anggota-anggota keluarga Allah,” (Efesus 2:14-19). Tuhan sendiri yang datang sebagai Penengah, Pelerai, Pendamai, agar kita dapat dipersatukan dalam keluarga-Nya.

Ketidakadilan Yang Dialami Yesus, Penjagaku

Tetapi apakah kita sepenuhnya menyadari harga yang dibayar oleh Yesus di kayu salib? Firman mengatakan bahwa Ia adalah yang sulung, yang pertama (Kolose 1:18). Satu-satunya Anak Allah (Yohanes 3:16) yang datang ke dunia, dan rela memberikan diri-Nya bagi umat manusia yang tidak mengenal, maupun menerima-Nya (Yohanes 1:9-10). Ia mengalami ketidakadilan yang terbesar, karena Yesus adalah satu-satunya yang tidak berdosa, namun menanggung segala penderitaan dan upah dosa setiap manusia (2 Korintus 5:21). Dan karena kasih dan pengorbanan-Nya, kita sekarang dapat dipanggil anak-anak Allah (Galatia 4:7).

Betapa besar kasih-Nya! Dan betapa berbeda dengan postur seorang Kain, ataupun diriku sendiri. Yesus sebagai Anak Tunggal meletakkan hak-hak-Nya, dan memberikannya kepada aku. Kepada kamu. Maukah kita sekarang mengikuti-Nya? Maukah kita belajar untuk meletakkan hak-hak kita, ke-aku-an yang begitu besar, dan berseru seperti seorang Paulus? “Aku telah disalib bersama Kristus, bukanlah aku lagi yang hidup, tetapi Kristus yang hidup dalam aku,” (Galatia 2:20).

“Alangkah baiknya dan indahnya, apabila saudara-saudara diam bersama dengan rukun!” (Mazmur 133:1).

Baca Juga:

Belajar dari 2 Sosok Perempuan yang Jadi Berkat bagi Bangsanya

Kita kerap berpikir kalau hanya orang pilihan saja yang bisa melakukan hal besar. Tapi, cara Tuhan memilih seseorang bukanlah berdasarkan standar manusia.

Ketika Aku Mengalami Ketidakadilan di Tempat Kerjaku

Oleh Liu Yang
Artikel asli dalam bahasa Mandarin: “阳仔,在帝都做销售累不累?”(有声中文)

Aku bekerja sebagai seorang sales. Seperti pekerjaan sales pada umumnya, aku pun menghadapi tekanan besar untuk mendapatkan klien dan harus mencapai target penjualan.

Baru-baru ini, manajerku memutuskan untuk mengganti tim kerja kami dengan alasan supaya kami bisa mencapai angka penjualan yang lebih tinggi. Alih-alih menanangani klien kami sendiri, aku dan temanku malah dibagi ke dalam dua tim yang berbeda, dan tiap tim bertanggung jawab atas klien dan proyek masing-masing. Meski kelihatannya kami sekarang memiliki tanggung jawab lebih, sebenarnya ada yang salah dengan pengaturan ini—konflik bisa saja muncul apabila rekan kerjaku dari dua tim yang berbeda menemui klien yang sama di waktu yang sama pula.

Malangnya, tidak butuh waktu lama untuk konflik itu terjadi. Rekan kerjaku dari tim yang lain telah memberitahu supervisor kami tentang proyek yang potensial dengan seorang klien. Aku tidak menyadari bahwa klien yang kudekati itu ternyata sama dengan klien rekanku itu. Lagipula klien itu juga tidak menyebutkan bahwa dia sudah dihubungi lebih dulu oleh rekanku.

Setelah menyusun proposal dengan teliti dan menyerahkannya kepada supervisorku untuk disetujui, dia memberitahuku bahwa rekan kerjaku sudah lebih dulu mendapatkan klien ini. Aku sangat kecewa, aku tidak bisa menyelesaikan proyek ini.

Peristiwa ini bukanlah yang pertama kali terjadi kepadaku. Waktu itu, meski kecewa, aku memilih untuk menyerah karena aku tidak ingin menimbulkan perselisihan di dalam departemenku demi memenuhi target penjualan.

Kejadian serupa pun pernah terjadi empat tahun lalu. Waktu itu aku bekerja di perusahaan lain. Aku sudah bekerja sangat keras demi sebuah proyek hingga kemudian supervisorku masuk dan mengklaim kalau proyek itu miliknya. Aku pun berusaha membantahnya karena sesungguhnya itu adalah proyek yang aku kerjakan sendiri. Aku berusaha mendapatkan proyek itu kembali. Tapi, upayaku ini mengakibatkan kondisi perusahaanku menjadi penuh keresahan.

Aku benar-benar tidak ingin melepaskan proyek itu begitu saja. Aku sudah bekerja begitu keras tanpa mengetahui pembicaraan apa yang berlangsung di antara rekan kerjaku dan klien itu. Risikonya terasa lebih besar kali ini. Jadi, aku pun bersikukuh tidak mau menyerah.

Namun akhirnya, aku memilih untuk menyerah setelah berbicara dengan supervisorku, kemudian aku membawa amarah dan rasa putus asaku ke hadapan Tuhan.

“Ya Tuhan, kalau ini bukan cara yang Engkau kehendaki supaya aku mencapai target penjualan, aku memilih untuk taat kepadamu,” ucapku dalam doa.

Setelah itu, aku pun berpikir: sedemikian pentingkah pengejaran akan sesuatu yang bersifat duniawi? Apakah aku belum memiliki karunia yang paling berharga, yaitu Tuhan Yesus sendiri?

Meskipun aku mendapatkan penghiburan dari berpikir dengan cara seperti itu, aku masih merasa sangat tidak tenang. Aku sudah bekerja sangat keras untuk mencapai target penjualan—meskipun itu harus mengorbankan kesehatanku. Suatu kali, aku bekerja sangat keras hingga tenggorokanku sakit dan aku sulit berbicara. Aku dipaksa untuk beristirahat selama sehari, tapi aku terus saja berpikir tentang target penjualanku hingga aku hampir tidak bisa beristirahat.

Hatiku terasa berat meskipun aku datang ke acara doa dan renungan bersama di gereja malam itu. Di tengah kekhawatiranku, ada banyak ayat Alkitab yang muncul di pikiranku.

Salah satu ayat adalah dari Habakuk 3:17-18, yang berkata: “Sekalipun pohon ara tidak berbunga, pohon anggur tidak berbuah, hasil pohon zaitun mengecewakan, sekalipun ladang-ladang tidak menghasilkan bahan makanan, kambing domba terhalau dari kurungan, dan tidak ada lembu sapi dalam kandang, namun aku akan bersorak-sorak di dalam TUHAN, beria-ria di dalam Allah yang menyelamatkan aku.”

Ayat lainnya yang muncul adalah dari Ayub 1:21, “Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan telajang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang mengambil, terpujilah nama TUHAN!”

Hatiku mengenal betul ayat-ayat ini—aku pun tahu apa yang ayat ini maksudkan, bahkan konteksnya juga. Tapi, pengetahuanku akan kebenaran Alkitab itu tidak cukup untuk menopangku di masa-masa pencobaan ini.

Ketika acara renungan itu selesai, hatiku masih merasa tidak tenang. Aku duduk di luar gereja dan berdoa: “Ya Tuhan, aku merasa sangat bersalah dan terganggu. Engkau mengetahui betapa seriusnya aku telah bekerja selama dua bulan ini. Aku akan tunduk kepada-Mu apabila memang proyek ini bukanlah untukku. Aku mungkin berkecil hati sekarang, tapi jika ini memang dari-Mu, tolong agar Engkau mempersingkat masa-masa sulit ini. Tolonglah aku untuk mengenal-Mu lebih lagi melalui rasa sakit ini.”

Setelah berdoa, aku berbicara dengan seorang rekan seimanku dan menceritakan masalahku kepadanya. Dia memang tidak menghadapi masalah yang sama denganku, tapi dia setuju bahwa meski kita mengetahui isi Alkitab dengan baik, tapi ketika pencobaan datang, seringkali kita dengan cepat merasa bimbang. Aku mulai melihat bahwa setiap kita memiliki kesusahan dan kelemahannya masing-masing, dan di masa-masa seperti ini, sangatlah penting untuk saling mengingatkan satu sama lain untuk terus mengandalkan Tuhan di masa-masa pencobaan.

Seiring aku merenungkan situasiku, aku jadi teringat akan sebuah wawancara yang pernah dilakukan oleh Jackie Chan, aktor Hong Kong yang terkenal. Pertanyaan pertama yang diajukan si pewawancara adalah, “Jackie, apa kamu merasa lelah bermain film?” Jackie Chan lalu menangis selama 15 menit selanjutnya, membuat si pewawancara tercengang. Jika seseorang menanyaiku pertanyaan yang sama, “Liu Yang, apa kamu lelah bekerja jadi seorang sales?” Kupikir aku akan menangis juga.

Di dalam perjalanan pulangku malam itu, aku meletakkan beban hidupku di hadapan Tuhan. Aku percaya Tuhan yang mengasihiku punya rencana terbaik buatku. Dan, saat aku melakukan itu, aku merasa beban-bebanku seperti terangkat dari pundakku dan hatiku pun dipenuhi kedamaian.

Keesokan harinya, aku merasa dibaharui. Meski aku bekerja, aku tidak lagi dipenuhi oleh rasa khawatir seperti yang aku rasakan beberapa hari sebelumnya. Di hari yang sama, seorang saudara seimanku dalam Kristus mendatangiku dan bertanya tentang sebuah proyek. Aku langsung memberitahu supervisorku tentang proyek yang potensial ini sebelum melakukan persiapan-persiapan yang dibutuhkan, dan komunikasi dengan klien itu pun berjalan mulus. Pada akhirnya, klien itu mempercayaiku untuk menangani proyek ini dan kami segera memutuskan tanggal penyelesaian proyek.

Ini adalah pertama kalinya aku berhasil mengamankan kesepakatan dengan klienku secara cepat dan berhasil. Aku percaya Tuhan menolongku. Dia mengganti kesempatanku yang dahulu hilang dan membuat kerja kerasku menjadi berhasil. Melalui proyek ini, perusahaanku juga mampu memasuki pasar yang baru. Hatiku dipenuhi rasa kagum dan syukur atas bagaimana cara Tuhan mengubah segalanya dalam sehari.

Ketika aku menoleh ke belakang, aku dapat melihat betapa besarnya transformasi yang Tuhan telah kerjakan dalam hidupku sejak aku menerima Kristus empat tahun lalu. Ketika aku mengingat kembali bagaimana responsku dulu ketika supervisorku mencuri proyek yang kukerjakan, hanya oleh anugerah Tuhan sajalah aku mampu merespons dengan cara yang berbeda kali ini.

Permasalahan ini juga menolongku untuk semakin yakin bahwa Tuhan peduli kepada mereka yang mengasihi dan menaati perintah-Nya. Seperti tertulis dalam Yohanes 14:21, “Barangsiapa memegang perintah-Ku dan melakukannya, dialah yang mengasihi Aku. Dan barangsiapa mengasihi Aku, ia akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Akupun akan mengasihi dia dan akan menyatakan diri-Ku kepadanya.”

Ketika aku berpikir tentang bagaimana perubahan hidupku selama empat tahun ini, aku menyadari bahwa semuanya ini bukanlah hasil dari kehendak atau perilakuku sendiri. Tuhanlah yang telah mengubahku menjadi pribadiku saat ini.

Aku berdoa supaya Tuhan terus memimpin dan membentukku. Aku mungkin kan menghadapi masalah atau keadaan yang sama kelak, tapi aku percaya bahwa pengalaman-pengalaman inilah yang menjadi alat untuk membentuk karakter di dalam diriku. Aku juga tahu bahwa aku mampu mengatasi masalah-masalah itu dan terus mempercayai kebaikan Tuhan daripada keadaanku sendiri, karena Dialah Satu-satunya yang memimpin dan melindungiku.

Baca Juga:

Ketika Perkataan “Aku Dukung Dalam Doa Ya” Terasa Tidak Berdampak Apa-apa

“Aku dukung kamu dalam doa ya.”

Apakah perkataan itu terasa kosong buatmu? Kadang aku pun merasa begitu. Sepertinya perkataan itu aku ucapkan ketika aku tidak bisa melakukan hal-hal lainnya untuk menolong seseorang.

Masih Adakah Harapan di Tengah Dunia yang Bertikai?

Penulis: Joanna Hor
Artikel asli dalam Bahasa Inggris: After Such Horrific Attacks, What Hope Is There?

Masih-Adakah-Harapan

Sulit untuk mengikuti semua berita yang beredar tentang Paris, Beirut, terorisme, dan situasi dunia kita sepanjang minggu ini. Ada begitu banyak pandangan yang terlontar, ada begitu banyak emosi yang terlibat. Namun, serangkaian serangan mengerikan yang belum lama ini terjadi menunjukkan sebuah kenyataan yang tidak bisa disangkal: setiap kita bisa saja mengalami hal yang sama.

Tidak ada orang yang kebal, tidak ada orang yang bisa memastikan diri akan selalu selamat. Serangan di Prancis baru-baru ini—salah satu tragedi terburuk yang dialami negara tersebut setelah Perang Dunia kedua—mengingatkan kita (lagi) betapa aksi terorisme dapat terjadi di mana saja, kapan saja. Sejak peristiwa yang menimpa Amerika pada 11 September 2001, banyak negara sudah dicekam rasa takut kalau-kalau negara mereka akan mendapat giliran berikutnya.

Tragedi yang menimpa kota Paris jelas membuat banyak negara kembali mengevaluasi dan memikirkan tanggapan yang tepat terhadap ancaman terorisme. Banyak yang bertanya: Adakah suatu cara yang efektif untuk meniadakan ancaman ini sekali untuk selamanya? Bagaimana caranya agar kita tak lagi hidup dalam ketidakpastian dan ketakutan?

Namun, bagaimana bila terorisme tidak bisa dihilangkan sama sekali? Bagaimana bila solusi untuk masalah kejahatan dan penderitaan tidak pernah dapat ditemukan? Bagaimana bila tidak ada yang bisa kita lakukan untuk membuat dunia kita menjadi tempat tinggal yang lebih baik dan lebih aman? Jejak sejarah menunjukkan kemungkinan ini. Kekejaman masih terjadi setiap hari, manusia saling membunuh karena perbedaan ras, budaya, dan agama. Beberapa hari lalu, dilaporkan dalam berita bahwa kejatuhan pesawat Rusia pada akhir Oktober benar disebabkan oleh aksi teroris.

Masih adakah harapan yang tersisa di tengah situasi dunia yang demikian? Kemungkinan kita tidak akan pernah menemukan jawabannya dari diri kita sendiri. Jadi, apa yang harus kita lakukan? Mungkin kita perlu mulai melihat melampaui diri kita dan memandang kepada Pribadi yang memegang kendali atas dunia ini, sekalipun kita tidak sepenuhnya memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Inilah saatnya kita perlu datang kepada Tuhan.

Ambillah waktu untuk berdoa—mohon damai dan penghiburan sejati dari Tuhan sendiri bagi mereka yang sedang berduka. Berdoalah agar keadilan-Nya ditegakkan. Mintalah Tuhan memberi hikmat kepada para pemimpin dunia dalam menetapkan kebijakan-kebijakan yang harus diambil.

Mengapa? Karena Tuhan tahu persis apa yang sedang terjadi dan apa yang sedang kita rasakan. Dia mengerti duka dan kemarahan mereka yang kehilangan orang-orang terkasih, baik akibat serangan bom atau tembakan senjata. Dia memahami rasa tidak berdaya yang menyelimuti kelompok-kelompok masyarakat yang menjadi korban serangan teroris. Dia tahu seperti apa penderitaan fisik dan mental yang dialami para sandera dan kecemasan yang dirasakan keluarga mereka.

Tuhan tahu karena Dia sendiri telah tinggal di tengah manusia dan melalui semua kesulitan itu. Dalam kitab Roma, rasul Paulus menguatkan sekelompok jemaat yang sedang mengalami penganiayaan besar karena apa yang mereka imani. Paulus mengingatkan mereka pada kuasa kasih Kristus.

Siapakah yang akan memisahkan kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Seperti ada tertulis: “Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan.” Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita. Sebab aku yakin, bahwa baik maut, maupun hidup, baik malaikat-malaikat, maupun pemerintah-pemerintah, baik yang ada sekarang, maupun yang akan datang, atau kuasa-kuasa, baik yang di atas, maupun yang di bawah, ataupun sesuatu makhluk lain, tidak akan dapat memisahkan kita dari kasih Allah, yang ada dalam Kristus Yesus, Tuhan kita.
— Roma 8:35-39

Kemungkinan kita tidak akan bisa melihat terorisme dan kekejaman berakhir, setidaknya di dalam kehidupan kita di dunia ini. Tetapi, kita bisa yakin akan satu hal: Kristus tidak akan pernah meninggalkan kita, di dalam masa-masa sulit, penderitaan, bahkan dalam kematian.

Sembari terus merenungkan berbagai tragedi yang terjadi belakangan ini, mari mempersiapkan hati menyambut perayaan Natal dengan perspektif yang baru. Kita bersyukur Yesus telah datang ke dalam dunia, karena hanya di dalam Dialah kita dapat menemukan pengharapan, apa pun yang terjadi dalam hidup kita. Mari kita juga mengambil langkah untuk menyatakan kasih Allah kepada sesama dan membagikan pengharapan yang kita miliki di dalam Sang Juruselamat.

Api Dan Hujan

Jumat, 27 September 2013

Api Dan Hujan

Baca: Yesaya 16:1-5

Maka suatu takhta akan ditegakkan dalam kasih setia dan di atasnya, . . . akan duduk senantiasa seorang hakim yang menegakkan keadilan, dan yang segera melakukan kebenaran. —Yesaya 16:5

Ketika kebakaran hutan melanda ngarai-ngarai yang indah di dekat Colorado Springs, lautan api telah menghancurkan lingkungan hidup dari beragam jenis binatang liar dan juga ratusan rumah. Orang-orang di seluruh negeri berseru kepada Allah, memohon kepada-Nya supaya mengirimkan hujan untuk memadamkan api, mengakhiri kerusakan, dan memberi kelegaan kepada para pemadam kebakaran. Ada orang yang dalam doanya mencantumkan suatu persyaratan menarik. Mereka memohon agar Allah menunjukkan belas kasihan-Nya dan mengirim hujan tanpa petir, karena khawatir petir justru akan memicu kebakaran lebih besar.

Hal ini mengingatkan saya tentang hidup kita yang berada di antara hal-hal yang dapat menyelamatkan sekaligus membunuh kita. Kita menggunakan api untuk memasak dan menghangatkan tubuh kita, tetapi api juga dapat memusnahkan kita. Kita menggunakan air untuk menjaga tubuh agar tidak dehidrasi dan mendinginkan planet kita, tetapi air juga dapat menenggelamkan kita. Terlalu banyak ataupun terlalu sedikit dari salah satunya dapat membahayakan hidup.

Kita melihat prinsip yang sama berlaku dalam hal rohani. Supaya dapat berkembang, peradaban manusia membutuhkan nilai-nilai belas kasihan dan keadilan yang kelihatannya bertentangan (Zak. 7:9). Yesus menegur orang-orang Farisi karena memegang hukum Taurat dengan ketat, tetapi melalaikan hal-hal “yang terpenting” (Mat. 23:23).

Kita mungkin lebih suka menuntut keadilan atau menaruh belas kasihan, tetapi Yesus menerapkan keduanya dalam keseimbangan sempurna (Yes. 16:5; 42:1-4). Kematian-Nya menggenapi tuntutan Allah akan keadilan dan kebutuhan kita akan belas kasihan. —JAL

Ya Bapa, terkadang karena kemauanku sendiri, aku mau menunjukkan
belas kasihan, tetapi di lain waktu hanya ingin mendapat keadilan.
Ajarlah aku menyeimbangkannya dengan meneladani sifat-Mu dan
berikan hikmat yang dibutuhkan dalam situasi-situasi yang kuhadapi.

Keadilan dan belas kasihan Allah sama-sama tergenapi di atas kayu salib.